• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN TEORI POLITIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAHAN TEORI POLITIK"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Karl Marx, pelopor utama gagasan “sosialisme ilmiah” dilahirkan tahun 1818 di kota Trier, Jerman, Ayahnya ahli hukum dan di umur tujuh belas tahun Karl masuk Universitas Bonn,juga belajar hukum. Belakangan dia pindah ke Universitas Berlin dan kemudian dapat gelar Doktor dalam ilmu filsafat dari Universitas Jena.

Entah karena lebih tertarik, Marx menceburkan diri ke dunia jurnalistik dan sebentar menjadi redaktur Rheinische Zeitung di Cologne. Tapi, pandangan politiknya yang radikal menyeretnya ke dalam rupa-rupa kesulitan dan memaksanya pindah ke Paris. Di situlah dia mula pertama bertemu dengan Friederich Engels. Tali persahabatan dan persamaan pandangan politik mengikat kedua orang ini selaku dwi tunggal hingga akhir hayatnya.

Marx tak bisa lama tinggal di Paris dan segera ditendang dari sana dan mesti menjinjing koper pindah ke Brussel. Di kota inilah, tahun 1847 dia pertama kali menerbitkan buah pikirannya yang penting dan besar The poverty of philosophy (Kemiskinan filsafat). Tahun berikutnya bersama bergandeng tangan dengan Friederich Engels mereka menerbitkan Communist Manifesto, buku yang akhirnya menjadi bacaan dunia. Pada tahun itu juga Marx kembali ke Cologne untuk kemudian diusir lagi dari sana hanya selang beberapa bulan. Sehabis terusir sana terusir sini, akhirnya Marx menyeberang Selat Canal dan menetap di London hingga akhir hayatnya.

Meskipun ada hanya sedikit uang di sakunya berkat pekerjaan jurnalistik, Marx menghabiskan sejumlah besar waktunya di London melakukan penyelidikan dan menulis buku-buku tentang politik dan ekonomi. (Di tahun-tahun itu Marx dan familinya dapat bantuan ongkos hidup dari Friederich Engels kawan karibnya). Jilid pertama Das Kapital, karya ilmiah Marx terpenting terbit di tahun 1867. Tatkala Marx meninggal di tahun 1883, kedua jilid sambungannya belum sepenuhnya rampung. Kedua jilid sambungannya itu disusun dan diterbitkan oIeh Engels berpegang pada catatan-catatan dan naskah yang ditinggalkan Marx.

Karya tulisan Marx merumuskan dasar teoritis Komunisme. Ditilik dari perkembangan luarbiasa gerakan ini di abad ke-20, sangat layaklah kalau dia mendapat tempat dalam urutan tinggi buku ini. Masalahnya, seberapa tinggi?

Faktor utama bagi keputusan ini adalah perhitungan arti penting Komunis jangka panjang dalam sejarah. Sejak tumbuhnya Komunisme sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah masa kini, terasa sedikit sulit menentukan dengan cermat perspektif masa depannya. Kendati tak seorang pun sanggup memastikan seberapa jauh Komunisme bisa berkembang dan berapa lama ideologi ini bisa bertahan, yang sudah pasti dia merupakan ideologi kuat dan tangguh serta berakar kuat

menghunjam ke bumi, dan sudah bisa dipastikan punya pengaruh besar di dunia untuk paling sedikit beberapa abad mendatang.

Pada saat kini, sekitar seabad sesudah kematian Marx, jumlah manusia yang sedikitnya terpengaruh oleh Marxisme sudah mendekati angka 1,3 milyar banyaknya. Jumlah penganut ini lebih besar dari jumlah penganut ideologi mana pun sepanjang sejarah manusia. Bukan sekedar jumlahnya yang mutlak, melainkan juga sebagai kelompok dari keseluruhan penduduk dunia. Ini mengakibatkan kaum Komunis, dan juga sebagian yang bukan Komunis, percaya bahwa di masa depan tidak bisa tidak Marxisme akan merebut kemenangan di seluruh dunia. Namun, adalah sukar untuk

(2)

dan sirna. (Agama yang didirikan oleh Mani bisa dijadikan misal yang menarik). Jika kita surut ke tahun 1900, akan tampak jelas bahwa demokrasi konstitusional merupakan arus yang akan jadi anutan masa depan. Berpegang pada harapan, tampaknya memang begitu, tapi sekarang tak ada lagi orang yang yakin segalanya sudah terjadi sebagaimana bayangan semula.

Sekarang menyangkut Komunisme. Taruhlah seseorang percaya sangat dan tahu persis betapa hebatnya pengaruh Komunis di dunia saat ini dan di dunia masa depan, orang toh masih

mempertanyakan arti penting Karl Marx di dalam gerakan Komunis. Politik pemerintah Uni Soviet sekarang kelihatannya tidak terawasi oleh karya-karya Marx yang menulis dasar-dasar pikiran seperti dialektika gaya Hegel dan tentang teori “nilai lebih.” Teori-teori itu kelihatan kecil pengaruhnya dalam praktek perputaran roda politik pemerintah Uni Soviet, baik politik dalam maupun luar negerinya. Komunisme masa kini menitikberatkan empat ide: (1) Sekelumit kecil orang kaya hidup dalam kemewahan yang berlimpah, sedangkan kaum pekerja yang teramat banyak jumlahnya hidup bergelimang papa sengsara. (2) Cara untuk merombak ketidakadilan ini adalah dengan jalan

melaksanakan sistem sosialis, yaitu sistem di mana alat produksi dikuasai negara dan bukannya oleh pribadi swasta. (3) Pada umumnya, satu-satunya jalan paling praktis untuk melaksanakan sistem sosialis ini adalah lewat revolusi kekerasan. (4) Untuk menjaga kelanggengan sistem sosialis harus diatur oleh kediktatoran partai Komunis dalam jangka waktu yang memadai.

Tiga dari ide pertama sudah dicetuskan dengan jelas sebelum Marx. Sedangkan ide keempat berasal dari gagasan Marx mengenai “diktatur proletariat.” Sementara itu, lamanya masa berlaku

kediktatoran Soviet sekarang lebih merupakan hasil dari langkah-langkah Lenin dan Stalin daripada gagasan tulisan Marx. Hal ini tampaknya menimbulkan anggapan bahwa pengaruh Marx dalam Komunisme lebih kecil dari kenyataan yang sebenarnya, dan penghargaan orang terhadap tulisan-tulisannya lebih menyerupai sekedar etalasi untuk membenarkan sifat “keilmiahan” daripada ide dan politik yang sudah terlaksana dan diterima.

Sementara boleh jadi ada benarnya juga anggapan itu, namun tampaknya kelewat berlebihan. Lenin misalnya, tidak sekedar menganggap dirinya mengikuti ajaran-ajaran Marx, tapi dia betul-betul membacanya, menghayatinya, dan menerimanya. Dia yakin betul jalan yang dilimpahkannya persis di atas rel yang dibentangkan Marx. Begitu juga terjadi pada diri Mao Tse Tung dan pemuka-pemuka Komunis lain. Memang benar, ide-ide Marx mungkin sudah disalah-artikan dan ditafsirkan lain, tapi hal semacam ini juga berlaku pada ajaran Yesus atau Buddha atau Islam. Andaikata semua politik dasar pemerintah Tiongkok maupun Uni Soviet bertolak langsung dari hasil karya tulisan Marx, dia akan peroleh tingkat urutan lebih tinggi dalam daftar buku ini.

Mungkin bisa diperdebatkan bahwa Lenin, politikus praktis yang sesungguhnya mendirikan negara Komunis, memegang saham besar dalam hal membangun Komunisme sebagai suatu ideologi yang begitu besar pengaruhnya di dunia. Pendapat ini masuk akal. Lenin benar-benar seorang tokoh penting. Tapi, menurut hemat saya, tulisan-tulisan Marx yang begitu hebat pengaruhnya terhadap jalan pikiran bukan saja Lenin tapi juga pemuka-pemuka Komunis lain, jelas punya kedudukan lebih penting.

(3)

masing-masing menulis buku atas namanya sendiri-sendiri tapi kerjasama intelektual mereka begitu intimnya sehingga hasil keseluruhan dapat dianggap sebagai suatu karya bersama. Memang, Marx dan Engels diperlakukan sebagai satu kesatuan dalam buku ini walaupun yang dicantumkan cuma nama Marx karena (saya pikir saya benar) dia dianggap partner yang dominan dalam arti luas.

Akhirnya, sering dituding orang bahwa teori Marxis di bidang ekonomi sangatlah buruk dan banyak keliru. Tentu saja, banyak dugaan-dugaan tertentu Marx terbukti meleset. Misalnya, Marx

meramalkan bahwa dalam negeri-negeri kapitalis kaum buruh akan semakin melarat dalam perjalanan sang waktu. Jelas, ramalan ini tidak terbukti. Marx juga memperhitungkan bahwa kaum menengah akan disapu dan sebagian besar orang-orangnya akan masuk ke dalam golongan proletar dan hanya sedikit yang bisa bangkit dan masuk dalam kelas kapitalis. Ini pun jelas tak pernah terbukti. Marx juga tampaknya percaya, meningkatnya mekanisasi akan mengurangi keuntungan kaum kapitalis, kepercayaan yang bukan saja salah tapi sekaligus juga tampak tolol. Tapi, terlepas apakah teori ekonominya benar atau salah, semua itu tidak ada sangkut-pautnya dengan pengaruh Marx. Arti penting seorang filosof terletak bukan pada kebenaran pendapatnya tapi terletak pada masalah apakah buah pikirannya telah menggerakkan orang untuk bertindak atau tidak. Diukur dari sudut ini, tak perlu diragukan lagi Karl Marx punya arti penting yang luarbiasa hebatnya.

Sebagaimana sudah kita tulis di Fikiran Ra’jat nomor percontohan tentang sebab-sebabnya

kemelaratan yang diderita oleh kaum Buruh ialah stelsel kapitalisme itu, maka di nomor ini kita akan terangkan bahwa di antara beberapa cara untuk melenyapkan stelsel kapitalisme atau kapital itu terutama dua cara yang perlu kita ketahui. Kedua faham dan cara yang mempunyai pengikut berjuta-juta kaum buruh ialah faham kaum sosial-demokrat dan fahamnya kaum komunis.

Banyak aliran-aliran lain yang juga berdasarkan ilmu sosialisme, aliran-aliran yang menentang kapitalisme dan imperialisme. Tetapi oleh karena lain-lain aliran sosialistis itu tidak begitu besar artinya di dalam perjuangan kaum buruh untuk menuntut perbaikan nasibnya, maka kita hanya mengupas sosial-demokrat dan komunis saja, kedua faham yang di dunia politik Indonesia umumnya tidak asing lagi.

Kedua faham atau isme ini di dalam hakikatnya tidak mengandung perbedaan satu sama lain, oleh karena kedua isme ini berdiri di atas faham sosialisme atau lebih tegas lagi: berdiri di atas faham Marxisme. Kedua faham adalah mengaku menjadi pengikut Marx.

Sebagaimana kapitalisme sendiri adalah sebuah faham yang mempunyai beberapa aliran, aliran-aliran mana mempunyai isme-isme sendiri yang semuanya itu bersendar di atas faham kapitalisme, maka sosialisme sebagai hasilnya kapitalisme, juga mempunyai beberapa aliran.

Di dalam faham sosialisme itu termasuk juga syndikalisme dan anarkisme, kedua faham yang di halaman Fikiran Ra’jat No. 2 kita akan kupas.

(4)

kesengsaraan masuk di desa-dsa di rumahnya bapak tani, menghinggapi rumah tangganya kaum pedagang dan pertukangan kecil-kecil. Oleh karena kemerdekaan itu maka nasib Rakyat menjadi nasib proletar: oleh karena kemerdekaan itu maka di satu pihak timbul kelas kapitalisme dan di lain pihak timbul kelas proletar. Kelak kaum proletar ini tidak mempunyai kekuasaan sama sekali atas alat-alat pembuatan barang-barang di pabrik-pabrik dan di-onderneming-onderneming.

Sesudah kapitalisme tua disokong oleh tenaga mesin-mesin menjadi kapitalisme modern, maka nasibnya kaum proletar itu makin jelek.

Kesengsaraan dan kesedihan yang diderita sehari-hari oleh kaum buruh tentulah melahirkan cita-cita dan harapan untuk menyelamatkan pergaulan hidup manusia yang bobrok. Cita-cita dan harapan melenyapkan kemiskinan dan kebobrokan di dalam masyarakat itu melahirkan faham sosialisme yang mengajarkan kepada pengukut-pengikutnya bahwa agar supaya pergaulan hidup bisa selamat susunannya harus bersendikan di atas aturan-aturan sosialistis. Mereka yang memiliki faham itu dinamakan kaum Sosialis.

Mula-mula mereka ini belum terang betul bagaimanakah caranya stelsel kapitalisme ini harus dilenyapkan. Mereka masih membayangkan saja. Penganjur-penganjurnya belum mendapat jalan yang terang untuk menyelamatkan pergaulan hidup. Mereka masih menghayal tentang pergaulan hidup yang selamat ialah pergaulan hidup yang tidak mengenal kesengsaraan. Kaum sosialis yang mendasarkan “teorinya” ini atas khayalan belaka itu dinamakan kaum “sosialis-utopis” (Robert Owen, Saint Simon dll).

Tetapi lambat laun mereka itu makin sadar bahwa teori yang bersandar kepada utopi itu adalah teori yang tidak dapat memberi senjata untuk membasmi kepitalisme itu dengan akar-akarnya.

Teori yang dapat menyadarkan kaum proletar tentang kedudukannya di dalam masyarakat itu ialah hanya teori yang berdasar wetenschap, ialah teori yang hasilnya jadi ilmu, penyelidikan dan pengupasan yang dalam dan luas. Teori yang berdasarkan wetenschap itu dinamakan

wetenschapppelijk—schapppelijk-sosialisme, lawannya utopistis-sosialisme. Watenschapppelijk-Sosialieme bukan sosialisme khayalan, tetapi sosialisme perhitungan.

Watenschapppelijk-sosialisme itu lahir di dunia sesudah pendekar kaum proletar yang terbesar, Karl Marx mempropagandakan teorinya, bagaimanakah harusnya perjuangan kaum buruh itu untuk menuju ke dunia sosialisme.

Setelah Karl Marx mengadakan penyelidikan sedalam-dalamnya tentang akar-akarnya kapitalisme yang kebutuhannya selalu bertentangan dengan kebutuhannya kaum buruh, maka Marx

mengajarkan bahwa yang dapat menjungjung derajat kaum buruh itu ialah kaum buruh sendiri. Maka dari itu kaum proletar ini harus disusun di dalam satu organisasi yang menyadarkan mereka tentang nasibnya dan oleh karena itu keharusan mereka berjuang melenyapkan segala rintangan yang menentang usaha mereka menuju ke jaman sosialisme itu. Karl Marx adalah “bapaknya” dari kaum proletar.

(5)

berharga f 2500—. Pertambahan harga adalah f 2000—. Tetapi f 2000— ini tidak jatuh ke tangan kaum buruh (mereka menerima sedikit sekali) tetapi di tangan kaum pemodal sendiri, dan dipakainya untuk menambah besarnya modal, karena itu maka modal itu mempunyai watak melembungkan badannya, artinya kaum pemodal itu senantiasa mempunyai watak membesar-besarkan modalnya. Teorinya yang lain, yang juga termasyur ialah “Fase Teori”, atau “Evolusi-Teori”, ialah teori yang mengajarkan arahnya perubahan dari tiap-tiap pergaulan hidup manusia yang juga menjadi sebab perubahan fahamnya, anggapan dan pikiran rakyat.

Fase-teori mengajarkan bahwa masyarakat itu di jaman purbakala adalah Ur-komunistis, artinya pergaulan hidup manusia di jaman purbakala itu diatur menurut cara tidak ada ningrat-ningratan atau kelas-kelasan. Sesudah jaman ur-komunisme ini lalu, lantas lahirlah jaman feodal. Sendi dasarnya pergaulan hidup jadi feodalistis, yakni masyarakat terbagi dalam kelas raja, ningrat dan “hamba”. Habis fase feodal ini tumbul fase kapitalisme. Mula-mula jaman voor-kapitalisme dan kemudian jadi modern kapitalisme. Jaman kapitalisme ini menuju ke fase-sosialisme. Fase-teori ini dianut oleh kaum sosial-demokrat dan juga oleh kaum komunis. Kedua aliran yang besar ini mula-mula berjuang bersama-sama di bawah “pimpinannya” Karl Marx.

Sekarang orang tanya mengapa kaum sosialis yang bersendi atas Marxisme itu terpecah menjadi dua aliran atau sayap yang menimbulkan faham sendiri-sendiri?

Pada tahun 1889 sampai tahun 1914 kedua sayap ini diikat oleh satu badan yang bernama Tweede-Internationale atau di dalam bahasa Indonesia: Internasional-Kedua. Tetapi dalam tahun 1914 persatuan partai kaum buruh ini terpecah menjadi dua aliran: sayap yang satu memisahkan diri menjadi sosial-demokrat dan sayap yang lain menamakan dirinya kaum komunis. Perpecahan itu terjadi oleh karena kedua sayap ini tidak bisa akur pendiriannya satu sama lain tentang mufakat atau tidaknya kaum proletar terutama di negeri-negeri kapitalis turut menyokong peperangan dunia di tahun 1914. Kaum sosial-demokrat suka menyokong peperangan dunia itu, tetapi kaum komunis sama sekali anti peperangan. Kaum sosial-demokrat berpendapat bahwa kaum proletar harus turut menyokong pemerintahan dalam negeri “verdedigings-oorlog jika ada musuh menyerang negerinya. Kaum komunis mendirikan Internasionale sendiri ialah: "Derde-Internasionale” ialah Internasional-Ketiga di Moskow di bulan Maret 1919. Pemimpin-pemimpin terbesar dari kaum komunis ialah Lenin, Trotsky dan Zinoview mengajarkan bahwa pergaulan hidup manusia tidak harus tumbuh

sebagaimana sudah digambarkan di dalam teori-teorinya Karl-Marx, tetapi pergaulan hidup dapat mengadakan fase-sprong, artinya bahwa masyarakat yang masih berada di dalam fase feodal itu tidak harus melalui zaman kapitalisme lebih dulu untuk menuju ke jaman sosialisme.

Dus pergaulan hidup Rusia yang masih feodal itu bisa terus masuk jaman sosialisme, zonder menginjak fase jaman kapitalisme dulu, asal saja cukup alat-alatnya. Teori yang demikian ini dinamakan teori fase-sprong.

(6)

fase sosialisme. Tiap-tiap fase harus dilalui. Sesudah fase ur-komunis tidak boleh tidak tentu fase feodal. Sesudah fase feodal tidak boleh tidak tentu fase voor-kapitalisme; dan begitu seterusnya. Dus masyarakat tidak bisa melompati sesuatu fase. Misalnya naik kereta api dari Bandung ke Jakarta harus melalui Cimahi, kemudian Padalarang, kemudian Purwakarta, kemudian Cikampek, kemuduan Kerawang, kemudian Jakarta. Mau-tidak-mau semua tempat itu harus dilalui oleh kereta api itu. Tidak bisa dari Cimahi sekonyong-konyong Purwakarta, dengan melompati Purwakarta, dengan melampaui Padalarang itu dengan secepat-cepatnya, melompati Padalarang kita tidak bisa. “Begitu pula dalam kita masuk ke fase sosialisme. Kapitalisme tidak boleh tidak harus dilewati. Bagian kita ialah melewati fase kapitalisme itu dengan secepat-cepatnya, supaya bisa selekas-lekasnya diganti fase sosialisme!”—begitulah kaum sosial demokrat berkata sebagai bantahan atas sikap kaum komunis yang dari feodalisme (masyarakat Rusia masih 60% feodalisme) ujung-ujung masuk ke fase sosialisme.

Perbedaan yang kedua ialah bahwa tiap-tiap orang—menurut kaum sosial-demokrat—yang hidup di dalam suatu masyarakat itu adalah jadi anggota masyarakat itu dan oleh karena itu ia berhak mengeluarkan pikirannya, kemauannya dan cita-citanya tentang cara-cara masyarakat itu diatur. Dus dengan lain perkataan pergaulan hidup itu harus diatur secara demokratis. Tetapi kaum komunis mengajarkan bahwa demokrasi itu di dalam hakikatnya tidak memberi kemerdekaan kepada Rakyat. Di dalam praktiknya, kata mereka, demokrasi itu tidak ada. Dan jika demokrasi ini ada, kerakyatan itu tidaklah dapat memberi hak-hak kepada Rakyat untuk mengatur pergaulan hidup. Dus demokrasi itu adalah perkataan kosong belaka. Kaum komunis oleh karena itu tidak mufakat dengan demokrasi itu tetapi mengajarkan bahwa hanyalah “diktator-proletariat” saja (artinya bahwa hanya kaum proletar saja yang mempunyai suara) yang dapat memberi kekuasaan hidup manusia itu bagi keselamatan masyarakat. Diktato-proletariat itu adalah suatu alat untuk mendatangkan pergaulan hidup sosialistis —begitulah kaum komunis berkata. Di dalam diktator-proletariat ini, maka orang-orang yang bukan proletar tidak boleh ikut bersuara. Orang-orang yang bukan proletar tidak diberi stem di dalam pemerintahan negeri.

Inilah perbedaan antara sosial-demokrasi dan komunis tentang asas, yakni dua berpedaan yang fundamental. Untuk kali ini cukuplah sekian saja. Masih banyak lagi berbedaan-perbedaan yang lain. Tetapi untuk sekarang sekian saja.

Eropa Barat memiliki Sosial-Demokrasi; Rusia memiliki Komunisme; Tiongkok San Min Cu I; India mempunya Gandhiisme; marilah kita di Indonesia mempropagandakan kita punya Marhaenisme! —Feodalisme—

Sejarah feodalisme tidak bisa dipisahkan dengan Dark Ages (Jaman Kegelapan) yang pada abad ke-5 tengah melanda Eropa. Sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M, sejak itu pula hampir seluruh Eropa mengalami kemunduran dan kemerosotan di banyak bidang, terutama bidang ekonomi.

(7)

Lambat laun, pilihan itu tidak hanya berpengaruh terhadap aspek ekonomi saja, namun secara sosiologis pilihan tersebut juga mempertegas pelapisan sosial yang telah ada. Pelapisan sosial yang ditandai dengan adanya kelas-kelas di dalam masyarakat Eropa pada masa itu, sejatinya dipicu oleh sistem pengaturan tanah yang dinamai feodalisme.

Secara etimologis, feodalisme berasal dari kata feodus yang dalam Bahasa Latin berarti “Perjanjian”. Secara sepintas, feodalisme dapat dimaknai sebagai sebuah paham yang lahir dari tata-aturan yang dibuat oleh negara atau raja yang bertujuan mengatur peminjaman tanah kaum bangsawan. Bangsawan yang memperoleh pinjaman tanah tersebut kemudian menyewakan tanah pinjaman itu kepada para petani dengan sistem bagi hasil atau sewa tenaga. Keadaan ini menyebabkan pengaruh bangsawan pada masa itu menjadi sedemikian besarnya. Bangsawan-bangsawan berupaya tetap memelihara “hubungan baik” mereka dengan negara atau raja lewat berbagai cara, meski harus mengorbankan para buruh dan petani penggarap tanah mereka. Feodalisme juga memicu lahirnya tuan-tuan tanah yang menggarap tanah mereka hanya untuk peningkatan hasil/produksi semata. Dan, tentu saja hal tersebut dilakukan para tuan tanah untuk menjaga “hubungan baik” mereka dengan bangsawan yang tanahnya mereka sewa, tanpa mempedulikan kesejahteraan buruh dan petani penggarap tanah mereka.

Peningkatan produksi yang tidak mempedulikan nasib buruh dan petani penggarap tanah ini, akhirnya bermuara pada makin melimpahnya kekayaan raja-raja atau penguasa. Dalam menjalankan kekuasaannya, penguasa-penguasa pada masa itu berupaya memperoleh dukungan legal dari kaum agamawan (gereja) cara memberikan subsidi kepada gereja.

Tentunya mudah diterka, jika pemberian subsidi tersebut diniatkan untuk menarik dukungan gereja. Hal ini penting bagi para raja, karena pada masa itu masyarakat meyakini bahwa segala sesuatu yang berasal dari gereja dianggap sebagai kebenaran yang tidak boleh dibantah. Dukungan gereja menjadi penting bagi para penguasa karena dukungan gereja akan melegitimasi sistem feodalisme yang mereka terapkan.

Feodalisme akhirnya melahirkan simbiosis mutualisme antara para raja, gereja, bangsawan dan tuan tanah. Karena itu, menjadi masuk akal jika masing-masing dari unsur simbiosis saling

menguntungkan itu berupaya untuk tetap melestarikan sistem yang telah meminggirkan kaum buruh dan petani itu.

Feodalisme sebagai upaya untuk mengatasi keterpurukan Eropa, memang berhasil mengeluarkan Eropa dari Dark Ages sekalipun mengorbankan petani dan buruh. Terbukti pada masa Perang Salib (1096-1291) perdagangan Eropa muncul kembali. Hal ini ditandai dengan tampilnya kawasan Italia sebagai salah satu pusat penting perdagangan dunia pada masa itu.

(8)

kaum borjuis.

Renaissance secara etimologis berasal dari kata re yang berarti kembali, dan naitrie yang artinya bangun. Terjemahan bebasnya adalah bangun kembali. Maknanya, kurang lebih bangun kembali untuk melepaskan diri dari ikatan feodalisme yang hanya menguntungkan raja, bangsawan, tuan tanah, dan gereja. Renaissance juga dimaknai sebagai penggalian kembali filsafat dan ilmu pengetahuan yang berkembang pada jaman Yunani.

Renaissance sebenarnya merupakan reaksi dari feodalisme yang telah menindas buruh dan petani. Jika pada masa feodalisme, filsafat dan ilmu pengetahuan harus tunduk kepada fatwa gereja, maka pada masa renaissance filsafat dan ilmu pengetahuan diletakkan kembali pada tempat semestinya. Renaissance juga lahir sebagai buah ketidakpuasan pemimpin masyarakat, serta para pemikir pada masa itu yang mendukung feodalisme. Ketidakpuasan ini akhirnya mengejahwantah jadi gerakan masyarakat yang disponsori oleh kaum borjuis.

Selain merombak tradisi lama Eropa yang bercorak feodalis dan gerejawi, renaissance juga

merangsang pemikir-pemikir yang awalnya berada di bawah tekanan dogmatis gereja untuk tampil mengemukakan pikiran-pikirannya. Salah satunya adalah Nikolaus Copernicus yang menyatakan bahwa bumi sebenarnya bulat seperti bola. Astronom kelahiran Polandia, 19 Februari 1473 itu juga menyatakan bahwa matahari merupakan pusat peredaran planet-planet (teori heliosentris).

Teori Copernicus ini berlawanan dengan konsepsi kuno yang disahkan gereja, yang menyatakan bahwa bumi menjadi pusat tatasurya (geosentris). Meski secara ilmiah berhasil dibuktikan oleh cendikiawan lainnya yang bernama Galileo Galilei, teori bumi bulat dan heliosentris tetap mendapatkan tentangan dari pihak gereja.

Sejarah akhirnya mencatat, teori Copernicus tersebut tidak hanya benar, tetapi juga menjadi salah satu faktor munculnya kolonialisme dan imperialisme sebagai turunan dari feodalisme.

—-Kolonialisme dan Imperialisme—

Bangkitnya Eropa yang ditandai dengan bangkitnya kawasan Laut Tengah—khususnya Italia—sebagai salah satu pusat penting perdagangan dunia, ternyata tidak berlangsung lama. Pada tahun 1453, Kota Konstantinopel (Romawi Timur) jatuh ke dalam genggaman Turki yang diperintah Dinasti Usmani. Jatuhnya Konstantinopel ini mempengaruhi denyut nadi perdagangan Eropa karena seketika itu pula kawasan Laut Tengah berada di dalam kendali Turki. Keadaan ini memaksa Eropa untuk mencari daerah di luar kawasan Laut Tengah sebagai penopang perekonomian mereka.

Pencarian daerah baru menjadi “wabah” yang secara cepat menjangkiti bangsa-bangsa Eropa saat itu. Selain mendapatkan dukungan dari raja, pencarian daerah baru ini juga mendapatkan sokongan dari saudagar atau pemilik modal besar.

(9)

menjadi bangsa yang disegani dan dielu-elukan. Motif lainnya adalah motif penyebaran Kristen sebagai agama mayoritas penduduk Eropa pada masa itu. Motivasi-motivasi tersebut akhirnya populer disebut 3 G, akronim dari Gold (Emas, yang makna luasnya adalah kekayaan), Glory (kejayaan), dan Gospel (tugas suci, agama).

Pencarian daerah baru juga didorong oleh perasaan bangsa-bangsa Eropa yang menganggap dirinya lebih unggul daripada bangsa-bangsa lainnya. Faktor pendorong lainnya adalah teori Copernicus yang menyatakan bahwa berbentuk bulat seperti bola.

Faktor lainnya adalah keberhasilan ekspedisi pelayaran kerajaan Spanyol pada tahun 1492 yang dipimpin Christoporus Columbus (pelaut asal Italia). Keberhasilan Columbus tersebut makin menggelorakan semangat pencarian daerah baru. Setelah mempelajari catatan-catatan Columbus, pada tahun 1519 Kerajaan Spanyol kembali mengirimkan rombongan ekspedisi pelayarannya yang dipimpin Ferdinand Magelhaens.

Meski Magelhaens meninggal karena pertempuran dengan penduduk Filipina, ekspedisi yang selanjutnya dipimpin Juan Sebastian del Cano (asal Italia) ini dinilai berhasil oleh Kerajaan Spanyol. Ekspedisi yang berlangsung selama 3 tahun itu tidak hanya berhasil mencari daerah baru penghasil komiditi penting perdagangan, tetapi juga berhasil menjadikan Filipina sebagai daerah koloni Spanyol.

Tidak hanya menjadi bukti kebenaran teori Copernicus, ekspedisi Magelhaens—yang dicatat sejarah sebagai pelayaran pertama yang benar-benar mengitari bumi—juga menjadi salah satu faktor yang mendorong bangsa Eropa lainnya untuk melakukan ekspedisi serupa.

Sementara itu, klaim sepihak Spanyol atas Filipina telah menginspirasi bangsa Eropa lainnya untuk melakukan hal yang sama. Klaim sepihak negara-negara Eropa terhadap daerah baru yang mereka temukan, serta upaya mereka menjadikan daerah baru tersebut sebagai koloni inilah yang akhirnya lazim disebut sebagai praktek kolonialisme.

Pencarian daerah baru yang awalnya dilakukan sebagai jalan keluar atas penguasaan Laut Tengah oleh Turki, serta sebagai upaya alternatif untuk mencari komiditi dagang itu telah berubah

tujuannnya. Jika awalnya hanya bermotif dagang semata, maka selanjutnya pencarian daerah baru tersebut bermotif perluasan kawasan dan penguasaan/penjajahan daerah-daerah penghasil komiditi dagang (terutama emas dan rempah-rempah)

Kalau sebelumnya feodalisme dijadikan sebagai jalan keluar untuk mengentas Eropa, pada masa ini kolonialisme-lah yang dijadikan sebagai jalan bagi Eropa untuk memperkuat perekonomiannya. Sama dengan feodalisme, kolonialisme juga merupakan kolaborasi antara penguasa, bangsawan, pemilik modal besar (kapitalis), dan gereja. Dari waktu ke waktu, terbukti bahwa kolonialisme berhasil memperderas aliran emas dan rempah-rempah ke pasaran Eropa, yang pada gilirannya membuahkan keuntungan yang fantastis bagi penguasa, bangsawan, dan kapitalis.

(10)

keuntungan atau kekayaan hasil kolonialisme itu dijadikan sebagai alat ukur tinggi rendahnya derajat suatu bangsa di Eropa. Akibatnya bisa ditebak, masing-masing bangsa Eropa berkompetisi

menumpuk kekayaan yang diperoleh dari kolonialisme yang mereka terapkan. Kompetisi inilah yang disebut sebagai Merkantilisme.

Karena jumlah logam mulia yang dijadikan sebagai tolok ukur dalam merkantilisme, maka emas sebagai logam mulia memegang peranan penting pada masa itu. Konsekuensi logisnya, perluasan koloni—terutama yang bermotif perburuan emas—pun makin menjadi-jadi.

Setelah itu, emas dan rempah-rempah tidak hanya mendorong perluasan koloni. Tetapi juga menjadi alasan utama bangsa-bangsa Eropa untuk menguasai secara bulat dan utuh daerah koloni mereka dengan cara mengambil paksa kekuasaan-legal yang ada di dalam koloni tersebut. Upaya penguasaan secara utuh serta pengambilan paksa kekuasaan-legal sebuah koloni inilah yang dinamakan praktek imperialisme. Setelah pengambilan paksa kekuasaan-legal, episode selanjutnya yang dimainkan penjajah adalah memobilisasi-paksa penduduk asli agar melakukan segala sesuatu demi kepentingan negara induk (negara penjajah).

—Revolusi Prancis, Revolusi Industri dan Kapitalisme—

Laju aliran emas dan rempah-rempah yang dihasilkan oleh kolonialisme/imperialisme ternyata juga dibarengi dengan majunya khasanah ilmu pengetahuan. Sebagaiman diulas sebelumnya, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak lepas dari pengaruh renaissance.

Di sisi lain, renaissance tidak hanya membawa “aufklarung” (pencerahan, bhs. Jerman) bagi masyarakat Eropa, tetapi juga mengilhami banyak orang—terutama pemikir—untuk melakukan revolusi (perubahan) tatanan masyarakat, terutama pemerintahan.

Revolusi yang melanda hampir seantero Eropa tersebut sebenarnya merupakan reaksi atas absolutisme raja-raja Eropa pada masa itu. Absolutisme raja-raja Eropa tersebut sedikit-banyak dipengaruhi oleh Machiavellisme, yakni sebuah isme tentang mutlaknya kekuasaan raja yang dicetuskan oleh Niccolo Machiavelli. Dalam bukunya yang berjudul Il Principe (artinya: Sang Raja), Machiavelli menyatakan, kekuasaan raja bersifat mutlak dan tak terbatas atas suatu negara, sehingga raja berhak atas segala sesuatu yang ada di dalam negara, termasuk harta pribadi rakyat, dan bahkan rakyat itu sendiri.

Jelas, absolutisme raja-raja Eropa tersebut menyakiti hati rakyat. Timbunan kekecewaan rakyat Eropa atas absolutisme raja dari hari ke hari tak ubahnya seperti bom waktu yang hanya menunggu detik-detik ledakan. Beberapa pemikir tampil menentang kesewenang-wenangan itu. Salah satunya, seorang filsuf dari Inggris yang bernama John Locke (1632-1704), yang menyatakan, seharusnya negara tidak diatur oleh absolutisme raja, tetapi oleh konsitusi (undang-undang). Locke juga

menyatakan, negara harus mengakui hak-hak manusia yang dimiliki sejak lahir, seperti hak merdeka, hak untuk hidup, hak untuk memilih, dan hak untuk memiliki sesuatu.

(11)

kekuasaan negara yang hanya bertumpu kepada seorang raja. Menurut Montesqiueu, kekuasaan negara harus dibagi jadi tiga, yakni kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat UU), kekuasaan eksekutif (kekuasaan unuk melaksanakan UU), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan untuk mengadili setiap pelanggaran UU). Pokok pikiran Montesqiueu ini dikenal sebagai Trias Politica.

Kritik dari Perancis terhadap absolutisme raja, tidak hanya disuarakan Montesqiueu. Seorang pemikir Prancis lainnya, Jacques Rousseau dalam bukunya yang berjudul Du Countract Social (artinya: Perjanjian Masyarakat) menyatakan, sesungguhnya sejak lahir semua manusia merdeka dan setara. Tak hanya menentang absolutisme raja, Rousseau juga menyatakan, membela hak dan kepentingan rakyat merupakan tindakan yang sangat suci.

Kritik terhadap absolutisme raja yang diusung pemikir-pemikir masa itu telah menginspirasi banyak orang untuk mengorganisir dan memobilisasi diri guna melakukan perlawanan fisik. Perlawanan yang fenomenal terjadi di Prancis. Pada tanggal 14 Juli 1789, Penjara Bastile yang jadi lambang

absolutisme Raja Prancis diserbu rakyat.

Penyerbuan ini mengakibatkan kekuasaan Prancis beralih kepada pemerintahan sementara yang disebut Pemerintahan Revolusi. Segera setelah itu, Pemerintahan Revolusi menghapus hak-hak istimewa yang dimiliki raja, bangsawan dan pendeta. Tak cukup di situ, Pemerintahan Revolusi juga membentuk Pasukan Keamanan Nasional dan Majelis Konstituante (Dewan Rakyat).

Selain memutuskan pelenyapan gelar kebangsawanan, Pemerintahan Revolusi juga mengumumkan pengakuan dan penghormatan hak-hak manusia dan warga negara. Pengakuan tersebut dicatat sejarah sebagai salah satu piagam hak asasi manusia.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan sejak masa renaissance, dan lunturnya absolutisme raja sejak Revolusi Prancis telah memperluas ruang aktualisasi personal rakyat Eropa pada umumnya. Aktualisasi personal di bidang ilmu pengetahuan telah memicu para cendikiawan pada masa itu untuk melakukan penelitian-penelitian. Sedangkan aktualisasi di bidang ekonomi telah mendorong rakyat Eropa—terutama yang bermodal besar—untuk berwiraswasta dalam skala besar.

Minat berwiraswasta dalam skala besar tersebut bertemu dengan semangat para cendikiawan dalam melakukan penelitian. Seiring dengan laju hasil bumi yang menderas dari bumi jajahan, para pelaku wiraswasta skala besar (kapitalis) terus berpikir tidak hanya tentang bagaimana memperdagangkan hasil bumi jajahan tersebut ke pasaran Eropa. Mereka pun berpikir bagaimana hasil bumi itu diolah atau diindustrialisasi agar ragam barang dagangan mereka banyak.

Industrialisasi yang ditujukan untuk memperbanyak jenis dagangan, ternyata hanya memberi kepuasan sementara kepada pemodal besar. Mereka pun berpikir tidak hanya kepada perbanyakan jenis dagangan, tetapi juga kepada percepatan proses produksi. Sebuah industrialisasi yang dapat mengolah hasil bumi jajahan dengan proses yang singkat, dengan hasil produk yang variatif, serta kuantitas produk siap jual banyak, merupakan “kegelisahan” pemodal besar pada saat itu.

(12)

suntikan dana bagi penelitian-penelitian para cendikiawan. Hasil dari relasi kapitalis dan cendikiawan ini adalah penemuan-penemuan yang tidak hanya membawa keuntungan bagi kapitalis, tetapi secara sosio-kultural membawa perubahan besar bagi peradaban Eropa.

Beberapa penemuan yang menonjol diantaranya adalah Spinning Jenny (alat pemintal) yang

diciptakan oleh James Hargreaves pada 1762, dan penemuan mesin uap oleh James Watt pada 1796. Mesin uap merupakan penemuan fenomenal yang penting, karena membawa perubahan besar dalam dunia industri. Selain itu, banyak cendikiawan yang terinspirasi penemuan James Watt ini. Beberapa diantaranya, Richard Trevitchik penemu lokomotif tenaga uap (1804), Robert Fulton penemu kapal tenaga uap, serta Cugnot & Daimler penemu mobil tenaga uap. Oleh banyak sejarawan, penemuan mesin uap James Watt ditetapkan sebagai titik awal Revolusi Industri.

Berbagai penemuan tersebut telah menjawab “kegelisahan” kapitalis yang selalu ingin menghasilkan produk dalam dalam jumlah besar dengan cara yang murah dan cepat. Bukan cuma membuat para kapitalis jadi kaya raya, revolusi industri pun makin mengukuhkan eksistensi kelas kapitalis sebagai kelas yang penting dan berpengaruh. Revolusi industri juga berperanan memodernisasi kapitalisme. Kapitalis yang mulanya hanya berkutat sebagai produsen pengolah bahan mentah, sejak penemuan-penemuan mesin-mesin tersebut telah berubah menjadi pedagang sekaligus distributor. Ini terjadi karena ada serangkaian proses produksi yang berhasil diringkas oleh mesin-mesin mutakhir kala itu. Kesadaran bahwa posisi mereka kian penting dan berpengaruh, telah menstimulasi kapitalis untuk mempengaruhi kebijakan penguasa negara. Pengaruh tersebut dilakukan oleh kaum pemodal agar penguasa negara makin meningkatkan intensitas kolonialisme dan imperialisme. Tujuannya jelas, kaum kapitalis ingin meningkatkan bahan mentah dari daerah jajahan dalam jumlah yang besar untuk menjamin stabilitas industrialisasi mereka, serta perolehan laba yang lebih besar. Tujuan ini bertemu dengan kebutuhan penguasa negara atas dana pengembangan kolonialisme dan

imperialisme. Perluasan dan pengelolaan daerah jajahan jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit, dan kaum kapitalis bersedia memenuhi kebutuhan tersebut asalkan tujuan mereka terpenuhi. Dari sini terlihat bahwa intensitas kolonialisme dan imperialisme terkadang tidak hanya murni keinginan penguasa belaka, tetapi juga tercampuri oleh kemauan kelas kapitalis. Dari sini pula makin terlihat betapa eratnya hubungan antara kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme.

Sementara itu, pesatnya laju revolusi industri makin mempertinggi posisi tawar kaum pemodal terhadap kaum pekerja. Dengan menggunakan mesin-mesin hasil penemuan cendikiawan, kaum pemodal dapat melakukan proses produksi secara cepat, murah, dan dengan hasil yang lebih banyak. Penggunaan mesin-mesin ini pada gilirannya meminimalkan peranan pekerja.

(13)

Kesenjangan tersebut tidak hanya memicu munculnya pengangguran, kemiskinan, kejahatan serta masalah-masalah sosial lainnya. Tajamnya kesenjangan ini juga mengundang lahirnya pikiran-pikiran kritis yang menentang arogansi kaum pemodal. Akhirnya, pikiran-pikiran kritis tersebut mendorong lahirnya sebuah isme (paham), yakni sosialisme.

—Sosialisme Pra-Marx—

Secara luas, sosialisme merupakan paham yang menentang kemutlakan hak milik pribadi. Hak milik pribadi—terutama yang terkait dengan hal-ikwal produksi—diubah jadi hak komunal (masyarakat). Dalam memperbincangkan sosialisme—terutama pada era pasca-Karl Marx—kita sulit menghindari obrolan tentang ajaran Karl Marx yang lazim disebut marxisme. Selain keterkaitannya demikian erat, marxisme menjadi mata air utama bagi sosialisme itu sendiri. Tokoh-tokoh sosialisme seperti Lenin, Stalin, dan Mao Tse Tung pun menjadikan marxisme sebagai acuan gerakan mereka.

Seperti uraian sebelumnya yang menyebutkan bahwa sosialisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme, maka sesungguhnya gagasan sosialisme ini telah ada sebelum era Karl Marx. Satu dari sekian tokoh sosialisme pra-Marx adalah seorang pelaku sejarah Revolusi Prancis yang bernama Noel Babeuf (1760-1767). Anggota Jacobin (fraksi radikal dalam Revolusi Prancis) ini menyerukan, agar kaum miskin bersatu memerangi kaum kaya. Babeuf mengemas sosialisme-nya dalam gagasan pendirian “Republik Rakyat Setara”, yakni republik yang meniadakan kelas-kelas di dalam masyarakat. Pada 1797, Babeuf menjalani hukum penggal kepala karena dituduh telah merencanakan gerakan radikal sosialis.

Yang menarik adalah sosialisme yang digagas oleh Robert Owen (1771-1858). Menjadi menarik karena sosialisme ini digagas oleh Owen yang notabene adalah pemodal. Pengusaha asal Lanark, Inggris, yang mempekerjakan sekitar 2.500 buruh ini jadi populer setelah menulis bukunya yang berjudul A New View of Society, an Essay on the Formation of Human (Pandangan Baru terhadap Masyarakat, sebuah Esai tentang Format Karakter Manusia). Owen berpendapat, karakter manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Pendapat ini tak hanya tertuang sebagai wacana dalam bukunya, tetapi juga dia praktekkan dalam kenyataan. Selaras dengan pendapatnya, Owen menutup kedai-kedai minuman yang berada di sekitar pabriknya, lantas menggantinya dengan membangun perumhan serta tempat rekreasi bagi pekerja-pekerjanya.

Owen juga menentang eksploitasi pekerja anak-anak dengan menerbitkan larangan mempekerjakan anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun. Owen pun mendirikan koperasi konsumsi bagi buruhnya, serta membangun Labour Exchange yang berfungsi sebagai tempat penampungan bagi penganggur. Di Labour Exchange, orang-orang yang belum memiliki pekerjaan itu memperoleh bon kerja yang berfungsi sebagai gaji. Dengan cara-cara tersebut, Owen memperoleh keuntungan karena meningkatnya mutu kerja, loyalitas, serta komitmen yang dimiliki buruhnya.

(14)

Golongan III (pekerja) berkewajiban melanjutkan pengembangan masyarakat, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan industri, maka karena itu Golongan III merupakan golongan yang penting dalam masyarakat.

Menurut Simon, golongan pekerja tersebut penting juga karena golongan feodal dan bangsawan merupakan golongan parasit yang tidak menghasilkan apa-apa, dan tak berguna. Oleh sebab itu, menurut Simon, golongan borjuis masih tetap diperlukan, dan sudah saatnya kepemimpinan masyarakat dipegang oleh Golongan III

Gagasan sosialisme pra-Marx lainnya dituangkan seorang filsuf yang bernama Pierre Joseph Proudon (1809-1865). Dalam karya filosofisnya yang berjudul “Philosophi de la Misere” (Filsafat

Kesengsaraan), Proudon menjelaskan, kesengsaraan tidak hanya disebabkan oleh alat-alat produksi, namun juga oleh uang dan sistem rente (hutang yang berbunga).

Proudon punya pandangan tersendiri mengenai hak milik. Menurut filsuf yang lahir dari keluarga miskin tersebut, hak milik merupakan “pencurian”. Karena itu, pemikir yang memperoleh beasiswa Akademi Beacon itu menyatakan, hak milik harus dibagikan kepada tiap-tiap individu secara merata dan sukarela, tanpa ada pemaksaan dari negara. Pandangan Proudon mengenai pembagian hak milik inilah yang disebut sebagai Pandangan Mutualisme.

Proudon tak hanya berkutat di dunia pemikiran saja. Sejak menulis “Philosophi de la Misere”, filsuf yang juga mendapatkan julukan Bapak Anarkisme Modern itu juga gigih mewujudkan konsepsi sosialisme-liberalnya secara praksis.

Tokoh sosialisme lainnya adalah Charles Fourier (1772-1837). Pemikir asal Prancis itu dalam bukunya yang berjudul “Theorie des Quatre Mouvements et Destines Generales” mengemukakan, penghuni suatu pemukiman yang berkisar antara 1600-1800 orang merupakan suatu kesatuan. Untuk itu, perlu adanya suatu wilayah atau “daerah tertentu” yang berfungsi sebagai tempat tinggal mereka. “Daerah tertentu” tersebut, menurut Fourier diperlukan agar para penghuni bisa saling berkomunikasi dengan mudah. “Daerah tertentu” itu juga ditujukan sebagai tempat kerja yang menganut sistem koperasi.

Dengan sistem koperasi, Fourier berpendapat, pemerataan akan tercipta karena lama-kelamaan tiap-tiap orang akan menjalani kehidupan yang seragam. Dalam konsepsi Fourier, pendidikan akan terjamin karena menjadi bagian dari fasilitas yang harus dibangun di dalam “daerah tertentu” yang dia cita-citakan. Tidak hanya itu, optimalisasi hasil kerja juga akan tercapai karena tempat penitipan anak bagi para pekerja juga akan dibangun di dalam “daerah tertentu” yang ia gagas. Karena

konsepsinya yang teramat jauh dari kenyataan itu, Fourier dan pengikut gagasannya disebut sebagai Kaum Sosialis Utopis.

—Marx-Engels dan Sosialisme—

(15)

Karena pandangan dan aktivitasnya, peraih gelar doktor filsafat Universitas Jena, Jerman, dan redaktur Rheinische Zeitung itu diusir dari Jerman. Marx pun pindah ke Paris. Di ibukota Prancis inilah Marx bertemu dengan Friederich Engels (1820-1899) yang ternyata memiliki pandangan politik yang sama.

Di paris ini pula Marx mengalami pengusiran lagi. Marx pindah ke Brussel. Di kota inilah, pada 1847 dia pertama kali menerbitkan karya pentingnya yang berjudul “The Proverty of Philosophy”

(Kemiskinan Filsafat). Tahun berikutnya, bersama Engels, dia menerbitkan “Communist Manifesto”, sebuah buku yang akhirnya menjadi bacaan dunia. Pada tahun itu juga Marx kembali ke Jeman, untuk kemudian selang beberapa bulan berikutnya diusir lagi.

Setelah terusir sana-sini, akhirnya Marx menyeberang Selat Channel, dan menetap di London hingga akhir hayatnya. Di ibukota Inggris tersebut, dengan sedikit uang yang diperolehnya dari hasil

pekerjaan jurnalistik, Marx masih menyempatkan diri untuk melakukan penelitian dan penulisan buku-buku tentang ekonomi dan politik.

Marx beruntung memiliki sahabat seperti Engels. Bukan cuma membantu penelitian dan penerbitan buku-buku yang ditulisnya, Engels juga membantu biaya hidup Marx dan keluarganya. Bersama Engels ini pula, Marx menghasilkan karya terpentingnya, Das Kapital.

Dalam menganalisis masyarakat, dalam mengajukan teori, dan menghasilkan karya-karyanya, Marx sangat dipengaruhi pikiran-pikiran George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), seorang filsuf kelahiran Jerman yang berpendapat bahwa sejarah adalah perenungan yang panjang. Siapapun yang mempelajari sejarah dengan mendalam, menurut Hegel, pasti akan menjumpai “aturan-aturan tertentu” yang berlaku dalam sejarah. Yang dimaksud dengan “aturan-aturan tertentu” tersebut adalah pergulatan pemikiran dari satu era dengan era lainnya.

Menurut Hegel, pemikiran-pemikiran yang berada dalam suatu jaman biasanya diajukan atas dasar pemikiran-pemikiran yang telah lebih dahulu diajukan. Keadaan ini akan menimbulkan

“pertentangan” (dialektika) di antara kedua pemikiran itu. ketegangan tersebut akan mencair bila muncul pemikiran ketiga, yang biasanya mengakomodasi hal-hal terbaik yang terdapat di dalam kedua buah pemikiran yang “bertentangan” itu.

Pemikiran pertama biasanya disebut tesa, pemikiran kedua disebut antitesa, dan pemikiran ketiga disebut sebagai sintesa. “Pertentangan” antara tesa dan antitesa, hingga melahirkan sintesa inilah yang dinamai Proses Dialektika.

Dalam dialektika, sintesa yang telah dihasilkan suatu ketika akan menjadi tesa baru, yang berarti juga bahwa suatu saat sintesa tersebut akan berhadap-hadapan dengan pemikiran baru yang menjadi antitesanya, hingga nantinya sintesa yang lebih baru akan muncul, dan begitu seterusnya.

Dari cara berpikir yang dialektis ini pula Marx menganalisis masyarakat pada jamannya. Marx mengurai bahwa dalam seluruh tahapan sejarah selalu ada pertentangan di antara dua kelas

(16)

masyarakat budak) terjadi antara warga bebas dan budak.

Sementara dalam masyarakat feodal, Marx menyatakan, pertentangan terjadi antara para tuan tanah feodal dengan pekerja pengolah lahan. Pertentangan dalam masyarakat feodal berkembang menjadi pertentangan antara kelas bangsawan dengan warganegara biasa.

Pada gilirannya, Marx menelaah pertentangan yang ada di dalam masyarakat pada jaman dia hidup. Marx mengistilahkan masyarakat pada jamannya itu sebagai masyarakat borjuis atau masyarakat kapitalis. Menurut Marx, pertentangan dalam masyarakat borjuis akan terjadi antara kelas pemodal (kapitalis) dengan kelas pekerja (proletar). Dengan kata lain, pertentangan akan terjadi antara kelas pemilik sarana produksi dengan kelas lain yang tak memilikinya.

Pertentangan ini jelas akan menghasilkan keadaan yang tidak akan menguntungkan kelas pekerja, karena kelas pemodal akan terus melestarikan keadaan ini demi keuntungan yang mereka dambakan. Dalam pandangan Marx, kelas pemodal jelas tidak akan mau mengubah keadaan tersebut.

Pertentangan yang justru mengukuhkan dominasi kelas pemodal inlah yang harus segera diakhiri, dan menurut Marx, hal inilah yang menjadi alasan dasar kenapa revolusi harus dijalankan oleh kelas pekerja agar keadaan berubah.

Karena dalam telaah sejarahnya, Marx menyatakan bahwa pertentangan antar-kelas hanya dapat diselesaikan dengan jalan kekerasan atau gerakan radikal, maka Marx dan Engels pun menyerukan agar kaum proletar bersatu, untuk kemudian merebut kekuasaan yang didominasi oleh kapitalis. Seruan Marx dan Engels yang berbunyi, “Kaum Buruh Sedunia Bersatulah” pada masa itu menjadi semboyan yang terkenal tidak hanya bagi kaum buruh tetapi juga bagi para penganut sosialisme. Hingga kini pun semboyan itu masih populer.

Pentingnya persatuan kaum proletar dalam melawan kelas kapitalis, menurut Marx, dikarenakan kapitalisme tidak hanya akan memberi dampak buruk bagi pekerja secara ekonomis, namun juga secara psikis. Dalam pandangan Marx, kapitalisme akan menjadi persoalan bagi esensi kemanusiaan, terutama bagi esensi kemanusiaan buruh. Hal ini, menurut Marx dikarenakan lambat laun

kapitalisme akan menghela kelas pekerja untuk terjerembab masuk ke dalam liang alienasi

(keterasingan). Dalam kapitalisme, semua proses produksi yang harus dijalankan para buruh, justru akan membuat para buruh tidak lagi mengenali jati diri mereka sendiri.

—Teori Alienasi Marx—

Pandangan Marx atas keterasingan pekerja terhadap diri mereka sendiri—sebagai akibat dari kapitalisme—dikenal sebagai teori alienasi. Sedikit-banyak teori ini dipengaruhi oleh Hegel yang sebelumnya mengungkapkan, bahwa ketika kemauan individu gagal beradaptasi dengan kemauan yang lebih besar (dalam hal ini, kemauan masyarakat), maka individu tersebut akan mengalami alienasi (keterasingan).

(17)

untuk dikaji oleh seorang Karl Marx. Sedemikian istimewanya, hingga Marx mengungkapkan hakekat sejarah pada dasarnya adalah hasil buatan manusia melalui pekerjaannya.

Demi terwujudnya revolusi yang dicita-citakan, serta demi memperkuat pentingnya melawan kapitalisme, Marx pun menuding kapitalisme-lah sebagai penyebab terjadinya keterasingan pekerja atas dirinya.

Secara garis besar, agar keinginan kapitalis untuk memacu hasil produksinya tecapai, maka kapitalis akan memacu proses produksi, serta melakukan penekanan upah pekerja. Mau tidak mau, pekerja dengan upah rendah itu akan memacunya dirinya untuk tetap bekerja demi memenuhi

kebutuhannya. Kondisi ini membuat para pekerja tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan aktivitas di luar aktivitas produksi, karena secara tidak langsung aktivitas dan kepentingan pribadinya sangat dipengaruhi oleh kepentingan produksi. Keadaan tersebut akan membuat pekerja menjadi asing dengan beberapa aktivitas yang dulu dikenalinya.

Marx menyatakan, buruh hanya bisa merasakan dirinya jika dia di luar pekerjaannya. Maksud dari pernyataan Marx ini kurang lebih bermakna bahwa pekerja hanya mengenali dirinya pada saat pekerja tersebut tidak berada di dalam waktu produksi, alias pada saat ia tidak bekerja. Lantas bagaimana jika kepentingan produksi yang nota bene merupakan kepentingan kapitalis, makin mempersempit waktu luang para pekerja?

Sempitnya waktu di luar waktu produksi, menurut Marx, akan menyebabkan waktu luang tersebut dimanfaatkan pekerja untuk melakukan hal-hal yang pokok-pokok saja, seperti makan, minum, dan berhubungan seks. Keadaan ini, bagi Marx tidak hanya membuat para pekerja menjadi asing dengan dirinya sendiri, tetapi juga menjadikan para pekerja sebagai “hewan” yang hanya melakukan aktivitas demi memenuhi kebutuhan makan, minum, dan seks.

Selain membuat para pekerja hanya akan melakukan aktivitas yang pokok-pokok saja, kapitalisme juga akan menjauhkan kontribusi para pekerja terhadap kebudayaan, ilmu pengetahuan, serta hal-hal luhur lainnya yang terkadang tidak memiliki nilai ekonomis di hadapan kelas kapitalis

Satu dari sekian perbedaam hewan dan manusia adalah tujuan aktivitasnya. Hewan memiliki tujuan yang lebih sederhana, yakni memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat jasmani. Sementara tujuan manusia lebih kompleks. Selain itu, kualitas diri manusia juga sangat dipengaruhi oleh tujuan dari aktivitas yang dilakoninya. Kualitas diri manusia akan menjadi tinggi bila aktivitas yang

dilakoninya tidak hanya bertujuan memenuhi kebutuhan badaniah semata, tetapi juga diorientasikan untuk kemajuan ras manusia dan tujuan luhur ke-manusia-an lainnya.

(18)

tujuan produksi semata.

Kondisi yang diciptakan kapitalis itulah yang membuat pekerja menjadi asing dengan hasil

pekerjaannya. Keras dan cepatnya laju produksi yang diciptakan kapitalis secara sistematis tersebut, pada gilirannya nanti akan membuat pekerja tidak lagi mempunyai “penghayatan” terhadap hasil kerjanya. Pekerja akan merasa dirinya hanya bekerja untuk menghasilkan sesuatu yang hanya “dimengerti” oleh pemodal yang mempekerjakannya, sehingga pekerja pun menjadi asing dengan pekerjaannya sendiri.

Alienasi (keterasingan) pekerja tersebut tentunya tidak dipedulikan oleh pemilik modal.

Ketidakpedulian ini bersumber dari sudut pandang pemodal yang melihat pekerja hanya sebagai salah satu faktor produksi belaka, sehingga keterasingan yang nantinya menghinggapi pekerja bukan menjadi tanggungjawab yang harus dipikulnya.

Bagi kapitalis, keterasingan yang muncul itu sepenuhnya merupakan urusan buruh. Kalaupun keterasingan tersebut menyebabkan buruh menjadi berkurang produktivitasnya, maka jalan keluar yang dipilih oleh kapitalis adalah dengan memberhentikan buruh yang dihinggapi alienasi itu, lalu menggantinya dengan buruh baru yang lebih produktif. Jalan keluar seperti ini sering dipilih kapitalis, karena kapitalis cenderung memandang buruh tidak sebagai sahabat kerja yang harus dihargai dan dihormati. Kapitalis cenderung memandang buruh hanya sebagai komoditas belaka, atau hanya sebagai makhluk mekanis yang suatu saat bisa diganti bila telah aus dan rusak.

Alasan-alasan munculnya keterasingan-keterasingan yang dilahirkan kapitalisme inilah yang dijadikan dasar bagi Marx untuk meyakinkan kaum proletar dan sosialis untuk bersatu memerangi kapitalisme. Alienasi yang dipastikan Marx bakal menghinggapi pekerja, juga dijadikan dasar bagi Marx untuk membakar semangat para pekerja agar melakukan revolusi.

—Hantu Tengah Membayangi Eropa—

Tidak hanya memberi seruan yang membakar semangat buruh untuk melakukan revolusi, Marx juga meyakinkan kelas pekerja dan penganut sosialisme, bahwa suatu ketika kapitalisme akan hancur dengan sendirinya.

Keyakinan Marx ini didasarkan kepada analisisnya, bahwa pemodal dengan keuntungan yang dimilikinya akan terus memperbanyak jumlah keuntungannya dengan cara terus-menerus memacu proses produksi. Upaya memacu proses produksi ini, ditempuh dengan cara menjadikan laba yang dimiliki kapitalis sebagai modal baru. Lewat laba yang telah berubah jadi modal baru inilah kapitalis akan membeli mesin-mesin dalam jumlah banyak. Mesin-mesin yang banyak tersebut dengan kecanggihannya akan menggantikan buruh, yang pada akhirnya akan berujung kepada peningkatan jumlah pengangguran. Jumlah pengangguran yang tak berimbang dengan angka kebutuhan tenaga kerja tersebut jelas akan dimanfaatkan pemodal untuk mempermainkan upah kerja. Demi perolehan laba, pemodal akan memberikan upah yang kecil.

(19)

Peningkatan jumlah produk yang tak terbeli ini pada gilirannya akan membuat produk-produk tersebut dari hari ke hari kian menumpuk. Penumpukan produk-produk tersebut, akan diperparah dengan biaya pengoperasian mesin yang harus tetap dikeluarkan oleh pemodal. Pada akhirnya, kondisi itu semua akan membangkrutkan pemodal, dan serta-merta meruntuhkan kapitalisme. Menurut Marx, pada waktu kelas pemodal mendekati kebangkrutan karena over produksi, maka pada saat itulah waktu yang tepat bagi kaum proletar untuk menghancurkan kelas pemodal, dan merebut kekuasaan yang telah dikendalikan oleh kapitalis.

Dan, kepada kelas pekerja dan kaum sosialis pada eranya, Marx dan Engels meyakinkan bahwa saat yang tepat untuk menghancurkan kapitalisme itu sudah tiba.

Keyakinan Marx dan Engels atas dekatnya saat-saat kehancuran kapitalisme, serta datangnya waktu yang tepat untuk melakukan revolusi tersebut bisa kita endus dari ungkapan mereka dalam kata pembuka buku Communist Manifesto (1848). “Hantu tengah membayangi Eropa; hantu komunisme”, begitulah bunyi ungkapan Marx dan Engels.

Selain meyakinkan kaum sosialis dan proletar bahwa telah tiba saat yang tepat untuk melakukan penghancuran kapitalisme, Marx dan Engels juga meyakinkan juga meyakinkan kaum proletar dan sosialis bahwa kekerasan merupakan satu-satunya cara yang tepat untuk melaksanakan

penghancuran itu.

—Masyarakat Tanpa Kelas—

Seusai penghancuran kapitalisme dengan paksa, dan setelah perebutan kekuasaan yang didominasi kapitalis, maka masyarakat akan masuk dalam suatu masa yang disebut masa transisi. Dalam masa ini akan muncul kelas baru, yakni kelas proletar yang tidak hanya menekan-paksa kelas pemodal, tetapi juga bergerak merebut kekuasaan. Dan, tentunya kelas proletar akan menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengatur masyarakat serta segenap aspek produksi.

Sesudah itu akan muncul masa diktator proletariat, yakni suatu masa dimana kekuasaan dan semua aspek produksi yang dikuasai kaum proletar dipertahankan dengan cara membentuk partai tunggal yang menjadi satu-satunya jalan sah untuk memasuki ranah kekuasaan—bahkan sangat menentukan kekuasaan—yakni partai komunis. Demi mempertahankan keadaan-keadaan yang telah diraih lewat revolusi kaum proletar tersebut, maka Marx mensyaratkan partai komunis yang dibentuk oleh kaum proletar itu haruslah menjadi partai yang diktator.

Dengan kekuasaan yang sangat dipengaruhi oleh partai komunis yang diktator inilah kaum proletar mengambil-alih segenap aspek produksi, menjalankan pemerintahan, serta menerapkan sistem ekonomi sosialis di dalam suatu negara sosialis ataupun negara komunis.

(20)

masyarakat. Marx berpendapat, dalam kondisi semacam itu para pekerja jauh lebih mengenali hasil kerja mereka. Para pekerja juga jauh memahami mengapa pekerjaan mereka harus dijalankan, untuk apa hasil kerja mereka, dan cita-cita besar apakah yang berada di balik semua aspek produksi yang mereka lakoni.

Selanjutnya, diktator proletariat akan diarahkan menuju sebuah masyarakat yang memiliki tatanan baru. Di dalam tatanan baru itu, kelas-kelas di dalam masyarakat dihapuskan. Di dalam masyarakat yang memiliki tatanan baru tersebut, karena segenap aspek produksi dikuasai secara bersama dan diorientasikan untuk kesejahteraan bersama, maka setiap orang akan dimintai menurut

kemampuannya, dan akan diberi menurut kebutuhannya.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Kitaip tariant, jei vienas iš žaidėjų (pvz., A) laikosi savo optimalios strategijos, o kitas žaidė­ jas (B) kokiu nors būdu nukryps nuo savo opti­ malios strategijos, tai toks

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) yang dicapai oleh karyawan baik dari segi kualitas

Merupakan proses penyokongan bukti terhadap temuan, analisis dan interpretasi data yang telah dilakukan peneliti yang berasal dari: 1) individu (informan) yang berbeda (guru

Dalam penelitian ini jumlah populasi pemilik kuliner pada Kecamatan Utan 21 orang pemilik kuliner sedangkan pada Kecamatan lunyuk 54 orang pemilik kuliner, sedangkan

Berdasarkan hasil uraian tersebut maka tujuan imobilisasi adalah untuk meningkatkan jumlah kelangsungan hidup (viabilitas) bakteri Lactobacillus sp dalam kondisi

Laporan keuangan perseroan menyebutkan, pendapatan naik menjadi Rp12.71 triliun dari pendapatan tahun sebelumnya yang Rp12.47 triliun namun kenaikan beban pokok pendapatan

Peelotnau PcrrLrlisen Kur\ll Ilm[th l, PI ]t)l-l.. analisis data berupa laporan secara rinci tahaptahap analisis data, serta teknik yang dipakai dalam analisis data itu

pemerintah daerah perlu melakukan penetapan Nilai Jual Objek Pajak kembali untuk data-data yang belum dikenakan PBB atau mengupdate data-data yang sudah ada