• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEK MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY TRAINING DAN PENALARAN FORMAL TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEK MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY TRAINING DAN PENALARAN FORMAL TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY TRAINING DAN

PENALARAN FORMAL TERHADAP

KETERAMPILAN PROSES

SAINS SISWA

TESIS

Diajukan dan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Pada Program Studi Pendidikan Fisika

Oleh :

ENI SUMANTI NASUTION NIM : 8146176003

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

(2)
(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

Eni Sumanti Nasution. NIM. 8146176003. Efek Model Pembelajaran inquiry training dan Penalaran Formal Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa. Tesis. Medan: Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, 2016.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : (1) keterampilan proses sains siswa dengan menggunakan pembelajaran inquiry training lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori, (2) keterampilan proses sains siswa pada kelompok siswa yang mempunyai penalaran formal diatas rata-rata lebih baik dibandingkan kelompok siswa yang mempunyai penalaran formal dibawah rata-rata, dan (3) interaksi antara model pembelajaran inquiry training dan pembelajaran ekspositori dengan penalaran formal dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa.

Penelitian merupakan penelitian eksperimen dengan quasi eksperimen dengan desain two group pretes-postest desaign. Populasi Penelitian ini adalah siswa kelas X SMA IT Al-Fityan School Medan. Pemilihan sampel dilakukan secara cluster random sampling. Sampel dibagi dalam dua kelas, kelas eksperimen yang diajarkan dengan model pembelajaran inquiry training dan kelas kontrol diajarkan dengan pembelajaran ekspositori. Instrumen penelitian ini menggunakan tes keterampilan proses sains dalam bentuk observasi dan tes penalaran formal dalam bentuk uraian serta telah dinyatakan valid dan reliabel. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan ANAVA dua jalur.

Hasil penelitian melalui analisis uji hipotesis bahwa ada perbedaan nilai signifikan yang positif antara efek model pembelajaran, penalaran formal terhadap keterampilan proses sains dan efek model pembelajaran dengan penalaran formal terhadap keterampilan proses sains siswa. Kesimpulan menunjukkan bahwan: (1)

model pembelajaran inquiry training lebih baik dibandingkan dengan

pembelajaran ekspositori, (2) keterampilan proses sains siswa pada kelompok siswa dengan penalaran diatas rata-rata lebih baik dibandingkan dengan kelompok siswa dengan penalaran formal dibawah rata-rata, dan (3) terdapat interaksi antara model pembelajaran inquiry training dan penalaran formal dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa.

(6)

ii ABSTRACT

Eni Sumanti Nasution. Roll No. 8146176003. The Effects of Inquiry Training Learning Model and Formal Reasoning on Students’ Science Process Skills. A Thesis. Medan: Post Graduate School, State University of Medan, 2016.

This research aimed to analyze : (1) the students’ science process skills by using inquiry training learning model were better than using expository learning, (2) students’ science process skills in the group of students who had formal reasoning above average were better than those students who had formal reasoning below average, and (3) interaction inquiry training learning model and expository learning model with formal reasoning of the students’ science process skills. This research carried out by a quasi-experimental and desaign was two group pretes-postest desaign. The population of this study was class X SMA IT Al-Fityan School Medan. Sample selection was done by cluster random sampling. Sample devided two class, eksperimen class by using inquiry training learning model and control class by using expository. The instruments of this study used science process skills test in the form of a observations and formal reasoning test in the form of a description which were valid and reliable. The formal reasoning test was in narrative form. The data were analyzed by ANOVA two -ways. The results by analyzed hypothesis tes that there were different significant value postive between effect learning model, formal reasoning to students’s science process skill and effect learning with formal reasoning to students’s science process skill. The Conclusion showed that : (1) The student s’ physics science process skills by using inquiry training learning model were better than learning outcomes of using expository learning model, (2) students’ science process skills in the group of students who had formal reasoning above average were better than the group of students had formal reasoning below average and (3) there were interactions between the inquiry training learning model and expository learning model with formal reasoning in improving students' science process skills.

(7)

iii

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha

Esa kareana atas berkat dan pertolongan-Nya tesis yang berjudul Efek Model

Pembelajaran Inquiry Training dan Penalaran Formal Terhadap Keterampilan

Proses Sains Siswa” dapat selesai ditulis. Penulis menyadari tesis ini dapat

selesai berkat adanya bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk

itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sahyar, M.S., M.M selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Fisika Pascasarjana dan Pembimbing II yang selalu setia memberikan

bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis

ini.

2. Bapak Prof. Dr. Nurdin Bukit, M.Si selaku Pembimbing I yang selalu

memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan

penulisan tesis ini.

3. Ibu Prof. Dr. Retno Dwi Suyanti, M.Si selaku narasumber yang memberikan

masukan guna kesempurnaan tesis ini.

4. Bapak Dr. Ridwan Sani, M.Si selaku narasumber yang memberikan masukan

guna kesempurnaan tesis ini.

5. Ibu Dr. Derlina, M.Si selaku narasumber yang memberikan masukan guna

(8)

iv

6. Bapak Kepala Sekolah SMA IT Al-Fityan School Medan yang telah

memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

7. Seluruh pegawai perpustakaan UNIMED yang telah memberikan kemudahan

dan bantuan kepada penulis dalam pembacaan dan peminjaman buku-buku.

8. Suamiku tercinta Ali Mukmin Hasibuan yang telah memberikan motivasi

dalam penulisan tesis ini.

9. Orangtuaku tercinta Masri Nasution dan Roslina Simatupang yang telah

memberikan segala semangat dan perjuangan hidup yang telah ditanamkan di

jiwaku yang tak pernah lekang waktu. Serta kepada saudara-saudariku yang

telah memberikan dukungan kepada penulis.

10. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Fisika Kelas B Eksekutif

dan adek-adek kosku tercinta.

Doa dan harapan penulis semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan

Penyayang membalas kebaikan dan bantuan yang telah saudara berikan kepada

penulis.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat

kepada para pembacanya.

Medan, Maret 2016

Penulis

(9)

v

2.1.2. Pembelajaran Ekspositori 20

2.1.2.1 Pengertian Pembelajaran Ekspositori 20

2.1.2.2 Fase-fase Pembelajaran Ekspositori 22

2.1.2.3 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Ekspositori 23

2.1.3. Model Pembelajaran Inquiry Training 24

2.1.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Inquiry Training 24 2.1.3.2 Sintaks Model Pembelajaran Inquiry Training 27 2.1.3.3 Dampak Instruksional Model Inquiry Training 30 2.1.3.4 Keunggulan dan Kelemahan model Inquiry Training 31

2.1.4. Penalaran Formal 33

2.1.4.1 Pengertian Penalaran Formal 33

2.1.4.2 Indikator Penalaran Formal 34

2,1,5. Keterampilan Proses Sains 37

2.1.5.1 Pengertian Sains 37

2.1.5.2 Pengertian Keterampilan Proses Sains 39

2.1.2.3 Indikator Keterampilan Proses Sains 41

2.1.6. Teori Belajar yang Mendukung Inquiry Training 46

2.1.6.1 Teori Belajar Konstruktivisme 48

2.1.6.2 Teori Belajar Jerome S. Brunner 50

2.1.6.3 Teori Belajar Piaget 51

2.1.6.4 Teori Belajar M. Gagne 53

2.1.7. Penelitian yang Relevan 58

2.2 Kerangka Konseptual 63

(10)

vi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 70

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 70

3.2 Populasi dan Sample 70

3.2.1 Populasi Penelitian 70

3.2.2 Sampel Penelitian 71

3.3 Jenis dan Desain Penelitian 71

3.3.1 Jenis Penelitian 71

3.3.2 Desain Penelitian 71

3.4 Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian 74

3.5 Variabel Penelitian 76

3.6 Instrumen Penelitian 77

3.6.1. Instrumen Keterampilan Proses Sains 77

3.6.1.1 Hasil Uji Coba Instrumen 81

3.6.1.2 Reliabilitas Tes Keterampilan Proses Sains 84 3.6.1.3 Tingkat Kesukaran Keterampilan Proses Sains 86 3.6.1.4 Daya Beda Tes Keterampilan Proses Sains 87

3.6.2. Instrumen Penalaran Formal 89

3.7 Teknik Analisis Data 90

3.7.1. Simpangan Baku 91

3.7.2. Uji Normalitas Data 91

3.7.3. Uji Homogenitas Data 92

3.7.4. Uji Hipotesis 93

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian 95

4.1.1 Deskripsi Hasil Penelitian 95

4.1.2. Analisis Statistika Data Hasil Penelitian Pretes 95

4.1.2.1 Deskripsi Data Pretes 95

4.1.2.2 Uji Normalitas 98

4.1.2.3 Uji Homogenitas 98

4.1.2.4 Uji Kemampuan Awal Keterampilan Proses Sains 99 4.1.3 Analisis Statistika Data Hasil Penelitian Postes 100 4.1.3.1 Perlakuan dalam Pelaksanaan Penelitian 100 4.1.3.2 Deskripsi Data Postes Keterampilan Proses Sains 104

4.1.3.3 Uji Normalitas 107

4.1.3.4 Uji Homogenitas 107

4.1.4 Hasil Instrumen Penalaran Formal 108

4.1.5 Analisis Hasil Penelitian 111

4.1.5.1 Analisis Data Postes Keterampilan Proses Sains 111 4.1.5.2 Analisis Data Keterampilan Proses Sains Berdasarkan 112

Tingkat Kemampuan Penalaran Formal

4.2 Pengujian Hipotesis 113

4.3. Pembahasan Hasil Penelitian 125

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(11)

vii

5.2. Saran 137

(12)
(13)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Fase-fase Pembelajaran Ekspositori 22

Tabel 2.2 Fase-fase Model Pembelajaran Inquiry Training 28

Tabel 2.3 Indikator dan Subindikator Keterampilan Proses

Sains 43

Tabel 2.4 Tahap-tahap Perkembangan Kognisi Menurut

Piaget 52

Tabel 2.5 Penelitian yang mengangkat Model Pembelajaran

Inquiry Training 58

Tabel 3.1. Control Grup Pretest-Posttest Design 72

Tabel 3.2 Desain Penelitian Anava 2 Jalur 72

Tabel 3.3 Kisi-kisi Keterampilan Proses Sains 78

Tabel 3.4 Rubrik Penilaian Keterampilan Proses Sains 79

Tabel 3.5 Validitas Tes Keterampilan Proses Sains 83

Tabel 3.6 Realibilitas Tes Keterampilan Proses Sains 86

Tabel 3.7 Tingkat Kesukaran 87

Tabel 3.8 Daya Beda 88

Tabel 3.9 Rubrik Penilaian Instrumen Penalaran Formal 89

Tabel 3.10 Kisi-Kisi Soal Penalaran Formal 90

Tabel 4.1 Data Pretes Kemampuan Keterampilan Proses Sains 96

Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Pretes 98

Tabel 4.3 Uji Homogenitas Data Pretes 99

Tabel 4.4 Uji Kesamaan Pretes Keterampilan Proses Sains 100

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Tabel 4.5 Nilai Postes Keterampilan Proses Sains Pada Kelas Kontrol 105

Dan Kelas Eksperimen

Tabel 4.6 Normalitas Distribusi Postes Kelas Eksperimen dan 107

Kelas Kontrol

Tabel 4.7 Homogenitas Dua Varians Tes Akhir (Postes) Kelas 108

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

(14)

ix Eksperimen dan Kelas Kontrol

Tabel 4.9 Keterampilan Proses Sains Siswa Berdasarkan Tingkat 110

Penalaran Formal

Tabel 4.10 Analisis Data Keterampilan Proses Sains Berdasarkan 112

Tingkat Kemampuan Penalaran Formal

Tabel 4.11 Hasil Uji Anava Dua Jalur 114

Tabel 4.12 Data Faktor Antar Subjek 115

Tabel 4.13Uji Homogenitas Antar Kelompok 115

Tabel 4.14 Statistik Deksriptif Anava 116

Tabel 4.15 Uji Anava 117

(15)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Model Inkuiri Suchman 26

Gambar 2.2 Dampak Model Pembelajaran Inquiry Training 31

Gambar 2.3 Fase-fase Kegiatan/peristiwa Belajar 54

Gambar 3.1 Bagan Alur Pelaksanaan Penelitian 76

Gambar 4.1 Histogram Data Pretes Kelas Kontrol 97

Gambar 4.2 Histogram Data Pretes Kelas Eksperimen 97

Gambar 4.3 Hasil Data Observasi Keterampilan Proses Sains Siswa 102

Gambar 4.4 Nilai Rata-rata Uji Lembar Kerja Siswa 103

Gambar 4.5 Histogram Data Postes Kelas Kontrol 106

Gambar 4.6 Histogram Data Postes Kelas Eksperimen 107

Gambar 4.7 Diagram Postes dan Pretes Kelas Eksperimen dan 111 Kontrol

Gambar 4.8 Pola Garis Interaksi Antara Model Pembelajaran 122 Dan Penalaran Formal Siswa Terhadap Keterampilan

Proses Sains

Gambar 4.9 Hubungan model pembelajaran dengan nilai rata-rata 126 KPS

Gambar 4.10 Hubungan Tingkat Penalaran Formal dengan nilai

rata-rata KPS 130

Gambar 4.11 Hubungan Model Pembelajaran dengan nilai rata-rata 132 KPS yang memiliki Penalaran Formal diatas rata-rata

(16)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Silabus Pembelajaran 144

Lampiran 2. RPP Pertemuan I 146

Lampiran 3. Bahan Ajar I Pengaruh Kalor Terhadap Suhu 155

Lampiran 4. LKS I 166

Lampiran 5. RPP Pertemuan II 172

Lampiran 6. Bahan Ajar II Perubahan Wujud Zat 182

Lampiran 7. LKS II 191

Lampiran 8. RPP Pertemuan III 196

Lampiran 9. Bahan Ajar III Asas Black dan Perpindahan

Kalor 206

Lampiran 10. LKS III 215

Lampiran 11. Instrumen Keterampilan Proses Sains 223

Lampiran 12. Instrumen Penalaran Formal 228

Lampiran 13. Tabel Sebaran Data Uji Coba Keterampilan Proses Sains 233 Lampiran 14. Uji Validasi Tes Keterampilan Proses Sains 234

Lampiran 15. Realibilitas 237

Lampiran 16 Tabel Tingkat Kesukaran Keterampilan Proses Sains 238 Lampiran 17. Tabel Penolong Daya Beda Keterampilan Proses Sains 239 Lampiran 18 Tabulasi Hasil Jawaban Penalaran Formal Eksperimen 240 Lampiran 19 Tabulasi Hasil Jawaban Penalaran Formal Kontrol 241 Lampiran 20. Tabulasi Hasil Jawaban Pretes Kelas Kontrol 242 Lampiran 21. Tabulasi Hasil Jawaban Pretes Kelas Eksperimen 243 Lampiran 22. Tabulasi Hasil Jawaban Postes Kelas Kontrol 244 Lampiran 23. Tabulasi Hasil Jawaban Postes Kelas Eksperimen 245 Lampiran 24. Deskriptif Statistik Data Penelitian 246

Lampiran 25. Uji Normalitas 249

Lampiran 26. Uji Homogenitas 250

Lampiran 27. Uji Kesamaan Sample Tes 251

Lampiran 28 Uji Anava dua jalur 252

Lampiran 29. Uji Scheeff 253

Lampiran 30. Rubrik Penilaian Kriteria Penilaian Keterampilan 254 Proses Sains

Lampiran 31. Rekap Nilai Lembar Kegiatan Siswa Setiap Pertemuan 259 Lampiran 32 Rekap Nilai Observasi Aktivitas KPS Setiap Pertemuan 260

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Prof. Langeveld seorang ahli pedagogik dari negeri Belanda

mengemukakan batasan pendidikan, bahwa pendidikan ialah suatu bimbingan

yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk

mencapai tujuan, yaitu kedewasaan. Bimbingan ada beberapa aspek yang

berhubungan dengan usaha pendidikan, yaitu bimbingan sebagai suatu proses,

orang dewasa sebagai pendidik, anak sebagai manusia yang belum dewasa, dan

yang terakhir adalah tujuan pendidikan. Dengan menggunakan istilah bimbingan,

secara filosofi bahwa pendidikan itu merupakan suatu usaha yang disadari, bukan

suatu perbuatan serampangan begitu saja, harus dipertimbangkan segala akibat

dari perbuatan pendidikan itu (Salam, 2011).

Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia

yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau

perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan

dengan perubahan kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada

semua tingkat perlu terus menerus dilakukan antisipasi kepentingan masa depan

(Trianto, 2011).

Pendidikan merupakan proses yang dilakukan dalam mentransfer atau

mengalihkan nilai-nilai, pandangan hidup, visi, misi, kepercayaan, kebudayaan,

(18)

2

teknologi kepada generasi muda sehingga komunikasi sosial antara generasi tua

tua dan generasi muda dapat berjalan dengan lancar (Jamaris, 2013).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu

proses manusiawi berupa tindakan komunikatif, dialogis, transformatif antara

peserta didik dan pendidik yang bertujuan etis, yaitu membantu pengembangan

kepribadian peserta didik seutuhnya dalam konteks lingkungan ilmiah dan

kebudayaan yang berkeadaban. Oleh sebab itu, pendidikan adalah usaha sadar

yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar

peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spritual keagaamaan, pengendalian diri, kecerdasarn, akhak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dewasa ini, kita lihat bahwa sebagian besar pola pembelajaran masih

bersifat transmisif, pengajar mentransfer menggerojokkan konsep-konsep secara

langsung pada peserta didik. Dalam pandangan ini, siswa secara pasif menyerap

struktur pengetahuan yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku

pelajaran. Pembelajaran hanya sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip, dan

keterampilan kepada siswa (Clement & Battista, 2001). Senada dengan itu,

Soedjadi (2000) menyatakan, bahwa dalam kurikulum sekolah di Indonesia

terutama mata pelajaran eksak (matematika, fisika, kimia) dan dalam

pengajarannya selama ini terpatri kebiasaan dengan sajian pembelajaran sebagai

berikut : (1) Diajarkan teori/teorema/defenisi; (2) Diberikan contoh-contoh; dan

(3) diberikan latihan soal-soal (Trianto, 2011).

Berdasarkan hasil survei pendahuluan peneliti yang telah dilakukan dari

(19)

3

ditemukan bahwasanya dalam kegiatan belajar mengajar siswa dalam kelas

ternyata sebanyak 54,8 % menyatakan pembelajaran langsung dengan mencatat

dari guru yang bersangkutan dan mengerjakan soal-soal sebesar 45,16%,

menyatakan diskusi dan tanya jawab berupa kuis untuk penambahan nilai berupa

review terhadap pelajaran sebelumnya yang diberikan berupa soal-soal fisika

sebanyak 20%, dan untuk praktikum berdasarkan hasil angket menyatakan jarang

dilakukan oleh guru yang bersangkutan.

Proses pembelajaran yang seperti ini merupakan proses pembelajaran

dengan pendekatan Teaching learning center, yang artinya guru lebih dominan

dan aktif saat proses pembelajaran langsung. Sedangkan siswa hanya mencatat,

mendengar dan memperhatikan atau secara sederhananya siswa menjadi pasif dan

dibebankan menyelesaikan permasalahan yang merupakan permasalahan

perhitungan. Sehingga siswa lebih ditekan dalam penguasaan matematis. Fisika

merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah menengah atas yang sering

dikeluhkan kesulitannya. Kemampuan siswa dalam memahami pelajaran fisika

masih dalam kategori rendah. Rata-rata siswa Indonesia hanya mempunyai

pengetahuan dasar matematika tetapi tidak cukup untuk memecahkan masalah

rutin (manipulasi bentuk, memilih strategi, dan sebagainya) dan masalah non-rutin

(penalaran inuitif dan induktif berdasarkan pola dan kerugelaran), selain itu siswa

Indonesia belum mampu menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak.

Proses pembelajaran dengan pendekatan Teaching Learning Center seperti

ini yang kemudian menghambat keterampilan poses sains siswa. Karena siswa

tidak difasilitasi dalam mengembangkan keterampilannya dalam proses sains.

(20)

4

ilmiah. Selain itu, IPA dipandang pula sebagai proses, sebagai produk, dan

sebagai prosedur. Secara khusus fungsi dan tujuan IPA berdasarkan kurikulum

berbasis kompetensi (Depdiknas, 2003) adalah sebagai berikut : (1) menanamkan

keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) mengembangkan keterampilan,

sikap, dan nilai ilmiah, (3) mempersiapkan siswa menjadi warga negar yang

melek sains dan teknologi, (4) menguasai konsep sains untuk bekal hidup di

masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi (Trianto, 2013).

Keterampilan proses sains melibatkan keterampilan intelektual, manual,

dan sosial yang digunakan untuk membangun pemahaman terhadap suatu konsep

atau gagasan/pengetahuan dan meyakinkan atau menyempurnakan pemahaman

yang sudah terbentuk. Hal ini penting dimiliki oleh setiap individu sebagai modal

dasar seseorang agar memecahkan masalah hidupnya dalam kehidupan sehari-hari

(Dahar, 1996). Siswa sebagai subyek dan sekaligus obyek pembelajaran

hendaknya memiliki kemampuan dan tersebut (meliputi kemampuan/keterampilan

dalam melakukan pengamatan, klasifikasi, pengukuran, menyusun hipotesis,

merancang serta melakukan eksperimen, menarik kesimpulan, meramalkan, dan

mengkomunikasikan hasil eksperimen) (Menda, 2014).

Keterampilan proses sains harus dilatihkan agar siswa dapat berpikir

kreatif dan lebih memahami sains. Fisika dengan karakteristiknya merupakan

salah satu media yang cukup baik dalam melatih kemampuan keterampilan proses

sains tersebut. Kompetensi sains pada jenjang pendidikan SMA yang ingin

dicapai adalah mampu mengalami proses pembentukan dan melakukan inquiry

(21)

5

Dari data percobaan untuk tes pendahuluan untuk melihat hasil

keterampilan siswa pada SMA IT AL-Fityan dari 31 orang siswa yang telah di uji

coba, diperoleh bahwa untuk indikator paling tinggi terdapat 24 % yang

menjawab betul, disusul oleh hipotesis terhadap suatu percobaan sebanyak 19%,

kemudian mengklasifikasikan suatu data terdapat 15 %, dalam menerapkan

konsep keterampilan sains dalam kehidupan sehari-hari adalah 11%, untuk proses

mengamati, merancang percobaan, meramalkan, menyimpulkan dan

mengkomunikasikankan sangat rendah yaitu berada dibawah 5 % bahkan ada

yang 0 %. Untuk hasil belajar dari keseluruhan siswa dari nilai Kriteria

Ketuntasan Minimal (KKM) yang diberikan oleh guru bidang studi sebesar 75 %,

maka dari hasil observasi didapatkan untuk nilai KKM-nya sangat rendah yaitu 9

%. Ini dapat dilihat dari data observasi siswa bahwa cukup memuaskan adalah

3,22 % (nilai antara 60-50), 48,38 % untuk kriteria kurang memuaskan (nilai

40-30), tidak memuaskan adalah 48,38 % (nilai 20-10). Dari data tersebut tidak ada

seorang siswa yang bisa mencapai KKM yang telah diterapkan oleh sekolah.

Masih berdasarkan studi pendahuluan, ternyata rendahnya keterampilan

proses sains siswa disebabkan bahwa tidak tertariknya siswa kepada pelajaran

materi fisika, dimana dari 31 orang siswa yang telah diberikan angket terdapat

beberapa mata pelajaran yang tidak disukai diantaranya : Bahasa inggris 25,81 %,

Fisika 22,58 % (disini dengan catatan yang sebagaian suka hanya berupa

prakteknya saja untuk masalah konsep mereka tidak menyukainya), Matematika

19,35 %, seni budaya 12,9%, Bahasa Arab dan Kimia adalah 6,45 %, Biologi dan

(22)

6

tersebut yang lebih menggemari mata pelajaran yang dapat dipraktekkan

langsung.

Ketidaktertarikan dari siswa ini dapat dilihat bahwa berdasarkan angket

yang disebarkan bahwa mereka tidak suka dengan penyampaian materi, karena

menurut dari siswa tersebut materi yang dijelaskan berbelit-belit hanya diterapkan

melalui penjelasan materi berupa rumus-rumus dari fisika yang kemudian

diarahkan untuk mengerjakan soal-soal materi yang ada. Disamping itu dalam

pembelajaran fisika jarang dilakukannya praktikum di sekolah oleh guru yang

bersangkutan dan tidak adanya Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Berdasarkan hasil

angket untuk media pembelajarannya melalui buku paket yang ada disekolah

sebesar 58,06%, internet sebesar 32,26 %, catatan guru sebesar 12,9%, guru fisika

yang lain sebesar 12,9% dan dari artikel 6,4 %.’

Berdasarkan data dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada

tahun 2011 jumlah sekolah menengah atas 11.306 tersebar di seluruh Indonesia,

dari jumlah tersebut sebagian berada di daerah-daerah terpencil atau kepulauan

yang sulit transportasi dan sarana pendukung lainnya . Pada umumnya

sekolah-sekolah tersebut sangat kurang sarana dan prasarana khususnya peralatan

laboratorium IPA, sedangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan mewajibkan

ujian praktik bagi mata pelajaran IPA (Fisika, Kimia dan Biologi). Menurut

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP : 2006), Sekolah Menengah

Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) harus memiliki sarana: perabot, peralatan

pendidikan, media, bahan habis pakai, dan perlengkapan lainnya, serta prasarana

laboratorium. Adapun kondisi Laboratorium IPA 8.886 SMA Negeri/Swasta

(23)

7

memiliki laboratorium IPA (2 Laboratorium terpisah) 18,62%, memiliki

laboratorium fisika, biologi, kimia (3 laboratorium terpisah) 24,18%, memiliki

laboratorium IPA 69%, dan belum memiliki laboratorium IPA 31%. Kondisi

gedung laboratorium IPA baik 41%, rusak berat 33%, rusak ringan 26%. Keadaan

alat/ bahan lengkap 27%, dan belum lengkap 73%. Penggunaan laboratorium IPA

dengan frekuensi tinggi 36%, Sedang 31%, rendah 33%. Memiliki laboran IPA

17,72% (Suprayitno, 2011).

Berdasarkan uraian mengenai penelitian Balitbag Depdiknas diatas

mengenai laboratorium, setelah peneliti melakukan wawancara dengan Bapak

Solikin, S.Pd yang telah dilakukan di sekolah SMA IT Al-Fityan Medan,

menjelaskan kondisi dan alat praktikum IPA terutama fisika di SMA IT Al-Fityan

adalah 80 % baik. Adapun dalam pelaksanaan laboratorium jarang dilakukan oleh

guru untuk melatih keterampilan proses sains siswa, disamping itu penggunaan

LKS siswa hanya dilakukan berdasarkan buku paket yang ada.

Adapun dalam proses pembelajaran yang dilakukan setelah dilakukan

wawancara dengan guru fisika di SMA Al-Fityan adalah dalam pembelajaran

fisika kendala yang dihadapi oleh siswa adalah kurangnya matematika siswa

sehingga ketika mengerjakan soal siswa mengalami kesulitan. Disamping itu

dalam melakukan proses pembelajaran guru masih menggunakan model

ekpositori yang berupa pengajaran langsung ataupun disebut juga dengan

ceramah.

Penalaran formal penting untuk meningkatkan keterampilan proses sains

(24)

8

menentukan hubungan sebab akibat dalam memecahkan suatu permasalahan

(Baird, et al., 1985).

Pengertian penalaran formal secara luas adalah kemampuan bernalar

abstrak yang penting untuk mengerti banyak konsep dan prinsip ilmu dan

membuat keputusan dalam suatu permasalahan umum (Yan, 1996). Penalaran

sangat diperlukan oleh siswa dalam memecahkan suatu masalah yang

dihadapinya. Penalaran hipotesis-deduktif yaitu peneliti dalam proses

memecahkan suatu masalah mengikuti proses penelitian dimana pertama kali

dihadapkan dari suatu permasalahan baru. Artinya ketika mereka dihadapkan

dengan masalah, mereka akan menggunakan suatu penalaran hipotesis-deduktif

(Gillani, 2010). Berdasarkan hasil dari soal yang telah dilakukan kepada siswa

berupa soal penalaran hanya 5 % rata-rata hasil belajar siswa dari target yang

dibuat sekolah sebesar 75%.

Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu

kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran ini menghasilkan pengetahuan yang

dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan perasaan, meskipun seperti yang

dikatakan Pascal, hatipun mempunyai logika tersendiri (Jujun, 2010). Penalaran

adalah suatu metode penalaran induktif dan deduktif yang dikembangkan berupa

test hipotesis. Perkembangan penalaran ini berhubungan dengan pengetahuan

berupa fakta (Thoron dan Myers, 2012).

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu pendekatan

pembelajaran yang tepat dan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran

akan lebih bermakna dan informasi yang didapatkan akan bertahan lebih lama,

(25)

9

dipelajari (Dahar, 2006). Hal ini akan sesuai dengan pandangan konstruktivisme

yang mengungkapkan bahwa keberhasilan belajar tidak hanya tergantung pada

lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pengetahuan siswa.

Battencourt (1989) menyatakan “ pengetahuan bukanlah suatu imitasi dari

kenyataan, dan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada”. Pengetahuan

selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi

melalui serangkaian aktivitas seseorang. Seseorang (pebelajar) membentuk

skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk

pengetahuan (Hamid, 2014).

Pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses

interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan

terpatah-patah, terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir,

bersambung-sambung, menyeluruh.(Uno, 2008).

Dalam proses pembelajaran dalam membangun pengetahuannya guru

mengambil peranan berupa menghidupkan interaksi, yaitu menjadi motor dari

proses belajar mengajar. Guru menjadi motivasi (pemberi dorongan), guru juga

menjelaskan, dan sebagainya. Guru merupakan tokoh utama dalam interaksi,

dialah memulai, memimpin proses, menghentikan proses (Sadulloh, 2011).

Menurut pandangan konstruktivisme, dalam pembelajaran siswa belajar

membangun pengetahuannya sendiri. Salah satunya adalah pada inquiry yang

merupakan salah satu model pembelajaran yang merujuk pada paham

konstruktivisme. Model inquiry adalah menggambarkan tentang mengajar dan

belajar ilmu pengetahuan. Menurut NSES Inquiry adalah mengacu kepada

(26)

10

berasal dari penelitian. Kegiatan ini mengacu pada kegiatan siswa dalam

mengembangkan dan pemahaman tentang ide ilmiah (Colburn, 2000). Salah satu

jenis model pembelajaran inquiry adalah model pembelajaran inquiry training.

Model pembelajaran inquiry training adalah model yang mengajarkan siswa

tentang proses dalam meneliti dan menjelaskan fenomena asing. Model Suchman

ini melibatkan siswa dalam versi-versi kecil tentang jenis-jenis prosedur yang

digunakan oleh para sarjana untuk mengolah pengetahuan dan menghasilkan

prinsip-prinsip. Didasarkan pada konsepsi metode ilmiah, model ini mencoba

mengajarkan siswa beberapa keterampilan dan bahasa penelitian ilmiah.

Kegiatan-kegiatan inquiry training terdiri dari (1) menghadapkan pada masalah, (2)

Pengumpulan data-verifikasi, (3) Pengumpulan Data-Eksperimentasi, (4)

Mengolah, memformulasikan suatu penjelasan, dan (5) Analisis Proses Penelitian

(Joyce, et al., 2009).

Menurut Eruce & Weil dalam Hosnan (2014) menyebutkan “latihan

inquiry dapat menambah pengetahuan sains, menghasilkan berpikir kreatif, keterampilan dalam memperoleh dan menganalisis data”. Menurut Rilley (1971)

Model inquiry training dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa

melalui keterampilan berupa observasi, inference, pengukuran, klasifikasi dan

komunikasi.

Disamping itu model pembelajaran inquiry training dapat meningkatkan

kualitas pembelajaran dan perkembangan kognitif siswa dengan cara siswa

dihadapkan dengan masalah, mengajarkan siswa tentang proses dan prosedur

seperti perencanaan dan komunikasi yang kompleks dan mendukung penelitian

(27)

11

Model inquiry training ini dapat meningkatkan nilai dan sikap ilmiah

termasuk dalam proses keterampilan (mengamati, mengumpulkan dan

mengorganisasi data, mengidentifikasi dan mengontrol variabel, merumuskan dan

menguji hipotesis dan penjelasan, menyimpulkan), belajar mandiri dan aktif,

toleransi ambiguitas dan berpikir logis (Jacinta dan Nkasiobi, 2011).

Hasil penelitian utama dari model inquiry training adalah proses-proses

yang melibatkan aktivitas observasi, mengumpulkan, mengolah data,

mengidentifikasi, mengontrol variabel, membuat dan menguji hipotesis,

merumuskan penjelasan. Dengan demikian model ini memadukan beberapa

keterampilan memproses kedalam satu unit pengalaman yang bermakna.

disamping itu juga model ini juga dapat meningkatkan keberanian siswa dalam

mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehingga siswa lebih terampil dalam ekspresi

verbal dalam mendengarkan dan mengingat apa yang diutarakan (Joyce, et al.,

2009).

Richard Suchman dalam Wiyanto (2006), menyatakan Pendekatan inquiry

training dapat menganilisis metode yang biasa dikerjakan oleh peneliti, khususnya oleh ilmuwan fisika. Setelah ia mengidentifikasi elemen-elemen dalam proses

inquiry yang biasa dilakukan oleh ilmuwan, kemudian Suchman mengimplementasikannya dalam model pembelajaran dan menunjukkan

keefektifan itu didalam laboratorium.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran inquiry training dapat meningkatkan keterampilan proses sains

siswa karena dalam inquiry ini melibatkan proses-proses berupa observasi,

(28)

12

menggambarkan kesimpulan yang dapat menjadikan siswa menjadi terampil

dalam memperoleh dan menganalisis informasi dalam mencari jawaban atas suatu

permasalahan.

Adapun penalaran ilmiah didefenisikan secara luas termasuk pemikiran,

keterampilan penalaran yang diperlukan dalam tahap inquiry berupa eksperimen,

evaluasi, inferensi, argumentasi yang mendukung dan memodifikasi konsep teori

pengetahuan IPA dan sosial. Dua jenis dari pengetahuan tersebut adalah

pengetahuan khusus dan pengetahuan umum yang telah banyak diteliti (Bao,

et.al., 2009).

Dari pendapat ahli tersebut maka inquiry training dapat meningkatkan

penalaran formal siswa dimana peneliti dalam proses memecahkan suatu masalah

mengikuti proses penelitian berupa eksperimen, evaluasi, inferensi, argumentasi,

mereka akan menggunakan suatu penalaran hipotesis-deduktive.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan sebelumnya

antara lain : (1) model pembelajaran inquiry training dengan menggunakan media

sangat membantu dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa dan lebih

baik daripada model konvensional berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh,

(2014) Sakdiah, Fatmi dan Rizal, (2) model pembelajaran inquiry training dapat

meningkatkan hasil belajar fisika siswa pada materi usaha dan energi MTsN 3

Medan sebagaimana yang diteliti oleh Ratna Sirait (2012), (3) Inquiry terbimbing

dapat juga mengembangkan keterampilan proses sains siswa dalam hal ini

peneliti melakukan dengan pembelajarannya melalui praktikum seperti yang

diteliti oleh Endah dan Kurniawa (2010), (4) penalaran dinyatakan penalaran

(29)

13

pembelajaran inquiry dan bisa memperkuat hasil belajar siswa dibandingkan

dengan penalaran siswa yang dilakukan dalam penguasaan konsep fisika siswa

(Wirtha dan Rapi, 2008; Suma, 2012; Susanti, 2012).

Berdasarkan uraian latar belakang diatas kemudian peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai model pembelajaran inquiry training, dengan

judul “ Efek Model Pembelajaran Inquiry Training dan Penalaran Formal

Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa”.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat diidentifikasi

beberapa masalah sebagai berikut :

1) Keterampilan Proses sains siswa sangat rendah, hal ini ditandai dengan hasil

belajar yang telah diujicoba pada siswa pada tingkat tidak memuaskan

48,38%.

2) Penalaran Formal Fisika siswa rendah ini dibuktikan dengan rendahnya siswa

dalam menalar, menyimpulkan dan mengkomunikasikan suatu permasalahan

fisika.

3) Materi pelajaran fisika kurang diminati, siswa lebih berminat kepada

pembelajaran praktek.

4) Kegiatan belajar mengajar yang menjemukan yang hanya terpaku kepada

mencatat dan mengerjakan soal.

5) Sebagian besar media yang digunakan masih kurang karena dari hasil data

yang diperoleh menyatakan media yang digunakan adalah dari buku paket

(30)

14

6) Kurangnya waktu untuk praktikum fisika dan dimana LKS yang digunakan

hanya berasal dari buku paket siswa.

7) Dalam mengajar guru kurang kreatif dalam menerapkan model pembelajaran

apa yang seharusnya digunakan dalam suatu pembelajaran fisika.

8) Adanya kesalahan konsep fisika dari guru, dimana menurut pendapat guru

bahwa fisika itu menjadi kendala karena lemahnya matematika dari seorang

siswa tersebut.

1.3. Pembatasan Masalah

Setiap aspek dalam pembelajaran Fisika mempunyai ruang lingkup yang

sangat luas, agar tidak terlalu melebar, perlu pembatasan masalah dalam

penelitian ini agar lebih fokus, maka batasan masalahnya adalah :

1. Pembelajaran yang digunakan adalah Model pembelajaran Inquiry training

pada kelas eksperimen dan pembelajaran ekspositoripada kelas kontrol.

2. Dalam penelitian ini digunakan penalaran formal sebagai moderator dalam

penelitian.

3. Hasil belajar berupa pengetahuan keterampilan proses sains siswa.

1.4. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukan pada latar belakang masalah maka

permasalahan utama pada penelitian ini adalah :

1) Apakah keterampilan proses sains siswa antara kelas yang menggunakan

model pembelajaran inquiry training lebih baik dibandingkan dengan kelas

(31)

15

2) Apakah keterampilan proses sains siswa antara kelompok siswa yang

memiliki penalaran formal di atas rata-rata lebih baik dibandingkan dengan

kelompok siswa yang memiliki penalaran formal di bawah rata-rata?

3) Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran inquiry training dan

pembelajaran ekspositori dengan penalaran formal dalam meningkatkan

keterampilan proses sains siswa?

1.5. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Untuk menganalisis keterampilan proses sains antara kelas yang

menggunakan model pembelajaran inquiry training lebih baik dibandingkan

dengan kelas yang menggunakan pembelajaran ekspositori.

2) Untuk menganalisis keterampilan proses sains antara siswa yang memiliki

penalaran formal di atas rata-rata lebih baik dibandingkan dengan yang

memiliki penalaran formal di bawah rata-rata.

3) Untuk menganalisis interaksi antara model pembelajaran inquiry training

dan pembelajaran ekspositori dengan penalaran formal siswa dalam

meningkatkan keterampilan proses sains siswa.

1.6.Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara

teoritis dan praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat

(32)

16

pembelajaran inquiry training dalam meningkatkan keterampilan proses sains

siswa. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1) Manfaat Teoritis

a. Memberikan inspirasi dalam mengembangkan model-model pembelajaran

kreatif dan inovatif fisika untuk meningkatkan pengetahuan keterampilan

proses sains siswa

b. Mengembangkan penalaran formal siswa untuk meningkatkan

keterampilan proses sains siwa melalui model pembelajaran inquiry

training.

2) Manfaat Praktis

a. Untuk guru, sebagai informasi untuk menerapkan model pembelajaran

inquiry training

b. Untuk siswa, untuk membantu siswa agar termotivasi untuk terus

meningkatkan pengetahuan keterampilan proses sains siswa khususnya

bagi pelajaran fisika.

c. Untuk sekolah, sebagai informasi untuk menerapkan model pembelajaran

(33)

17

1.7. Defenisi Operasional

Untuk memberikan konsep yang sama dan menghindari kesalahan penafsiran

terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan

defenisi operasional sebagai berikut :

1) Pembelajaran ekspositori suatu kegiatan pembelajaran yang menekankan

kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang pendidik

kepada sekelompok peserta didik dengan maksud agar peserta didik dapat

menguasai materi pelajaran secara optimal.

2) Model pembelajaran inquiry training adalah model pembelajaran yang

menekankan pada proses berfikir kritis dan analisis dalam mencari dan

menemukan jawaban permasalahannya dengan menggunakan prosedur

ilmiah, mulai dari menemukan masalah, mengajukan hipotesis sampai

menemukan jawaban dari permasalahan yang dihadapinya.

3) Penalaran formal adalah kapasitas siswa untuk melakukan operasi-operasi

formal yang meliputi penalaran proporsional, pengontrolan variabel,

probabilistik, korelasi dan kombinatorial.

4) Keterampilan proses sains adalah kemampuan siswa untuk menerapkan

metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan dan menemukan ilmu

pengetahuan dimana dalam proses pembelajaran yang memberi kesempatan

kepada siswa agar dapat menemukan fakta, membangun konsep-konsep

melalui kegiatan atau pengalaman dalam melaksanakan kegiatan belajar

(34)

136

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di uraikan pada bab sebelumnya,

maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Keterampilan proses sains fisika siswa menggunakan pembelajaran inquiry

training lebih baik dibandingkan dengan kemampuan keterampilan proses

sains siswa menggunakan model pembelajaran ekspositori. Berdasarkan data

dari nilai rata-rata siswa pembelajaran inquiry training sebesar 78,61 untuk

kelas ekspositori 66,94.

2. Keterampilan proses sains fisika siswa pada kelompok penalaran formal di

atas rata-rata lebih baik dibandingkan kemampuan keterampilan proses sains

fisika siswa pada kelompok penalaran formal di bawah rata-rata. Hal ini dapat

ditunjukkan dari data penelitian yang menunjukkan bahwa keterampilan

proses sains pada kelompok penalaran formal di atas rata-rata sebesar 75,61

dan pada kelompok penalaran formal di bawah rata-rata sebesar 69,18

3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan penalaran formal dalam

meningkatkan keterampilan proses sains fisika siswa. Hasil belajar

keterampilan proses sains siswa yang diajarkan melalui model pembelajaran

inquiry training pada kelompok penalaran formal di atas rata-rata sebesar

81,95 dan penalaran formal di bawah rata-rata sebesar 72,73 lebih tinggi

dibandingkan dengan hasil belajar keterampilan proses sains siswa yang

(35)

137

di atas rata sebesar 67 dan pada kelompok penalaran formal di bawah

rata-rata sebesar 66,75

5.2. Saran

1. Siswa harus dibimbing dengan memberikan latihan yang cukup untuk

meningkatkan kemampuan keterampilan proses sains fisika siswa.

2. Peneliti selanjutnya menggunakan jangka waktu yang lebih lama karena

waktu yang tersedia dalam pelaksanaan pembelajaran baik dibelajarkan

dengan menggunakan model pembelajaran inquiry training dan dibelajarkan

dengan pembelajaran ekspositori masih sangat kurang, sebab disesuaikan

dengan jadwal sekolah yang bersangkutan.

3. Pendidik hendaknya memilih model pembelajaran yang sesuai, dengan tujuan

pembelajaran.

4. Pendidik dalam mengajar dengan menggunakan model pembelajaran inquiry

training lebih baik diterapkan pada siswa yang memiliki penalaran formal di

atas rata-rata karena dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa.

5. Dilihat dengan karakter siswa, siswa belum terbiasa dengan menggunakan

model pembelajaran inquiry training, maka sebaiknya siswa mulai dilatih

untuk melakukan percobaan-percobaan sederhana ketika pembelajaran fisika

agar memiliki respon yang cepat akan melakukan model pembelajaran

inquiry training.

6. Untuk peneliti selanjutnya dapat mengalokasi waktu yang lebih banyak

(36)

138

DAFTAR PUSTAKA

Arends, R. I. 2007. Learning to Teach. Newyork : McGraw Hill.

Arikunto, Suharsimi. 2013. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2. Jakarta :

Bumi Aksara.

Astuti,Rina, Widha Sumarno, Suciati Sudarisman. 2012. Pembelajaran Ipa

dengan Pendekatan Keterampilan Proses Sains Menggunakan Metode Eksperimen Bebas Termodifikasi dan Eksperimen Terbimbing Ditinjau dari Sikap Ilmiah dan Motivasi Belajar Siswa. Jurnal Inkuiri 1(1):51-59.

Azizah, Aulia & Parmin. 2012. Inquiry Training Untuk Mengembangkan

Keterampilan Meneliti Mahasiswa. Unnes Science Educational Journal 1(1) : 1-11.

B, Melia Siska, Kurnia, Yayan Suparna. 2013. Peningkatan Keterampilan Proses

Sains Melalui Pembelajaran Praktikum Berbasis Inkuiri Pada Materi Laju Reaksi. Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia 1(1) : 69-75

Baird, William E, Gary D.Borich. 1985. Validity Considerations for the Study of

formal Reasoning Ability and Integreted Science Process Skills. Peper presented at the Annual Meeting of the National Association for Research in Science Teaching 58th, Freach Lick Springs, In, April 15-18.

Bao, Lei, Tianfan Cai, Katty Koenig, Kai Fang, Jing Han, Jing Wang, Qing Liu, Lin Ding, Lili CuiYing, Luo Yufeng Wang, Lieming Li, Nianle

Wu. 2009. Learning and Scientific Reasoning. Journal American

Association for the Advancement of Science 323, 586 (2009).

Beeth, Michel E., Jenice Pirro. 1999. Developing A Rubric For Assessing Science

Process Knowledge In Grades K-6. Paper Presented at the of the National Science Teachers Association, Boston, MA.

Colburn, Alan. 2000. An Inquiry Primer. Special issue, hlm 42- 44

Dewi, Riska Sartika. 2011. Pengaruh Pendekatan Keterampilan Proses Sains

Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa Pada Konsep Suhu dan Kalor. Skripsi. Jakarta : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Gillani, Bijan B. 2010. Inquiry-Based Training Model and the Design of

(37)

139

Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran

Abad 21. Bogor : Ghalia Indonesia.

Hayati, Retni Dwi Suyani. 2013. Efek Model Pembelajaran Inquiry Training

Berbasis Multimedia dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa, 2(1) : 24-33

Ihsan, Fuad H. A. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rineka Cipta.

Inhelder, Barbel. 1980. Toward A Theory Of Psychological Development. New

Jersey : NFER Publishing Company Ltd.

Jamaris, Martini. 2014. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Bogor :

Metode Inquiry Terbimbing Untuk Mengembangkan Keterampilan Proses Sains. JP2F 1(2) : 149-158.

Laten, Hengky. 2014. Aplikasi Analisis Data Statistik Untuk Ilmu Sosial Sains

dengan IBM SPSS. Bandung : Penerbit Alfabeta.

Lawson, Anton E, Floyd Norland. 1975. A Note on The Factor Structure of Some

Piaget Tasks.

Lawson, Anton, Anthony J. D. Blake. 1974. Concrete and Formal Thinking

Ability for High School Biology Students As Measured By Three Separate Instruments. California : National Science Education.

Marnoko. 2011. Perbedaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games

Tournament dan Model Pembelajaran Konvensional pada Hasil Belajar

Ekonomi Mahasiswa FE UNPAB. Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu 4(2) : 612 :

(38)

140

Menda, Marini Sri. 2014. Efek Model Pembelajara Inquiry Training dan

Keterampilan Proses Sains Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Listrik

Dinamis di Kelas X SMAN 1 Sunggal. Tesis Tidak Diterbitkan. Medan :

Unimed.

Nawi, M. 2012. Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Kemampuan Penalaran

Formal Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (Swasta) Al Ulum Medan. Jurnal Taburasa PPS Unimed Medan. 9(1) : 81-96.

Pandey A., Nanda G.K, Ranjan V. 2011. Effectiviness of Inquiry Training Model

Over Conventional Teaching Method on Academic Achievement of Science Students in India. Journal of Innovative Research in Education 1(1).

Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

Rao, Digumarti Bhaskara and Uyyala Naga Kumari. 2008. Science Process Skills

of School Students. New Delhi : Discovery Publishing House PVT. LTD.

Rapi, Ni Ketut. 2008. Implementasi Siklus Belajar Hipotesis-Deduktif untuk

Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Keterampilan Proses IPA di SMAN 4 Singaraja. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Undiksha, Vol 41(3) : 701-720.

Rilley, Josep. P, 1971. The Effect of Science Process Training on Preservice

Elementary Teachers' Process Skill Abilities,Understanding of Science,

and Attitudes TowardScience and Science Teaching. College of

EducationThe University of Delaware Newark.

Rizal, Muhammad. 2014. Pengaruh Pembelajaran Inquiry Terbimbing dengan

Multirepresentasi terhadap Keterampilan Proses Sains dan Penguasaan Konsep IPA Siswa di SMP. Journal Pendidikan Sains 2(3) : 159-165.

Sadulloh, Uyoh. 2011. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung : Alfabeta.

Sagala, S. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.

Sahyar, H. 2015. Hand Book Konsep dan Teori Sains Fisika. Medan : Unimed

Press.

Sakdiah, Halimatuss, Sahyar. 2014. Efek Model Pembelajaran Inquiry Training

(39)

141

Salam, H. Burhanuddin. 2011. Pengantar Pedagogik Dasar-Dasar Ilmu

Mendidik. Jakarta : Rineka Cipta.

Sani, Ridwan Abdullah. 2012. Pengembangan Laboratorium Fisika. Medan :

Unimed Press.

Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Inovasi Pembelajaran. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Pembelajaran Saintifik Untuk Implementasi

Kurikulum 2013. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Sani, Ridwan Abdullah, M. Zainul Abidin T. Syihab.2010. Pengaruh Model

Pembelajaran Inquiry Training (Latihan Inkuiri) Terhadap Penguasaan Konsep Fisika Siswa Kelas X Sma Negeri 1Tanjung Beringin. Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika 2(2) : 16-22

Sanjaya, H. Wina. 2014. Strategi Pembelajaran Berorentasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenadamedia Group.

Saripuddin. 2009. Praktis Belajar Fisika Untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta :

Depertemen Pendidikan Nasional.

Sirait, Ratna. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Training Terhadap

Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Usaha dan Energi Kelas VIII MTsN-3 Medan. Jurnal Pendidikan Fisika 1(1) : 21-26.

Slavin, Robert E. 2009. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Edisi

Kesembilan, Jilid 1. Terjemahan oleh Marianto Samosir. 2011. Jakarta : PT Indeks.

Sriwati, Nyoman &, Gde Anggan Suhandana, Nengah Bawa Atmadja. 2013. Komparasi Keefektifan Individual Dan Group (Creative Problem Solving) Terhadap Kemampuan Memahami Isi Wacana Ditinjau Dari Kemampuan

Penalaran Formal Siswa Kelas Xi Ipa Sma Negeri 1 Amlapura. e-journal

Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha 4 : 1-7.

Sudjana, 2012. Metode Statistika. Bandung : Tarsito.

Sugiono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,

dan R& D. Bandung : Alfabeta.

Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Penerbit Alfabeta.

Suma, Ketut. 2010. Efektivitas Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Peningkatan

Penguasaan Konten dan Penalaran Ilmiah Calon Guru Fisika. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 43 (6) : 47-55.

(40)

142

Suparno dan Widodo. 2009. Panduan Pembelajaran Fisika Untuk SMA/MA Kelas

X. Jakarta : Depertemen Pendidikan Nasional.

Suprayitno, Totok. 2011. Pedoman Pembuatan Alat Peraga Fisika Untuk SMA.

Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. 2009. Jakarta :

Pustaka Sinar Harapan.

Susanti, Ana & Sajidan, Sugiarto. 2014. Pembelajaran Biologi Menggunakan

Inquiry Training Models dengan Vee Diagram dan KWL Chart Ditinjau dari Keterampilan Berpikir Kritis dan Kemampuan Penalaran Formal. Jurnal Inkuiri 3(1) : 75-84.

Tawil, M. 2005. Pengaruh Kemampuan Penalaran Formal Terhadap Hasil

Belajar Fisika Siswa Kelas II SLTP Negeri 1 Sungguminasa Kabupaten

Gowa. Makasar: Jurusan Fisika FMIPA UNM.

Thoron, Andrew C, Brian E. Myers, 2012. Effects of Inquiry–based Agriscience

Instruction on Student Scientific Reasoning. Journal of Agriculture Education 53(4) : 157-170.

Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta :

Kencana Prenadamedia Group.

Trianto. 2013. Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan

Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: PT Bumi Aksara.

Uni, Hamzah B. 2008. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran.Jakarta :

Bumi Aksara.

Vaishnav, Rajshree S.2013. Effectiveness of Inquiry Training Model for Teaching

Science. Scholarly Research Journal for Interdiciplinary Studies 3(1) : 1216-1220.

Vitti, Debby, Anggie Torres. 2006. Practicing Science Process Skills at Home.

National Science Teacher Association Conn.

Wirtha, I Made and Ni Ketut Rapi. 2008. Pengaruh Model Pembelajaran dan

Penalaran Formal Terhadap Penguasaan Konsep Fisika dan Sikap

Ilmiah Siswa SMA Negeri 4 Singaraja. Jurnal Penelitian dan

(41)

143

Yan, Yip Din. 1996. Children‘s Abilities In Formal Reasoning And Implications

For Science Learning. Lecturer : The Chinese University of Hong Kong

Yuniastuti, Euis. 2013. Peningkatan Keterampilan Proses, Motivasi, dan Hasil

Gambar

Tabel 4.9 Keterampilan Proses Sains  Siswa Berdasarkan Tingkat

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini dapat di rumuskan sebagai berikut : “Apakah penggunaan media

Teknologi pengeringan yang relatif baru yaitu dengan menggunakan radiasi dengan panjang gelombang yang lebih besar dari infa r e d dan lebih kecil dari gelombang

Berdasarkan hasil pembehasan senamtiasa terlihat adanya peningkatan dari pra siklus ke siklus 1, dari pra siklus ke siklus 2 maupun siklus 1 ke siklus 2 ditinjau dari rata-rata

[r]

 Melakukan permainan peran tentang pelaksanaan bentuk kepatuhan terhadap kebiasaan, tata tertib, tradisi,dan adat dalam kehidupan di sekolah,keluarga, dan masyarakat sekitar

The writer will use a psychoanalytic approach theory as the approach to analyze this movie because the major character Walter Black that suffers major

[r]

Dengan berkembangnya bidang jasa Event Organizer pada saat perusahaan akana. menyelenggarakan suatu event maka semua penyedia jasa event akan