EFEK MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY TRAINING DAN
PENALARAN FORMAL TERHADAP
KETERAMPILAN PROSES
SAINS SISWA
TESIS
Diajukan dan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Pada Program Studi Pendidikan Fisika
Oleh :
ENI SUMANTI NASUTION NIM : 8146176003
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
i
ABSTRAK
Eni Sumanti Nasution. NIM. 8146176003. Efek Model Pembelajaran inquiry training dan Penalaran Formal Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa. Tesis. Medan: Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : (1) keterampilan proses sains siswa dengan menggunakan pembelajaran inquiry training lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori, (2) keterampilan proses sains siswa pada kelompok siswa yang mempunyai penalaran formal diatas rata-rata lebih baik dibandingkan kelompok siswa yang mempunyai penalaran formal dibawah rata-rata, dan (3) interaksi antara model pembelajaran inquiry training dan pembelajaran ekspositori dengan penalaran formal dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa.
Penelitian merupakan penelitian eksperimen dengan quasi eksperimen dengan desain two group pretes-postest desaign. Populasi Penelitian ini adalah siswa kelas X SMA IT Al-Fityan School Medan. Pemilihan sampel dilakukan secara cluster random sampling. Sampel dibagi dalam dua kelas, kelas eksperimen yang diajarkan dengan model pembelajaran inquiry training dan kelas kontrol diajarkan dengan pembelajaran ekspositori. Instrumen penelitian ini menggunakan tes keterampilan proses sains dalam bentuk observasi dan tes penalaran formal dalam bentuk uraian serta telah dinyatakan valid dan reliabel. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan ANAVA dua jalur.
Hasil penelitian melalui analisis uji hipotesis bahwa ada perbedaan nilai signifikan yang positif antara efek model pembelajaran, penalaran formal terhadap keterampilan proses sains dan efek model pembelajaran dengan penalaran formal terhadap keterampilan proses sains siswa. Kesimpulan menunjukkan bahwan: (1)
model pembelajaran inquiry training lebih baik dibandingkan dengan
pembelajaran ekspositori, (2) keterampilan proses sains siswa pada kelompok siswa dengan penalaran diatas rata-rata lebih baik dibandingkan dengan kelompok siswa dengan penalaran formal dibawah rata-rata, dan (3) terdapat interaksi antara model pembelajaran inquiry training dan penalaran formal dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa.
ii ABSTRACT
Eni Sumanti Nasution. Roll No. 8146176003. The Effects of Inquiry Training Learning Model and Formal Reasoning on Students’ Science Process Skills. A Thesis. Medan: Post Graduate School, State University of Medan, 2016.
This research aimed to analyze : (1) the students’ science process skills by using inquiry training learning model were better than using expository learning, (2) students’ science process skills in the group of students who had formal reasoning above average were better than those students who had formal reasoning below average, and (3) interaction inquiry training learning model and expository learning model with formal reasoning of the students’ science process skills. This research carried out by a quasi-experimental and desaign was two group pretes-postest desaign. The population of this study was class X SMA IT Al-Fityan School Medan. Sample selection was done by cluster random sampling. Sample devided two class, eksperimen class by using inquiry training learning model and control class by using expository. The instruments of this study used science process skills test in the form of a observations and formal reasoning test in the form of a description which were valid and reliable. The formal reasoning test was in narrative form. The data were analyzed by ANOVA two -ways. The results by analyzed hypothesis tes that there were different significant value postive between effect learning model, formal reasoning to students’s science process skill and effect learning with formal reasoning to students’s science process skill. The Conclusion showed that : (1) The student s’ physics science process skills by using inquiry training learning model were better than learning outcomes of using expository learning model, (2) students’ science process skills in the group of students who had formal reasoning above average were better than the group of students had formal reasoning below average and (3) there were interactions between the inquiry training learning model and expository learning model with formal reasoning in improving students' science process skills.
iii
KATA PENGANTAR
Segala Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa kareana atas berkat dan pertolongan-Nya tesis yang berjudul “Efek Model
Pembelajaran Inquiry Training dan Penalaran Formal Terhadap Keterampilan
Proses Sains Siswa” dapat selesai ditulis. Penulis menyadari tesis ini dapat
selesai berkat adanya bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk
itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Sahyar, M.S., M.M selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Fisika Pascasarjana dan Pembimbing II yang selalu setia memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis
ini.
2. Bapak Prof. Dr. Nurdin Bukit, M.Si selaku Pembimbing I yang selalu
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan
penulisan tesis ini.
3. Ibu Prof. Dr. Retno Dwi Suyanti, M.Si selaku narasumber yang memberikan
masukan guna kesempurnaan tesis ini.
4. Bapak Dr. Ridwan Sani, M.Si selaku narasumber yang memberikan masukan
guna kesempurnaan tesis ini.
5. Ibu Dr. Derlina, M.Si selaku narasumber yang memberikan masukan guna
iv
6. Bapak Kepala Sekolah SMA IT Al-Fityan School Medan yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
7. Seluruh pegawai perpustakaan UNIMED yang telah memberikan kemudahan
dan bantuan kepada penulis dalam pembacaan dan peminjaman buku-buku.
8. Suamiku tercinta Ali Mukmin Hasibuan yang telah memberikan motivasi
dalam penulisan tesis ini.
9. Orangtuaku tercinta Masri Nasution dan Roslina Simatupang yang telah
memberikan segala semangat dan perjuangan hidup yang telah ditanamkan di
jiwaku yang tak pernah lekang waktu. Serta kepada saudara-saudariku yang
telah memberikan dukungan kepada penulis.
10. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Fisika Kelas B Eksekutif
dan adek-adek kosku tercinta.
Doa dan harapan penulis semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang membalas kebaikan dan bantuan yang telah saudara berikan kepada
penulis.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat
kepada para pembacanya.
Medan, Maret 2016
Penulis
v
2.1.2. Pembelajaran Ekspositori 20
2.1.2.1 Pengertian Pembelajaran Ekspositori 20
2.1.2.2 Fase-fase Pembelajaran Ekspositori 22
2.1.2.3 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Ekspositori 23
2.1.3. Model Pembelajaran Inquiry Training 24
2.1.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Inquiry Training 24 2.1.3.2 Sintaks Model Pembelajaran Inquiry Training 27 2.1.3.3 Dampak Instruksional Model Inquiry Training 30 2.1.3.4 Keunggulan dan Kelemahan model Inquiry Training 31
2.1.4. Penalaran Formal 33
2.1.4.1 Pengertian Penalaran Formal 33
2.1.4.2 Indikator Penalaran Formal 34
2,1,5. Keterampilan Proses Sains 37
2.1.5.1 Pengertian Sains 37
2.1.5.2 Pengertian Keterampilan Proses Sains 39
2.1.2.3 Indikator Keterampilan Proses Sains 41
2.1.6. Teori Belajar yang Mendukung Inquiry Training 46
2.1.6.1 Teori Belajar Konstruktivisme 48
2.1.6.2 Teori Belajar Jerome S. Brunner 50
2.1.6.3 Teori Belajar Piaget 51
2.1.6.4 Teori Belajar M. Gagne 53
2.1.7. Penelitian yang Relevan 58
2.2 Kerangka Konseptual 63
vi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 70
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 70
3.2 Populasi dan Sample 70
3.2.1 Populasi Penelitian 70
3.2.2 Sampel Penelitian 71
3.3 Jenis dan Desain Penelitian 71
3.3.1 Jenis Penelitian 71
3.3.2 Desain Penelitian 71
3.4 Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian 74
3.5 Variabel Penelitian 76
3.6 Instrumen Penelitian 77
3.6.1. Instrumen Keterampilan Proses Sains 77
3.6.1.1 Hasil Uji Coba Instrumen 81
3.6.1.2 Reliabilitas Tes Keterampilan Proses Sains 84 3.6.1.3 Tingkat Kesukaran Keterampilan Proses Sains 86 3.6.1.4 Daya Beda Tes Keterampilan Proses Sains 87
3.6.2. Instrumen Penalaran Formal 89
3.7 Teknik Analisis Data 90
3.7.1. Simpangan Baku 91
3.7.2. Uji Normalitas Data 91
3.7.3. Uji Homogenitas Data 92
3.7.4. Uji Hipotesis 93
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian 95
4.1.1 Deskripsi Hasil Penelitian 95
4.1.2. Analisis Statistika Data Hasil Penelitian Pretes 95
4.1.2.1 Deskripsi Data Pretes 95
4.1.2.2 Uji Normalitas 98
4.1.2.3 Uji Homogenitas 98
4.1.2.4 Uji Kemampuan Awal Keterampilan Proses Sains 99 4.1.3 Analisis Statistika Data Hasil Penelitian Postes 100 4.1.3.1 Perlakuan dalam Pelaksanaan Penelitian 100 4.1.3.2 Deskripsi Data Postes Keterampilan Proses Sains 104
4.1.3.3 Uji Normalitas 107
4.1.3.4 Uji Homogenitas 107
4.1.4 Hasil Instrumen Penalaran Formal 108
4.1.5 Analisis Hasil Penelitian 111
4.1.5.1 Analisis Data Postes Keterampilan Proses Sains 111 4.1.5.2 Analisis Data Keterampilan Proses Sains Berdasarkan 112
Tingkat Kemampuan Penalaran Formal
4.2 Pengujian Hipotesis 113
4.3. Pembahasan Hasil Penelitian 125
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
vii
5.2. Saran 137
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Fase-fase Pembelajaran Ekspositori 22
Tabel 2.2 Fase-fase Model Pembelajaran Inquiry Training 28
Tabel 2.3 Indikator dan Subindikator Keterampilan Proses
Sains 43
Tabel 2.4 Tahap-tahap Perkembangan Kognisi Menurut
Piaget 52
Tabel 2.5 Penelitian yang mengangkat Model Pembelajaran
Inquiry Training 58
Tabel 3.1. Control Grup Pretest-Posttest Design 72
Tabel 3.2 Desain Penelitian Anava 2 Jalur 72
Tabel 3.3 Kisi-kisi Keterampilan Proses Sains 78
Tabel 3.4 Rubrik Penilaian Keterampilan Proses Sains 79
Tabel 3.5 Validitas Tes Keterampilan Proses Sains 83
Tabel 3.6 Realibilitas Tes Keterampilan Proses Sains 86
Tabel 3.7 Tingkat Kesukaran 87
Tabel 3.8 Daya Beda 88
Tabel 3.9 Rubrik Penilaian Instrumen Penalaran Formal 89
Tabel 3.10 Kisi-Kisi Soal Penalaran Formal 90
Tabel 4.1 Data Pretes Kemampuan Keterampilan Proses Sains 96
Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Pretes 98
Tabel 4.3 Uji Homogenitas Data Pretes 99
Tabel 4.4 Uji Kesamaan Pretes Keterampilan Proses Sains 100
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Tabel 4.5 Nilai Postes Keterampilan Proses Sains Pada Kelas Kontrol 105
Dan Kelas Eksperimen
Tabel 4.6 Normalitas Distribusi Postes Kelas Eksperimen dan 107
Kelas Kontrol
Tabel 4.7 Homogenitas Dua Varians Tes Akhir (Postes) Kelas 108
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
ix Eksperimen dan Kelas Kontrol
Tabel 4.9 Keterampilan Proses Sains Siswa Berdasarkan Tingkat 110
Penalaran Formal
Tabel 4.10 Analisis Data Keterampilan Proses Sains Berdasarkan 112
Tingkat Kemampuan Penalaran Formal
Tabel 4.11 Hasil Uji Anava Dua Jalur 114
Tabel 4.12 Data Faktor Antar Subjek 115
Tabel 4.13Uji Homogenitas Antar Kelompok 115
Tabel 4.14 Statistik Deksriptif Anava 116
Tabel 4.15 Uji Anava 117
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Model Inkuiri Suchman 26
Gambar 2.2 Dampak Model Pembelajaran Inquiry Training 31
Gambar 2.3 Fase-fase Kegiatan/peristiwa Belajar 54
Gambar 3.1 Bagan Alur Pelaksanaan Penelitian 76
Gambar 4.1 Histogram Data Pretes Kelas Kontrol 97
Gambar 4.2 Histogram Data Pretes Kelas Eksperimen 97
Gambar 4.3 Hasil Data Observasi Keterampilan Proses Sains Siswa 102
Gambar 4.4 Nilai Rata-rata Uji Lembar Kerja Siswa 103
Gambar 4.5 Histogram Data Postes Kelas Kontrol 106
Gambar 4.6 Histogram Data Postes Kelas Eksperimen 107
Gambar 4.7 Diagram Postes dan Pretes Kelas Eksperimen dan 111 Kontrol
Gambar 4.8 Pola Garis Interaksi Antara Model Pembelajaran 122 Dan Penalaran Formal Siswa Terhadap Keterampilan
Proses Sains
Gambar 4.9 Hubungan model pembelajaran dengan nilai rata-rata 126 KPS
Gambar 4.10 Hubungan Tingkat Penalaran Formal dengan nilai
rata-rata KPS 130
Gambar 4.11 Hubungan Model Pembelajaran dengan nilai rata-rata 132 KPS yang memiliki Penalaran Formal diatas rata-rata
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Silabus Pembelajaran 144
Lampiran 2. RPP Pertemuan I 146
Lampiran 3. Bahan Ajar I Pengaruh Kalor Terhadap Suhu 155
Lampiran 4. LKS I 166
Lampiran 5. RPP Pertemuan II 172
Lampiran 6. Bahan Ajar II Perubahan Wujud Zat 182
Lampiran 7. LKS II 191
Lampiran 8. RPP Pertemuan III 196
Lampiran 9. Bahan Ajar III Asas Black dan Perpindahan
Kalor 206
Lampiran 10. LKS III 215
Lampiran 11. Instrumen Keterampilan Proses Sains 223
Lampiran 12. Instrumen Penalaran Formal 228
Lampiran 13. Tabel Sebaran Data Uji Coba Keterampilan Proses Sains 233 Lampiran 14. Uji Validasi Tes Keterampilan Proses Sains 234
Lampiran 15. Realibilitas 237
Lampiran 16 Tabel Tingkat Kesukaran Keterampilan Proses Sains 238 Lampiran 17. Tabel Penolong Daya Beda Keterampilan Proses Sains 239 Lampiran 18 Tabulasi Hasil Jawaban Penalaran Formal Eksperimen 240 Lampiran 19 Tabulasi Hasil Jawaban Penalaran Formal Kontrol 241 Lampiran 20. Tabulasi Hasil Jawaban Pretes Kelas Kontrol 242 Lampiran 21. Tabulasi Hasil Jawaban Pretes Kelas Eksperimen 243 Lampiran 22. Tabulasi Hasil Jawaban Postes Kelas Kontrol 244 Lampiran 23. Tabulasi Hasil Jawaban Postes Kelas Eksperimen 245 Lampiran 24. Deskriptif Statistik Data Penelitian 246
Lampiran 25. Uji Normalitas 249
Lampiran 26. Uji Homogenitas 250
Lampiran 27. Uji Kesamaan Sample Tes 251
Lampiran 28 Uji Anava dua jalur 252
Lampiran 29. Uji Scheeff 253
Lampiran 30. Rubrik Penilaian Kriteria Penilaian Keterampilan 254 Proses Sains
Lampiran 31. Rekap Nilai Lembar Kegiatan Siswa Setiap Pertemuan 259 Lampiran 32 Rekap Nilai Observasi Aktivitas KPS Setiap Pertemuan 260
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Prof. Langeveld seorang ahli pedagogik dari negeri Belanda
mengemukakan batasan pendidikan, bahwa pendidikan ialah suatu bimbingan
yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk
mencapai tujuan, yaitu kedewasaan. Bimbingan ada beberapa aspek yang
berhubungan dengan usaha pendidikan, yaitu bimbingan sebagai suatu proses,
orang dewasa sebagai pendidik, anak sebagai manusia yang belum dewasa, dan
yang terakhir adalah tujuan pendidikan. Dengan menggunakan istilah bimbingan,
secara filosofi bahwa pendidikan itu merupakan suatu usaha yang disadari, bukan
suatu perbuatan serampangan begitu saja, harus dipertimbangkan segala akibat
dari perbuatan pendidikan itu (Salam, 2011).
Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia
yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau
perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan
dengan perubahan kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada
semua tingkat perlu terus menerus dilakukan antisipasi kepentingan masa depan
(Trianto, 2011).
Pendidikan merupakan proses yang dilakukan dalam mentransfer atau
mengalihkan nilai-nilai, pandangan hidup, visi, misi, kepercayaan, kebudayaan,
2
teknologi kepada generasi muda sehingga komunikasi sosial antara generasi tua
tua dan generasi muda dapat berjalan dengan lancar (Jamaris, 2013).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu
proses manusiawi berupa tindakan komunikatif, dialogis, transformatif antara
peserta didik dan pendidik yang bertujuan etis, yaitu membantu pengembangan
kepribadian peserta didik seutuhnya dalam konteks lingkungan ilmiah dan
kebudayaan yang berkeadaban. Oleh sebab itu, pendidikan adalah usaha sadar
yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spritual keagaamaan, pengendalian diri, kecerdasarn, akhak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dewasa ini, kita lihat bahwa sebagian besar pola pembelajaran masih
bersifat transmisif, pengajar mentransfer menggerojokkan konsep-konsep secara
langsung pada peserta didik. Dalam pandangan ini, siswa secara pasif menyerap
struktur pengetahuan yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku
pelajaran. Pembelajaran hanya sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip, dan
keterampilan kepada siswa (Clement & Battista, 2001). Senada dengan itu,
Soedjadi (2000) menyatakan, bahwa dalam kurikulum sekolah di Indonesia
terutama mata pelajaran eksak (matematika, fisika, kimia) dan dalam
pengajarannya selama ini terpatri kebiasaan dengan sajian pembelajaran sebagai
berikut : (1) Diajarkan teori/teorema/defenisi; (2) Diberikan contoh-contoh; dan
(3) diberikan latihan soal-soal (Trianto, 2011).
Berdasarkan hasil survei pendahuluan peneliti yang telah dilakukan dari
3
ditemukan bahwasanya dalam kegiatan belajar mengajar siswa dalam kelas
ternyata sebanyak 54,8 % menyatakan pembelajaran langsung dengan mencatat
dari guru yang bersangkutan dan mengerjakan soal-soal sebesar 45,16%,
menyatakan diskusi dan tanya jawab berupa kuis untuk penambahan nilai berupa
review terhadap pelajaran sebelumnya yang diberikan berupa soal-soal fisika
sebanyak 20%, dan untuk praktikum berdasarkan hasil angket menyatakan jarang
dilakukan oleh guru yang bersangkutan.
Proses pembelajaran yang seperti ini merupakan proses pembelajaran
dengan pendekatan Teaching learning center, yang artinya guru lebih dominan
dan aktif saat proses pembelajaran langsung. Sedangkan siswa hanya mencatat,
mendengar dan memperhatikan atau secara sederhananya siswa menjadi pasif dan
dibebankan menyelesaikan permasalahan yang merupakan permasalahan
perhitungan. Sehingga siswa lebih ditekan dalam penguasaan matematis. Fisika
merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah menengah atas yang sering
dikeluhkan kesulitannya. Kemampuan siswa dalam memahami pelajaran fisika
masih dalam kategori rendah. Rata-rata siswa Indonesia hanya mempunyai
pengetahuan dasar matematika tetapi tidak cukup untuk memecahkan masalah
rutin (manipulasi bentuk, memilih strategi, dan sebagainya) dan masalah non-rutin
(penalaran inuitif dan induktif berdasarkan pola dan kerugelaran), selain itu siswa
Indonesia belum mampu menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak.
Proses pembelajaran dengan pendekatan Teaching Learning Center seperti
ini yang kemudian menghambat keterampilan poses sains siswa. Karena siswa
tidak difasilitasi dalam mengembangkan keterampilannya dalam proses sains.
4
ilmiah. Selain itu, IPA dipandang pula sebagai proses, sebagai produk, dan
sebagai prosedur. Secara khusus fungsi dan tujuan IPA berdasarkan kurikulum
berbasis kompetensi (Depdiknas, 2003) adalah sebagai berikut : (1) menanamkan
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) mengembangkan keterampilan,
sikap, dan nilai ilmiah, (3) mempersiapkan siswa menjadi warga negar yang
melek sains dan teknologi, (4) menguasai konsep sains untuk bekal hidup di
masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi (Trianto, 2013).
Keterampilan proses sains melibatkan keterampilan intelektual, manual,
dan sosial yang digunakan untuk membangun pemahaman terhadap suatu konsep
atau gagasan/pengetahuan dan meyakinkan atau menyempurnakan pemahaman
yang sudah terbentuk. Hal ini penting dimiliki oleh setiap individu sebagai modal
dasar seseorang agar memecahkan masalah hidupnya dalam kehidupan sehari-hari
(Dahar, 1996). Siswa sebagai subyek dan sekaligus obyek pembelajaran
hendaknya memiliki kemampuan dan tersebut (meliputi kemampuan/keterampilan
dalam melakukan pengamatan, klasifikasi, pengukuran, menyusun hipotesis,
merancang serta melakukan eksperimen, menarik kesimpulan, meramalkan, dan
mengkomunikasikan hasil eksperimen) (Menda, 2014).
Keterampilan proses sains harus dilatihkan agar siswa dapat berpikir
kreatif dan lebih memahami sains. Fisika dengan karakteristiknya merupakan
salah satu media yang cukup baik dalam melatih kemampuan keterampilan proses
sains tersebut. Kompetensi sains pada jenjang pendidikan SMA yang ingin
dicapai adalah mampu mengalami proses pembentukan dan melakukan inquiry
5
Dari data percobaan untuk tes pendahuluan untuk melihat hasil
keterampilan siswa pada SMA IT AL-Fityan dari 31 orang siswa yang telah di uji
coba, diperoleh bahwa untuk indikator paling tinggi terdapat 24 % yang
menjawab betul, disusul oleh hipotesis terhadap suatu percobaan sebanyak 19%,
kemudian mengklasifikasikan suatu data terdapat 15 %, dalam menerapkan
konsep keterampilan sains dalam kehidupan sehari-hari adalah 11%, untuk proses
mengamati, merancang percobaan, meramalkan, menyimpulkan dan
mengkomunikasikankan sangat rendah yaitu berada dibawah 5 % bahkan ada
yang 0 %. Untuk hasil belajar dari keseluruhan siswa dari nilai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yang diberikan oleh guru bidang studi sebesar 75 %,
maka dari hasil observasi didapatkan untuk nilai KKM-nya sangat rendah yaitu 9
%. Ini dapat dilihat dari data observasi siswa bahwa cukup memuaskan adalah
3,22 % (nilai antara 60-50), 48,38 % untuk kriteria kurang memuaskan (nilai
40-30), tidak memuaskan adalah 48,38 % (nilai 20-10). Dari data tersebut tidak ada
seorang siswa yang bisa mencapai KKM yang telah diterapkan oleh sekolah.
Masih berdasarkan studi pendahuluan, ternyata rendahnya keterampilan
proses sains siswa disebabkan bahwa tidak tertariknya siswa kepada pelajaran
materi fisika, dimana dari 31 orang siswa yang telah diberikan angket terdapat
beberapa mata pelajaran yang tidak disukai diantaranya : Bahasa inggris 25,81 %,
Fisika 22,58 % (disini dengan catatan yang sebagaian suka hanya berupa
prakteknya saja untuk masalah konsep mereka tidak menyukainya), Matematika
19,35 %, seni budaya 12,9%, Bahasa Arab dan Kimia adalah 6,45 %, Biologi dan
6
tersebut yang lebih menggemari mata pelajaran yang dapat dipraktekkan
langsung.
Ketidaktertarikan dari siswa ini dapat dilihat bahwa berdasarkan angket
yang disebarkan bahwa mereka tidak suka dengan penyampaian materi, karena
menurut dari siswa tersebut materi yang dijelaskan berbelit-belit hanya diterapkan
melalui penjelasan materi berupa rumus-rumus dari fisika yang kemudian
diarahkan untuk mengerjakan soal-soal materi yang ada. Disamping itu dalam
pembelajaran fisika jarang dilakukannya praktikum di sekolah oleh guru yang
bersangkutan dan tidak adanya Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Berdasarkan hasil
angket untuk media pembelajarannya melalui buku paket yang ada disekolah
sebesar 58,06%, internet sebesar 32,26 %, catatan guru sebesar 12,9%, guru fisika
yang lain sebesar 12,9% dan dari artikel 6,4 %.’
Berdasarkan data dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada
tahun 2011 jumlah sekolah menengah atas 11.306 tersebar di seluruh Indonesia,
dari jumlah tersebut sebagian berada di daerah-daerah terpencil atau kepulauan
yang sulit transportasi dan sarana pendukung lainnya . Pada umumnya
sekolah-sekolah tersebut sangat kurang sarana dan prasarana khususnya peralatan
laboratorium IPA, sedangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan mewajibkan
ujian praktik bagi mata pelajaran IPA (Fisika, Kimia dan Biologi). Menurut
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP : 2006), Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) harus memiliki sarana: perabot, peralatan
pendidikan, media, bahan habis pakai, dan perlengkapan lainnya, serta prasarana
laboratorium. Adapun kondisi Laboratorium IPA 8.886 SMA Negeri/Swasta
7
memiliki laboratorium IPA (2 Laboratorium terpisah) 18,62%, memiliki
laboratorium fisika, biologi, kimia (3 laboratorium terpisah) 24,18%, memiliki
laboratorium IPA 69%, dan belum memiliki laboratorium IPA 31%. Kondisi
gedung laboratorium IPA baik 41%, rusak berat 33%, rusak ringan 26%. Keadaan
alat/ bahan lengkap 27%, dan belum lengkap 73%. Penggunaan laboratorium IPA
dengan frekuensi tinggi 36%, Sedang 31%, rendah 33%. Memiliki laboran IPA
17,72% (Suprayitno, 2011).
Berdasarkan uraian mengenai penelitian Balitbag Depdiknas diatas
mengenai laboratorium, setelah peneliti melakukan wawancara dengan Bapak
Solikin, S.Pd yang telah dilakukan di sekolah SMA IT Al-Fityan Medan,
menjelaskan kondisi dan alat praktikum IPA terutama fisika di SMA IT Al-Fityan
adalah 80 % baik. Adapun dalam pelaksanaan laboratorium jarang dilakukan oleh
guru untuk melatih keterampilan proses sains siswa, disamping itu penggunaan
LKS siswa hanya dilakukan berdasarkan buku paket yang ada.
Adapun dalam proses pembelajaran yang dilakukan setelah dilakukan
wawancara dengan guru fisika di SMA Al-Fityan adalah dalam pembelajaran
fisika kendala yang dihadapi oleh siswa adalah kurangnya matematika siswa
sehingga ketika mengerjakan soal siswa mengalami kesulitan. Disamping itu
dalam melakukan proses pembelajaran guru masih menggunakan model
ekpositori yang berupa pengajaran langsung ataupun disebut juga dengan
ceramah.
Penalaran formal penting untuk meningkatkan keterampilan proses sains
8
menentukan hubungan sebab akibat dalam memecahkan suatu permasalahan
(Baird, et al., 1985).
Pengertian penalaran formal secara luas adalah kemampuan bernalar
abstrak yang penting untuk mengerti banyak konsep dan prinsip ilmu dan
membuat keputusan dalam suatu permasalahan umum (Yan, 1996). Penalaran
sangat diperlukan oleh siswa dalam memecahkan suatu masalah yang
dihadapinya. Penalaran hipotesis-deduktif yaitu peneliti dalam proses
memecahkan suatu masalah mengikuti proses penelitian dimana pertama kali
dihadapkan dari suatu permasalahan baru. Artinya ketika mereka dihadapkan
dengan masalah, mereka akan menggunakan suatu penalaran hipotesis-deduktif
(Gillani, 2010). Berdasarkan hasil dari soal yang telah dilakukan kepada siswa
berupa soal penalaran hanya 5 % rata-rata hasil belajar siswa dari target yang
dibuat sekolah sebesar 75%.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu
kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran ini menghasilkan pengetahuan yang
dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan perasaan, meskipun seperti yang
dikatakan Pascal, hatipun mempunyai logika tersendiri (Jujun, 2010). Penalaran
adalah suatu metode penalaran induktif dan deduktif yang dikembangkan berupa
test hipotesis. Perkembangan penalaran ini berhubungan dengan pengetahuan
berupa fakta (Thoron dan Myers, 2012).
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu pendekatan
pembelajaran yang tepat dan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
akan lebih bermakna dan informasi yang didapatkan akan bertahan lebih lama,
9
dipelajari (Dahar, 2006). Hal ini akan sesuai dengan pandangan konstruktivisme
yang mengungkapkan bahwa keberhasilan belajar tidak hanya tergantung pada
lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pengetahuan siswa.
Battencourt (1989) menyatakan “ pengetahuan bukanlah suatu imitasi dari
kenyataan, dan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada”. Pengetahuan
selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi
melalui serangkaian aktivitas seseorang. Seseorang (pebelajar) membentuk
skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan (Hamid, 2014).
Pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses
interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan
terpatah-patah, terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir,
bersambung-sambung, menyeluruh.(Uno, 2008).
Dalam proses pembelajaran dalam membangun pengetahuannya guru
mengambil peranan berupa menghidupkan interaksi, yaitu menjadi motor dari
proses belajar mengajar. Guru menjadi motivasi (pemberi dorongan), guru juga
menjelaskan, dan sebagainya. Guru merupakan tokoh utama dalam interaksi,
dialah memulai, memimpin proses, menghentikan proses (Sadulloh, 2011).
Menurut pandangan konstruktivisme, dalam pembelajaran siswa belajar
membangun pengetahuannya sendiri. Salah satunya adalah pada inquiry yang
merupakan salah satu model pembelajaran yang merujuk pada paham
konstruktivisme. Model inquiry adalah menggambarkan tentang mengajar dan
belajar ilmu pengetahuan. Menurut NSES Inquiry adalah mengacu kepada
10
berasal dari penelitian. Kegiatan ini mengacu pada kegiatan siswa dalam
mengembangkan dan pemahaman tentang ide ilmiah (Colburn, 2000). Salah satu
jenis model pembelajaran inquiry adalah model pembelajaran inquiry training.
Model pembelajaran inquiry training adalah model yang mengajarkan siswa
tentang proses dalam meneliti dan menjelaskan fenomena asing. Model Suchman
ini melibatkan siswa dalam versi-versi kecil tentang jenis-jenis prosedur yang
digunakan oleh para sarjana untuk mengolah pengetahuan dan menghasilkan
prinsip-prinsip. Didasarkan pada konsepsi metode ilmiah, model ini mencoba
mengajarkan siswa beberapa keterampilan dan bahasa penelitian ilmiah.
Kegiatan-kegiatan inquiry training terdiri dari (1) menghadapkan pada masalah, (2)
Pengumpulan data-verifikasi, (3) Pengumpulan Data-Eksperimentasi, (4)
Mengolah, memformulasikan suatu penjelasan, dan (5) Analisis Proses Penelitian
(Joyce, et al., 2009).
Menurut Eruce & Weil dalam Hosnan (2014) menyebutkan “latihan
inquiry dapat menambah pengetahuan sains, menghasilkan berpikir kreatif, keterampilan dalam memperoleh dan menganalisis data”. Menurut Rilley (1971)
Model inquiry training dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa
melalui keterampilan berupa observasi, inference, pengukuran, klasifikasi dan
komunikasi.
Disamping itu model pembelajaran inquiry training dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran dan perkembangan kognitif siswa dengan cara siswa
dihadapkan dengan masalah, mengajarkan siswa tentang proses dan prosedur
seperti perencanaan dan komunikasi yang kompleks dan mendukung penelitian
11
Model inquiry training ini dapat meningkatkan nilai dan sikap ilmiah
termasuk dalam proses keterampilan (mengamati, mengumpulkan dan
mengorganisasi data, mengidentifikasi dan mengontrol variabel, merumuskan dan
menguji hipotesis dan penjelasan, menyimpulkan), belajar mandiri dan aktif,
toleransi ambiguitas dan berpikir logis (Jacinta dan Nkasiobi, 2011).
Hasil penelitian utama dari model inquiry training adalah proses-proses
yang melibatkan aktivitas observasi, mengumpulkan, mengolah data,
mengidentifikasi, mengontrol variabel, membuat dan menguji hipotesis,
merumuskan penjelasan. Dengan demikian model ini memadukan beberapa
keterampilan memproses kedalam satu unit pengalaman yang bermakna.
disamping itu juga model ini juga dapat meningkatkan keberanian siswa dalam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehingga siswa lebih terampil dalam ekspresi
verbal dalam mendengarkan dan mengingat apa yang diutarakan (Joyce, et al.,
2009).
Richard Suchman dalam Wiyanto (2006), menyatakan Pendekatan inquiry
training dapat menganilisis metode yang biasa dikerjakan oleh peneliti, khususnya oleh ilmuwan fisika. Setelah ia mengidentifikasi elemen-elemen dalam proses
inquiry yang biasa dilakukan oleh ilmuwan, kemudian Suchman mengimplementasikannya dalam model pembelajaran dan menunjukkan
keefektifan itu didalam laboratorium.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran inquiry training dapat meningkatkan keterampilan proses sains
siswa karena dalam inquiry ini melibatkan proses-proses berupa observasi,
12
menggambarkan kesimpulan yang dapat menjadikan siswa menjadi terampil
dalam memperoleh dan menganalisis informasi dalam mencari jawaban atas suatu
permasalahan.
Adapun penalaran ilmiah didefenisikan secara luas termasuk pemikiran,
keterampilan penalaran yang diperlukan dalam tahap inquiry berupa eksperimen,
evaluasi, inferensi, argumentasi yang mendukung dan memodifikasi konsep teori
pengetahuan IPA dan sosial. Dua jenis dari pengetahuan tersebut adalah
pengetahuan khusus dan pengetahuan umum yang telah banyak diteliti (Bao,
et.al., 2009).
Dari pendapat ahli tersebut maka inquiry training dapat meningkatkan
penalaran formal siswa dimana peneliti dalam proses memecahkan suatu masalah
mengikuti proses penelitian berupa eksperimen, evaluasi, inferensi, argumentasi,
mereka akan menggunakan suatu penalaran hipotesis-deduktive.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan sebelumnya
antara lain : (1) model pembelajaran inquiry training dengan menggunakan media
sangat membantu dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa dan lebih
baik daripada model konvensional berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh,
(2014) Sakdiah, Fatmi dan Rizal, (2) model pembelajaran inquiry training dapat
meningkatkan hasil belajar fisika siswa pada materi usaha dan energi MTsN 3
Medan sebagaimana yang diteliti oleh Ratna Sirait (2012), (3) Inquiry terbimbing
dapat juga mengembangkan keterampilan proses sains siswa dalam hal ini
peneliti melakukan dengan pembelajarannya melalui praktikum seperti yang
diteliti oleh Endah dan Kurniawa (2010), (4) penalaran dinyatakan penalaran
13
pembelajaran inquiry dan bisa memperkuat hasil belajar siswa dibandingkan
dengan penalaran siswa yang dilakukan dalam penguasaan konsep fisika siswa
(Wirtha dan Rapi, 2008; Suma, 2012; Susanti, 2012).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas kemudian peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai model pembelajaran inquiry training, dengan
judul “ Efek Model Pembelajaran Inquiry Training dan Penalaran Formal
Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat diidentifikasi
beberapa masalah sebagai berikut :
1) Keterampilan Proses sains siswa sangat rendah, hal ini ditandai dengan hasil
belajar yang telah diujicoba pada siswa pada tingkat tidak memuaskan
48,38%.
2) Penalaran Formal Fisika siswa rendah ini dibuktikan dengan rendahnya siswa
dalam menalar, menyimpulkan dan mengkomunikasikan suatu permasalahan
fisika.
3) Materi pelajaran fisika kurang diminati, siswa lebih berminat kepada
pembelajaran praktek.
4) Kegiatan belajar mengajar yang menjemukan yang hanya terpaku kepada
mencatat dan mengerjakan soal.
5) Sebagian besar media yang digunakan masih kurang karena dari hasil data
yang diperoleh menyatakan media yang digunakan adalah dari buku paket
14
6) Kurangnya waktu untuk praktikum fisika dan dimana LKS yang digunakan
hanya berasal dari buku paket siswa.
7) Dalam mengajar guru kurang kreatif dalam menerapkan model pembelajaran
apa yang seharusnya digunakan dalam suatu pembelajaran fisika.
8) Adanya kesalahan konsep fisika dari guru, dimana menurut pendapat guru
bahwa fisika itu menjadi kendala karena lemahnya matematika dari seorang
siswa tersebut.
1.3. Pembatasan Masalah
Setiap aspek dalam pembelajaran Fisika mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas, agar tidak terlalu melebar, perlu pembatasan masalah dalam
penelitian ini agar lebih fokus, maka batasan masalahnya adalah :
1. Pembelajaran yang digunakan adalah Model pembelajaran Inquiry training
pada kelas eksperimen dan pembelajaran ekspositoripada kelas kontrol.
2. Dalam penelitian ini digunakan penalaran formal sebagai moderator dalam
penelitian.
3. Hasil belajar berupa pengetahuan keterampilan proses sains siswa.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukan pada latar belakang masalah maka
permasalahan utama pada penelitian ini adalah :
1) Apakah keterampilan proses sains siswa antara kelas yang menggunakan
model pembelajaran inquiry training lebih baik dibandingkan dengan kelas
15
2) Apakah keterampilan proses sains siswa antara kelompok siswa yang
memiliki penalaran formal di atas rata-rata lebih baik dibandingkan dengan
kelompok siswa yang memiliki penalaran formal di bawah rata-rata?
3) Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran inquiry training dan
pembelajaran ekspositori dengan penalaran formal dalam meningkatkan
keterampilan proses sains siswa?
1.5. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Untuk menganalisis keterampilan proses sains antara kelas yang
menggunakan model pembelajaran inquiry training lebih baik dibandingkan
dengan kelas yang menggunakan pembelajaran ekspositori.
2) Untuk menganalisis keterampilan proses sains antara siswa yang memiliki
penalaran formal di atas rata-rata lebih baik dibandingkan dengan yang
memiliki penalaran formal di bawah rata-rata.
3) Untuk menganalisis interaksi antara model pembelajaran inquiry training
dan pembelajaran ekspositori dengan penalaran formal siswa dalam
meningkatkan keterampilan proses sains siswa.
1.6.Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara
teoritis dan praktis. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat
16
pembelajaran inquiry training dalam meningkatkan keterampilan proses sains
siswa. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1) Manfaat Teoritis
a. Memberikan inspirasi dalam mengembangkan model-model pembelajaran
kreatif dan inovatif fisika untuk meningkatkan pengetahuan keterampilan
proses sains siswa
b. Mengembangkan penalaran formal siswa untuk meningkatkan
keterampilan proses sains siwa melalui model pembelajaran inquiry
training.
2) Manfaat Praktis
a. Untuk guru, sebagai informasi untuk menerapkan model pembelajaran
inquiry training
b. Untuk siswa, untuk membantu siswa agar termotivasi untuk terus
meningkatkan pengetahuan keterampilan proses sains siswa khususnya
bagi pelajaran fisika.
c. Untuk sekolah, sebagai informasi untuk menerapkan model pembelajaran
17
1.7. Defenisi Operasional
Untuk memberikan konsep yang sama dan menghindari kesalahan penafsiran
terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan
defenisi operasional sebagai berikut :
1) Pembelajaran ekspositori suatu kegiatan pembelajaran yang menekankan
kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang pendidik
kepada sekelompok peserta didik dengan maksud agar peserta didik dapat
menguasai materi pelajaran secara optimal.
2) Model pembelajaran inquiry training adalah model pembelajaran yang
menekankan pada proses berfikir kritis dan analisis dalam mencari dan
menemukan jawaban permasalahannya dengan menggunakan prosedur
ilmiah, mulai dari menemukan masalah, mengajukan hipotesis sampai
menemukan jawaban dari permasalahan yang dihadapinya.
3) Penalaran formal adalah kapasitas siswa untuk melakukan operasi-operasi
formal yang meliputi penalaran proporsional, pengontrolan variabel,
probabilistik, korelasi dan kombinatorial.
4) Keterampilan proses sains adalah kemampuan siswa untuk menerapkan
metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan dan menemukan ilmu
pengetahuan dimana dalam proses pembelajaran yang memberi kesempatan
kepada siswa agar dapat menemukan fakta, membangun konsep-konsep
melalui kegiatan atau pengalaman dalam melaksanakan kegiatan belajar
136
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah di uraikan pada bab sebelumnya,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Keterampilan proses sains fisika siswa menggunakan pembelajaran inquiry
training lebih baik dibandingkan dengan kemampuan keterampilan proses
sains siswa menggunakan model pembelajaran ekspositori. Berdasarkan data
dari nilai rata-rata siswa pembelajaran inquiry training sebesar 78,61 untuk
kelas ekspositori 66,94.
2. Keterampilan proses sains fisika siswa pada kelompok penalaran formal di
atas rata-rata lebih baik dibandingkan kemampuan keterampilan proses sains
fisika siswa pada kelompok penalaran formal di bawah rata-rata. Hal ini dapat
ditunjukkan dari data penelitian yang menunjukkan bahwa keterampilan
proses sains pada kelompok penalaran formal di atas rata-rata sebesar 75,61
dan pada kelompok penalaran formal di bawah rata-rata sebesar 69,18
3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan penalaran formal dalam
meningkatkan keterampilan proses sains fisika siswa. Hasil belajar
keterampilan proses sains siswa yang diajarkan melalui model pembelajaran
inquiry training pada kelompok penalaran formal di atas rata-rata sebesar
81,95 dan penalaran formal di bawah rata-rata sebesar 72,73 lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil belajar keterampilan proses sains siswa yang
137
di atas rata sebesar 67 dan pada kelompok penalaran formal di bawah
rata-rata sebesar 66,75
5.2. Saran
1. Siswa harus dibimbing dengan memberikan latihan yang cukup untuk
meningkatkan kemampuan keterampilan proses sains fisika siswa.
2. Peneliti selanjutnya menggunakan jangka waktu yang lebih lama karena
waktu yang tersedia dalam pelaksanaan pembelajaran baik dibelajarkan
dengan menggunakan model pembelajaran inquiry training dan dibelajarkan
dengan pembelajaran ekspositori masih sangat kurang, sebab disesuaikan
dengan jadwal sekolah yang bersangkutan.
3. Pendidik hendaknya memilih model pembelajaran yang sesuai, dengan tujuan
pembelajaran.
4. Pendidik dalam mengajar dengan menggunakan model pembelajaran inquiry
training lebih baik diterapkan pada siswa yang memiliki penalaran formal di
atas rata-rata karena dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa.
5. Dilihat dengan karakter siswa, siswa belum terbiasa dengan menggunakan
model pembelajaran inquiry training, maka sebaiknya siswa mulai dilatih
untuk melakukan percobaan-percobaan sederhana ketika pembelajaran fisika
agar memiliki respon yang cepat akan melakukan model pembelajaran
inquiry training.
6. Untuk peneliti selanjutnya dapat mengalokasi waktu yang lebih banyak
138
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R. I. 2007. Learning to Teach. Newyork : McGraw Hill.
Arikunto, Suharsimi. 2013. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2. Jakarta :
Bumi Aksara.
Astuti,Rina, Widha Sumarno, Suciati Sudarisman. 2012. Pembelajaran Ipa
dengan Pendekatan Keterampilan Proses Sains Menggunakan Metode Eksperimen Bebas Termodifikasi dan Eksperimen Terbimbing Ditinjau dari Sikap Ilmiah dan Motivasi Belajar Siswa. Jurnal Inkuiri 1(1):51-59.
Azizah, Aulia & Parmin. 2012. Inquiry Training Untuk Mengembangkan
Keterampilan Meneliti Mahasiswa. Unnes Science Educational Journal 1(1) : 1-11.
B, Melia Siska, Kurnia, Yayan Suparna. 2013. Peningkatan Keterampilan Proses
Sains Melalui Pembelajaran Praktikum Berbasis Inkuiri Pada Materi Laju Reaksi. Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia 1(1) : 69-75
Baird, William E, Gary D.Borich. 1985. Validity Considerations for the Study of
formal Reasoning Ability and Integreted Science Process Skills. Peper presented at the Annual Meeting of the National Association for Research in Science Teaching 58th, Freach Lick Springs, In, April 15-18.
Bao, Lei, Tianfan Cai, Katty Koenig, Kai Fang, Jing Han, Jing Wang, Qing Liu, Lin Ding, Lili CuiYing, Luo Yufeng Wang, Lieming Li, Nianle
Wu. 2009. Learning and Scientific Reasoning. Journal American
Association for the Advancement of Science 323, 586 (2009).
Beeth, Michel E., Jenice Pirro. 1999. Developing A Rubric For Assessing Science
Process Knowledge In Grades K-6. Paper Presented at the of the National Science Teachers Association, Boston, MA.
Colburn, Alan. 2000. An Inquiry Primer. Special issue, hlm 42- 44
Dewi, Riska Sartika. 2011. Pengaruh Pendekatan Keterampilan Proses Sains
Terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa Pada Konsep Suhu dan Kalor. Skripsi. Jakarta : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Gillani, Bijan B. 2010. Inquiry-Based Training Model and the Design of
139
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran
Abad 21. Bogor : Ghalia Indonesia.
Hayati, Retni Dwi Suyani. 2013. Efek Model Pembelajaran Inquiry Training
Berbasis Multimedia dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa, 2(1) : 24-33
Ihsan, Fuad H. A. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rineka Cipta.
Inhelder, Barbel. 1980. Toward A Theory Of Psychological Development. New
Jersey : NFER Publishing Company Ltd.
Jamaris, Martini. 2014. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Bogor :
Metode Inquiry Terbimbing Untuk Mengembangkan Keterampilan Proses Sains. JP2F 1(2) : 149-158.
Laten, Hengky. 2014. Aplikasi Analisis Data Statistik Untuk Ilmu Sosial Sains
dengan IBM SPSS. Bandung : Penerbit Alfabeta.
Lawson, Anton E, Floyd Norland. 1975. A Note on The Factor Structure of Some
Piaget Tasks.
Lawson, Anton, Anthony J. D. Blake. 1974. Concrete and Formal Thinking
Ability for High School Biology Students As Measured By Three Separate Instruments. California : National Science Education.
Marnoko. 2011. Perbedaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games
Tournament dan Model Pembelajaran Konvensional pada Hasil Belajar
Ekonomi Mahasiswa FE UNPAB. Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu 4(2) : 612 :
140
Menda, Marini Sri. 2014. Efek Model Pembelajara Inquiry Training dan
Keterampilan Proses Sains Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Listrik
Dinamis di Kelas X SMAN 1 Sunggal. Tesis Tidak Diterbitkan. Medan :
Unimed.
Nawi, M. 2012. Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Kemampuan Penalaran
Formal Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas (Swasta) Al Ulum Medan. Jurnal Taburasa PPS Unimed Medan. 9(1) : 81-96.
Pandey A., Nanda G.K, Ranjan V. 2011. Effectiviness of Inquiry Training Model
Over Conventional Teaching Method on Academic Achievement of Science Students in India. Journal of Innovative Research in Education 1(1).
Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Rao, Digumarti Bhaskara and Uyyala Naga Kumari. 2008. Science Process Skills
of School Students. New Delhi : Discovery Publishing House PVT. LTD.
Rapi, Ni Ketut. 2008. Implementasi Siklus Belajar Hipotesis-Deduktif untuk
Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Keterampilan Proses IPA di SMAN 4 Singaraja. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Undiksha, Vol 41(3) : 701-720.
Rilley, Josep. P, 1971. The Effect of Science Process Training on Preservice
Elementary Teachers' Process Skill Abilities,Understanding of Science,
and Attitudes TowardScience and Science Teaching. College of
EducationThe University of Delaware Newark.
Rizal, Muhammad. 2014. Pengaruh Pembelajaran Inquiry Terbimbing dengan
Multirepresentasi terhadap Keterampilan Proses Sains dan Penguasaan Konsep IPA Siswa di SMP. Journal Pendidikan Sains 2(3) : 159-165.
Sadulloh, Uyoh. 2011. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung : Alfabeta.
Sagala, S. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
Sahyar, H. 2015. Hand Book Konsep dan Teori Sains Fisika. Medan : Unimed
Press.
Sakdiah, Halimatuss, Sahyar. 2014. Efek Model Pembelajaran Inquiry Training
141
Salam, H. Burhanuddin. 2011. Pengantar Pedagogik Dasar-Dasar Ilmu
Mendidik. Jakarta : Rineka Cipta.
Sani, Ridwan Abdullah. 2012. Pengembangan Laboratorium Fisika. Medan :
Unimed Press.
Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Inovasi Pembelajaran. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Pembelajaran Saintifik Untuk Implementasi
Kurikulum 2013. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Sani, Ridwan Abdullah, M. Zainul Abidin T. Syihab.2010. Pengaruh Model
Pembelajaran Inquiry Training (Latihan Inkuiri) Terhadap Penguasaan Konsep Fisika Siswa Kelas X Sma Negeri 1Tanjung Beringin. Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Fisika 2(2) : 16-22
Sanjaya, H. Wina. 2014. Strategi Pembelajaran Berorentasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenadamedia Group.
Saripuddin. 2009. Praktis Belajar Fisika Untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta :
Depertemen Pendidikan Nasional.
Sirait, Ratna. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Training Terhadap
Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Usaha dan Energi Kelas VIII MTsN-3 Medan. Jurnal Pendidikan Fisika 1(1) : 21-26.
Slavin, Robert E. 2009. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Edisi
Kesembilan, Jilid 1. Terjemahan oleh Marianto Samosir. 2011. Jakarta : PT Indeks.
Sriwati, Nyoman &, Gde Anggan Suhandana, Nengah Bawa Atmadja. 2013. Komparasi Keefektifan Individual Dan Group (Creative Problem Solving) Terhadap Kemampuan Memahami Isi Wacana Ditinjau Dari Kemampuan
Penalaran Formal Siswa Kelas Xi Ipa Sma Negeri 1 Amlapura. e-journal
Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha 4 : 1-7.
Sudjana, 2012. Metode Statistika. Bandung : Tarsito.
Sugiono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R& D. Bandung : Alfabeta.
Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Penerbit Alfabeta.
Suma, Ketut. 2010. Efektivitas Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Peningkatan
Penguasaan Konten dan Penalaran Ilmiah Calon Guru Fisika. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 43 (6) : 47-55.
142
Suparno dan Widodo. 2009. Panduan Pembelajaran Fisika Untuk SMA/MA Kelas
X. Jakarta : Depertemen Pendidikan Nasional.
Suprayitno, Totok. 2011. Pedoman Pembuatan Alat Peraga Fisika Untuk SMA.
Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. 2009. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan.
Susanti, Ana & Sajidan, Sugiarto. 2014. Pembelajaran Biologi Menggunakan
Inquiry Training Models dengan Vee Diagram dan KWL Chart Ditinjau dari Keterampilan Berpikir Kritis dan Kemampuan Penalaran Formal. Jurnal Inkuiri 3(1) : 75-84.
Tawil, M. 2005. Pengaruh Kemampuan Penalaran Formal Terhadap Hasil
Belajar Fisika Siswa Kelas II SLTP Negeri 1 Sungguminasa Kabupaten
Gowa. Makasar: Jurusan Fisika FMIPA UNM.
Thoron, Andrew C, Brian E. Myers, 2012. Effects of Inquiry–based Agriscience
Instruction on Student Scientific Reasoning. Journal of Agriculture Education 53(4) : 157-170.
Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta :
Kencana Prenadamedia Group.
Trianto. 2013. Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan
Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: PT Bumi Aksara.
Uni, Hamzah B. 2008. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran.Jakarta :
Bumi Aksara.
Vaishnav, Rajshree S.2013. Effectiveness of Inquiry Training Model for Teaching
Science. Scholarly Research Journal for Interdiciplinary Studies 3(1) : 1216-1220.
Vitti, Debby, Anggie Torres. 2006. Practicing Science Process Skills at Home.
National Science Teacher Association Conn.
Wirtha, I Made and Ni Ketut Rapi. 2008. Pengaruh Model Pembelajaran dan
Penalaran Formal Terhadap Penguasaan Konsep Fisika dan Sikap
Ilmiah Siswa SMA Negeri 4 Singaraja. Jurnal Penelitian dan
143
Yan, Yip Din. 1996. Children‘s Abilities In Formal Reasoning And Implications
For Science Learning. Lecturer : The Chinese University of Hong Kong
Yuniastuti, Euis. 2013. Peningkatan Keterampilan Proses, Motivasi, dan Hasil