PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA
PARASETAMOL 15 mg/kgBB INTRAVENA DENGAN
METAMIZOL 15 mg/kgBB INTRAVENA
SEBAGAI PREVENTIF ANALGESIA PADA PEMBEDAHAN
PASIEN ANAK DENGAN ANESTESI UMUM
Oleh
ANDRIAMURI PRIMAPUTRA LUBIS NIM 077114005
TESIS
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FK USU/RSUP.H.ADAM MALIK
PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA
PARASETAMOL 15 mg/kgBB INTRAVENA DENGAN
METAMIZOL 15 mg/kgBB INTRAVENA
SEBAGAI PREVENTIF ANALGESIA PADA PEMBEDAHAN
PASIEN ANAK DENGAN ANESTESI UMUM
TESIS
Oleh :
ANDRIAMURI PRIMAPUTRA LUBIS NIM 077114005
Pembimbing I : dr. Soejat Harto,SpAn.KAP
Pembimbing II : dr. Hasanul Arifin,SpAn.KAP.KIC
Tesis Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Spesialis Anestesiologi program Pendidikan Dokter Spesialis I
Anestesiologi Dan Terapi Intensif
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA PARASETAMOL 15 mg/kgBB INTRAVENA DENGAN METAMIZOL 15 mg/kgBB INTRAVENA
SEBAGAI PREVENTIF ANALGESIA PADA PEMBEDAHAN PASIEN ANAK DENGAN ANESTESI UMUM
TESIS
ANDRIAMURI PRIMAPUTRA LUBIS NIM 077114005
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Soejat Harto, SpAn.KAP dr. Hasanul Arifin, SpAn.KAP.KIC NIP. 195505061986111001 NIP. 195104231979021003
Penguji I Penguji II
dr.Asmin Lubis,DAF,SpAn.KMN.KAP Prof.dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC
NIP. 195301211979021001 NIP. 195208261981021001
Penguji III
Dr.dr.Nazaruddin Umar,SpAn.KNA NIP. 195107121981031002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ketua Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP HAM Medan FK USU/RSUP HAM Medan
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiim, saya sampaikan rasa syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai syarat untuk memperoleh spesialis dalam bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.
Saya menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna baik isi maupun bahasannya, namun demikian saya berharap bahwa tulisan ini dapat menambah perbendaharaan bacaan tentang Perbandingan Efek Analgesia Parasetamol 15 mg/kgbb IV Dengan Metamizol 15 mg/kgbb IV Sebagai Preventif Analgesia Pada Pembedahan Pasien Anak Dengan Anestesi Umum.
Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis di Fakultas ini.
Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Rumah Sakit Haji Mina Medan, Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan,Rumah Sakit Kesdam I BB,RSUD Gayo Lues yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan Rumah Sakit ini.
memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.
Yang Terhormat Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC sebagai Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik, dr. Hasanul Arifin,SpAn.KAP.KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif,DR. dr. Nazaruddin Umar, SpAn, KNA sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn KAKV sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif yang telah banyak memberi petunjuk, pengarahan serta nasehat dan keikhlasan telah mendidik selama saya menjalani program ini sebagai guru, bahkan orang tua, selama saya mengikuti pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.
Yang Terhormat guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. A. Sani P. Nasution SpAn KIC, dr. Chairul Mursin SpAn, dr. Asmin Lubis DAF, SpAn.KAP.KMN, dr. Nadi Zaini Bakri SpAn, dr.Muhammad AR SpAn,dr.Yutu Solihat,SpAn.KAKV, dr. Veronica H.Y. SpAn KIC, dr. Tjahaya Indra Utama SpAn, dr. Syamsul Bahri Siregar SpAn, dr. Walman Sitohang SpAn, dr. Tumbur SpAn, dr. Dadik W. Wijaya SpAn, dr. M. Ihsan SpAn, dr. Guido M. Solihin SpAn,dr Nugroho K,SpAn,dr Rommy F N,SpAn yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu pengetahuan di Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, baik secara teori maupun keterampilan sehingga menimbulkan rasa percaya diri baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.
adik-adik saya yang telah memberikan dorongan semangat selama saya menjalani pendidikan ini.
Yang Terhormat mertua saya DR.H.Maratua Simanjuntak dan alm.Hj.Rosmawaty Pulungan,Dra Hj Farida Hanum serta abang,kakak dan adik-adik ipar yang telah memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga pendidikan ini dapat selesai.
Kepada istriku tercinta dr.Hj.Syarifah Yusriani MS yang selalu menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi saya selama pendidikan ini. Tiada kata yang lebih indah diucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.
Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian Anestesiologi dan Terapi Intensif yang telah bersama-sama baik suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua.
Kepada paramedik dan karyawan Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dan banyak bekerjasama selama saya menjalani pendidikan ini.
Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini. Semoga bantuan dan dorongan serta petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Amin, Amin Ya Rabbal’alamin. Medan, Januari 2011
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PEGANTAR………….………..….... i
DAFTAR ISI………..……… iv
DAFTAR TABEL………. vii
DAFTAR GAMBAR………..………..…….……… viii
DAFTAR GRAFIK………..….. ix
DAFTAR LAMPIRAN………. x
DAFTAR SINGKATAN………..………. xi
ABSTRAK………..……… xii
ABSTRACT……… xiv
BAB 1 PENDAHULUAN………. 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah………..…… 6
1.3 Hipotesa……….…… 6
1.4 Tujuan……… 6
1.5 Manfaat………... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……….…… 8
2.1 Fisiologi Nyeri………..……… 8
2.2 Nosiseptor……….……… 10
2.3 Peranan Prostaglandin………..………. 10
2.4 Enzim Siklooksigenase... 11
2.5 Perjalanan Nyeri……… 12
2.6 Patofisiologi Nyeri Anak... 13
2.7 Preemptif Analgesia... 18
2.8 Preventif Analgesia……….……….. 18
2.10 Instrumen Pengukur Nyeri….……… … 23
2.11 Parasetamol...………….………... 26
2.12 Metamizol………..……….. 29
2.13 Kerangka Konsep……… 33
BAB 3 METODE PENELITIAN……… 34
3.1 Desain……… 34
3.2 Tempat dan Waktu……….……….. 34
3.3 Populasi dan Sampel………. 34
3.3.1 Populasi……….. 34
3.3.2 Sampel……… 34
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi……….……… 34
3.5 Besar Sampel……….……… 35
3.6 Cara Kerja………. 36
3.7 Identifikasi Variabel……….. 39
3.7.1 Variabel Bebas……… 39
3.7.2 Variabel Tergantung……….……….. 39
3.8 Rencana Manajemen dan Analisa Data………. 39
3.9 Definisi Operasional………..……… 39
3.10 Masalah Etika……….. 42
BAB 4 HASIL PENELITIAN………. 43
BAB 5 PEMBAHASAN………. 52
DAFTAR PUSTAKA………. 58
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.6 Simplified post anaesthetic recovery score... 37
Tabel 3.9 Skala FLACC... . 41
Tabel 4.1 Karakteristik Umum……….… …….. 44
Tabel 4.2 Karakteristik Jenis Operasi……… 46
Tabel 4.3 Karakteristik Lama Anestesi dan Lama Operasi... 46
Tabel 4.4.1 Nilai WBPRS paska operasi………..………. 47
Tabel 4.4.2. Nilai FLACC paska operasi………..………... 48
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Perjalanan Nyeri dari Perifer ke Sentral………. 13
Gambar 2 Skematik Preemptif dan Preventif Analgesi……….. 19
Gambar 3 Mekanisme Kerja Obat Analgetik………. 20
Gambar 4 Tempat Kerja Obat Analgetik………. 21
Gambar 5 Pengaruh Obat AINS………. 22
Gambar 6 Rumus Bangun Parasetamol....………... 26
Gambar 7 Rumus Bangun Metamizol………... 30
Gambar 8 Kartu Penilaian Wong Baker Faces Pain RatingScale……… 41
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Riwayat Hidup Peneliti……… 64
Lampiran 2. Lembaran Rencana Penelitian………...………. 65
Lampiran 3. Formulir Penjelasan Mengenai Penelitian... 66
Lampiran 4. Formulir Persetujuan Mengikuti Penelitian……… 70
Lampiran 5. Lembaran Observasi Pasien Perioperatif……… 71
Lampiran 6. Lembaran Instrumen Skala Nyeri……… 72
Lampiran 7. Lembaran Rencana Anggaran Penelitian... 73
Lampiran 8. Randomisasi Blok Sampel dan Daftar Sampel……… 74
Lampiran 9. Sebaran Data Hasil Penelitian………. 75
Lampiran 10. Lembaran Persetujuan Komite Etik FK USU ………... 76
DAFTAR SINGKATAN
AINS : Anti Inflamasi Non Steroid ATP : Adenosin Triposphat BB : Berat Badan
COX-1 : Cyclo Oxygenase-1 COX-2 : Cyclo Oxygenase-2 COX-3 : Cyclo Oxygenase-3
FLACC : Faces,Legs,Activity,Cry,Consolability NSAID : Non Steroid Anti Inflamatory Drug WBPRS : Wong Baker Pain Rating Scale PG : Prostaglandin
IV : Intravena EKG : Elektro Kardiografi HR : Heart Rate
THT : Telinga Hidung Tenggorok
PS-ASA : Physical Status American Society of Anesthesiologist GA : General Anestesi
ABSTRAK
Latar Belakang dan tujuan: Penanganan nyeri adalah hak dasar manusia
tanpa memandang jenis kelamin dan usia. Penanganan nyeri tidak dapat
disamakan pada masing-masing individu dan kelompok umur karena
penanganan nyeri yang baik memerlukan perhatian khusus terhadap
fisiologi, anatomi, dan karakteristik farmakologi. Pasien anak dan orang
tua mendapat perhatian khusus dalam penanganan nyeri karena persepsi
nyeri, kognitif, dan personaliti menyebabkan ambang nyeri keduanya
sangat berbeda. Nyeri yang bersifat akut adalah sensasi yang paling
sering dialami oleh anak dibandingkan nyeri kronik, yang dapat
disebabkan trauma, adanya penyakit yang diderita dan akibat tindakan
medis lainnyaAnalgesia yang sering digunakan saat ini untuk nyeri paska
bedah pada anak-anak adalah golongan Non Opioid Analgesi seperti
NSAID (Non Steroid Anti Inflamatory Drug), karena dianggap aman dan tidak menimbulkan depresi pernapasan. Tetapi efek analgesia dari Non
Opioid Analgesi seperti NSAID kurang poten dan golongan ini dapat
menimbulkan banyak efek samping. Parasetamol dan metamizol sering
digunakan sebagai alternatif penanganan nyeri sebagai pengganti NSAID.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek analgesia parasetamol
dengan metamizol yang diberikan intravena sebagai preventif analgesia
pada pembedahan pasien anak dengan anestesi umum.
Metode: penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan memakai cara randomisasi blok. Penelitian ini dilakukan di
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, dengan waktu Oktober
2010 s.d. Desember 2010. Populasi diambil dari pasien anak berumur tiga
tahun sampai sepuluh tahun yang menjalani pembedahan dengan
anestesi umum di RSUP H. Adam Malik Medan dan sampel diambil dari
semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel
mendapat Metamizol 15 mg/kgBB IV 30 menit sebelum sayatan pertama,
lalu dilanjutkan dengan premedikasi. Kelompok B mendapat Parasetamol
15 mg/kgBB IV 30 menit sebelum sayatan pertama dilanjutkan dengan
premedikasi. Kedua kelompok paska pembedahan diperlakukan sama
dengan mendapatkan Metamizol 15 mg/kgBB IV atau Parasetamol 15
mg/kgBB IV dan juga dilakukan penilaian nyeri setiap enam jam sampai
dengan duapuluh empat jam setelah enam jam injeksi pertama. Evaluasi
terhadap penilaian nyeri dengan Wong Baker Faces Pain Rating Scale
dan FLACC Scale.
Hasil: hasil penelitian evaluasi nyeri paska bedah dengan Wong Baker Faces Pain Rating Scale didapati nilai p=0,035; p=0,002; p=0,004;
p=0,245, nilai ini menunjukkan ada perbedaan bermakna diantara kedua
kelompok,kecuali pada pemberian ke IV dari jadwal yang sudah
ditentukan,sedangkan evaluasi nyeri paska bedah dengan FLACC scale
didapati nilai p=0,121, p=0,089, p=0,151, p=0,182, nilai ini menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua kelompok.Dengan
nilai p=0,000,p=0,001,p=0,000,p=0,030 didapatkan ada hubungan yang
bermakna antara Wong Baker Faces Pain Rating scale dengan FLACC
scale sebagai alat pengukur nyeri pada anak.
Kesimpulan: Parasetamol dan metamizol effektif sebagai preventif analgesia pada pembedahan pasien anak dengan anestesi
umum.Parasetamol lebih baik dalam menurunkan nilai nyeri berdasarkan
penilaian Wong Baker Faces Pain Rating Scale.Dari penelitian didapatkan
ada hubungan yang searah antara nilai WBPRS dengan nilai FLACC
sebagai alat pengukur nyeri pada anak.
ABSTRACT
BACKGROUND AND OBJECTIVE : Pain management is human right
without any relation with gender and age. Pain management is different
among individual and age group because a good pain management needs
special attention in physiology, anatomy, and pharmacology characteristic.
In paediatric patient and elderly, there is a special attention in pain
management due to the differentiation threshold in perception of pain,
cognitive and personality. Paediatric patient are more likely to experience
acute pain than chronic pain that due to trauma, underlying disease and
other medical experiences. The common analgesic that used for post
surgery pain in paediatric patient is Non Opiod Analgesic group like
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug). This drug is used due to its
safety and does not cause respiratory depression, but the effect of
analgesic from Non Opiod Analgesic like NSAID is less potent and this
group cause many side effects. The using of paracetamol and metamizol
is common as an alternative way for pain management to NSAID. The aim
of this study is to compare the effect of paracetamol with metamizol that is
given intravenous as a preventive analgesic for surgery with general
anaesthesia in paediatric patient.
METHODE : This study uses a randomised control double blind clinical
trial with block randomisation. This study was done in General hospital of
Haji Adam Malik from October 2010 to December 2010. The population
were paediatric patient with age range from 3 to 10 years old who endure
a surgery with general anaesthesia in General hospital of Haji Adam Malik
and sample was taken from all the population that fullfil the inclusion and
exclusion criteria. Sample was divided into two groups, group A and group
B. Group A was given metamizol 15 mg/kgBW iv 30 minutes before
surgery continued with premedication. Group B was given paracetamol 15
two groups were treated equally and pain assessment was done in every
6 hours to 24 hours, after the first 6 hours injection. The evaluation of pain
assessment is done with the Wong Baker Faces Pain Rating Scale and
FLACC Scale.
RESULT : From the pain evaluation in post surgery patient with Wong
Baker Faces Pain Rating Scale, the p score are p=0.035; p=0.002;
p=0.004; p=0.245. This result shows that there is a correlation between
the two groups, except in the fourth injection from the schedule. Whereas,
In pain evaluation in post surgery patient with FLACC Scale, the p score
are p=0.121; p=0.089; p=0.151; p=0.182. This result shows that there is
no correlation between the two groups. With p=0.000; p=0.001; p=0.000;
p= 0.30 shows that there is a correlation between Wong Baker Faces Pain
Rating Scale with FLACC Scale as an instrument for pain evaluation in
paediatric patient.
CONCLUSION : Paracetamol and metamizol were effective as preventive
analgesic for surgery with general anaesthesia in paediatric patient.
Paracetamol is more effective in decreasing pain score according to Wong
Baker Faces Pain Rating Scale. From the result of the study there is a
correlation between Wong Baker Faces Pain Rating Scale and FLACC
Scale as an instrument for pain evaluation in paediatric patient.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penanganan nyeri adalah hak dasar manusia tanpa memandang
jenis kelamin dan usia. Telah diketahui bahwa transmisi dan persepsi
nyeri timbul dan berfungsi sejak kehamilan usia 24 minggu.1 Penanganan
nyeri tidak dapat disamakan pada masing-masing individu dan kelompok
umur karena penanganan nyeri yang baik memerlukan perhatian khusus
terhadap fisiologi, anatomi, dan karakteristik farmakologi. Pasien anak dan
orang tua mendapat perhatian khusus dalam penanganan nyeri karena
persepsi nyeri, kognitif, dan personaliti menyebabkan ambang nyeri
keduanya sangat berbeda.2
Penanganan nyeri dan sedasi yang adekuat pada pasien anak
adalah hal yang sangat penting. Pemberian analgesik dan sedasi dapat
mengurangi kecemasan dan nyeri, yang apabila tidak ditangani dapat
menimbulkan dampak psikologis dan fisik yang merugikan.3,4
Pada saat kita merencanakan tatalaksana nyeri pada anak penting
sekali untuk mengetahui dan mengenal kaidah-kaidah fisiologi, psikologi
dan respons emosional anak terhadap rasa sakit. Tanpa memperhatikan
aspek penting ini, sulit bagi kita untuk merencanakan pengobatan yang
adekuat. Perubahan tanda vital tidak selalu terjadi pada semua anak yang
menderita nyeri hebat. Sebaiknya perubahan tanda vital tidak digunakan
dalam menetapkan derajat rasa sakit yang diderita seorang anak.
Kadang-kadang seorang anak yang menderita nyeri bahkan nyeri berat
sekalipun dapat dialihkan perhatiannya dari rasa sakit, bahkan ada yang
bisa beristirahat dengan baik. Jangan percaya bahwa seorang anak tidak
merasa sakit karena dia kelihatannya “baik-baik saja”. Selalu tanya dan
percaya pada penilaian anak terhadap rasa sakitnya. Anamnesis dan
diagnosis. Rincian terhadap lokasi nyeri, lama nyeri, penyebaran dan
karakteristik rasa nyeri sering menolong dalam menentukan pengobatan
rasa nyeri tersebut.5-7
Nyeri yang bersifat akut adalah sensasi yang paling sering dialami
oleh anak dibandingkan nyeri kronik, yang dapat disebabkan trauma,
adanya penyakit yang diderita dan akibat tindakan medis lainnya.8 Nyeri paska bedah adalah permasalahan penting yang menyertai tindakan
operasi. Penanganan nyeri yang efektif dengan efek samping sedikit
mungkin akan mempercepat pemulihan dan kepulangan pasien dari
rumah sakit. Kenyamanan pasien merupakan salah satu hal yang penting
sehingga analgetik yang adekuat sangat dibutuhkan pada periode paska
bedah.9
Seperti kita ketahui bahwa nyeri terdiri dari dua komponen penting
yaitu sensoris dan afektif ( emosional ).10 Analgesia yang sering
digunakan saat ini untuk nyeri paska bedah pada anak-anak adalah
golongan Non Opioid Analgesi seperti NSAID (Non Steroid Anti
Inflamatory Drug), yang dianggap aman karena tidak menimbulkan
depresi pernapasan. Tetapi efek analgesia dari Non Opioid Analgesi
seperti NSAID kurang poten dan golongan ini meningkatkan resiko
perdarahan pra bedah dan paska bedah.11 Selain itu Non Opioid Analgesi
tidak memiliki efek sedasi yang dibutuhkan dalam penanganan nyeri
terutama pada anak-anak. Analgesik opoid memiliki efek unik yaitu dapat
menurunkan kedua aspek dari nyeri, terutama aspek afektif.10
Analgetik sangat diperlukan setelah pasien menjalani pembedahan,
banyak efek yang merugikan bila pasien tadi masih merasa nyeri paska
pembedahan. Nyeri paska pembedahan dapat menyebabkan respon
segmental dan supra-segmental refleks yang dapat berefek pada sistem
pernafasan, kardiovaskular, pencernaan, urine, dan hormonal.9,12
Obat-obat Non Opioid Analgesi seperti NSAID sudah popular
sebagai analgesia. Obat-obat ini bermanfaat dalam menurunkan
penyembuhan dengan cara mengurangi efek samping opioid. Obat NSAID
di sisi lain juga menimbulkan efek yang tidak di inginkan, antara lain
gangguan mukosa gastrointestinal dan aliran darah ginjal.9,12
The Agency for Health Care Policy and Research dari Department
of Health and Human Services Amerika Serikat mempublikasikan
panduan praktis penatalaksanaan nyeri akut, dimana bila tidak
didapatkan kontra indikasi, terapi farmakologi untuk nyeri paska bedah
ringan-sedang harus di mulai dengan obat Non Opioid Analgesi .9,12
Berdasarkan penelitian Joseph E,dkk ,departemen Anestesiologi
Universitas Barcelona,Spanyol (1999) menyatakan bahwa analgesik yang
paling sering digunakan pada anak-anak paska bedah adalah
metamizol,propiphenazon,parasetamol dan kodein.13 Pada pemberian
intravena onset dari obat NSAID lebih cepat tercapai sehingga pemberian
intravena merupakan pilihan apabila penanganan nyeri yang cepat
diperlukan seperti pada keadaan paska pembedahan.14
Obat Non Opioid Analgesi seperti NSAID menurunkan kadar
mediator-mediator inflamatori pada daerah trauma, tidak menyebabkan
sedasi atau depresi pernafasan. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan Parasetamol sebagai salah satu obat penghambat aktifitas
sintesis prostaglandin di hipotalamus melalui penghambatan COX-3 yang
memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan obat-obat golongan NSAID
lain. Keunggulan tersebut antara lain efek samping pada gastrointestinal
dan platelet yang sangat minimal dan dapat mengurangi penggunaan
opioid yang selama ini banyak digunakan sebagai obat standar untuk
penanganan nyeri paska bedah.Parasetamol juga merupakan obat yang
paling sering diresepkan untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang
pada bayi.15
Metamizol merupakan turunan pirazolon dengan efek analgesik
dan antipiretik namun dengan efek anti inflamasi yang lemah.Mekanisme
prostaglandin di spinal posterior horns.15 Merupakan obat pilihan analgetik dari golongan NSAID untuk mengurangi resiko perdarahan.16
Penelitian tentang perbandingan efek analgesia Parasetamol
dengan Metamizol banyak dilakukan pada populasi dewasa. Berdasarkan
penelitian Henning O, dkk,Departemen Anestesiologi dan Perawatan
intensif Universitas Schleswig-Holstein,Jerman (2009) pada pasien
setelah dilakukan operasi payudara menunjukkan bahwa baik pemberian
Parasetamol 1g intravena (IV) maupun Metamizol 1g intravena (IV)
secara signifikan menghasilkan pengurangan dalam konsumsi morfin total
pasca bedah terutama lagi pada pemberian parasetamol 1g IV.17
Penelitian lain yang juga dilakukan di Jerman oleh Susanne
L,dkk,departemen Anestesiologi Universitas Cologne,Jerman (2005) pada
pasien setelah operasi retina menunjukkan Parasetamol 1g IV mempunyai
efek analgetik yang sama dengan Metamizol 1g IV sebagai analgetik
pasca bedah.18 Vladimir,dkk,departemen bedah mulut universitas Minas
Gerais ,Brazil (2009) menyatakan bahwa penggunaan oral parasetamol
750 mg dan mitamizol 500 mg lebih mempunyai efek analgesi
dibandingkan dengan lysine cloxinate 125 mg.19 Sedangkan penelitian
yang dilakukan pada pasien anak pasca bedah sendiri adalah oleh In Hwa
Lee,dkk, departemen Anestesiologi univesitas Ewha ,Korsel,(2009)
menunjukkan bahwa baik ketorolak 1mg/kg maupun propasetamol 30
mg/kg tidak mempunyai efek preemptive analgesik setelah 1 jam pasca
operasi adenotonsilektomi.20 Pada penelitian lain oleh Murat
M,dkk,departemen anestesiologi rumah sakit Enfants Armand
Trousseau,Paris,Prancis (2004) menyatakan bahwa infus tunggal dari
parasetamol 15 mg/kg IV menghasilkan efek analgesia yang sama
dengan infus tunggal propasetamol 30 mg/kg setelah operasi hernia
inguinal pada anak.Parasetamol 15 mg/kg lebih baik dalam toleransi pada
tempat penyuntikkan dibandingkan propasetamol.21 Jeong
Y,dkk,departemen anestesiologi universitas Yonsei,Korsel (2010)
dan parasetamol 20 mg/kg merupakan metode yang mudah,aman dan
efektif untuk menghilangkan nyeri pasca operasi pada pasien anak-anak
rawat jalan setelah operasi hernia inguinal.22
Pada penelitian laboratoris,pemberian analgetik sebelum adanya
stimulus nyeri akut lebih efektif dalam meminimalkan perubahan pada
kornu dorsalis akibat sensitisasi sentral dibandingkan dengan analgetik
yang sama diberikan setelah keadaan nyeri terjadi.Hal ini menimbulkan
hipotesis bahwa penanganan nyeri sebelum pembedahan dapat
meringankan nyeri pasca bedah dengan lebih baik ini disebut ‘analgesia
preemptif’ yang ditulis oleh Wall 1988.23 Namun,penelitian klinis yang
dilaporkan (Moniche dkk,2002,tingkat 1) gagal mengkonfirmasikan adanya
efek yang bermakna dari waktu pemberian analgetik dengan
membandingkan pemberian analgetik sebelum dan sesudah insisi. Hal ini
sebagian dipengaruhi oleh variasi pada defenisi,kurangnya desain
penelitian klinis dan perbedaan hasil dari penelitian laboratoris dengan
klinis.24
Defenisi terakhir disempurnakan oleh Kissin (2005) dengan alasan
karena proses sensitisasi sentral tidak hanya diakibatkan oleh insisi
kulit,namun juga oleh kerusakan jaringan pada seluruh prosedur
intraoperatif dan inflamasi paska bedah,maka fokus telah bergeser dari
waktu pemberian satu intervensi tunggal kepada konsep “analgesia
preventif”.25
Dengan melihat latar belakang diatas bahwa parasetamol dengan
metamizol belum pernah dibandingkan efek analgesianya pada populasi
anak,maka peneliti berkeinginan untuk membandingkan efek analgesia
Parasetamol intra vena dengan Metamizol intra vena sebagai preventif
1.2 Rumusan masalah
Apakah ada perbedaan effektivitas pada pemberian Parasetamol
15 mg/kg intravena dibandingkan dengan Metamizol 15 mg/kg intravena
sebagai preventif analgesia pada pasien anak dalam mengatasi nyeri
paska bedah pada tindakan pembedahan dengan anestesi umum.
1.3 Hipotesa
Ada perbedaan effektivitas pada pemberian Parasetamol 15 mg/kg
intravena dibandingkan dengan Metamizol 15 mg/kg intravena sebagai
preventif analgesia pada pasien anak dalam mengatasi nyeri paska bedah
pada tindakan pembedahan dengan anestesi umum.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum
Mendapatkan alternatif obat analgesia yang efektif dalam
mengatasi nyeri paska pembedahan pada pasien anak dengan
tehnik preventif analgesia.
1.4.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui obat golongan Non Opioid Analgesi yang lebih
effektif dalam mengatasi nyeri paska pembedahan dengan tekhnik
preventif pada pasien anak-anak usia 3-10 tahun dengan
menggunakan Wong Baker Faces Pain Rating scale dan FLACC
scale.
2. Untuk mengetahui effektivitas Parasetamol dalam mengatasi nyeri
paska pembedahan pada pasien anak-anak usia 3-10 tahun
dengan menggunakan Wong Baker Faces Pain Rating scale dan
3. Untuk mengetahui effektivitas Metamizol dalam mengatasi nyeri
paska pembedahan pada pasien anak-anak usia 3-10 tahun
dengan menggunakan Wong Baker Faces Pain Rating scale dan
FLACC scale.
4. Untuk mengetahui hubungan antara Wong Baker Faces Pain
Rating scale dan FLACC scale sebagai parameter alat ukur nyeri
pada pasien anak.
1.5 Manfaat
a. Dari penelitian ini diharapkan dapat ditemukan obat Non Opioid
Analgesi yang tepat sebagai preventif analgesia pada pasien
anak-anak usia 3-10 tahun sehingga nyeri paska pembedahan dapat di
atasi.
b. Dapat dipakai sebagai alternatif lain dari obat golongan Non Opioid
Analgesi yang telah ada pada pasien anak-anak usia 3-10 tahun
dalam preventif analgesia.
c. Dapat dipakai sebagai pedoman penelitian untuk penanganan nyeri
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan suatu persepsi sensorik yang sangat
mengganggu pada manusia, baik orang dewasa maupun anak-anak.
Berbeda dengan manusia dewasa yang mampu menyampaikan keluhan
rasa sakitnya melalui berbagai cara yang mudah dimengerti oleh
pemeriksanya, seorang anak sering kali sulit menyatakan rasa sakitnya
dengan bahasa yang mudah dimengerti.5
Pengungkapan rasa sakit / nyeri pada anak sering kali dinyatakan
dengan ekspresi yang sulit dimengerti, sehingga pengenalan tanda dan
bahasa tubuh anak sering diperlukan. Penyebab nyeri itu sendiri
merupakan beraneka ragam rangsangan sensorik, ada berupa nyeri perut
baik dari sistem gastrointestinal ataupun urogenital, nyeri akibat operasi,
nyeri otot/tulang atau sendi, nyeri karena penyakit gigi, penyakit telinga,
ataupun nyeri pada penyakit keganasan yang semuanya sering
memerlukan penilaian ataupun pengobatan yang spesifik.5
Nyeri dapat didefenisikan sebagai pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya
kerusakan jaringan yang jelas, cenderung rusak, atau sesuatu yang
tergambarkan seperti yang dialami (International Association for the Study of Pain). Dari defenisi di atas dapat diketahui adanya hubungan pengaruh obyektif (aspek fisiologi dari nyeri) dan subyektif (aspek komponen emosi
dan kejiwaan). Pengaruh subyektif erat kaitannya dengan pendidikan,
budaya, makna situasi dan aktifitas kognitif, sehingga nyeri merupakan
hasil belajar serta pengalaman sejak dimulainya kehidupan.
Individualisme rasa nyeri ini sulit dinilai secara obyektif, walaupun dokter
untuk mengetahui seseorang berada dalam kondisi nyeri ataupun tidak
adalah dengan menanyakannya langsung.26-28
Dalam keadaan fisiologis, stimulus dengan intensitas rendah
menimbulkan sensasi rasa yang tidak / kurang menyakitkan yang
diaktifkan oleh serabut saraf A beta, sedang stimulus dengan intensitas
tinggi menimbulkan sensasi rasa nyeri yang diaktifkan oleh serabut A
delta dan serabut saraf C. Pada keadaan paska operasi, sistem saraf
sensori ini mengalami hipersensitifitas yang akan menyebabkan juga
perubahan fungsi di kornu dorsalis medula spinalis sehingga dengan
stimulus yang rendah menyebabkan rasa nyeri yang nyata.29
Berdasarkan asalnya nyeri dibagi dua, yaitu nyeri somatik dan nyeri
viseral. Nyeri somatik yang berasal dari kulit disebut nyeri superfisial,
sedangkan nyeri yang berasal dari otot rangka, tulang, sendi atau jaringan
ikat disebut nyeri dalam. Nyeri superfisial cirinya tajam, lokasinya jelas,
dan cepat hilang bila stimulasi dihentikan. Sedangkan nyeri dalam cirinya
terasa tumpul, sulit dilokasi, dan cenderung menyebar ke sekitarnya. Nyeri
viseral biasanya disebabkan oleh penarikan yang kuat dari organ-organ
dalam abdomen, demikian juga karena spasme atau kontraksi yang kuat
dari organ viseral yang menimbulkan nyeri terutama bila disertai dengan
aliran darah yang tidak adekuat.26-27
Berdasarkan lamanya nyeri juga dibedakan menjadi nyeri akut dan
nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus
nosiseptif karena perlakukan atau proses penyakit atau fungsi abnormal
dari otot atau visera. Biasanya nyeri ini mudah dideteksi, lokasinya jelas,
dan sebatas kerusakan jaringan. Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap
lebih dari satu bulan atau diatas waktu yang seharusnya perlukaan
mengalami penyembuhan. Yang termasuk nyeri kronik adalah nyeri
persisten yaitu nyeri yang menetap untuk waktu yang lama atau nyeri
rekuren yaitu nyeri yang kambuh dengan interval tertentu.26-27
Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan,
nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon inflamasi
pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh
jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara
lain adalah prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P,
lekotrein dimana zat-zat tersebut berperan sebagai transduksi dari
nyeri.27,29-31
2.2. Nosiseptor
Nosiseptor adalah reseptor nyeri yang ada di seluruh tubuh,
letaknya terutama pada permukaan kulit, kapsula sendi, di dalam
periosteum, serta di sekitar dinding pembuluh darah. Organ dalam juga
mempunyai nosiseptor hanya saja jumlahnya lebih sedikit. Reseptor nyeri
berupa ujung syaraf bebas dengan permukaan reseptor yang luas,
sehingga kadang-kadang sulit untuk menentukan sumber nyeri secara
tepat.32
Nosiseptor sangat sensitif terhadap suhu yang sangat ekstrem,
kerusakan mekanik, bahan-bahan kimia terutama yang keluar akibat
kerusakan sel. Stimuli yang sangat kuat dari ketiganya dapat
menimbulkan nyeri. Stimuli pada dendrit nosiseptor menyebabkan
depolarisasi, dan juga rangsangan tersebut mencapai akson dan melewati
ambang potensial, maka stimulus akan diteruskan hingga mencapai
susunan saraf pusat.33
2.3. Peranan Prostaglandin
Di antara mediator-mediator reaksi lokal ini ditemukan
prostaglandin. Semuanya diawali dengan degradasi fosfolipid membran
sel menjadi asam arakhidonat, yang diperantarai oleh enzim fosfolipase
A2. Tahap pertama ini dihambat oleh kortikosteroid.
Sejak terbentuk asam arakhidonat terjadi dua jalur proses metabolisme :
1. Cara metabolisme melalui siklooksigenase yang berakhir dengan
menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi:
edema, menimbulkan rasa nyeri lokal, kemerahan (eritema) lokal.
Selain itu meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap
rangsang nyeri (nosiseptif).
2. Cara metabolisme melalui lipooksigenase yang berakhir dengan
terbentuknya leukotrien. Leukotrien meningkatkan daya kemotaktik
polinuklear dan menghasilkan radikal bebas dengan akibat
terjadinya lesi.32-33
2.4. Enzim Cyclooxygenase (COX)
Enzim Cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim yang
mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. PG memediasi
sejumlah besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi
pelindung lapisan lambung, mempertahankan perfusi renal, dan aggregasi
platelet. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan
produksi mediator prostaglandin. Hal ini menghasilkan kedua efek, baik
yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus
lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX
dihubungkan dengan 2 isoenzim, yang ubiquitously dan constitutive
diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2.34
Sampai saat ini telah dikenal tiga isoenzim siklooksigenase (COX) yaitu
COX 1, COX 2 dan COX 3. COX 3 sendiri merupakan isoenzim yang
baru-baru ini ditemukan dan merupakan varian dan turunan dari COX 1
yang telah dikenal sebelumnya.35-37
Siklooksigenase 3 (COX 3) dapat menjelaskan mekanisme kerja
dari beberapa analgetik antipiretik NSAID yang memiliki efektifitas kerja
lemah dalam menginhibisi COX 1 dan COX 2 tetapi dapat dengan mudah
melakukan penetrasi ke otak. Beberapa jenis obat yang dikenal memiliki
efek inhibisi terhadap COX 3 antara lain asetaminofen. Pengetahuan
menerangkan mekanisme kerja dari asetaminofen yang sampai saat ini
masih sangat sulit untuk dipahami.37-40
2.5. Perjalanan Nyeri
Antara stimuli nyeri sampai dirasakannya sebagai persepsi nyeri
terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologis yang secara kolektif
disebut sebagai nosiseptif. Ada empat proses yang terjadi pada suatu
nosiseptif yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi : 33,41-42
1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung syaraf.
Rangsang ini dapat berupa stimuli fisik, kimia, ataupun panas.
2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi tadi melalui saraf sensorik. Impuls ini akan
disalurkan oleh serabut saraf A Delta dan serabut C sebagai
neuron pertama (dari perifer menuju kornu dorsalis medula
spinalis). Pada kornu dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan
menyilang garis tengah dan naik melalui traktus spinotalamikus
kontralateral menuju talamus, yang disebut sebagai neuron kedua.
Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron
ketiga yang memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna
dan korona radiata menuju girus postsentralis korteks serebri.
3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama
sampai ke korteks serebri. Modifikasi dapat berupa augmentasi
(peningkatan), ataupun inhibisi (penghambatan).
4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya
diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri
Gambar 1. Perjalanan nyeri dari perifer ke sentral
2.6. Patofisiologi Nyeri pada anak
Hubungan saraf yang dibutuhkan untuk transmisi dan persepsi
nyeri berfungsi ketika usia kehamilan 24 minggu.Walaupun myelinasi
belum sempurna dan kecepatan penghantaran saraf mungkin berkurang,
namun jarak konduksi yang pendek pada neonatus menyebabkan
transmisi yang cepat dari rangsangan nosiseptif ke otak.Kegagalan untuk
memberikan analgesia untuk mengatasi nyeri pada neonatus
menyebabkan regulasi nosiseptif pathway didalam dorsal horn dari spinal
kord.Hingga rasa nyeri yang akan ditimbulkan akan menjadi lebih besar
yang diterima oleh persepsi nyeri.43 Perbedaan dalam manajemen nyeri
antara anak dan orang dewasa didominasi oleh perkembangan psikologis
anak. Penilaian ini berdasarkan terbatasnya dan tidak jelasnya komunikasi
oleh anak kecil. Metode yang tepat dan pemahaman anak akan
kinetik yang berbeda merupakan konsekuensi logis terutama pada
periode neonatal dan bayi.44
Reseptor sensorik
Transmisi nyeri dari perifer ke korteks tergantung pada proses
integrasi dan proses sinyal di medulla spinalis, batang otak dan serebrum.
Informasi transduksi rangsangan mekanik, kimiawi maupun termal
diterima oleh masing-masing reseptor khusus di membran sel.45-47
Terdapat beberapa tipe reseptor sensorik dengan stimulus yang
berbeda-beda. Reseptor sensorik terdapat di bawah kulit, spesial organ
sensorik, otot dan persendian. Nosiseptor adalah reseptor yang
merespons stimulus yang merusak atau diperkirakan akan merusak
jaringan. Kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh stimulus mekanis,
termal, kekurangan oksigen, dan bahan kimia. Membran nosiseptor
mengandung ion channel yang dapat diaktivasi oleh stimulus yang merusak jaringan. 45-47
Neuron sensorik atau aferens primer saraf perifer mempunyai
badan sel di dorsal root ganglion (DRG) di medulla spinalis. Akson aferens
ini ada yang dilapisi mielin dan tidak dilapisi mielin. Akson afferent dibagi 3
kelompok, yaitu A, B dan C. Kelompok A terbagi atas Alfa, beta,
A-gamma dan A-delta. Transduksi stimulus nyeri terjadi pada serabut mielin
A-delta dan serabut tak bermielin C. 45-47
Nosiseptor A-Delta
Nosiseptor A - delta tersebut hampir dapat ditemukan pada
permukaan kulit. Sebagian kecil dapat ditemukan pada otot dan
persendian. Sebagian besar sensitif terhadap stimulus mekanik intensitas
Nosiseptor C polimodal
Nosiseptor serabut C polimodal (kadang-kadang disebut free nerve
ending) dapat ditemukan di bagian dalam kulit dan sebenarnya dapat
ditemukan pada setiap jaringan kecuali jaringan saraf sendiri. Umumnya
sensitif terhadap stimulus noksius mekanis, termal, dan kimiawi.
Diperkirakan 80-90% nosiseptor C mempunyai tipe polimodal.45
Unit aferen
Serabut perifer dan reseptornya disebut sebagai unit aferen. Aferen
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu, ambang-rendah dan ambang-tinggi
atau mekanoreseptif dan termoreseptif. Neuron yang diaktivasi oleh
stimulus mekanikal dan termal disebut unit reseptif polimodal. Sejumlah
unit nosiseptif polimodal berhubungan dengan serabut A-delta. Unit ini
melakukan transmisi dari nyeri pertama atau pricking pain yang berhubungan dengan stimulasi panas noksius. 45
Nosiseptor dan Transduksi Stimulus Nyeri
Kerusakan sel pada tempat luka dapat mengeluarkan beberapa
substansi yang dapat membuka ion channel nosiseptor. Misalnya protease, ATP dan ion K. Protease dapat memecah peptid kininogen
menjadi peptid bradikinin. ATP menyebabkan depolarisasi nosiseptor dan
pengikatan ion K ekstraseluler dapat langsung menyebabkan depolarisasi
membran neuron. 45-47
Panas pada temperature lebih dari 43o C akan menyebabkan
jaringan terbakar dan akan membuka ion channel di membran nosiseptor. Pada suatu keadaan dimana seseorang kekurangan oksigen, sel akan
menggunakan metabolisme anaerobik untuk menghasilkan ATP.
Penumpukan asam laktat akibat proses anaerobik ini menyebabkan ekses
ion H di cairan ekstraseluler dan ion H ini akan mengaktifkan ion channel
Kulit dan jaringan penghubungnya mengandung sel mast, suatu
komponen imun sistem. Sel mast dapat diaktivasi oleh benda asing,
sehingga menyebabkan pelepasan histamin. Histamin berkaitan dengan
reseptor nosiseptor spesifik dan akan menyebabkan depolarisasi
membran. Histamin juga menyebabkan bocornya kapiler pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan edema dan kemerahan di tempat luka. 45-47
Mekanisme Transmisi dari Serabut Saraf ke Medulla Spinalis
Serabut A-delta dan C menyampaikan informasi ke SSP dengan
kecepatan yang berbeda, karena adanya perbedaan dari kecepatan
konduksi potensial aksi dari masing-masing serabut tersebut. Oleh karena
itu aktivasi nosiseptor kulit akan menghasilkan dua persepsi nyeri yaitu
first pain, cepat, tajam kemudian diikuti second pain, lama dan tidak tajam atau tumpul. First pain disebabkan oleh aktivasi serabut A-delta, second pain disebabkan oleh aktivasi serabut C. 45
Neurotransmiter aferens nyeri adalah glutamat, seperti diketahui
bahwa neuron ini juga mengandung peptid substansi C. Substansi P
terdapat di dalam vesikel akson terminal dan dapat dilepaskan oleh
potensial aksi frekuensi tinggi. Studi memperlihatkan bahwa transmisi
sinaptik yang dimediasi oleh substansi P dibutuhkan untuk nyeri dengan
intensitas sedang atau kuat. 45
Hal menarik yang perlu diketahui adalah akson nosiseptor dari
viseral yang masuk ke medulla spinalis mempunyai jalur yang sama
dengan nosiseptor dari kulit. Di dalam medulla spinalis terdapat informasi
silang dari dua sumber input ini. Fenomena ini disebut referred pain, dimana aktivasi nosiseptor viseral akan dirasakan dipermukaan kulit. 45
Jalur Nyeri Asending
Sebagai contoh penting yaitu perbedaan jalur asending antara
stimulus sentuhan dan nyeri. Pertama, jalur sentuhan mempunyai reseptor
nerve ending. Kedua, jalur sentuhan adalah cepat, menggunakan serabut mielin A-delta: jalur nyeri adalah lambat, menggunakan serabut tipis
bermielin delta dan C. Ketiga, perbedaan juga terlihat pada serabut
beta yang berakhir di bagian dalam kornu dorsalis, sedangkan serabut
A-delta dan C di substansia gelatinosa medulla spinalis. Keempat, informasi
tentang nyeri (dan temperatur) tubuh dibawa dari medulla spinalis ke otak
melalui jalur spinotalamik kontralateral, sedangkan informasi sentuhan ke
otak melalui ipsilateral (jalur kolum dorsalis-medial lemniskus).45-47
Regulasi Nyeri
Persepsi nyeri sangat bervariasi, dipengaruhi oleh level sensori
non-pain input dan aspek perilaku, dengan level aktivitas nosiseptor yang sama dapat mempunyai respons nyeri yang berbeda berat ringannya. 45-47
Sentuhan ringan dapat membangkitkan nyeri melalui mekanisme
hiperalgesia. Akan tetapi, bangkitan rasa nyeri juga dapat berkurang oleh
aktivitas simultan mekanoreseptor ambang-rendah (serabut A-beta).
Barangkali, ini dapat ,menjelaskan mengapa terasa lebih enak pada waktu
mengelus-elus daerah sekitar luka. Mekanisme ini juga dapat
menerangkan pengobatan elektrik pada beberapa nyeri kronik atau nyeri
yang sukar diobati. 45-47
Fenomena diatas diterangkan oleh gate theory of pain. Neuron tertentu di kornu dorsalis, yang memproyeksikan ke atas traktus
spinotalamik, dieksitasi oleh sensori nyeri dengan diameter besar dan
sensori akson tidak bermielin. Proyeksi neuron ini juga diinhibisi oleh
interneuron, dan interneuron ini juga dieksitasi oleh sensori akson besar
dan diinhibisi oleh akson nyeri. Dengan mekanisme ini, hanya dengan
aktivasi akson nyeri sendiri akan memproyeksikan neuron secara
maksimal ke otak. Akan tetapi bila akson besar mekanoreseptor
teraktivasi secara bersamaan, maka akan mengaktivasi interneuron dan
2.7. Preemptif Analgesia
Preemptif analgesia dimulai dengan analgesia sebelum onset dari
rangsangan melukai, untuk mencegah sensitisasi sentral dan membatasi
pengalaman nyeri selanjutnya. Preemptif analgesia mencegah kaskade
neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan
menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan
melukai 48-50
Pembedahan mungkin merupakan aplikasi klinis dimana tehnik
preemptif analgesia menjadi sangat efektif karena onset rangsangan yang
kuat dapat diketahui.Penting diketahui bahwa anastesia umum dengan
volatile anestesia seperti isofluran (Forane) tidak dapat mencegah sensitisasi sentral. Oleh karena itu, potensi sensitisasi sentral muncul
bahkan pada pasien tidak sadar yang tampak tidak respon secara klinis
terhadap rangsangan pembedahan.25,48
2.8. Preventif Analgesia
Pada tahun 1994 Kissin menambahkan istilah “preventif analgesia”
pada “preemptif analgesia” dan menggunakan istilah “preemptif analgesia”
hanya terbatas pada efek karena sensitisasi oleh bagian dari preventif
treatment yang dimulai sebelum pembedahan dan tidak termasuk waktu
paska pembedahan. Dengan kata lain preventif analgesia adalah
pemberian obat analgesia sebelum operasi dan dilanjutkan setelah
operasi selesai. Katz baru-baru ini membandingkan hasil dari penelitian
dengan pendekatan yang dirancang untuk membuktikan pencegahan
hipersensitif dari nyeri. Dia melaporkan bahwa cara PRE melawan NO
(preventif analgesia) menghasilkan efek yang positif lebih sering
dibandingkan cara PRE lawan POST (preemptif analgesia) dan secara
umum, efek dengan cara PRE lawan NO terdapat jarak yang lebih besar.
Hal ini menggambarkan bahwa pencegahan yang menyeluruh terhadap
sensitisasi (tidak hanya disebabkan oleh luka karena sayatan tetapi juga
Gambar 2. Skematik preemptif analgesik dengan penekanan pada pencegahan sensitisasi sistem saraf selama perioperatif. Tipe nyeri tanpa intervensi ditunjukkan pada gambar A, dimana tergambar nyeri saat awal pembedahan dan selanjutnya berkembang menjadi hipersensitifiti. Gambar B, analgesia diberikan setelah sensitisasi dapat menurunkan nyeri sedikit tetapi tidak memiliki keuntungan jangka panjang. Pada gambar C, analgesia diberikan sebelum pembedahan membatasi nyeri dari mulai rangsangan dan menurunkan hipersensitifiti selanjutnya. Yang paling efektif adalah gambar D.
2.9. Mekanisme Kerja Obat Analgetik
Obat analgetik dibagi dalam 2 golongan utama, yaitu yang bekerja
di perifer dan yang bekerja di sentral. Obat golongan Anti Inflamasi
Nonsteroidal (AINS) bekerja di perifer dengan cara menghambat
pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat
dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan analgetik opioid.
bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis
medula spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmiter dan
inflamasi Kerusakan saraf
AINS
Pelepasan mediator
Algogen Sitokoin, neurokin
Kontrol dari peptide, reseptor, dll
[image:39.595.114.472.127.568.2]Lokal anastesi Eksitasi sensori neuron
Gambar 4. Tempat kerja obat analgetik 32
Obat anti inflamatori nonsteroid menghambat siklooksigenase,
tanpa menghambat proses lipooksigenese. Obat AINS menginduksi
peningkatan ambilan asam arakhidonat yang dilepaskan oleh membran
polinuklear, dengan tujuan mengurangi fraksi-fraksi utama yang dapat
dimetabolisme oleh enzim lipooksigenase.52
Perangsangan saraf spinal Eksitasi transmisi neuron
Pelepasan transmiter di kornu dorsalis
NYERI
MEMBRAN FOSFOLIPID
(+) (-)
Fosfolipase A2 Kortikosteroid
ASAM ARAKHIDONAT
Enzim siklooksigenase Enzim lipooksigenase
(-)
AINS
PGE2 Prostasiklin Tromboksan A2 Leukotrien
[image:40.595.118.495.144.548.2]Ket (+) = memperkuat, (-) = penghambatan
2.10. Instrumen Pengukur Nyeri
Untuk bisa mengobati nyeri pada anak dengan baik, penilaian
secara periodik terhadap nyeri serta derajat rasa sakit yang dirasakan dan
respons anak terhadap pengobatan perlu selalu diperhatikan. Untuk
menilai rasa nyeri pada anak telah tersedia berbagai perangkat penilaian
yang dapat dipercaya, valid, dan sensitif. Semua perangkat itu mempunyai
kemampuan untuk digunakan pada anak baik neonatus maupun dewasa
muda. Di rumah sakit, nyeri dan respons terhadap pengobatan termasuk
reaksi ikutan pada pengobatan, harus dipantau secara berkala dan
dilaporkan secara baik. 5-7
Nyeri dapat dinilai atau diperiksa dengan menggunakan beberapa
perangkat, antara lain berupa laporan pasien,observasi prilaku,
pengukuran fisiologis, tergantung pada usia anak dan kemampuan
komunikasinya. Akurasi penilaian rasa nyeri akut pada anak
membutuhkan pertimbangan atau perhatian khusus terhadap fluktuasi dan
kemajemukan persepsi anak terhadap rasa sakit. Karena respons
terhadap rasa nyeri merupakan tampilan yang subjektif, biasanya laporan
atau keluhan pasien lebih disukai, namun perlu diperhatikan bahwa anak
umur antara 3-7 tahun mempunyai kemampuan untuk menyatakan
keluhan bahkan sebelum kita tanyakan rincian lokasi, kualitas, intensitas
dan toleransinya sampai selesai ditelusuri.5-7,54,55
Ekspresi nyeri menunjukkan status fisik dan emosi, pola reaksi dan
kadang-kadang juga merupakan gaya seseorang dalam bereaksi yang
mungkin saja menimbulkan salah pengertian penilai. Nyeri yang dirasakan
oleh anak dengan masalah kesehatan tertentu atau gangguan
perkembangan sering sulit dinilai dengan tepat. Penilaian yang hati-hati
dan teliti perlu dilakukan saat berkomunikasi dengan anak bermasalah,
misalnya pada anak dengan gangguan kognitif, gangguan emosi berat,
atau anak dengan gangguan motorik atau sensorik. Secara singkat dapat
aspek nyeri, yaitu lokasi, karakteristik, durasi/onset, frekuensi, kualitas,
intensitas dan adanya faktor pencetus.5-7,54,55
Perangkat penilaian rasa nyeri pada anak terdiri atas beberapa jenis,
seperti:5,54-55
a) Keluhan / laporan sendiri
‐ Deskripsi rasa sakit berupa jenis dan intensitas nyeri
‐ Peringkat nyeri dengan skala tertentu
b) Pemeriksaan dengan skala observasi
‐ Verbalisasi
‐ Ekspresi wajah
‐ Bahasa tubuh
‐ Status emosional
c) Penilaian parameter fisiologik
‐ Frekuensi denyut nadi / jantung
‐ Frekuensi nafas
‐ Tekanan darah
d) Laporan orang tua dan perawat
‐ Terdapat banyak variasi dari laporan orang tua atau
perawat
‐ Penting atau berguna untuk anak dengan gangguan
kognitif yang tidak memungkinkan baginya
memberikan keluhan yang jelas.
Penilaian dan pemeriksaan nyeri pada anak seharusnya dilakukan
dengan menyesuaikan pada tahap perkembangan anak. Semua pasien
anak perlu dilakukan penilaian, dan diharapkan rasa nyeri pada anak
dapat dikomunikasikan dengan kata-kata, ekspresi dan atau perilaku
(menangis, melindungi satu bagian tubuhnya atau menyeringai). Prinsip
penilaian nyeri QUEST (Baker dan Wong, 1987) banyak membantu
proses penilaian nyeri pada anak. Prinsip ini meliputi:5,7,54-55
‐ Use pain rating scales
‐ Evaluate behavior and physiological changes
‐ Secure parents involvement
‐ Take cause of pain into account
Pada anak yang lebih besar dapat digunakan beberapa cara antara
lain: 5,54-55
‐ Anak kurang dari 3 tahun atau yang sulit untuk berkomunikasi
dapat digunakan skala observasi FLACC (Faces, Legs, Activity, Cry, dan Consolability)
‐ Anak diatas 3 tahun dapat digunakan skala wajah Wong-Baker
‐ Anak diatas 5 tahun mungkin dapat menggunakan kata-kata
seperti kena api, atau seperti dicubit, dan lain-lain
‐ Sedangkan pada anak diatas 6 tahun yang diharapkan dapat
mengerti konsep urutan atau tingkatan, dapat digunakan skala
numerik, warna atau kata untuk menyatakan derajat rasa
sakitnya.
Skala Nyeri
Skala ini sebaiknya dibuat dan secara fisik serta emosional sesuai
untuk pasien yang akan diperiksa. Dikenal banyak skala yang dapat
digunakan, namun pada umumnya digunakan perangkat dengan skala
0-10, dapat berupa: 5,54-55
‐ Skala visual yang banyak menggunakan gambar anatomi baik
wajah atau lainnya untuk menerangkan lokasi dan derajat rasa
sakit seperti skala Wong-Baker. Skala ini penting untuk mereka yang tidak mampu menyatakan perasaannya dengan kata-kata.
Skala wajah Wong-Baker banyak digunakan untuk anak-anak, khususnya yang berusia diatas 3 tahun. Skala ini juga banyak
digunakan pada anak lebih besar bahkan untuk orang dewasa
dimana mereka sulit menyatakan rasa sakitnya karena kendala
menyatakan seseorang yang menyatakan “tidak sakit”, “sedikit
sakit” atau “sakit sekali”.
‐ Skala verbal digunakan dengan memakai kata-kata tidak sakit,
sedang atau sangat sakit untuk membantu menyatakan
intensitas atau derajat beratnya sakit. Penilaian ini berguna
karena parameter yang digunakan bersifat relatif dan penilai
harus menilai sendiri fokus yang paling menonjol.
‐ Skala numerik memberikan kuantifikasi pada rasa sakit dengan melakukan penggolongan terhadap rasa sakit, dengan sistem
skor atau dikombinasikan dengan kata-kata.
2.11. Parasetamol
PARA AMINO FENOL
Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen dapat
dilihat pada gambar dibawah. Asetaminofen merupakan metabolit
fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak
tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen.
Asetaminofen di indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol. Dan
tersedia sebagai obat bebas. Walau demikian, laporan kerusakan fatal
hepar akibat overdosis akut perlu diperhatikan. Tetapi perlu diperhatikan
pemakai maupun dokter bahwa efek anti-inflamasi parasetamol hampir
[image:44.595.197.450.578.710.2]tidak ada.14,56-58
FARMAKODINAMIK
Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya
menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga
berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti inflamasinya sangat
lemah, oleh karena itu parasetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai
antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang
lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada
kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan
asam basa.14,56,57
FARMAKOKINETIK
Parasetamol dan fenasetin diabsorbsi cepat dan sempurna melalui
saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½
jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh
cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol dan 30% fenasetin terikat
protein plasma. Kedua obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati.
Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan
sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu kedua obat ini juga
dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat
menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Kedua obat ini
diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan
sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi. 14,56,57
INDIKASI
Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan
antipiretik telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik,
parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan
menimbulkan nefropati analgesik.Penggunaannya untuk meredakan
SEDIAAN DAN POSOLOGI
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500
mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5ml. Selain itu parasetamol
terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun
cairan. Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1g/kali, dengan
maksimum 4 gr/hari; untuk anak 6-12 tahun : 150-300 mg/kali, dengan
maksimum 1,2 gr/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali dan bayi
dibawah 1 tahun :60 mg/kali; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali
sehari. 14,56-58
EFEK SAMPING
Reaksi alergi terhadap derivat para-aminofenol jarang terjadi.
Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat
berupa demam dan lesi pada mukosa.Fenasetin dapat menyebabkan
anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik
dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimun, definisi enzim G6PD dan
adanya metabolit yang abnormal.Methemoglobinemia dan
sulfhemoglobinemia jarang menimbulkan masalah pada dosis terapi,
karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-hb.Insidens nefropati
analgesik berbanding lurus dengan penggunaan fenasetin. Tetapi karena
fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat
sukar disimpulkan.Eksperimen pada hewan coba menunjukan bahwa
gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat asetosal daripada fenasetin.
Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun
terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik. 14,15,56-58
TOKSISITAS AKUT
Akibat dosis toksik yang paling serius ialah nekrosis hati. Nekrosis
tubuli renalis serta koma hipoglikemik dapat juga terjadi. Hepatotoksisitas
dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15 gr (200-250 mg/kgBB)
mencerminkan bahaya yang mengancam. Anoreksi, mual dan muntah
serta sakit perut terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung
selama seminggu atau lebih. Gangguan hepar dapat terjadi pada hari
kedua, dengan gejala peningkatan aktivitas serum transaminase, laktat
dehidrogenase, kadar bilirubin serum serta perpanjangan masa
protrombin. Aktivitas alkali fosfatase dan kadar albumin serum tetap
normal. Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensefalopati, koma dan
kematian, kerusakan hati yang tidak berat pulih dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan.Masa paruhnya pada hari pertama keracunan
merupakan petunjuk beratnya keracunan. Masa paruh lebih dari 4 jam
merupakan petunjuk akan terjadinya nekrosis hati dan masa paruh lebih
dari 12 jam meramalkan akan terjadinya koma hepatik. Penentuan kadar
parasetamol sesaat kurang peka untuk meramalkan terjadinya kerusakan
hati. Kerusakan ini tidak hanya disebabkan oleh parasetamol, tetapi juga
oleh radikal bebas, metabolit yang sangat reaktif yang berkaitan secara
kovalen dengan makro molekul vital sel hati. Karena itu hepatotoksisitas
parasetamol meningkat pada penderita yang juga mendapat barbiturat,
antikonvulsan, atau pada alkoholik yang kronik. Kerusakan yang timbul
berupa nekrosis sentriloburalis. Keracunan akut ini biasanya diobati
secara simtomatik dan suportif tetapi pemberian senyawa sulfhidril
tampaknya dapat bermanfaat, yaitu dengan memperbaiki cadangan
glutation hati.N-asetilsistein cukup efektif bila diberikan per oral 24 jam
setelah minum dosis toksik parasetamol.14,15,56-58
2.12. Metamizol (Dipiron)
PIRAZOLON
ANTIPIRIN, AMINOPIRIN, DAN DIPIRON
Antipirin adalah 5 okso-1fenil-2,3-dimetilpirazolidin. Aminopirin
adalah derivat ³-dimetilamino dari antipirin. Dipiron adalah derivat
metansulfonat dari aminopirin yang larut baik dalam air dan dapat
Gambar 7. Struktur kimia Metamizol
FARMAKODINAMIK
Metamizol merupakan turunan pirazolon dengan aksi analgesik dan
antipiretik, namun tanpa komponen anti-inflamasi. Walaupun obat tersebut
telah tersedia sejak tahun 1922, mekanisme kerjanya tidak sepenuhnya
diketahui. Penghambatan aktivitas COX dalam SSP, yang mengurangi
sintesis prostaglandin diduga merupakan mekanisme kerja metamizol.Ada
beberapa hipotesis yang menjelaskan efek analgesik metamizol, termasuk
penghambatan COX isoenzime-3 dan penurunan sintesis prostaglandin di
spinal posterior horn. Selain itu, metamizol dapat memberikan efek
FARMAKOKINETIK
Metamizol dihidrolisis dalam saluran pencernaan dalam bentuk
4-methylaminoantipirine (4-MAA) dan diserap dalam bentuk tersebut;
bioavailabilitas adalah lebih dari 80%.Enzim hati memetabolisme
metamizol menjadi 4-aminoantipirine (AA) dan 4-formylaminoantipirine
(FAA),selanjutnya AA adalah Asetilasi untuk 4-asetylaminoantipirine
(AAA). Semua metabolit dari metamizol menunjukkan aktivitas biologis,
yang berperan untuk efek analgesik dan meresap ke dalam susu ibu.Hasil
metabolit yang terikat dengan protein plasma sekitar 60%,65-70% dari
metabolit aktif metamizol diekskresikan melalui urin. Eliminasi dari 4-MAA
memanjang sebesar 22% setelah dosis ganda dan sebesar 33% pada
orang tua.15
INDIKASI
Saat ini dipiron hanya digunakan sebagai analgetik-antipiretik
karena efek anti inflamasinya lemah. Sedangkan antipirin dan aminopirin
tidak digunakan lagi karena lebih toksis daripada dipiron. Karena
keamanan obat ini diragukan, sebaiknya dipiron hanya diberikan bila
dibutuhkan analgesik antipiretik yang lebih aman. Pada beberapa kasus
penyakit hodgkin dan periarteritis nodosa, dipiron merupakan obat yang
masih dapat digunakan untuk meredakan demam yang sukar diatasi
dengan obat lain. Dosis untuk dipiron ialah tiga kali 0,3-1 gram sehari.
Dipiron tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan larutan obat suntik yang
mengandung 500 mg/ml.15,16,56,59
EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI
Semua derivat pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis,
anemia aseptik dan trombositopenia. Dibeberapa negara misalnya
amerika, efek samping ini banyak terjadi dan bersifat fatal, sehingga
pemakaiannya sangat dibatasi atau dilarang sama sekali. Di indonesia
dilaporkan pada pemakaian obat ini, tetapi belum ada data tentang angka
kejadiannya. Kesan bahwa orang indonesia tahan terhadap dipiron tidak
dapat diterima begitu saja mengingat sistem pelaporan data efek samping
belum memadai sehingga mungkin terjadi diskrasia darah ini. Dipiron juga
dapat menimbulkan hemolisis, udem, tremor, mual dan muntah,
perdarahan lambung dan anuria.Aminopirin tidak lagi diizinkan beredar di
indonesia sejak tahun 1977 atas dasar kemungkinan membentuk
2.13. KERANGKA KONSEP
Pembedahan (Trauma)
Parasetamol Metamizol
Inflamasi Menghambat pembentukan
protaglandin
Nyeri Nilai
Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
FLACC scale
BAB 3
METODE PENELITIAN 3.1 Desain
Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara
tersamar ganda dengan memakai cara randomisasi blok.
3.2 Tempat dan Waktu 3.2.1 Tempat
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
3.2.2 Waktu
Oktober 2010 s/d Desember 2010
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Pasien anak yang menjalani pembedahan dengan Anestesi umum
di RSUP H. Adam Malik Medan.
3.3.2 Sampel
Semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi.
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Usia 3-10 Tahun
2. PS ASA 1-2
3. Lama operasi ≤ 3 jam
4. WBPRS 0
5. FLACC scale 0
6. Jenis operasi :
digestif,onkologi,ortopedi,THT,plastik,mata,urologi.
7. Masa perdarahan dalam batas normal
8. Berat badan ideal sesuai tabel CDC.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Terdapat gangguan faal hepar
2. Dikombinasikan dengan regional anestesi
3. Riwayat Alergi terhadap obat yang diteliti
4. Riwayat menderita Ulkus Peptikum
5. Riwayat pemakai obat-obatan penghilang nyeri yang
berlama-lama.
6. Pasien trauma
3.4.3 Kriteria Putus Uji
1.Memerlukan analgetik selain yang diteliti
2.Post Operasi masih terintubasi
3.Mengalami komplikasi yang membahayakan akibat terapi yang
diberikan
4.Penderita / keluarga menarik diri dari keikutsertaannya
3.5 Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis data numerik :
(
)
(
)
22 2
μ
a
μ
0
β
Z1
α
/2
Z1
2
σ
n2
n1
−
−
+
−
=
=
Keterangan :n = besar sampel minimum
Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada
α
= 5% = 1,96Z1-β = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β = 20% jadi power 80% nilai
= 0,84
2
σ = harga varians di populasi (Rubina Y,2005) = 0,044
= perkiraan selisih nilai mean yang diteliti dengan mean di Populasi = 0,2
μa
μ0−
3.6 Cara Kerja
a. Pada hari penelitian obat disiapkan oleh relawan yang melakukan
randomisasi pada saat akan dilakukan penelitian.Persiapan dengan
cara. Sebelumnya pasien di pasang infus dan kedua kelompok
diberikan infus preload cairan Ringer Laktat sebanyak 10 ml/kgbb
untuk pengganti puasa kemudian :
b. Kelompok A mendapat Metamizol (Novalgin/Sanofi Aventis) 15
mg/kgbb IV 30 menit sebelum sayatan pertama, lalu dilanjutkan
premedikasi.
c. Kelompok B mendapat Parasetamol (Farmadol/Fahrenheit) 15
mg/kgbb IV 30 menit sebelum sayatan pertama dilanjutkan
premedikas