• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Efek Analgesia Parasetamol 15 mg/kgBB Intravena Dengan Metamizol 15 mg/kgBB Intravena Sebagai Preventif Analgesia Pada Pembedahan Pasien Anak Dengan Anestesi Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Efek Analgesia Parasetamol 15 mg/kgBB Intravena Dengan Metamizol 15 mg/kgBB Intravena Sebagai Preventif Analgesia Pada Pembedahan Pasien Anak Dengan Anestesi Umum"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA

PARASETAMOL 15 mg/kgBB INTRAVENA DENGAN

METAMIZOL 15 mg/kgBB INTRAVENA

SEBAGAI PREVENTIF ANALGESIA PADA PEMBEDAHAN

PASIEN ANAK DENGAN ANESTESI UMUM

Oleh

ANDRIAMURI PRIMAPUTRA LUBIS NIM 077114005

TESIS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FK USU/RSUP.H.ADAM MALIK

(2)

PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA

PARASETAMOL 15 mg/kgBB INTRAVENA DENGAN

METAMIZOL 15 mg/kgBB INTRAVENA

SEBAGAI PREVENTIF ANALGESIA PADA PEMBEDAHAN

PASIEN ANAK DENGAN ANESTESI UMUM

TESIS

Oleh :

ANDRIAMURI PRIMAPUTRA LUBIS NIM 077114005

Pembimbing I : dr. Soejat Harto,SpAn.KAP

Pembimbing II : dr. Hasanul Arifin,SpAn.KAP.KIC

Tesis Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Spesialis Anestesiologi program Pendidikan Dokter Spesialis I

Anestesiologi Dan Terapi Intensif

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

(3)

PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA PARASETAMOL 15 mg/kgBB INTRAVENA DENGAN METAMIZOL 15 mg/kgBB INTRAVENA

SEBAGAI PREVENTIF ANALGESIA PADA PEMBEDAHAN PASIEN ANAK DENGAN ANESTESI UMUM

TESIS

ANDRIAMURI PRIMAPUTRA LUBIS NIM 077114005

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Soejat Harto, SpAn.KAP dr. Hasanul Arifin, SpAn.KAP.KIC NIP. 195505061986111001 NIP. 195104231979021003

Penguji I Penguji II

dr.Asmin Lubis,DAF,SpAn.KMN.KAP Prof.dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC

NIP. 195301211979021001 NIP. 195208261981021001

Penguji III

Dr.dr.Nazaruddin Umar,SpAn.KNA NIP. 195107121981031002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ketua Departemen

Anestesiologi dan Terapi Intensif Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP HAM Medan FK USU/RSUP HAM Medan

(4)

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiim, saya sampaikan rasa syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai syarat untuk memperoleh spesialis dalam bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.

Saya menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna baik isi maupun bahasannya, namun demikian saya berharap bahwa tulisan ini dapat menambah perbendaharaan bacaan tentang Perbandingan Efek Analgesia Parasetamol 15 mg/kgbb IV Dengan Metamizol 15 mg/kgbb IV Sebagai Preventif Analgesia Pada Pembedahan Pasien Anak Dengan Anestesi Umum.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis di Fakultas ini.

Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Rumah Sakit Haji Mina Medan, Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan,Rumah Sakit Kesdam I BB,RSUD Gayo Lues yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan Rumah Sakit ini.

(5)

memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

Yang Terhormat Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC sebagai Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik, dr. Hasanul Arifin,SpAn.KAP.KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif,DR. dr. Nazaruddin Umar, SpAn, KNA sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn KAKV sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif yang telah banyak memberi petunjuk, pengarahan serta nasehat dan keikhlasan telah mendidik selama saya menjalani program ini sebagai guru, bahkan orang tua, selama saya mengikuti pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang Terhormat guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. A. Sani P. Nasution SpAn KIC, dr. Chairul Mursin SpAn, dr. Asmin Lubis DAF, SpAn.KAP.KMN, dr. Nadi Zaini Bakri SpAn, dr.Muhammad AR SpAn,dr.Yutu Solihat,SpAn.KAKV, dr. Veronica H.Y. SpAn KIC, dr. Tjahaya Indra Utama SpAn, dr. Syamsul Bahri Siregar SpAn, dr. Walman Sitohang SpAn, dr. Tumbur SpAn, dr. Dadik W. Wijaya SpAn, dr. M. Ihsan SpAn, dr. Guido M. Solihin SpAn,dr Nugroho K,SpAn,dr Rommy F N,SpAn yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu pengetahuan di Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, baik secara teori maupun keterampilan sehingga menimbulkan rasa percaya diri baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.

(6)

adik-adik saya yang telah memberikan dorongan semangat selama saya menjalani pendidikan ini.

Yang Terhormat mertua saya DR.H.Maratua Simanjuntak dan alm.Hj.Rosmawaty Pulungan,Dra Hj Farida Hanum serta abang,kakak dan adik-adik ipar yang telah memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga pendidikan ini dapat selesai.

Kepada istriku tercinta dr.Hj.Syarifah Yusriani MS yang selalu menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi saya selama pendidikan ini. Tiada kata yang lebih indah diucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian Anestesiologi dan Terapi Intensif yang telah bersama-sama baik suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua.

Kepada paramedik dan karyawan Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dan banyak bekerjasama selama saya menjalani pendidikan ini.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini. Semoga bantuan dan dorongan serta petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Amin, Amin Ya Rabbal’alamin. Medan, Januari 2011

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PEGANTAR………….………..….... i

DAFTAR ISI………..……… iv

DAFTAR TABEL………. vii

DAFTAR GAMBAR………..………..…….……… viii

DAFTAR GRAFIK………..….. ix

DAFTAR LAMPIRAN………. x

DAFTAR SINGKATAN………..………. xi

ABSTRAK………..……… xii

ABSTRACT……… xiv

BAB 1 PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah………..…… 6

1.3 Hipotesa……….…… 6

1.4 Tujuan……… 6

1.5 Manfaat………... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……….…… 8

2.1 Fisiologi Nyeri………..……… 8

2.2 Nosiseptor……….……… 10

2.3 Peranan Prostaglandin………..………. 10

2.4 Enzim Siklooksigenase... 11

2.5 Perjalanan Nyeri……… 12

2.6 Patofisiologi Nyeri Anak... 13

2.7 Preemptif Analgesia... 18

2.8 Preventif Analgesia……….……….. 18

(8)

2.10 Instrumen Pengukur Nyeri….……… … 23

2.11 Parasetamol...………….………... 26

2.12 Metamizol………..……….. 29

2.13 Kerangka Konsep……… 33

BAB 3 METODE PENELITIAN……… 34

3.1 Desain……… 34

3.2 Tempat dan Waktu……….……….. 34

3.3 Populasi dan Sampel………. 34

3.3.1 Populasi……….. 34

3.3.2 Sampel……… 34

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi……….……… 34

3.5 Besar Sampel……….……… 35

3.6 Cara Kerja………. 36

3.7 Identifikasi Variabel……….. 39

3.7.1 Variabel Bebas……… 39

3.7.2 Variabel Tergantung……….……….. 39

3.8 Rencana Manajemen dan Analisa Data………. 39

3.9 Definisi Operasional………..……… 39

3.10 Masalah Etika……….. 42

BAB 4 HASIL PENELITIAN………. 43

BAB 5 PEMBAHASAN………. 52

(9)

DAFTAR PUSTAKA………. 58

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.6 Simplified post anaesthetic recovery score... 37

Tabel 3.9 Skala FLACC... . 41

Tabel 4.1 Karakteristik Umum……….… …….. 44

Tabel 4.2 Karakteristik Jenis Operasi……… 46

Tabel 4.3 Karakteristik Lama Anestesi dan Lama Operasi... 46

Tabel 4.4.1 Nilai WBPRS paska operasi………..………. 47

Tabel 4.4.2. Nilai FLACC paska operasi………..………... 48

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Perjalanan Nyeri dari Perifer ke Sentral………. 13

Gambar 2 Skematik Preemptif dan Preventif Analgesi……….. 19

Gambar 3 Mekanisme Kerja Obat Analgetik………. 20

Gambar 4 Tempat Kerja Obat Analgetik………. 21

Gambar 5 Pengaruh Obat AINS………. 22

Gambar 6 Rumus Bangun Parasetamol....………... 26

Gambar 7 Rumus Bangun Metamizol………... 30

Gambar 8 Kartu Penilaian Wong Baker Faces Pain RatingScale……… 41

(12)

DAFTAR GRAFIK

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Riwayat Hidup Peneliti……… 64

Lampiran 2. Lembaran Rencana Penelitian………...………. 65

Lampiran 3. Formulir Penjelasan Mengenai Penelitian... 66

Lampiran 4. Formulir Persetujuan Mengikuti Penelitian……… 70

Lampiran 5. Lembaran Observasi Pasien Perioperatif……… 71

Lampiran 6. Lembaran Instrumen Skala Nyeri……… 72

Lampiran 7. Lembaran Rencana Anggaran Penelitian... 73

Lampiran 8. Randomisasi Blok Sampel dan Daftar Sampel……… 74

Lampiran 9. Sebaran Data Hasil Penelitian………. 75

Lampiran 10. Lembaran Persetujuan Komite Etik FK USU ………... 76

(14)

DAFTAR SINGKATAN

AINS : Anti Inflamasi Non Steroid ATP : Adenosin Triposphat BB : Berat Badan

COX-1 : Cyclo Oxygenase-1 COX-2 : Cyclo Oxygenase-2 COX-3 : Cyclo Oxygenase-3

FLACC : Faces,Legs,Activity,Cry,Consolability NSAID : Non Steroid Anti Inflamatory Drug WBPRS : Wong Baker Pain Rating Scale PG : Prostaglandin

IV : Intravena EKG : Elektro Kardiografi HR : Heart Rate

THT : Telinga Hidung Tenggorok

PS-ASA : Physical Status American Society of Anesthesiologist GA : General Anestesi

(15)

ABSTRAK

Latar Belakang dan tujuan: Penanganan nyeri adalah hak dasar manusia

tanpa memandang jenis kelamin dan usia. Penanganan nyeri tidak dapat

disamakan pada masing-masing individu dan kelompok umur karena

penanganan nyeri yang baik memerlukan perhatian khusus terhadap

fisiologi, anatomi, dan karakteristik farmakologi. Pasien anak dan orang

tua mendapat perhatian khusus dalam penanganan nyeri karena persepsi

nyeri, kognitif, dan personaliti menyebabkan ambang nyeri keduanya

sangat berbeda. Nyeri yang bersifat akut adalah sensasi yang paling

sering dialami oleh anak dibandingkan nyeri kronik, yang dapat

disebabkan trauma, adanya penyakit yang diderita dan akibat tindakan

medis lainnyaAnalgesia yang sering digunakan saat ini untuk nyeri paska

bedah pada anak-anak adalah golongan Non Opioid Analgesi seperti

NSAID (Non Steroid Anti Inflamatory Drug), karena dianggap aman dan tidak menimbulkan depresi pernapasan. Tetapi efek analgesia dari Non

Opioid Analgesi seperti NSAID kurang poten dan golongan ini dapat

menimbulkan banyak efek samping. Parasetamol dan metamizol sering

digunakan sebagai alternatif penanganan nyeri sebagai pengganti NSAID.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek analgesia parasetamol

dengan metamizol yang diberikan intravena sebagai preventif analgesia

pada pembedahan pasien anak dengan anestesi umum.

Metode: penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan memakai cara randomisasi blok. Penelitian ini dilakukan di

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, dengan waktu Oktober

2010 s.d. Desember 2010. Populasi diambil dari pasien anak berumur tiga

tahun sampai sepuluh tahun yang menjalani pembedahan dengan

anestesi umum di RSUP H. Adam Malik Medan dan sampel diambil dari

semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel

(16)

mendapat Metamizol 15 mg/kgBB IV 30 menit sebelum sayatan pertama,

lalu dilanjutkan dengan premedikasi. Kelompok B mendapat Parasetamol

15 mg/kgBB IV 30 menit sebelum sayatan pertama dilanjutkan dengan

premedikasi. Kedua kelompok paska pembedahan diperlakukan sama

dengan mendapatkan Metamizol 15 mg/kgBB IV atau Parasetamol 15

mg/kgBB IV dan juga dilakukan penilaian nyeri setiap enam jam sampai

dengan duapuluh empat jam setelah enam jam injeksi pertama. Evaluasi

terhadap penilaian nyeri dengan Wong Baker Faces Pain Rating Scale

dan FLACC Scale.

Hasil: hasil penelitian evaluasi nyeri paska bedah dengan Wong Baker Faces Pain Rating Scale didapati nilai p=0,035; p=0,002; p=0,004;

p=0,245, nilai ini menunjukkan ada perbedaan bermakna diantara kedua

kelompok,kecuali pada pemberian ke IV dari jadwal yang sudah

ditentukan,sedangkan evaluasi nyeri paska bedah dengan FLACC scale

didapati nilai p=0,121, p=0,089, p=0,151, p=0,182, nilai ini menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua kelompok.Dengan

nilai p=0,000,p=0,001,p=0,000,p=0,030 didapatkan ada hubungan yang

bermakna antara Wong Baker Faces Pain Rating scale dengan FLACC

scale sebagai alat pengukur nyeri pada anak.

Kesimpulan: Parasetamol dan metamizol effektif sebagai preventif analgesia pada pembedahan pasien anak dengan anestesi

umum.Parasetamol lebih baik dalam menurunkan nilai nyeri berdasarkan

penilaian Wong Baker Faces Pain Rating Scale.Dari penelitian didapatkan

ada hubungan yang searah antara nilai WBPRS dengan nilai FLACC

sebagai alat pengukur nyeri pada anak.

(17)

ABSTRACT

BACKGROUND AND OBJECTIVE : Pain management is human right

without any relation with gender and age. Pain management is different

among individual and age group because a good pain management needs

special attention in physiology, anatomy, and pharmacology characteristic.

In paediatric patient and elderly, there is a special attention in pain

management due to the differentiation threshold in perception of pain,

cognitive and personality. Paediatric patient are more likely to experience

acute pain than chronic pain that due to trauma, underlying disease and

other medical experiences. The common analgesic that used for post

surgery pain in paediatric patient is Non Opiod Analgesic group like

NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug). This drug is used due to its

safety and does not cause respiratory depression, but the effect of

analgesic from Non Opiod Analgesic like NSAID is less potent and this

group cause many side effects. The using of paracetamol and metamizol

is common as an alternative way for pain management to NSAID. The aim

of this study is to compare the effect of paracetamol with metamizol that is

given intravenous as a preventive analgesic for surgery with general

anaesthesia in paediatric patient.

METHODE : This study uses a randomised control double blind clinical

trial with block randomisation. This study was done in General hospital of

Haji Adam Malik from October 2010 to December 2010. The population

were paediatric patient with age range from 3 to 10 years old who endure

a surgery with general anaesthesia in General hospital of Haji Adam Malik

and sample was taken from all the population that fullfil the inclusion and

exclusion criteria. Sample was divided into two groups, group A and group

B. Group A was given metamizol 15 mg/kgBW iv 30 minutes before

surgery continued with premedication. Group B was given paracetamol 15

(18)

two groups were treated equally and pain assessment was done in every

6 hours to 24 hours, after the first 6 hours injection. The evaluation of pain

assessment is done with the Wong Baker Faces Pain Rating Scale and

FLACC Scale.

RESULT : From the pain evaluation in post surgery patient with Wong

Baker Faces Pain Rating Scale, the p score are p=0.035; p=0.002;

p=0.004; p=0.245. This result shows that there is a correlation between

the two groups, except in the fourth injection from the schedule. Whereas,

In pain evaluation in post surgery patient with FLACC Scale, the p score

are p=0.121; p=0.089; p=0.151; p=0.182. This result shows that there is

no correlation between the two groups. With p=0.000; p=0.001; p=0.000;

p= 0.30 shows that there is a correlation between Wong Baker Faces Pain

Rating Scale with FLACC Scale as an instrument for pain evaluation in

paediatric patient.

CONCLUSION : Paracetamol and metamizol were effective as preventive

analgesic for surgery with general anaesthesia in paediatric patient.

Paracetamol is more effective in decreasing pain score according to Wong

Baker Faces Pain Rating Scale. From the result of the study there is a

correlation between Wong Baker Faces Pain Rating Scale and FLACC

Scale as an instrument for pain evaluation in paediatric patient.

(19)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penanganan nyeri adalah hak dasar manusia tanpa memandang

jenis kelamin dan usia. Telah diketahui bahwa transmisi dan persepsi

nyeri timbul dan berfungsi sejak kehamilan usia 24 minggu.1 Penanganan

nyeri tidak dapat disamakan pada masing-masing individu dan kelompok

umur karena penanganan nyeri yang baik memerlukan perhatian khusus

terhadap fisiologi, anatomi, dan karakteristik farmakologi. Pasien anak dan

orang tua mendapat perhatian khusus dalam penanganan nyeri karena

persepsi nyeri, kognitif, dan personaliti menyebabkan ambang nyeri

keduanya sangat berbeda.2

Penanganan nyeri dan sedasi yang adekuat pada pasien anak

adalah hal yang sangat penting. Pemberian analgesik dan sedasi dapat

mengurangi kecemasan dan nyeri, yang apabila tidak ditangani dapat

menimbulkan dampak psikologis dan fisik yang merugikan.3,4

Pada saat kita merencanakan tatalaksana nyeri pada anak penting

sekali untuk mengetahui dan mengenal kaidah-kaidah fisiologi, psikologi

dan respons emosional anak terhadap rasa sakit. Tanpa memperhatikan

aspek penting ini, sulit bagi kita untuk merencanakan pengobatan yang

adekuat. Perubahan tanda vital tidak selalu terjadi pada semua anak yang

menderita nyeri hebat. Sebaiknya perubahan tanda vital tidak digunakan

dalam menetapkan derajat rasa sakit yang diderita seorang anak.

Kadang-kadang seorang anak yang menderita nyeri bahkan nyeri berat

sekalipun dapat dialihkan perhatiannya dari rasa sakit, bahkan ada yang

bisa beristirahat dengan baik. Jangan percaya bahwa seorang anak tidak

merasa sakit karena dia kelihatannya “baik-baik saja”. Selalu tanya dan

percaya pada penilaian anak terhadap rasa sakitnya. Anamnesis dan

(20)

diagnosis. Rincian terhadap lokasi nyeri, lama nyeri, penyebaran dan

karakteristik rasa nyeri sering menolong dalam menentukan pengobatan

rasa nyeri tersebut.5-7

Nyeri yang bersifat akut adalah sensasi yang paling sering dialami

oleh anak dibandingkan nyeri kronik, yang dapat disebabkan trauma,

adanya penyakit yang diderita dan akibat tindakan medis lainnya.8 Nyeri paska bedah adalah permasalahan penting yang menyertai tindakan

operasi. Penanganan nyeri yang efektif dengan efek samping sedikit

mungkin akan mempercepat pemulihan dan kepulangan pasien dari

rumah sakit. Kenyamanan pasien merupakan salah satu hal yang penting

sehingga analgetik yang adekuat sangat dibutuhkan pada periode paska

bedah.9

Seperti kita ketahui bahwa nyeri terdiri dari dua komponen penting

yaitu sensoris dan afektif ( emosional ).10 Analgesia yang sering

digunakan saat ini untuk nyeri paska bedah pada anak-anak adalah

golongan Non Opioid Analgesi seperti NSAID (Non Steroid Anti

Inflamatory Drug), yang dianggap aman karena tidak menimbulkan

depresi pernapasan. Tetapi efek analgesia dari Non Opioid Analgesi

seperti NSAID kurang poten dan golongan ini meningkatkan resiko

perdarahan pra bedah dan paska bedah.11 Selain itu Non Opioid Analgesi

tidak memiliki efek sedasi yang dibutuhkan dalam penanganan nyeri

terutama pada anak-anak. Analgesik opoid memiliki efek unik yaitu dapat

menurunkan kedua aspek dari nyeri, terutama aspek afektif.10

Analgetik sangat diperlukan setelah pasien menjalani pembedahan,

banyak efek yang merugikan bila pasien tadi masih merasa nyeri paska

pembedahan. Nyeri paska pembedahan dapat menyebabkan respon

segmental dan supra-segmental refleks yang dapat berefek pada sistem

pernafasan, kardiovaskular, pencernaan, urine, dan hormonal.9,12

Obat-obat Non Opioid Analgesi seperti NSAID sudah popular

sebagai analgesia. Obat-obat ini bermanfaat dalam menurunkan

(21)

penyembuhan dengan cara mengurangi efek samping opioid. Obat NSAID

di sisi lain juga menimbulkan efek yang tidak di inginkan, antara lain

gangguan mukosa gastrointestinal dan aliran darah ginjal.9,12

The Agency for Health Care Policy and Research dari Department

of Health and Human Services Amerika Serikat mempublikasikan

panduan praktis penatalaksanaan nyeri akut, dimana bila tidak

didapatkan kontra indikasi, terapi farmakologi untuk nyeri paska bedah

ringan-sedang harus di mulai dengan obat Non Opioid Analgesi .9,12

Berdasarkan penelitian Joseph E,dkk ,departemen Anestesiologi

Universitas Barcelona,Spanyol (1999) menyatakan bahwa analgesik yang

paling sering digunakan pada anak-anak paska bedah adalah

metamizol,propiphenazon,parasetamol dan kodein.13 Pada pemberian

intravena onset dari obat NSAID lebih cepat tercapai sehingga pemberian

intravena merupakan pilihan apabila penanganan nyeri yang cepat

diperlukan seperti pada keadaan paska pembedahan.14

Obat Non Opioid Analgesi seperti NSAID menurunkan kadar

mediator-mediator inflamatori pada daerah trauma, tidak menyebabkan

sedasi atau depresi pernafasan. Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan Parasetamol sebagai salah satu obat penghambat aktifitas

sintesis prostaglandin di hipotalamus melalui penghambatan COX-3 yang

memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan obat-obat golongan NSAID

lain. Keunggulan tersebut antara lain efek samping pada gastrointestinal

dan platelet yang sangat minimal dan dapat mengurangi penggunaan

opioid yang selama ini banyak digunakan sebagai obat standar untuk

penanganan nyeri paska bedah.Parasetamol juga merupakan obat yang

paling sering diresepkan untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang

pada bayi.15

Metamizol merupakan turunan pirazolon dengan efek analgesik

dan antipiretik namun dengan efek anti inflamasi yang lemah.Mekanisme

(22)

prostaglandin di spinal posterior horns.15 Merupakan obat pilihan analgetik dari golongan NSAID untuk mengurangi resiko perdarahan.16

Penelitian tentang perbandingan efek analgesia Parasetamol

dengan Metamizol banyak dilakukan pada populasi dewasa. Berdasarkan

penelitian Henning O, dkk,Departemen Anestesiologi dan Perawatan

intensif Universitas Schleswig-Holstein,Jerman (2009) pada pasien

setelah dilakukan operasi payudara menunjukkan bahwa baik pemberian

Parasetamol 1g intravena (IV) maupun Metamizol 1g intravena (IV)

secara signifikan menghasilkan pengurangan dalam konsumsi morfin total

pasca bedah terutama lagi pada pemberian parasetamol 1g IV.17

Penelitian lain yang juga dilakukan di Jerman oleh Susanne

L,dkk,departemen Anestesiologi Universitas Cologne,Jerman (2005) pada

pasien setelah operasi retina menunjukkan Parasetamol 1g IV mempunyai

efek analgetik yang sama dengan Metamizol 1g IV sebagai analgetik

pasca bedah.18 Vladimir,dkk,departemen bedah mulut universitas Minas

Gerais ,Brazil (2009) menyatakan bahwa penggunaan oral parasetamol

750 mg dan mitamizol 500 mg lebih mempunyai efek analgesi

dibandingkan dengan lysine cloxinate 125 mg.19 Sedangkan penelitian

yang dilakukan pada pasien anak pasca bedah sendiri adalah oleh In Hwa

Lee,dkk, departemen Anestesiologi univesitas Ewha ,Korsel,(2009)

menunjukkan bahwa baik ketorolak 1mg/kg maupun propasetamol 30

mg/kg tidak mempunyai efek preemptive analgesik setelah 1 jam pasca

operasi adenotonsilektomi.20 Pada penelitian lain oleh Murat

M,dkk,departemen anestesiologi rumah sakit Enfants Armand

Trousseau,Paris,Prancis (2004) menyatakan bahwa infus tunggal dari

parasetamol 15 mg/kg IV menghasilkan efek analgesia yang sama

dengan infus tunggal propasetamol 30 mg/kg setelah operasi hernia

inguinal pada anak.Parasetamol 15 mg/kg lebih baik dalam toleransi pada

tempat penyuntikkan dibandingkan propasetamol.21 Jeong

Y,dkk,departemen anestesiologi universitas Yonsei,Korsel (2010)

(23)

dan parasetamol 20 mg/kg merupakan metode yang mudah,aman dan

efektif untuk menghilangkan nyeri pasca operasi pada pasien anak-anak

rawat jalan setelah operasi hernia inguinal.22

Pada penelitian laboratoris,pemberian analgetik sebelum adanya

stimulus nyeri akut lebih efektif dalam meminimalkan perubahan pada

kornu dorsalis akibat sensitisasi sentral dibandingkan dengan analgetik

yang sama diberikan setelah keadaan nyeri terjadi.Hal ini menimbulkan

hipotesis bahwa penanganan nyeri sebelum pembedahan dapat

meringankan nyeri pasca bedah dengan lebih baik ini disebut ‘analgesia

preemptif’ yang ditulis oleh Wall 1988.23 Namun,penelitian klinis yang

dilaporkan (Moniche dkk,2002,tingkat 1) gagal mengkonfirmasikan adanya

efek yang bermakna dari waktu pemberian analgetik dengan

membandingkan pemberian analgetik sebelum dan sesudah insisi. Hal ini

sebagian dipengaruhi oleh variasi pada defenisi,kurangnya desain

penelitian klinis dan perbedaan hasil dari penelitian laboratoris dengan

klinis.24

Defenisi terakhir disempurnakan oleh Kissin (2005) dengan alasan

karena proses sensitisasi sentral tidak hanya diakibatkan oleh insisi

kulit,namun juga oleh kerusakan jaringan pada seluruh prosedur

intraoperatif dan inflamasi paska bedah,maka fokus telah bergeser dari

waktu pemberian satu intervensi tunggal kepada konsep “analgesia

preventif”.25

Dengan melihat latar belakang diatas bahwa parasetamol dengan

metamizol belum pernah dibandingkan efek analgesianya pada populasi

anak,maka peneliti berkeinginan untuk membandingkan efek analgesia

Parasetamol intra vena dengan Metamizol intra vena sebagai preventif

(24)

1.2 Rumusan masalah

Apakah ada perbedaan effektivitas pada pemberian Parasetamol

15 mg/kg intravena dibandingkan dengan Metamizol 15 mg/kg intravena

sebagai preventif analgesia pada pasien anak dalam mengatasi nyeri

paska bedah pada tindakan pembedahan dengan anestesi umum.

1.3 Hipotesa

Ada perbedaan effektivitas pada pemberian Parasetamol 15 mg/kg

intravena dibandingkan dengan Metamizol 15 mg/kg intravena sebagai

preventif analgesia pada pasien anak dalam mengatasi nyeri paska bedah

pada tindakan pembedahan dengan anestesi umum.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum

Mendapatkan alternatif obat analgesia yang efektif dalam

mengatasi nyeri paska pembedahan pada pasien anak dengan

tehnik preventif analgesia.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui obat golongan Non Opioid Analgesi yang lebih

effektif dalam mengatasi nyeri paska pembedahan dengan tekhnik

preventif pada pasien anak-anak usia 3-10 tahun dengan

menggunakan Wong Baker Faces Pain Rating scale dan FLACC

scale.

2. Untuk mengetahui effektivitas Parasetamol dalam mengatasi nyeri

paska pembedahan pada pasien anak-anak usia 3-10 tahun

dengan menggunakan Wong Baker Faces Pain Rating scale dan

(25)

3. Untuk mengetahui effektivitas Metamizol dalam mengatasi nyeri

paska pembedahan pada pasien anak-anak usia 3-10 tahun

dengan menggunakan Wong Baker Faces Pain Rating scale dan

FLACC scale.

4. Untuk mengetahui hubungan antara Wong Baker Faces Pain

Rating scale dan FLACC scale sebagai parameter alat ukur nyeri

pada pasien anak.

1.5 Manfaat

a. Dari penelitian ini diharapkan dapat ditemukan obat Non Opioid

Analgesi yang tepat sebagai preventif analgesia pada pasien

anak-anak usia 3-10 tahun sehingga nyeri paska pembedahan dapat di

atasi.

b. Dapat dipakai sebagai alternatif lain dari obat golongan Non Opioid

Analgesi yang telah ada pada pasien anak-anak usia 3-10 tahun

dalam preventif analgesia.

c. Dapat dipakai sebagai pedoman penelitian untuk penanganan nyeri

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Nyeri

Nyeri merupakan suatu persepsi sensorik yang sangat

mengganggu pada manusia, baik orang dewasa maupun anak-anak.

Berbeda dengan manusia dewasa yang mampu menyampaikan keluhan

rasa sakitnya melalui berbagai cara yang mudah dimengerti oleh

pemeriksanya, seorang anak sering kali sulit menyatakan rasa sakitnya

dengan bahasa yang mudah dimengerti.5

Pengungkapan rasa sakit / nyeri pada anak sering kali dinyatakan

dengan ekspresi yang sulit dimengerti, sehingga pengenalan tanda dan

bahasa tubuh anak sering diperlukan. Penyebab nyeri itu sendiri

merupakan beraneka ragam rangsangan sensorik, ada berupa nyeri perut

baik dari sistem gastrointestinal ataupun urogenital, nyeri akibat operasi,

nyeri otot/tulang atau sendi, nyeri karena penyakit gigi, penyakit telinga,

ataupun nyeri pada penyakit keganasan yang semuanya sering

memerlukan penilaian ataupun pengobatan yang spesifik.5

Nyeri dapat didefenisikan sebagai pengalaman sensori dan

emosional yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya

kerusakan jaringan yang jelas, cenderung rusak, atau sesuatu yang

tergambarkan seperti yang dialami (International Association for the Study of Pain). Dari defenisi di atas dapat diketahui adanya hubungan pengaruh obyektif (aspek fisiologi dari nyeri) dan subyektif (aspek komponen emosi

dan kejiwaan). Pengaruh subyektif erat kaitannya dengan pendidikan,

budaya, makna situasi dan aktifitas kognitif, sehingga nyeri merupakan

hasil belajar serta pengalaman sejak dimulainya kehidupan.

Individualisme rasa nyeri ini sulit dinilai secara obyektif, walaupun dokter

(27)

untuk mengetahui seseorang berada dalam kondisi nyeri ataupun tidak

adalah dengan menanyakannya langsung.26-28

Dalam keadaan fisiologis, stimulus dengan intensitas rendah

menimbulkan sensasi rasa yang tidak / kurang menyakitkan yang

diaktifkan oleh serabut saraf A beta, sedang stimulus dengan intensitas

tinggi menimbulkan sensasi rasa nyeri yang diaktifkan oleh serabut A

delta dan serabut saraf C. Pada keadaan paska operasi, sistem saraf

sensori ini mengalami hipersensitifitas yang akan menyebabkan juga

perubahan fungsi di kornu dorsalis medula spinalis sehingga dengan

stimulus yang rendah menyebabkan rasa nyeri yang nyata.29

Berdasarkan asalnya nyeri dibagi dua, yaitu nyeri somatik dan nyeri

viseral. Nyeri somatik yang berasal dari kulit disebut nyeri superfisial,

sedangkan nyeri yang berasal dari otot rangka, tulang, sendi atau jaringan

ikat disebut nyeri dalam. Nyeri superfisial cirinya tajam, lokasinya jelas,

dan cepat hilang bila stimulasi dihentikan. Sedangkan nyeri dalam cirinya

terasa tumpul, sulit dilokasi, dan cenderung menyebar ke sekitarnya. Nyeri

viseral biasanya disebabkan oleh penarikan yang kuat dari organ-organ

dalam abdomen, demikian juga karena spasme atau kontraksi yang kuat

dari organ viseral yang menimbulkan nyeri terutama bila disertai dengan

aliran darah yang tidak adekuat.26-27

Berdasarkan lamanya nyeri juga dibedakan menjadi nyeri akut dan

nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus

nosiseptif karena perlakukan atau proses penyakit atau fungsi abnormal

dari otot atau visera. Biasanya nyeri ini mudah dideteksi, lokasinya jelas,

dan sebatas kerusakan jaringan. Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap

lebih dari satu bulan atau diatas waktu yang seharusnya perlukaan

mengalami penyembuhan. Yang termasuk nyeri kronik adalah nyeri

persisten yaitu nyeri yang menetap untuk waktu yang lama atau nyeri

rekuren yaitu nyeri yang kambuh dengan interval tertentu.26-27

Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan,

(28)

nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon inflamasi

pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh

jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara

lain adalah prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P,

lekotrein dimana zat-zat tersebut berperan sebagai transduksi dari

nyeri.27,29-31

2.2. Nosiseptor

Nosiseptor adalah reseptor nyeri yang ada di seluruh tubuh,

letaknya terutama pada permukaan kulit, kapsula sendi, di dalam

periosteum, serta di sekitar dinding pembuluh darah. Organ dalam juga

mempunyai nosiseptor hanya saja jumlahnya lebih sedikit. Reseptor nyeri

berupa ujung syaraf bebas dengan permukaan reseptor yang luas,

sehingga kadang-kadang sulit untuk menentukan sumber nyeri secara

tepat.32

Nosiseptor sangat sensitif terhadap suhu yang sangat ekstrem,

kerusakan mekanik, bahan-bahan kimia terutama yang keluar akibat

kerusakan sel. Stimuli yang sangat kuat dari ketiganya dapat

menimbulkan nyeri. Stimuli pada dendrit nosiseptor menyebabkan

depolarisasi, dan juga rangsangan tersebut mencapai akson dan melewati

ambang potensial, maka stimulus akan diteruskan hingga mencapai

susunan saraf pusat.33

2.3. Peranan Prostaglandin

Di antara mediator-mediator reaksi lokal ini ditemukan

prostaglandin. Semuanya diawali dengan degradasi fosfolipid membran

sel menjadi asam arakhidonat, yang diperantarai oleh enzim fosfolipase

A2. Tahap pertama ini dihambat oleh kortikosteroid.

Sejak terbentuk asam arakhidonat terjadi dua jalur proses metabolisme :

1. Cara metabolisme melalui siklooksigenase yang berakhir dengan

(29)

menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi:

edema, menimbulkan rasa nyeri lokal, kemerahan (eritema) lokal.

Selain itu meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap

rangsang nyeri (nosiseptif).

2. Cara metabolisme melalui lipooksigenase yang berakhir dengan

terbentuknya leukotrien. Leukotrien meningkatkan daya kemotaktik

polinuklear dan menghasilkan radikal bebas dengan akibat

terjadinya lesi.32-33

2.4. Enzim Cyclooxygenase (COX)

Enzim Cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim yang

mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. PG memediasi

sejumlah besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi

pelindung lapisan lambung, mempertahankan perfusi renal, dan aggregasi

platelet. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan

produksi mediator prostaglandin. Hal ini menghasilkan kedua efek, baik

yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus

lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX

dihubungkan dengan 2 isoenzim, yang ubiquitously dan constitutive

diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2.34

Sampai saat ini telah dikenal tiga isoenzim siklooksigenase (COX) yaitu

COX 1, COX 2 dan COX 3. COX 3 sendiri merupakan isoenzim yang

baru-baru ini ditemukan dan merupakan varian dan turunan dari COX 1

yang telah dikenal sebelumnya.35-37

Siklooksigenase 3 (COX 3) dapat menjelaskan mekanisme kerja

dari beberapa analgetik antipiretik NSAID yang memiliki efektifitas kerja

lemah dalam menginhibisi COX 1 dan COX 2 tetapi dapat dengan mudah

melakukan penetrasi ke otak. Beberapa jenis obat yang dikenal memiliki

efek inhibisi terhadap COX 3 antara lain asetaminofen. Pengetahuan

(30)

menerangkan mekanisme kerja dari asetaminofen yang sampai saat ini

masih sangat sulit untuk dipahami.37-40

2.5. Perjalanan Nyeri

Antara stimuli nyeri sampai dirasakannya sebagai persepsi nyeri

terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologis yang secara kolektif

disebut sebagai nosiseptif. Ada empat proses yang terjadi pada suatu

nosiseptif yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi : 33,41-42

1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung syaraf.

Rangsang ini dapat berupa stimuli fisik, kimia, ataupun panas.

2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi tadi melalui saraf sensorik. Impuls ini akan

disalurkan oleh serabut saraf A Delta dan serabut C sebagai

neuron pertama (dari perifer menuju kornu dorsalis medula

spinalis). Pada kornu dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan

menyilang garis tengah dan naik melalui traktus spinotalamikus

kontralateral menuju talamus, yang disebut sebagai neuron kedua.

Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron

ketiga yang memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna

dan korona radiata menuju girus postsentralis korteks serebri.

3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama

sampai ke korteks serebri. Modifikasi dapat berupa augmentasi

(peningkatan), ataupun inhibisi (penghambatan).

4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya

diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri

(31)
[image:31.595.207.418.110.383.2]

Gambar 1. Perjalanan nyeri dari perifer ke sentral

2.6. Patofisiologi Nyeri pada anak

Hubungan saraf yang dibutuhkan untuk transmisi dan persepsi

nyeri berfungsi ketika usia kehamilan 24 minggu.Walaupun myelinasi

belum sempurna dan kecepatan penghantaran saraf mungkin berkurang,

namun jarak konduksi yang pendek pada neonatus menyebabkan

transmisi yang cepat dari rangsangan nosiseptif ke otak.Kegagalan untuk

memberikan analgesia untuk mengatasi nyeri pada neonatus

menyebabkan regulasi nosiseptif pathway didalam dorsal horn dari spinal

kord.Hingga rasa nyeri yang akan ditimbulkan akan menjadi lebih besar

yang diterima oleh persepsi nyeri.43 Perbedaan dalam manajemen nyeri

antara anak dan orang dewasa didominasi oleh perkembangan psikologis

anak. Penilaian ini berdasarkan terbatasnya dan tidak jelasnya komunikasi

oleh anak kecil. Metode yang tepat dan pemahaman anak akan

(32)

kinetik yang berbeda merupakan konsekuensi logis terutama pada

periode neonatal dan bayi.44

Reseptor sensorik

Transmisi nyeri dari perifer ke korteks tergantung pada proses

integrasi dan proses sinyal di medulla spinalis, batang otak dan serebrum.

Informasi transduksi rangsangan mekanik, kimiawi maupun termal

diterima oleh masing-masing reseptor khusus di membran sel.45-47

Terdapat beberapa tipe reseptor sensorik dengan stimulus yang

berbeda-beda. Reseptor sensorik terdapat di bawah kulit, spesial organ

sensorik, otot dan persendian. Nosiseptor adalah reseptor yang

merespons stimulus yang merusak atau diperkirakan akan merusak

jaringan. Kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh stimulus mekanis,

termal, kekurangan oksigen, dan bahan kimia. Membran nosiseptor

mengandung ion channel yang dapat diaktivasi oleh stimulus yang merusak jaringan. 45-47

Neuron sensorik atau aferens primer saraf perifer mempunyai

badan sel di dorsal root ganglion (DRG) di medulla spinalis. Akson aferens

ini ada yang dilapisi mielin dan tidak dilapisi mielin. Akson afferent dibagi 3

kelompok, yaitu A, B dan C. Kelompok A terbagi atas Alfa, beta,

A-gamma dan A-delta. Transduksi stimulus nyeri terjadi pada serabut mielin

A-delta dan serabut tak bermielin C. 45-47

Nosiseptor A-Delta

Nosiseptor A - delta tersebut hampir dapat ditemukan pada

permukaan kulit. Sebagian kecil dapat ditemukan pada otot dan

persendian. Sebagian besar sensitif terhadap stimulus mekanik intensitas

(33)

Nosiseptor C polimodal

Nosiseptor serabut C polimodal (kadang-kadang disebut free nerve

ending) dapat ditemukan di bagian dalam kulit dan sebenarnya dapat

ditemukan pada setiap jaringan kecuali jaringan saraf sendiri. Umumnya

sensitif terhadap stimulus noksius mekanis, termal, dan kimiawi.

Diperkirakan 80-90% nosiseptor C mempunyai tipe polimodal.45

Unit aferen

Serabut perifer dan reseptornya disebut sebagai unit aferen. Aferen

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu, ambang-rendah dan ambang-tinggi

atau mekanoreseptif dan termoreseptif. Neuron yang diaktivasi oleh

stimulus mekanikal dan termal disebut unit reseptif polimodal. Sejumlah

unit nosiseptif polimodal berhubungan dengan serabut A-delta. Unit ini

melakukan transmisi dari nyeri pertama atau pricking pain yang berhubungan dengan stimulasi panas noksius. 45

Nosiseptor dan Transduksi Stimulus Nyeri

Kerusakan sel pada tempat luka dapat mengeluarkan beberapa

substansi yang dapat membuka ion channel nosiseptor. Misalnya protease, ATP dan ion K. Protease dapat memecah peptid kininogen

menjadi peptid bradikinin. ATP menyebabkan depolarisasi nosiseptor dan

pengikatan ion K ekstraseluler dapat langsung menyebabkan depolarisasi

membran neuron. 45-47

Panas pada temperature lebih dari 43o C akan menyebabkan

jaringan terbakar dan akan membuka ion channel di membran nosiseptor. Pada suatu keadaan dimana seseorang kekurangan oksigen, sel akan

menggunakan metabolisme anaerobik untuk menghasilkan ATP.

Penumpukan asam laktat akibat proses anaerobik ini menyebabkan ekses

ion H di cairan ekstraseluler dan ion H ini akan mengaktifkan ion channel

(34)

Kulit dan jaringan penghubungnya mengandung sel mast, suatu

komponen imun sistem. Sel mast dapat diaktivasi oleh benda asing,

sehingga menyebabkan pelepasan histamin. Histamin berkaitan dengan

reseptor nosiseptor spesifik dan akan menyebabkan depolarisasi

membran. Histamin juga menyebabkan bocornya kapiler pembuluh darah,

sehingga mengakibatkan edema dan kemerahan di tempat luka. 45-47

Mekanisme Transmisi dari Serabut Saraf ke Medulla Spinalis

Serabut A-delta dan C menyampaikan informasi ke SSP dengan

kecepatan yang berbeda, karena adanya perbedaan dari kecepatan

konduksi potensial aksi dari masing-masing serabut tersebut. Oleh karena

itu aktivasi nosiseptor kulit akan menghasilkan dua persepsi nyeri yaitu

first pain, cepat, tajam kemudian diikuti second pain, lama dan tidak tajam atau tumpul. First pain disebabkan oleh aktivasi serabut A-delta, second pain disebabkan oleh aktivasi serabut C. 45

Neurotransmiter aferens nyeri adalah glutamat, seperti diketahui

bahwa neuron ini juga mengandung peptid substansi C. Substansi P

terdapat di dalam vesikel akson terminal dan dapat dilepaskan oleh

potensial aksi frekuensi tinggi. Studi memperlihatkan bahwa transmisi

sinaptik yang dimediasi oleh substansi P dibutuhkan untuk nyeri dengan

intensitas sedang atau kuat. 45

Hal menarik yang perlu diketahui adalah akson nosiseptor dari

viseral yang masuk ke medulla spinalis mempunyai jalur yang sama

dengan nosiseptor dari kulit. Di dalam medulla spinalis terdapat informasi

silang dari dua sumber input ini. Fenomena ini disebut referred pain, dimana aktivasi nosiseptor viseral akan dirasakan dipermukaan kulit. 45

Jalur Nyeri Asending

Sebagai contoh penting yaitu perbedaan jalur asending antara

stimulus sentuhan dan nyeri. Pertama, jalur sentuhan mempunyai reseptor

(35)

nerve ending. Kedua, jalur sentuhan adalah cepat, menggunakan serabut mielin A-delta: jalur nyeri adalah lambat, menggunakan serabut tipis

bermielin delta dan C. Ketiga, perbedaan juga terlihat pada serabut

beta yang berakhir di bagian dalam kornu dorsalis, sedangkan serabut

A-delta dan C di substansia gelatinosa medulla spinalis. Keempat, informasi

tentang nyeri (dan temperatur) tubuh dibawa dari medulla spinalis ke otak

melalui jalur spinotalamik kontralateral, sedangkan informasi sentuhan ke

otak melalui ipsilateral (jalur kolum dorsalis-medial lemniskus).45-47

Regulasi Nyeri

Persepsi nyeri sangat bervariasi, dipengaruhi oleh level sensori

non-pain input dan aspek perilaku, dengan level aktivitas nosiseptor yang sama dapat mempunyai respons nyeri yang berbeda berat ringannya. 45-47

Sentuhan ringan dapat membangkitkan nyeri melalui mekanisme

hiperalgesia. Akan tetapi, bangkitan rasa nyeri juga dapat berkurang oleh

aktivitas simultan mekanoreseptor ambang-rendah (serabut A-beta).

Barangkali, ini dapat ,menjelaskan mengapa terasa lebih enak pada waktu

mengelus-elus daerah sekitar luka. Mekanisme ini juga dapat

menerangkan pengobatan elektrik pada beberapa nyeri kronik atau nyeri

yang sukar diobati. 45-47

Fenomena diatas diterangkan oleh gate theory of pain. Neuron tertentu di kornu dorsalis, yang memproyeksikan ke atas traktus

spinotalamik, dieksitasi oleh sensori nyeri dengan diameter besar dan

sensori akson tidak bermielin. Proyeksi neuron ini juga diinhibisi oleh

interneuron, dan interneuron ini juga dieksitasi oleh sensori akson besar

dan diinhibisi oleh akson nyeri. Dengan mekanisme ini, hanya dengan

aktivasi akson nyeri sendiri akan memproyeksikan neuron secara

maksimal ke otak. Akan tetapi bila akson besar mekanoreseptor

teraktivasi secara bersamaan, maka akan mengaktivasi interneuron dan

(36)

2.7. Preemptif Analgesia

Preemptif analgesia dimulai dengan analgesia sebelum onset dari

rangsangan melukai, untuk mencegah sensitisasi sentral dan membatasi

pengalaman nyeri selanjutnya. Preemptif analgesia mencegah kaskade

neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan

menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan

melukai 48-50

Pembedahan mungkin merupakan aplikasi klinis dimana tehnik

preemptif analgesia menjadi sangat efektif karena onset rangsangan yang

kuat dapat diketahui.Penting diketahui bahwa anastesia umum dengan

volatile anestesia seperti isofluran (Forane) tidak dapat mencegah sensitisasi sentral. Oleh karena itu, potensi sensitisasi sentral muncul

bahkan pada pasien tidak sadar yang tampak tidak respon secara klinis

terhadap rangsangan pembedahan.25,48

2.8. Preventif Analgesia

Pada tahun 1994 Kissin menambahkan istilah “preventif analgesia”

pada “preemptif analgesia” dan menggunakan istilah “preemptif analgesia”

hanya terbatas pada efek karena sensitisasi oleh bagian dari preventif

treatment yang dimulai sebelum pembedahan dan tidak termasuk waktu

paska pembedahan. Dengan kata lain preventif analgesia adalah

pemberian obat analgesia sebelum operasi dan dilanjutkan setelah

operasi selesai. Katz baru-baru ini membandingkan hasil dari penelitian

dengan pendekatan yang dirancang untuk membuktikan pencegahan

hipersensitif dari nyeri. Dia melaporkan bahwa cara PRE melawan NO

(preventif analgesia) menghasilkan efek yang positif lebih sering

dibandingkan cara PRE lawan POST (preemptif analgesia) dan secara

umum, efek dengan cara PRE lawan NO terdapat jarak yang lebih besar.

Hal ini menggambarkan bahwa pencegahan yang menyeluruh terhadap

sensitisasi (tidak hanya disebabkan oleh luka karena sayatan tetapi juga

(37)
[image:37.595.110.515.132.387.2]

Gambar 2. Skematik preemptif analgesik dengan penekanan pada pencegahan sensitisasi sistem saraf selama perioperatif. Tipe nyeri tanpa intervensi ditunjukkan pada gambar A, dimana tergambar nyeri saat awal pembedahan dan selanjutnya berkembang menjadi hipersensitifiti. Gambar B, analgesia diberikan setelah sensitisasi dapat menurunkan nyeri sedikit tetapi tidak memiliki keuntungan jangka panjang. Pada gambar C, analgesia diberikan sebelum pembedahan membatasi nyeri dari mulai rangsangan dan menurunkan hipersensitifiti selanjutnya. Yang paling efektif adalah gambar D.

2.9. Mekanisme Kerja Obat Analgetik

Obat analgetik dibagi dalam 2 golongan utama, yaitu yang bekerja

di perifer dan yang bekerja di sentral. Obat golongan Anti Inflamasi

Nonsteroidal (AINS) bekerja di perifer dengan cara menghambat

pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat

dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan analgetik opioid.

bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis

medula spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmiter dan

(38)
[image:38.595.173.558.111.557.2]
(39)

inflamasi Kerusakan saraf

AINS

Pelepasan mediator

Algogen Sitokoin, neurokin

Kontrol dari peptide, reseptor, dll

[image:39.595.114.472.127.568.2]

Lokal anastesi Eksitasi sensori neuron

Gambar 4. Tempat kerja obat analgetik 32

Obat anti inflamatori nonsteroid menghambat siklooksigenase,

tanpa menghambat proses lipooksigenese. Obat AINS menginduksi

peningkatan ambilan asam arakhidonat yang dilepaskan oleh membran

polinuklear, dengan tujuan mengurangi fraksi-fraksi utama yang dapat

dimetabolisme oleh enzim lipooksigenase.52

Perangsangan saraf spinal Eksitasi transmisi neuron

Pelepasan transmiter di kornu dorsalis

NYERI

(40)

MEMBRAN FOSFOLIPID

(+) (-)

Fosfolipase A2 Kortikosteroid

ASAM ARAKHIDONAT

Enzim siklooksigenase Enzim lipooksigenase

(-)

AINS

PGE2 Prostasiklin Tromboksan A2 Leukotrien

[image:40.595.118.495.144.548.2]

Ket (+) = memperkuat, (-) = penghambatan

(41)

2.10. Instrumen Pengukur Nyeri

Untuk bisa mengobati nyeri pada anak dengan baik, penilaian

secara periodik terhadap nyeri serta derajat rasa sakit yang dirasakan dan

respons anak terhadap pengobatan perlu selalu diperhatikan. Untuk

menilai rasa nyeri pada anak telah tersedia berbagai perangkat penilaian

yang dapat dipercaya, valid, dan sensitif. Semua perangkat itu mempunyai

kemampuan untuk digunakan pada anak baik neonatus maupun dewasa

muda. Di rumah sakit, nyeri dan respons terhadap pengobatan termasuk

reaksi ikutan pada pengobatan, harus dipantau secara berkala dan

dilaporkan secara baik. 5-7

Nyeri dapat dinilai atau diperiksa dengan menggunakan beberapa

perangkat, antara lain berupa laporan pasien,observasi prilaku,

pengukuran fisiologis, tergantung pada usia anak dan kemampuan

komunikasinya. Akurasi penilaian rasa nyeri akut pada anak

membutuhkan pertimbangan atau perhatian khusus terhadap fluktuasi dan

kemajemukan persepsi anak terhadap rasa sakit. Karena respons

terhadap rasa nyeri merupakan tampilan yang subjektif, biasanya laporan

atau keluhan pasien lebih disukai, namun perlu diperhatikan bahwa anak

umur antara 3-7 tahun mempunyai kemampuan untuk menyatakan

keluhan bahkan sebelum kita tanyakan rincian lokasi, kualitas, intensitas

dan toleransinya sampai selesai ditelusuri.5-7,54,55

Ekspresi nyeri menunjukkan status fisik dan emosi, pola reaksi dan

kadang-kadang juga merupakan gaya seseorang dalam bereaksi yang

mungkin saja menimbulkan salah pengertian penilai. Nyeri yang dirasakan

oleh anak dengan masalah kesehatan tertentu atau gangguan

perkembangan sering sulit dinilai dengan tepat. Penilaian yang hati-hati

dan teliti perlu dilakukan saat berkomunikasi dengan anak bermasalah,

misalnya pada anak dengan gangguan kognitif, gangguan emosi berat,

atau anak dengan gangguan motorik atau sensorik. Secara singkat dapat

(42)

aspek nyeri, yaitu lokasi, karakteristik, durasi/onset, frekuensi, kualitas,

intensitas dan adanya faktor pencetus.5-7,54,55

Perangkat penilaian rasa nyeri pada anak terdiri atas beberapa jenis,

seperti:5,54-55

a) Keluhan / laporan sendiri

‐ Deskripsi rasa sakit berupa jenis dan intensitas nyeri

‐ Peringkat nyeri dengan skala tertentu

b) Pemeriksaan dengan skala observasi

‐ Verbalisasi

‐ Ekspresi wajah

‐ Bahasa tubuh

‐ Status emosional

c) Penilaian parameter fisiologik

‐ Frekuensi denyut nadi / jantung

‐ Frekuensi nafas

‐ Tekanan darah

d) Laporan orang tua dan perawat

‐ Terdapat banyak variasi dari laporan orang tua atau

perawat

‐ Penting atau berguna untuk anak dengan gangguan

kognitif yang tidak memungkinkan baginya

memberikan keluhan yang jelas.

Penilaian dan pemeriksaan nyeri pada anak seharusnya dilakukan

dengan menyesuaikan pada tahap perkembangan anak. Semua pasien

anak perlu dilakukan penilaian, dan diharapkan rasa nyeri pada anak

dapat dikomunikasikan dengan kata-kata, ekspresi dan atau perilaku

(menangis, melindungi satu bagian tubuhnya atau menyeringai). Prinsip

penilaian nyeri QUEST (Baker dan Wong, 1987) banyak membantu

proses penilaian nyeri pada anak. Prinsip ini meliputi:5,7,54-55

(43)

Use pain rating scales

Evaluate behavior and physiological changes

Secure parents involvement

Take cause of pain into account

Pada anak yang lebih besar dapat digunakan beberapa cara antara

lain: 5,54-55

‐ Anak kurang dari 3 tahun atau yang sulit untuk berkomunikasi

dapat digunakan skala observasi FLACC (Faces, Legs, Activity, Cry, dan Consolability)

‐ Anak diatas 3 tahun dapat digunakan skala wajah Wong-Baker

‐ Anak diatas 5 tahun mungkin dapat menggunakan kata-kata

seperti kena api, atau seperti dicubit, dan lain-lain

‐ Sedangkan pada anak diatas 6 tahun yang diharapkan dapat

mengerti konsep urutan atau tingkatan, dapat digunakan skala

numerik, warna atau kata untuk menyatakan derajat rasa

sakitnya.

Skala Nyeri

Skala ini sebaiknya dibuat dan secara fisik serta emosional sesuai

untuk pasien yang akan diperiksa. Dikenal banyak skala yang dapat

digunakan, namun pada umumnya digunakan perangkat dengan skala

0-10, dapat berupa: 5,54-55

‐ Skala visual yang banyak menggunakan gambar anatomi baik

wajah atau lainnya untuk menerangkan lokasi dan derajat rasa

sakit seperti skala Wong-Baker. Skala ini penting untuk mereka yang tidak mampu menyatakan perasaannya dengan kata-kata.

Skala wajah Wong-Baker banyak digunakan untuk anak-anak, khususnya yang berusia diatas 3 tahun. Skala ini juga banyak

digunakan pada anak lebih besar bahkan untuk orang dewasa

dimana mereka sulit menyatakan rasa sakitnya karena kendala

(44)

menyatakan seseorang yang menyatakan “tidak sakit”, “sedikit

sakit” atau “sakit sekali”.

‐ Skala verbal digunakan dengan memakai kata-kata tidak sakit,

sedang atau sangat sakit untuk membantu menyatakan

intensitas atau derajat beratnya sakit. Penilaian ini berguna

karena parameter yang digunakan bersifat relatif dan penilai

harus menilai sendiri fokus yang paling menonjol.

‐ Skala numerik memberikan kuantifikasi pada rasa sakit dengan melakukan penggolongan terhadap rasa sakit, dengan sistem

skor atau dikombinasikan dengan kata-kata.

2.11. Parasetamol

PARA AMINO FENOL

Derivat para amino fenol yaitu fenasetin dan asetaminofen dapat

dilihat pada gambar dibawah. Asetaminofen merupakan metabolit

fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak

tahun 1893. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen.

Asetaminofen di indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol. Dan

tersedia sebagai obat bebas. Walau demikian, laporan kerusakan fatal

hepar akibat overdosis akut perlu diperhatikan. Tetapi perlu diperhatikan

pemakai maupun dokter bahwa efek anti-inflamasi parasetamol hampir

[image:44.595.197.450.578.710.2]

tidak ada.14,56-58

(45)

FARMAKODINAMIK

Efek analgesik parasetamol dan fenasetin serupa dengan

menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya

menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga

berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti inflamasinya sangat

lemah, oleh karena itu parasetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai

antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang

lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada

kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan

asam basa.14,56,57

FARMAKOKINETIK

Parasetamol dan fenasetin diabsorbsi cepat dan sempurna melalui

saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½

jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh

cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol dan 30% fenasetin terikat

protein plasma. Kedua obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati.

Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan

sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu kedua obat ini juga

dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat

menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Kedua obat ini

diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan

sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi. 14,56,57

INDIKASI

Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan

antipiretik telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik,

parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan

menimbulkan nefropati analgesik.Penggunaannya untuk meredakan

(46)

SEDIAAN DAN POSOLOGI

Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500

mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5ml. Selain itu parasetamol

terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun

cairan. Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1g/kali, dengan

maksimum 4 gr/hari; untuk anak 6-12 tahun : 150-300 mg/kali, dengan

maksimum 1,2 gr/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali dan bayi

dibawah 1 tahun :60 mg/kali; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali

sehari. 14,56-58

EFEK SAMPING

Reaksi alergi terhadap derivat para-aminofenol jarang terjadi.

Manifestasinya berupa eritem atau urtikaria dan gejala yang lebih berat

berupa demam dan lesi pada mukosa.Fenasetin dapat menyebabkan

anemia hemolitik, terutama pada pemakaian kronik. Anemia hemolitik

dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimun, definisi enzim G6PD dan

adanya metabolit yang abnormal.Methemoglobinemia dan

sulfhemoglobinemia jarang menimbulkan masalah pada dosis terapi,

karena hanya kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-hb.Insidens nefropati

analgesik berbanding lurus dengan penggunaan fenasetin. Tetapi karena

fenasetin jarang digunakan sebagai obat tunggal, hubungan sebab akibat

sukar disimpulkan.Eksperimen pada hewan coba menunjukan bahwa

gangguan ginjal lebih mudah terjadi akibat asetosal daripada fenasetin.

Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun

terutama dalam kombinasi dapat menyebabkan nefropati analgetik. 14,15,56-58

TOKSISITAS AKUT

Akibat dosis toksik yang paling serius ialah nekrosis hati. Nekrosis

tubuli renalis serta koma hipoglikemik dapat juga terjadi. Hepatotoksisitas

dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15 gr (200-250 mg/kgBB)

(47)

mencerminkan bahaya yang mengancam. Anoreksi, mual dan muntah

serta sakit perut terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung

selama seminggu atau lebih. Gangguan hepar dapat terjadi pada hari

kedua, dengan gejala peningkatan aktivitas serum transaminase, laktat

dehidrogenase, kadar bilirubin serum serta perpanjangan masa

protrombin. Aktivitas alkali fosfatase dan kadar albumin serum tetap

normal. Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensefalopati, koma dan

kematian, kerusakan hati yang tidak berat pulih dalam beberapa minggu

sampai beberapa bulan.Masa paruhnya pada hari pertama keracunan

merupakan petunjuk beratnya keracunan. Masa paruh lebih dari 4 jam

merupakan petunjuk akan terjadinya nekrosis hati dan masa paruh lebih

dari 12 jam meramalkan akan terjadinya koma hepatik. Penentuan kadar

parasetamol sesaat kurang peka untuk meramalkan terjadinya kerusakan

hati. Kerusakan ini tidak hanya disebabkan oleh parasetamol, tetapi juga

oleh radikal bebas, metabolit yang sangat reaktif yang berkaitan secara

kovalen dengan makro molekul vital sel hati. Karena itu hepatotoksisitas

parasetamol meningkat pada penderita yang juga mendapat barbiturat,

antikonvulsan, atau pada alkoholik yang kronik. Kerusakan yang timbul

berupa nekrosis sentriloburalis. Keracunan akut ini biasanya diobati

secara simtomatik dan suportif tetapi pemberian senyawa sulfhidril

tampaknya dapat bermanfaat, yaitu dengan memperbaiki cadangan

glutation hati.N-asetilsistein cukup efektif bila diberikan per oral 24 jam

setelah minum dosis toksik parasetamol.14,15,56-58

2.12. Metamizol (Dipiron)

PIRAZOLON

ANTIPIRIN, AMINOPIRIN, DAN DIPIRON

Antipirin adalah 5 okso-1fenil-2,3-dimetilpirazolidin. Aminopirin

adalah derivat ³-dimetilamino dari antipirin. Dipiron adalah derivat

metansulfonat dari aminopirin yang larut baik dalam air dan dapat

(48)

Gambar 7. Struktur kimia Metamizol

FARMAKODINAMIK

Metamizol merupakan turunan pirazolon dengan aksi analgesik dan

antipiretik, namun tanpa komponen anti-inflamasi. Walaupun obat tersebut

telah tersedia sejak tahun 1922, mekanisme kerjanya tidak sepenuhnya

diketahui. Penghambatan aktivitas COX dalam SSP, yang mengurangi

sintesis prostaglandin diduga merupakan mekanisme kerja metamizol.Ada

beberapa hipotesis yang menjelaskan efek analgesik metamizol, termasuk

penghambatan COX isoenzime-3 dan penurunan sintesis prostaglandin di

spinal posterior horn. Selain itu, metamizol dapat memberikan efek

(49)

FARMAKOKINETIK

Metamizol dihidrolisis dalam saluran pencernaan dalam bentuk

4-methylaminoantipirine (4-MAA) dan diserap dalam bentuk tersebut;

bioavailabilitas adalah lebih dari 80%.Enzim hati memetabolisme

metamizol menjadi 4-aminoantipirine (AA) dan 4-formylaminoantipirine

(FAA),selanjutnya AA adalah Asetilasi untuk 4-asetylaminoantipirine

(AAA). Semua metabolit dari metamizol menunjukkan aktivitas biologis,

yang berperan untuk efek analgesik dan meresap ke dalam susu ibu.Hasil

metabolit yang terikat dengan protein plasma sekitar 60%,65-70% dari

metabolit aktif metamizol diekskresikan melalui urin. Eliminasi dari 4-MAA

memanjang sebesar 22% setelah dosis ganda dan sebesar 33% pada

orang tua.15

INDIKASI

Saat ini dipiron hanya digunakan sebagai analgetik-antipiretik

karena efek anti inflamasinya lemah. Sedangkan antipirin dan aminopirin

tidak digunakan lagi karena lebih toksis daripada dipiron. Karena

keamanan obat ini diragukan, sebaiknya dipiron hanya diberikan bila

dibutuhkan analgesik antipiretik yang lebih aman. Pada beberapa kasus

penyakit hodgkin dan periarteritis nodosa, dipiron merupakan obat yang

masih dapat digunakan untuk meredakan demam yang sukar diatasi

dengan obat lain. Dosis untuk dipiron ialah tiga kali 0,3-1 gram sehari.

Dipiron tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan larutan obat suntik yang

mengandung 500 mg/ml.15,16,56,59

EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI

Semua derivat pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis,

anemia aseptik dan trombositopenia. Dibeberapa negara misalnya

amerika, efek samping ini banyak terjadi dan bersifat fatal, sehingga

pemakaiannya sangat dibatasi atau dilarang sama sekali. Di indonesia

(50)

dilaporkan pada pemakaian obat ini, tetapi belum ada data tentang angka

kejadiannya. Kesan bahwa orang indonesia tahan terhadap dipiron tidak

dapat diterima begitu saja mengingat sistem pelaporan data efek samping

belum memadai sehingga mungkin terjadi diskrasia darah ini. Dipiron juga

dapat menimbulkan hemolisis, udem, tremor, mual dan muntah,

perdarahan lambung dan anuria.Aminopirin tidak lagi diizinkan beredar di

indonesia sejak tahun 1977 atas dasar kemungkinan membentuk

(51)

2.13. KERANGKA KONSEP

Pembedahan (Trauma)

Parasetamol Metamizol

Inflamasi Menghambat pembentukan

protaglandin

Nyeri Nilai

Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

FLACC scale

(52)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1 Desain

Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol secara

tersamar ganda dengan memakai cara randomisasi blok.

3.2 Tempat dan Waktu 3.2.1 Tempat

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

3.2.2 Waktu

Oktober 2010 s/d Desember 2010

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Pasien anak yang menjalani pembedahan dengan Anestesi umum

di RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3.2 Sampel

Semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria

eksklusi.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Usia 3-10 Tahun

2. PS ASA 1-2

3. Lama operasi ≤ 3 jam

4. WBPRS 0

5. FLACC scale 0

6. Jenis operasi :

digestif,onkologi,ortopedi,THT,plastik,mata,urologi.

7. Masa perdarahan dalam batas normal

8. Berat badan ideal sesuai tabel CDC.

(53)

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Terdapat gangguan faal hepar

2. Dikombinasikan dengan regional anestesi

3. Riwayat Alergi terhadap obat yang diteliti

4. Riwayat menderita Ulkus Peptikum

5. Riwayat pemakai obat-obatan penghilang nyeri yang

berlama-lama.

6. Pasien trauma

3.4.3 Kriteria Putus Uji

1.Memerlukan analgetik selain yang diteliti

2.Post Operasi masih terintubasi

3.Mengalami komplikasi yang membahayakan akibat terapi yang

diberikan

4.Penderita / keluarga menarik diri dari keikutsertaannya

3.5 Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis data numerik :

(

)

(

)

2

2 2

μ

a

μ

0

β

Z1

α

/2

Z1

2

σ

n2

n1

+

=

=

Keterangan :

n = besar sampel minimum

Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada

α

= 5% = 1,96

Z1-β = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β = 20% jadi power 80% nilai

= 0,84

2

σ = harga varians di populasi (Rubina Y,2005) = 0,044

= perkiraan selisih nilai mean yang diteliti dengan mean di Populasi = 0,2

μa

μ0−

(54)

3.6 Cara Kerja

a. Pada hari penelitian obat disiapkan oleh relawan yang melakukan

randomisasi pada saat akan dilakukan penelitian.Persiapan dengan

cara. Sebelumnya pasien di pasang infus dan kedua kelompok

diberikan infus preload cairan Ringer Laktat sebanyak 10 ml/kgbb

untuk pengganti puasa kemudian :

b. Kelompok A mendapat Metamizol (Novalgin/Sanofi Aventis) 15

mg/kgbb IV 30 menit sebelum sayatan pertama, lalu dilanjutkan

premedikasi.

c. Kelompok B mendapat Parasetamol (Farmadol/Fahrenheit) 15

mg/kgbb IV 30 menit sebelum sayatan pertama dilanjutkan

premedikas

Gambar

Tabel 3.6       Simplified post anaesthetic recovery score...........................
Gambar 1 Perjalanan Nyeri dari Perifer ke Sentral…………………….
Gambar 1. Perjalanan nyeri dari perifer ke sentral
Gambar 2. Skematik preemptif analgesik dengan penekanan pada pencegahan sensitisasi sistem saraf selama perioperatif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang

Dapat pula disimpulkan yang membuat pendidikan suatu Negara unggul, antara lain; Materi kurikulum yang menantang dan terfokus, penekanan pada proses belajar pada

1) Efektivitas penerimaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan di Kabupaten Aceh Besar mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata

Berdasarkan data pada (Tabel 2) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh interaksi yang nyata (P<0.05) antara perlakuan pakan dan sistem pemeliharaan yang berbeda terhadap bobot

Pengolahan data yang dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0 dan penyimpanan database yang teratur pada Microsoft Access 2000. Diharapkan

[r]

Penulisan Ilmiah ini menyajikan perancangan Aplikasi Kepegawaian dan Penggajian dengan menggunakan Microsoft Access 2003 yang bertujuan untuk memudahkan pendataan para pegawai

PROGRAM KERJA PERPUSTAKAAN ” ANEKA ILMU” SD NEGERI ... TAHUN PELAJARAN 2012/2013 PROGRAM KERJA MINGGUAN NO HARI JENIS KEGIATAN