• Tidak ada hasil yang ditemukan

Material Biokeramik Berbasis Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Material Biokeramik Berbasis Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

1

MATERIAL BIOKERAMIK

BERBASIS HIDROKSIAPATIT TULANG IKAN TUNA

NURRAHMAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Material Biokeramik Berbasis Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Nurrahman

(4)
(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

MATERIAL BIOKERAMIK

BERBASIS HIDROKSIAPATIT TULANG IKAN TUNA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

(6)

ABSTRAK

NURRAHMAN. Material Biokeramik Berbasis Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna. Dibimbing oleh BAMBANG RIYANTO, AKHIRUDDIN MADDU.

Material biokeramik berbasis hidroksiapatit memiliki prospek baru dalam industri elektronika dan mikroteknologi masa depan. Hidroksiapatit dengan sumber bahan baku alami merupakan potensi besar, terlebih pemanfaatan limbah tulang ikan tuna yang masih belum dilakukan dengan baik. Selain itu, teknologi sintesis yang ada juga belum efektif serta karakterisasi materialnya belum banyak dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis dan mengetahui karakteristik material biokeramik berbasis hidroksiapatit tulang ikan tuna. Metode yang digunakan dalam pengekstraksian hidroksiapatit tulang ikan tuna adalah dengan pemanasan suhu tinggi (sintering). Melalui suhu sintering 700 °C telah dapat dihasilkan material biokeramik berbasis hidroksiapatit dari tulang ikan tuna dengan rendemen tertinggi 65,61 ± 2,21 % dan berwarna putih. Melalui pengujian spektrofotometri FTIR, gugus yang dimiliki meliputi OH-, CO32-, dan PO43-. Semakin tinggi suhu sintering,

semakin tinggi derajat kristalinitasnya, sedangkan dengan SEM memperlihatkan partikel penyusunnya berukuran 0,050 µm sampai 0,803 µm dan menyerupai bentuk kristal heksagonal. Adapun nilai kapasitansi mengalami penurunan dengan bertambahnya frekuensi yang diberikan, dengan nilai tertinggi 0,0061 nF, sedangkan nilai konduktivitas mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya frekuensi dengan nilai terendah 7,73 x 10-5 S/m.

Kata kunci: biokeramik, hidroksiapatit, sintering, tulang ikan tuna

ABSTRACT

Material of hydroxyapatite-based bioceramics have a new prospect in industrial electronics and microtechnology in future. Hydroxyapatite with natural raw material sources is a great potential, especially tuna fish bone waste utilization

doesn’t done well. In addition, synthesis technology still not effective and also the characterization of these material has not been developed yet. This study aims to synthesize and determine the bioceramic material characteristics based on tuna fish bone-hydroxyapatite. Extraction method used in tuna fish bone hydroxyapatite is the high temperature heating (sintering). Through a sintering temperature of 700 °C produced bioceramic material based on tuna fish bone-hydroxyapatite with the highest yield of 65.61 ± 2.21% and white in colour. Through FTIR spectrophotometry testing, the functional group owned consist of̅ OH-, CO

32-, and

PO43-. The higher sintering temperature, would create the higher degree of

crystallinity, whereas the SEM showed constituent particles measuring 0,050 µm up to 0,803 µm and resembles a hexagonal crystal form. The capacitance values decreased with increasing frequency given, with the highest value of 0.0061 nF, while the conductivity values increased with increasing frequency with the lowest value of 7.73 x 10-5 S/m.

(7)
(8)

Judul Skripsi : Material Biokeramik Berbasis Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna Nama : Nurrahman

NIM : C34080007

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh

Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si Pembimbing I

Dr. Akhiruddin Maddu Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S, M.Phil Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Material Biokeramik Berbasis Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna” ini dapat diselesaikan. Skripsi disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1. Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si. dan Bapak Dr. Akhiruddin Maddu

selaku dosen pembimbing.

2. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si selaku dosen penguji.

3. Kepada Pak Otto, Mba Ida, Ka Sugi, Kakhim (Fisika IPB), yang sudah membantu dan memberikan masukan kepada penulis dalam proses pengujian selama penelitian.

4. Kepada Feraliana Audia Utami, terima kasih untuk semangat, perhatian, kesabarannya serta motivasinya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik

5. Kepada Ibu dan Ayah, adik-adik ku tersayang Nurul dan Luluk, terima kasih atas doa, kasih sayang dan dukungannya

6. Kepada M. Andi Rahman, Elka Firmanda, Dwilina Apriyani serta Oktarina Fajar Sari, terimakasih untuk kebersamaanya beserta keluarga THP 45, THP 46 dan THP 47.

Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa depan. Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.

Bogor, 26 Agustus 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

METODE 3

Bahan 3

Alat 3

Prosedur Penelitian 4

Prosedur Pengujian 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Rendemen dan Warna Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna 6 Karakteristik Biokeramik dari Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna 7

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17

LAMPIRAN 21

(11)

DAFTAR TABEL

1 Rendemen dan warna hidroksiapatit dari tulang ikan tuna hasil proses

sintering 6

DAFTAR GAMBAR

1 Perubahan warna serbuk tulang ikan sebelum sintering (E) dan setelah sintering dengan berbagai variasi suhu (A, B, C, D) 7 2 Spektrum FTIR pada variasi suhu sintering 700, 800 dan 900 °C 8 3 Pola difraksi sinar-X serbuk tulang ikan tuna sebelum sintering 9 4 Pola difraksi sinar-X tulang ikan tuna suhu sintering 700 °C 10 5 Pola difraksi sinar-X tulang ikan tuna suhu sintering 800 °C 10 6 Pola difraksi sinar-X tulang ikan tuna suhu sintering 900 °C 11 7 Analisis morfologi hidroksiapatit tulang ikan tuna pada suhu sintering 12

700, 800 dan 900 °C dengan berbagai perbesaran

8 Perbandingan ukuran granule penyusun hidroksiapatit perbesaran

40.000x (a = 700 °C, b = 800 °C, c = 900 °C) 13

9 Perubahan struktur mikro pada saat proses sintering 13 10 Pengukuran kapasitansi hidroksiapatit tulang ikan tuna 14 11 Pengukuran konduktivitas listrik hidroksiapatit tulang ikan tuna 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis XRD sampel suhu sintering 700 ˚C 21

2 Analisis XRD sampel suhu sintering 800 ˚C 21

3 Analisis XRD sampel suhu sintering 900 ˚C 22

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Elektronika dan mikroteknologi merupakan industri baru yang pada tahun 2012 merajai sektor usaha dunia, dengan total pendapatan mencapai $531.5 milyar. Aktivitas bisnis ini mencakup berbagai jenis passive component seperti resistor, kapasitor, induktor, dan passive filter; termasuk juga light-emitting diodes (LEDs) untuk laser dioda; printed circuit boards (PCBs); connector; baterai serta semikonduktor. Berbagai industri yang ditunjang oleh komponen ini meliputi industri otomotif, mesin dan peralatan, optik/photonik, keamanan, ilmu hayati dan farmasi, komunikasi dan informasi, serta tekstil (Marketline 2012).

Perkembangan ini sejalan dengan kecenderungan penelitian akan material terbarukan (American Ceramic Society 2013). Kakani dan Kakani (2004) menyampaikan bahwa material baru didefinisikan sebagai interdisipliner keilmuan yang menerapkan sifat-sifat material untuk berbagai bidang keilmuan dan teknik. Secara umum material baru diklasifikasikan sebagai biomaterial, keramik, material komposit, polimer modern dan semikonduktor. Menurut Ramlan dan Bama (2011), keramik merupakan material yang dibuat melalui suatu proses pembakaran dengan suhu tinggi. Kajian terbaru tentang keramik modern masih mencakup pada aspek perlakuan panas (sintering) dan material terbarukan yang digunakan. Lebih jauh, Rivera-Munoz (2011) menyatakan bahwa material terbarukan yang cukup berkembang sebagai sumber keramik modern adalah hidroksiapatit.

Tulang secara alami umumnya terdiri dari 70% mineral anorganik, 20% bahan organik dan 10% air. Bahan organik sebagian besar terbuat dari kolagen tipe I, sedangkan mineral anorganik terdiri dari hidroksiapatit berkarbonat (White dan Best 2007; Toppe et al. 2007). Tulang ikan merupakan limbah

perikanan dengan jumlah yang mencapai 15 % dari berat tubuh ikan (Toppe et al. 2007). Tulang ikan mengandung 60-70 % mineral, dengan komponen

penyusun berupa 30 % protein kolagen dan sebagian besar bioapatit, termasuk hidroksiapatit, carbonated apatite atau dahlite (Szpak 2011). Toppe et al. (2007) menyatakan bahwa komponen senyawa anorganik penyusun tulang ikan didominasi senyawa kalsium (Ca) (135 – 233 g/kg) dan fosfor (P) (81 – 113 g/kg) serta sedikit

kandungan Mg, Fe, Zn dan Cu, dengan ratio Ca/P mendekati 1,67 (Joschek et al. 2000). Ukuran dan orde kristal bioapatit tulang ikan dan mamalia

umumnya sama (Kim et al. 1995), yang merupakan substitusi dari karbonat, biasanya fosfat dan hidroksil (Pasteris et al. 2004). Lebih lanjut, Noto (2011) menyampaikan bahwa ukuran kristal bioapatit sangat kecil (~50 x 25 x 5 nm), memiliki kandungan hidroksil (OH-) rendah dan juga kristalinitas yang rendah.

Hidroksiapatit dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2 merupakan komponen

anorganik utama pada tulang dan gigi (Kehoe 2008). Biokeramik berbasis kalsium

fosfat telah diaplikasikan pada bidang tulang dan gigi lebih dari 20 tahun (Hench 1998), karena memiliki sifat biokompatibel yang baik pada jaringan

manusia serta komposisi kimianya hampir sama dengan tulang (Mondal et al. 2012). Hidroksiapatit juga dapat diaplikasikan dalam berbagai

(13)

2

Hidroksiapatit untuk aplikasi industri umumnya diperoleh dengan metode sintetis. Hidroksiapatit yang dibuat secara sintesis kimia-fisika ini disebut hidroksiapatit sintetis. Beberapa metode sintetis yang berhasil antara lain metode

sol gel, dimana hidroksiapatit diperoleh dengan bahan fosfor pentaoksida (P2O5)

dan kalsium nitrat tetrahidrat (Feng et al. 2005), presipitasi ultrasonik dengan sumber bahan Ca(NO3)2 dan NH4H2PO4 serta NH2CONH2 sebagai precipitator

(Cao et al. 2005). Selain itu, telah dilakukan pula reverse microemulsion (Guo et al. 2005), sistem emulsi membran cair atau water-in-oil-in-water system (W/O/W) (Jarudilokkul et al. 2007), presipitasi kimia dengan menggunakan Ca(NO3)2.H2O

dan (NH4)2HPO4 (Monmaturapoj 2008), hydrothermal dengan bahan kalsium nitrat

(Ca(NO3)2) dan disodium hydrogen fosfat (Na2HPO4) sebagai sumber kalsium dan

fosfor (Zhang et al. 2009). Akan tetapi metode-metode kimia-fisika tersebut agak rumit dan tidak bersumber dari bahan baku alami serta tidak ramah lingkungan. Selain itu, memerlukan waktu yang cukup lama, proses gelasi, pengeringan dan sintering yang terkontrol (Tseng et al. 2009), serta harganya yang mahal, karena sumber bahan baku kimia yang masih impor.

Beberapa penelitian lain adalah terkait dengan sumber bahan baku alami, diantaranya Xu et al. (2001) yang melakukan konversi coral laut (sea coral) menjadi hidroksiapatit menggunakan teknik hydrothermal dengan menggunakan sumber mineral KH2PO4. Selanjutnya Ozawa dan Suzuki (2002) yang melakukan

pengembangan mikrostruktural hidroksiapatit alami dari limbah tulang ikan menggunakan perlakuan pemanasan. Barakat et al. (2009) melakukan ekstraksi dari tulang sapi menggunakan tiga metode yaitu thermal decomposition, subcritical water, alkaline hydrothermal processes. Kemudian Huang et al. (2011) yang berhasil mengekstraksi hidroksiapatit dari sisik ikan serta Mondal et al. (2012) mempelajari proses dan karakterisasi material hidroksiapatit dari limbah sisik ikan dan tulang sapi.

Karakterisasi hidroksiapatit yang telah dilakukan, antara lain karakteristik kimia - fisika hidroksiapatit keramik berpori (Joschek et al. 2000) dan karakteristik kelistrikan hidroksiapatit berbasis keramik (Gittings et al. 2009) dan karakteristik mekanik hidroksiapatit berpori berbasis biokeramik akibat pengaruh bentuk dan pori (Veljovic et al. 2011).

Tulang ikan tuna merupakan sumber alami hidroksiapatit yang murah dan memiliki potensi yang besar di masa depan (Ozawa dan Suzuki 2002). Kajian pengekstraksian hidroksiapatit dari tulang ikan tuna yang telah dilakukan, antara lain oleh Venkatesan dan Kim (2010) yang mempelajari pengaruh suhu isolasi terhadap karakterisasi hidroksiapatit dari tulang ikan tuna (Thunnus obesus) dan Pallela et al. (2011) yang mempelajari isolasi hidroksiapatit dari tulang ikan tuna (Thunnus obesus) dengan bantuan polimer. Hasil penelitian tersebut telah memperlihatkan bahwa kandungan mineral apatit dan fosfor pada tulang ikan tuna cukup baik bahkan kandungannya lebih tinggi dibandingkan dari catfish

(Juraida et al. 2011).

(14)

3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah pembuatan dan karakterisasi material biokeramik berbasis hidroksiapatit tulang ikan tuna.

METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 hingga April 2013. Penanganan dan preparasi sampel tulang ikan tuna dilakukan di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan dan Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sintesis hidroksiapatit tulang ikan tuna dilakukan di Laboratorium Biofisika Material, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Karakterisasi FTIR dilakukan di Laboratorium Analisis Bahan, Departemen Fisika IPB, karakterisasi SEM dan XRD dilakukan di Laboratorium Geologi Kuarter, Puslitbang Geologi Laut Bandung serta karakterisasi kelistrikan dilakukan di Laboratorium analisis bahan, Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Alat yang digunakan dalam pengekstraksian hidroksiapatit dari tulang ikan meliputi neraca digital (ketelitian 0,001 gram), oven (Yamato) (temperatur maksimum 210 oC, kapasitas ruang 150 L, 220 V), hammer mill (Fritsch Pelverisette, 100 mm), pengayak/penyaring (Retsch Sieve and Shaker AS 200 basic, 100 mm/ 150 mm/ 200 mm), furnace (Vulcan 3-130 dan Nabertherm, kisaran suhu 50-1100 °C, 220-240 V, 1060 W). Alat yang digunakan untuk analisis FTIR adalah spektrofotometer Bruker Tensor 27 (rentang spektrum 4000-400 cm-1,

dengan standar KBr beam splitter, interferometer: Rocksolid, detector: digitech detector system), perangkat X-ray Diffractometer Merek SHIMADZU tipe XD-610

(tabung sinar X tipe Cu NF, geniometer tipe vertical dengan scanning radius 185 mm dan scanning angle range -6°~163° (2θ), -180°~180°(θ), alat untuk analisis

(15)

4

Prosedur Penelitian

Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi preparasi tulang ikan tuna (Juraida et al. 2011), pengekstraksian hidroksiapatit dari tulang ikan tuna (Venkatesan dan Kim 2010), karakterisasi material biokeramik berbasis

hidroksiapatit tulang ikan tuna meliputi analisis spektroskopi FTIR (Pallela et al. 2011), SEM, XRD (Venkatesan dan Kim 2010) dan sifat listrik

(Nuwair 2009).

(1) Preparasi tulang ikan tuna (Juraida et al. 2011)

Preparasi bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa daging yang masih menempel. Preparasi diawali dengan merebus tulang ikan sebanyak 2 kg. Perebusan dilakukan pada suhu 80 °C selama 30 menit. Setelah itu dilakukan pembersihan terhadap daging yang masih menempel dan pencucian dengan air dan terakhir pencucian dengan aquades. Kemudian dilakukan perendaman dengan larutan aseton (perbandingan tulang ikan dan aseton adalah 1:2) selama 24 jam, untuk menghilangkan berbagai kotoran lainnya.

(2) Pengekstrasian hidroksiapatit dari serbuk tulang ikan tuna (Venkatesan dan Kim 2010).

Pengekstraksian diawali dengan pengeringan dan penggilingan tulang ikan tuna yang telah di preparasi. Pengeringan tulang ikan tuna dilakukan pada suhu 160 °C selama 48 jam, dengan tujuannya untuk memudahkan proses penggilingan (Pallela et al. 2011). Penggilingan dilakukan dengan menggunakan hammer mill (Fritsch Pelverisette) yang selanjutnya dilakukan penyaringan dengan menggunakan pengayak/penyaring (Retsch Sieve and ShakerAS 200 basic). Hasil serbuk dengan dengan mesh berukuran 100 mm diperoleh dengan proses penggilingan dan pengayakan yang dilakukan sebanyak 3 kali.

Teknik ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode sintering (pemanasan dengan suhu tinggi). Variasi suhu sintering yang digunakan adalah 600 °C, 700 °C 800 °C, 900 °C dengan waktu tahan 5 jam (mengacu Vankatesan dan Kim (2010), Juraida et al. (2011) dan Palella et al. (2011)). Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.

Proses sintering diawali dengan penimbangan sebanyak 3 gram serbuk tulang ikan tuna ke dalam cawan porselen, kemudian dipanaskan pada furnace

dengan kenaikan pemanasan 10 °C per menit. Setelah pemanasan dan pencapaian suhu sintering, bahan didiamkan hingga suhu turun kembali mencapai suhu ruang (± 28 °C). Produk serbuk hidroksiapatit dari tulang ikan tuna yang diperoleh selanjutnya dikemas dalam plastik dan disimpan pada suhu ruang untuk kemudian dilakukan pengujian.

(3) Karakterisasi material biokeramik berbasis hidroksiapatit tulang ikan tuna

Karakteristik material biokeramik berbasis hidroksiapatit tulang ikan tuna mengacu pada Ivankovic et al. (2010) yang meliputi uji Fourier Transform Infra

Red (FTIR) (Palella et al. 2011), uji X-Ray Diffraction (XRD) (Venkatesan dan Kim 2010), uji Scanning Electron Microscopy (SEM)

(16)

5 Prosedur Pengujian

(1) Spektroskopi Fourier Transform Infra Red (FTIR) (Palella et al. 2011) Pengukuran spektroskopi FTIR dilakukan untuk mengetahui struktur kimia dari sampel hidroksiapatitdan kemungkinan interaksi diantara komponen-komponennya. Sebanyak 2 (dua) miligram sampel serbuk hidroksiapatit dicampur dengan 100 mg KBr, kemudian dibuat dalam bentuk pellet. Setelah itu, sampel dikarakterisasi dengan menggunakan spektrofotometer pada jangkauan gelombang 400-4000 cm-1. Hasil yang didapat berupa spektrum yang muncul pada

komputer yang tersambung dengan alat spektrofotometer. Spektrum ini terdiri dari bilangan gelombang dan nilai transmitansi dimana bilangan gelombang menjadi tolak ukur keberadaan gugus fungsi spesifik hidroksiapatit.

(2) Scanning Electron Microscopy (SEM) (Venkatesan dan Kim 2010) Analisis SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi dari hidroksiapatit yang telah dibuat. Sampel serbuk hidroksiapatit diambil sebanyak 2 gram, diletakkan pada plat logam tembaga yang berbentuk bulat (sample holder). Kemudian dilakukan proses pelapisan atau coating dengan lapisan emas agar sampel memiliki sifat konduktif. Setelah itu, dikarakterisasi dengan menggunakan SEM (perbesaran 10.000, 20.000 dan 40.000, tegangan 20kV). Hasilnya berupa gambar morfologi hidroksiapatit dengan beberapa perbesaran.

(3) X-Ray Diffraction (XRD) (Venkatesan dan Kim 2010)

Jenis fase dan kristalisasi hidroksiapatit dianalisis menggunakan perangkat X-ray Diffractometer Merek SHIMADZU tipe XD-610 dengan sumber CuKα

(λ = 1,5405 Å). Sampel disiapkan sebanyak 2 mg ditempatkan di dalam holder yang berukuran 2 x 2 cm2 pada difraktometer. Tegangan yang digunakan adalah 40 kV dan arus generatornya sebesar 30 mA. Sudut awal diambil pada 5° dan sudut akhir pada 80° dengan kecepatan baca 4°/menit. Hasilnya berupa grafik fasa yang teridentifikasi berdasarkan intensitas dan sudut 2 theta yang terbentuk. Penentuan fasa yang muncul mengacu pada Joint Committee on Powder Diffraction Standard. (4) Karakterisasi sifat listrik hidroksiapatit (Nuwair 2009)

LCR meter merupakan perlengkapan uji sifat listrik yang digunakan untuk mengukur induktansi (L), kapasitansi (C) dan resistansi (R). Analisis sifat listrik didapatkan nilai kapasitansi (Cs) dan konduktansi (G) dengan satuan Siement (S)

dan untuk mendapatkan nilai konduktivitas listriknya (σ) S/m digunakan persamaan: σ = GL /A, L adalah tebal bahan (m), A adalah luas penampang lintang dengan satuan meter (m). Serbuk hidroksiapatit ditempatkan pada plat PCB dengan ukuran 2x2 cm2 dan ketebalan sebesar 2 mm. Kemudian plat PCB dihubungkan

dengan alat LCR meter dan diukur nilai kapasitansi dan konduktansinya dengan rentang frekuensi 1-10.000 Hz (mode V: 1 volt, speed: normal, delay: 0,10 s). (5) Rendemen dan warna serbuk hidroksiapatit tulang ikan tuna

(Venkatesan dan Kim 2010)

(17)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen dan Warna Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu sintering, rendemen yang dihasilkan semakin kecil. Suhu sintering 900 °C dihasilkan rendemen sebesar 56,63 % ± 0,86, suhu sintering 800 °C dihasilkan rendemen sebesar 60,52 ± 0,79 % dan pada suhu 700 °C rendemen yang dihasilkan sebesar 65,61 ± 2,21 %. Pengunaan suhu sintering sebesar 600 °C sebenarnya dihasilkan rendemen yang lebih banyak yaitu 69,95 ± 3,72 %, akan tetapi serbuk yang ada masih memperlihatkan berwarna abu-abu. Kondisi ini menunjukkan bahwa serbuk tersebut masih terdapat komponen-komponen organik dan belum memperlihatkan tingkat kemurnian yang tinggi. Hal ini sejalan dengan Venkatesan dan Kim (2010) dan Lokapuspita et al. (2012) yang menyatakan bahwa penggunaan suhu sintering 600 °C pada serbuk tulang ikan tuna masih memperlihatkan warna abu-abu. Venkatesan dan Kim (2010) juga menyebutkan bahwa nilai rendemen pada kisaran 60 % atau kurang akan berwarna putih yang mengindikasikan hidroksiapatit yang lebih murni (Tabel 1).

Penurunan rendemen pada proses sintering diduga dikarenakan hilangannya kandungan air dan bahan organik yang terdapat pada bahan serbuk tulang ikan (Al-Sokanee et al. 2009). Menurut Venkatesan dan Kim (2010), dua titik infleksi pada serbuk tulang ikan tuna adalah pada suhu 100,5 °C dan 365,6 °C yang mengindikasikan titik kehilangan air dan bahan organik. Palella et al. (2011) menambahkan bahwa titik infleksi pada suhu 365,6 °C mengindikasikan kehilangan

kolagen dan bahan organik lainnya. Kemudian pada suhu sintering antara 200 – 300 °C terjadi sedikit kehilangan berat komponen gabungan antara bahan air

dan bahan organik. Kehilangan bobot akan terjadi secara drastis pada suhu sintering 300-500 °C, karena terjadi proses dekomposisi bahan-bahan organik seperti kolagen, lemak dan protein yang berhubungan dengan komponen lain pada tulang. Pada suhu sintering 600 °C hanya senyawa kalsium fosfat yang tersisa.

Penurunan berat sampel tidak terjadi secara signifikan pada suhu sintering antara 600 – 800 °C, kemungkinan ini disebabkan kuat keterikatan antara

komponen organik seperti kolagen, jaringan lemak dan protein. Venkatesan dan Kim (2010) menyatakan bahwa tidak adanya penurunan berat

(18)

7 Warna dari serbuk tulang ikan tuna sebelum dilakukan proses sintering adalah kuning. Warna kuning menandakan keberadaan gugus organik dengan hidroksiapatit (Pallela et al. 2011). Warna kuning pada serbuk tulang ikan ini akan berubah menjadi hitam, sawo matang, abu-abu serta putih seiring dengan meningkatnya suhu yang digunakan (Venkatesan dan Kim 2010). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada suhu sintering 600 °C serbuk tulang ikan hasil sintering berwarna abu-abu dan pada suhu 700, 800 dan 900 °C serbuk tulang ikan berwarna putih (Gambar 1).

Warna abu-abu pada sampel suhu sintering rendah (600 °C) disebabkan masih adanya sisa senyawa organik berupa karbon yang terdapat pada tulang ikan. Komponen organik dalam ikan meliputi 30% materialnya, sedangkan 60-70%

bagian berupa kalsium fosfat dan hidroksiapatit (Kim dan Mendis 2006).

Ozawa et al. (2007) menyatakan sampel yang di sintering suhu tinggi (700 ° – 1000 °C) akan berwarna putih yang menandakan proses degradasi material

organik sudah tidak terjadi lagi.

Gambar 1 Perubahan warna serbuk tulang ikan sebelum proses sintering (E) dan setelah proses sintering dengan berbagai variasi suhu (A, B, C, D) Karakteristik Biokeramik dari Hidroksiapatit Tulang Ikan Tuna

(a). Analisis Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR)

Karakterisasi FTIR dilakukan untuk mengidentifikasi zat/senyawa yang tidak diketahui serta menentukan jumlah komponen dalam sampel yang ditunjukkan dengan adanya puncak pada suatu bilangan gelombang tertentu. Karakterisasi ini dilakukan untuk mendapatkan informasi yang valid mengenai vibrasi/getaran dari senyawa fosfat, karbonat dan senyawa amida untuk memastikan

pembuatan senyawa hidroksiapatit tanpa asosiasi dari gugus organik (Venkatesan dan Kim 2010).

Hidroksiapatit memiliki kandungan gugus OH

-, gugus CO32-, dan gugus

PO43- (Prabarakan dan Rajeswari 2006). Spektrum FTIR pada sampel dengan

variasi suhu sintering 700, 800 dan 900 °C disajikan pada Gambar 2. Spektrum untuk sampel dengan berbagai variasi suhu sintering menunjukkan adanya pita absorpsi gugus OH- pada bilangan gelombang 3571 cm-1. Mondal et al. (2012)

menyatakan bahwa gugus OH- terdeteksi pada kisaran bilangan gelombang 3497 cm-1. Lebih lanjut lagi, Venkatesan dan Kim (2010) menjelaskan bahwa

puncak yang terdeteksi pada bilangan gelombang 3300 – 3600 cm-1 merupakan

(19)

8

Gambar 2 Spektrum FTIR hidroksiapatit tulang ikan tuna pada berbagai variasi suhu sintering

Pita absorpsi gugus fosfat (PO43-) bervibrasi asimetri stretching ketiga hasil

sintesis tampak pada bilangan gelombang 1041 cm-1 sampai 1095 cm-1. Selain itu, pita absorpsi gugus PO43- juga bervibrasi asimetri bending pada bilangan

gelombang 570 cm-1 dan 601 cm-1 untuk semua perlakuan. Pita serapan fosfat yang

terbentuk bersifat tidak simetri. Hal ini menunjukkan hidroksiapatit pada sampel berbentuk kristal. Mondal et al. (2012) menyebutkan indikasi pertama pembentukan senyawa hidroksiapatit adalah terbentuknya komplek pada bilangan gelombang 1000 – 1100 cm-1 bervibrasi asimetri stretching untuk grup fosfat (PO4)

dan bervibrasi simetri bending pada bilangan gelombang 576,30 cm-1.

Pita serapan karbonat (CO32-) hasil sintesis dengan suhu 700 °C terdeteksi

pada bilangan gelombang 1419 cm-1 dan 1458 cm-1 yang merupakan pita serapan

vibrasi asimetri stretching. Pita serapan karbonat pada suhu 800 °C terdeteksi pada bilangan gelombang 1458 cm-1 dan 1542 cm-1 sedangkan pada suhu 900 °C pita

serapan karbonat tidak terdeteksi. OH

-OH

-OH

-CO

-CO

-PO

-PO

-PO

-PO

-PO

(20)

-9 Venkatesan dan Kim (2010) menyatakan bahwa pita serapan yang terdeteksi pada bilangan gelombang 1414 dan 1457 cm-1 merupakan gugus karbonat.

Prabarakan dan Rajeswari (2006) juga menyatakan bahwa penurunan puncak ion gugus karbonat terjadi seiring dengan kenaikan temperatur yang digunakan. Lebih lanjut lagi, pita serapan pada kisaran bilangan gelombang 1400-1500 cm-1

menunjukkan adanya gugus karbonat pada sampel (Mondal et al. 2012).

Setiap molekul memiliki energi tertentu dalam bervibrasi. Hal ini bergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya. Gugus PO4

memiliki 4 mode vibrasi, yaitu: (1) Vibrasi stretching (V1), bilangan gelombang

sekitar 956 cm-1. Pita absorpsi v1 ini dapat dilihat pada bilangan gelombang

960 cm-1; (2) Vibrasi bending (V2), bilangan gelombang sekitar 363 cm-1;

(3) Vibrasi asimetri stretching (V3), bilangan gelombang sekitar 1040 sampai

1090 cm-1. Pita absorpsi V

3 ini mempunyai dua puncak maksimum, yaitu pada

bilangan gelombang 1090 cm-1 dan 1030 cm-1; (4) vibrasi antisimetri bending (V4),

bilangan gelombang sekitar 575 sampai 610 cm-1 (Winata 2012).

Suhu sintering yang tinggi menyebabkan nilai transmitansi yang tinggi. Hal tersebut terlihat dari sampel dengan suhu sintering 900 °C memiliki nilai transmitansi lebih tinggi. Peningkatan temperatur akan meningkatkan jumlah atau intensitas puncak yang terdeteksi dan tajam serta akan mengurangi lebar puncak

yang mengindikasikan proses penghilangan kandungan bahan organik (Venkatesan dan Kim 2010). Tulang ikan yang belum dilakukan proses pemanasan

akan menghasilkan puncak yang lebar dengan intensitas yang rendah yang disebabkan adanya matrik ekstraseluler dan serabut protein.

(b). Analisis X-ray Diffraction (XRD)

Terdapat empat fasa yang terkandung pada tulang ikan awal, yaitu apatit karbonat tipe A (AKA) dengan rumus molekul (Ca10(PO4)6(CO3)2), apatit karbonat

tipe B (AKB) dengan rumus molekul (Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2), trikalsium fosfat

(TKF) dengan rumus molekul (Ca3(PO4)2) dan okta kalsium fosfat (OKF) dengan

rumus molekul (Ca8H2(PO4)6.5H2O). Fasa tersebut merupakan mineral apatit yang

sudah terkandung pada tulang ikan dengan kristalinitas yang rendah (Ozawa dan Suzuki 2002). Pola difraksi sinar-X serbuk tulang ikan tuna sebelum

sintering dapat dilihat pada Gambar 3.

(21)

10

Pola difraksi sinar-X serbuk tulang ikan tuna pada suhu sintering 700 °C disajikan pada Gambar 4. Pada suhu sintering 700 °C, pola difraksi XRD yang dihasilkan menunjukkan bahwa puncak-puncak pola XRD didominasi oleh fasa

hidroksiapatit. Dua puncak tertinggi dari sampel ini adalah pada sudut 2θ 31,7785°

dan 32,9125° yang merupakan fasa hidroksiapatit. Fasa yang muncul selain hidroksiapatit adalah apatit karbonat tipe A, tikalsium fosfat dan oktakalsium fosfat.

Apatit karbonat tipe A terdeteksi pada sudut 2θ 10,7517 °, oktakalsium fosfat terdeteksi pada sudut 2θ 39,8667 ° dan 41,9997 ° sedangkan trikalsium fosfat terdeteksi pada sudut 2θ 35,6122 °, 44,5458 °, 51,2615 ° dan 56,0291°. Munculnya fase senyawa tricalcium phosphate (TCP) menandakan terjadinya proses

dekomposisi dari senyawa hidroksiapatit pada proses sintering 1200 °C (Prabarakan dan Rajeswari 2006).

Gambar 4 Pola difraksi sinar-X serbuk tulang ikan tuna suhu sintering 700 °C Pola difraksi sinar-X serbuk tulang ikan tuna pada suhu sintering 800 °C dapat dilihat pada Gambar 5. Pola difraksi sinar-X pada suhu sintering 800 °C menunjukkan puncak tertinggi hidroksiapatit dengan sudut 2θ 31,7445 °. Pola difraksi yang dihasilkan didominasi oleh fasa hidroksiapatit tetapi masih terdapat

fasa lain seperti apatit karbonat tipe A (16,8222°), apatit karbonat tipe B (51,2340 °) dan oktakalsium fosfat (22,8074 °, 34,6203 °, 42,0035 °, 43,8515 °).

(22)

11 Hasil analisa XRD dari tulang ikan tuna pada suhu sintering 800 °C dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil hidroksiapatit dengan sifat kristalinitas yang tinggi dibentuk pada suhu sintering 900 ° dilihat dari puncak yang tertinggi dibandingkan puncak pada suhu sintering 700 dan 800 °C. Puncak tertinggi pada pola difraksi

sampel dengan suhu sintering 900 °C ini terdapat pada sudut 2θ 32,8957 °. Namun,

hidroksiapatit yang terbentuk juga masih terdapat fase lain seperti AKA, AKB, OKF dan TKF. Fasa AKA dapat terbentuk pada suhu tinggi dan menggantikan posisi OH- dalam struktur hidroksiapatit sedangkan fase AKB dapat terbentuk pada

suhu lebih rendah dengan menggantikan ion (PO4)3- (Walendra 2012). Selain itu,

munculnya AKA juga dapat disebabkan penggunaan suhu rendah (160 °C) pada proses pengeringan tulang ikan (Balgies 2011).

Gambar 6 Pola difraksi sinar-X serbuk tulang ikan tuna suhu sintering 900 °C Senyawa kalsium fosfat yang memiliki tingkat kestabilan yang paling tinggi adalah hidroksiapatit (HAp), tetapi mempunyai tingkat kelarutan yang paling lama (Walendra 2012). Menurut Hidayat (2012), pembentukan fasa hidroksiapatit dari tulang ikan ditentukan oleh suhu pemanasan, bukan terhadap lamanya waktu pemanasan (waktu tahan). Hal ini dibuktikan dengan perbedaan waktu pemanasan yaitu selama 3 jam dan 6 jam pada suhu 750 °C terhadap pembentukan fasa hidroksiapatit. Hasilnya diperoleh bahwa pola difraksi sinar-X yang dihasilkan pada suhu 750 °C selama 3 dan 6 jam waktu tahan tidak jauh berbeda.

(c). Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)

(23)

12

A7 700 °C

A8 800 °C

A9 900 °C

Perbesaran 10000X Perbesaran 20000X Perbesaran 40000X Gambar 7 Analisis morfologi hidroksiapatit tulang ikan tuna pada suhu

sintering 700, 800 dan 900 °C dengan berbagai perbesaran

Ozawa dan suzuki (2002) menjelaskan bahwa mikrostruktur hidroksiapatit memiliki ukuran yang beragam dan dipengaruhi oleh suhu perlakuan yang digunakan. Kemudian, Pallela et al. (2011) menyebutkan morfologi hidroksiapatit yang telah mengalami proses pemanasan adalah berbentuk kristal yang tidak teratur, diduga bahwa ukuran granule akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur yang digunakan (Venkatesan dan Kim 2010). Perbandingan ukuran

granule penyusun kristal hidroksiapatit dapat dilihat pada Gambar 8.

(a)

(24)

13

(c)

Gambar 8 Perbandingan ukuran granule penyusun hidroksiapatit tulang ikan tuna perbesaran 40.000x (a = 700 °C, b = 800 °C, c = 900 °C)

Pada sampel dengan suhu sintering 700 °C memiliki ukuran granule partikel bervariasi antara 0,050 µm hingga 0,174 µm. Kemudian pada sampel dengan suhu sintering 800 °C ukuran granule partikelnya 0,070 µm hingga 0,192 µm sedangkan pada sampel dengan suhu sintering 900 °C cenderung memiliki ukuran granule

partikel yang lebih besar yaitu 0,148 µm hingga 0,803 µm.

Perbedaan ukuran granule diduga disebabkan akibat proses sintering yang dilakukan. Sintering adalah proses penggabungan partikel-partikel serbuk melalui peristiwa difusi pada saat suhu meningkat. Pada dasarnya sintering adalah peristiwa penghilangan pori-pori antara partikel bahan, pada saat yang sama teradi penyusutan komponen, dan diikuti oleh pertumbuhan grain serta peningkatan ikatan antar partikel yang berdekatan sehingga menghasilkan bahan yang lebih mampat/kompak (Ramlan dan Bama 2011).

Gambar 9 Perubahan struktur mikro pada saat proses sintering Sumber: Ramlan dan Bama (2011)

(d). Karakteristik kelistrikan

Karakteristik kelistrikan yang dianalisis meliputi konduktivitas dan kapasitansi. Kapasitansi adalah besaran yang menyatakan kemampuan dari suatu kapasitor untuk dapat menampung muatan listrik (Tippler 1991). Kapasitansi bergantung pada ukuran dan bentuk konduktor dan akan bertambah bila ada sebuah material pengisolasi atau dielektrik (Young dan Freedman 2003). Pada kapasitor keping sejajar, faktor geometri yang menentukan adalah luas penampang keping sejajar dan jarak antara kepingnya, sedangkan sifat bahan dielektriknya ditentukan oleh nilai konstanta dielektrik bahannya (Sulastri 2006). Pengukuran kapasitansi serbuk hidroksiapatit dari tulang ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 10.

(25)

14

mengakibatkan muatan dalam kapasitor semakin berkurang dan kemampuan kapasitor untuk menyimpan muatan semakin kecil (Sutrisno 1984). Adanya bahan dielektrik di antara plat kapasitor akan memunculkan muatan-muatan permukaan yang cenderung memperlemah medan listrik semula dalam dielektrik. Pelemahan medan listrik ini menyebabkan pengurangan beda potensial antara plat-plat kapasitor yang berisi bahan dielektrik (Tippler 1991).

(a)

(b)

(c)

(26)

15 Konduktivitas listrik adalah ukuran dari kemampuan suatu bahan untuk menghantarkan arus listrik. Nilai konduktivitas listrik serbuk hidroksiapatit tulang ikan tuna yang diperoleh berkisar antara 10-4 S/m sampai 10-5 S/m (Gambar 11). Material semikonduktor mempunyai nilai konduktivitas pada selang antara 10-8 sampai 103 S/cm. Semikonduktor merupakan bahan dengan

konduktivitas listrik yang berada diantara isolator dan konduktor.

(a)

(b)

(c)

(27)

16

Sifat bahan baik konduktor, isolator maupun semikonduktor terletak pada struktur jalur atau pita energi atom-atomnya, yang membedakan bahan termasuk konduktor, isolator atau semikonduktor adalah energi gap (Eg). Energi gap adalah energi yang diperlukan elektron untuk memecahkan ikatan kovalen sehingga dapat berpindah jalur dari alur valensi ke jalur konduksi. Pada material semikonduktor, karena celah energinya sempit maka jika suhu naik, sebagian elektron di pita valensi naik ke pita konduksi dengan meninggalkan tempat kosong (hole) di pita valensi. Elektron yang telah berada di pita valensi akan bertindak sebagai pembawa muatan untuk terjadinya arus listrik. Konduktivitas listrik akan naik jika suhu dinaikkan (Hikmah 2013). Secara umum mekanisme proses konduksi pada senyawa hidroksiapatit diduga disebabkan akibat proses konduksi ion, yang meliputi proton (H+), ion oksida

(O2-) atau ion hidroksil (OH-) sedangkan ion Ca2+ dan PO

43- tidak berperan

dalam sifat konduktivitas listrik pada senyawa hidroksiapatit (Gittings et al 2009).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Material biokeramik berbasis hidroksiapatit tulang ikan tuna dapat dihasilkan pada suhu sintering 700 °C dengan rendemen tertinggi 65,61 ± 2,21 % dan berwarna putih. Melalui pengujian spektrofotometer FTIR, gugus yang dimiliki meliputi OH-,

CO32-, dan PO43-. Semakin tinggi suhu sintering, semakin tinggi derajat

kristalinitasnya dengan hasil uji SEM memperlihatkan bahwa partikel penyusun hidroksiapatit berukuran 0,050 µm sampai 0,803 µm dan menyerupai bentuk kristal heksagonal. Adapun nilai kapasitansi mengalami penurunan dengan bertambahnya frekuensi yang diberikan, dengan nilai tertinggi 0,0061 nF, sedangkan nilai konduktivitas mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya frekuensi dengan nilai terendah 7,73 x 10-5 S/m.

Saran

Proses pemurnian perlu dilakukan dengan menggunakan CaCl2 pada saat

(28)

17

DAFTAR PUSTAKA

Al-Sokanee ZN, Toabi AAH, Al-Assadi MJ, Al-Assadi EA. 2009. The drug release study of cefiriaxone from porous hydroxyapatite scaffolds. AAPS pharmacy Science Technology 10(5): 772-779.

American Ceramic Society. 2013. Advancing the study, understanding and use of ceramic and glass materials for the benefit of our members and society. [terhubung berkala]. http://www.ceramics.org. [16 Agustus 2013].

Balgies. 2011. Sintesis dan karakterisasi hidroksiapatit dari cangkang kerang ranga [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Barakat NAM, Khil MS, Omran AM, Sheikh FA, Kim HY. 2009. Extraction of pure natural hydroxyapatite from the bovine bones bio waste by three different methods. Journal of Materials Processing Technology (209): 3408-3415.

Cao L, Zhang C, Huang J. 2005. Synthesis of hydroxyapatite nanoparticles in ultrasonic precipitation. JournalCeramics International (31): 1041-1044. Feng W, Mu-Sen L, Yu-Peng L, Yong-Xin Q. 2005. A simple sol–gel technique for

preparing hydroxyapatite nanopowders. Journal Materials Letters (59): 916-919.

Gittings JP, Bowen CR, Dent, ACE, Turner IG, Baxter FR, Chaudhuri JB. 2009. Electrical characterization of hydroxyapatite-based bioceramics. Journal Acta Biomaterialia (5): 743-754.

Guo G, Sun Y, Wang Z, Guo H. 2005. Preparation of hydroxyapatite nanoparticles by reverse microemulsion. JournalCeramics International (31): 869-872. Hench LL. 1998. Biomaterials: a forecast for the future. Journal Biomaterial 19

(16): 1419 – 1423.

Hidayat MW. 2012. Modifikasi pori hidroksiapatit dari tulang ikan alu-alu (Sphyraena barracuda) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Hikmah YN. 2013. Sifat Kristal dan sifat listrik film litium tantalat silikat (LiTaSiO5) terhadap variasi suhu serta waktu annealing [skripsi]. Bogor:

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Huang YC, Hsiao PC, Chai HJ. 2011. Hydroxyapatite extracted from fish scale: effect on MG63 osteoblast-like cells. Journal Ceramics International (37): 1825-1831.

Ivankovic H, Orlic S, Kranzelic D, Tkalcec E. 2010. Highly porous hydroxyapatite ceramics for engineering applications. Advances in Science and Technology

(29)

18

Jarudilokkul S, Tanthapanichakoon W, Boonamnuayvittaya V. 2007. Synthesis of hydroxyapatite nanoparticles using an emulsion liquid membrane system.

Journal Colloid. Surface. A: Physicochemical and Engineering Aspects

(296): 149-153.

Joschek S, Nies B, Krotz R, Gopferich A. 2000. Chemical and physicochemical characterization of porous hydroxyapatite ceramics made of natural bone.

Journal Biomaterials (21): 1645-1658.

Juraida J, Sontang M, Ghapur EA, Isa MIN. 2011. Preparation and characterization of hydroxyapatite from fishbone. Empowering Science Technology and Innovation Towards a Better Tomorrow.

Kakani SL, Kakani A. 2004. Material Science. New Delhi: New Age International. Kano S, Yamazaki A, Otsuka R, Ohgaki M, Akao M, Aoki H. 1994. Application of hydroxyapatite-sol as drug carrier. Journal Biomedical Materials and Engineering (4): 283.

Kehoe S. 2008. Optimisation of hidroxyapatite (HAp) for orthopaedic aplication via the chemichal precipitation technique [thesis]. Dublin: School of Mechanical and Manufacturing Engineering Dublin City University. Kim HM, Rey C, Glimcher MJ. 1995. Isolation of calcium phosphate crystal of

bone by non-aqueous methods at low temperature. Journal of Bone and Minerals Research (10): 601-1589.

Kim S dan Mendis E. 2006. Bioactive compounds from marine processing byproducts – a review. Food Research International (39): 383-393.

Lokapuspita G, Hayati M, Purwanto. 2012. Pemanfaatan limbah ikan nila sebagai fishbone hydroxyapatite pada proses adsorpsi logam berat krom pada limbah cair. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri 1(1): 379-388.

Marketline. 2012. The electronics and microtechnology industry in Germany.

Industry Overview, Germany Trade and Invest.

Mondal S, Mondal B, Dey A, Mukhopadhyay SS. 2012. Studies on processing and Characterization of hydroxyapatite biomaterials from different bio wastes.

Journal of Minerals & Materials Characterization & Engineering 11(1): 56-67.

Monmaturapoj N. 2008. Nano-size hydroxyapatite powders preparation by wet chemichal precipitation route. Journal of Metals, Materials and Minerals

18(1): 15-20.

Noto CR. 2011. Hierarchical control of terrestrial vertebrate taphonomy over space and time: discussion of mechanism and implications for vertebrate paleobiology. In: Allison P.A Bottjer, D.J. Taphonomy: Process and Blas through Time. Dordrecht: Springer: 287-336.

(30)

19 Ozawa M, Hattori M, Satake K. 2007. Waste management and application of fish bone hydroxyapatite for waste water treatment. Proceedings of International Symposium on Ecotopia Science.

Ozawa M, Suzuki S. 2002. Microstructural development of natural hydroxyapatite originated from fish-bone waste through heat treatment. Journal American Ceramic Society (85): 1315-1317.

Pallela R, Venkatesan J, Kim SK. 2011. Polymer assisted isolation of hydroxyapatite from Thunnus obesus bone. Journal Ceramics International (37): 3489-3497.

Pasteris JD, Wopenka B, Freeman J, Rogers K, Valsami-Jones E, van der Houwen JA, Silvia MJ. 2004. Lack of OH in nanocrystalline apatite as a function of degree of atomic order: implications for bone and biomaterials. Journal Biomaterials 25(2): 38-229.

Prabarakan K, Rajeswari S. 2006. Development of hydroxyapatite from natural fish bone though heat treatment. Trends Biomaterials Artificial Organs 20 (1): 20-23.

Ramlan, Bama AA. 2011. Pengaruh suhu dan waktu sintering terhadap sifat bahan porselen untuk bahan elektrolit padat (komponen elektronik). Jurnal Penelitian Sains 14(3B): 14305-14308.

Reichert J, Binner J. 1996. An evaluation of hydroxyapatite-based filters for removal of heavy metal ions from aqueous solutions. Journal Materials Science (31): 1231-1241.

Rivera-Munoz EM. 2011. Hydroxyapatite-Based Materials: Synthesis and Characterization, Biomedical Engineering - Frontiers and Challenges, Prof. Reza Fazel (Ed.), ISBN: 978-953-307-309-5, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/biomedical-engineering-frontiers-and challenges/ hydroxyapatite-based-materials-synthesis-and-characterization. Salman S, Soundararajan S, Safina G, Satoh I, Danielsson B. 2008. Hydroxyapatite as a novel reversible in situ adsorption matrix for enzyme thermistor-based FIA. JournalTalanta (77): 490-493.

Sulastri EJ. 2006. Kajian Sifat Listrik Membran dan Fisik Daging Ayam Broiler Giling selama Proses Penyimpanan dan Pemanasan [skripsi]. Departemen Fisika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Szpak P. 2011. Fish bone chemistry and ultrastructure: implications for taphonomy and stable isotope analysis. Journal of Archaeological Science (38): 3358-3372.

Tippler PA. 1991. Fisika Untuk Sains dan Teknik Jilid 2 Edisi Ketiga. [diterjemahkan Dr. Bambang Soegijono]. Jakarta: Erlangga.

Toppe J, Albrektsen S, Hope B, Aksnes A. 2007. Chemichal composition, mineral content and amino acid and lipid profiles in bones from various fish species.

(31)

20

Tseng Y, Kuo C, Li Y, Huang C. 2009. Polymer-assisted synthesis of hydroxyapatite nanoparticle. Journal Materials Science and Engineering

(29): 819-822.

Veljovic D, Hajneman RJ, Balac I, Jokic B, Putic S, Petrovic R, Janackovic D. 2011. The effect of the shape and shize of the pores ion the mechanichal properties of porous HAP-based bioceramics. Journal Ceramics International (37): 471-479.

Venkatesan J, Kim SK. 2010. Effect of temperature on isolation and characterization on hydroxyapatite from tuna (Thunnus obesus) bone.

Journal Materials (3): 4761-4772.

Walendra Y. 2012. Sintesis dan karakterisasi hidroksiapatit berpori dari cangkang kerang darah (Anadara granosa Linn.) dengan porogen lilin lebah [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

White AA, Best SM. 2007. Hydroxyapatite-carbon nanotube composites for biomedical applications: a review. International Journal of Applied Ceramic Technology 4(1): 1-13.

Winata BC. 2012. Sintesis dan karakterisasi hidroksiapatit dari cangkang keong sawah [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Xu Y, Wang D, Yang L, Tang H. 2001. Hydrothermal conversion of coral into hydroxyapatite. Journal Materials Characterization (47): 83-87.

Young H, Freedman RA. 2003. Fisika Universitas Jilid 2 Edisi Kesepuluh.

[diterjemahkan Pantur Silaban]. Jakarta: Erlangga.

(32)

21

LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis XRD sampel suhu sintering 700 ˚C

Lampiran 2 Analisis XRD sampel suhu sintering 800 ˚C

Int Int-f Int %Δ2θ Int %Δ2θ 2θ Int %Δ2θ 2θ Int %Δ2θ 2θ Int %Δ2θ

10.752 8.02 8.02 10.82 12.00 99.37 9.75 40.00 89.73 10.85 12.00 99.09 10.73 14.00 99.80 AKA 18.89 2.73 2.73 18.79 4.00 99.44 17.46 80.00 91.81 18.47 2.00 97.73 18.60 1.00 98.44 HAp

21.712 5.69 5.69 21.82 10.00 99.51 21.87 16.00 99.28 HAp

22.854 4.18 4.18 22.90 10.00 99.80 22.74 80.00 99.50 22.21 4.00 97.10 21.53 2.00 93.85 HAp 25.89 23.9 23.94 25.88 40.00 99.96 25.98 100.00 99.66 25.80 25.00 99.65 25.97 35.00 99.69 25.75 25.00 99.45 HAp

28.105 6.87 6.87 28.13 12.00 99.91 28.15 80.00 99.84 HAp

28.938 19.1 19.06 28.97 18.00 99.90 28.68 2.00 99.10 28.54 17.00 98.61 28.15 <2 97.20 HAp 31.779 100 100.00 31.77 100.00 99.98 31.62 100.00 99.50 31.03 100.00 97.59 31.53 100.00 99.21 HAp 32.913 70.7 70.72 32.90 60.00 99.97 32.56 90.00 98.92 33.03 10.00 99.64 32.60 50.00 99.04 HAp 34.05 17.7 17.71 34.05 25.00 99.99 33.96 90.00 99.73 34.37 65.00 99.07 33.92 19.00 99.62 34.20 10.00 99.56 HAp 35.612 3.86 3.86 35.48 6.00 99.63 35.19 80.00 98.80 35.60 12.00 99.97 35.51 1.00 99.71 TKF

39.18 5.44 5.44 39.20 8.00 99.94 39.34 80.00 99.59 39.30 19.00 99.70 HAp

39.867 23.3 23.31 39.82 20.00 99.88 39.89 70.00 99.94 39.80 10.00 99.83 39.79 13.00 99.81 39.43 6b 98.89 OKF 42 7.14 7.14 42.03 10.00 99.93 42.02 80.00 99.95 41.68 12.00 99.23 42.56 2b 98.68 OKF

44.546 2.01 2.01 44.37 2.00 99.60 44.53 10.00 99.96 TKF

45.443 3.05 3.05 45.31 6.00 99.70 45.31 8.00 99.70 45.25 2b 99.57 HAp, TKF

46.678 25.9 25.90 46.71 30.00 99.93 47.97 16.00 97.31 47.11 16.00 99.08 HAp

48.074 10.9 10.89 48.10 16.00 99.94 HAp

49.513 24.1 24.06 49.47 40.00 99.91 49.79 12.00 99.45 49.60 16.00 99.83 HAp

50.421 16.4 16.36 50.49 20.00 99.86 50.31 6.00 99.79 HAp

51.262 15.7 15.65 51.28 12.00 99.96 51.25 6.00 99.98 51.24 10.00 99.96 TKF

52.064 12.2 12.15 52.10 16.00 99.93 52.62 4.00 98.95 52.73 10b 98.74 HAp

53.215 8.76 8.76 53.14 20.00 99.87 53.51 8.00 99.44 HAp

56.029 4.62 4.62 55.88 10.00 99.73 56.14 6.00 99.80 TKF

57.147 2.73 2.73 57.13 8.00 99.97 57.44 6.00 99.49 HAp

58.154 3.36 3.36 58.07 4.00 99.86 57.56 4.00 98.96 HAp

Fasa

Pengulangan Ke-1 HAp OKF TKF AKA AKB

Int Int-f Int %Δ2θ Int %Δ2θ 2θ Int %Δ2θ Int %Δ2θ Int %Δ2θ

10.8239 9.68 9.68 10.82 12.00 99.96 9.75 40.00 88.99 10.85 12.00 99.76 10.73 14.00 99.16 HAp

16.8222 3.17 3.17 16.84 12.00 99.89 16.06 90.00 95.25 17.00 20.00 98.95 16.81 5.00 99.93 AKA

21.7419 6.14 6.14 21.82 10.00 99.65 21.87 16.00 99.41 HAp

22.8074 4.46 4.46 22.90 10.00 99.60 22.74 80.00 99.70 22.21 4.00 97.31 21.53 2.00 94.07 OKF

25.3402 2.06 2.06 25.36 2.00 99.92 25.60 80.00 98.99 25.14 3.00 99.20 HAp

25.8588 21.41 21.41 25.88 40.00 99.92 25.98 100.00 99.53 25.80 25.00 99.77 25.97 35.00 99.57 25.75 25.00 99.58 HAp

28.0873 7.01 7.01 28.13 12.00 99.85 28.15 80.00 99.78 HAp

28.8915 18.06 18.06 28.97 18.00 99.74 28.68 2.00 99.26 28.54 17.00 98.77 28.15 <2 97.37 HAp

31.7445 100 100.00 31.77 100.00 99.91 31.62 100.00 99.61 31.03 100.00 97.70 31.53 100.00 99.32 HAp

32.8808 72.33 72.33 32.90 60.00 99.94 32.56 90.00 99.01 33.03 10.00 99.55 32.60 50.00 99.14 HAp

34.0420 18.56 18.56 34.05 25.00 99.98 33.96 90.00 99.76 34.37 65.00 99.05 33.92 19.00 99.64 34.20 10.00 99.54 HAp

34.6203 4.14 4.14 34.50 90.00 99.65 34.99 6.00 98.94 35.02 4.00 98.86 OKF

35.4139 5.83 5.83 35.48 6.00 99.81 35.19 80.00 99.36 35.60 12.00 99.48 35.51 1.00 99.73 HAp

39.7835 24.86 24.86 39.82 20.00 99.91 39.89 70.00 99.73 39.80 10.00 99.96 39.79 13.00 99.98 39.43 6b 99.10 AKA

42.0035 6.83 6.83 42.03 10.00 99.94 42.02 80.00 99.96 41.68 12.00 99.22 42.56 2b 98.69 OKF

43.8515 3.59 3.59 43.80 8.00 99.89 43.07 80.00 98.19 43.89 6.00 99.91 OKF

45.3041 3.2 3.20 45.31 6.00 100.00 45.31 8.00 100.00 45.25 2b 99.88 HAp, TKF

46.6778 23.9 23.90 46.71 30.00 99.93 47.97 16.00 97.31 47.11 16.00 99.08 HAp

48.0375 12.27 12.27 48.10 16.00 99.86 HAp

48.6289 4.08 4.08 48.62 6.00 99.98 48.40 14.00 99.53 49.03 10.00 99.18 HAp

49.4552 27.33 27.33 49.47 40.00 99.97 49.79 12.00 99.34 49.60 16.00 99.71 HAp

50.4517 17.21 17.21 50.49 20.00 99.92 50.31 6.00 99.73 HAp

51.234 12.99 12.99 51.28 12.00 99.90 51.25 6.00 99.96 51.24 10.00 99.99 AKB

52.0315 10.53 10.53 52.10 16.00 99.87 52.62 4.00 98.89 52.73 10b 98.68 HAp

53.1842 6.9 6.90 53.14 20.00 99.92 53.51 8.00 99.39 HAp

55.7907 5.27 5.27 55.88 10.00 99.84 56.14 6.00 99.38 HAp

57.1181 3.01 3.01 57.13 8.00 99.98 57.44 6.00 99.44 HAp

Fasa

(33)

22

Lampiran 3 Analisis XRD sampel suhu sintering 900 ˚C

Lampiran 4 Standar hidroksiapatit(Join Commitre on Powder Difraction Standard)

Int Int-f Int %Δ2θ Int %Δ2θ Int %Δ2θ Int %Δ2θ Int %Δ2θ

10.831 12.84 12.84 10.82 12.00 99.90 9.75 40.00 88.91 10.85 12.00 99.82 10.73 14.00 99.06 HAp

16.814 1.33 1.33 16.84 12.00 99.84 16.06 90.00 95.31 17.00 20.00 98.91 16.81 5.00 99.98 AKA

18.826 3.91 3.91 18.79 4.00 99.78 17.46 80.00 92.17 18.47 2.00 98.07 18.60 1.00 98.78 HAp

21.732 7.41 7.41 21.82 10.00 99.60 21.87 16.00 99.37 HAp

22.846 7.67 7.67 22.90 10.00 99.76 22.74 80.00 99.53 22.21 4.00 97.14 21.53 2.00 93.89 HAp

25.86 28.13 28.13 25.88 40.00 99.92 25.98 100.00 99.54 25.80 25.00 99.77 25.97 35.00 99.57 25.75 25.00 99.57 HAp

28.088 9.81 9.81 28.13 12.00 99.85 28.15 80.00 99.78 HAp

28.928 24.38 24.38 28.97 18.00 99.87 28.68 2.00 99.14 28.54 17.00 98.64 28.15 <2 97.24 HAp

29.889 1.63 1.63 29.88 70.00 99.97 29.68 20.00 99.30 29.38 10.00 98.27 OKF

31.823 70.83 70.83 31.77 100.00 99.84 31.62 100.00 99.36 31.03 100.00 97.44 31.53 100.00 99.07 HAp

32.182 49.36 49.36 32.20 60.00 99.96 32.32 90.00 99.57 32.45 20.00 99.17 32.21 70.00 99.91 32.20 100.00 99.94 HAp

32.896 100 100.00 32.90 60.00 99.98 32.56 90.00 98.97 33.03 10.00 99.59 32.60 50.00 99.09 HAp

34.054 24.03 24.03 34.05 25.00 99.98 33.96 90.00 99.72 34.37 65.00 99.08 33.92 19.00 99.61 34.20 10.00 99.57 HAp

34.569 7.23 7.23 34.50 90.00 99.80 34.99 6.00 98.80 35.02 4.00 98.71 OKF

35.489 5.3 5.30 35.48 6.00 99.97 35.19 80.00 99.15 35.60 12.00 99.69 35.51 1.00 99.94 HAp

39.808 36.78 36.78 39.82 20.00 99.97 39.89 70.00 99.79 39.80 10.00 99.98 39.79 13.00 99.96 39.43 6b 99.04 TKF

40.439 3.32 3.32 40.45 2.00 99.97 40.83 90.00 99.04 40.21 2.00 99.43 40.43 16.00 99.98 AKB

41.998 10.22 10.22 42.03 10.00 99.93 42.02 80.00 99.95 41.68 12.00 99.24 42.56 2b 98.68 OKF

43.842 5.18 5.18 43.80 8.00 99.91 43.07 80.00 98.21 43.89 6.00 99.89 HAp

44.519 4.43 4.43 44.37 2.00 99.66 44.53 10.00 99.97 TKF

46.687 36.09 36.09 46.71 30.00 99.95 47.97 16.00 97.33 47.11 16.00 99.10 HAp

48.048 13.27 13.27 48.10 16.00 99.89 HAp

48.63 7.82 7.82 48.62 6.00 99.98 48.40 14.00 99.53 49.03 10.00 99.18 HAp

49.472 35.37 35.37 49.47 40.00 99.99 49.79 12.00 99.37 49.60 16.00 99.74 HAp

50.486 25.92 25.92 50.49 20.00 99.99 50.31 6.00 99.66 HAp

51.274 19.33 19.33 51.28 12.00 99.98 51.25 6.00 99.96 51.24 10.00 99.93 HAp

52.073 16.2 16.20 52.10 16.00 99.95 52.62 4.00 98.97 52.73 10b 98.75 HAp

53.158 14.29 14.29 53.14 20.00 99.97 53.51 8.00 99.34 HAp

55.855 7.15 7.15 55.88 10.00 99.96 56.14 6.00 99.49 HAp

57.101 3.93 3.93 57.13 8.00 99.95 57.44 6.00 99.41 HAp

58.073 3.12 3.12 58.07 4.00 100.00 57.56 4.00 99.10 HAp

Fasa

(34)

23

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung, pada tanggal 8 November 1990 dan merupakan anak pertama dari tiga bersudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2002 di SDN 1 Adirejo Lampung Timur. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Al-Kautsar Bandar Lampung. Kemudian pada tahun 2008, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Natar Lampung Selatan. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama studi di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah masuk

kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (2008-2009) sebagai staf divisi Komunikasi dan Informasi, Badan Eksekutif

Gambar

Gambar 1 Perubahan warna serbuk tulang ikan sebelum proses sintering (E) dan
Gambar 2 Spektrum FTIR hidroksiapatit tulang ikan tuna pada berbagai variasi
Gambar 3 Pola difraksi sinar-X serbuk tulang ikan tuna sebelum sintering
Gambar 7 Analisis morfologi hidroksiapatit tulang ikan tuna pada suhu
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan merancang pengendalian parabola bergerak menggunakan Mikrokontroler, Aktuator sebagai penggerak untuk menggerakan parabola kearah timur dan kebarat dan

Setelah meninjau kepustakaan terkait dengan perancangan Museum Pinisi di Bulukumba ini, dapat disimpulkan bahwa Perancangn Museum Pinisi dengan Menerapkan Konsep

This study investigated the structures and the lexical phrases of undergraduate English Department academic year 2006 students ‟ thesis conclusion.. The

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul: “ IMPLEMENTASI PROGRAM MENGHAFAL AL- QUR’AN D ENGAN METODE HANIFIDA DI SMP ISLAM ADILUWIH KECAMATAN ADILUWIH

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran matematika realistik berbasis etnomatematika Bengkulu dapat meningkatkan kognisi matematis siswa.. Peningkatan tersebut

Hal ini di karenakan lansia yang mengikuti senam ergonomis terjadi pembuangan energi negatif dari dalam tubuh yang dapat melancarkan aliran darah serta asupan oksigen

Kutipan tersebut dapat dijelaskan bahwa kuatnya hubungan antara penggunaan fitur insta story dalam aplikasi instagram dengan minat beli produk Wellborn karena

Ketiga, mereka pun memandang bahwa negara adalah sebagai lembaga politik yang sama sekali terpisah dari agama, kepala negara karenanya hanya mempunyai