• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intensitas Cahaya, Suhu, Kelembaban dan Sistem Perakaran Mahoni (Swietenia macrophylla King.) di RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Intensitas Cahaya, Suhu, Kelembaban dan Sistem Perakaran Mahoni (Swietenia macrophylla King.) di RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

INTENSITAS CAHAYA, SUHU, KELEMBABAN DAN SISTEM

PERAKARAN MAHONI (Swietenia macrophylla King.) di RPH

BABAKAN MADANG, BKPH BOGOR , KPH BOGOR

NURUNNAJAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Mahogany (Swietenia macrophylla King.) in RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor. Supervised by NURHENI WIJAYANTO.

Planting space in agroforestry system was one of important tree rooting was one of important factor that determine tree rooting. It was caused by the relation between planting space and light availability that could penetrate into main plant canopy and space availability for rooting. One of commonly used plant in agroforestry was mahogany which has deep rooting system and has a single main root thus could be combined with shallow rooting system plants as its understory.

This research was supposed to know the light intensity, temperature and humidity in mahogany stands and to know the length and depth of mahogany horizontal root as a reference to determine suitable crop plants for that rooting condition.

This research was carried out at June to September 2011 in RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor, West Java. Materials used in this research was young mahogany stands on age 3 years with planting space 3x3 m and old mahogany stand on age 17 years with planting space 5x5 m. Used sample plot was square plot with dimension 15x20 m that selected by purposive sampling based on condition of trees growth (prioritized in free pest and disease trees).

Observed parameters in this research were light intensity, crown coverage percentage, temperature, humidity, and length and depth of mahogany horizontal root. Research results show that light intensity value in young mahogany stands was 24.62% and in old mahogany stands was 19.17%, while crown coverage percentage in those two stands was respectively 36.50% and 84.38%. Value of that light intensity wasn’t compared caused of its different time in data collecting. Temperature in sample plot in young mahogany stands and the old ones was 28,53oC and 28,07oC, while its humidity was 75.12% and 75.23%, respectively. Length of horizontal root in young mahogany stands and the old ones was 0.68 m and 1.68 m, while its horizontal depth was 9.95 cm and 12.58 cm, respectively. Other observed parameter was tree dimension (diameter, height, and crown area), that supposed to know the growth quality of observed mahogany.

Research results show that mahogany stands could be combined together with crop plant if it seen from light intensity, temperature and humidity aspects. Higher crown coverage along with the increasing of main plant (mahogany trees) has to be combined with suitable and high economic value crop plant. Some recommended crop plant for young mahogany stands are ginger and pandan, while for old mahogany stands were tuberous plant and kapulaga.

(3)

RINGKASAN

NURUNNAJAH. Intensitas Cahaya, Suhu, Kelembaban dan Sistem Perakaran Mahoni (Swietenia macrophylla King.) di RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO.

Jarak tanam pada sistem agroforestri merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan perakaran pohon. Hal ini karena jarak tanam berkaitan dengan ketersediaan cahaya yang dapat menembus kanopi tanaman utama dan ketersediaan ruang untuk perakaran. Salah satu pohon yang dapat digunakan dalam agroforestri adalah pohon mahoni yang memiliki sistem perakaran dalam dan berakar tunggang sehingga dapat diusahakan dengan memanfaatkan tanaman yang memiliki sistem perakaran dangkal sebagai tanaman bawahnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intensitas cahaya, mengetahui suhu dan kelembaban serta mengetahui panjang dan kedalaman perakaran horizontal tanaman mahoni sebagai referensi untuk menentukan jenis tanaman pertanian yang sesuai dengan kondisi perakaran mahoni tersebut.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga September 2011 bertempat di RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor, Jawa Barat. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan mahoni muda berumur 3 tahun dengan jarak tanam 3x3 m dan mahoni tua berumur 17 tahun dengan jarak tanam 5x5 m. petak ukur contoh yang digunakan berbentuk persegi panjang dengan ukuran 15x20 m yang dipilih secara purposive sampling berdasarkan pertumbuhan pohon yang baik (bebas dari hama dan penyakit).

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah, intensitas cahaya, persentase penutupan tajuk, suhu, kelembaban, dan panjang serta kedalaman akar horizontal tanaman mahoni. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai intensitas cahaya pada tegakan mahoni muda adalah sebesar 24,62% dan tegakan mahoni tua sebesar 19,17%, sedangkan persentase penutupan tajuk adalah sebesar 36,50% dan 84,38%. Suhu dan kelembaban pada petak ukur contoh tegakan mahoni muda dan mahoni tua adalah 28,53oC dan 28,07oC, 75,12% dan 75,23%. Tegakan mahoni muda dan mahoni tua memiliki nilai panjang akar secara horizontal sebesar 0,68 m dan 1,68 m, untuk nilai kedalaman horizontalnya sebesar 9,95 cm dan 12,58 cm. Selain parameter di atas, parameter lain yang diamati adalah dimensi pohon (diameter, tinggi, dan luas tajuk pohon), hal ini dilakukan untuk mengetahui kualitas pertumbuhan mahoni yang diamati.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tegakan mahoni dapat ditanam bersama dengan tanaman tumpangsari jika dilihat dari intensitas cahaya, suhu dan kelembaban. Penutupan tajuk yang semakin rapat dengan bertambahnya umur suatu tanaman pokok mahoni maka perlu disarankan tanaman pertanian yang cocok terhadap naungan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Berikut adalah rekomendasi tanaman semusim (tanaman pertanian) yang cocok untuk ditanam di bawah tegakan mahoni muda diantaranya jahe dan pandan, untuk tegakan mahoni tua tanaman pertanian yang direkomendasikan adalah umbi garut dan kapulaga.

(4)

NURUNNAJAH

(5)

Mahoni (Swietenia macrophylla King.) di RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor.

Nama Mahasiswa : NURUNNAJAH

NRP : E44070051

Menyetujui, Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009

(6)

Cahaya, Suhu, Kelembaban, dan Sistem Perakaran Mahoni (Swietenia macrophylla King.) di RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran dan motivasinya kepada penulis.

2. Bapak dan ibu tercinta serta adik tersayang, Rihayatul Wardah dan Mufidah Maliyani, yang telah memberikan kasih sayang, semangat dan dorongan serta do’a kepada penulis.

3. Dr. Nining Puspaningsih, M.Si selaku dosen penguji sidang dan Ir. Oemijati Rachmatsjah, MS selaku ketua sidang atas segala bantuan, arahan, dan kritik yang sangat membangun.

4. Diyan Yulianto yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis selama melaksanakan penelitian dan menyusun skripsi.

5. Sahabat-sahabatku tercinta Novia Lestari, Nakhrisah Nur Fahlevi, Tri Arianti, Ardini Ayu, Perdhani Wulan, yang telah memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepada penulis.

6. Teman-teman Wisma Lukita (Siska Febriana P, Eka Melia, Deti Kusniati, Ria Leliana, Rahmi Wiristya, Architiani Niendria, Aulia Maharani, Diyah K, Hanifah N, dan Dita Puji L) yang telah memberikan bantuan, perhatian dan semangat kepada penulis.

7. Hafizah Tarigan, Azizah dan M. Eko Purwanto teman seperjuangan sewaktu PKP di PT. INCO, Tbk.

8. Anindita Kusumaningrum selaku teman seperjuangan selama melakukan penelitian dan menyusun skripsi. Dhinda Hidayanthi, Wira Ary Ardana dan Pak Juliao teman satu bimbingan yang selalu memberikan bantuan dan dorongan serta semangat kepada penulis.

9. Nifa Hanifa, Lilik Sugirahayu, Yuniar Safitri, Eri Sugiarto, Eka Perdanawati, Lilis Purnawati, yang telah membantu dan menemani saya dalam penelitian serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

(8)

perkuliahan.

12.Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian dan skripsi ini.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 10 Februari 1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Wakhidin dan Hj. Siti Ropikoh. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Balapulang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Silvikultur, Jurusan Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Business Development Tree Grower Community (TGC) tahun 2008-2009, staf Informasi dan Komunikasi Tree Grower Community (TGC) tahun 2009-2010, panitia Belantara 45 Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan tahun 2009-2010, dan panitia Forester Cup 2009. Selain itu Penulis juga pernah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di jalur Sancang Timur dan TWA Papandayan pada tahun 2009. Penulis melaksanakan Praktek Pembinaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Kabupaten Sukabumi pada tahun 2010. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di PT. INCO Tbk. di Sorowako, Sulawesi Selatan pada Bulan Maret-Mei 2011. Selama menjadi mahasiswa penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah dendrologi (2011-2012). Penulis selama masa kuliah, pernah menerima beasiswa BBM.

(10)

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Intensitas Cahaya, Suhu, Kelembaban dan Sistem Perakaran Mahoni (Swietenia macrophylla King.) di RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor”. Skripsi ini bertujuan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini, khususnya kepada pihak-pihak yang berkompeten dengan skripsi ini. Mudah-mudahan uraian ini dapat bermanfaat serta menjadi pemicu semangat bagi penulis untuk mengkaji lebih luas dan menggali lebih dalam pengetahuan yang telah didapat.

Bogor, November 2011

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan Permasalahan ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 2

D. Manfaat Penelitian ... 2

II.TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Pengertian Agroforestri ... 3

B. Pola Tanam ... 3

C. Pemilihan jenis ... 4

D. Manfaat Sistem Agroforestri ... 5

E. Mahoni (Swietenia macrophylla King.) ... 6

F. Keterangan Botani ... 6

G. Penyebaran dan Habitat ... 7

H. Sifat Umum Mahoni ... 7

I. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan ... 8

J. Sistem Perakaran ... 9

III. METODE PENELITIAN ... 12

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 12

B. Alat dan Bahan ... 12

C. Metode Pengumpulan Data ... 12

D. Metode kerja ... 12

1. Penentuan peletakkan plot contoh ... 12

2. Pengukuran dimensi pohon ... 13

3. Pengukuran intensitas cahaya, suhu kelembaban ... 14

4. Pengukuran persentase tajuk ... 14

5. Pengukuran panjang dan kedalaman perakaran secara horizontal ... 15

6. Analisis data ... 15

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

(12)

D.Diameter, tinggi, dan luas tajuk ... 22

E.Rekomendasi pemilihan tanamn semusim yang cocok ditanam di bawah pohon mahoni ... 24

a.Jahe ... 24

b.Kapulaga ... 25

c.Umbi garut ... 26

d. Pandan ... 27

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

A.Kesimpulan ... 28

B.Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rata-rata intensitas cahaya dan penutupan tajuk ... 16

2. Suhu dan kelembaban pada petak ukur contoh pohon mahoni muda dan mahoni tua ... 18

3. Panjang dan kedalaman perakaran horizontal pohon mahoni tua ... 19

4. Panjang dan kedalaman perakaran horizontal pohon mahoni muda ... 20

5. Rata-rata diameter, tinggi, dan luas tajuk pohon mahoni muda dan tua ... 22

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Proyeksi tajuk yang diukur ... 13

2. Grafik rata-rata intensitas cahaya (101 Lux) ... 16

3. Akar pohon mahoni muda ... 21

4. Akar pohon mahoni tua ... 21

5. Akar yang tumpang tindih ... 21

6. Kerapatan tajuk pohon mahoni muda ... 23

7. Kerapatan tajuk pohon mahoni tua ... 23

 

 

 

 

(15)

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ardie WS. 2006. Pengaruh Intensitas Cahaya dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Hoya diversifolia Blume [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dewi EWA. 2009. Pengaruh Ekstrak Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 6 mg/grBB terhadap Waktu Induksi Tidur dan Lama Waktu Tidur Mensit Balb/C yang D iinduksi Thiopenthal 0,546 mg/20mgBB [Laporan Karaya Tulis Ilmiah]. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.

Djaafar TF, Sarjima, Pustika AB. 2010. Pengembangan budi daya tanaman garut dan teknologi pengolahannya untuk mendukung ketahanan pangan. J. Litbang Pertanian 29 (1):25-33.

De Foresta H, Minchon AG, Djatmiko WA. 2000. Agroforest Khas Indonesia. Bogor: ICRAF.

Hairiah K, Sardjono AM, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia.

Handoko. 2005. Klimatologi Dasar. Jakarta: Pustaka Jaya.

Harmono, Andoko A. 2005. Budi Daya dan Peluang Bisnis Jahe. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Herdiana N, Siahaan H, Rahman TS. 2008. Pengaruh arang kompos dan intensitas cahaya terhadap pertumbuhan bibit kayu bawang. J. Penelitian Hutan Tanaman 5(3): 1-7.

Huxley P. 1999. Bentuk dan Sifat Perakaran. Qurniati R, penerjemah. Bogor : IPB. Terjemahan dari: Tropical Agroforestry.

Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.

IPTEK [Ilmu Pengetahuan dan Teknologi]. 2007. Tanaman Obat Indonesia. [Terhubung Berkala]. http//www.iptek.net.id.html. [20 Oktober 2011].

Irwanto. 2007. Budidaya Tanaman Kehutanan. [Terhubung Berkala]. http://www.frewebs.com/irwantoforester/kawasanhutan.pdf. [27 Juli 2011]. Jumin HB. 2005. Dasar-dasar Agronomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Jumin HB. 1989. Ekologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologis. Jakarta: CV.

Rajawali.

(16)

Laboratorium Pengaruh Hutan. 2010. Panduan Praktikum Pengaruh Hutan. Bogor: Laboratorium Pengaruh Hutan, Bagian Ekologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Noorhadi, Sudadi. 2003. Kajian pemberian air dan mulsa terhadap iklim mikro pada tanaman cabai di tanah entisol. J Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 4(1): 41-49.

Nurhasybi DJ, Sudrajat. 2001. Swietenia macrophylla King. Informasi Singkat Benih. No. 14 Desember. Bogor: Balai Informasi Perbenihan.

Omon RM, Adman B. 2007. Pengaruh jarak tanam dan teknik pemeliharaan terhadap pertumbuhan kenuar (Shorea johorensis Foxw.). di hutan semak belukar wanariset Samboja, Kalimantan Timur. J Penelitian Dipterokarpa Vol. I (1): 47-54.

Paimin FB, Muharnanto. 2007. Budi Daya, Pengolahan, Perdagangan Jahe. Jakarta: Penebar Swadaya.

Prasetyo. 2004. Budidaya kapulaga sebagai tanaman sela pada tegakan sengon. J Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia Vol 6 (1): 22-31.

Pratiwi E. 2010. Pengaruh Pupuk Organik dan Intensitas Naungan terhadap Pertumbuhan Porang (Amorphophallus onchophyllus) [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Raharjo JT, Sadono R. 2008. Model tajuk jati (Tectona grandis) dari berbagai famili pada uji keturunan umur 9 tahun. J Ilmu Kehutanan Vol. II(2): 89-95. Rusdiana O, Fakuara Y, Kusmana C, Hidayat Y. 2000. Respon pertumbuhan akar

tanaman sengon (Paraserienthes falcataria) terhadap kepadatan dan kandungan air tanah podsolik merah kuning. J Manaj Hut trop Vol 6(2): 43-53.

Satjapradja O. 1982. Agroforestri di Indonesia. J Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 1(2): 45-48.

Soekotjo W. 1976. Silvika. Bogor: Proyek Peningkatan atau Pengembangan Perguruan Tinggi IPB.

Suharti S. 2008. Peningkatan Pendapatan Masyarakat melalui Budidaya Kapulaga secara Tumpangsari di Bawah Tegakan Hutan [Terhubung Berkala]. http://library.fordamof.org/lipforda.html. [20 Oktober 2011].

Sukandi T, Sumarhani, Murtiniati. 2002. Informasi Teknis Pola Wanatani (Agroforestri). Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Badan Penelitian dan Pengembangang Kehutanan Bogor.

(17)

31 

 

 

Tjitrosoepomo G. 2005. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wijayanto N, Araujo JD. 2011. Pertumbuhan tanaman pokok cendana (Santalaum album Linn.) pada sistem agroforestri di Desa Sanirin, Kecamatan Balibo, Kabupaten Bobonaro, Timor Leste. J Silvikultur Tropika Vol 02(1): 119-123. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan. 1976. Silvikultur Khusus. Yogyakarta:

(18)

Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat

sehingga kebutuhan terhadap hasil hutan dan pertanian semakin meningkat pula.

Akan tetapi, luas lahan untuk pertanian dan kehutanan semakin berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan terhadap hasil hutan dan hasil pertanian yang semakin bertambah dan beraneka ragam dengan kemampuan lahan pertanian yang terbatas dan untuk memperbaiki keadaan tempat tumbuh serta memelihara sumberdaya hutan, tanah dan air, maka salah satu upaya yang perlu dikembangkan adalah agroforestri (Satjapradja 1982).

Sistem agroforestri dicirikan oleh keberadaan komponen pohon dan tanaman semusim dalam ruang dan waktu yang sama (Suryanto et al. 2005). Ruang tumbuh pohon terbagi ke dalam dua bagian yaitu ruang di atas tanah dan ruang di bawah tanah. Pengaturan ruang di atas tanah dimaksudkan agar tajuk berkembang secara optimal, dan bertujuan untuk menurunkan persaingan terhadap intensitas cahaya matahari. Pengaturan ruang di bawah tanah dimaksudkan agar akar berkembang secara optimal, mengurangi persaingan hara dan air dan memberikan ruang penyebaran akar dalam tanah (Rusdiana et al. 2000).

Jarak tanam pada sistem agroforestri merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan perakaran pohon. Hal ini karena jarak tanam berkaitan dengan ketersediaan cahaya yang dapat menembus kanopi tanaman utama dan ketersediaan ruang untuk perakaran. Dengan adanya hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai sistem perakaran mahoni untuk dapat mengetahui jenis tanaman pertanian yang sesuai dengan kondisi perakaran mahoni. Pohon mahoni memiliki sistem perakaran dalam dan berakar tunggang sehingga dapat

diusahakan dengan memanfaatkan tanaman yang memiliki sistem perakaran

dangkal sebagai tanaman bawahnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intensitas cahaya, mengetahui

(19)

 

B. Perumusan Permasalahan

Permasalahan yang mendasari penelitian ini antara lain adalah semakin

sempitnya penggunaan lahan untuk pertanian dan kehutanan sehingga diperlukan

adanya sistem agroforestri untuk mencegah permasalahan tersebut dengan

mencampurkan tanaman pertanian dan pepohonan. Dalam sistem agroforestri

harus memperhatikan atau mengetahui faktor-faktor pendukung salah satunya

adalah intensitas cahaya dan dalamnya perakaran pepohonan.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intensitas cahaya pada suatu

areal tegakan mahoni, mengetahui suhu dan kelembaban pada tegakan mahoni,

mengetahui panjang dan kedalaman perakaran pohon mahoni secara horizontal

untuk digunakan sebagai referensi bagi tanaman pertanian yang ditanam agar

pertumbuhan optimal.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai referensi ruang

tumbuh tanaman pertanian pada tegakan mahoni, dapat memberikan pengetahuan

dalam penggunaan tanaman pertanian yang akan ditanam pada setiap tegakan di

lokasi penelitian dengan jenis tanaman yang berbeda.

(20)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Agroforestri

Agroforestri merupakan sebuah nama bagi sistem-sistem dan teknologi

penggunaan lahan dimana pepohonan berumur panjang (termasuk semak, palem,

bambu, kayu, dll) dan tanaman pangan dan atau pakan ternak berumur pendek

diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang dan waktu.

Dalam sistem-sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi, ekonomi antar

unsur-unsurnya (de Foresta 2000).

Menurut Huxley (1999) dalam Indriyanto (2008), agroforestri merupakan

sistem penggunaan lahan yang menyediakan bahan bakar maupun hasil lain dari

tanaman pepohonan dan semak atau memberikan kenyamanan lingkungan yang

disebabkan oleh tanaman pepohonan dan semak. Melalui kombinasi semacam ini

diharapkan:

a. dapat menciptakan komunitas tanaman yang memiliki strata tajuk, sehingga

dapat mampu memaksimumkan penggunaan energi matahari, meminimumkan

kehilangan unsur hara dari sistem tersebut.

b. mengoptimumkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman.

c. meminimumkan aliran permukaan dan erosi.

B. Pola Tanam

Pola tanam dalam agroforestri sangat spesifik karena menyangkut berbagai

komponen yang berbeda di dalamnya. Prinsip pola tanam dalam sistem

agroforestri adalah bagaimana memanfaatkan ruang dan waktu secara optimal.

Dalam usaha memanfaatkan ruang secara optimal ditempuh berbagai cara,

diantaranya pengaturan jarak tanam, tata letak tanaman, perkembangan lapisan

tajuk dan perakaran. Optimalisasi pemanfaatan unsur waktu dilakukan antara lain

dengan pengaturan waktu tanam dan panen. Dengan pengaturan ruang dan waktu

yang optimal diharapkan komponen yang satu tidak akan menekan komponen

yang lain, akan tetapi sebaiknya yaitu terjadi saling menunjang antar komponen.

Pola tanam dalam sistem agroforestri diatur sedemikian rupa sehingga

pada tahap awal, dimana faktor naungan belum menjadi masalah, beberapa

(21)

 

 

sistem agroforestri akan menyerupai ekosistem hutan yang terdiri dari banyak

lapisan tajuk. Lapisan tajuk atas ditempati jenis-jenis dominan, dibawahnya

ditempati jenis-jenis yang kurang dominan yang tahan setengah naungan,

kemudian lapisan bawah ditempati jenis-jenis tahan naungan (Sukandi et al.

2002).

C. Pemilihan Jenis

Pola agroforestri melibatkan berbagai jenis tanaman sebagai komponennya

baik berupa pohon, perdu, liana maupun tanaman semusim. Di dalam memilih

jenis-jenis tanaman yang akan dikembangkan perlu mempertimbangkan

aspek-aspek biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Aspek biofisik yang

sangat berpengaruh adalah iklim/curah hujan, topografi, ketinggian tempat, dan

lahan.

Berdasarkan tinggi rendahnya curah hujan, wilayah Indonesia yang

beriklim tropik dibedakan atas daerah humid, sub humid, dan semi arid.

Pengembangan agroforestri di Indonesia bagian barat pada umumnya tidak

mensyaratkan jenis-jenis yang tahan kering tetapi sebaliknya untuk wilayah

Indonesia bagian timur, dengan banyaknya daerah yang mempunyai iklim semi

arid perlu pemilihan jenis-jenis tanaman yang relatif tahan kekeringan (Sukandi et

al. 2002).

Pola agroforestri yang dikembangkan di daerah dataran tinggi dengan

topografi yang umumnya bergelombang sampai berbukit dan ketersediaan air

yang terbatas, berbeda dengan daerah dataran rendah dengan topografi yang lebih

datar. Untuk daerah dataran tinggi, pemilihan jenis diarahkan pada jenis-jenis

yang berakar dalam, misalnya mahoni, khaya, dan nangka disamping

mempertimbangkan kecocokan jenis dengan lahan dan ketinggian tempat.

Sedangkan untuk daerah hilir dan pantai dengan tiupan angin yang kencang lebih

ditekankan untuk menggunakan pola tanam dengan menggunakan tanaman pagar,

misalnya akasia dan mimba (Sukandi et al. 2002)

Faktor ketinggian tempat sangat menentukan jenis-jenis tanaman yang

akan digunakan karena setiap tanaman mempunyai batas toleransi terhadap

(22)

rendah. Kondisi tanah dan luas lahan juga perlu mendapat pertimbangan dalam

pemilihan jenis tanaman untuk pola agroforestri.

Selain hal-hal tersebut, faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam

pemilihan jenis, khusus untuk tanaman bawah adalah fase perkembangan suatu

agroforestri. Pada fase awal (sampai dua atau tiga tahun pertama) dapat dipilih

tanaman semusim yang membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhan dan

produksinya seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan. Tetapi pada fase lanjut

(mulai tahun ketiga atau keempat dan seterusnya), dimana tajuk dari tanaman

pohon-pohonan sudah saling menutup, sehingga cahaya matahari yang sampai ke

permukaan tanah hanya sedikit, maka harus dipilih jenis-jenis tanaman bawah

yang tahan naungan seperti empon-empon (kunyit, jahe, laos, temu lawak), ubi

jalar, bengkuang, dan lainnya (Sukandi et al. 2002).

D. Manfaat Sistem Agroforestri

Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri dikembangkan

untuk memberikan manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah

pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri

utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk

penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki

kebutuhan hidup masyarakat.

Dalam mewujudkan sasaran ini, agroforestri diharapkan lebih banyak

memanfaatkan tenaga ataupun sumber daya sendiri (internal) dibandingkan

sumber-sumber dari luar. Di samping itu agroforestri diharapkan dapat

meningkatkan daya dukung ekologi manusia, khususnya di daerah pedesaan.

Selain manfaat tersebut di atas, sistem agroforestri dapat memenuhi kaidah

pengawetan tanah tanah dan air. Pada sistem ini pepohonan diharapkan dapat

melindungi tanaman dari butiran air hujan, demikian juga dengan strata tajuk yang

berlapis, sinar matahari dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat

meningkatkan produktivitas lahan (Satjapradja 1982). Manfaat agroforestri

lainnya adalah agroforestri dapat memberikan atau menyediakan lapangan

(23)

 

 

seoptimal mungkin untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman yang

dikombinasikan dalam suatu lahan.

E. Mahoni (Swietenia macrophylla King.)

Mahoni merupakan salah satu jenis pohon yang bisa mengurangi polusi udara sekitar 47% - 69% sehingga disebut sebagai pohon pelindung sekaligus filter udara dan daerah tangkapan air. Daun-daunnya bertugas menyerap polutan-polutan di sekitarnya. Tanaman ini butuh air yang cukup agar kelembaban tanah terjaga dan ditanam pada tempat yang cukup matahari (sinar langsung).

Pohon Mahoni merupakan pohon penghasil kayu keras dan digunakan untuk perabot rumah tangga serta perabot ukiran. Kayu mahoni ini termasuk bahan meubel bernilai tinggi karena dekoratif dan mudah dikerjakan. Pohon mahoni ditanam secara luas di daerah tropis dalam program reboisasi dan penghijauan. Mahoni digunakan sebagai tanaman naungan dan kayu bakar dalam sistem agroforestri (Irwanto 2007).

F. Keterangan Botani 

Tanaman mahoni yang tumbuh di Indonesia berasal dari Hindia Barat dan

afrika. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Swietenia macrophyyla King.

Tanaman ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu mahoni berdaun kecil (Swietenia

mahagony Jacq) dan mahoni berdaun besar (Swietenia macrophyyla King).

Keduanya termasuk ke dalam famili Meliaceae. Sifat ekologis yang sangat

penting untuk membedakan mahoni daun kecil dan mahoni daun besar yaitu

kemampuan tumbuh di daerah kering.

Dalam sistem klasifikasi, tanaman mahoni mempunyai penggolongan

sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Angiospermae

Sub-kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Rutales

Family : Meliaceae

Genus : Swietenia

(24)

Secara morfologis, tanaman mahoni memiliki tinggi antara 35-40 m,

diameter batang mencapai 125 cm. batangnya lurus dan berbentuk silindris serta

tidak berbanir. Kulit luar berwarna cokelat kehitaman, beralur dangkal seperti

sisik, sedangkan kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda,

berubah menjadi cokelat tua, menggelembung dan mengelupas setelah tua. Daun

bertandan dan menyirip yang panjangnya berkisar 35-50 cm (Nurhasybi et al.

2001).

G. Penyebaran dan Habitat

Mahoni merupakan jenis pohon yang tumbuh di daerah lembab, menyebar secara alami dan dibudidayakan. Merupakan jenis asli dari Meksiko (Yucatan), bagian tengah dan utara Amerika Selatan (Wilayah Amazona). Penanaman secara luas terutama di Asia Selatan dan Pasifik, juga diintroduksi di Afrika Barat (Nurhasybi dan Sudrajat 2001). Sedangkan di Indonesia, menurut Martawijaya et al. (1981) dalam Nurhasybi dan Sudrajat (2001), pohon mahoni menyebar diseluruh Pulau Jawa. Tumbuh pada ketinggian 500-1400 mdpl dengan curah hujan 1920-4800 mm/th dan tumbuh pada tanah berdrainase baik serta toleran terhadap tanah liat dan basa.

Tanaman mahoni ditanam di seluruh Jawa pada jenis tanah apapun. Mahoni merupakan salah satu jenis yang masih dapat tumbuh baik pada tanah-tanah margalit yang buruk. Pada jenis tanah-tanah yang buruk, jarak tanamn mahoni sebaiknya 2x1 m, sedangkan pada tanah yang baik 3x1 m. Pada jenis tanah yang baik tidak ditanami jenis mahoni campuran dengan tanaman jati, karena tanaman mahoni dapat mengalahkan pertumbuhan jati (Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan 1976).

H. Sifat Umum Mahoni

(25)

 

 

Buah kering merekah, umumnya berbentuk kapsul bercuping 5, keras, panjang 12 - 15 cm, abu-abu coklat, halus. Benih berwarna coklat, lonjong padat, bagian atas memanjang melengkapi menjadi sayap, panjangnya mencapai 7,5 - 15 cm dengan extensive air spaces (biji disebarkan oleh angin), jumlah biji sekitar 1800 - 2500 per Kg. tanaman mahoni mempunyai tajuk yang agak lebat, gugur daun tetapi tidak lama. Daunnya sukar terbakar, dan pada waktu muda tajuknya sempit. Jenis mahoni ini tergolong dalam tanaman yang tahan naungan, yang mampu bersaing dengan alang-alang (Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan 1976).

I. Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Pertumbuhan

Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Hasil

fotosintesis ini sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman untuk membuat

makanan yang penting untuk pertumbuhan. Semakin baik proses fotosintesis

semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon et al. 2007). Intensitas cahaya

dapat mempengaruhi proses metabolisme dalam tanaman. Intensitas cahaya

rendah pada umumnya disebabkan oleh naungan (Ardie 2006).

Menurut Jumin (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesa

diantaranya adalah suhu. Suhu berkorelasi dengan penangkapan cahaya matahari.

Intensitas cahaya matahari tinggi, suhu juga tinggi. Sampai batas waktu tertentu

laju fotosintesa meningkat dengan meningkatnya suhu. Tanaman beriklim sedang

suhu maksimum untuk fotosintesa berkisar antara 20oC sampai 30oC. Pengaruh

dari suhu yang rendah diantaranya adalah akan memperlambat aktivitas fisiologis.

Sedangkan pengaruh dari suhu yang tinggi seringkali menyebabkan pertumbuhan

yang menurun dan luka-luka pada pohon (Soekotj0 1976).

Penerimaan radiasi surya di permukaan bumi sangat bervariasi menurut tempat dan waktu. Menurut tempat khususnya disebabkan oleh perbedaan letak lintang serta keadaan atmosfer terutama awan. Pada skala mikro arah lereng sangat menentukan jumlah radiasi yang diterima. Menurut waktu, perbedaan radiasi terjadi dalam sehari (dari pagi sampai sore hari) maupun secara musiman (dari hari ke hari) (Handoko 2005). Intensitas cahaya yang sangat tinggi lebih baik bagi pertumbuhan perakaran daripada pertumbuhan pucuk. Intensitas yang seperti

ini menyebabkan transpirasi yang berlebihan pada tumbuhan, yang

(26)

kecil, bertambah banyaknya jaringan-jaringan pengangkut air, dan menurunnya

pertumbuhan. Perkembangan dan pertumbuhan daun-daun terhalang jika

intensitas cahaya sangat rendah (Soekotjo 1976).

Besar kecil atau tinggi rendahnya energi sinar matahari yang diterima oleh

suatu tempat bergantung pada lamanya sinar matahari yang bersinar langsung

lahan tempat tersebut seperti berupa hutan, tanah kosong, tertutup rapat maupun

yang lainnya.

J. Sistem Perakaran

Akar merupakan bagian pokok atau utama dari pertumbuhan yang

biasanya mempunyai sifat-sifat seperti:

1. Merupakan bagian tumbuhan yang biasanya terdapat dalam tanah, dengan

arah tumbuh ke pusat bumi atau menuju ke air, meninggalkan udara dan

cahaya.

2. Tidak berbuku-buku, hal ini berarti tidak beruas dan tidak mendukung

daun-daun atau sisik-sisik maupun bagian lainnya.

3. Warna tidak hijau, biasanya keputih-putihan atau kekuning-kuningan.

4. Tumbuh terus pada ujungnya, tetapi umumnya pertumbuhannya masih kalah

jika dibanding dengan batang.

5. Bentuknya meruncing sehingga lebih mudah untuk menembus tanah.

Selain sifat-sifat diatas, akar suatu tumbuhan juga mempunyai beberapa

fungsi yaitu untuk melekatkan tumbuhan pada tanah (memperkuat berdirinya

tumbuhan), menyerap zat-zat makanan yang terlarut di dalam air dalam tanah,

mengangkut air dan zat-zat makanan ke tempat-tempat pada tuuh tumbuhan yang

diperlukan, dan sebagai tempat untuk penyimpanan cadangan makanan

(Tjitrosoepomo 2005).

Menurut Jumin (1989), bentuk dan kedalaman serta penyebaran akar akan

mempengaruhi jumlah air yang dapat diserap oleh akar tanaman. Akar yang

panjang dan kurus mempunyai luas permukaan yang lebih besar jika

dibandingkan dengan akar yang tebal dan pendek, karena dapat menjelajahi

sejumlah volume yang sama. Penyerapan air dapat terjadi dengan perpanjangan

akar ke tempat baru yang masih banyak air. Akibatnya laju penyerapan dapat

(27)

10 

 

 

Kedalaman perakaran sangat berpengaruh pada porsi air yang diserap.

Makin panjang dan dalam akar menembus tanah, makin banyak air yang dapat

diserap bila dibandingkan dengan perakaran yang pendek dan dangkal dalam

waktu yang sama. Kedalaman akar berkurang dengan bertambahnya air tanah.

Jumlah air yang diserap akar berkurang dengan bertambahnya kedalaman.

Sistem tumpangsari dapat diatur berdasarkan sifat-sifat perakaran dan

waktu penanaman. Pengaturan sifat-sifat perakaran sangat perlu untuk

menghindarkan persaingan unsur hara dan air yang berasal dari dalam tanah.

Sistem perakaran yang dalam ditumpangsarikan dengan tanaman yang berakar

dangkal. Tanaman monokotil pada umumnya mempunyai sistem perakaran yang

dangkal, sedangkan tanaman dikotil umumnya mempunyai perakaran yang dalam.

Dalam pengaturan tanaman tumpangsari tanaman monokotil dengan tanaman

dikotil dapat dilakukan jika dilihat dari sifat perakarannya (Jumin 2005).

Sistem perakaran pada tumbuhan terdiri dari sistem perakaran tunggang

dan serabut. Akar tunggang sistem perakarannya akan lebih jauh masuk ke dalam

tanah, sementara akar serabut umumnya daerah perakarannya hanya pada lapisan

atas tanah saja. Pertumbuhan akar yang menuju ke dalam tanah, identik dengan

pertumbuhan batang ke arah atas, bedanya akar tidak berdaun, namun ada

bulu-bulu akar untuk menyerap air dan zat hara dan ada tudung akar untuk menembus

tanah.

Melihat percabangan dan bentuknya, akar tunggang dapat dibedakan

menjadi a) akar tunggang yang tidak bercabang atau sedikit bercabang, dan jika

ada cabang-cabangnya terdiri atas akar-akar yang halus berbentuk serabut. Akar

tunggang yang bersifat demikian seringkali berhubungan dengan fungsinya

sebagai tempat penimbunan zat makanan cadangan lalu mempunyai bentuk yang

istimewa. b) akar tunggang yang bercabang. Akar ini berbentuk kerucut panjang,

tumbuh lurus ke bawah, bercabang-cabang banyak, sehingga member kekuatan

yang lebih besar kepada batang dan juga daerah perakaran menajdi amat luas

hingga dapat diserap air dan zat-zat yang lebih banyak. Susunan akar yang

demikian terdapat pada pohon-pohon yang ditanam dari biji (Tjitrosoepomo

(28)

Berdasarkan sistem perakaran tersebut di atas, tumbuhan mahoni

mempunyai sistem perakaran tunggang pada waktu muda, dimana akar tersebut

sangat cepat tumbuhnya sehingga memerlukan solum tanah yang agak tebal, dan

sedikit akar cabang, serta terdapat banyak akar permukaan yang panjang dengan

akar tunggang yang dalam dengan banyak akar penghisap (Yayasan Pembina

(29)

 

 

III.

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Percobaan dilakukan selama empat bulan yaitu pada bulan Juni sampai September 2011, di RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor – Jawa Barat.

B. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan mahoni muda berumur 3 tahun dengan jarak tanam 3x3 m dan mahoni tua berumur 17 tahun dengan jarak tanam 5x5 m. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah parang, cangkul, lux meter, thermohygrometer, kompas, pita ukur, haga hypsometer, tali rafia, camera digital, densiometer dan alat tulis.

C. Metode Pengumpulan Data

Data yang akan dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder. Proses pengumpulan data primer yaitu melalui pengukuran langsung di lapangan seperti pengukuran dimensi tanaman pokok, pengukuran tajuk, pengukuran intensitas cahaya matahari pada tiap tegakan mahoni muda dan mahoni tua yang mempunyai umur yang berbeda dan jarak tanam yang berbeda, pengukuran panjang dan kedalaman akar horizontal pada tanaman mahoni, dan pengukuran suhu serta kelembaban.

Data sekunder yang dibutuhkan adalah data profil dari lokasi penelitian antara lain meliputi: data letak dan luas, pola penggunaan lahan (land use), topografi dan kondisi iklim. Data ini diperoleh dari studi pustaka.

D. Metode Kerja

1. Penentuan peletakkan plot contoh

Plot contoh yang digunakan berbentuk persegi panjang dengan ukuran 20x15 m pada masing-masing tegakan. Metode yang digunakan dalam menentukan plot contoh adalah purposive sampling.

2. Pengukuran dimensi pohon

(30)
(31)

14 

 

 

datangnya cahaya, besarnya intensitas dapat dilihat pada skala. Lux meter bekerja dengan sensor cahaya. Lux meter cukup dipegang setinggi 75 cm di atas lantai hutan. Layar penunjuknya akan menampilkan tingkat pencahayaan pada titik pengukuran.

Suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan alat thermohygrometer dengan meletakkan alat tersebut di tengah-tengah plot contoh dan digantungkan pada pohon karena alat tidak boleh terkena cahaya matahari secara langsung.

4. Pengukuran persentase tajuk

Persentase penutupan tajuk diukur untuk menduga besarnya jumlah radiasi sinar matahari yang menembus sampai ke tanah. Pendugaan penutupan cahaya matahari oleh tajuk tegakan ini dilakukan dengan menggunakan alat spiracle densiometer. Titik pengukuran pada masing-masing pola agroforestri ditetapkan secara acak sebanyak 10 titik contoh yang tersebar merata pada lokasi yang dianggap mewakili.

Pengamatan pada masing-masing titik dilakukan dengan cara meletakkan spiracle densiometer pada jarak 30-45 cm dari badan dengan ketinggian sejajar lengan. Masing-masing kotak dihitung persentase bayangan langit yang dapat tertangkap pada cermin dengan pembobotan: bobot 4 (100 %), bobot 3 (75 %), bobot 2 (50 %), bobot 1 (25 %), bobot 0 (tidak ada bayangan langit yang bisa dilihat).

Bobot rata-rata pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus: 04

Ti : Keterbukaan tajuk

Tn : Bobot pada masing-masing titik pengukuran N : Jumlah titik pengukuran

1,04 : Faktor koreksi

Persentase penutupan tajuk (T) pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus: T = 100-Ti.

(32)

4. Pengukuran panjang dan kedalaman perakaran secara horizontal

Pengukuran panjang dan kedalaman akar pokok mahoni (S. macrophylla) secara horisontal pertama kali dilakukan tepat di tengah-tengah diantara tanaman pokok. Apabila pada kedalaman 15-25 cm ditemukan adanya akar dari tanaman pokok, maka pengukuran dihentikan. Namun jika tidak ditemukan adanya akar tanaman pokok, maka pengukuran dilakukan pada setiap jarak 50 cm berikutnya ke arah kanan dan kiri dari penggalian sebelumnya, dengan cara penggalian lagi sampai ditemukan adanya akar tanaman pokok mahoni

5. Analisis Data

(33)

   

 

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk

Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon et al. 2007). Selain itu besarnya intensitas cahaya yang diteruskan ke permukaan lahan akan cenderung menurun seiring bertambahnya umur suatu tanaman. Hasil dari pengukuran persentase penutupan tajuk dan besarnya intensitas cahaya pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

Dari hasil pengukuran pada lokasi penelitian didapatkan bahwa besarnya intensitas cahaya pada mahoni muda adalah sebesar 24,62% dan mahoni tua sebesar 19,17%. Besarnya intensitas cahaya pada tegakan mahoni muda dan mahoni tua tersebut tidak dapat dibandingkan. Hal ini karena waktu pengukuran yang berbeda. Dari hasil tersebut terlihat bahwa pada waktu pagi hari intensitas cahaya mengalami peningkatan dan intensitas cahaya yang paling tinggi terjadi pada waktu siang hari. Pada sore hari intensitas cahaya mengalami penurunan (Gambar 1).

 

Gambar 2 Grafik Rata-rata intensitas cahaya (101 Lux)

0,00 Pohon mahoni Intensitas cahaya yang

diteruskan (%)

Persentase penutupan tajuk (%)

Muda 24,62 36,50

(34)

Intensitas cahaya pada tegakan mahoni muda menunjukkan intensitas cahaya tertinggi pada pukul 10.30 WIB sedangkan tegakan mahoni tua pada pukul 11.30 WIB. Perbedaan ini terjadi karena adanya penutupan awan dan waktu pengukuran yang berbeda. Menurut Handoko (2005), penerimaan radiasi surya di permukaan bumi sangat bervariasi menurut tempat dan waktu. Menurut tempat khususnya disebabkan oleh perbedaan letak lintang serta keadaan atmosfer terutama awan. Pada skala mikro arah lereng sangat menentukan jumlah radiasi yang diterima. Menurut waktu, perbedaan radiasi terjadi dalam sehari (dari pagi sampai sore hari) maupun secara musiman (dari hari ke hari).

Selain faktor di atas, faktor lain yang mempengaruhi besarnya intensitas cahaya yaitu penutupan tajuk pohon. Besarnya persentase penutupan tajuk pohon mahoni muda sebesar 36,50% dan mahoni tua sebesar 84,38%. Pada pohon mahoni muda, nilai persentase penutupan tajuk tergolong jarang karena terdapat kurang dari 40% penutupan tajuk (Indriyanto 2008). Intensitas cahaya yang rendah karena naungan yang terlalu rapat bagi jenis yang memerlukan cahaya (intoleran) akan menyebabkan etiolasi. Sementara intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan bahkan kematian bagi tanaman yang toleran (Herdiana et al. 2008).

B. Suhu dan kelembaban

Menurut Widiningsih (1985) dalam Noorhadi et al. (2003), kelembaban dan suhu udara merupakan komponen iklim mikro yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan masing-masing berkaitan mewujudkan keadaan lingkungan optimal bagi tanaman. Pertumbuhan suatu tanaman meningkat jika suhu meningkat dan kelembaban menurun, demikian pula sebaliknya. Tanaman yang beriklim sedang, suhu maksimum untuk fotosintesa berkisar antara 20oC sampai 30 oC. Suhu yang baik bagi pertumbuhan suatu tanaman adalah berkisar antara 22 oC sampai 37 oC (Pratiwi 2010)

(35)

18 

 

   

Tabel 2 Suhu dan kelembaban pada petak ukur contoh pohon mahoni muda dan mahoni tua

Tegakan mahoni muda mempunyai rata-rata suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah yaitu sebesar 28,53oC dan 75,12%. Tegakan mahoni tua mempunyai rata-rata suhu yang rendah dan kelembaban yang tinggi yaitu sebesar 28,07oC dan 75,23% (Tabel 2). Faktor yang mempengaruhi suhu dan kelembaban yaitu tinggi tempat dan penutupan tajuk.

Berdasarkan lokasi penelitian, petak ukur contoh tegakan mahoni muda mempunyai ketinggian tempat yang lebih rendah dan petak ukur contoh tegakan mahoni tua mempunyai ketinggian tempat yang lebih tinggi sehingga mempunyai suhu yang rendah dan kelembaban yang tinggi. Menurut Handoko (2005), suhu di permukaan bumi makin rendah dengan bertambahnya lintang seperti halnya penurunan suhu menurut ketinggian. Makin tinggi tempat maka suhunya makin rendah dan kelembaban akan makin tinggi.

Selain tinggi tempat, penutupan tajuk suatu pohon juga akan mempengaruhi tinggi rendahnya suhu dan kelembaban. Berdasarkan kondisi lokasi penelitian, tegakan mahoni muda mempunyai tajuk yang jarang sehingga pada tegakan tersebut mempunyai suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah. Hal ini karena pada tegakan mahoni muda tajuk pohonnya tergolong jarang sehingga mengakibatkan intensitas cahaya yang masuk ke permukaan lahan lebih banyak dan akan meningkatkan suhu permukaan. Untuk tegakan mahoni tua mempunyai tajuk yang relatif lebih rapat sehingga intensitas cahaya yang masuk ke permukaan lahan semakin sedikit dan suhu permukaan akan semakin menurun.

Ulangan Suhu (oC) Kelembaban (%)

(36)

Kelembaban udara merupakan banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Kadar air dalam udara dapat mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan tumbuhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelembaban udara diantaranya adanya tegakan pohon, terutama tegakan pohon yang rapat (Laboratorium Pengaruh Hutan 2010). Kelembaban yang diukur pada petak ukur contoh menunjukkan bahwa semakin tua umur pohon akan memberikan penurunan kelembaban. Hal ini karena tajuk pohon yang semakin melebar seiring bertambahnya umur suatu tanaman yang akan dapat mengurangi intensitas cahaya yang datang atau masuk ke permukaan lahan sehingga akan menurunkan jumlah cahaya yang dapat dipergunakan bagi tumbuhan bawahnya (tanaman pertanian).

C. Panjang perakaran secara horizontal dan kedalaman perakaran horizontal

Pengetahuan tentang sistem perakaran sangat penting jika kita akan memilih komponen-komponen tanaman yang efektif dan mengaturnya secara tepat pada sistem agroforestri (Huxley 2000). Akar bagi tumbuhan berfungsi memperkuat berdirinya suatu tumbuhan. Selain itu, akar juga mempunyai fungsi sebagai organ penyerap yaitu mengambil unsur air dan hara dari dalam tanah yang berguna bagi pertumbuhan suatu tanaman. Perkembangan akar suatu tanaman dipengaruhi oleh lingkungan, diantaranya adalah kesuburan tanah (Tjitrosoepomo 2005).

Tabel 3 Panjang dan kedalaman perakaran horizontal pohon mahoni tua Pohon Panjang akar menyamping

(37)

20 

 

   

Tabel 4 Panjang dan kedalaman perakaran horizontal pohon mahoni muda Pohon Panjang akar menyamping

(m)

Besarnya panjang akar secara horizontal pada tegakan mahoni tua adalah 1,86 m dengan kedalaman perakaran horizontal sebesar 12,58 m (Tabel 3). Sedangkan pada tegakan mahoni muda memiliki panjang akar horizontal 0,68 m dengan kedalaman 9,95 m (Tabel 4). Nilai yang berbeda tersebut dipengaruhi oleh umur tanam yang berbeda, dimana semakin lama umur tanam suatu pohon maka keadaan fisiologisnya juga semakin berubah dan berkembang, baik itu diameter batang, tinggi, luas tajuk maupun akarnya.

(38)

Kedalaman perakaran horisontal pohon mahoni muda dapat dijumpai pada kedalaman 5,6-14,9 cm, sedangkan pada pohon mahoni tua dapat dijumpai pada kedalaman 9,5-14,8 cm (Tabel 3). Panjang perakaran secara horizontal pada pohon mahoni muda berkisar antara 0,5-1,0 m dan pada pohon mahoni tua berkisar antara 1,0-3,0 m (Tabel 4). Perbedaan antara panjang dan kedalaman akar horizontal pada tegakan mahoni muda dan mahoni tua dapat kita lihat pada Gambar 3 dan 4.  Pada beberapa pohon tertentu telah ditemukan akar yang saling tumpang tindih. Hal ini disebabkan adanya jarak tanam pohon mahoni yang terlalu berdekatan yaitu 2x2 m sehingga unsur hara, air dan cahaya tidak bisa dimanfaatkan secara optimal (Gambar 5).  

Gambar 3 Akar pohon mahoni muda Gambar 4 Akar pohon mahoni tua

Gambar 5 Akar yang tumpang tindih

(39)

22 

 

   

(Sukandi et al. 2002). Jarak tanam pohon mahoni dapat diatur sehingga tanaman semusim atau tanaman pertanian dengan pola tumpang sari dapat tumbuh secara optimal.

Sistem tumpang sari dapat diatur berdasarkan sifat-sifat perakaran dan

waktu penanaman. Pengaturan sifat-sifat perakaran sangat perlu untuk

menghindari persaingan unsur hara, air yang berasal dari dalam tanah. Sistem

perakaran yang dalam ditumpang sarikan dengan tanaman yang berakar dangkal.

Tanaman monokotil yang pada umumnya mempunyai sistem perakaran yang

dangkal, sedangkan tanaman dikotil pada umumnya mempunyai sistem perakaran

yang dalam, karena memiliki akar tunggang.

D. Diameter, tinggi dan luas tajuk pohon

Selain pengukuran perkembangan akar, pengukuran mengenai dimensi pohon (diameter pohon, tinggi pohon, dan tajuk pohon) juga dilakukan. Pertumbuhan suatu tanaman merupakan suatu proses terjadinya peningkatan jumlah dan ukuran daun dan batang.

Tabel 5 Rata-rata diameter, tinggi dan luas tajuk pohon mahoni muda dan tua 

Berdasarkan Tabel 5 dapat kita lihat bahwa semakin bertambah umur suatu tanaman, maka akan bertambah pula ukuran dimensi pohonnya baik itu diameter, tinggi dan tajuk. Pada Tabel 5 Perkembangan diameter pohon mahoni muda dan tua menunjukkan perkembangan yang signifikan dengan nilai masing-masing yaitu 4,69 cm dan 32,41 cm. selain diameter pohon, tinggi dan luas tajuk pohon juga mengalami peningkatan dengan nilai masing-masing 6,12 m, 9,32 m, 3,42 m2 dan 31,18 m2. Luas tajuk pohon akan bertambah seiring bertambahnya diameter dan tinggi pohon. Tajuk pohon yang rapat akan menyebabkan cahaya yang masuk ke permukaan lahan semakin sedikit. Intensitas cahaya yang rendah tersebut akan merugikan tanaman bawahnya tetapi juga menguntungkan untuk menjaga kelembaban sehingga ketersediaan air akan tercukupi. Menurut Asmann (1970) dalam Raharjo et al. (2008) ukuran tajuk merupakan komponen penting

(40)

dalam pertumbuhan dan terdapat hubungan yang erat antara ukuran tajuk dengan potensi pertumbuhan pohon. Ukuran tajuk sebanding dengan ukuran tinggi pohon (Oliver 1996 dalam Raharjo et al. 2008). Perbedaan mengenai kerapatan tajuk pohon mahoni muda dan tua dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.

Gambar 6 Kerapatan tajuk mahoni muda Gambar 7 Kerapatan tajuk mahoni tua Ukuran tajuk juga dapat dimanfaatkan untuk menentukan kompetisi antar pohon. Kompetisi ruang untuk mendapatkan unsur hara dan cahaya akan berpengaruh pada bentuk dan luas tajuk. Kekuatan pohon untuk bersaing pohon memperebutkan sumberdaya lingkungan diasumsikan sama dengan ukuran pohon itu sendiri. Pohon yang mempunyai ukuran yang lebih besar, tajuk yang luas dan akar yang lebih banyak, diduga lebih mampu memperebutkan faktor lingkungan seperti cahaya, unsur hara dan air. Lebar tajuk berkorelasi positif dengan pencapaian akar dalam memperoleh mineral dalam tanah (Raharjo et al. 2008).

(41)

24 

 

   

E. Rekomendasi pemilihan tanaman semusim yang cocok di tanam di bawah pohon mahoni

Agroforestri pada dasarnya merupakan sistem penggunaan lahan yang dilakukan dengan penggabungan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian (tanaman semusim) atau dengan hewan (komponen peternakan), baik menurut tata ruang maupun tata waktu. Oleh karena itu, pola penggabungan komponen agroforestri harus dirancang secara baik dan tepat agar interaksi antar komponen yang digabungkan dapat menekan pengaruh interaksi negatif, dan sebaliknya dapat memperbesar pengaruh interaksi positif (Indriyanto 2008).

Pola agroforestri melibatkan berbagai jenis tanaman sebagai komponennya, baik berupa pohon, perdu, liana maupun tanaman semusim. Dalam memilih jenis-jenis tanaman yang akan dikembangkan perlu disesuaikan dengan keadaan ekologis setempat, seperti iklim atau curah hujan, topografi, ketinggian tempat dan lahan (marginal atau subur). Lokasi penelitian di Gunung Hambalang mempunyai curah hujan rata-rata 3.000-3.500 mm/tahun, dengan ketinggian lokasi 320-390 mdpl (KPH Bogor 2010). Jenis-jenis pohon yang sesuai sebagai komponen dalam sistem agroforestri berupa jenis pohon yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan dan memiliki beragam manfaat atau multipurpose trees and shrub spesies (Nair 1993 dalam Hairiah et al. 2003).

Pepohonan yang ditanam dalam sistem agroforestri tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi juga buah-buahan dan dedaunan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia atau bahan pakan ternak. Jenis-jenis pohon yang akan dipilih sebagai komponen dalam sistem agroforestri harus mampu memberikan keuntungan. Keuntungan-keuntungan tersebut diantaranya dapat memberikan hasil yang dapat digunakan oleh penduduk setempat, berpengaruh baik terhadap proses hidroorologis, mampu memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan. Berikut adalah jenis-jenis tanaman pertanian yang direkomendasikan untuk melakukan kegiatan tumpang sari dibawah pohon mahoni:

1. Jahe

(42)

tanaman jahe untuk dapat hidup, tumbuh, dan bereproduksi maksimal disebut syarat tumbuh tanaman. Syarat tumbuh tanaman ini umumnya meliputi ketinggian tempat, curah hujan, dan jenis tanah. Syarat tumbuh tanaman perlu diketahui untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dari budidaya tanaman tersebut. Syarat tumbuh tanaman jahe adalah sebagai berikut:

a. Tanaman jahe sebenarnya dapat tumbuh di dataran rendah sampai wilayah pegunungan, dari ketinggian 0-1.500 m dpl.

b. Tanaman jahe membutuhkan curah hujan yang relatif tinggi, yaitu 2.500-3.000 mm/tahun. Berkaitan dengan CH yang relatif tinggi tersebut, tanaman jahe membutuhkan kelembaban yang tinggi juga untuk pertumbuhan optimalnya, yaitu sekitar 80%. Karenanya, jahe cenderung menghendaki tempat-tempat yang bercurah hujan tinggi sampai tanaman berumur 5-6 bulan.

c. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, tanaman ini menghendaki tanah yang subur, gembur dan berdrainase baik.

d. Tanaman jahe menghendaki suhu 25-30oC (Harmono et al. 2005).

Tanaman jahe mempunyai akar serabut yang tumbuhnya tidak begitu dalam sehingga pengolahan tanahnya tidak perlu terlalu dalam. Panjang akar serabut jahe sekitar 10-35 cm. selain itu jahe mempunyai akar yang keluar dari buku-buku rimpangnya. Oleh karena itu, kedalaman optimal pengolahan tanaman jahe sekitar 20-35 cm (Paimin et al. 2007).

Tanaman jahe dapat ditanam di bawah tegakan mahoni muda jika dilihat dari karakteristik tanaman tersebut. Jahe menghendaki suhu 25-30oC, curah hujan 2.500-3000 mm/th, RH 80% dan tumbuh pada ketinggian 0-1.500 mdpl. Tanaman mahoni muda tumbuh pada ketinggian 320-390 mdpl, suhu 28-29,5oC, RH 75,12% dan curah hujan 3.000-3.500 mm/th. Berdasarkan keterangan tersebut maka tanaman jahe cocok untuk ditanam di bawah tegakan mahoni muda.

2. Kapulaga

(43)

26 

 

   

terlindung. Pertumbuhan tanaman kapulaga di bawah naungan lebih baik daripada tanpa naungan sama sekali.

Tanaman kapulaga tergolong ke dalam herba dan membentuk rumpun, seperti tumbuhan jahe, dan dapat mencapai ketinggian 2-3 m dan tumbuh di hutan-hutan yang masih lebat pada ketinggian 200-1.000 m dpl. Tanaman ini tumbuh pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm/th dan suhu antara 20-30oC dengan kelembaban 70 %. Jenis tanah yang cocok untuk tanaman ini adalah latosol, andosol dan alluvial (Prasetyo 2004).

Tanaman kapulaga dapat tumbuh di bawah naungan pohon, menghendaki suhu 20-30oC, RH 70%, dan curah hujan 2.000-4.000 mm/th serta menghendaki ketinggian tempat 200-1000 mdpl sehingga tanaman ini sangat cocok untuk ditanam di bawah tegakan mahoni tua. Tanaman mahoni tua tumbuh pada ketinggian 320-390 mdpl, dengan suhu 27-28,5oC, curah hujan 3.000-3.500 mm/th dan mempunyai kelembaban 75,23%.

3. Umbi garut

Tanaman garut mampu beradaptasi terhadap naungan seperti di bawah tegakan pohon serta di lahan marginal. Oleh karena itu, tanaman garut berpotensi dikembangkan di lahan hutan atau pekarangan. Suhu lingkungan yang optimal untuk tanaman garut adalah 25-30oC agar proses respirasi, transpirasi maupun fotosintesis berjalan optimal (Jukerna 2006 dalam Djafaar et al. 2011). Untuk mendapatkan suhu yang optimal, garut sebaiknya ditanam pada ketinggian kurang dari 1.000 m dpl. Tanaman garut umumnya ditanam di lahan kering dengan curah hujan 1.500-2.000 mm/th. Tanaman ini tidak harus mendapat cahaya matahari langsung karena tanaman tahan ternaungi 30-70% (Nurhayati 2003 dalam Djafaar et al. 2010).

(44)

2010). Umbi garut ditanam pada kedalaman 5-7,5 cm dengan jarak tanam 30x30 cm2.

Tanaman umbi garut dapat tumbuh di bawah naungan, namun juga dapat tumbuh di tempat terbuka oleh karena itu tanaman ini direkomendasikan untuk ditanam di bawah tegakan mahoni tua dan mahoni muda. Tanaman ini tumbuh pada ketinggian kurang dari 1.000 mdpl dan tahan naungan 30-70%. Selain tahan naungan, tanaman ini umumnya ditanaman di lahan kering. Berdasarkan hal tersebut maka tanaman umbi garut cocok untuk ditanam di bawah tegakan mahoni muda maupun mahoni tua.

4. Pandan

Pandan wangi selain sebagai rempah-rempah juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak wangi. Pandan wangi tumbuh di daerah tropis dan banyak ditanam di halaman atau di kebun. Pandan kadang tumbuh liar di tepi sungai, tepi rawa, dan di tempat-tempat yang agak lembap, tumbuh subur dari daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 500 m dpl.pandan menghendaki suhu lingkungan sebesar > 20oC dan kelembaban 70 % serta curah hujan 2.500-3.000 mm/th (IPTEK 2011).

(45)

   

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Besarnya intensitas cahaya yang diteruskan ke permukaan lahan pada pohon mahoni muda adalah sebesar 24,62% dan pada pohon mahoni tua adalah sebesar 19,17%. Untuk persentase penutupan tajuk pada pohon mahoni muda adalah sebesar 36,50% dan pohon mahoni tua adalah sebesar 84,38%.

2. Umur dan jarak tanam yang berbeda mempengaruhi besarnya suhu dan kelembaban.

3. Kedalaman perakaran horizontal pohon mahoni muda dapat dijumpai pada kedalaman 5,6-14,9 cm dan pohon mahoni tua dapat dijumpai pada kedalaman 9,5-14,8 cm. selain itu, untuk panjang perakaran secara horizontal pada pohon mahoni muda berkisar antara 0,5-1,0 m dan pada pohon mahoni tua berkisar antara 1,0-3,0 m.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pertumbuhan mahoni.

2. Untuk mendapatkan data yang akurat seharusnya pengukuran mengenai intensitas cahaya, suhu dan kelembaban dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

3. Perlu dilakukan pengaturan jarak tanam sebelum dilakukan penanaman tanaman pokok, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih perakaran antara pohon yang satu dengan pohon yang lainnya.

4. Perlu dilakukan pemeliharaan secara intensif terhadap tanaman mahoni. 5. Tanaman tumpangsari yang direkomendasikan untuk ditanam di bawah pohon

(46)

Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat

sehingga kebutuhan terhadap hasil hutan dan pertanian semakin meningkat pula.

Akan tetapi, luas lahan untuk pertanian dan kehutanan semakin berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan terhadap hasil hutan dan hasil pertanian yang semakin bertambah dan beraneka ragam dengan kemampuan lahan pertanian yang terbatas dan untuk memperbaiki keadaan tempat tumbuh serta memelihara sumberdaya hutan, tanah dan air, maka salah satu upaya yang perlu dikembangkan adalah agroforestri (Satjapradja 1982).

Sistem agroforestri dicirikan oleh keberadaan komponen pohon dan tanaman semusim dalam ruang dan waktu yang sama (Suryanto et al. 2005). Ruang tumbuh pohon terbagi ke dalam dua bagian yaitu ruang di atas tanah dan ruang di bawah tanah. Pengaturan ruang di atas tanah dimaksudkan agar tajuk berkembang secara optimal, dan bertujuan untuk menurunkan persaingan terhadap intensitas cahaya matahari. Pengaturan ruang di bawah tanah dimaksudkan agar akar berkembang secara optimal, mengurangi persaingan hara dan air dan memberikan ruang penyebaran akar dalam tanah (Rusdiana et al. 2000).

Jarak tanam pada sistem agroforestri merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan perakaran pohon. Hal ini karena jarak tanam berkaitan dengan ketersediaan cahaya yang dapat menembus kanopi tanaman utama dan ketersediaan ruang untuk perakaran. Dengan adanya hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai sistem perakaran mahoni untuk dapat mengetahui jenis tanaman pertanian yang sesuai dengan kondisi perakaran mahoni. Pohon mahoni memiliki sistem perakaran dalam dan berakar tunggang sehingga dapat

diusahakan dengan memanfaatkan tanaman yang memiliki sistem perakaran

dangkal sebagai tanaman bawahnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intensitas cahaya, mengetahui

(47)

 

B. Perumusan Permasalahan

Permasalahan yang mendasari penelitian ini antara lain adalah semakin

sempitnya penggunaan lahan untuk pertanian dan kehutanan sehingga diperlukan

adanya sistem agroforestri untuk mencegah permasalahan tersebut dengan

mencampurkan tanaman pertanian dan pepohonan. Dalam sistem agroforestri

harus memperhatikan atau mengetahui faktor-faktor pendukung salah satunya

adalah intensitas cahaya dan dalamnya perakaran pepohonan.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intensitas cahaya pada suatu

areal tegakan mahoni, mengetahui suhu dan kelembaban pada tegakan mahoni,

mengetahui panjang dan kedalaman perakaran pohon mahoni secara horizontal

untuk digunakan sebagai referensi bagi tanaman pertanian yang ditanam agar

pertumbuhan optimal.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai referensi ruang

tumbuh tanaman pertanian pada tegakan mahoni, dapat memberikan pengetahuan

dalam penggunaan tanaman pertanian yang akan ditanam pada setiap tegakan di

lokasi penelitian dengan jenis tanaman yang berbeda.

(48)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Agroforestri

Agroforestri merupakan sebuah nama bagi sistem-sistem dan teknologi

penggunaan lahan dimana pepohonan berumur panjang (termasuk semak, palem,

bambu, kayu, dll) dan tanaman pangan dan atau pakan ternak berumur pendek

diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang dan waktu.

Dalam sistem-sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi, ekonomi antar

unsur-unsurnya (de Foresta 2000).

Menurut Huxley (1999) dalam Indriyanto (2008), agroforestri merupakan

sistem penggunaan lahan yang menyediakan bahan bakar maupun hasil lain dari

tanaman pepohonan dan semak atau memberikan kenyamanan lingkungan yang

disebabkan oleh tanaman pepohonan dan semak. Melalui kombinasi semacam ini

diharapkan:

a. dapat menciptakan komunitas tanaman yang memiliki strata tajuk, sehingga

dapat mampu memaksimumkan penggunaan energi matahari, meminimumkan

kehilangan unsur hara dari sistem tersebut.

b. mengoptimumkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman.

c. meminimumkan aliran permukaan dan erosi.

B. Pola Tanam

Pola tanam dalam agroforestri sangat spesifik karena menyangkut berbagai

komponen yang berbeda di dalamnya. Prinsip pola tanam dalam sistem

agroforestri adalah bagaimana memanfaatkan ruang dan waktu secara optimal.

Dalam usaha memanfaatkan ruang secara optimal ditempuh berbagai cara,

diantaranya pengaturan jarak tanam, tata letak tanaman, perkembangan lapisan

tajuk dan perakaran. Optimalisasi pemanfaatan unsur waktu dilakukan antara lain

dengan pengaturan waktu tanam dan panen. Dengan pengaturan ruang dan waktu

yang optimal diharapkan komponen yang satu tidak akan menekan komponen

yang lain, akan tetapi sebaiknya yaitu terjadi saling menunjang antar komponen.

Pola tanam dalam sistem agroforestri diatur sedemikian rupa sehingga

pada tahap awal, dimana faktor naungan belum menjadi masalah, beberapa

(49)

 

 

sistem agroforestri akan menyerupai ekosistem hutan yang terdiri dari banyak

lapisan tajuk. Lapisan tajuk atas ditempati jenis-jenis dominan, dibawahnya

ditempati jenis-jenis yang kurang dominan yang tahan setengah naungan,

kemudian lapisan bawah ditempati jenis-jenis tahan naungan (Sukandi et al.

2002).

C. Pemilihan Jenis

Pola agroforestri melibatkan berbagai jenis tanaman sebagai komponennya

baik berupa pohon, perdu, liana maupun tanaman semusim. Di dalam memilih

jenis-jenis tanaman yang akan dikembangkan perlu mempertimbangkan

aspek-aspek biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Aspek biofisik yang

sangat berpengaruh adalah iklim/curah hujan, topografi, ketinggian tempat, dan

lahan.

Berdasarkan tinggi rendahnya curah hujan, wilayah Indonesia yang

beriklim tropik dibedakan atas daerah humid, sub humid, dan semi arid.

Pengembangan agroforestri di Indonesia bagian barat pada umumnya tidak

mensyaratkan jenis-jenis yang tahan kering tetapi sebaliknya untuk wilayah

Indonesia bagian timur, dengan banyaknya daerah yang mempunyai iklim semi

arid perlu pemilihan jenis-jenis tanaman yang relatif tahan kekeringan (Sukandi et

al. 2002).

Pola agroforestri yang dikembangkan di daerah dataran tinggi dengan

topografi yang umumnya bergelombang sampai berbukit dan ketersediaan air

yang terbatas, berbeda dengan daerah dataran rendah dengan topografi yang lebih

datar. Untuk daerah dataran tinggi, pemilihan jenis diarahkan pada jenis-jenis

yang berakar dalam, misalnya mahoni, khaya, dan nangka disamping

mempertimbangkan kecocokan jenis dengan lahan dan ketinggian tempat.

Sedangkan untuk daerah hilir dan pantai dengan tiupan angin yang kencang lebih

ditekankan untuk menggunakan pola tanam dengan menggunakan tanaman pagar,

misalnya akasia dan mimba (Sukandi et al. 2002)

Faktor ketinggian tempat sangat menentukan jenis-jenis tanaman yang

akan digunakan karena setiap tanaman mempunyai batas toleransi terhadap

(50)

rendah. Kondisi tanah dan luas lahan juga perlu mendapat pertimbangan dalam

pemilihan jenis tanaman untuk pola agroforestri.

Selain hal-hal tersebut, faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam

pemilihan jenis, khusus untuk tanaman bawah adalah fase perkembangan suatu

agroforestri. Pada fase awal (sampai dua atau tiga tahun pertama) dapat dipilih

tanaman semusim yang membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhan dan

produksinya seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan. Tetapi pada fase lanjut

(mulai tahun ketiga atau keempat dan seterusnya), dimana tajuk dari tanaman

pohon-pohonan sudah saling menutup, sehingga cahaya matahari yang sampai ke

permukaan tanah hanya sedikit, maka harus dipilih jenis-jenis tanaman bawah

yang tahan naungan seperti empon-empon (kunyit, jahe, laos, temu lawak), ubi

jalar, bengkuang, dan lainnya (Sukandi et al. 2002).

D. Manfaat Sistem Agroforestri

Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri dikembangkan

untuk memberikan manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah

pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri

utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk

penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki

kebutuhan hidup masyarakat.

Dalam mewujudkan sasaran ini, agroforestri diharapkan lebih banyak

memanfaatkan tenaga ataupun sumber daya sendiri (internal) dibandingkan

sumber-sumber dari luar. Di samping itu agroforestri diharapkan dapat

meningkatkan daya dukung ekologi manusia, khususnya di daerah pedesaan.

Selain manfaat tersebut di atas, sistem agroforestri dapat memenuhi kaidah

pengawetan tanah tanah dan air. Pada sistem ini pepohonan diharapkan dapat

melindungi tanaman dari butiran air hujan, demikian juga dengan strata tajuk yang

berlapis, sinar matahari dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat

meningkatkan produktivitas lahan (Satjapradja 1982). Manfaat agroforestri

lainnya adalah agroforestri dapat memberikan atau menyediakan lapangan

Gambar

Tabel 1  Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak  ukur contoh mahoni muda dan tua
Tabel 2  Suhu dan kelembaban pada petak ukur contoh pohon  mahoni muda dan  mahoni tua
Tabel 3  Panjang dan kedalaman perakaran horizontal pohon mahoni tua
Tabel 4  Panjang dan kedalaman perakaran horizontal pohon mahoni muda
+7

Referensi

Dokumen terkait