• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Bobot Badan, Lingkar Skrotum dan Konsentrasi Spermatozoa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Bobot Badan, Lingkar Skrotum dan Konsentrasi Spermatozoa"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Relationship between body weight with scrotal circumference and sperm concentration of garut rams

Iqbal.M, C.Sumantri dan R.I. Arifiantini

Selection of a qualified ram can be determined through an evaluation which is conducted on his body and reproductive organs. The qualified ram condition is that it has good and healthy reproductive organs. One of reproductive organs which is easily visualized is testis. Testicular circumference is a parameter of semen production to estimate spermatozoa’s capacity and fertility. Therefore, the study is conducted to find out the correlation between ram testicular circumference and its semen quality. The study was aims to examine the correlation between body weight and testicular circumference as well as spermatozoa concentration on the garut ram. Afterwards, the study also aimed to evaluate the performance of ram body and reproductive organs based on breeding soundness evaluation. The result of the study showed that the correlation between body weight and testicular circumference was positive and highly significant (P<0.01) with the intermediate level. Meanwhile, another result has also showed that there is no correlation between testicular circumference and spermatozoa concentration.

Keywords : body weight, sperm concentration, scrotal circumference, breeding

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba garut adalah domba lokal yang merupakan plasma nutfah Indonesia yang dimanfaatkan sebagai domba aduan dan untuk dikonsumsi. Dalam rangka memenuhi permintaan domba untuk konsumsi ataupun aduan diperlukan upaya peningkatan populasi dan kualitas. Peningkatan kualitas domba garut dapat dilakukan melalui program seleksi dan persilangan. Seleksi adalah upaya memilih ternak yang memiliki kualitas unggul dan menyingkirkan ternak yang memiliki kualitas yang rendah. Disamping itu seleksi dapat memperbaiki kualitas genetik dalam suatu populasi. Seleksi dapat dilakukan pada pejantan karena pejantan sangat berperan penting dalam menentukan performa keturunannya.

Dalam melaksanakan program pembibitan salah satunya dibutuhkan pejantan yang memiliki fisik yang sehat dan mampu mendeposisikan spermatozoa yang fertil kepada betina yang sedang estrus. Oleh karena itu dibutuhkan evaluasi performa pejantan sebelum digunakan untuk bibit. Salah satu cara menseleksi pejantan adalah dengan menggunakan teknik breeding soundness evaluation (BSE). Breeding soundness evaluation adalah suatu teknik evaluasi dalam menentukan keunggulan seekor pejantan dengan melihat performa fisik dan reproduksinya. Teknik BSE telah dilakukan pada berbagai ternak antara lain pada sapi (Leamaster dan Duponte, 2007), kambing (Bagley, 1997) dan domba (Pezzanite et al., 2004). Dalam BSE mengevaluasi skrotum, lingkar testis, kemampuan kawin (mating ability) dan kualitas semen yaitu motilitas dan morfologi (Leamaster dan Duponte, 2007)

(3)

2 Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi potensi reproduksi domba garut jantan dengan menguji korelasi bobot badan dengan lingkar skrotum serta konsentrasi spermatozoa per ml volume semen. Melalui pengujian ini diharapkan, lingkar skrotum dapat dijadikan sebagai penduga konsentrasi spermatozoa.

Tujuan

1. Mengevaluasi performa pejantan secara fisik dan reproduksi

2. Menguji korelasi antara bobot badan ternak dengan lingkar skrotum dan konsentrasi spermatozoa.

3. Memilih pejantan yang memenuhi kriteria untuk dijadikan pejantan unggul.

Manfaat

(4)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Domba Klasifikasi Domba

Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku dua dan termasuk pada sub famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk ke dalam genus Ovis dan yang didomestikasi adalah Ovis aries

(Johnston, 1983). Taksonomi domba menurut Blakely dan Bade (1985) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia (hewan)

Phylum : Chordata (hewan bertulang belakang)

Class : Mammalia (hewan menyusui)

Ordo : Artiodactyla (hewan berkuku genap)

Family : Bovidae (memamah biak)

Genus : Ovis (domba)

Spesies : Ovis aries (domba yang didomestikasi)

Menurut Ensminger (1991) pada mulanya domba didomestikasi di kawasan Eropa dan Asia. Ciri khas pada domba domestikasi adalah tanduk yang berpenampang segi tiga dan tumbuh melilit seperti spiral yang terdapat pada domba jantan. Bobot badan pada domba jantan lebih tinggi dibandingkan domba betina. Domba Garut

Berdasarkan asal usulnya domba garut merupakan hasil persilangan segitiga antara domba Merino, Lokal, dan Kaapsche (cape) dari Afrika Selatan (Sugeng, 1995). Menurut Budinuryanto (1991), domba garut pada awalnya terbentuk melalui suatu proses persilangan yang kurang terencana antara domba lokal dengan domba Merino dan domba Kaapstad sehingga dalam perkembangan selanjutnya terdapat berbagai bentuk fenotipe dan karakteristik yang relatif berbeda-beda. Menurut Sumantri et al., (2007) domba garut atau domba priangan merupakan domba lokal Indonesia yang banyak tersebar di Jawa Barat terutama di Kabupaten Garut.

(5)

4 dengan warna dasar dominan putih, jantan bertanduk dan betina kebanyakan tidak bertanduk (Riwantoro, 2005).

Domba garut tipe tangkas dan tipe pedaging memiliki bobot badan yang berbeda. Berdasarkan studi keragaman genetik DNA mikrosatelit dan hubungannya dengan bobot badan pada domba lokal di Indonesia, Sumantri et al., (2008) menyatakan domba garut tipe pedaging dan tipe tangkas mempunyai alel spesifik untuk marka bobot badan. Berdasarkan hasil penelitian Mansjoer et al., (2007), secara umum domba garut tipe tangkas mempunyai bobot badan lebih tinggi dari tipe pedaging. Domba tangkas jantan dewasa yang berumur lebih dari satu tahun, memiliki bobot badan antara 51-84 kg dengan rataan 66,78 ± 7,93 cm dan garut betina tipe tangkas memiliki bobot badan 42,33 ± 7,53 kg (Anang, 1992). Penelitian Salamahwati (2004) menyatakan bahwa domba garut pedaging jantan umur 1 tahun memiliki bobot badan 31,44 ± 5,22 kg.

Nataatmaja (1996) menerangkan sifat ekor yang lebar dominan terhadap bentuk ekor sempit, khusus pada domba garut tangkas bagian pangkal ekor selain dominan ekor lebar (gemuk) juga merupakan tempat penimbunan lemak yang baik sehingga ekor tampak lebih lebar. Anang (1992) menyatakan bahwa bentuk ekor pada domba tangkas dikategorikan dalam dua bentuk yaitu bentuk segitiga dan pangkal gemuk dimana bentuk segitiga pada domba jantan diperoleh sebesar 78 % dan pangkal gemuk 22 %.

Breeding Soundness Evaluation (BSE)

Breeding Soundness Evaluation adalah metode evaluasi potensi dari ternak jantan untuk dijadikan pejantan. Breeding Soundness Evaluation terdiri atas evaluasi lingkar testis, kualitas semen, kemampuan fisik, dan kesehatan seluruhnya (Godfrey, 2004).

Sasaran BSE adalah mengevaluasi dan mengklasifikasikan potensi kemampuan pembiakan (breeding). Pengujian ini tidak termasuk evaluasi pergerakan atau tingkah laku kawin karena tidak adanya kriteria standar untuk menilainya (Bagley, 1997).

(6)

5 organ reproduksi yaitu penis, lingkar skrotum, dan testis (keterabaan testis). Pengamatan pada penis dilakukan untuk melihat kecacatan yang dapat mengganggu saat kopulasi. Pendeteksian keabnormalan juga dilakukan untuk melihat kemungkinan yang dapat mempengaruhi fertilitas. Keabnormalan yang terjadi umumnya antara lain ukuran testis kecil, testis yang lunak, dermatitis skrotum,

cryptorchid dan keterabaan testis. Lingkar testis yang yang besar menggambarkan produksi semen yang tinggi, 3) motilitas dan morfologi spermatozoa adalah karakteristik yang berkorelasi paling tinggi dengan kesuburan dan mudah untuk diulang (Leamaster dan Duponte, 2007).

Menurut Pezzanite et al., (2004), BSE dapat dibagi menjadi 3 kategori pengujian 1) pengujian fisik 2) pengujian organ reproduksi dan 3) evaluasi semen. Pengujian fisik terdiri dari dua kriteria utama yang meliputi kondisi tubuh pejantan dan kekuatan struktur tubuh. Kekuatan struktur tubuh sangat penting terutama kaki depan dan belakang untuk dapat melakukan mounting pada betina. Ternak harus mampu bergerak bebas tanpa ada rasa sakit. Pengujian kondisi tubuh dapat dilakukan melalui penilaian skor kondisi tubuh (Body Condition Score). Skor kondisi tubuh dinilai dengan melihat persentase lemak tubuh dan ditentukan dengan meraba tulang rusuk ternak.

Tabel 1. Lingkar Skrotum Minimum pada Domba Umur ( bulan) Lingkar Skrotum minimum (cm)

5-6 29

6-8 30

8-10 31

10-12 32

12-18 33

18 + 34

Sumber : Pezzanite et al., (2004)

(7)

6 lebih besar. Lingkar skrotum bervariasi sesuai dengan musim dan kondisi tubuh. Domba dewasa saat dikawinkan harus memiliki lingkar skrotum minimum 33 cm untuk domba yang berasal dari bangsa luar (Tabel 1).

Dalam BSE domba dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama menurut Bagley (1997), yaitu 1) diragukan (questionable), 2) Memuaskan (satisfactory), 3) Baik sekali (excellent) (Tabel 2). Pengklasifikasian ini menyulitkan secara ekonomi, karena membutuhkan kesempatan yang terbatas pada waktu dan fasilitas. Kategori memuaskan berarti ternak setara atau melebihi standar minimal untuk lingkar skrotum, motilitas dan morfologi spermatozoa, tidak terdapat masalah genetik, infeksi atau masalah yang dapat mengakibatkan menurunnya kesuburan.

Kategori yang tidak memuaskan apabila parameter seperti lingkar skrotum, motilitas dan morfologi spermatozoa berada di bawah standar minimum yang telah ditetapkan atau ternak yang mengalami masalah genetik dan fisik yang menggangu kesuburan. Kategori yang diragukan apabila ternak yang digunakan tidak sesuai dengan standar. Pejantan yang termasuk adalah yang tidak memenuhi syarat tetapi memiliki kemampuan untuk diperbaiki dengan cara pengujian ulang (Rae, 1999). Tabel 2. Klasifikasi Domba berdasarkan Lingkar Skrotum, Motilitas, dan Morfologi

Spermatozoa dengan Teknik BSE. kelamin primer yaitu testis, (b) kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu kelenjar vesikularis, kelenjar prostat, kelenjar bulbourethralis (Cowper) dan saluran-saluran terdiri atas epididymis serta duktus deferen, (c) alat kelamin luar yaitu penis (Bearden

(8)

7 Testis

Testis adalah sepasang organ reproduksi primer pada jantan yang berfungsi memproduksi spermatozoa, sekresi hormon dan protein, serta cairan. Selain itu diproduksi inhibin, esterogen, dan berbagai jenis protein yang berperan penting dalam fungsi spermatozoa. Testis juga memproduksi cairan yang berasal dari tubuli seminiferi yang berfungsi sebagai media untuk memfasilitasi pembuangan spermatozoa dari testis. Cairan yang diproduksi testis atau cairan rete testis juga merupakan hasil sintesis sel sertoli (Senger, 2005)

Testis berbeda dari ovarium dan tidak tetap berada dalam rongga tubuh. Testis ditutupi dengan tunika vaginalis, jaringan serosa, yang merupakan perpanjangan dari peritoneum. Seminiferus terbentuk dari cord sex primer yang mengandung sel-sel germinal dan sel sertoli. Sel sertoli lebih besar dan lebih sedikit dari spermatogenia. Sel sertoli dengan stimulasi FSH, dapat menghasilkan ikatan protein androgen dan inhibin. Sel leydig dapat ditemukan di parenkim testis diantara jaringan seminiferus. Dengan di stimulasi oleh LH, sel leydig memproduksi testosteron dan sebagian kecil androgen. Testosteron dibutuhkan untuk perkembangan sifat kelamin sekunder dan tingkah laku kawin normal serta berfungsi penting pada kelenjar aksesoris, produksi spermatozoa dan perawatan sistem reproduksi jantan (Bearden et al., 2004).

Dalam keadaan normal kedua testis mempunyai ukuran yang sama dan dapat bergerak bebas di dalam skrotum. Sekitar 60-90% dari jaringan testis ditempati oleh tubuli seminiferi sedangkan sisanya adalah jaringan interstisial, vaskuler dan jaringan ikat. Jaringan interstitial terdiri atas sel interstitial atau sel leydig yang menghasilkan hormon testosteron (Hafez, 2000)

(9)

8 Epididymis

Epididymis adalah saluran eksternal pertama dari testis yang berbentuk longitudinal dan menyatu ke permukaan testis serta terbungkus dalam tunika dengan testis. Caput epididymis adalah saluran berada paling atas di mana terdapat 12-15 saluran kecil vasa efferentia yang bergabung menjadi satu saluran. Corpus meluas sepanjang sumbu longitudinal testis yang merupakan saluran tunggal yang menyatu dengan cauda (Bearden et al., 2004).

Epididymis dibagi menjadi tiga bagian yaitu caput, cauda dan corpus. Caput epididymis terdapat sejumlah ductus eferent bergabung dengan ductus epididymis

membentuk struktur yang rata ke ujung testis. Kemudian berlanjut kepada cauda epididymis yang merupakan perluasan caput epididymis (Hafez, 2000).

Epididymis mempunyai 4 fungsi utama yaitu transport, konsentrasi, maturasi dan penyimpanan spermatozoa. Cauda epididymis berfungsi sebagai tempat penyimpanan spermatozoa yang mengandung 75 % dari total epididymal

spermatozoa diluar testis. Spermatozoa juga disimpan dalam ampula, meskipun hanya sebagian kecil dari total cadangan spermatozoa di luar testis (Hafez, 2000). Spermatozoa disimpan di dalam epididymis untuk mempertahankan kapasitas kesuburan selama beberapa minggu. Kemampuan cauda epididymis untuk menyimpan spermatozoa tergantung pada rendahnya suhu skrotum dan peranan hormon jantan (Hafez, 2000). Pada corpus epididymis maturasi spermatozoa terjadi. Pada saat diejakulasikan terlihat adanya perubahan secara kuantitatif dan kualitatif pada fosfolipid dan asam lemak, perubahan pada lemak seluler mendorong lemak tertentu untuk mematangkan spermatozoa. Konsentrasi spermatozoa terjadi di bagian

cauda epididymis. Cairan testicular diabsorbsi di saluran efferrent dan caput

epididymis menyebabkan konsentrasi spermatozoa menjadi berubah saat melewati

epididymis (Pineda, 2003).

Faktor yang Mempengaruhi Ukuran Skrotum dan Testis

(10)

9 tahun (Nataatmaja, 1996). Domba garut tangkas umur satu tahun memiliki lingkar skrotum 26,67 ± 2,84 cm dan panjang skrotum 13,6 ± 2,1 cm (Nataatmaja, 1996). Penelitian Nataatmaja dan Arifin (2005) pada domba garut pedaging umur 1 tahun memiliki lingkar skrotum yaitu sebesar 24,74±3,06 cm dan pada umur 2 tahun memiliki lingkar skrotum 26,23 ± 2,32 cm serta pada umur 3 tahun ukuran lingkar skrotum domba garut pedaging yaitu 26,91±2,06 cm. Pada umur 1-2 tahun merupakan umur optimal perkembangan testis pada domba, pada umur tersebut perkembangannya sangat nyata (Nataatmaja dan Arifin, 2005). Rizal et al., (2003), menyatakan domba garut berumur 3-5 tahun memiliki panjang skrotum sebesar 12,71 cm dan lingkar skrotum yaitu 32,36 cm. Menurut penelitian Yunardi (1999), peningkatan umur berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan ukuran panjang, lingkar dan volume skrotum.

Berdasarkan penelitian Sosa et al., (2002), yang dilakukan pada sapi american wagyu terdapat korelasi yang tinggi antara umur (r = 0,81) dan bobot badan (r = 0,82) terhadap lingkar skrotum. Menurut temuan Koyuncu et al., (2005), bobot badan mempunyai korelasi yang lebih tinggi terhadap lingkar skrotum dibandingkan terhadap umur. Berdasarkan penelitian Koyuncu et al., (2005) pada domba kivircik terdapat korelasi sangat nyata (P<0,01) antara ukuran testis terhadap umur dan bobot badan, korelasi antara lingkar testis dan umur sebesar 0,722 sedangkan antara lingkar skrotum dengan bobot badan sebesar 0,845. Hasil ini juga diperkuat oleh temuan Hastono dan Arifin (2006) yang menyatakan terdapat hubungan positif (P<0,05) antara bobot badan dengan lingkar skrotum sebesar r = 0,58.

Ukuran testis dipengaruhi secara genetik. Ukuran testis dapat dijadikan kriteria seleksi untuk sifat reproduksi karena mempunyai nilai heritabilitas tinggi. Duguma et al., (2002), melaporkan heritabilitas lingkar skrotum sebesar 0,40 pada domba merino. Sedangkan Abbasi dan Kebsi (2011), melaporkan nilai heritabilitas lingkar skrotum pada domba Makooei sebesar 0,32 ± 0,10.

(11)

10 yang besar, karena sifat agresif dipengaruhi oleh hormon testosteron yang dihasilkan oleh testis (Lumbritz et al., 1991). Ukuran testis tidak hanya berpengaruh terhadap sifat agresivitas, ukuran badan, produksi spermatozoa juga sebagai tolok ukur dalam seleksi terhadap sifat prolifikasi domba betina. Dwiyanto (1991) menjelaskan seleksi terhadap ukuran testis terdapat respon pada tingkat kesuburan pejantan, sementara ukuran testis termasuk lingkar testis mempunyai hubungan genetik kearah yang menguntungkan dan cukup erat kaitannya dengan parameter reproduksi betina. Nataatmaja dan Arifin (2005), menyatakan ukuran testis dapat dijadikan pendugaan dalam menentukan kesuburan pejantan, sehingga ukuran testis dapat dijadikan kriteria dalam seleksi.

Brito et al., (2002) menyatakan bahwa ukuran testis secara positif berhubungan dengan produksi spermatozoa dan kualitas semen pada sapi-sapi di Brazil. Menurut Jainudeen dan Hafez (2000) pada sapi, produksi spermatozoa harian dan jumlah potensial produksi spermatozoa fertil perhari oleh testis sangat berkorelasi dengan ukuran testis yang dapat diperkirakan dengan mengukur panjang dan lebar atau lingkar skrotum. Sanford et al., (2000) menyatakan bahwa pada masa pubertas, ukuran testis sangat tinggi dan positif berkorelasi dengan berat badan pada domba suffolk dan korelasi antara ukuran testis dan berat badan ini tetap pada awal kedewasaan. Variasi ukuran testis diantara spesies atau individual diatas sering berhubungan dengan perbedaan jumlah sel sertoli dan aktivitas yang berpengaruh pada produksi spermatozoa sehari-hari (Morais et al., 2002). Menurut Kheradmand

(12)

11 daerah dimana spermatogenesis terjadi semakin banyak pula jumlah spermatozoa yang dihasilkan. Berbeda dengan hasil penelitian Hidayat (2002) menyatakan bahwa pada domba jantan lokal tidak terdapat korelasi antara berat badan, lingkar dan volume skrotum serta diantara ketiganya dengan volume ejakulat dan konsentrasi spermatozoa pada domba jantan lokal.

Menurut penelitian Carrijo et al., (2008) rata-rata ukuran testis pada domba muda Santa Ines yang menggunakan perlakuan ransum berprotein tinggi memiliki ukuran lingkar testis yang lebih besar dari pada pemberian ransum berprotein rendah. Perbaikan pakan yang dikonsumsi diatas kebutuhan maintenance mempengaruhi ukuran skrotum dan meningkatkan konsentrasi spermatozoa secara signifikan (Kheradmand et al., 2006). Usia, bangsa, manajemen, nutrisi dan suhu juga berpengaruh pada skrotum, morfologi testis, suhu skrotum, produksi spermatozoa dan kualitas semen (Brito et al., 2002).

Fisiologi Semen

Semen adalah suatu suspensi cairan yang mengandung spermatozoa (sel kelamin jantan) dan cairan atau medium semi-gelatinous yang disebut plasma semen. Spermatozoa dihasilkan di dalam testes pada bagian tubuli seminiferi, sedangkan plasma semen adalah campuran sekresi yang dibuat oleh epididymis dan kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu vesikularis dan prostat yang mengandung protein, fruktosa, sorbitol, asam sitrat, inositol, Glyceryl Phosphoryl Choline (GPC), ergotionin, sodium, potassium, kalsium, magnesium dan klorida (Garner dan Hafez, 2000)

(13)

12 Karakteristik Semen Domba

Garner and Hafez (2000) menyatakan bahwa volume per ejakulat pada domba adalah antara 0,20 ml sampai dengan 1,20 ml dan semen domba yang fertil secara normal tidak boleh memiliki spermatozoa abnormal lebih dari 15 %. Menurut Prasetyo (2008), tingginya volume per ejakulat semen pada umur tua kemungkinan disebabkan oleh tingginya pengeluaran cairan sekreta yang berasal dari kelenjar kelamin pelengkap (kelenjar vesikularis, prostat, dan bulbourethralis). Pada usia lanjut jumlah spermatogonia tipe A yang merupakan sumber spermatozoa akan menurun. Selain itu sel sertoli yang merupakan sumber nutrisi bagi spermatozoa dan sel Leydig yang memproduksi testosteron juga akan menurun jumlahnya seiring dengan bertambahnya umur (Prasetyo, 2008). Peningkatan produksi spermatozoa berhubungan dengan umur pada periode setelah pubertas (Garner dan Hafez, 2000).

Semen domba mempunyai volume yang kecil dengan konsentrasi yang tinggi sehingga memberikan warna krem. Domba jantan dapat berejakulasi 42 kali dalam sembilan jam dan tetap masih menghasilkan 100 juta spermatozoa pada ejakulasi terakhir (Garner dan Hafez, 2000). Volume semen tergantung, breed, spesies, dan metode penampungan. Frekuensi penampungan semen akan memberi efek pada volume semen perejakulat dan konsentrasi spermatozoa (Parker, 2000). Menurut Herdis (2005), perbedaan kualitas semen segar tergantung dari umur, ukuran tubuh, perubahan kesehatan reproduksi, dan frekuensi penampungan.

Herdis (2005) melaporkan konsentrasi semen domba garut adalah 3803 ± 478 juta spermatozoa per ml dan temuan lainnya pada kisaran 2000 – 3000 juta spermatozoa per ml. Sementara itu menurut Yotov et al., (2011), konsentrasi spermatozoa yang normal berkisar antara 2000 x106 sampai dengan 3186,8±200.3x106/ml. Konsentrasi spermatozoa ini dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya umur, bangsa ternak, bobot badan, frekuensi penampungan dan waktu penampungan (Yotov et al., 2011).

(14)

13 Menurut temuan Herdis (2005) pada daya hidup spermatozoa domba sebesar 85,67 ± 2,25 % dengan kisaran motilitas spermatozoa domba sebesar 60 – 80 % (Bearden dan Fuquay, 2004) dan untuk kelompok umur produktif motilitasnya sebesar 90,00 ± 0,00 %, sedangkan pada umur tua motilitasnya lebih rendah, yaitu sebesar 85,00 ± 5,77 % (Bearden dan Fuquay, 2004).

Tabel 3. Karakteristik Semen Domba Garut

Karakteristik semen 1 2 3 4

Volume per ejakulat (ml)

1,11 ± 0,44 0,79 ± 0,04 0,98±0,16 0,82 ± 0,11

Warna Krem Krem Krem Krem

Konsistensi Kental Kental Kental Kental

pH 6,98 ± 0,13 7,18 ± 0,07 6,73±0,24 7 ± 0,08 Gerakan massa (%) 3,00 ± 0,00 3,00 ± 0,00 3,00 ± 0,00 3,00 ± 0,00 Motilitas (%) 72,50 ± 2,74 73,00 ± 2,45 79,62±3,98 74,17± 2,04 Konsentrasi (juta/ml) 3242 ± 535 4146,00 ± 872,89 3528,85±777,11 3803± 478 Daya hidup (%) 84,50 ± 2,51 83,60 ± 0,49 88,48±2,68 85,67± 2,25 Abnormalitas (%) 2,50 ± 0,84 2,92 ± 0,10 2,40± 0,55 Sumber : 1)Herdis et al., (2005) ; 2) Yulnawati dan Herdis (2009) ; 3) Sujoko et al.,(2009) ; 4) Herdis (2005).

Evaluasi Semen

Evaluasi semen dilakukan dengan 2 cara yaitu pemeriksaan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan semen secara makroskopis meliputi volume, warna, bau, konsistensi dan pH. Sedangkan pemeriksaan secara mikroskopis meliputi gerakan massa, konsentrasi, motilitas dan persentase hidup atau mati (Garner dan Hafez, 2000). Penilaian mikroskopis sifatnya subyektif yang tergantung pada masing-masing evaluator (Sophiahani, 2006).

(15)

14 Pengukuran pH dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dengan kertas pH atau lebih teliti lagi diukur dengan pH meter. Derajat keasaman semen penting dalam motilitas dan daya tahan spermatozoa selama penyimpanan. Derajat keasaman dipengaruhi oleh faktor spesies, suhu, umur semen, variasi dalam cairan pelengkap, frekuensi ejakulasi dan musim. Karakteristik pH pada domba 5,9-7,3 ; sapi 6,4-7,8; babi 7,3-7,8; kuda 7,2-7,8 dan ayam 7,2-7,6. (Garner dan Hafez, 2000).

Menurut Senger (2005), abnormalitas morfologi spermatozoa merupakan penyimpangan morfologi spermatozoa dari bentuk normalnya. Faktor yang mempengaruhi abnormalitas spermatozoa adalah lingkungan. Menurut Garner dan Hafez (2000) bahwa abnormalitas spermatozoa dikelompokan menjadi 3 yaitu abnormalitas primer, abnormalitas sekunder dan abnormalitas tersier. Abnormalitas primer terjadi pada testis saat proses spermatogenesis tepatnya di tubuli semiferi. Abnormalitas primer ditandai oleh kepala yang terlampau kecil (microcephalic) atau terlalu besar (macrocephalic), kepala yang lebar, ekor atau badan berganda. Abnormalitas sekunder terjadi di epididymis sewaktu ejakulasi. Abnormalitas spermatozoa ditandai dengan adanya butiran protoplasma pada pangkal ekor spermatozoa tepatnya di caput epididymis. Menurut Hafez (1993), fertilitas spermatozoa akan semakin rendah bila abnormalitas primer dan sekunder memiliki persentase yang tinggi. Menurut Bearden et al., (2004), fertilitas tidak akan berpengaruh bila tingkat abnormalitas bekisar 20 -25 %. Semakin tinggi persentase spermatozoa abnormal maka akan menurunkan motilitas spermatozoa progresif. Semen yang memiliki kualitas baik adalah yang memiliki morfologi normal sebesar 80 %.

(16)

15 ditempat. Gerakan berputar dapat disebabkan karena adanya kelainan pada ekor dan juga dapat disebabkan karena penuaan (Bearden et al., 2004). Persentase spermatozoa motil sebesar 60 % atau lebih mengindikasikan kualitas semen yang baik (Senger, 2005).

Pengujian konsentrasi spermatozoa sangat penting karena merupakan parameter dari karakteristik semen yang paling tinggi (Ax et al., 2000). Konsentrasi spermatozoa menunjukkan jumlah sel spermatozoa dalam satu mililiter semen (Bearden et al., 2004). Secara umum, standar minimal semen sapi fertil adalah konsentrasi semen jika lebih dari 500 juta/ml (Ax et al., 2000).

Penilaian persentase spermatozoa hidup dan mati bertujuan untuk mengetahui viabilitas membran spermatozoa. Teknik pewarnaan untuk melihat spermatozoa hidup menggunakan pewarna eosin nigrosin. Menurut Bearden et al., (2004), pewarna eosin dapat digunakan untuk membedakan sel yang hidup dan yang mati. Pewarna eosin tidak dapat menembus membran sel spermatozoa yang hidup dan dapat menembus membran sel yang mati. Menurut Hafez (1993), spermatozoa yang mati akan ditandai dengan warna dasar gelap karena pewarnaan nigrosin. Lebih lanjut Purwanti (2006) menyatakan bahwa daya hidup spermatozoa di luar tubuh sangat rendah dan mudah sekali mengalami kematian. Menurut Pineda (2003) suhu mempengaruhi aktivitas reproduksi. Spermatogenesis dipengaruhi oleh suhu. Spermatogenesis lebih tahan terhadap suhu dingin dari pada panas dan tunica dartos

(17)

16 MATERI DAN METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi buatan, Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR), Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pelaksanaan penelitian dan pengambilan data dilakukan mulai tanggal 1 Juli 2011 hingga 31 Juli 2011.

Materi

Ternak

Penelitian ini menggunakan 24 ekor domba garut jantan yang berumur mulai < 1 tahun hingga 3 tahun dan semua domba telah mencapai dewasa kelamin. Bobot badan adalah 24 kg hingga 35 kg. Masing-masing domba dikandangkan secara individu. Tata laksana pemberian pakan dan lingkungan dipilih dalam kondisi yang relatif seragam. Pakan yang diberikan berupa rumput dan konsentrat.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam koleksi dan evaluasi semen adalah semen domba segar, bahan pengencer NaCl fisiologis, aquades, eosin nigrosin, dan formol salin.

Peralatan

Peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa timbangan, pita ukur, spoit, gelas ukur, tabung kecil, pipet pasteur, tabung reaksi, termometer, tisue, gelas erlenmeyer, pemanas elektrik, vagina buatan, dan mikroskop cahaya, gelas obyek, kaca penutup, haemositometer, dan pH indikator paper.

METODE

Penimbangan Bobot Badan

(18)

17 Pengamatan Organ Reproduksi

Pengamatan dan pengukuran organ reproduksi yaitu testis, keadaan cauda

epididymis dan konsistensi epididymis. Pengukuran dilakukan pada lingkar skrotum

dengan menggunakan pita ukur. Konsistensi epididymis diamati dengan cara palpasi bagian testis dan cauda epididymis diamati dengan cara diraba pada bagian ujung testis. Dibawah ini adalah gambar cara pengukuran lingkar skrotum.

Gambar 1 Pengukuran Lingkar Skrotum dengan Menggunakan Pita Ukur

Koleksi Semen

Semen jantan ditampung dengan menggunakan vagina buatan. Sebelumnya, dilakukan persiapan alat yaitu vagina buatan dibilas dengan menggunakan NaCl fisiologis. Vagina buatan diisi dengan air hangat bersuhu 50-55 oC agar suhu bagian dalam vagina buatan meyerupai vagina sesungguhnya (41-44 oC) (Gambar 2). Tabung penampung diikatkan pada ujung vagina buatan dan dilakukan pemompaan udara serta mulut vagina buatan diolesi dengan pelicin. Kemudian pejantan didekatkan dengan betina pemancing dan dibiarkan untuk melakukan false mounting

satu atau dua kali. Semen yang ditampung adalah semen pejantan yang keluar setelah dilakukan false mounting. Pengoleksian semen hanya dilakukan sebanyak satu kali.

(19)

18 Gambar 2. Peralatan Vagina Buatan

Evaluasi Semen

Evaluasi semen dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Parameter evaluasi secara makroskopis yang dilakukan pada penelitian ini adalah volume, warna, pH, dan konsistensi serta evaluasi secara mikroskopis adalah gerakan massa, motilitas, konsentrasi spermatozoa, spermatozoa hidup dan morfologi.

Volume, Warna, pH dan Konsistensi

Secara makroskopis volume semen diukur dengan cara melihat tabung penampung. Volume semen ditetapkan dalam mililiter. Warna semen diperiksa secara langsung dengan melihat tabung penampung. Konsistensi semen diperiksa dengan memiringkan tabung dan membalikkan ke posisi semula. Penilaian konsistensi adalah kecepatan cairan kembali ke dasar tabung. Derajat keasaman (pH) semen diukur dengan menggunakan pH indikator paper berskala 6,4-8.

Gerakan Massa

(20)

19 Motilitas (Gerakan Individu)

Semen diletakkan pada gelas obyek yang telah dihangatkan dan sebelumnya telah ditetesi NaCl fisiologis dan semen. Perbandingan NaCl dan semen yaitu 1:8. Gelas obyek ditutup dengan kaca penutup. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali dan 400 kali dengan 5-10 lapang pandang dan jumlah sel dalam satu lapang pandang antara 10-20 sel. Spermatozoa yang diamati adalah yang memiliki motilitas progresif atau bergerak ke depan. Persentase spermatozoa motil dihitung dengan rumus :

Jumlah spermatoza motil x 100 % Jumlah total spermatozoa

Konsentrasi Spermatozoa

Semen diencerkan 500 kali menggunakan formol salin (1µ l semen ditambah 499µ l formol salin). Semen yang telah diencerkan diteteskan pada kedua ujung kamar hitung Neubauer Chamber ujung atas dan bawah yang sebelumnya telah ditutup dengan kaca penutup. Semen yang diteteskan dibiarkan mengalir hingga mengisi secara penuh kamar hitung. Konsentrasi spermatozoa dihitung dengan menggunakan haemocytometer dalam 5 kamar hitung yang masing-masing mempunyai 16 kotak kecil. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop pembesaran 400 kali. Konsentrasi dihitung dengan formulasi :

K = N x 25 x 106 Keterangan :

N = jumlah total spermatozoa yang diamati Spermatozoa Hidup

(21)

20

Spermatozoa hidup

Jumlah total spermatozoa (hidup dan mati) x 100 %

Morfologi

Pemeriksaan spermatozoa normal menggunakan pewarna eosin negrosin sebanyak 8-10 tetes dan dicampur dengan sedikit semen. Lalu dibuat preparat ulas dan dikeringkan menggunakan pemanas elektrik selama lebih dari 10 menit agar semua spermatozoa dapat menyerap warna. Preparat ulas diamati di bawah mikroskop pembesaran 400 kali pada 10 lapang pandang yang berbeda, minimal 200 sel. Spermatozoa diamati bentuk kepala dan ekornya. Kemudian spermatozoa normal dihitung dengan menggunakan formulasi sebagai berikut :

Jumlah spermatozoa normal x 100 % Jumlah total spermatozoa

Variabel yang diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu performa fisik dan reproduksi ternak. Performa fisik yang diamati adalah bobot badan dan umur. Performa reproduksi yang diamati dibagi menjadi dua aspek yaitu fisik organ reproduksi dan kualitas semen. Kualitas semen dievaluasi baik secara makroskopis maupun mikroskopis.

Analisis Data

Data yang diperoleh ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif sedangkan data bobot badan, lingkar skrotum dan konsentrasi spermatozoa dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi. Data yang diperoleh juga dihitung nilai rataan dan simpangan bakunya.

Korelasi

Analisis korelasi yang digunakan adalah analisis korelasi linear menurut Walpole (1995) yang akan menggambarkan hubungan antara dua peubah yang diukur. Adapun peubah yang dianalisis adalah korelasi antara bobot badan dengan lingkar skrotum serta konsentrasi spermatozoa dengan formulasi sebagai berikut : r = ∑XY- ((∑X)(∑Y))/n

(∑ 2− (∑X)2/ ) ( 2( )2

(22)

21 Keterangan :

X= Sifat pertama (Bobot badan, Lingkar skrotum)

Y = Sifat kedua (Lingkar skrotum dan konsentrasi spermatozoa) n = Jumlah pengamatan

r = Koefisien korelasi Rataan

Rataan atau nilai tengah adalah suatu bilangan yang menunjukkan nilai pusat (Usman dan Akbar, 2008). Penelitian ini akan menghitung nilai rataan dan simpangan baku parameter yang diamati baik performa fisik, reproduksi dan kualitas semen.

µ=

Keterangan :

= nilai setiap individu didalam populasi N = Jumlah data

Simpangan Baku

Simpangan baku adalah suatu nilai yang menunjukkan tingkat variasi suatu kelompok data (Usman dan Akbar, 2008). Berikut ini adalah formulasi simpangan baku.

S = ∑ ( )

Keterangan :

S = simpangan baku

X = nilai setiap individu didalam populasi = rataan populasi

(23)

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Performa Reproduksi Domba

Salah satu yang menentukan keberhasilan kebuntingan betina dalam pembibitan suatu peternakan adalah organ reproduksi yang berfungsi baik. Organ reproduksi pejantan yang sehat dan baik akan mampu menghasilkan spermatozoa yang berkualitas dan memiliki kuantitas yang cukup banyak sehingga persentase kebuntingan betinapun akan semakin besar.

Breeding soundness evaluation adalah pengujian pejantan untuk menduga potensi yang dimiliki pejantan. Pengujian ini digunakan dalam menentukan pejantan yang memiliki potensi yang baik, bila terdapat ternak yang tidak memenuhi kriteria maka akan dikeluarkan dari peternakan. Pengujian ini terdiri dari pengamatan umum ternak, organ reproduksi dan kualitas semen.

Berdasarkan hasil pengamatan 24 ekor domba yang dievaluasi memiliki tubuh dan bentuk kaki yang normal serta tidak cacat. Kecacatan pada kaki dapat mengganggu proses perkawinan terutama saat ternak akan melakukan mounting pada betina. Ukuran testis normal dengan posisi menggantung, serta konsistensi yang kenyal. Cauda epididymis dapat teraba dengan jelas. Testis sebagai organ kelamin primer mempunyai dua fungsi yaitu 1) menghasilkan spermatozoa atau sel-sel kelamin jantan dan 2) mensekresikan hormon kelamin jantan (Garner dan Hafez, 2000). Konsistensi testis yang kenyal dan cauda epididymis yang teraba, menunjukkan fungsi testis untuk menghasilkan spermatozoa berjalan dengan baik dan produksinya tersimpan dalam cauda epididymis, karena bagian ini menyimpan 75% cadangan spermatozoa diluar testis (Hafez, 2000).

(24)

23 Tabel 4. Umur dengan Berat Badan dan Lingkar Skrotum Domba Garut

Umur

Semen domba mempunyai volume yang kecil dengan konsentrasi yang tinggi sehingga memberikan warna krem (Garner dan Hafez, 2000). Warna krem dan kental menandakan konsentrasi yang tinggi. Konsistensi yang diperoleh pada penelitian ini mulai dari sedang hingga kental. Sebagian besar ternak memiliki konsistensi sedang. Semen domba memiliki volume yang sedikit bila dibandingkan dengan ternak lainnya tetapi memiliki konsentrasi spermatozoa yang tinggi.

Hasil evaluasi makroskopis semen dari 24 ekor domba garut menunjukkan volume rata-rata adalah 0,653±0,32 ml, nilai yang diperoleh ini masih dalam kisaran normal karena menurut Garner dan Hafez (2000) volume semen per ejakulat pada domba adalah antara 0,2 sampai dengan 1,2 ml. Semen domba yang diperoleh berwarna putih susu sampai krem dengan konsistensi sedang sampai kental dan pH yang diperoleh yaitu 6,30±0,29.

Secara mikroskopis gerakan massa 2,88±0,22, motilitas 72,9±4,08% dengan konsentrasi spermatozoa 3052,1±692,11 juta/ml. Rataan spermatozoa hidup 84,14±5,28 % dan rataan spermatozoa yang memiliki morfologi normal sebesar 93,83±2,04% (Table 5).

Tabel 5. Rataan Kualitas Semen Domba Garut

(25)

24 Volume semen dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur, spesies, metode penampungan, dan frekuensi penampungan (Parker, 2000). Pada penelitian ini volume semen paling banyak berada pada selang 0,5-1 ml sebanyak 13 ekor (54,17%), terdapat 8 ekor (33,33%) domba yang mempunyai volume < 0,5 ml dan hanya 3 ekor (12,5%) domba yang mempunyai volume > 1 ml (Tabel 6). Secara umum volume semen yang diperoleh bervariasi. Menurut penemuan Herdis et al.,

(2005) dan Sujoko et al., (2009) yaitu volume semen domba garut yang diperoleh pada penelitiannya adalah 0,98±0,16 sampai dengan 1,11±0,44 mL.

Tabel 6. Distribusi volume Semen pada Domba Garut Volume (ml) Jumlah ternak (ekor) Persentase < 0,5 8 33,33

0,5 -1 13 54,17

>1- 1,5 3 12,5

Total 24 100

Warna semen yang diperoleh mulai dari putih susu hingga krem. Semen domba garut 91,6% berwarna krem dan hanya 2 ekor (8,4%) yang berwarna putih susu (Tabel 7). Hal ini mengindikasikan konsentrasi spermatozoa yang tinggi, semakin kream warna semen maka semakin tinggi konsentrasi spermatozoa yang terkandung dalam semen tersebut.

Tabel 7. Distribusi Warna Semen pada Domba Garut Warna Jumlah ternak (ekor) Persentase Putih susu 2 8,4

Krem 22 91,6

Total 24 100

(26)

25 melaporkan bahwa domba garut yang baik akan mempunyai konsistensi semen yang kental.

Tabel 8. Distribusi Konsistensi Semen pada Domba Garut Konsistensi Jumlah ternak (ekor) Persentase

Encer 1 4,2

Sedang 13 54,2

Kental 10 41,6

Total 24 100

Pada penelitian ini pH semen paling banyak antara 6-6,5 sebanyak 21 ekor (87,5%) dan ada 3 ekor (12,5%) yang memiliki pH antara 6,6-7. Nilai ini sedikit asam dibandingkan dengan pH semen domba yang dilaporkan oleh Herdis (2005), Yulnawati dan Herdis (2009) ataupun Sujoko et al., (2009) dengan nilai masing-masing adalah 7,00±0,08; 7,18±0,07 dan 6,73±0,24. Hal ini kemungkinan domba-domba peneliti tersebut sudah rutin dikoleksi, sedangkan domba-domba garut pada penelitian ini baru pertama kali dikoleksi, sehingga banyak spermatozoa lama yang sudah mati sehingga pH cenderung lebih asam.

Tabel 9. Distribusi pH Semen pada Domba Garut

pH Jumlah ternak (ekor) Persentase

6-6,5 21 87,5

> 6,5 – 7 3 12,5

Total 24 100

Gerakan massa adalah gerakan spermatozoa secara bersama-sama. Gerakan massa diberi skor antara 1 hingga 3. Artinya semakin besar nilainya maka gerakan massa spermatozoa akan semakin cepat. Gerakan massa adalah cara yang cepat untuk menentukan kualitas spermatozoa secara kasar dan belum tentu akurat. Secara mikroskopis gerakan massa dari spermatozoa semen domba garut adalah 2,88±0,22. Gerakan massa ini dinilai sangat baik yang ditandai dengan gelombang massa spermatozoa yang tebal, gelap, banyak dan cepat berpindah tempat.

(27)

26 digunakan sebagai pejantan. Menurut Herdis (2005), perbedaan kualitas semen segar bergantung dari umur, ukuran tubuh, perubahan kesehatan reproduksi, dan frekuensi penampungan.

Motilitas spermatozoa merupakan indikator kualitas semen yang paling banyak dilaporkan. Tingginya nilai motilitas spermatozoa menggambarkan kemampuan spermatozoa untuk fertilisasi, meskipun dalam kenyataannya tidak 100% akurat. Hasil penelitian menunjukkan motilitas spermatozoa sebesar 72,9 ± 4,08%, nilai ini termasuk baik karena kisaran motilitas spermatozoa domba sebesar 60-80% (Bearden dan Fuquay, 2004).

Motilitas spermatozoa domba garut sebanyak 91,7 % ternak berada diantara > 70-80 %. Motilitas yang diperoleh telah memenuhi kriteria untuk dilakukan pengolahan semen lebih lanjut dan berada pada kisaran normal motilitas spermatozoa domba sebesar 60-80% menurut Bearden dan Fuquay (2004). Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Herdis et al., (2005) diperoleh motilitas spermatozoa sebesar 72,50 ± 2,74 % dan hasil penelitian Sujoko et al., (2009) sebesar 79,62 ± 3,98 %. Motilitas spermatozoa dipengaruhi oleh umur. Bearden dan Fuquay (2004) menyatakan bahwa pada kelompok umur produktif motilitasnya sebesar 90,00 ± 0,00% sedangkan pada kelompok umur tua motilitasnya lebih rendah yaitu sebesar 85,00 ± 5,77%.

Tabel 10. Distribusi Motilitas Spermatozoa pada Domba Garut Motilitas (%) Jumlah ternak Persentase

< 70 2 8,3 >70-80 22 91,7

Total 24 100

(28)

27 Berdasarkan hasil penelitan diperoleh konsentrasi spermatozoa terdistribusi menyebar dengan sebagian besar berada pada konsentrasi 2000-3000 juta/ml yaitu sebesar 13 ekor (54,16 %) dan sebanyak 5 ekor (20,48 %) berada pada konsentrasi 3000-4000 juta/ml serta terdapat 4 ekor (16,6 %) yang mempunyai konsentrasi >4000 juta/ml dan hanya terdapat 1 ekor ternak yang memiliki konsentrasi yang rendah yaitu pada konsentrasi 1000-2000 juta/ml. Konsentrasi spermatozoa yang diperoleh ini masih berada pada kisaran normal. Berdasarkan penelitian Herdis et al.,

(2005) dan Sujoko et al., (2009) rataan yang diperoleh > 3000 juta/ml. Berdasarkan penelitian Herdis et al., (2005) pada domba garut diperoleh konsentrasi sebesar 3242 ± 535 dan menurut Sujoko et al., (2009) sebesar 3528,85±777,11.

Tabel 11. Distribusi Konsentrasi Spermatozoa pada Domba Garut Konsentrasi (Juta/ml) Jumlah ternak (ekor) Persentase (%) 1000-2000 1 4,16

2000-3000 13 54,16 3000-4000 5 20,8 >4000 4 16,6

Total 24 100

Hasil menunjukkan rataan spermatozoa hidup sebesar 84,14 ± 5,28 %. Nilai yang diperoleh masih berada dalam kisaran normal dan sudah cukup baik. Rataan yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan temuan Herdis et al., (2005) pada daya hidup spermatozoa domba garut sebesar 85,67±2,25%. Persentase spermatozoa yang hidup sebagian besar berada pada > 80% sebanyak 16 ekor ternak. Sebagian kecil lainnya yaitu > 70% sebanyak 4 ekor dan > 90% sebanyak 4 ekor. Spermatozoa hidup tinggi yang diperoleh menunjukkan kualitas semen yang baik. Menurut penelitan Herdis et al., (2005) diperoleh daya hidup spermatozoa sebesar 84,50±2,51% dan Sujoko et al., (2009) sebesar 88,48 ± 2,68 %.

Tabel 12. Distribusi Spermatozoa Hidup pada Domba Garut Spermatozoa Hidup Jumlah ternak (ekor) Persentase (%)

> 70 4 16,7

> 80 16 66,6

> 90 4 16,7

(29)

28 Morfologi spermatozoa normal yang diperoleh pada penelitian ini cukup tinggi yaitu sebesar 93,83 ± 2,04 % dan abnormalitas spermatozoa tergolong rendah. Persentase abnormalitas yang diperoleh memiliki kualitas baik dan dalam kisaran yang normal karena persentase abnornalitas yang masih dapat ditolerir dan tidak mengakibatkan penurunan fertilitas untuk domba yaitu kurang dari 15 % (Garner dan Hafez, 2000). Morfologi spermatozoa normal erat kaitannya motilitas. Bentuk spermatozoa yang normal terutama bagian ekor maka dapat meningkatkan pergerakan dan kemampuan membuahi. Semakin tinggi persentase morfologi spermatozoa yang normal maka akan semakin besar keberhasilan spermatozoa untuk membuahi ovum.

Sebanyak 100% ternak, memiliki morfologi normal > 90% dan memiliki abnormalitas spermatozoa yang rendah yaitu sekitar 10%. Beberapa temuan diperoleh hasil yang bervariasi. Berdasarkan temuan Herdis et al., (2005), abnormalitas spermotozoa yaitu sebesar 2,50 ± 0,84 dan Yulnawati dan Herdis (2009) yaitu 2,92 ± 0,10. Abnormalitas yang terjadi pada spermatozoa erat kaitannya dengan kemampuan pembuahan. Abnormalitas yang terlalu tinggi akan mengakibatkan menurunnya fertilitas.

Hubungan antara Bobot Badan dengan Lingkar Skrotum dan Konsentrasi Spermatozoa

(30)

29 digunakan telah dewasa kelamin dimana pertumbuhan skrotum sudah relatif stabil dan pertumbuhan tidak terlalu signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian, pada umur 1-1,5 tahun memiliki rataan lingkar skrotum sebesar 25,50±1,92 cm. Nilai ini tidak jauh berbeda seperti penelitian yang dilakukan Nataatmaja dan Arifin (2005) pada domba garut pedaging umur 1 tahun yaitu sebesar 24,74±3,06 cm. Lingkar skrotum yang diperoleh tersebut sedikit lebih tinggi menurut penelitian Nataatmaja dan Arifin (2005) pada domba umur 1 tahun. Bila dibandingkan dengan standar BSE pada umur yang sama (12-18 bulan), lingkar skrotum yang diperoleh jauh lebih kecil dimana ukuran minimum yaitu 33 cm (tabel 1). Domba garut pedaging umur 2 tahun memiliki lingkar skrotum 26,23 ± 2,32 cm (Nataatmaja dan Arifin, 2005). Pada umur 1,5-2 tahun, rataan lingkar skrotum yang diperoleh lebih rendah yaitu sebesar 25,63±2,56cm. Sementara itu pada umur >2-3 tahun nilai rataan lingkar skrotum yang diperoleh yaitu 25,38±2,5 cm. Nilai diperoleh ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Nataatmaja dan Arifin (2005) pada umur 3 tahun ukuran lingkar skrotum domba garut pedaging yaitu 26,91±2,06 cm. Ukuran lingkar skrotum yang diperoleh juga lebih rendah menurut standar BSE pada umur 2-3 tahun (>18 bulan) dengan ukuran minimum sebesar 34 cm (Tabel 1). Ukuran skrotum yang lebih rendah pada umur >2-3 tahun disebabkan adanya pengaruh bobot badan terhadap pertumbuhan testis. Hal ini terlihat pada kelompok umur >2-3 tahun memiliki bobot badan yang lebih rendah sebesar 28,5±2,65 kg. Rataan lingkar skrotum, konsentrasi spermatozoa, bobot badan pada selang umur tertentu dapat dilihat pada tabel yang tertera dibawah ini.

Tabel 13. Rataan Lingkar Skrotum, Konsentrasi Spermatozoa, dan Bobot Badan pada Selang Umur tertentu

Umur (tahun) Jumlah (ekor) Bobot Badan

(kg) Lingkar Skrotum (cm)

(31)

30 digunakan ternak yang berasal dari bangsa luar sebagai standar dimana mempunyai ukuran lingkar skrotum dan bobot badan yang lebih besar. Sementara itu, penelitian ini digunakan ternak lokal. Oleh karena standar yang berbeda, maka diperlukan standar khusus untuk domba lokal. Ukuran skrotum pada domba lokal yaitu domba garut dalam penelitian relatif lebih kecil dibandingkan standar yang ada (domba luar). Lingkar skrotum yang kecil pada domba garut, tidaklah berpengaruh besar terhadap kesuburan (kualitas semen) karena memiliki kualitas semen yang cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya motilitas dan morfologi spermatozoa domba garut yang diteliti. Berikut ini adalah rataan lingkar skrotum, morfologi dan motilitas domba garut yang diperoleh yang dikelompokkan pada umur < 14 bulan dan > 14 bulan. Pengelompokkan ini disesuaikan dengan standar BSE agar mudah dibandingkan.

Tabel 14. Rataan Lingkar Skrotum, Morfologi dan Motilitas Domba Garut pada Kelompok Umur yang Berbeda

Hasil penelitian menunjukkan lingkar skrotum yang diperoleh pada kelompok umur < 14 bulan dan umur > 14 bulan termasuk kelas questionable berdasarkan BSE karena memiliki lingkar skrotum < 30 cm yaitu dengan masing-masing berukuran 24,5 cm dan 25,4 cm, tetapi variabel motilitas dan morfologi termasuk ke dalam kelas excellent karena memiliki motilitas > 50% dan morfologi > 90%. Kualitas semen yang diperoleh cukup baik sehingga sebanyak 24 ekor ternak dapat digunakan sebagai pejantan. Kelas questionable artinya ternak memiliki lingkar skrotum berada di bawah standar minimal, motilitas dan morfologi spermatozoa yang telah ditetapkan (Rae, 1999).

(32)

31 Pada umur 25-30 kg diperoleh lingkar skrotum sebesar 24,18 ± 2,32 cm dan pada bobot badan yang lebih tinggi > 30-40 kg diperoleh rataan lingkar skrotum yang lebih besar yaitu 26,3 cm tetapi ternyata memiliki konsentrasi spermatozoa yang lebih sedikit yaitu sebesar 2836,54 ± 543,77 juta/ml sedangkan konsentrasi pada domba bobot badan 25-30 kg yaitu 3306,82 ± 784,31 juta/ml. Dari data tersebut dapat diamati ternak dengan bobot badan yang tinggi memiliki lingkar skrotum yang tinggi pula dan terjadi peningkatan lingkar skrotum seiring dengan peningkatan bobot badan. Hal ini menunjukkan adanya indikasi korelasi antara bobot badan dan lingkar skrotum. Seperti hasil penelitian Sosa et al., (2002) yang menyatakan adanya korelasi antara bobot badan dan lingkar skrotum. Sementara konsentrasi spermatozoa terjadi sebaliknya. Tidak terlihat adanya peningkatan konsentrasi spermatozoa seiring peningkatan bobot badan. Hal ini dapat disebabkan konsentrasi spermatozoa tidak hanya dipengaruhi oleh bobot badan tetapi juga dipengaruhi oleh umur. Dari hasil yang diperoleh pada umur yang lebih muda dengan rataan 19,69±6,00 bulan memiliki konsentrasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan umur yang lebih tua yaitu dengan rataan umur 21,73±8,33 bulan. Hasil yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi umur maka konsentrasi spermatozoa semakin meningkat sampai batas umur tertentu. Yotov et al., (2011), menyatakan bahwa konsentrasi spermatozoa tergantung pada umur. Berdasarkan hasil yang diperoleh konsentrasi spermatozoa lebih dipengaruhi oleh umur dari pada bobot badan. Hal ini disebabkan karena konsentrasi spermatozoa yang diproduksi tidak berhubungan langsung dengan bobot badan tetapi berhubungan dengan lingkar testis. Sementara itu lingkar skrotum belum tentu memiliki korelasi yang positif terhadap konsentrasi spermatozoa karena ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi produksi spermatozoa.

(33)

32 Lingkar skrotum menggambarkan ukuran dari testis dan testis menunjukkan kesuburan atau fertilitas pejantan. Semakin besar lingkar skrotum akan diikuti dengan semakin besar ukuran testis maka akan semakin banyak pula sel-sel pembentuk spermatozoa (spermatogonia). Hal ini berarti akan semakin banyak spermatozoa yang akan diproduksi begitu juga hal nya dengan sel-sel pembentuk hormon (sel-sel leydig) dalam testis sehingga kemampuan produksi testosteron juga akan tinggi.

Untuk melihat besarnya keeratan hubungan antara bobot badan dan lingkar skrotum serta konsentrasi spermatozoa maka perlu di analisis dengan menggunakan analisis korelasi. Hasil pengujian korelasi antara bobot badan, lingkar skrotum dan konsentrasi spermatozoa dapat dilihat pada Tabel 17 yang tertera di bawah ini.

Tabel 16. Koefisien Korelasi dari Bobot Badan, Lingkar Skrotum dan Konsentrasi Spermatozoa Domba Garut

Variabel Lingkar skrotum

Bobot Badan 0,525**

Konsentrasi spermatozoa 0,024

Keterangan : ** : sangat nyata

Pedoman untuk memberikan penafsiran terhadap koefisien korelasi yang diperoleh dapat dilihat pada tabel yang tertera dibawah ini.

Tabel 17. Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien Korelasi Interval Koefisien Intepretasi

Penelitian ini juga menghitung koefisien determinasi. Koefisien determinasi adalah koefisien penentu karena ragam yang terjadi pada variabel dependen dapat dijelaskan melalui varians yang terjadi pada variabel independen yang besarnya adalah kuadrat dari koefisien korelasi (r2) (Sugiyono, 1997).

(34)

33 kenaikan bobot badan akan diikuti oleh kenaikan lingkar skrotum. Tingkat korelasi bobot badan dan lingkar skrotum yang diperoleh termasuk dalam tingkatan agak rendah berdasarkan pedoman intrepretasi koefisien korelasi (Usman dan Akbar, 2008). Nilai korelasi yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Hidayat (2002) terhadap domba lokal yaitu sebesar 0,20 dan hampir sama bila dibandingkan dengan penelitian Hastono dan Arifin (2006) sebesar 0,58.

Bobot badan mempunyai korelasi yang besar terhadap lingkar skrotum dibandingkan terhadap umur. Seperti penelitian Koyuncu et al., (2005) pada domba kivircik terdapat korelasi sangat nyata (P<0,01) antara ukuran testis terhadap umur dan bobot badan, korelasi antara lingkar testis dan umur sebesar 0,722 sedangkan antara lingkar skrotum dengan bobot badan sebesar 0,845.

Koefisian determinasi (r2) dari korelasi bobot badan dan lingkar skrotum diperoleh hasil sebesar 27,5 % yang artinya bobot badan hanya mempengaruhi lingkar variabel lingkar skrotum sebesar 27,5 % selebihnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Faktor-faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi ukuran skrotum antara lain genetik (Duguma et al., 2002), hormon (Buttery dan Smith, 1981), makanan (Carrijo

et al., 2008), suhu, umur dan bangsa atau strain.

Berdasarkan penelitian Duguma et al., (2002) melaporkan adanya pengaruh genetik terhadap ukuran skrotum. Duguma et al., (2002), melaporkan heritabilitas lingkar skrotum sebesar 0,40 pada domba merino sedangkan menurut Abbasi dan Kebsi (2011), nilai heritabilitas lingkar skrotum pada domba Makooei sebesar 0,32 ± 0,10. Korelasi antara bobot badan terhadap lingkar skrotum mengindikasikan adanya peranan gen pada bobot badan yang diturunkan yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan lingkar skrotum.

Ukuran skrotum adalah salah satu kriteria pejantan yang baik yang dengan mudah dapat dilihat secara visual. Ukuran skrotum dapat dijadikan kriteria seleksi untuk sifat reproduksi karena mempunyai nilai heritabilitas tinggi. Lingkar skrotum yang merepresentasikan dari ukuran testis dapat dijadikan sebagai penduga kualitas seekor pejantan.

(35)

34 perkembangan sifat kelamin sekunder dimana saat itu terjadi pertumbuhan testis dan bobot badan. Hormon testosteron dapat mempengaruhi pertambahan bobot badan karena hormon testosteron dapat menstimulasi sintesis protein otot dan hal ini dapat terjadi langsung dalam otot karena terdapat reseptor androgen (Buttery dan Smith, 1981). Hormon testosteron juga mempunyai daya menahan nitrogen dalam tubuh sehingga terjadi pertambahan bobot badan karena adanya penyimpanan protein. Pada tiap ternak memiliki kadar hormon yang berbeda-beda maka akan terjadi perbedaan pula terhadap pertumbuhan bobot badan dan lingkar skrotum.

Dalam penelitian ini digunakan domba garut non tangkas sehingga memiliki ukuran lingkar skrotum yang lebih kecil dibandingkan dengan domba tangkas. Domba garut tangkas dan bukan tangkas memiliki ukuran skrotum yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh proses seleksi secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Seleksi terhadap domba garut tangkas untuk aduan dilapangan mempengaruhi terhadap ukuran skrotum. Domba garut tangkas umumnya diseleksi yang memiliki ukuran skrotum yang besar sehingga menciptakan perbedaan diantara domba garut tangkas dan bukan tangkas. Seleksi domba untuk aduan dipilih yang memiliki sifat agresifitas tinggi. Domba garut yang memiliki agresifitas yang tinggi memiliki ukuran testis yang besar, karena sifat agresif dipengaruhi oleh hormon testosteron yang dihasilkan oleh testis (Lumbritz et al., 1991). Semakin besar ukuran testis makan hormon yang dihasilkan pun semakin banyak (Courot dan Ortavant, 1980). Oleh karena itu, lingkar skrotum dipengaruhi oleh strain ternak melalui proses seleksi.

(36)

35 hari oleh testis sangat berkorelasi dengan ukuran testis yang dapat diperkirakan dengan mengukur panjang dan lebar atau lingkar skrotum. Pendapat ini diperkuat oleh Aurich et al., (2002) yang menyatakan bahwa jumlah total spermatozoa dan produksi spermatozoa harian berhubungan positif dengan ukuran testis. Tetapi berdasarkan hasil penelitian Hidayat (2002) menyatakan bahwa pada domba jantan lokal tidak terdapat korelasi antara berat badan, lingkar skrotum dan volume skrotum serta diantara ketiganya dengan volume ejakulat dan konsentrasi spermatozoa pada domba jantan lokal.

Berbedanya hasil yang diperoleh dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi spermatozoa tersebut. Konsentrasi spermatozoa dapat dipengaruhi oleh faktor umur. Seperti yang telah dikemukakan Garner dan Hafez (2000) peningkatan produksi spermatozoa berhubungan dengan umur pada periode setelah pubertas. Penelitian ini digunakan ternak dengan umur yang bervariasi sehingga menghasilkan konsentrasi yang bervariasi yang ditunjukkan oleh nilai simpangan bakunya. Nilai rataan dan tingkat variasi umur yang diperoleh yaitu 1,8±0,56 tahun. Faktor umur tidak terlalu berpengaruh besar terhadap konsentrasi dalam penelitian ini dikarenakan sebagian besar ternak sebanyak 15 ekor berada pada masa produktif dimana relatif sama dalam menghasilkan spermatozoa yaitu pada umur 1-2 tahun dan selebihnya pada umur < 1 tahun sebanyak 1 ekor dan >2-3 tahun sebanyak 4 ekor sehingga faktor umur dapat diasumsikan sama. Perbedaan konsentrasi yang diperoleh juga dapat disebabkan oleh jumlah ternak yang digunakan lebih sedikit sehingga mengurangi keakuratan dalam pengujian. Ukuran lingkar skrotum belum tentu dapat menduga konsentrasi spermatozoa seekor pejantan dikarenakan banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi spermatozoa.

(37)

36 pada ternak belum tentu memiliki volume testis yang besar pula. Oleh karena itu diperlukan parameter yang lebih utuh untuk menduga konsentrasi spermatozoa yang dihasilkan yaitu volume testis.

(38)

37 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Performa fisik dan organ reproduksi semua domba garut dalam keadaan normal dan baik. Bobot badan memiliki korelasi yang sangat nyata dan positif terhadap ukuran lingkar skrotum domba garut dengan tingkatan korelasi agak rendah. Lingkar skrotum tidak berkorelasi terhadap konsentrasi spermatozoa yang dihasilkan. Berdasarkan standar breeding soundness evaluation, pada parameter lingkar skrotum secara umum seluruh domba garut jantan yang diteliti termasuk ke dalam klasifikasi

questionable sedangkan kualitas semen yaitu morfologi dan motilitas spermatozoa termasuk kedalam klasifikasi excellent.

Saran

(39)

HUBUNGAN BOBOT BADAN, LINGKAR SKROTUM

DAN KONSENTRASI SPERMATOZOA

PADA DOMBA GARUT JANTAN

SKRIPSI

MUHAMMAD IQBAL

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(40)

HUBUNGAN BOBOT BADAN, LINGKAR SKROTUM

DAN KONSENTRASI SPERMATOZOA

PADA DOMBA GARUT JANTAN

SKRIPSI

MUHAMMAD IQBAL

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(41)

RINGKASAN

MUHAMMAD IQBAL. D14070227. 2012. Hubungan Bobot Badan dengan Lingkar Skrotum dan Konsentrasi Spermatozoa Domba Garut Jantan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Prof. Dr. R. Iis Arifiantini, M.Si

Pemilihan pejantan yang berkualitas dapat ditentukan dengan mengevaluasi baik fisik dan organ reproduksinya. Syarat pejantan yang baik adalah memiliki alat reproduksi yang baik dan sehat. Reproduksi yang sehat dan baik akan menentukan keberhasilan pembibitan dalam suatu peternakan. Salah satu organ reproduksi yang mudah dilihat secara visual adalah testis. Lingkar sktotum merupakan parameter produksi semen yang baik kapasitas dan fertilitasnya.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji korelasi antara bobot badan dengan lingkar skrotum dan konsentrasi spermatozoa pada domba garut jantan. Kemudian mengevaluasi performa pejantan secara fisik dan reproduksi berdasarkan breeding soundness evaluation.

Penelitian ini dimulai dengan penimbangan bobot badan, pengamatan organ reproduksi yang terdiri dari pengukuran lingkar skrotum, keterabaan testis, keadaan dan konsistensi cauda epididymis. Kemudian dilanjutkan dengan penampungan semen dengan menggunakan vagina buatan dan terakhir mengevaluasi kualitas spermatozoa secara makroskopis dan mikroskopis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara bobot badan dengan lingkar skrotum, memiliki korelasi yang positif dan sangat nyata (P<0,01). Koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 0,525 yang dintepretasikan memiliki tingkatan agak rendah yang artinya adanya korelasi antara bobot badan dengan lingkar skrotum. Korelasi antara lingkar skrotum dengan konsentrasi spermatozoa tidak nyata (P>0,05) yang berarti tidak adanya korelasi antara lingkar skrotum dan konsentrasi spermatozoa. Berdasarkan pengujian breeding soundness evaluation, secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam kelas questionable karena ketidaksesuaian parameter lingkar skrotum domba garut yang berada di bawah nilai standar.

(42)

ABSTRACT

Relationship between body weight with scrotal circumference and sperm concentration of garut rams

Iqbal.M, C.Sumantri dan R.I. Arifiantini

Selection of a qualified ram can be determined through an evaluation which is conducted on his body and reproductive organs. The qualified ram condition is that it has good and healthy reproductive organs. One of reproductive organs which is easily visualized is testis. Testicular circumference is a parameter of semen production to estimate spermatozoa’s capacity and fertility. Therefore, the study is conducted to find out the correlation between ram testicular circumference and its semen quality. The study was aims to examine the correlation between body weight and testicular circumference as well as spermatozoa concentration on the garut ram. Afterwards, the study also aimed to evaluate the performance of ram body and reproductive organs based on breeding soundness evaluation. The result of the study showed that the correlation between body weight and testicular circumference was positive and highly significant (P<0.01) with the intermediate level. Meanwhile, another result has also showed that there is no correlation between testicular circumference and spermatozoa concentration.

Keywords : body weight, sperm concentration, scrotal circumference, breeding

(43)

1

HUBUNGAN BOBOT BADAN, LINGKAR SKROTUM

DAN KONSENTRASI SPERMATOZOA

PADA DOMBA GARUT JANTAN

MUHAMMAD IQBAL

D14070227

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(44)

2 Judul : Hubungan Bobot Badan, Lingkar Skrotum dan Konsentrasi Spermatozoa Nama : Muhammad Iqbal

NIM : D14070227

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

NIP. 19591212 198603 1 004 NIP. 19600804 198103 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian : 8 Mei 2012 Tanggal Lulus :

(45)

3 RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Agustus 1989 di Medan, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Zulkarnain dan Ibu Yetti Murni.

Pendidikan formal penulis yaitu dimulai dari sekolah dasar di SDN 5 Banda Aceh, sejak tahun 1995. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 3 Banda Aceh, pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2004. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Banda Aceh pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 dan pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun 2008 penulis kemudian masuk di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB.

(46)

4 KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT Tuhan seluruh alam karena berkat limpahan rahmat-Nya yang tak terhingga serta taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita sebagai sumber teladan dan pemimpin umat yaitu Rasulullah Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat, dan para pengikut setianya hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Hubungan Bobot Badan, Lingkar Skrotum dan Konsentrasi Spermatozoa pada Domba Garut Jantan “disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan, di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi salah satu bentuk peran aktif bagi mahasiswa sarjana (S1) dan juga kontribusi ilmu bagi dunia peternakan khususnya peternakan domba dengan harapan dapat memberikan informasi tentang hubungan bobot badan terhadap lingkar skrotum dan konsentrasinya pada domba garut jantan. Studi hubungan bobot badan dengan lingkar skrotum ini diharapkan dapat dijadikan penduga kualitas domba jantan. Diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat untuk pengembangan peternakan domba garut kedepannya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan. Amin.

Bogor, Mei 2012

(47)

5 Faktor yang Berpengaruh terhadap Ukuran Skrotum dan Testis ... 8 Fisiologi Semen ... 11

Penimbangan Bobot Badan dan Pengamatan Organ

(48)

6 Variabel yang diamati ... 20 Analisis Data ... 21 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22 Performa Reproduksi Domba ... 22 Kualitas Semen Domba Garut ... 23 Hubungan antara Bobot Badan dengan Lingkar Skrotum dan

(49)

7 DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Lingkar Skrotum Minimum pada Domba ... 5 2. Klasifikasi Domba berdasarkan Lingkar Skrotum, Motilitas,

dan Morfologi Spermatozoa dengan Teknik BSE ... 6 3. Karakteristik Semen Domba Garut ... 13 4. Umur dengan Berat Badan dan Lingkar Skrotum Domba Garut ... 23 5. Rataan Kualitas Semen Domba Garut ... 23 6. Distribusi Volume Semen pada Domba Garut ... 24 7. Distribusi Warna Semen pada Domba Garut ... 24 8. Distribusi Konsistensi Semen pada Domba Garut ... 25 9. Distribusi pH Semen pada Domba Garut ... 25 10. Distribusi Motilitas Spermatozoa pada Domba Garut ... 26 11. Distribusi Konsentrasi Spermatozoa pada Domba Garut ... 27 12. Distribusi Spermatozoa Hidup pada Domba Garut ... 28 13. Rataan Lingkar Skrotum, Konsentrasi Spermatozoa dan Bobot

pada Selang Umur tertentu ... 29 14. Rataan Lingkar Skrotum, Morfologi dan Motilitas

Domba Garut pada Kelompok Umur yang Berbeda ... 30 15. Rataan Lingkar Skrotum, Konsentrasi Spermatozoa dan

Umur pada Bobot Badan tertentu ... 30 16. Koefisien Korelasi dari Bobot Badan, Lingkar Skrotum

dan Konsentrasi Spermatozoa Domba Garut ... 32 17. Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien

(50)

8 DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(51)

9 DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Gambar

Gambar 1 Pengukuran Lingkar Skrotum dengan Menggunakan Pita Ukur
Gambar 2. Peralatan Vagina Buatan
Tabel 4. Umur dengan Berat Badan dan Lingkar Skrotum Domba Garut
Tabel 11. Distribusi Konsentrasi Spermatozoa pada Domba Garut
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tidak adanya hubungan antara bobot badan ternak domba Garut jantan dengan jumlah naik ( libido) dan jumlah ejakulasi (kemampuan kawin) disebabkan oleh dua

Sebanyak 15 ekor ayam jantan dari 3 jenis berbeda yang terdiri dari merawang, kampung, dan persilangan sentul kampung kedu (SK kedu) digunakan dalam penelitian.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ukuran statistik vital kambing Senduro jantan yang meliputi lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan memiliki hubungan yang sangat

Pakan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha peternakan. Salah satu permasalahan pakan yang sering dihadapi oleh peternak adalah fluktuasi

Pengukuran bobot badan ternak yang dilakukan dengan baik adalah sangat. membantu peternak dalam menentukan jumlah pemberian

Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kapasitas tampung organ pencernaan maka akan semakin baik penyerapan nutrisinya dan akan berdampak pula pada bobot

3 Hasil Analisis Korelasi dan Regresi Sederhana Hubungan antara Lingkar Dada dengan Bobot Badan Kambing Lokal Betina di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kambing

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ukuran statistik vital kambing Senduro jantan yang meliputi lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan memiliki hubungan yang sangat