• Tidak ada hasil yang ditemukan

CRITICAL REVIEW JURNAL POLA DISTRIBUSI S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "CRITICAL REVIEW JURNAL POLA DISTRIBUSI S"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

[Document subtitle]

(2)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 i KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan dan

rahmatnya kami dapat menyelesaikan tugas dari mata kuliah Analisa Lokasi dan

Keruangan yaitu Critical Review Jurnal: Pola Distribusi Minimarket di Kota-Kota

Kecil oleh Astri Aulia S, Adisti Madella Elmanisa dan Myra P Gunawan. Dimana

dalam tugas ini akan dibahas mengenai konsep dasar teori-teori yang mendasari

jurnal tersebut, analisis implikasi teori lokasi dengan lokasi yang dipilih, alasan

pemilihan lokasi yang relevan dengan teori, serta faktor-faktor lokasi.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing

mata kuliah Analisa Lokasi dan Keruangan, Arwi Yudhi Koswara, ST. dan Vely

Kukinul S, ST., MT. yang turut membimbing dalam penyelesaian makalah ini, serta

sumber-sumber terkait yang turut menjadi referensi makalah ini. Jauh dari semua

ini makalah masih sangat jauh dari kata sempurna untuk itu penulis mengharapkan

kritik dan saran dari para pembaca.

Surabaya, Maret 2016

(3)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 ii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penulisan ... 2

1.2 Sistematika Pembahasan ... 2

BAB II LANDASAN TEORI ... 4

2.1 Konsep Dasar Teori Central Place ... 4

2.2 Konsep Dasar Teori Ekonomi Aglomerasi Ritel ... 5

BAB III PEMBAHASAN ... 7

3.1 Alasan Pemilihan Lokasi ... 7

3.2 Faktor-Faktor Lokasi ... 8

3.3 Implikasi Teori Terhadap Lokasi yang Dipilih ... 10

BAB IV PENUTUP ... 14

4.1 Kesimpulan ... 14

4.2 Lesson Learned ... 15

(4)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdagangan dan jasa merupakan aspek penting dalam kehidupan

manusia sehari-hari. Kembali pada dasar manusia yang merupakan makhluk

sosial mengharuskan manusia harus bekerjasama dengan manusia lain untuk

memebuhi kebutuhan hidupnya. Jaman dulu masih banyak dilakukan

pertukaran barang atau yang biasa disebut barter, namun seiring

perkembangan zaman manusia mulai mengenal alat tukar yang lebih baik dan

efisien yang kita sebut uang. Jika pada masanya kita harus membawa barang

yang akan kita tukarkan dengan barang lainnya, saat ini kita hanya perlu

membawa uang bahkan kartu kredit untuk membeli barang yang kita inginkan

yang saat ini disebut jual beli.

Perkembangan toko penyedia barang dari tahun ke tahun juga semakin

berkembang. Jika dulu kita hanya bisa membeli kebutuhan sehari-hari di toko

kelontong, saat ini sudah banyak ditemui ritel modern yang jumlahnya

terkadang lebih banyak ketimbang toko kelontong sederhana. Perkembangan

ritel modern sendiri terbilang cukup pesat di Indonesia, terlebih saat otonomi

daerah diberlakukan. Dengan adanya otonomi daerah, setiap daerah berusaha

untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)nya masing-masing dan

tidak dapat dipungkiri bahwa ritel modern berskala besar seperti supermarket

dan hypermarket merupakan sumber pemasukan PAD yang cukup besar.

(Bappeda Kota Bandung, 2007; Natawidjaja, 2005)

Semakin hari pertumbuhan ritel modern semakin pesat, hingga muncul

fenomena pergeseran lokasi pertumbuhan ritel modern berskala kecil

(minimarket) yang dulunya hanya berada di kota-kota besar saat ini sudah

banyak ditemui di kota-kota kecil. Minimarket merupakan salah satu bentuk

sarana perdagangan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan individu

maupun keluarga. Pada umumnya minimarket berlokasi didekat permukiman

(5)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 2 Pola persebaran minimarket pada kota-kota kecil mempunyai pola

tersendiri dan untukmengamati pola tersebut diperlukan eksplorasi teori lokasi

yang dalam hal ini adalah teori lokasi central place (Christaller,1993). Dalam

penelitian ini dipilih wilayah studi yakni 3 kota kecil yang berdekatan dengan

Kota Bandung sebagai kota besarnya. Ketiga kota kecil tersebut memiliki

karakteristi yang berbeda, Soreang (kawasan pemerintahan), Lembang

(kawasan pariwisata, dan Tanjung Sari-Jatinagor (kawasan pendidikan dan

perdagangan). Pemilihan ketiga kota kecil tersebut diharapkan dapat mewakili

pola persebaran ritel modern skala kecil (minimarket) di kota-kota kecil di

Indonesia.

Pengambilan data dilakukan melalui survei sekunder dan primer.

Survei data sekunder meliputi data-data kependudukan, jumlah pengecer

modern dan tradisional, peraturanperaturan terkait dan studi-studi yang sudah

dilakukan sebelumnya. Pengambilan data primer dilakukan untuk melengkapi

data-data sekunder yang sudah dikumpulkan yaitu pemetaan lokasi

persebaran pengecer modern dan tradisional serta guna lahan sekitarnya.

Data jumlah dan persebaran pengecer modern dioverlay dengan persebaran

pengecer tradisional dan guna lahan sekitar sehingga hasil overlay akan

menghasilkan bauran pemasaran pengecer modern serta jangkauan

pelayanannya secara umum.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menjelaskan implikasi

Central Place Theory yang dicetuskan oleh Cristaller terhadap fenomena

lokasi dan keruangan pada wilayah dan kota.

1.3 Sistematika Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan, serta

(6)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 3 BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini berisi penjelasan dasar teori lokasi yaitu Central Place Theory

yang digunakan dalam studi kasus

BAB III PEMBAHASAN

Bab ini berisi pembahasan mengenai alasan pemilihan lokasi,

faktor-faktor lokasi, dan implikasi teori lokasi Central Place Theory terhadap lokasi

yang dipilih.

BAB IV PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan secara keseluruhan dari hasil makalah dan

(7)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 4 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Teori Central Place

Central Place theory dikemukakan oleh Walter Christaller pada 1933.

Teori ini menyatakan bahwa suatu lokasi dapat melayani berbagai

kebutuhan yang terletak pada suatu tempat yang disebutnya sebagai tempat

sentral. Tempat sentral tersebut memiliki tingkatan-tingkatan tertentu sesuai

kemampuannya melayani kebutuhan wilayah tersebut. Bentuk pelayanan

tersebut digambarkan dalam segi enam/heksagonal. Teori ini dapat berlaku

apabila memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Wilayahnya adalah dataran tanpa roman, semua wilayah datar dan

sama.

2. Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isotropis surface).

3. Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata

pada seluruh wilayah.

4. Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimalisasi

jarak/biaya.

Gambar 1. Bagan Central Place Theory

Pada intinya prinsip yang dikemukakan oleh Christaller ini adalah jarak

(range) dan ambang batas (threshold). Range adalah jarak jangkauan antara

penduduk dan tempat suatu aktivitas pasar yang menjual kebutuhan komoditi

atau barang. Sedangkan threshold (ambang batas) adalah jumlah minimum

(8)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 5 pemasokan barang atau jasa yang bersangkutan, yang diperlukan dalam

penyebaran penduduk atau konsumen dalam ruang (spatial population

distribution).

Gambar 2. Range dan Threshold dalam Central Place Theory

Dari komponen range dan threshold lahir prinsip optimalisasi pasar

(market optimizing principle). Prinsip ini antara lain menyebutkan bahwa

dengan memenuhi asumsi di atas, dalam suatu wilayah akan terbentuk wilayah

tempat pusat (central place).

Berdasarkan teori ini, terdapat dua hal mendasar yang menjadi

pertimbangan yaitu jarak dan ambang batas. Konsumen diasumsikan berada

pada tingkat pendapatan yang sama akan tersebar merata di seluruh wilayah

sehingga jarak adalah satu-satunya hambatan bagi konsumen dalam

melakukan perjalanan. Kombinasi jarak dan ambang batas ini akan

menggambarkan jangkauan pelayanan ritel. Bentuk jangkauan pelayanannya

adalah heksagonal sehingga model ini menggambarkan lokasi optimal bagi

gerai ritel karena mengkombinasikan antara jarak tempuh konsumen dengan

skala ekonomi optimal ritel.

2.2 Konsep Dasar Teori Ekonomi Aglomerasi Ritel

Teori ini dikembangkan oleh Hotelling yang menggambarkan model

pengelompokan kegiatan ritel dalam rangka memaksimalkan utilitas

konsumen. Menurut Hotelling, dua perusahaan yang menjual barang yang

homogen akan beraglomerasi di pusat pasar. Secara spesifik, perbedaan

sedikit harga pada pesaing tidak akan membuat pelanggan beralih karena

pelanggan membeli barang di suatu toko dikarenakan hal-hal yang lebih

bersifat non harga seperti pelayanan dari si pedagang, kualitas barang dan

(9)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 6 Menurut Webber (1972) dalam Eppli dan Benjamin (1993), teori

Hotelling akan terjadi jika konsumen berada dalam kondisi ketidakpastian.

Ketika konsumen merasa tidak pasti menemukan barang yang diinginkan di

ritel tertentu, maka cara untuk mengurangi ketidakpastian tersebut adalah

berbelanja di ritel yang beraglomerasi sehingga dapat mengurangi biaya

pencarian dan terjadi perbandingan antar toko. Namun disisi lain hal tersebut

dapat menyebabkan tumpang tindih dalam mendapatkan pelanggan

(Chamberlin, 1933).

Lalu Eaton dan Lipsey (1979) dalam Eppli dan Benjamin (1993),

menyatakan bahwa teori Hotelling secara sosial berguna karena

menggambarkan keinginan konsumen dalam hal untuk membandingkan toko

(10)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 7 BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Alasan Pemilihan Lokasi

Faktor demografi dapat dikatakan menjadi alasan utama dalam

pemilihan lokasi pengadaan ritel modern berskala kecil (minimarket).

Tinggunya jumlah penduduk perkotaan yang tidak diimbangi dengan

ketersediaan lahan diperkotaan besar yang semakin menipis menyebabkan

tumbuhnya kegiatan ritel modern di kota-kota kecil disekitas kota besar

khusunya ritle modern berskala kecil (minimarket). Kota-kota yang dipilih

berdasarkan perbedaan fungsi kotanya masing-masing, yakni Kawasan

Perkotaan Soreang sebagai kawasan pemerintahan, Kawasan Perkotaan

Lembang sebagai kawasan pariwisata, dan Kawasan Perkotaan Tanjungsari

sebagai kawasan perdagangan dan pendidikan. Kebanyakan toko pengecer

yang berada pada 3 kota kecil tersebut berada pada jalan-jalan utama kota

yang mengindikasikan pusat kegiatan dipengaruhi oleh aktivitas pergerakan.

Teori central place menjelaskan pola geografis dan struktur hirarki

pusat-pusat kota. Tiap wilayah perdagangan yang berbentuk heksagonal

memiliki pusatnya masing-masing. Besar kecilnya pusat-pusat tersebut adalah

sebanding dengan besar-kecilnya masing-masing heksagonal yang terbentuk.

Kota Bandung dan kota-kota kecil disekitarnya diasumsikan dalam

perdagangan heksagonal. Dengan kota Bandung sebagai heksagonal terbesar

dan memiliki pusat yang paling besar. Jika dilihat dari persebarannya, alasan

pemilihan lokasi lebih diprioritaskan untuk pengunjung yang lewat

khususnya dari dan menuju Kota Bandung.

Dari ketiga kota-kota kecil yang menjadi wilayah penelitian, Kawasan

Perkotaan Soreanglah yang memiliki jumlah penduduk terbesar. Besarnya

jumlah penduduk yang ada membuat jumlah toko baik modern maupun

tradisional di Kawasan Perkotaan Soreang berkembang dengan pesat.

Sedangkan Kawasan Perkotaan Tanjungsari yang berfungsi sebagai

kawasan perdagangan, namun pada kenyataannya perkembangan toko

(11)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 8 diakibatkan oleh keberadaan perguruan tinggi yang dapat memberikan

bangkitan permintaan yang lebih besar dari pusat perdagangan kotanya

sebdiri.

Sementara pada Kawasan Perkotaan Lembang, perkembangan toko

modern (minimarket) dan tradisional teralokasi di pinggir jalan utama

khususnya berdekatan dengan sarana pariwisata seperti hotel, restoran, toko

oleh-oleh, dan pasar turis.

Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di

setiap kawasan didalam suatu kota berbanding lurus dengan jumlah toko.

Semakin besar jumlah penduduk disuatu kawasan, maka jumlah toko modern

(minimarket) dan toko tradisional pun semakin besar. Selain itu,terdapat juga

fenomena beraglomerasinya toko-toko disatu lokasi khususnya toko modern.

3.2 Faktor – Faktor Lokasi Central Place Theory

Terdapat dua hal mendasar yang menjadi pertimbangan dalam teori

central place yaitu jarak (range) dan ambang batas (threshold). Jarak

merupakan komponen penting karena menganalisis seberapa jauh konsumen

mau melakukan perjalanan untuk membeli barang sedangkan ambang

batas adalah permintaan minimum yang dibutuhkan bagi sebuah toko agar

dapat melangsungkan usahanya.

Perkembangan Ritel Modern di Indonesia

Gambar 3. Perkembangan Ritel Modern di Indonesia Periode 1997-2003

(12)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 9 Perkembangan ritel modern di Indonesia dimulai pada tahun 1970-an

yang diawali dengan adanya keberadaan ritel modern yang berbentuk

supermarket. Pada periode 1968-1977 hanya ada satu supermarket yang

berdiri. Kemudian setelah tahun 1983, jumlah supermarket dan ritel modern

(khususnya yang berbentuk minimarket) meningkat pesat seiring dengan

pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita di Indonesia.

Gambar 4. Jumlah Toko Pengecer Tradisional dan Minimarket di 3 Kota Dibandingkan dengan Kebutuhan Jumlah Toko Berdasarkan Standar Jumlah Penduduk

Sumber: Hasil Pengolahan Data dari Survei Data Primer pada Minimarket dan toko Pengecer tradisional di Kota Tanjungsari, Soreang dan Lembang, 2009 dan SNI 1733

mengenai standar Perencanaan Lingkungan

Fenomena pertumbuhan ritel modern di Indonesia tidak mengalami

peningkatan secara menerus. Pada tahun 1998, terjadi krisis ekonomi di

Indonesia sehingga perkembangan ritel modern mengalami penurunan

khususnya untuk jumlah supermarket yang menurun sebesar 13%

(13)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 10 tradisional yang ada di Indonesia, terutama dalam hal peningkatan jumlah

pusat ritel pada pusat kota yang mulai menggantikan pasar tradisional, yang

disebabkan oleh jarak yang berdekatan antara keduanya, contohnya

hypermarket dan pasar tradisional (Kuncoro, 2008).

Perkembangan minimarket ini dimulai pada tahun 1988. Perusahaan

pertama yang masuk ke Indonesia adalah Indofood Group. Kemudian pada

tahun 1991, Hero Supermarket mendirikan Starmart dan pada tahun 1999 Alfa

Group mendirikan Alfa Minimart yang kemudian berganti nama menjadi

Alfamart.

Perkembangan Kebijakan (Produk Hukum) Ritel Modern di Indonesia

Keputusan Presiden No. 96 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang

Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi

Penanaman Modal mengawali kebijakan mengenai ritel modern di Indonesia.

Secara spasial, penataan lokasi ritel modern tersebut diatur dalam Peraturan

Presiden (Perpres) Republik Indonesia nomor 112 tahun 2007 tentang

Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko

Modern. Dalam aturan tersebut menerangkan bahwa pendirian pusat

perbelanjaan atau toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi

masyarakat, keberadaan Pasar Tradisional, Usaha Kecil dan Usaha

Menengah yang ada di wilayah yang bersangkutan dan juga memperhatikan

jarak antara Hypermarket dengan Pasar Tradisional yang telah ada

sebelumnya. Sedangkan ritel modern jenis minimarket boleh beroperasi pada

setiap sistem jaringan jalan termasuk sistem jaringan jalan lingkungan pada

kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan.

3.3 Implikasi Teori Terhadap Lokasi yang Dipilih

Kawasan Perkotaan Tanjungsari

Kawasan Perkotaan Tanjungsari yang memiliki jarak 30 km dari Kota

Bandung dan merupakan daerah yang diarahkan untuk membantu

mengendalikan arus desa kota dan ketergantungan pelayanan ke kota

Bandung (counter magnet). Sebagai Kota yang mendapat dampak dari

(14)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 11 perkembangan pada sektor-sektor penunjang perkotaan, khususnya pada

sektor perdagangan.

Jumlah ritel modern di Kawasan Perkotaan Tanjungsari adalah 9 buah

dan terdiri dari 2 toko berupa pasar swalayan yang berada di pusat-pusat

kegiatan pendidikan dan pusat perdagangan serta 7 toko berupa minimarket

yang tersebar di seluruh pusat kegiatan di kota. Jumlah pengecer tradisional

berupa toko kelontong/warung sangat besar dan tersebar hampir di seluruh

wilayah Kota Tanjungsari.

Kebanyakan toko-toko tersebut berada dipinggir jalan utama.

Perkembangan Kota Tanjungsari yang bersifat ribbon development menjadi

salah satu penyebab toko kelontong dan minimarket terkonsentrasi di

sepanjang jalan utama yang menghubungkan Kota Tanjungsari dengan kota

lain di sekitarnya.

Gambar 5. Sebaran Pengecer Modern dan tradisional di Kawasan Perkotaan Tanjungsari

Kota Tanjungsari terbagi menjadi 2 kawasan yaitu kawasan

perdagangan dan pendidikan. Karakteristik persebaran pengecer di kawasan

pendidikan dan kawasan perdagangan. Dengan melihat gambar diatas dan

tabel data, dapat diketahui bahwa persebaran toko dikawasan pendidikan lebih

tinggi daripada kawasan perdagangan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya

(15)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 12 Kawasan Perkotaan Soreang

Status Kota Soreang dalam konstelasi Wilayah Metropolitan Bandung

adalah sebagai kota satelit 1 yaitu kawasan perkotaan di sekitar dan /atau

terkait langsung dengan kota inti Bandung, Cimahi. Pertumbuhan penduduk di

kota yang berjarak 20 km dari Kota Bandung ini semakin meningkat dengan

laju pertumbuhan penduduk rata-rata 3.15 % dari tahun 2004- 2007

menyebabkan pengeluaran untuk makanan khususnya makanan jadi menjadi

meningkat.

Kota Soreang berkembang dengan pola ribbon development sehingga

tidak heran bahwa banyak terlihat berdirinya minimarket disepanjang jalan

arteri sekunder seperti di Jalan Terusan Kopo-Jalan Raya Soreang.

Berdasarkan tabel, persebaran toko kelontong teralokasi di Desa Cingcin,

Soreang dan Pamekaran. Sedangkan persebaran minimarket hanya terdapat

di desa Pamekaran, Cingcin dan Sekarwangi.

Gambar 6. Sebaran Pengecer Modern dan tradisional di Kawasan Perkotaan Soreang

Jika dilihat dari persebarannya, minimarket di kawasan pemerintahan

lebih sedikit dibandingkan pada kawasan perdagangan. Minimarket yang

berada di kawasan pemerintahan hanya terdapat di dalam kawasan

perkantoran Pemerintahan dan berbentuk koperasi. Sementara banyaknya

minimarket di kawasan perdagangan memiliki pangsa pasaryang lebih besar.

Lokasinya yang berada pada pinggiran jalan utama membuat pangsapasar

(16)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 13 Kawasan Perkotaan Lembang

Salah satu kegiatan yang berkembang di kota ini adalah ritel modern

yang diwakili oleh minimarket terwaralaba seperti Alfamart, Yomart, dan

Indomaret. Persebaran minimarket dan toko kelontong di Kota Lembang tidak

hanya berlokasi di sepanjang jalan utama yaitu Jalan Raya Lembang, namun

juga terdapat di permukiman penduduk.

Persebaran minimarket teralokasi di Desa Jayagiri, Lembang dan

Kayuambon. Jika dilihat dari jumlah penduduknya, Desa Jayagiri dan Lembang

memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi sehingga persebaran minimarket

dimungkinkan karena alasan demografis.

Jika dilihat dari persebarannya, terdapat 3 minimarket yang berlokasi

di jalan utama tersebut berada di pusat kota, bahkan ada yang posisinya

beraglomerasi. Aglomerasi dapat terjadi karena di dekatnya terdapat pasar

turis sehingga dapat menangkap pangsa pasar dari wisatawan.

Gambar 7. Sebaran Pengecer Modern dan tradisional di Kawasan Perkotaan Lembang

Dari data diatas, dapat dilihat persebaran minimarket di Desa Kayu

Ambon tidak didasarkan atas jumlah penduduknya, namun didasarkan atas

kedekatannya dengan lokasi-lokasi tertentu yaitu pasar tradisional dan

(17)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 14 BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada jurnal yang berjudul “Pola Distribusi Spasial Minimarket di Kota -Kota Kecil” ini didasari oleh beberapa teori, yang pertama adalah teori central place. Teori ini dikemukakan oleh Walter Christaller pada Tahun 1933. Teori

ini menyatakan bahwa suatu lokasi dapat melayani berbagai kebutuhan yang

terletak pada suatu tempat yang disebutnya sebagai tempat sentral. Tempat

sentral tersebut memiliki tingkatan-tingkatan tertentu sesuai kemampuannya

melayani kebutuhan wilayah tersebut. Bentuk pelayanan tersebut

digambarkan dalam segi enam/heksagonal. Sehingga dapat menjelaskan pola

geografis dan struktur hirarki pusat-pusat kota.

Selain itu juga didasari oleh teori ekonomi aglomerasi ritel. Teori ini

dikembangkan oleh Hotelling yang menggambarkan model pengelompokan

kegiatan ritel dalam rangka memaksimalkan utilitas konsumen. Menurut

Hotelling, dua perusahaan yang menjual barang yang homogen akan

beraglomerasi di pusat pasar. Teori Hotelling akan terjadi jika konsumen

berada dalam kondisi ketidakpastian. Ketika konsumen merasa tidak pasti

menemukan barang yang diinginkan di ritel tertentu, maka cara untuk

mengurangi ketidakpastian tersebut adalah berbelanja di ritel yang

beraglomerasi sehingga dapat mengurangi biaya pencarian dan terjadi

perbandingan antar toko. Namun disisi lain hal tersebut dapat menyebabkan

tumpang tindih dalam mendapatkan pelanggan (Chamberlin, 1933).

Pengambilan data dilakukan melalui survei sekunder dan primer. Data

jumlah dan persebaran pengecer modern dioverlay dengan persebaran

pengecer tradisional dan guna lahan sekitar sehingga hasil overlay akan

menghasilkan bauran pemasaran pengecer modern serta jangkauan

pelayanannya secara umum.

Setelah dilakukan proses analisis dihasilkan bahwa perkembangan ritel

modern di kota-kota kecil memiliki karakteristiknya tersendiri. Jika dikaitkan

(18)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 15 tersebut (Soreang, Tanjungsari, dan Lembang) cenderung berada di kawasan

yang sesuai dengan fungsi kotanya kecuali Kota Soreang yang fungsi utama

kotanya sebagai pemerintahan. Ritel modern yang berkembang di kawasan

perkotaan tersebut berbentuk minimarket yang tersebar di sepanjang jalan

utama. Hal ini sudah sesuai dengan syarat yang ada dalam Perpres 112/2007

yang menyatakan bahwa minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem

jaringan jalan.

Berdasarkan pola persebaran yang sudah ditunjukkan pada tulisan ini,

kejelasan mengenai aturan jarak menjadi penting. Hal ini diduga dapat

memberikan dampak tertentu pada kawasan yang diteliti, khususnya dalam hal

adanya tumpang tindih jangkauan pelayanan ritel modern dan tradisional,

kinerja ritel tradisional dan pengaruh ritel modern terhadap perilaku

masyarakat. Sebagai langkah lanjutan dari tulisan ini, maka dibutuhkan suatu

penelitian mengenai isu-isu tersebut secara lebih mendalam.

4.2 Lesson Learned

Lesson learned yang dapat diperoleh dari pembahasan diatas adalah

ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola persebaran minimarket.

Salah satunya dijelaskan pada teori central place dimana suatu minimarket

pasti mencari lokasi yang dirasa dapat melayani berbagai kebutuhan yang

terletak pada suatu tempat yang disebutnya sebagai tempat sentral. Selain itu

juga dipengaruhi oleh perkembangan serta aturan dan kebijakan mengenai

ritel modern di Indonesia.

Jika melihat pada teori central place, penentuan lokasi dipengaruhi oleh

jarak dan ambang batas. Dalam hal ini jarak adalah seberapa jauh konsumen

mau melakukan perjalanan untuk membeli barang sedangkan ambang

batas adalah permintaan minimum yang dibutuhkan bagi sebuah toko agar

dapat melangsungkan usahanya. Selain itu perkembangan minimarket di

Indonesia berkecenderungan berada pada pusat-pusat kegiatan. Hal inilah

yang menyebabkan pengembangan lokasi ritel modern dari pusat kota besar

menuju kota-kota kecil disekitarnya yang masih terhubung.

Berdasarkan kebijakan pemerintah Indonesia melalui Peraturan

(19)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 16 Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dapat

diketahui bahwa ritel modern terutama minimarket dapat berlokasi di jalan

utama hingga jalan lingkungan dan dapat berdampingan dengan pasar

tradisional dengan jarak tertentu.

Dari konsep aglomerasi dapat menjadi salah satu solusi yang diambil

pengusaha bidang ritel modern. Langkah ini diambil untuk mendapatkan profit

yang besar dengan cara memilih lokasi yang menjadi titik ekulibrium bagi

wilayah pasar. dengan begitu aksesbilitas barang yang akan disebarkan dari

titik tersebut aka mudah menjangkau tempat penjualan yang bisa berupa

(20)

ANALISIS LOKASI DAN KERUANGAN 2016 17 DAFTAR PUSTAKA

Aulia S, Astri., dkk. 2009. Pola Distribusi Spasial Minimarket di Kota-Kota Kecil. Jurnal Perencanaan Wilayah dan kota. Volume 20

Bappeda Kota Bandung, 2007. Laporan Akhir Kajian Dampak Pembangunan Pasar Modern terhadap Eksistensi Pasar Tradisional di Kota Bandung

Peraturan Presiden no.112 tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional,Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.

Gambar

Gambar 1. Bagan Central Place Theory
Gambar 2. Range dan Threshold dalam Central Place Theory
Gambar 3.  Perkembangan Ritel Modern di Indonesia Periode 1997-2003
Gambar 4. Jumlah Toko Pengecer Tradisional dan Minimarket di 3 Kota Dibandingkan dengan Kebutuhan Jumlah Toko Berdasarkan Standar Jumlah Penduduk
+4

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun

70/M- DAG/PER/12/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, bahwa pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan

Perpres No 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik

Dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, kabupaten memiliki kewenangan

Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, yang dimaksud dengan

70/M- DAG/PER/12/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, bahwa pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan

Implementasi perpres No.112 Tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional pusat perbelanjaan dan toko modern di Kelurahan Benteng Kecamatan Bangkala

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.. Jakarta :