• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan Bakteri Legionella pada Ruangan Ber AC dan Karakteristik serta Keluhan Kesehatan Pegawai di Kantor Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberadaan Bakteri Legionella pada Ruangan Ber AC dan Karakteristik serta Keluhan Kesehatan Pegawai di Kantor Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

Keterangan Gambar : Kantor Gubernur

:

(2)

KEBERADAAN BAKTERI LEGIONELLA PADA RUANGAN BER AC DAN KARAKTERISTIK SERTA KELUHAN KESEHATAN PEGAWAI DI

KANTOR GUBERNUR SUMATERA UTARA TAHUN 2014

Petunjuk pengisian

1. Berilah tanda ceklis ( v ) pada kolom/ kotak yang telah disediakan yang mewakili jawaban anda!

2. Jika jawaban bukan berupa pilihan, maka isilah pada garis bawah ( _ ) yang tersedia.

Lokasi Pengisian : Lantai : ______

A. LATAR BELAKANG / KARAKTERISTIK RESPONDEN 1. Nama responden : ______________________

2. Umur responden : ______ tahun

3. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

4. Pendidikan : Tamat SMA

D3

Sarjana/S1 S2 / S3 5. Lama kerja di kantor ini : 1. < 5 tahun

2. > 5 tahun

(3)

8. Apakah Sdr. memiliki riwayat penyakit alergi dingin ?

1. Ya 2. Tidak

B. KELUHAN KESEHATAN

1. Apakah selama seminggu Sdr. bekerja di ruangan ini dalam kondisi sehat ?

1. Ya 2. Tidak

2. Apakah Saudara memiliki riwayat penyakit lain seperti DM, Paru-paru dan Asma ?

1. Ya 2. Tidak

3. Apakah selama seminggu Sdr. bekerja dalam ruangan ada mengalami gangguan kesehatan ?

1. Ada 2. Tidak Ada

* Jika jawaban saudara Ada, maka lanjut ke pertanyaan berikutnya * Jika Jawaban Saudara Tidak Ada, maka cukup berhenti di pertanyaan tersebut dan terima kasih telah mengisi kuesioner ini.

4. Selama seminggu bekerja dalam ruangan keluhan apa saja yang anda rasakan ?

Keluhan Kesehatan Ya Tidak

a. Demam

b. Sakit Tenggorokan c. Mulut Kering d. Batuk Kering

e. Pilek / Hidung tersumbat

(4)
(5)
(6)

86 Ervan 51 4 1 3 2 9 2 1 2

87 Widya 37 2 2 3 2 10 2 2 2

88 Putriyanti 28 1 2 2 1 8 1 2 2

89 Rahmadsyah 47 3 1 1 2 8 1 2 1

90 Nadila 40 2 2 3 2 8 1 2 2

91 Sofyan T 42 3 1 3 2 10 2 2 2

92 Abdul Farid 39 2 1 1 2 8 1 2 2

93 Ali Yakub 28 1 1 2 2 8 1 2 2

94 Hasan 28 1 1 3 2 8 1 2 2

(7)
(8)
(9)

Umur Responden (dalam tahun)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 21-30 22 23.2 23.2 23.2

31-40 37 38.9 38.9 62.1

41-50 29 30.5 30.5 92.6

>50 7 7.4 7.4 100.0

Total 95 100.0 100.0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-Laki 67 70.5 70.5 70.5

Perempuan 28 29.5 29.5 100.0

Total 95 100.0 100.0

Pendidikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tamat SMA 42 44.2 44.2 44.2

D3 11 11.6 11.6 55.8

S1 41 43.2 43.2 98.9

S2 1 1.1 1.1 100.0

(10)

Valid < 5 21 22.1 22.1 22.1

>5 74 77.9 77.9 100.0

Total 95 100.0 100.0

Lama Kerja (dalam hari)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid yang bekerja < 8 jam 60 63.2 63.2 63.2

yang bekerja > 8 jam 35 36.8 36.8 100.0

Total 95 100.0 100.0

Perilaku Merokok

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 27 28.4 28.4 28.4

Tidak 68 71.6 71.6 100.0

(11)

Lampiran 6.

Hasil Output Data Analisa SPSS Keluhan Kesehatan

Valid Ya 11 11.6 11.6 11.6

Tidak 84 88.4 88.4 100.0

Total 95 100.0 100.0

Dalam Kondisi Sehat

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 94 98.9 98.9 98.9

Tidak 1 1.1 1.1 100.0

Total 95 100.0 100.0

Riwayat Penyakit Lain

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 4 4.2 4.2 4.2

Tidak 91 95.8 95.8 100.0

(12)

Valid Ya 67 70.5 70.5 70.5

Tidak 28 29.5 29.5 100.0

Total 95 100.0 100.0

Demam

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 8 11.9 11.9 11.9

Tidak 59 88.1 88.1 100.0

Total 67 100.0 100.0

Sakit Tenggorokan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 23 34.3 34.3 34.3

Tidak 44 65.7 65.7 100.0

(13)

Valid Ya 18 26.9 26.9 26.9

Tidak 49 73.1 73.1 100.0

Total 67 100.0 100.0

Flu

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 19 28.4 28.4 28.4

Tidak 48 71.6 71.6 100.0

Total 67 100.0 100.0

Mulut Kering

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 14 20.9 20.9 20.9

Tidak 53 79.1 79.1 100.0

(14)

Gam

Gam

Gambar Lampiran 1. Kantor Gubernur Sumatera Uta

Gambar Lampiran 2. Ruangan Biro Protokol

(15)
(16)
(17)
(18)
(19)

non infeksi. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Aditama, T. Y. Hastuti, T. 2002. Kesehatan Dan Keselamatan Kerja. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Aditama, T.Y. Andarini, S.L. 2002. Sick Building Syndrome. Jurnal Med J Indones Vol.11 No.2. Jakarta.

Arismunandar, W. dan Saito, H. 2002. Penyegar Udara. PT Pradnya Paramitha. Jakarta.

Baechler, Mc, et al. 1991. Sick Building Syndrome : Source, Health Effects, Mitigation. New Jersey : Noyes Data Corporation.

Benenson, S.A. 1995. Editor, Control of Communicable Desease Manual. 16 th Edition. An official Report of Tha America Public Health Association.

Chandra, B. 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2001. Pedoman Umum Penyehatan Lingkungan Tempat Umum. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2002. Program Pemberantasan Penyakit Menular Dan Penyehatan Lingkungan Terpadu. Depatemen Kesehatan RI. Jakarta.

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1538/MENKES/SK/XI/2003 Tentang Standar Pengelolaan Spesimen Legionella, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

(20)

Evans, S.A. Brachman, S.P. 1991. Bacterial Infection of Human, Epidemiology and Control. 2nd edition, Plenum Medical Book Company. New York and London.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kasinius. Yogyakarta.

Gandjar, I, et al, 1992. Pedoman Praktikum Mikrobiologi Dasar. FMIPA UI. Depok.

Harrianto, R. 2008. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Harrop, O.D. 2002. Air Quality Assesment and Management. Spon Press. USA and Canada

Hoffman, P., Herman, F, Mauro, B. 2008. Legionella pneumophila. Spinger Science + Business Media. New York.

Institute of Environmental Epidemiology, Ministry of The Environment. 2001. Code of Practice For the Control of Legionella Bacteria. Singapore.

Jawetz, Melnick & Adelberg’s. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Penerjemah dan Editor Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1405/MENKES/SK/XI/2002. Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 261/MENKES/SK/II/1998. Tentang

Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja.

Kusnoputranto. 2002. Kesehatan Lingkungan Permukiman dan Perkantoran. Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.

Malaka, T. 1998. Kualitas Udara Ruangan dan Kesehatan. Di dalam Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXVI. Nomor 8: 440-444. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Penerbit Media

(21)

Marmot, AF., Aley, J, Stafford, M, Stansfeld., Warwick, E. 2006. Building Health: an epidemiological study of sick building syndrome in the white hall II study. Occupational Environmental Med; 283-289.

Media Indonesia. Awas Bahaya Legionnaris!. Terbitan 16 Mei 1999.

Mukono. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan Edisi 2. Airlangga University Pers. Surabaya.

Nazir, M. 2003. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. NIOSH.1989. Indoor Air Quality. Ohio. Selected Reference.

Nursalam. 2000. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Prakash, A. 2004. Water Resources Engineering Civil. The American Society of Engineers Press. Virginia

Pudjiastuti, L. Rendra, S. Santosa, H.R. 1998. Kualitas Udara Dalam Ruang. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Puslitbang Pemberantasan Penyakit Badan Litbangkes Subdit Pengendalian Dampak Pencemaran Udara dan Kebisingan Ditjen PPM-PL. 2001. Modul Pelaksanaan dan Pelatihan Pengendalian Legionellosis Berbasis Lingkungan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Ruth, S. 2009. Gambaran Kejadian Sick Building Syndrome (SBS) dan Faktor-Faktor yang Berhubungan Pada Karyawan PT Elnusa Tbk di Kantor Pusat Graha Elnusa Tahun 2009. Skripsi S1 FKM UI. Depok.

(22)

Spengler, et al. 2000. Indoor Air Quality Handbook. McGraw-Hill, Companies, Inc. United States of America.

Thorn, E.W. 1998. Hoof’s Mouth Disease. CSS Publishing Company, Inc. Lima Ohio

Tilman, M. 2006, Environmental Toxicants : Human Exposure and Their Health Effects. 2nd edn, John Wiley & Sons, Inc, Hoboken. New Jersey.

(23)

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk melihat keberadaan bakteri legionella pada ruangan ber AC dan karakteristik serta keluhan kesehatan pegawai di Kantor Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kantor Gubernur Sumatera Utara pada lantai 1 di Ruang Bagian Protokol dan lantai 4 di Ruang Bagian Pemerintahan Provinsi. Dimana dengan kriteria ruangan tersebut menggunakan AC sentral, dengan jumlah pegawai terbanyak, lama kerja pegawai serta tingginya aktivitas pegawai yang dilakukan didalam ruangan tersebut.

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2014. 3.3 Populasi dan Sampel

(24)

3.4 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah pemeriksaan bakteri legionella pada cooling tower AC sentral dan pada ruangan yang menggunakan AC sentral beserta pengukuran suhu dan kelembaban udara ruangan, serta karakteristik dan keluhan kesehatan pegawai yang berada pada lantai empat kantor GUBSU.

3.5 Metode Pengumpulan Data 3.5.1 Data Primer

1. Data hasil pemeriksaan sampel bakteri legionella sp yang di cooling tower AC sentral dan pada ruangan lantai 1 dan lantai 4 yang menggunakan AC sentral serta pengukuran suhu dan kelembaban udara ruangan.

2. Pengambilan data karakteristik dan keluhan kesehatan pegawai yang berada dalam ruangan dilaksanakan dengan menggunakan kuesioner

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Kantor Gubernur Sumatera Utara, perpustakaan serta literatur–literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.

3.6 Pelaksanaan Penelitian

3.6.1 Pengambilan dan Pengiriman Sampel ke Laboratorium

1. Pada cooling tower AC sentral, sampel air yang berada pada cooling tower ditampung dan dimasukkan kedalam botol sampel sebanyak 100 ml, lalu tutup botol sampel dan di beri label.

(25)

menempel di AC sentral, lalu masukkan Swab AC tersebut kedalam botol kedua yang berisi NaCl lalu tutup botol dan diberi label .

3. Masukkan sampel kedalam kotak pendingin (ice box) yang berisi kantong pendingin (ice pack) tutup rapat kotak pendingin.

4. Sampel di kirim ke laboratorium yang dilengkapi dengan data-data lapangan.

3.6.2 Pemeriksaan Bakteri Legionella di Laboratorium A. Alat dan Bahan

1. Tabung Reaksi

2. Waterbath

3. Desikator 4. Kapas

5. Media BCYE (Buffer Charcoal Yeast Extract) 6. Larutan NaCl

B. Prosedur Kerja

Untuk pemeriksaan bakteri legionella pada cooling tower AC sentral dan pada AC di ruangan prosedur kerja yang dilakukan sama yaitu :

(26)

2. Ada tiga tabung reaksi yaitu cooling tower, ruangan lantai 1 dan ruangan lantai 4 yang diberi label.

3. Setelah itu ketiga tabung reaksi tersebut di panaskan pada suhu 60°C dengan waterbath, kemudian di centrifuge sehingga terbentuk larutan dan endapan di dalam tabung reaksi.

4. Kemudian larutan yang ada di dalam tabung reaksi tersebut di buang, dan yang tersisa hanya endapannya saja.

5. Tambahkan NaCl kembali kedalam tabung reaksi yang berisi endapan tersebut, lalu di kocok hingga larutan menjadi satu.

6. Setelah itu ambil 1 ml larutan yang ada pada tabung reaksi tersebut, kemudian letakkan di media BCYE.

7. Masukkan media BCYE kedalam desikator, kemudian inkubasi dengan suhu 37°C selama 2–5 hari untuk melihat keberdaan bakterinya. 8. Setelah 2-5 hari dapat di lihat pada media BCYE bakteri legionella

yang tumbuh, karena media BCYE ini khusus bakteri legionella saja yang tumbuh, bakteri yang lainnya tidak dapat tumbuh pada media ini. Lalu catat hasilnya positif atau negatif.

3.7 Definisi Operasional

(27)

2. Suhu adalah parameter fisik udara yang diukur langsung dilokasi untuk menyatakan tekanan panas dalam ruangan dengan menggunakan thermometer (satuan °C).

3. Kelembaban Udara adalah parameter fisik udara yang menyatakan perbandingan relatif temperatur basah dan kering udara ruangan dan diukur langsung dengan alat hygrometer.

4. Keluhan kesehatan adalah gangguan – gangguan kesehatan yang pernah dialami para responden di dalam ruangan ber AC yang terpapar selama dalam waktu bekerja.

5. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang dicapai oleh pegawai. 6. Lama Kerja adalah perhitungan jumlah masa berkerja dalam tahun pada

pekerja di kantor GUBSU terhitung sejak hari pertama mulai bekerja hingga hari saat dilakukan penelitian.

7. Perilaku Merokok adalah kebiasaan pegawai merokok di dalam ruangan. 8. Alergi dingin adalah riwayat penyakit alergi dingin yang dialami pegawai

semasa hidupnya, yang timbul saat terpajan dengan suhu rendah dipersepsikan dingin secara subjektif oleh tubuhnya.

3.8 Aspek Pengukuran

(28)

3.8.1 Bakteri Legionella spp

Untuk mengetahui keberadaan bakteri legionella di dalam AC sentral, pengambilan sampel pada cooling tower AC sentral gedung dan pada ruangan yang menggunakan AC sentral, untuk mendukung keberadaan bakteri

legionella diperiksa juga suhu dan kelembaban udara pada ruangan.

Pemeriksaan bakteri legionella dilakukan dengan uji laboratorium dengan hasil ukur :

1. Positif (+) jika terdapat bakteri legionella.

2. Negatif (-) jika tidak terdapat bakteri legionella.

3.8.2 Karakteristik Responden 1. Umur

Untuk mengetahui umur responden pada saat penelitian diajukan satu butir pertanyaan berbentuk kuesioner, dengan penilaian dikategorikan sebagai berikut :

1. Pegawai yang ber umur 21-30 tahun 2. Pegawai yang ber umur 31-40 tahun 3. Pegawai yng ber umur 41-50 tahun 4. Pegawai yang berumur ≥ 50 Tahun 2. Jenis Kelamin

(29)

3. Pendidikan

Untuk mengetahui jenjang pendidikan responden, dikategorikan sebagai berikut :

1. Tamat SMA 2. D3

3. Sarjana 4. S2/S3. 4. Lama Kerja

Untuk mengetahui lamanya pegawai bekerja di ruangan yang diteliti, diajukan dua pertanyaan pada kuesioner yang di kategorikan sebagai berikut :

a. Lama kerja per tahun 1. Lama bekerja ≤ 5 tahun 2. Lama bekerja ≥ 5 tahun b. Lama kerja per hari

1. Yang bekerja < 8 jam per hari 2. Yang bekerja > 8 jam per hari 5. Perilaku Merokok

Untuk mengetahui perilaku merokokpegawai di ruangan yang ber AC, diajukan satu pertanyaan pada kuesioner.

6. Alergi Dingin

(30)

3.8.3 Keluhan Kesehatan

Keluhan kesehatan dilihat berdasarkan keluhan kesehatan yang dialami responden selama bekerja dalam ruangan ber AC, yaitu :

1. Demam

2. Sakit Tenggorokkan 3. Mulut Kering 4. Batuk

5. Pilek

3.9 Teknik Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan cara: 1. Editing

Memeriksa data terlebih dahuu apakah telah sesuai seperti yang diharapkan, misalnya memeriksa kelengkapan, kesinambungan dan keseragaman data. 2. Koding

Menyederhanakan semua jawaban jika cara pengumpulan data menggunakan pertanyaan. Menyederhanakan jawaban tersebut dilakukan dalam bentuk memberikan simbol-simbol tertentu.

3. Tabulasi

(31)

3.10 Teknik Analisa Data

Data yang telah diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium bakteri

legionella dan pemeriksaan suhu serta kelembaban ruangan ditabulasi dan disajikan

(32)

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Gubernur Sumatera Utara Jalan Diponegoro No. 30 Medan. Kantor ini merupakan pusat pemerintahan Sumatera Utara yang terletak di Pusat Kota Medan. Pada awalnya Kantor Gubernur Sumatera Utara berada di Jalan Pancing, kemudian di pindahkan ke pusat kota, agar lebih mudah dalam mengatur urusan pemerintahan di Sumatera Utara. Kantor Gubernur Sumatera Utara ini di bangun pada tanggal 27 februari 1996.

Kantor Gubernur Sumatera Utara ini mulai beroperasi pada tahun 2000 yang diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Sekarang bangunan ini sudah 14 tahun berdiri dengan masih adanya renovasi-renovasi disetiap bangunan yang menampung 1.099 pegawai. Kantor ini terdiri atas 12 lantai, dari basement sampai lantai 11 dan kantor ini menggunakan AC sentral sebagai sistem pendingin di dalam ruangan meskipun ada sebagian ruangan menggunakan AC lokal.

Adapun keterangan setiap lantai Kantor Gubernur Sumatera Utara adalah :

- Lantai satu terdiri dari Badan Kepegawaian Daerah, Biro Umum, Bank Sumut, dan Biro Protokol atau Rumpkin.

- Lantai dua terdiri dari Biro Keuangan

- Lantai tiga terdiri dari Biro Hubungan Masyarkat Pimpinan dan Biro Bina Sosial

(33)

- Lantai enam terdiri dari Korpri PROPSU, Kantor PDE dan Kantor Pembinaan Perempuan

- Lantai tujuh Biro Otonomi daerah, Biro Organisasi, dan Biro Hukum - Lantai delapan Ruangan Asisten I - IV

- Lantai Sembilan Ruangan Sekda PROPSU dan Ruangan Wakil Gubernur Sumatera Utara

- Lantai Sepuluh Ruangan Gubernur Sumatera Utara

(34)

4.2 Karakteristik Pegawai

Untuk mendapatkan gambaran tentang karakteristik pegawai yang bekerja di Kantor Gubernur Sumatera Utara dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Setelah dilakukan analisa, di dapat gambaran tentang karakteristik pegawai dan distribusinya sebagaimana dituangkan dalam tabel-tabel berikut ini.

4.2.1 Umur

Umur pegawai dalam penelitian ini dikelompokkan dalam 10 tahun dengan umur terendah 21 tahun dan umur tertinggi > 50 tahun maka dari 95 pegawai yang diteliti diperoleh data hasil sebagai berikut :

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Pegawai Kantor Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014

No. Umur Responden (Tahun) Jumlah Persentase (%)

1 21-30 22 23,2

2 31-40 37 38,9

3 41-50 29 30,5

4 >50 7 7,4

Jumlah 95 100,0

Tabel 4.1 diketahui pegawai lebih banyak berumur 31-40 tahun yaitu sebanyak 37 orang (38,9%), pegawai yang berumur 41-50 tahun sebanyak 29 orang (30,5%), pegawai lainnya yaitu berumur 21-30 tahun sebanyak (23,2%) dan paling sedikit berumur > 50 tahun yaitu sebanyak 7 orang (7,4%).

4.2.2 Jenis Kelamin

(35)

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pegawai Kantor Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014

No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

1

Tabel 4.2 diketahui bahwa pegawai lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 67orang (70,5%) dan pegawai perempuan sebanyak 28 orang (29,5%). 4.2.3 Tingkat Pendidikan

Distribusi responden menurut tingkat pendidikan pegawai Kantor Gubernur Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Pegawai Kantor Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014

(36)

4.2.4 Lama Kerja

Distribusi responden menurut lama kerja pegawai Kantor Gubernur Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Tabel 4.5

Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Kerja Per Tahun Pegawai di Kantor Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014

No. Lama Kerja (Per Tahun) Jumlah Persentase (%)

1

Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Kerja Per Hari Pegawai di Kantor Gubernur Sumatera Utara 2014

No. Lama Kerja Per Hari Jumlah Persentase (%)

1 2

Yang Bekerja < 8 jam per hari Yang Bekerja > 8 jam perhari

60 35

63,2 36,8

Jumlah 95 100,0

Berdasarkan tabel 4.4 dan 4.5 dapat dilihat bahwa sebagian besar pegawai telah bekerja di Kantor Gubernur Sumatera Utara ini selama > 5 tahun adalah 74 orang (77,9%), selebihnya bekerja < 5 tahun (22,1%) dan kebayakan pegawai berada dalam ruangan ber AC selama < 8 jam per hari adalah 63,2%.

4.2.5 Perilaku Merokok

(37)

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok Pegawai di Dalam Ruangan Kantor Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014

No. Perilaku Merokok Jumlah Persentase (%)

1 merokok dalam ruangan yaitu 71,6% dan sisanya, 28,4% pegawai masih merokok. 4.2.6 Alergi Dingin

Distribusi responden berdasarkan riwayat penyakit alergi dingin yang diderita pegawai Kantor Gubernur Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 4.7

Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Penyakit Alergi Dingin yang Diderita Pegawai Kantor Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014

No. Alergi Dingin Jumlah Persentase (%)

1

Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat hampir semua pegawai tidak memiliki riwayat penyakit alergi dingin yaitu 88,4%, hanya 11,6% pegawai yang memiliki riwayat penyakit alergi dingin.

4.3 Keluhan Kesehatan Pegawai

(38)

keluhan kesehatan pegawai dan distribusinya sebagaimana dituangkan dalam tabel-tabel berikut ini

4.3.1 Responden yang Mengalami Keluhan Kesehatan

Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Kesehatan Pegawai dalam Waktu Seminggu Bekerja di Kantor Gubernur Sumatera Utara 2014.

No Pertanyaan Ya Tidak Total

n % n % n %

1 Selama bekerja dalam kondisi

sehat 87 91,6 8 8,4 95 100

2 Memiliki riwayat penyakit lain

seperti DM, Paru-Paru dan Asma. 4 4,2 91 95,8 95 100 Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa sebagian besar pegawai menyatakan diri dalam kondisi sehat saat pengukuran adalah 91,6% pegawai dan pegawai yang tidak memiliki riwayat penyakit lain seperti DM, Paru-Paru dan Asma sebesar 95,8% pegawai.

Tabel 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Kesehatan Pegawai dalam Waktu Seminggu Terakhir Bekerja di Kantor Gubernur Sumatera Utara 2014.

No Keluhan Kesehatan yang Dirasakan Jumlah Persentase (%)

1 Ada Keluhan 67 70,5

2 Tidak Ada Keluhan 28 29,5

Total 95 100

(39)

4.3.2 Jenis Keluhan Kesehatan

Distribusi responden berdasarkan jenis keluhan kesehatan pegawai Kantor Gubernur Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 4.10

Tabel 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Keluhan Kesehatan dalam Waktu Seminggu Terakhir Bekerja di Kantor Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014.

2 Sakit Tenggorokan 23 34,3 44 65,7 67 100

3 Mulut Kering 14 20,9 53 79,1 67 100

4 Batuk Kering 18 26,9 49 73,1 67 100

5 Pilek/flu 19 28,4 48 71,6 67 100

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa keluhan kesehatan yang terbanyak dirasakan oleh responden adalah sakit tenggorokan sebanyak 23 pegawai (34,3%), pilek/ flu sebanyak 19 pegawai (28,4%), batuk kering sebanyak 18 pegawai (26,9%), mulut kering sebanyak 14 pegawai (20,9%), dan yang paling sedikit adalah demam sebanyak 8,4% pegawai .

4.3.3 Waktu Terjadiya Keluhan

Distribusi waktu munculnya keluhan kesehatan dapat dilihat pada Tabel 4.11 Tabel 4.11 Waktu Terjadinya Keluhan Kesehatan Pada Pegawai Kontor

Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014

No. Waktu Terjadinya Keluhan Jumlah Persentase (%)

(40)

Berdasarkan tabel 4.11 dapat diketahui bahwa keluham kesehatan yang paling banyak dirasakan pada saat siang hari sebanyak 42 pegawai (62,7%) dan saat sore hari sebanyak 13 pegawai (19,4%). Keluhan kesehatan paling sedikit dirasakan pada saat pagi hari adalah 12 pegawai (17,9%).

4.4 Hasil Pemeriksaan Bakteri Legionella spp

Pemeriksaan bakteri legionella dilakukan di laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan mulai dari pengambilan sampel sampai dengan pembiakannya menggunakan media agar BCYE (Buffer Carcoal Yeast Extract) dan untuk

mendukung keberadaan bakteri legionella maka dilakukan juga pengukuran suhu dan kelembaban pada ruangan yang menggunakan AC sentral. Hasil pemeriksaan dapat dilihat pada Tabel 4.12

Tabel 4.12 Hasil Pemeriksaan Kandungan Bakteri Legionella sp, Suhu dan Kelembaban Udara di Kantor Gubernur Sumatera Utara Tahun 2014

*Berdasarkan Permenkes 261/Menkes/SK/II/1998 tentang Penyehatan udara dalam ruangan pada Suhu 18-25°C dan Kelembaban 40%-60%

(41)

empat menunjukkan positif adanya perkembangbiakan bakteri legionella pada tempat tersebut, berdasarkan Permenkes No. 1077/ Menkes/Per/V/2011 tentang penyehatan udara dalam ruangan rumah mengatakan bahwa bakteri patogen seperti bakteri legionella memiliki kadar maksimal 0 CFU/m³ yang berarti tidak diperbolehkan adanya bakteri legionella di dalam ruangan.

Untuk pengukuran suhu, kedua ruangan tersebut masih memenuhi standart baku mutu berdasarkan Permenkes 261/Menkes/SK/II/1998 tetang penyehatan udara dalam ruangan. Sedangkan untuk pengukuran kelembaban ruangan dapat dilihat ruangan lantai 1 tidak memenuhi syarat kesehatan karena angka kelembaban melampau batas standart baku mutu yang ditentukan yaitu 62%.

(42)

5.1 Karakteristik Pegawai

Dari hasil analisa data diketahui bahwa karakteristik pegawai yaitu sebagian besar berumur 31-40 tahun (38,9%) yang berarti para pegawai dalam usia produktif, dengan jumlah pegawai laki-laki sebanyak 67 pegawai (70,5%) dan pegawai perempuan 28 pegawai (29,5%) serta tingkat pendidikan terbanyak adalah tamatan SMA/SMU (44,2%) sedangkan yang paling sedikit adalah S2 (1,1%) yang berarti sebagian besar tingkat pendidikan responden sudah cukup baik karena sudah banyak menerima pengetahuan sehingga responden akan lebih mudah menerima informasi yang diberikan.

Pada umumnya pegawai telah bekerja selama > 5 tahun (77,9%) yang berarti pegawai sudah memulai bekerja sejak bangunan kantor GUBSU ini di resmikan, sebagian besar pegawai berada di ruangan selama <8 jam per hari (63,2%) yang berarti pegawai bekerja sesuai dengan jam kerja yang diterapkan. Masa kerja yang cukup lama dalam gedung ini mempengaruhi tingkat keterpajanan responden terhadap polutan dalam ruang. Di sisi lain, semakin lama seseorang bekerja dalam gedung tersebut, semakin tinggi pula adaptasi tubuhnya terhadap kondisi lingkungan kerjanya, yang dapat memicu timbulnya gangguan kesehatan kronis dan beragam informasi masalah kesehatan yang dialami (Thorn, 1998).

(43)

diberlakukan yaitu dilarang merokok dalam ruangan ber AC. Karena pada umumnya asap rokok yang dikeluarkan oleh seorang perokok terdiri dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Bagi perokok pasif hal ini juga merupakan bahaya yang selalu mengancam. Dalam jumlah tertentu asap rokok ini sangat mengganggu kesehatan (Pudjiastuti, 1998). Dan dari hasil analisis data diketahui bahwa sebagian besar pegawai tidak memiliki riwayat penyakit alergi dingin yaitu sebesar (88,4%).

5.2 Keluhan Kesehatan Pegawai

Berdasarkan hasil analisa data, diketahui bahwa sebagian besar pegawai mengalami keluhan kesehatan (70,5%) dan pegawai yang mengalami keluhan kesehatan menurut jenis keluhan kesehatan terbanyak adalah sakit tenggorokan (34,3%), flu/pilek sebesar (28,4%), batuk kering sebesar (26,9%), mulut kering (20,9%), dan demam (11,9%) pegawai. Berdasarkan analisa data sebagian besar keluhan kesehatan yang dirasakan pegawai selama bekerja paling sering muncul saat siang hari dan sore hari. Keluhan kesehatan paling jarang muncul saat pagi hari. Ini menunjukkan semakin lama berada dalam ruangan, semakin besar pula peluang untuk mengalami gangguan kesehatan.

Gejala dan keluhan diatas berkaitan dengan penyakit-penyakit spesifik dan nonspesifik. Penyakit-penyakit spesifik tersebut antara lain seperti penyakit

legionellosis, tuberculosis, alergi terhadap bahan-bahan dalam ruangan seperti

(44)

mempunyai kesempatan cukup besar dalam menimbulkan gejala dan keluhan pada SBS (Menzies and Bourbeau,1997). Penyakit-penyakit nonspesifik dapat bermanifestasi gejala serta keluhan kesehatan pada pekerja yang bekerja dalam gedung dengan waktu yang lama dan tingkat keramaian kantor yang berperan dalam menimbulkan gejala keluhan kesehatan dan SBS (Mendell, 1993).

Wawolumaya (1996) dalam Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia menyebutkan bahwa sebuah hasil penelitian di Australia melaporkan bahwa SBS dapat dihubungkan dengan terjadinya akumulasi bakteri seperti legionella dan mikroorganisme lainnya dalam saluran AC sentral, cooling towers atau menara pendingin dan sistem saluran air lainnya dengan gejala terjadi seperti iritasi mata, sakit kepala, flu/pilek, gangguan pernapasan dan alergi dingin sampai dengan penyakit legionnaires yang disebabkan oleh kuman legionella.

Penyakit legionnaire’s sering menyerang orang-orang yang memiliki riwayat

penyakit tertentu ataupun sistem kekebalan tubuh yang lemah. Angka serangan pada orang-orang tersebut diatas mencapai 5% sedangkan angka kematiannya hamper sama dengan penyakit pneumonia lainnya mencapai 15% (Anonim, 2003).

(45)

5.3 Keberadaan Bakteri Legionella sp

Pengambilan sampel lingkungan dilakukan pada tanggal 10 maret 2014, yaitu dengan cara pengambilan sediaan usap perangkat AC sentral di ruangan dan pengambilan air di cooling tower atau menara pendingin sebanyak 3 botol sampel, diambil sesuai dengan cara pengambilan yang sudah ditentukan dalam penelitian. Setelah pengambilan sampel dilakukan, maka sampel diperiksa di laboratorium dan setiap sediaan usap perangkat AC yang diambil ditanamkan pada lempeng agar

BCYE, kemudian diletakkan di desikator pada suhu 35-37°C selama 2-7 hari apabila

tidak ada tumbuh koloni bakteri maka ditunggu sampai 10 -12 hari. Setiap hari media dipantau apakah ada pertumbuha koloni bakteri atau tidak.

Berdasarkan pengamatan hasil yang dilakukan selama 12 hari, pada sampel media agar di temukan kuman batang gram negatif yang berwarna abu-abu yang merupakan ciri-ciri dari bakteri legionella. Ini menunjukkan hasil positif adanya bakteri legionella sp di dalam sampel ruangan lantai 1 biro protokol, lantai 4 biro pemerintahan dan di cooling tower. Bakteri legionella ini hidup pada lingkungan yang lembab dan hangat, kuman ini tahan pada suhu 30-60°C, dan tumbuh subur pada suhu antara 30-45°C dengan kelembaban 90% serta dapat bertahan hidup pada proses chlorinasi air (Jawetz, 2001). Maka itu pengukuran suhu, kelembaban ruangan dan durasi pencucian AC juga mendukung pertumbuhan bakteri tersebut. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan pencucian AC sentral gedung GUBSU hanya dilakukan 1 (satu) tahun sekali hal ini yang mengakibatkan bakteri

legionella dapat berkembang dengan baik karena kurangnya perawatan dan

(46)

menurut Permenkes No.1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Penyehatan Udara Dalam Ruangan Rumah.

Berdasarkan pengukuran suhu di ruangan biro protokol lantai 1 yaitu 25°C dan ruangan biro pemerintahan lantai 4 adalah 23°C, menurut Martin (2000) temperatur yang nyaman untuk bekerja adalah antara 22-26°C ini juga sejalan dengan Permenkes No. 261/Menkes/SK/II/1998 bahwa suhu yang dianggap nyaman untuk suasana bekerja adalah 22-26°C. Ini menunjukkan suhu ruangan tersebut sudah memenuhi standart baku mutu. Sedangkan pada kelembaban diperoleh ruangan Biro Protokol lantai 1 memiliki kelembaban diatas 60%, hanya ruangan Biro Pemerintahan lantai 4 yang kelembabannya masih sesuai standart baku mutu Kepmenkes No. 261/Menkes/SK//II/1998 yang nyaman untuk bekerja pada kelembaban relatif 40%-60%. Dapat diketahui kelembaban yang tinggi pada suatu ruangan dapat menimbulkan pertumbuhan mikroorganisme dan penghuninya merasakan gangguan kesehatan apabila terpapar dalam waktu yang lama (Prakash, 2005).

(47)

6.1 Kesimpulan

1. Sebanyak 38,9% pegawai berumur di antara 31-40 tahun dan 70,5% dari pegawai tersebut berjenis kelamin laki-laki. 44,2% pegawai ber pendidikan tamatan SMA/SMU. Sebesar 77,9% pegawai telah bekerja selama > 5 tahun dan 63,2% pegawai berada di dalam ruangan selama < 8 jam per hari. Sebesar 71,6% pegawai tidak merokok dan 88,4% pegawai tidak memiliki riwayat penyakit alergi dingin.

2. Sebanyak 67 pegawai mengalami keluhan kesehatan dan keluhan kesehatan yang paling banyak dialami oleh pegawai selama bekerja dalam ruangan yaitu sakit tenggorokan sebesar 34,4% responden.

3. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah di lakukan di laboratorium ditemukannya bakteri legionella sp pada cooling tower AC sentral dan didalam ruangan yang menggunakan AC sentral yaitu lantai satu ruangan Biro Protokol serta lantai empat ruangan Biro Pemerintahan.

4. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan diketahui perawatan dan durasi pencucian AC sentral di gedung GUBSU hanya dilakukan setahun sekali, ini yang dapat menyebabkan berkembangnya bakteri legionella dan kualitas udara dalam ruangan menjadi tidak sehat.

(48)

standart baku mutu Permenkes No. 261/Menkes/SK/II/1998 tentang penyehatan udara dalam ruangan.

6.2 Saran

1. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan para pegawai hendaknya meningkatkan upaya kebersihan ruangan secara rutin dan menjaga ruangan tersebut agar tetap bersih untuk meminimalisir tempat berkembangnya mikroorganisme.

2. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebaiknya meningkatkan pemeliharaan AC baik sentral maupun lokal yang harus diperhatikan rutinitas pemeliharaannya dan diharapkan untuk pencucian AC sentral dilakukan secara berkala yaitu 3 bulan sekali untuk mengantisipasi tumbuhnya bakteri

legionella yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pegawai.

(49)

2.1 Kualitas Udara Dalam Ruang ( Indoor Air Quality )

Indoor air quality atau kualitas udara dalam suatu ruangan adalah salah satu

aspek keilmuan yang memfokuskan pada kualitas atau mutu udara dalam suatu ruang yang akan dimasukkan kedalam ruang atau gedung yang di tempati oleh manusia (Idham, 2001).

Menurut National Health Medical Research Council (1993) mendefinisikan udara dalam ruangan adalah udara yang berada dalam suatu ruang gedung yang ditempati oleh sekelompok orang yang memiliki tingkat kesehatan yang berbeda-beda selama minimal satu jam. Ruang gedung yang dimaksud dalam pengertian ini meliputi sekolah, restoran, rumah, gedung untuk umum, hotel, rumah sakit, dan perkantoran, tidak termasuk tempat kerja atau tempat-tempat yang mengacu pada standart kesehatan kerja.

Pengertian indoor air quality dari USA Environmental Protection Agency (EPA) adalah hasil interaksi antara tempat, suhu, sistem gedung (baik disain asli maupun modifikasi terhadap struktur dan system mekanik), teknik konstruksi, sumber kontaminan ( material, peralatan gedung, kelembaban proses, dan aktifitas didaam gedung serta sumber dari luar ) dan pekerja.

(50)

udara yang memadai (Ventilation for acceptable indoor air quality). Pengertian kualitas udara dalam ruang yang memadai menurut standard tersebut adalah udara dimana tidak ada kontaminan pada konsentrasi yang membahayakan ang sudah ditetapkan oleh para ahli dimana sebesar 80% atau lebih para penghuni suatu gedung merasakan ketidakpuasan dan ketidaknyamanan.

2.1.1 Sumber Kontaminan Udara Dalam Ruangan

Pencemaran udara di bagi menjadi dua yaitu pencemaran udara luar ruangan dan pencemaran udara dalam ruang. Pencemaran udara dalam ruang, walaupun tidak berhubungan langsung dengan emisi global, namun sangat penting untuk menentukan keterpajanan seseorang. Di daerah perkotaan isu mengenai pencemaran udara dalam ruang berkembang pesat mengingat sebagian besar masyarakat menghabiskan waktunya lebih banyak didalam ruangan terutama dalam ruang kerja perkantoran dan industri (Kusnoputranto, 2000).

Berikut adalah beberapa sumber kontaminan dalam udara menurut EPA (1991) yaitu :

a. Sumber dari luar bangunan, yang terdiri dari :

1. Udara luar bangunan yang terkontaminasi seperti debu, spons jamur, kontaminasi industri, dan gas buang kendaraan.

(51)

3. Soil gas seperti radon, kebocoran gas dari bahan bakar yang disimpan di bawah tanah, kontaminan yang berasal dari penggunaan lahan sebelumnya, dan pestisida.

4. Kelembaban atau rembesan air yang memicu perkembangan mikroba. b. Peralatan, yang terdiri dari :

1. Peralatan HVAC seperti debu atau kotoran pada saluran atau komponen lain, pertumbuhan mikroba pada humidifier, saluran, penggunaan biosida, penggunaan produk pembersih yang tidak sesuai ketentuan, system ventilasi yang kurang baik, alat pendingin (refriginerator) yang bocor.

2. Peralatan non-HVAC seperti emisi dari peralatan kantor (VOCs, ozon), suplai (pelarut, toner, ammonia), emisi dari took, laboratorium, proses pembersihan, mesin penggerak elevator dan sistem mekanik lainnya.

c. Kegiatan manusia, yang terdiri dari :

1. Kegiatan personal seperti merokok, memasak, aroma kosmetik dan bau badan

2. Kegiatan housekeeping seperti bahan pembersih, emisi dari gudang penyimpanan bahn suplai atau sampah, penggunaan pengharum, debu atau kotoran udara dari menyapu (vacumming).

(52)

VOCs dari penggunaan perekat dan cat, pestisida dari kegiatan pengendalian hama, emisi dari gudang penyimpanan.

d. Komponen bangunan dan peralatan interior, yang terdiri dari :

1. Lokasi yang menghasilkan debu atau serat seperti permukaan yang dilapisi ( penggunaan karpet, tirai, dan bahan tekstil lainnya ), peralatan interior yang sudah tua atau rusak, bahan yang mengandung asbestos.

2. Bahan kimia dari komponen bangunan atau peralatan interior seperti VOCs atau senyawa anorganik.

e. Sumber lainnya, yang terdiri dari :

1. Kejadian kecelakaan seperti tumpahan cairan, pertumbuhan mikroba akibat banjir, kebocoran atap atau pipa, kerusakan akibat kebakaran 2. Penggunaan area secara khusus seperti area merokok, ruang print,

laboratorium dan penyiapan makanan

3. Emisi dari peralatan interior yang baru, bau dari uap organic maupun anorganik dari cat atau bahan perekat.

Hasil pemeriksaan The National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH), menyebutkan ada 5 sumber pencemaran di dalam ruangan yaitu (Aditama, 2002):

a) Pencemaran dari alat -alat di dalam gedung seperti asap rokok, pestisida, bahan-bahan pembersih ruangan.

(53)

dimana kesemuanya dapat terjadi akibat penempatan lokasi lubang udara yang tidak tepat.

c) Pencemaran akibat bahan bangunan meliputi pencemaran formaldehid, lem, asbes, fibreglass dan bahan -bahan lain yang merupakan komponen pembentuk gedung tersebut.

d) Pencemaran akibat mikroba dapat berupa bakteri, jamur, protozoa dan produk mikroba lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin beserta seluruh sistemnya.

e) Gangguan ventilasi udara berupa kurangnya udara segar yang masuk, serta buruknya distribusi udara dan kurangnya perawatan sistem ventilasi udara. 2.2 Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Udara Dalam Ruangan 2.2.1 Kualitas Fisik

2.2.1.1 Suhu / Temperatur

Panas dalam ruangan diproduksi oleh tubuh sebagai proses biokimia yang berhubungan pembentukan jaringan, konversi energi dan kerja otot. Panas yang dihasilkan oleh proses metabolism dapat dibagi menjadi dua yaitu metabolism basal misalnya proses-proses otomatis seperti denyut dan metabolisme maskular seperti mengontrol kerja otot (Fardiaz, 1992). Namun dari semua energi yang dihasilkan tubuh hanya 20% saja yang dipergunakan dan sisanya akan dibuang ke lingkungan (Arismunandar dan Saito, 2002).

(54)

nyaman untuk bekerja adalah 23-25°C. Menurut KepMenKes No 261/Menkes/SK/II/1998 suhu ruangan adalah 22-26°C.

Perubahan suhu lebih dari 7°C secara tiba-tiba dapat menyebabkan pengerutan saluran darah, sehingga perbedaan suhu dalam dan luar ruangan sebaiknya kurang dari 7°C.

Tingkat panas di dominasi oleh temperatur sekitarnya. Namun demikian, standard udara kering atau pengukuran temperature ambient udara kering sering tidak cukup sebagai indikator untuk criteria tingkat kenyamanan. Temperatur diukur dengan menggunakan thermometer untuk mewakili keadaan penghuni.

2.2.1.2 Kecepatan Aliran Udara

Kecepatan alir udara mempengaruhi gerakan udara dan pergantian udara dalam ruang. Besarnya berkisar antara 0,15 sampai dengan 1,5 meter/detik, dapat dikatakan nyaman. Kecepatan udara kurang dari 0,1 meter/detik atau lebih rendah menjadikan ruangan tidak nyaman karena tidak ada pergerakan udara. Sebaliknya bila kecepatan udara terlalu tinggi akan menyebabkan kebisingan di dalam ruanagn (Arismunandar dan Saito, 2002). Menurut keputusan Menteri Kesehatan No. 261/ Menkes/SK/II/1998, kecepatan aliran udara yang normal adalah 0,15-0,25 meter/detik. Tingkat kenyamanan panas dipengaruhi oleh kecepatan udara. Ketika pendinginan diperlukan, dapat dilakukan peningkatan kecepatan udara.

2.2.1.3 Kelembaban Udara

(55)

melepaskan senyawa-senyawa volatile yang berasal dari bahan bangunan seperti formaldehyde, ammonia, dan senyawa lainya yang mudah menguap, sehingga kelembaban yang tinggi melarutkan senyawa kimia lain lalu menjadi uap dan akan terpapar pada pekerja (Fardiaz, 1992).

Pada lingkungan yang ada dalam ruangan, sekitar 25% dari panas tubuh diemisikan oleh transprasi. Sebagai temperatur ambient dan meningkatnya aktivitas metabolisme, transpirasi yang hilang meningkat 50%-80% dari total emisi tubuh. Kehilangan panas karena transpirasi ditandai dengan tingginya kelembaban relatif (Arismunandar dan Saito, 2002).

Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lender membrane. Sedangkan kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari material bangunan (Molhave,1990).

Menurut Heryuni (1993) berdasarkan surat edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. SE-01/Men/1987 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) yang berlaku untuk lingkungan kerja di industry adalah kelembaban 65% -95% dengan kisaran suhu 26°-30°C. Sedangkan menurut KepMenKes No.261/MenKes/ SK/II/1998 untuk kelembaban adalah 40%-60%.

2.2.1.4 Kalor Radiasi

(56)

penghasil kalor radiasi antara lain reaksi eksotermik dari bahan-bahan kimia, kalor yang dilepas lampu, sistem pemanasan ruang dan alat-alat, sinar matahari yang masuk, serta tungku / kompor untuk memasak. Selain itu terdapat pula sumber yang dapat menyerap kalor radiasi, yaitu jendela yang terbuka, dinding yang tidak dilapisi dengan baik, serta lantai tanpa pelapis (Kodak, 1990).

2.2.1.5 Pencahayaan

Cahaya merupakan pancaran gelombang elektomagnetik yang melayang melewati udara. Illuminasi merupakan jumlah atau kuantitas cahaya yang jatuh ke suatu permukaan. Apabila suatu gedung tingkat illuminasinya tidak memenuhi syarat maka dapat menyebabkan kelelahan mata, sehingga dapat menimbulkan terjadinya kesalahan dalam melakukan pekerjaan serta kelelahan pada indra mata yang terus menerus dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada mata. NAB Surat Edaran Permenaker No. SE-01/MEN/1987 tentang besarnya illuminasi yaitu 300-900 lux. 2.2.1.6 Kebersihan Udara

(57)

2.2.1.7 Kebisingan

Menurut Purdom P.W. (1980) secara fisik suara adalah energi berbentuk getaran yang bergerak dari satu titik dan erambat pada media udara. Suara – suara yang tidak atau kurang dikehendaki dan menimbulkan gangguan disebut kebisingan; hal ini berarti subjektifitas seseorang terhadap suara tertentu atau sensitifitas orang terhadap kebisngan berbeada satu sama lain. Namun secara umum batasan kebisingan ditentukan sesuai dengan peruntukan bangunan.

2.2.1.8 Bau

Bau merupakan faktor kualitas udara yang penting. Bau dapat menjadi penunjuk keberadaan suatu zat kimia berbahaya seperti Hidrogen sulfide, Ammonia, dan lain-lain. Selain itu bau juga dihasilkan oleh berbagai proses biologi oleh mikroorganisme. Kodisi ruangan yang lembab dengan suhu tinggi dan aliran udara yang tenang biasanya menebarkan bau kurang sedap karena proses pembusukan oleh mikroorganisme (Mukono, 1993).

2.2.1.9 Ventilasi

Ventilasi dalam lingkungan kerja di tunjuk untuk: 1) mengatur kondisi kenyamanan ruangan; 2) memperbaharui udara dengan pengenceran udara ruangan pada batas normal; 3) menjaga kebersihan udara dari kontaminan berbahaya. Ventilasi ruangan secara alami didapatkan dengan jendela terbuka yang mengalirkan udara luar ke dalam ruangan, namun selama beberapa tahun terakhir AC (Air

Conditioner) menjadi salah satu pilihan.

(58)

AC sentral dan AC non-sentral. Perbedaan jenis AC non- sentral dan sentral terletak pada volume udara segar yang dipergunakan. Biasanya AC non-sentral hanya memiliki gerakan udara masuk (inlet), sedangkan outlet melalui lubang atau pintu yang sedang di buka. Sistem ventilasi AC non-sentral memungkinkan masuknya pencemar dari udara luar ke dalam ruangan.

2.2.2 Kualitas Kimia 2.2.2.1 Partikulat

Partikulat merupakan salah satu parameter yang diukur dalam menentukan kualitas udara dalam ruang, khususnya PM-10 dan PM-2,5. Pajanan terhadap saluran nafas terutama berasal dari dalam ruang, yaitu hasil-hasil pembakaran, jamur dan kapang, mikroorganisme dari tubuh manusia, hewan, atau tanaman, dan allergen dari debu ruangan.

Partikulat adalah padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap, debu dan uap, yang dapat tinggal diatmosfer dalam waktu yang lama. Di samping mengganggu estetika, partikel berukuran kecil di udara dapat terhisap ke dalam sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit gangguan pernapasan dan kerusakan paru-paru. Partikulat juga merupakan sumber utama haze (kabut asap) yang menurunkan visibilitas. Di udara, partikulat dapat berbentuk sebagai berikut :

a. Dust merupakan suatu satuan campuran material atau partikel padat dalam berbagai ukuran (diameter).

(59)

dan antara panjang dan lebarnya mempunyai 3:1 atau lebih (WHO, 1997). Contoh : fiberglass, rockwool/stonewool, ceramic fibres, asbestos fibres. c. Fume merupakan bentuk dari proses kimia atau fisika suatu partikel atau

material padat yang berubah menjadi gas karena adanya pemanasan. Dalam beberapa menit dapat kembali berubah menjadi padatan atau dalam bentuk partikel cair. Biasanya mengandung unsure logam seperti Zn, Mg, Fe, Pb, dan lain-lain. Umumnya berukuran≤ 1µm.

d. Mist merupakan aerosol yang berbentuk dropplet atau bola yang dihasilkan dari proses mekanik seperti splasing, bubbling, atau spraying. Mist merupakan perubahan bentuk dari suatu cairan yang tersuspensi di udara dalam bentuk aerosol. Ukuran dropplet lebih besar dari 100 µm

e. Smokes terdiri dari partikel padat dan cairan berukuran < 1µm, biasanya <0,05µm; dihasilkan selama pembakaran tidak sempurna dan penyulingan.

(60)

Tabel berbagai komponen partikel dan bentuk umum yang terdapat di udara: Tabel 2.1 Komponen dan Bentuk Umum Partikel di Udara

(Sumber : Laporan NIOSH, 1984 )

Partikel yang mempunyai diameter 0,1 mikron akan mengendap dengan velositi 8 x 10 cm/detik, sedangkan yang mempunyai diameter 1000 mikron akan mengendap dengan velositi 30 cm/detik. Jadi kenaikan diameter sebanyak 10.000 kali akan menyebabkan kenaikan kecepatan pengendapan enam juta kalinya. Partikel yang berukuran lebih besar dari 2-40 mikron (tergantung dari densitasnya) tidak bertahan terus di udara, mlainkan akan mengendap. Partikel yang tersuspensi secara permanen di udara juga mempunyai kecepatan pengendapan, tetapi partikel-partikel

Komponen Bentuk

Karbon

Besi Fe2O3, Fe2O4

Magnesium MgO

Kalsium CaO

Aluminium Al2O3

Sulfur SO2

Titanium TiO2

Karbonat CO3

Silikon SiO2

Fosfor P2O5

Kalium K2O

Natrium Na2O

(61)

Sifat partikel lainnya yang penting adalah sebagai tempat absorbsi (sorbsi secara fisik) atau kimisorbsi (sorbsi disertai dengan reaksi kimia). Sifat ini merupakan fungsi dari luas permukaan yang pada umumnya luas untuk kebanyakan partikel. Jika molekul yang terabsorbsi tersebut larut di dalam partikel, maka keadaanya disebut absorbs. Jenis sorbsi tersebut sangat menentukan tingkat bahaya dari suatu partikel.

Sifat partikel tersebut lainnya adalah sifat optiknya. Partikel yang mempunyai diameter kurang dari 0,1 mikron berukuran sedemikian kecilnya dibandingkan dengan penjang gelombang sinar, sehingga partikel-partikel tersebut mempengaruhi sinar seperti halnya molekul-molekul dapat menyebabkan refraksi. Partikel yang berukuran jauh lebih besar dari 1 mikron jauh lebih besar dari jauh panjang gelombang sinar tampak dan mempunyai objek makroskopik yang menyebarkan sinar sesuai dengan penampang melintang partikel tersebut. Sifat optic ini penting dalam menentukan pengaruh pertikel atmosfer terhadap radiasi dan visibilitas solar energi.

(62)

konsentrasi 350 µg/m³ dapat memperparah kondisi penderita bronchitis. Toksisitas dari partikel inhalable tergantung dari komposisinya.

Partikel yang terhirup (inhalable) juga dapat merupakan partikulat sekunder, yaitu partikel yang terbentuk di atmosfer dari gas-gas hasil pembakaran yang mengalami reaksi fisik-kimia di atmosfer, misalnya partikel sulfat dan nitrat yang terbentuk dari gas SO2dan NOX. Umumnya partikel sekunder berukuran 2,5 mikron atau kurang. Proporsi cukup besar dari PM 2,5 adalah ammonium nitrat, ammonium sulfat, natrium nitrat dan karbon organic sekunder. Partikel – partikel ini terbentuk diatmosfer dengan reaksi yang lambat sehingga sering ditemukan sebagai pencemar udara lintas batas yang di transportasikan oleh pergerakan angin ke tempat yang jauh dari sumbernya (Harrop, 2002).

Partikel–partikel yang masuk dan tertinggal dalam paru-paru mungkin berbahaya bagi kesehatan karena tiga hal penting yaitu :

1. Partikel tersebut beracun karena sifat kimia dan fisiknya

2. Partikel tersebut mungkin bersifat inert (tidak bereaksi) tetapi jika tertinggal di dalam sistem pernapasan dapat mengganggu pembersihan bahan-bahan lain yang berbahaya.

3. Partikel –partikel tersebut mungkin dapat membawa molekul-molekul gas yang berbahaya, baik dengan cara mengabsorbsi maupun dengan cara mengadsorbsi molekul-molekul gas pada permukaannya.

(63)

karena mempengaruhi kesehatan, serta berada dalam kisaran PM-10 dan PM-2,5. Menurut EPA (1987), 50%-60% dari TSP merupakan PM-10 (berlaku di Amerika Serikat). PM-10 merupakan indikator yang paling cocok untuk pengukuran pencemaran partikulat dalam ruang yang dikaitkan dengan efek terhadap saluran pernapasan.

2.2.2.2 Karbon dioksida (CO2)

Karbon dioksida bersifat inert dan tidak dapat bereaksi dengan material bangunan, memiliki berat jenis yang lebih tinggi dari udara sehingga terakumulasi di tempat-tempat yang lebih rendah. CO2dalam ruangan tertutup bersumber dari hasil pernapasan manusia. Pada ruangan yang menggunakan system pengatur udara, udara yang di hasilkan dari penghuni tidak dapat keluar sehingga secara langsung penghuni menghirup kembali CO2. Pada udara dalam ruangan khususnya ruangan yang menggunakan system sirkulai udara terpusat, keberadaan CO2 meningkat, sementara keberadaan O2 semakin menurun, hal ini karena manusia pada proses respirasi membutuhkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida (Fardiaz, 1992). 2.2.2.3 Karbon monoksida (CO)

(64)

Daya reaksi CO paling kecil dibandingkan dengan bahan pencemar lain. Di alam dapat bersumber dari proses-proses berikut (Fardiaz, 1992):

1. Pembakaran tidak sempurna terhadap karbon atau senyawa yang mengandung karbon.

2. Reaksi antara senyawa karbondioksida dengan senyawa lain yang mengandung karbon pada suhu tinggi.

3. Pada suhu tinggi gas karbon dioksida akan terurai menjadi karbon monoksida dan atom O (kemampuan CO mengikat hemoglobin 200-300 kali lebih besar daripada oksigen).

Pengaruh beracun CO terhadap tubuh terutama disebabkan oleh reaksi antara CO dengan hemoglobin (Hb) di dalam darah. Hb di dalam darah secara normal berfungsi dalam system transport untuk membawa oksigen dari paru-paru ke sel-sel tubuh dan membawa CO2 dari sel-sel tubuh ke paru-paru. Adanya CO, Hb, dapat membentuk COHb. Jika terjadi demikian maka kemampuan darah untuk mentranspor oksigen menjadi berkurang. Polusi udara oleh CO juga terjadi selam merokok. Konsentrasi CO yang tinggi di dalam asap rokok yang terisap tersebut mengakibatkan kadar COHb di dalam meningkat (Fardiaz, 1992).

Jika CO terhirup dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut (Kusnoputranto, 2000):

(65)

2. Menyebabkan sakit kepala yang cukup berat, pusing, koma, kerusakan sel otak, dengan terpajan selama 2 jam den konsentrasi CO sebesar 250 ppm. 3. Keterpajanan CO selama 1 jam dengan konsentrasi 750 menyebabkan

kehilangan kesadaran, keterpajanan 3-4 jam menyebabkan kematian. 2.2.2.4 Nitrogen oksida (NOX)

Nitogen oksida adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfer yang terdiri dari gas nitrit okside (NO) dan Nitrogen dioksida (NO2). NO2merupakan gas beracun bewarna coklat-merah, berbau seperti asam nitrat. Dari seluruh jumlah NOX yang dibebaskan ke atmosfer, jumlah yang terbanyak adalah dalam bentuk NO yang diproduksi oleh aktifitas bakteri. Namun polusi NO dari sumber alami ini tidak menjadi masalah karena tersebar merata sehingga jumlahnya menjadi kecil. Yang menjadi masalah adalah polusi NO yang diproduksi oleh kegiatan manusia karena jumlahnya akan meningkat hanya pada tempat-tempat tertentu saja (Fardiaz, 1992).

(66)

2.2.2.5 Timbal (Pb)

Timbal (Pb) dan persenyawaanya dipergunakan untuk bahan pembuatan cat, batu, baterai, kaca/gelas, bahan-bahan industri, percetakan dan lain-lain; dalam bentuk senyawa Tetra Ethyl Lead (TED) digunakan sebagai campuran bensin untuk menaikkan nilai oktan. Sumber emisi Pb di udara kawasan perkotaan terutama berasal dari sarana transportasi.

Dampaknya bagi kesehatan adalah keracunan akut maupun kronis, karena Pb terakumulasi dalam tubuh manusia. Pemaparan Pb kepada manusia melalui makanan (5%-10%), air, dan udara (80%). Akibat keracunan Pb berupa anemia, penurunan IQ pada anak, gangguan metabolisme tubuh, dan kematian (Ostro, 1994).

2.2.2.6 Asap Rokok

Asap rokok merupakan sumber pencemar ruangan yang potensial. Asap rokok terdiri dari berbagai zat kimia kompleks, yaitu bahan-bahan hasil pembakaran yang tidak sempurna, pestisida yang digunakan pada waktu penanaman tembakau, bahan pengawet, perekat, dan kertas rokok. Secara umum bahan-bahan tersebut dibedakan atas : nikotin, tar , CO , NOX,dan gas lainnya.

(67)

2.2.2.7. Volatile Organic Compound (VOC)

Dalam ruangan gedung dapat dideteksi ratusan jenis VOC, yaitu bahan organic yang mudah menguap. Bahan-bahan itu muncul dari peluruhan degradasi, penguapan dari bahan material bangunan, bahan perekat dan pelarut, pembersih ruangan, kosmetik, cat , serta asap rokok.

Beberapa jenis VOC dikenal bersifat racun (toxic), menimbulkan perubahan sel dan kanker. Salah satu jenis VOC yang penting adalah formaldehid. Dalam konsentrasi normal dan waktu yang relative pendek, pada umumnya VOC kurang serius bagi kesehatan manusia (Roe, Perry & Gee, 1995).

Tidak ada standar tertentu untuk total VOC, karena setiap VOC memiliki standard TLV masing-masing. Rata-rata hasil pengukuran VOC pada kualitas udara dalam ruangan masih di bawah nilai ambang batas. Pengendalian yang paling memungkinkan adalah menyediakan sistem ventilasi yang memadai, peningkatan kecepatan ventilasi agar VOC dapat cepat menguap, dan penyimpanan bahan-bahan kimia dengan baik (Binardi, 2003).

2.2.2.8. Formaldehida

(68)

Formaldehid adalah aldehida yang paling sederhana yang memiliki sifat mudah menguap. Dalam indsutri sering digunakan sebagai antiseptic, sterilisasi khususnya untuk alat pembersih ginjal (Fardiaz, 1992).

Pemaparan formaldehid ke tubuh manusia dapat dengan berbagai cara antara lain melalui penyuntikan, kuloit, dan pernapasan. Berikut adalah efek akut dari formaldehid ( Burson dan Muhadhar, 1996).

1. Melalui pernapasan, iritasi terhadap kulit, dan sistem pernapasan.

Formaldehid dapat menimbulkan iritasi pada selaput lender di rongga hidung, bagian mulut, system pernapasan atas yang menimbulkan perasaan panas, penyempitan kerongkongan, tercekik, dan batuk terus menerus.

2. Sensitif

Formaldehid dapat menimbulkan bau yang tidak sedap, dan bau tersebut sangat sensitif pada bagian pernapasan atas.

3. Anasthesia

Formaldehid dapat digunakan sebagai anasthesia yang diberikan melalui oral dan suntikan. Bila pemberian tidak memenuhi dosis yang sesuai dengan peruntukkan mata tidak terjadi anasthasia. Formaldehid akan mengalami metabolisme secara cepat yang menimbulkan mual, muntah-muntah, sakit kepala, dan kelemahan.

(69)

2.2.3. Kualitas Mikrobiologi

Mikroorganisme dapat berasal dari lingkungan luar (seperti serbuk sari, jamur, dan spora) dan dapat pula berasal dari dalam ruangan (seperti serangga, jamur, pada ruang yang lembab, kutu binatang peliharaan , bakteri). Mikroorganisme dalam lingkungan ruang sulit untuk diperkirakan, namun pengaruh kesehatan diketahui cukup besar yang disebabkan oleh penyebaran beberapa organisme (Pudjiastuti, 1998).

Menurut Pudjiastuti (1998) , udara di satu ruangan dalam rumah yang bersih, mungkin saja masih terdapat ratusan partikel-partikel biologis yang beraneka ragam dan teknologi tidak dapat menghitung keberadaan mereka semua. Mikroorganisme yang sering dijumpai di dalam ruangan adalah bakeri, jamur, serangga, atau partikel-partikel biologi lainnya.

2.2.3.1 Parameter Biologi

Mikroorganisme dapat muncul dalam waktu dan tempat yang berbeda. Pada penyebaran lewat udara, mikroorganisme harus mempunyai habitat untuk tumbuh dan berkembang biak (Tilman, 2007). Seringkali ditemui tumbuh pada air yang menggenang atau permukaan interior yang basah. Selain itu, mikroorganisme juga dijumpai pada system ventilasi atau karpet yang terkontaminasi.

a. Jamur

(70)

kegagalan dalam mengidentifikasi atau memperbaiki kerusakan air, kesalahan dalam mengoperasikan dan menjaga sistem AC.

ACGIH 1989 merekomendasikan inspeksi secara rutin bagi sumber yang berpotensi terhadap tumbuhnya mikroorganisme. Fungi merupakan organisme yang dipercaya memiliki keterkaitan erat dengan SBS pada sistem ventilasi mekanik di gedung perkantoran di kota Sydney (Stephen, 2006; Seneviratne, 1994).

b. Bakteri

Selain jamur, bakteri juga merupakan makhluk hidup yang tidak kasat mata, dan dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan serta efek deteriorisasi bagi gedung apabila tumbuh dan berkembang biak pada lingkungan indoor (Stephen, 2006; Setzenbach, 1998). Gangguan kesehatan yang muncul dapat bervariasi tergantung dari jenis dan rute pajanan. Bakteri dalam gedung datang dari sumber luar (misalnya dari kerusakan tengah, endapan kotoran, dan sebagainya) serta dapat memberi pengaruh bagi manusia seperti saat bernafas, batuk, bersin. Selain itu, bakteri juga didapati pada system cooling towers (seperti Legionella), bahan bangunan dan

furniture, wallpaper, dan karpet lantai (Stephen, 2006). Di dalam gedung,

bakteri tumbuh dalam standing water tempat water spray dan kondensasi AC. 2.3 Legionella sp

Legionella ada pada lingkungan yang lembab dan hangat. Kuman ini tahan

(71)

Legionella berasal dari family Legionellaceae yang jumlahnya 40 species, tapi

yang pathogen terhadap manusia 20 species antara lain Legionella pneumophila yang menyebabkan penyakit legionnaires yang dapat menyebabkan pneumonia sampai kematian, sedangkan Pontiac Fever dapat memeberikan gejala yang mirip dengan

Sick Building Syndrome atau influenza (Benenson, 1995; Depkes RI, 2002; Jawetz,

2001).

2.3.1 Bentuk dan Identifikasi

Legionella mempunyai bentuk yang bermacam-macam, umumnya berbentuk

batang, gram negatif, aerobik, lebarnya 0,5 sampai 1 µm dan panjang 2 sampai 50 µm. Mereka seringkali kurang terwarnai dengan baik bila menggunakan metode gram dan tidak tampak dalam pewarnaan specimen klinis. Kuman dapat terlihat dengan pewarnaan Dieterle’s silver impregnation dengan metode antibody fluoresen yang

mempunyai sensitivitas 50% sampai 80% bahkan dapat sampai 95 %. Dapat tumbuh pada media komplek yaitu Buffered Charcoal Yeast Extract (BCYE) dengan ∝ ketoglutarat, pH 6,9 suhu 35°C dan kelembaban 90 %. Dapat di tambahkan antibiotic pada media agar supaya lebih selektif terhadap kuman ini, sehingga sensitivitas dapat mencapai 70 % (Benenson, 1995; Depkes RI, 2002; Jawetz, 2001).

(72)

Waktu generasi berkisar antar dua sampai enam jam dengan suhu optimal untuk tumbuh 37°C, di mana kadar CO2 mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan, bila kadarnya lebih dari 5 % dapat menghambat pertumbuhan, kira-kira tiga sampai lima hari sehingga masa inkubasi diperkirakan tiga sampai lima hari (Melnick, 1991 ; Bernard, 1980).

Walaupun kuman ini dapat hidup pada temperature 65°C, tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu lebih dari 42°C. Pertumbuhan kuman ini umumnya mempunyai katalase positif, sedangkan Legionella pneumophila mempunyai oksidase positif, hidrolisa hippurate, karbohidrat dan gelatin sedangkan pada Legionellae lainnya mempunyai aktivitas yang bervariasi dari oksidase, dan pada umumnya Legionellae memproduksi gelatinase dan ß lactamase, sedangkan Legionella micdadei tidak memproduksinya (Joklik, 1992).

2.3.2 Ekologi dan Transmisi

(73)

Genangan / stagnasi air yang cukup lama, tersedianya O2 dan CO2, tempat penampungan yang berlumut atau berkarat, akan mempercepat berkembangbiaknya kuman tersebut. Oleh sebab itu, gedung-gedung tinggi yang menggunakan AC sentral atau sistem pendistribusian air panas dengan menara penyimpanan air di puncak gedung, pipa-pipa pendistribusian dan keran-keran air yang kurang terpelihara merupakan media yang baik untuk berkembangbiaknya kuman ini.

Sistem pendingin udara pada AC sentral dilakukan dengan cara mengalirkan air dalam gulungan pipa-pipa pendingin dari menara penyimpanan air di puncak gedung, selanjutnya dialirkan melalui mesin pelembab udara untuk menambah kelembaban udara. Uap air yang dihasilkan dari gedung untuk mendinginkan ruangan. Genangan air yang terdapat dimenara penyimpanan air memungkinkan penyebaran infeksi ke lingkungan di sekitar gedung. Penyebaran kuman Legionella

pneumophila ke ruangan-ruangan di dalam gedung lebih mungkin terjadi, terutama

bila jarak antara menara penyimpanan air pendingin terlalu dekat dengan pintu masuk udara luar dari sistem AC sentral di puncak gedung, apalagi bila cawan-cawan penampungan air kondesan tidak terawat dengan baik sehingga merupakan media yang baik untuk berkembang biaknya kuman Legionella (Harrianto, 2009).

(74)

rumah tinggal. Jika air panas dialiri secara serentak sebelum mencapai suhu 60°C, atau adanya kerusakan pada sistem pengaturan suhu air panas, atau jika campuran air panas dan air dingin harus melalui instalasi pipa-pipa yang panjang dan berlekuk-lekuk, kemungkinan akan menjadi media yang baik untuk kuman ini bertumbuh (Harrianto, 2009).

2.3.3 Patologi dan Patogenesis

Penularan Legionella melalui inhalasi dari menara pendingin dan kondensor penguapan sistem air conditioner sentral, shower, air mancur, reservoir air yang terkontaminasi yaitu dengan cara menghirup udara yang diperkirakan mengandung

Legionella secara kontak erat dan tidak dapat ditularkan antar manusia (Depkes RI,

2002).

Legionella pnemophila masuk kedalam paru-paru, tumbuh dalam makrofag

alveolus dan monosit manusia dan tidak secara efektif dibunuh oleh leukosit poliforonuklear. Proses masuk kedalam sel adalah menggunakan proses fagositik yang diliputi gulungan pada sekeliling pseudopoda tunggal bakteri. Segera sesudah masuk dalam sel, individu bakteri ada dalam vakuola fagosomal, tetapi mekanisme pertahanan sel makrofag berhenti pada titik tersebut. Bakteri membelah dalam vakuola hingga menjadi banyak, kemudian sel di rusak, bakteri dilepaskan dan kemudian terjadi infeksi pada makrofag lain (Jawetz, 2001).

Legionaire disease merupakan penyakit yang sangat progresif dengan angka

(75)

2.3.4 Gejala Klinis Legionellosis

Legionellosis merupakan istilah umum untuk penyakit “legionnaires” dan “pontiac fever”. Pada penyakit legionair, gejala awal yang timbul mirip dengan demam Pontiac, tetapi biasanya dalam bentuk pneumonia atipikal yang lebih berat. Timbul batuk yang tidak produktif, terkadang mengeluarkan sputum yang encer, bahkan pada sebagian kasus dapat terjadi hemoptisis. Bergantung pada beratnya penyakit, gejala sesak napas dapat timbul dalam derajat yang ringan sampai berat (Harrianto, 2009).

Pada demam pontiac, gejala yang timbul biasanya mendadak tampak seperti demam dan menggigil, nyeri otot, lemah badan dan sakit kepala. Sedikit gatal, fotobia, kekauan leher dan rasa kebingungan juga muncul. Simtom respirasi sedikit tampak pada demam Pontiac dari pada penyakit “legionnaires”. Gejala penyakit ini

dapat timbul setelah terpajan kuman legionella 5 jam atau lebih dari 3 hari dan biasnya berlangsung hanya 2 sampai 5 hari ( Depkes RI, 2002; Evans, 1991).

2.3.5 Diagnosis Legionellosis

Gambar

Gambar Lampiran 1. Kantor Gubernur Sumatera Uta Utara
Gambar Lampiran 4. Pran 4. Pengambilan Sampel di Cooling Tower AC SAC Sentral
Gambar Lampiran 5. Pran 5. Pengambilan Sampel di Ruang Biro Protokolokol Lantai 1
Gambar  bar  Lampiran 7. Foto Bersama Pegawai GUBSU
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kualitas fisik (suhu dan kelembaban) dan biologi (jumlah mikroorganisme) udara pada ruangan ber-AC dengan