ANALISA PERBANDINGAN BEBAN BATAS DAN BEBAN
LAYAN (LOAD FACTOR) DALAM TAHAPAN
PEMBENTUKAN SENDI
–
SENDI PLASTIS PADA
STRUKTUR GELAGAR MENERUS
Tugas Akhir
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk
menempuh ujian sarjana Teknik Sipil
Disusun oleh
040404080
JOKO TEGUH WARSITO
Disetujui oleh :
Pembimbing
NIP. 130 878 004 Ir.Besman Surbakti,MT
BIDANG STUDI STRUKTUR
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
ANALISA PERBANDINGAN BEBAN BATAS DAN BEBAN
LAYAN (LOAD FACTOR) DALAM TAHAPAN
PEMBENTUKAN SENDI
–
SENDI PLASTIS PADA
STRUKTUR GELAGAR MENERUS
Tugas Akhir
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk
menempuh ujian sarjana Teknik Sipil
Disusun oleh
04 0404 080
JOKO TEGUH WARSITO
Disetujui oleh :
Dosen Pembimbing : Ketua Jurusan :
Ir.Besman Surbakti,MT
NIP. 130 878 004 NIP. 130 905 362
Prof.Dr.Ing Johannes Tarigan
BIDANG STUDI STRUKTUR
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK USU
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISA PERBANDINGAN BEBAN BATAS DAN BEBAN
LAYAN (LOAD FACTOR) DALAM TAHAPAN
PEMBENTUKAN SENDI
–
SENDI PLASTIS PADA
STRUKTUR GELAGAR MENERUS
Tugas Akhir
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk
menempuh ujian sarjana Teknik Sipil
Disusun oleh
04 0404 080
JOKO TEGUH WARSITO
Pembimbing :
NIP. 130 878 004 Ir.Besman Surbakti,MT
penguji I: penguji II: penguji III :
Prof.Dr.Ing Johannes Tarigan Ir. Sanci Barus,MT Ir. Robert Panjaitan NIP:19561224 198103 1 002 NIP:19520901 198112 001 NIP : 131 127 009
Mengesahkan :
Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
NIP: 19561224 198103 1 002 Prof.Dr.Ing Johannes Tarigan
BIDANG STUDI STRUKTUR
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK USU
MEDAN
ABSTRAK
Telah diketahui bahwa analisa dan desain berdasarkan Teori Linier Elastis
belum mencerminkan faktor kekuatan struktur yang sebenarnya. Penyebabnya
adalah bahwa dalam merencanakan struktur tersebut, mengabaikan kemampuan
beberapa material tertentu seperti baja, untuk mengalami deformasi setelah titik
lelehnya terlampaui.
Dalam tugas akhir ini, penulis berusaha meninjau perbandingan beban
batas (runtuh) dan beban layan dalam tahapan pembentukan sendi-sendi plastis
pada struktur gelagar menerus secara analitis berdasarkan teori plastis, dengan
memberikan beban terpusat dan beban merata pada struktur tersebut. Analisis
yang dilakukan berdasarkan mekanisme keruntuhan suatu struktur dalam
mencapai beban runtuhnya. Pada akhirnya, penulis berusaha menemukan
hubungan rumusan faktor beban (load factor) dengan besarnya lendutan yang
terjadi.
Dari hasil yang diperoleh, terlihat bahwa analisa secara plastis pada
struktur menghasilkan beban runtuh serta lendutan yang lebih besar jika
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tugas akhir ini. Tugas akhir ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam
ujian Sarjana Teknik Sipil Bidang studi Struktur pada Fakultas Teknik Universitas
Sumatera Utara.
Adapun judul dari tugas akhir ini adalah : “Analisa perbandingan Beban
Batas Dan Beban Layan (Load Factor) Dalam Tahapan Pembentukan Sendi-Sendi
Plastis Pada Struktur Gelagar Menerus”.
Penulis berusaha menyelesaikan tulisan ini sebaik mungkin, namun
penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih banyak kekurangannya.
Keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pengalaman merupakan penyebab dari
ketidak sempurnaan Tugas Akhir ini. Oleh karena itu penulis, mengharapkan
kritik dan saran dari bapak dan ibu dosen serta rekan-rekan mahasiswa.
Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang
diberikan untuk terselesainya tugas akhir ini kepada :
1. Bapak Ir. Besman Surbakti, MT, sebagai pembimbing tugas akhir.
2. Bapak dosen penguji tugas akhir.
3. Bapak Prof. DR. Ing. Johannes Tarigan, sebagai Ketua Departemen
Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc, sebagai Sekertaris Departemen Teknik Sipil
5. Bapak Ir. Sanci Barus,MT, sebagai Ketua Bidang Studi Struktur Jurusan
Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak dan Ibu Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak, Ibu, Abang dan Kakak pegawai Departemen Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Sumatera Utara (Kak Lince, Bang Jul, Bang Nawi).
8. Kepada keluarga besarku, kedua orangtuaku, Ayahanda Dedy Suparno dan
Ibunda Suparti, yang selama ini selalu berusaha memberikan segala yang
terbaik kepada anak-anaknya, kakak-kakakku Evi Sutanti, Nurainun,
Nining Nurhayati, Puji Kartika Sari dan adik-adikku Mutia Wigati dan
Bayu Harry Siswoyo, terima kasih untuk perhatian, nasehat, semangat,
bantuan, dan dorongan yang telah diberikan.
9. Rekan-rekan seperjuanganku Amek, Wahyu, Meydi, Rahmat, Royhan,
Samuela, Faiz, Mabrur, Abang-Abang ’02 Bang Ai, Bang Irfan, Bang
Basirun, dan adik-adik pengurus PONDASI terima kasih untuk semua
bantuannya.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga tugas akhir ini dapat berguna
bagi kita semua. Amin.
Medan, 25 Februari 2010
Hormat Saya,
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK...i
KATA PENGANTAR...ii
DAFTAR ISI...iv
DAFTAR NOTASI...vi
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL...ix
BAB I : PENDAHULUAN I.1 Umum dan Latar Belakang...1
I.2 Permasalahan...3
I.3 Manfaat dan Tujuan...5
I.4 Pembatasan Masalah...6
I.5 Metodologi Penulisan...7
BAB II : TEORI DASAR II.1 Hubungan Tegangan dan Regangan...8
II.2 Menentukan Garis Netral Profil...13
II.3 Hubungan Momen Kelengkungan...15
II.4 Analisis Penampang II.4.1. Modulus Elastis...21
II.4.2. Modulus Plastis...22
II.5 Faktor Bentuk...23
II.6 Sendi Plastis II.6.1. Umum...25
II.6.2. Bentuk Sendi Plastis...28
II.7 Analisa Struktur Secara Plastis II.7.1. Pendahuluan...31
II.7.2. Perhitungan Struktur...33
II.7.3. Metode Kerja Virtual...35
BAB III : ANALISA BEBAN RUNTUH III.1 Umum...36
III.2 Analisis Tahap Demi Tahap...38
III.3.1. Balok Sederhana...44
III.3.2. Balok Bertumpuan Sendi dan Jepit...46
III.3.3. Balok yang Kedua Tumpuannya Jepit...49
III.3.4. Balok Menerus...51
III.4 Metode Kerja Virtual III.4.1. Balok Bertumpuan Sendi Jepit...59
III.4.2. Balok yang Kedua Tumpuannya Jepit...60
III.4.3. Balok Menerus...61
BAB IV : APLIKASI IV.1 Penurunan Persamaan Slope Deflection...64
IV.2 Analisa Faktor Beban IV.2.1. Balok Menerus Tiga Perletakan...68
IV.2.2. Balok Menerus Empat Perletakan...77
IV.2.3. Aplikasi dalam contoh soal………..97
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan...102
V.2 Saran...103
DAFTAR NOTASI
P = Beban layan
Pb = Beban batas
Δ = Lendutan balok yang terjadi
k = Kelengkungan
ko = Kelengkungan pada saat elastoplastis
ky = Kelengkungan pada saat leleh
φ
= Sudut kelengkungan balokR = Jari-jari kelengkungan balok
M = Kapasitas momen lentur
Mp = Kapasitas momen dalam keadaan plastis
My = Kapasitas momen dalam keadaan elastic
Mep = Kapasitas momen dalam keadaan elasto-plastis
Mx = Momen pada saat elastis sejauh x
A = Luas penampang
Es = Modulus elastisitas pada saat strain-hardening
ε =
Regangan umumε
y=
Regangan pada keadaan lelehε
s=
Regangan pada keadaan strain hardeningf = Faktor bentuk
l0 = Panjang bentang struktur sebelum dibebani
l = Panjang bentang struktur
S = Modulus penampang
Z = Modulus plastis
I = Inersia penampang
y = Tinggi serat
B = Lebar penampang profil IWF
D = Tinggi penampang profil IWF
t = Tebal flens
T = Tebal web
n = Jumlah sendi plastis untuk runtuh
r = Derajat statis tak tentu
α = Faktor daerah elastis pada penampang
λ = Faktor beban yang dihasilkan
λc = Faktor beban yang sebenarnya
σ = Tegangan normal
σy = Tegangan leleh
σult = Tegangan leleh maksimum
σyu = Tegangan leleh atas
θ = Ubahan sudut rotasi
= Ubahan sudut rotasi akibat timbulnya sendi plastis
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gbr. (1.1) : Jenis-jenis mekanisme keruntuhan pada struktur dengan dua perletakan
Gbr. (1.2) : Struktur bentang menerus empat perletakan
Gbr. (2.1) : Hubungan Tegangan –Regangan untuk Baja lunak
Tabel (2.1) : Hubungan persentase karbon ( C ) terhadap tegangan
Gbr. (2.2) : Efek Bauschinger
Tabel (2.2) : Nilai faktor bentuk pada profil IWF
Gbr. (2.3) : Hubungan plastis ideal
Gbr. (2.4) : Penentuan letak garis netral secara plastis
Gbr. (2.5) : Kelengkungan balok
Gbr. (2.6) : Distribusi tegangan pada tampang profil IWF
Gbr. (2.7) : Hubungan momen-kelengkungan
Gbr. (2.8) : Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada profil IWF
Gbr. (2.9) : Distribusi tegangan pada penampang IWF
Gbr. (2.10) : Diagram Tegangan Regangan
Gbr. (2.11.a) : Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terpusat
Gbr. (2.11.b) : Lengkung sendi plastis beban terpusat
Gbr. (2.12.a) : Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terbagi rata
Gbr. (2.12.b) : Kurva sendi plastis beban terbagi rata
Gbr. (3.1) : Balok yang kedua ujungnya terjepit
Tabel (3.1) : Faktor beban untuk beberapa penampang
Gbr. (3.2) : Peningkatan momen dalam
Gbr. (3.3) : Diagram momen kondisi ketiga
Gbr. (3.4) : Bentuk lendutan dan mekanisme runtuhnya
Gbr. (3.5) : Hubungan beban lendutan
Gbr. (3.6) : Mekanisme dan diagram momen yang bersesuaian untuk balok sederhana
Gbr. (3.7) : Balok bertumpuan sendi dan jepit
Gbr. (3.8) : Diagram momen yang bersesuaian untuk balok bertumpuan sendi dan jepit dengan beban terpusat
Gbr. (3.9) : Letak momen maksimum pada balok bertumpuan sendi dan jepit
dengan pembebanan terbagi rata
Gbr. (3.10) : Diagram momen yang bersesuaian untuk balok bertumpuan jepit dengan pembebanan terpusat
Gbr. (3.11) : Mekanisme runtuh dan diagram momen pada balok dengan
perletakan jepit-jepit
Gbr. (3.12) : Mekanisme runtuh dan bidang momen yang bersesuaian pada balok
menerus untuk beban terpusat
Gbr. (3.13) : Mekanisme runtuh dan bidang momen yang bersesuaian pada balok
Gbr. (3.14) : Mekanisme keruntuhan dan sudut rotasi pada balok bertumpuan sendi-jepit
Gbr. (3.15) : Mekanisme keruntuhan dan sudut rotasi pada balok tumpuan jepit-jepit
Gbr. (3.16) : Mekanisme keruntuhan dan sudut rotasi pada balok menerus
Gbr. (4.1) : Struktur bentang sederhana
Gbr. (4.2) : Penjabaran momen dalam dan sudut rotasi pada ujung-ujung batang
Gbr. (4.3) : Struktur bentang menerus tiga perletakan
Gbr. (4.4) : Distribusi momen lentur elastis
Gbr. (4.5) : Hubungan (respons) beban-lendutan
Gbr. (4.6) : Struktur bentang menerus empat perletakan
Gbr. (4.7) : Struktur pembebanan dan distribusi momen elastis bentang
menerus empat perletakan
Gbr. (4.8) : Hubungan (respons) beban-lendutan
Gbr. (4.9) : Struktur bentang menerus empat perletakan
Gbr. (4.10) : Struktur pembebanan dan distribusi momen elastis bentang
menerus empat perletakan
ABSTRAK
Telah diketahui bahwa analisa dan desain berdasarkan Teori Linier Elastis
belum mencerminkan faktor kekuatan struktur yang sebenarnya. Penyebabnya
adalah bahwa dalam merencanakan struktur tersebut, mengabaikan kemampuan
beberapa material tertentu seperti baja, untuk mengalami deformasi setelah titik
lelehnya terlampaui.
Dalam tugas akhir ini, penulis berusaha meninjau perbandingan beban
batas (runtuh) dan beban layan dalam tahapan pembentukan sendi-sendi plastis
pada struktur gelagar menerus secara analitis berdasarkan teori plastis, dengan
memberikan beban terpusat dan beban merata pada struktur tersebut. Analisis
yang dilakukan berdasarkan mekanisme keruntuhan suatu struktur dalam
mencapai beban runtuhnya. Pada akhirnya, penulis berusaha menemukan
hubungan rumusan faktor beban (load factor) dengan besarnya lendutan yang
terjadi.
Dari hasil yang diperoleh, terlihat bahwa analisa secara plastis pada
struktur menghasilkan beban runtuh serta lendutan yang lebih besar jika
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Umum dan Latar Belakang
Perkembangan teknologi perancangan konstruksi gedung sudah semakin
berkembang dan telah mempermudah manusia untuk melakukan pekerjaan
analisis struktural yang rumit dan membutuhkan waktu yang lama, menjadi
analisis yang mudah dan cepat.
Dalam mendesain bangunan seorang perencana dituntut untuk mendesain
suatu bangunan yang kuat, mudah dalam pelaksanaan dan memenuhi fungsi serta
kebutuhan bangunan. Salah satu faktor penting dalam perencanaan kekuatan
bangunan adalah mengenai daktilitas. Daktilitas struktur dipengaruhi oleh
daktilitas elemen-elemennya; jika elemen struktur dapat memanfaatkan
daktilitasnya dengan baik, maka demikan pula strukturnya secara keseluruhan.
Sehubungan dengan pemanfaatan sifat dakitilitas bahan tersebut, kita telah
mengenal adanya dua macam analisa didalam perencanaan struktur, yaitu analisa elastis dan analisa plastis. Pada analisa elastis diasumsikan bahwa ketika struktur dibebani maka tegangan yang terjadi lebih kecil dari tegangan leleh (yield stress)
dimana tegangan serat terluar tepi atas dan serat terluar tepi bawah adalah linear.
Sementara itu, deformasi yang terjadi akibat beban yang bekerja akan dapat
kembali pada bentuk semula ketika gaya tidak lagi diberikan. Deformasi elestis
Dimana adalah tegangan yang bekerja, E adalah konstanta material yang disebut sebagai Modulus Young dan adalah regangan yang dihasilkan. Hubungan ini hanya berlaku pada keadaan elastis dan mengindikasikan suatu
kemiringan antara tegangan dan regangan yang dapat digunakan untuk
menentukan besarnya Modulus Young.
Sedangkan pada analisa plastis tegangan yang terjadi adalah tegangan
leleh (yield stress) yang telah menjalar kebagian dalam serat penampang. Pada
daerah plastis Hukum Hooke (Hooke’s Law) sudah tidak berlaku lagi. Plastisitas ini sendiri merupakan suatu metoda yang menggambarkan deformasi pada suatu
material yang mengalami perubahan inelastis (inelastic changes) ketika diberikan
beban sebelum mengalami keruntuhan. Deformasi yang terjadi pada analisa
plastis bersifat permanen (tidak dapat kembali ke bentuk semula)
Pada analisa plastis, bila beban pada struktur diperbesar maka untuk
pembebanan tertentu sebagian serat akan mengalami tegangan leleh. Penambahan
beban secara bertahap menyebabkan daerah serat yang mengalami tegangan leleh
akan semakin bertambah. Hingga pada suatu beban plastis (beban batas), maka seluruh serat penampang akan mengalami tegangan leleh. Akibatnya pada bagian
tersebut akan terjadi perubahan sudut (rotasi) yang besar secara terus menerus
walau tanpa diberikan penambahan beban, keadaan ini kemudian disebut sebagai
Dalam hal ini penulis mencoba membahas mengenai analisa perbandingan
antara beban batas (ultimate) dan beban layan dalam tahapan pencapaian
sendi-sendi plastis pada struktur bentang menerus sampai sesaat sebelum terjadinya
keruntuhan. Pemanfatan penuh dari kapasitas plastis pada balok menerus
memerlukan suatu analisis yang meluas dari semua kemungkinan lokasi
tebentuknya sendi-sendi plastis; apabila beban terus ditambah sebelum terjadinya
keruntuhan pada struktur.
1.2.permasalahan
Selain direncanakan untuk menahan beban yang bekerja padanya,suatu
struktur juga dituntut dan diharapkan dapat memberikan keamanan dan
kenyamanan pada penggunanya. Faktor yang mempengaruhi keamanan struktur
diantaranya adalah terhindarnya struktur dari keruntuhan (collapse). Seperti yang telah disebutkan diatas, suatu struktur akan mengalami keruntuhan jika telah
tercapai mekanisme keruntuhan stuktur itu sendiri, yaitu terbentuknya sejumlah
sendi-sendi plastis yang dibutuhkan untuk meruntuhkan struktur tersebut. Untuk
mencegah hal tesebut maka diperlukan analisa dan perhitungan yang matang
mengenai besarnya kapasitas beban batas (ultimate), kapasitas rotasi sendi plastis
di setiap titik yang mungkin terjadi sendi plastis, dan juga perhitungan sejumlah
kemungkinan mekanisme keruntuhan yang paling membahayakan struktur yang
P P
L/2 L/2 L/2 L/2
Pb Pb
a) Mekanisme keruntuhan 1 b) Mekanisme keruntuhan 2
Sendi plastis Sendi plastis
P
L/2 L/2
Pb
c) Mekanisme keruntuhan 3 Sendi plastis
Untuk itu dalam memecahkan masalah ini, penulis mencoba menggunakan
Metode Analisa Sloope Deflection sebagai alat bantu dalam menganalisa pendekatan nilai (besaran) factor beban (load factor), yaitu perbandingan antara
beban batas dan beban layan pada struktur bentang menerus. Adapun dipilihnya
jenis struktur bentang menerus ini dikarenakan sering dijumpainya bentuk stuktur
ini dilapangan baik seperti jembatan maupun struktur balok menerus pada
bangunan yang sering kita jumpai.
1.3.Manfaat dan Tujuan
Dalam tugas akhir ini penulis bertujuan untuk melakukan analisa dan
perhitungan mengenai besaran load factor pada suatu struktur bentang menerus,
dengan memperhitungkan sejumlah kemungkinan lokasi terbentuknya sendi
plastis, sehingga pada akhirnya kita dapat melihat dan menganalisa besaran (nilai)
beban maksimum/batas (yang kemudian disebut sebagai beban plastis) yang dapat dipikul oleh struktur yang bersangkutan.
Dengan demikian, manfaat praktis yang bisa diperoleh dari hasil tulisan ini
adalah optimalisasi kinerja struktur baik dari segi kenyamanan, terlebih lagi dari segi keamanan struktur, bahkan dengan tidak mengabaikan segi keekonomisan
1.4.Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan pembahasan mengenai analisa load factor
tersebut, maka dalam Tugas Akhir ini penulis membatasi permasalahan yang akan
dibahas antara lain:
1. Balok pada struktur yang dianalisa merupakan bahan yang bersifat
homogen dan isotropis.
2. Penampang balok adalah profil IWF dengan perbandingan tertentu antara
tinggi, lebar profil, tebal badan, dan tebal sayap profil.
3. Tegangan geser dan gaya normal tidak ditinjau.
4. Analisa regangan tidak ditinjau.
5. Pengaruh komposisi bahan, temperatur, kecepatan regang bahan dan
residual stress tidak ditinjau.
6. Beban yang dipikul adalah beban terpusat dan beban merata.
7. Struktur yang ditinjau adalah struktur bentang menerus empat perletakan
sendi-jepit; dengan variasi nilai beban yang berbeda-beda antara satu
bentang dengan bentang lainnya, seperti gambar berikut :
Gambar (1.2). Struktur bentang menerus empat perletakan
2EI
EI 3EI
2Pb Pb
E D
C B A
Pb/L
F G
3L 4L
1.5.Metodologi Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyelesaian tugas akhir ini adalah dengan
cara analitis. Disamping itu juga digunakan program komputer Microsoft Exel
untuk mempermudah operasi matriks dari penyelesaian persamaan dalam
penentuan nilai faktor beban plastis yang akan dibahas nantinya; serta untuk
BAB II TEORI DASAR
II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN REGANGAN
Hubungan tegangan dan regangan pertama kali dikemukakan oleh Robert Hooke pada tahun 1678. Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja lunak ditarik oleh gaya aksial tertentu pada kondisi temperatur ruang maka
material tersebut akan mengalami regangan yang nilainya berbanding lurus
dengan tegangan ataupun dengan beban aksial yang diberikan, kondisi tersebut
kemudian disebut sebagai kondisi elastis. Hubungan antara tegangan dan
ragangan dapat diiterpretasikan sebagai berikut:
• σ = ……… (2.1)
• ε = ……….. (2.2)
• σ = E.ε ……… (2.3)
Dimana: P = beban aksial
A = luas profil
Lo = panjang mula-mula
L = panjang batang setelah dibebani
ε
yε
ρσu
A
A’ B
M
C
ε
Hubungan antara tegangan dan regangan untuk lebih jelasnya dapat diperlihatkan
pada gambar 2.1 berikut ini
GAMBAR 2.1
Hubungan Tegangan –Regangan untuk Baja lunak.
Daerah pertama yaitu OA, merupakan garis lurus dan menyatakan daerah
linier elastis. Kemiringan garis ini menyatakan besarnya modulus elastis atau
disebut juga modulus young, E. Diagram tegangan-regangan untuk baja lunak
umumnya memiliki titik leleh atas (upper yield point), σ, dan daerah leleh datar. Secara praktis, letak titik leleh atas ini, A’, tidaklah terlalu berarti sehingga
pengaruhnya sering diabaikan. Lebih lanjut, tegangan pada titik A disebut sebagai
tegangan leleh, dimana regangan pada kondisi ini berkisar 0.0012.
σyu
Dari grafik tesebut dapat terlihat bahwa bila regangannya terus bertambah
hingga melampaui harga ini , ternyata tegangannya dapat dikatakan tidak
mengalami pertambahan. Sifat dalam daerah AB ini kemudian disebut sebagai
kondisi plastis. Lokasi titik B, yaitu titik akhir sebelum tegangan sedikit
mengalami kenaikan, tidaklah dapat ditentukan. Tetapi, sebagai perkiraan dapat
ditentukan terletak pada regangan 0.014 atau secara praktis dapat ditetapkan
sebesar sepuluh kali besarnya regangan leleh.
Daerah BC merupakan daerah strain-hardenig, dimana pertambahan
regangan akan diikuti oleh sedikit pertambahan tegangan. Disamping itu
hubungan tegangan-regangannya tidak bersifat linier. Kemiringan garis setelah
titik B ini didefinisikan sebagai Es. Dititik M, tegangan mencapai nilai maksimum
yang disbut sebagai tegangan tarik ultimit (ultimate tensile strength). Pada akhirnya material akan putus ketika mencapai titik C.
Besaran-besaran pada gambar 2.1 akan tergantung pada komposisi baja,
proses pengerjaan pembuatan baja dan temperatur baja pada saat percobaan.
Tetapi factor-faktor tersebut tidak terlalu mempengaruhi besarnya modulus elastisitas (E). Roderick dan Heyman (1951), melakukan percobaan terhadap empat jenis baja dengan kadar karbon yang berbeda, data yang dihasilkan
TABEL
Hubungan persentase karbon ( C ) terhadap tegangan
%C σ (N/mm2 ) σya /σy εs /εy Es / Ey
0.28 340 1.33 9.2 0.037
0.49 386 1.28 3.7 0.058
0.74 448 1.19 1.9 0.070
0.89 525 1.04 1.5 0.098
Dari table 2.1 dapat dilihat bahwa semakin besar tegangan lelehnya maka
akan semakin besar kadar karbon yang dibutuhkan. Tegangan leleh bahan akan
berpengaruh pada daktilitas bahan. Semakin tinggi tegangan leleh maka semakin
rendah daktilitas dari material tersebut. Daktilitas adalah perbandingan antara εs
dan εy, dimana εs adalah regangan strain hardening dan εy adalah regangan leleh. Selanjutnya, apabila suatu material logam mengalami keadaan tekan dan
tarik secara berulang, diagram tegangan-regangannya dapat terbentuk seperti
gambar 2.2. lintasan tarik dan tekan adalah sama. Hal ini menunjukkan suatu
keadaan yang disebut efek Bauschinger, yang pertama kali diperkenalkan oleh J.
GAMBAR2.2
Efek Bauschinger
Hubungan tegangan-regangan untuk keperluan analisis ini diidealisasikan
dengan mengabaikan pengaruh tegangan leleh atas (strain hardening) dan efek Bauschinger, sehingga hubungan antara tegangan dan regangan menjadi seperti
gambar 2.3. Keadaan semacam ini sering disebut sebagai keadaan hubungan
plastis ideal (ideal plastic relation).
σy
o
εy
σy
-σy
GAMBAR 2.3
Hubungan plastis ideal
II.2. MENENTUKAN GARIS NETRAL PROFIL
Garis netral untuk tampang yang sama pada kondisi elastis tidak akan
sama dengan kondisi garis netral pada saat kondisi plastis. Pada kondisi elastis,
garis netral merupakan garis yang membagi penampang menjadi dua bagian yang
sama luasnya. Pada kondisi plastis, garis netral ditinjau sebagai berikut :
σ
GAMBAR 2.4
Penentuan letak garis netral secara plastis
D1 = A1. y ... ( 2.4 )
• D1 = A2. y .... ( 2.5 )
Agar terjadi kesetimbangan, maka : D1 = D2
• Sehingga A1 = A2 = ½ A
• Selanjutnya Z1 = S1/A1
Z2 = S2/A2
Dimana : S1 = statis momen pada bidang A1 terhadap garis netral plastis
S2 = statis momen pada bidang A2 terhadap garis netral plastis
D1 = resultan gaya tekan diatas garis netral plastis
D2 = resultan gaya tarik diatas garis netral plastis
Z1 = section modulus luasan 1
D1
D2
Z1
Z2
σy
σy A1
Z2 = section modulus luasan 2
Untuk menentukan momen plastis batas digunakan :
• Mp = D1 ( Z1+Z2 )
Mp = y . ½ A ( Z1+Z2 )
II.3. HUBUNGAN MOMEN-KELENGKUNGAN
Pada saat terjadi sendi plastis pada suatu struktur dengan perletakan
sederhana, struktur akan berotasi secara tidak terbatas. Sebelum gaya luar bekeja,
balok masih dalam keadaan lurus.
Setelah gaya luar bekrja, balok akan mengalami pelenturan. Diasumsikan
bahwa material penyusun balok adalah homogen dan diasumsikan bahwa balok
GAMBAR 2.5
Kelengkungan balok
b a
c1 b1
a1
A1
B1
C1 A
B C
M M
O
y
A B C
Perubahan kelengkungan akibat lentur murni ditunjukkan oleh gambar 2.5.
Titik A, B, dan C akan tertekan, sedangkan titik A1, B1, dan C1 akan meregang.
Perpanjangan titik A1-A, B1-B, dan C1-C akan mengalami perpotongan pada titik
O. Sudut yang terbentuk akibat terjadinya perubahan kelengkungan dititik A dan
B atau B dan C, dinyatakan dengan φ. Kalau φ ini sangat kecil, maka :
• a b = (ρ - y) φ
• a1 b1 = ρ . φ
d eng an ρ ad alah jari-jari kelengkungan (Radius of curvature ). Sehingga, regangan pada arah memanjang di suatu serat sejauh y dari sumbu netral dapat
dinyatakan sebagai :
•
ε =• ε = ... ( 2.6 )
dimana 1/ ρ menunjukkan kelengkungan ( K ). Tanda negatif menunjukkan bahwa
pada bagian diatas garis netral berada pada kondisi tekan, sedangkan pada kondisi
dibawah garis netral berada pada kondisi tarik. Dengan ε = /E, maka :
•
=
=
... ( 2.7 )Tegangan tarik pada serat bawah dan tegangan tekan pada serat atas adalah :
Dimana : S = Modulus penampang
• y = D/2
Akhirnya didapat
: =
dimana S . D/2 = I ( Momen Inersia). [image:33.595.113.502.108.672.2]•
= =
... ( 2.8 )GAMBAR 2.6
Distribusi tegangan pada tampang profil IWF
σy
z garis netral
σy
D/2
D/2
Daerah yang mengalami plastis
Daerah yang berada pada kondisi elastis
Pada gambar 2.6 dapat dilihat bahwa regangan pada serat terluar telah
mencapai tegangan leleh. Sedangkan serat sejauh z dari garis netral belum
mengalami tegangan leleh. Dengan demikian daerah sejauh 2z materialnya masih
berada pada kondisi elastis dan besarnya momen dalam dapat dicari dari resultan
bagian elastis dan plastis.
Jika z = D/2, hanya serat terluar saja yang mengalami / mencapai kondisi
leleh dan besar momen dalam yang ditahan disebut sebagai momen leleh (My).
• My = S . y... ( 2.9 )
dimana S adalah Modulus penampang (section modulus ).
Dari persamaaan (2.6) dengan harga
ε = ε
y , y = z , dapat diperoleh :• K =
ε
y / z... ( 2.10 )Selanjutnya untuk z = ½ D diperoleh :
• Ky = 2 εy / D... (2.11 )
Dimana :
K = kelengkungan pada kondisi plastis sebagian ( partially plastic state ).
Ky = kelengkungan pada saat kondisi leleh.
Pada penampang IWF seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.6, ketika
balok mengalami lentur maka bagian sayap (flens) atas akan memendek dan
bagian sayap bawah akan memanjang / meregang. Selanjutnya selama proses
tegangan leleh masih berada pada daerah sayap, telah melampaui sayap dan
seluruh serat pada bagian sayap telah mengalami leleh.
Perbandingan antara momen plastis (Mp) dan momen leleh (My)
menyatakan peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau pada kondisi plastis.
[image:35.595.111.487.312.528.2]Perbandingan ini tergantung dari bentuk penampang (shape factor) yang dinotasikan sebagai f.
GAMBAR 2.7
Hubungan momen-kelengkungan
Dari gambar 2.7 dapat dilihat bahwa suatu kurva hubungan momen
terhadap kelengkungan ( M – K ), dimana dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa
nilai momen (M) akan semakin mendekati f . My apabila harga K semakin besar.
Bila nilai My mencapai nilai faktor bentuk f maka harga K akan mencapai harga
tidak terhingga, dimana ini manandakan bahwa nilai z dalam parsamaan (2.10)
sama dengan nol, dimana y = z, maka seluruh penampang serat mencapai
kondisi plastis penuh dan momen plastisnya adalah Mp = f . My.
b a
c (M/My)
II.4. ANALISA PENAMPANG
Pada bagian ini akan diberikan paparan yang lebih mendetail tentang
distribusi tegangan pada keadaan leleh menuju kondisi plastis penuh yang
[image:36.595.148.487.266.480.2]digambarkan pada gambar 2.8 pada halaman berikutnya :
GAMBAR 2.8
Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada profil IWF
II.4.1. MODULUS ELASTIS ( sumbu X )
M = 2M1 + 2M2
M = 2BT ½ +
M = 1/2 (BT)(D – T) y B
T 1
1 1
1
D
t
D/2 2
2
σy
σy σy
σy
(a) Momen elastis (b) Momen plastis
Tampang IWF
M = y
M = y/D –
σy =
SX = =
–
SX = – ... (2.12.a)
II.4.2. MODULUS PLASTIS
Mp = 2M1 + 2M2
Mp = 2 + 2 y
Mp = – y
Mp = – y
σy =
Zx = = –
Zx = – ………... ( 2.12 )
Jika menggunakan factor bentuk (shape factor) yang dinotasikan dengan f,
dimana f = Zx / Sx (untuk sumbu X) maka hubungan antara kapasitas momen
pada saat keadaan leleh (My) dan kapastas momen pada keadaan plastis (Mp)
•
=
=
= f• ………..……….. ( 2.13 )
II.5. FAKTOR BENTUK ( Shape Factor )
Faktor bentuk ( f ) merupakan indeks yang menyatakan perbandingan
antara momen plastis dan elastis.
Dari persamaan (2.13) diperoleh :
Mp = f . My
Mp / My = f
f = .
f = –
–
TABEL 2.2
Nilai faktor bentuk pada profil IWF
Profil IWF D (mm) B (mm) t (mm) T (mm) Ix (cm4
)
Zx
(cm3) f
100x50 100 50 5 7 187 37.5 1.220
100x100 100 100 6 8 383 76.5 1.167
125x60 125 60 6 8 413 66.1 1.226
125x125 125 125 6.5 9 847 136 1.155
150x75 150 75 5 7 666 88.8 1.155
150x100 150 100 6 9 1020 138 1.170
150x150 150 150 7 10 1020 219 1.147
175x90 175 90 5 8 1210 139 1.176
175x125 175 125 5.5 8 1530 181 1.152
175x175 175 175 7.5 11 2880 330 1.141
200x100 200 100 5.5 8 1840 184 1.185
200x150 200 150 6 9 2690 277 1.144
200x200 200 200 8 12 4720 472 1.137
250x125 250 125 6 9 4050 324 1.177
250x175 250 175 7 11 6120 502 1.145
250x250 250 250 9 14 10800 867 1.130
300x150 300 150 6.5 9 7210 481 1.182
300x200 298 201 9 14 13300 893 1.132
300x300 300 300 10 15 20400 1360 1.126
350x175 350 175 7 11 13600 775 1.167
350x250 340 250 9 14 21700 1290 1.139
350x350 350 350 12 19 40300 2300 1.127
400x200 400 200 8 13 23700 1190 1.165
400x300 390 300 10 16 38700 1980 1.132
400x400 400 400 13 21 66600 3330 1.124
450x200 450 200 9 14 33500 1490 1.183
450x300 440 300 11 18 56100 2550 1.140
500x200 500 200 10 16 47800 1910 1.194
500x300 488 300 11 18 71000 2910 1.146
600x200 600 200 11 17 77600 2590 1.223
600x300 588 300 12 20 118000 4020 1.161
700x300 700 300 13 24 201000 5760 1.169
800x300 800 300 14 26 292000 7290 1.183
Rata – rata sampel ( x ) = = 1.164
Standar deviasi ( )
= 0.01
Faktor bentuk rata –rata = 1.164 – (1.164 x 0.01)
= 1.147
Maka faktor bentuk ( f ) = 1.147
II.6. SENDI PLASTIS II.6.1. Umum
Sendi plastis merupakan suatu kondisi dimana terjadi perputaran sudut
(rotasi) pada suatu struktur yang berlangsung secara terus-menerus sebelum pada
akhirnya mencapai keruntuhan yang diakibatkan oleh pembebanan eksternal.
Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu struktur maka sifat dari
konstruksi tersebut akan berubah, sebagai contoh:
1. Bila konstruksi semula merupakan konstruksi statis tertentu, maka dengan
timbulnya satu sendi plastis akan membuat konstruksi menjadi labil dan
runtuh.
2. Pada suatu konstruksi hiperstatis berderajat n, bila timbul satu sendi plastis
menjadikannya runtuh diperlukan sendi plastis dengan jumlah tertentu
sesuai dengan derajat hiperstatis dari suatu konstruksi
Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu konstruksi maka momen yang
semula dihitung dengan cara elastis harus dihitung kembali sesuai dengan
perubahan sifat konstruksi yang ditimbulkan oleh sendi plastis tersebut.
Dalam hal ini, pertama-tama penulis akan meninjau distribusi tegangan
normal pada penampang profil IWF seperti tergambar pada gambar 2.9. berikut
ini:
[image:41.595.77.526.315.611.2]
Gambar 2.9.
Distribusi tegangan pada penampang IWF
Dimana: My = Momen leleh
Mep = Momen elastoplastis/momen peralihan
y y
My Mep
yB
Mp = Momen plastis
Gambar 2.9 menunjukkan bahwa penampang telah mencapai momen tahanan
leleh (MRelastis) kemudian mengalami keadaan peralihan (elastoplastis) dan
akhirnya mencapai keadaan momen plastis (MR plastis). Pada penampang ini
terjadi distribusi tegangan leleh yang diawali dari serat terluar. Gambar 2.9
memperlihatkan tinggi bagian panampang yang mendapatkan distribusi tegangan
yang disebut sebagai jarak elastis ( D/2).
Perhatikan tegangan dan regangan yang terjadi pada gambar 2.10 berikut:
[image:42.595.74.556.337.716.2]GAMBAR 2.10 Diagram Tegangan Regangan
Dari Gambar : K = kelengkungan =
R = Jari-jari kelengkungan
= Regangan
D/2(1- )
.D/2
K
σy σy
σy σy
M M D/2 D/2 Profil IWF (a) Diagram Regangan (b) Diagram Tegangan (c) K
σy σy
σy σy
y = Tinggi serat yang ditinjau dalam keadaan elastis (jarak plastis)
Maka tg K = (untuk sudut kecil tg K = K).
Dari persamaan (2.7) :
=
Untuk y = , Didapat rumus untuk keadaan elastoplastis
•
=
……….……….. (2.15)Rumus untuk keadaan leleh, dimana = 1 dan y = D/2 adalah:
•
=
……… (2.16)II.6.2. Bentuk Sendi Plastis
Sendi plastis akan membentuk suatu persamaan garis tertentu sebelum
terjadi keruntuhan.
Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis (lp) pada
MR = Mp ( 1 - )
MR = Mp ( 1 – βα2 )
( 1 - ) = ( 1 – βα2 )
x = βLα2
α = βL
[image:44.595.148.487.90.245.2]f(x) = βL
Gambar 2.11.b
Lengkung sendi plastis beban terpusat Gambar 2.11.a
Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terpusat
O x
α
f(x) = βL
Sekarang kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis
(lp) pada balok sepanjang L dengan pembebanan terbagi rata.
g.n
lp
L
Gambar 2.12a
Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terbagi rata
MR = Mp ( 1 - )
MR = Mp ( 1 – βα2 )
( 1 - ) = ( 1 – βα2 )
x2 = βL2α2
α = βLx
f(x) = βLx
O
x
α
f(x) = βLx
β
Gambar 2.12.b.
II.7. ANALISA STRUKTUR SECARA PLASTIS II.7.1. Pendahuluan
Analisa strukur secara plastis bertujuan untuk menentukan beban batas
yang dapat dipikul oleh suatu struktur ketika mengalami keruntuhan. Keruntuhan
struktur dimulai dengan terjadinya sendi plastis. Keruntuhan dapat bersifat
menyeluruh ataupun bersifat parsial.
Suatu struktur hiperstatis berderajat n akan mengalami keruntuhan total
jika kondisinya labil, disini telah terbentuk lebih dari n buah sendi plastis.
Keruntuhan parsial terjadi apabila sendi plastis yang terjadi pada mekanisme
keruntuhan tidak menyebabkan struktur hiperstatis menjadi statis tertentu. Jadi
struktur masih hiperstatis dengan derajat yang lebih rendah dari semula.
Suatu struktur statis tak tentu mampunyai sejumlah mekanisne keruntuhan
yang berbeda. Setiap mekanisme keruntuhan itu menghasilkan beban runtuh yang
berbeda. Sehingga akhirnya dipilihlah mekanisme yang menghasilkan beban
runtuh terkecil.
Jumlah sendi plastis yang dibutuhkan untuk mengubah suatu struktur
kedalam kondisi mekanisme runtuhnya sangat berkaitan dengan derajat statis tak
tentu yang ada dalam struktur tersebut. Dalam hal ini dapat dibuat rumusan
sebagai berikut :
dimana : n = jumlah sendi plastis untuk runtuh
r = derajat statis tak tentu
1. Untuk struktur balok dua perletakan sendi-sendi (struktur statis tertentu)
dengan r = 0 dan n = 1
GAMBAR 2.13.a
Mekanisme Keruntuhan Balok
Struktur diatas hanya memerlukan sebuah sendi plastis untuk mencapai
mekanisme runtuhnya yaitu sendi plastis pada momen maksimum
(dibawah beban titik).
2. Struktur balok dua perletakan sendi-jepit (struktur statis tak tentu
berderajat satu) dengan r = 1 dan n = 2.
GAMBAR 2.13.b
Mekanisme Keruntuhan Balok
(a) Struktur pembebanan (b) Mekanisme runtuh
P
P
(a) Struktur pembebanan (b) Mekanisme runtuh
Struktur perletakan ini memerlukan dua buah sendi plastis untuk
mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis pada sistem
perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen
maksimum dan pada perletakan jepit.
3. Untuk balok struktur perletakan jepit- jepit (struktur statis tak tentu
berderajat dua) dengan r = 2 dan n = 3.
GAMBAR 2.13.c Mekanisme Keruntuhan Balok
Pada struktur perletakan ini diperlukan tiga buah sendi plastis untuk
mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis pada sistem
perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen
maksimum dan pada kedua perletakan jepitnya.
II.7.2. Perhitungan Struktur
Pada prinsipnya jika suatu struktur mencapai kondisi keruntuhan maka
akan dipenuhi tiga kondisi berikut :
(b) Struktur pembebanan (b) Mekanisme runtuh
1. Kondisi leleh (Yield Condition)
Momen lentur dalam struktur tidak ada yang melampaui momen batas
(Mp).
2. Kondisi keseimbangan (Equilibrium Condition)
Jumlah gaya-gaya dan momen dalam keadaan seimbang adalah nol
3. Kondisi mekanisme (Mecanism Condition)
Beban batas tercapai apabila terbentuk suatu mekanisme keruntuhan.
Ketiga kondisi diatas menjadi syarat dari teorema berikut :
1. Teorema batas bawah (Lower Bound Theorem)
Teorema batas bawah menetapkan atau menghitung distribusi momen
dalam struktur berdasarkan kondisi keseimbangan dan leleh. Beban yang
dianalisa memiliki faktor beban (λ) yang memiliki nilai yang lebih kecil
dari harga yang sebenarnya (λc), dirumuskan λ ≤ λc, sehingga ha sil yang
dihasilkan mungkin aman atau benar, karena hasil yang diperoleh lebih
kecil atau sama dengan nilai faktor beban yang sebenarnya.
2. Teorema batas atas (Upper Bound Theorem)
Jika distribusi momen yang diperoleh dihitung berdasarkan syarat yang
memenuhi kondisi keseimbangan dan mekanisme, dapat dipastikan
bahwa harga faktor bebannya akan lebih besar atau sama dengan harga
sebenarnya, λc. jadi λ ≥ λc.
3. Teorema unik (Unique Theorem)
Distribusi momen untuk teorema ini akan memenuhi ketiga kondisi
tersebut diatas sehingga akan diperoleh nilai faktor beban eksak dari
mekanisme struktur yang ditinjau : λ = λc. Pada teorema ini terdapat tiga
metode yang dapat digunakan :
a) Metode statis
b) Metode kerja virtual (Virtual Work Method)
c) Metode distribusi momen (Momen Balancing Method)
II.7.3. Metode kerja virtual
Metode kerja virtual adalah metoda yang meninjau keseimbangan energi
dari struktur tersebut ketika mengalami mekanisme runtuhnya. Persamaan kerja
virtual ini dapat ditulis sebagai berikut :
∑ Wi . ∆i = ∑Mj . θj... (2.18)
Dimana : Wi = beban luar (beban terpusat atau terbagi rata)
∆i = Deformasi struktur
∆i = L/2 tan θ , untuk sudut yang kecil tan θ = θ
Tan θ = θ
Mj = Momen pada tampang kritis
BAB III
ANALISA BEBAN RUNTUH (COLLAPSE) III.1. Umum
Faktor beban, atau yang sering kita sebut sebagai faktor keamanan (safety factor) dapat dirumuskan dalam beberapa cara. Umpamanya pada teori elastis,
faktor ini dirumuskan sebagai tegangan leleh di bagi dengan tegangan izin, σy/σ;
atau dapat pula dirumuskan sebagai beban pada kondisi tegangan leleh dibagi
dengan beban kerja. Beban kerja didefinisian sebagai beban yang menimbulkan
tegangan izin maksimum.
Rumusan yang digunakan pada teori plastis menyatakan bahwa faktor
keamanan merupakan hasil pembagian antara kapasitas beban maksimum dengan
beban kerja; yang ekivalen dengan momen plastis dibagi dengan momen elastis,
Mp/M. Dari uraian sebelumnya, kita ketahui bahwa momen plastis sama dengan
σy.Z = σy .S.f, dan momen elastis sama dengan σy .S. Sehingga dengan
mensubstitusikan harga-harga ini kedalam persamaan Mp/M, akan kita peroleh:
Faktor beban atau faktor keamanan =
Harga faktor beban (load faktor) untuk balok diatas dua tumpuan
sederhana dapat kita lihat dalam tabel 3.1. Dari table ini dapat diinterpretasikan
bahwa sebuah balok persegi panjang yang didesain dengan metode elastis yang
tegangan izinnya sebesar 20 ksi, tidak akan runtuh hingga beban yang bekerja
Table 3.1. faktor beban untuk beberapa penampang
Penampang σ(ksi) MPa σy/σ Faktor
bentuk
Faktor beban
Rolled 20 138 33/20 1,12 1,85
Segi-empat 20 138 33/20 1,50 2,48
Segi-empat 24 165 33/24 1,50 2,06
Segi-empat 26 179 33/24 1,50 1,90
lingkaran 30 207 33/30 1,70 1,87
Sedangkan bila direncanakan untuk tegangan tegangan izin sebesar 26 ksi,
akan kita peroleh faktor 1,90. Demikian juga, dapat kita lihat bahwa penampang
lingkaran dengan tegangan izin 30 ksi, akan mempunyai faktor beban 1,87 yang
mendekati hasil sebelumnya.
Bagian 2.1 dari AISC18 menggunakan faktor beban 1,70 untuk balok yang
terletak diatas dua tumpuan maupun balok menerus. Sedangkan faktor beban
untuk portal adalah 1,85 bila menahan beban mati dan beban hidup saja; dan 1,4
bila struktur tersebut menahan beban ini ditambah beban gempa ataupun beban
angin.
Faktor (koefisien) 1,70 ini diambil berdasarkan pada tegangan izin sebesar
0,66 σy, dan faktor bentuknya adalah 1,12 yang berasal dari penampang rolled w
shapes. Jadi,
Dengan sf adalah factor keamanan atau factor beban.
Harga ini dipakai dalam desain plastis, dimana beban rencana atau beban
kerja dapat diperoleh dari beban plastis (beban runtuh) dibagi dengan faktor
beban.
III.2.Analisis tahap demi tahap
Struktur pertama yang kita tinjau adalah sebuah balok dengan kedua ujung
terjepit, seperti tergambar dibawah. Geometri dan beban dari struktur ini
dinyatakan tanpa satuan, yaitu panjangnya dinyatakan dengan L, momen plastis
penampang Mp, dan beban meratanya ditetapkan sebesar w per panjang satuan. Selanjutnya, tingkah laku struktur terhadap peningkatan bebannya akan
diperhatikan.
Gambar 3.1. balok yang kedua ujungnya terjepit
Pertama, kita ketahui bahwa sampai beban tertentu, struktur masih bersifat
elastis. Sehingga dengan menerapkan analisis elastis, kita dapat menentukan
besarnya momen tumpuan, MA = MB = wL2/12. Sedangkan momen ditengah
bentangnya adalah MC = wL2/24. Dengan menggunakan momen-momen ini, kita
dapat menggambarkan diagram momen, seperti gambar 1.7. Selanjutnya bila
kedua momen terbesar pada kedua tumpuan A dan B telah mencapai kapasitas
A B
C
w/satuan panjang
momen plastisnya, akan kita peroleh beban w sebesar 12Mp/L2, yang mengakibatkan terjadinya sendi plastis pada kedua ujung tumpuan ini .
Kemudian dengan penambahan beban berikutnya, nilai momen kedua
tumpuan tersebut tidak berubah; tetapi dititik ini akan terjadi rotasi. Keadaan ini
menunjukkan bahwa sturktur tersebut bertingkah laku seperti balok statis tertentu,
dimana bidang momen yang bersesuaian dapat kia gambarkan pada gambar 1.7.b.
Tampak bahwa momen pada kedua tumpuan adalah sebesar nol dan
momen ditengah bentang adalah w’L2/8. Sedangkan w’ adalah faktor beban yang
baru. Dengan memperhatikan gambar tersebut, kita dapat mengetahui bahwa nilai
momen maksimum di titik C adalah:
MC = Mp/2 + w’L2/8
dimana momen ini akan menjadi sama dengan kapasitas momen plastis Mp, bila
w’ mencapai 4 Mp/L2 atau w sebesar 16 Mp/L2.dengan terbentuk tiga buah sendi
plastis ini, dapat kita pastikan bahwa struktur tersebut akan mengalami keruntuhan
(collapse). Jadi, dari contoh ini dapat disimpulkan bahwa beban runtuhnya adalah:
Wc = 16 Mp/L2
Meskipun dari analisa contoh ini belum dapat kita ketahui kisaran nilai
factor beban (load factor), namun disini kita bisa langsung mengetahui nilai beban
runtuhnya, dengan terlebih dahulu mengetahui dimensi gelagar dari struktur
tersebut, sehingga kita bisa menghitung kapasitas momen plastis penampang
tersebut berdasarkan persamaan (2.13) : Mp = f . My
Dimana : f = faktor bentuk penampang
a. kondisi pertama
b. kondisi kedua
Gambar 3.2. Peningkatan momen dalam
Selain dengan uraian diatas, kita dapat pula menggunakan metode moment area untuk menggambarkan analisis semacam itu. Metode ini menggunakan
persamaan-persamaan berikut ini sebagai persamaan dasarnya
-
-
………. (3.1)-
-
……… (3.2)∆c =
-
-
………... (3.3)dengan , , dan ∆c berturut-turut menyatakan besarnya rotasi di titik A, B,
dan lendutan (defleksi) di titik C. Syarat kompatibilias pada kondisi elastis
menghendaki bahwa di titik A, dan B tidak terjadi rotasi, sehingga , bernilai
nol. Dengan memasukkan harga-harga ini kedalam persamaan diatas, kita peroleh:
MA = MB = wL2/12 ………... (3.4)
w/l’
A B
A
C
L
wL2/8
wL2/12 Mp/2
Mp
A B
C w/l’
L
w’L2/8 Mp
Selanjutnya, dengan meninjau keseimbangan momen ditengah bentang, akan kita
peroleh :
MC = wL2/8 – (MA + MB)/2 = wL2/24……… (3.5)
Sedangkan besarnya lendutan yang terjadi dititik ini dapat kita tentukan
dengan mensubstitusikan harga kedua momen tersebut kedalam Persamaan (3.3),
dan menghasilkan :
∆c = wL4/348EI……….. (3.6)
yang merupakan lendutan pada kondisi elastis.
Dengan memperhatikan diagaram momennya, dapat kita pastikan bahwa
secara serentak akan terjadi sendi plastis pada tumpuan A dan B, dimana
bebannya mencapai 12Mp/L2. Hal ini juga berarti bahwa momen pada kedua
tumpuan tersebut sama dengan kapasitas momen plastis dari penampangnya, Mp.
Selanjutnya dari persamaan (3.3) dapat kita tentukan besarnya lendutan ditengah
bentang, yakni :
∆
c=
–
=
……… (3.7)
Gambar 3.3. Diagram momen kondisi ketiga
Adanya penambahan beban berikutnya dapat menyebabkan terbentuknya
sendi plastis yang ketiga, dan dari gambar ini dapat kita pastikan letak sendi
Mp Mp
C MC
MA wL2
tersebut adalah ditengah bentangan. Dengan demikian, momen dititik ini sama
dengan Mp, dan kita hasilkan :
Mp = wL2/8 – Mp Atau
Mp = wL2/16 Maka
w = 16 Mp/L2 ……… (3.8)
bila kita substitusikan harga w dan MA = MB = Mp ini kedalam Persamaan (3.3),
kita dapat tentukan bahwa :
∆c = ………. (3.9)
yang merupakan besarnya lendutan pada kondisi plastis, sebelum struktur tersebut
mengalami keruntuhan.
(a) lendutan
(b) mekanisme runtuh y
[image:57.595.117.471.447.718.2]Dengan menggabungkan bentuk ledutan dari semua kondisi tersebut, akan
terlihatlah peningkatan lendutan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar (3.4).
Selama proses dari kondisi kedua hingga kodisi ketiga tidak terjadi perubahan
momen pada tumpuannya, tetapi telah kita ketahui bahwa beban dan momen
ditengah bentangannya masih dapat bertambah. Keadaan ini dimungkinkan karena
adanya redistribusi momen dalam struktur. Hubungan antara beban (w) terhadap lendutan ditengah bentangan (∆c), yang dinyatakan oleh kurva oycb yang terdapat
pada gambar (3. 5)berikut :
Ternyata garis lendutan yang terjadi setelah titik C adalah horizontal. Ini
sesuai dengan kenyataan, bahwa lendutan pada kondisi plastis akan terus
bertambah tanpa memerlukan penambahan beban lagi. Keadaan ini menunjukkan
[image:58.595.162.482.373.525.2]bahwa struktur telah mencapai mekanisme runtuhnya. Gambar 3.5. hubungan beban lendutan 16Mp/L
12Mp/L
oy : elastis
yc : elastoplastis
cb : keruntuhan plastis
beban
lendutan
y
c b
Untuk lebih jelasnya, disini penulis akan memaparkan beberapa metode
yang umum digunakan dalam penentuan nilai factor beban (perbandingan beban
batas/runtuh terhadap beban layan) dari beberapa jenis struktur yang ditinjau
khususnya struktur bentang, baik dari bentang sederhana hingga ke bentang
menerus yang menjadi pokok bahasan kita.
III.3. Metode statis
Metode yang sering disebut juga dengan cara grafostatis ini berdasarkan teorema batas bawah, dimana distribusi momen disetiap penampangnya tidak ada
yang melampaui kapasitas momen plastisnya. Besarnya faktor beban, kita
tentukan dari diagram momen yang sesuai.
III.3.1. Balok sederhana
Sesuai dengan persamaan (2.17), struktur ini hanya memerlukan sebuah
sendi plastis untuk mencapai mekanisme runtuhnya. Mekanisme dan diagram
momen yang bersesuaian dapat dilihat pada gambar (3.6)
Sedangkan kurva beban-lendutannya kita gambarkan pada gambar (3.7).
Daerah elastis dibatasi sampai titik leleh saja, yaitu hingga titik yang mempunyai
nilai momen maksimum sama dengan momen leleh (yield moment) yang dalam
gambar tersebut dinyatakan oleh titik a. Beban pada kondisi ini disebut sebagai beban leleh ;
Dimana : My = mommen leleh Mp = momen plastis
Wc = beban keruntuhan
[image:60.595.121.503.254.517.2]f = factor bentuk penampang (shape factor).
Gambar 3.6. Mekanisme dan diagram momen yang bersesuaian untuk balok sederhana
Dari persamaan (3.9), ternyata bahwa perbandingan antara Wc dengan Wy
akan sama dengan faktor bentuk f. Daerah dalam garis c - b merupakan daerah (c)Bidang momen
wL/4
(c) Struktur pembebanan
L/2 L/2
w
plastis, dimana rotasi maupun lendutan struktur bertambah terus tanpa adanya
penambahan beban lagi.
Gambar (3.7). Hubungan beban lendutan
III.3.2. Balok bertumpuan sendi dan jepit
Umumnya, diagram momen dari struktur statis tak tentu dapat dipisahkan
dalam dua bagian, yaitu momen yang ditimbulkan oleh beban luar dengan
menganggap struktur sebagai konstruksi statis tertentu; dan yang diakibatkan oleh
momen dalam atau reaksi perletakan. Diagram yang pertama disebut momen
bebas (free moment), dan yang kedua sebagai momen reaktan (reactant moment), yang berturut-turut diperlihatkan pada gambar (3.8) c dan d, sebagai berikut :
4Mp/L
4Mp/fL
o
oc : elastis
cb : keruntuhan plastis
w
a
c b
Gambar 3.8. Diagram momen yang bersesuaian untuk balok bertumpuan sendi dan jepit dengan beban terpusat
Dari syarat keseimbangan, dapat kita turunkan persamaan momen dibawah
titik beban sebagai :
Mp + (b/L) Mp = (W.a.b)/L
Mp = (W.a.b)/(L+b)
Atau kita peroleh beban runtuh :
Wc = (L + b) Mp/(a.b)………...….. (3.10)
(a) Struktur pembebanan
P
a b
L
Wab/L (c) Momen bebas
Mp (d) Momen reaktan
(b) Momen resultan
Mp
Dengan demikian, dari penyelesaian diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa secara umum sendi plastis akan terbentuk pada tumpuan jepit dan dibawah
beban titik.
Sedangkan, bila struktur ini menahan beban terbagi rata, perlu dianalisa
lagi letak momen maksimum yang terjadi padanya, karena secara otomatis letak
sendi plastis dibentangan akan terjadi tepat dibawah momen maksimum,dan
permasalahan ini tak dapat diselesaikan hanya dengan persamaan matematik
sederhana. Tetapi telah kita ketahui, bahwa momen maksimum terjadi, bila
dMx/dx = 0 telah terpenuhi pada suatu penampang berjarak x dari tumpuan yang
kita tinjau, karena gaya lintang pada titik ini bernilai nol. Sekarang kita
[image:63.595.115.344.446.702.2]perhatikan terlebih dahulu gambar berikut :
Gambar 3.9. Letak momen maksimum pada balok bertumpuan sendi dan jepit dengan pembebanan terbagi rata
A
L (a)struktur
B w/satuan panjang
Mp x
(b)bidang momen
Mp
Mp
Mp
x w/satuan panjang
Dengan menetapkan keseimbangan terhadap titik A, kita peroleh :
(1/2) W (l – x)2 – Mp – Mp = 0
(1/2) W (l – x)2 = 2Mp
Dari keseimbangan terhadap titik B, dihasilkan :
(1/2) W x2 – Mp = 0
(1/2) W x2 = Mp
Dengan menyamakan kedua persamaan ini, kita peroleh :
(1/2) W (l – x)2 = Wx2 + 2Lx – L2 = 0
dan bila persamaan ini diselesaikan, akan kita peroleh letak momen maksimum yang diukur dari tumpuan B, yaitu :
x = ( 2 – 1) L = 0,4142 L
Selanjutnya beban runtuh dapat ditentukan dengan memasukkan harga x = 0,4142L ini kedalam persamaan sebelumnya, sehingga :
0,5W (0,4142L)2 = Mp
Atau :
Wc = 11,66 Mp/L2……….……. (3.11)
III.3.3. Balok yang kedua tumpuannya jepit
Untuk kondisi beban terpusat seperti yang ditunjukkan pada gambar
(3.10), terdapat persamaan momen elastis yang ditunjukkan oleh gambar (3.10.b),
Gambar (3.10) Diagram momen yang bersesuaian untuk balok bertumpuan jepit dengan pembebanan terpusat
Sehingga besar momen dititik beban dapat dirumuskan sebagai berikut :
Mp + Mp = (Wab)/ L
2Mp = (Wab)/L
Sehingga, beban runtuhnya adalah :
Wc = 2 MpL/(ab)………..…(3.12)
Sedangkan bila struktur tersebut memikul beban merata, bidang momen
ketika terjadi keruntuhan dapat kita tetapkan seperti gambar (3.11.c). letak momen
- Mp
(e) Momen reaktan
Wab/L +
(e) Momen bebas (c) Mekanisme runtuh
(b) Diagram momen elastis
Wab2/L2
Wa2b2/L2
Wa2b/L2
-
+
-
(d) Momen resultan
Mp
Mp
Mp
(b) Struktur pembebanan
w
a b
[image:65.595.100.490.114.511.2]maksimum ataupun sendi plastisnya tentunya ditengah bentangan. Dengan
demikian, persamaan momen pada titik ini adalah :
Mp + Mp = WL2/8
Dan
Wc = 16Mp/L2………..…(3.13)
Gambar (3.11). Mekanisme runtuh dan diagram momen pada balok dengan perletakan jepit-jepit
III.3.4.Balok menerus
Balok menerus dapat pula dianalisis dengan menggunakan prinsip
sebelumnya. Akan tetapi terdapat beberapa hal penting yang perlu kita perhatikan,
antara lain :
A B
C w/satuan
L
(d) Struktur pembebanan
(b) Mekanisme runtuh
Mp
wL2/8
wL2/12
[image:66.595.113.493.251.479.2]• Setiap bentangan dapat memiliki bentuk atau ukuran penampang yang
berbeda, sehingga mungkin momenplastis penampangnya juga berlainan.
Keadaan ini dapat menyebabkan kapasitas momen plastis dititik sebelah
kiri dan kanan dari suatu tumpuan tidak sama.
• Setiap bentangan tergantung kondisi bebannya, mungkin tidak akan runtuh
secara bersamaan, sehingga bentangan tersebut harus kita periksa
tersendiri. Dalam keadaan tertentu, dimana kita inginkan suatu struktur
dengan pemakaian bahan yang relatuf hemat tergantung pada biaya
penyambungan dan sebagainya, kita perlu menetapkan ukuran penampang
dari bentangan tersebut sedemikian rupa sehigga akan terjadi mekanisme
runtuh yang bersamaan.
Perhatikanlah suatu balok menerus pada gambar (3.12), dimana kapasitas
momen plastis bentangan tengah dan tepi berbeda. Mula-mula, akan kita tinjau
mekanisme pada bentang A – B dan C – D. Bidang momen untuk kedua
mekanisme ini diperlihatkan pada gambar (3.12) b dan c, dimana persoalannya
0,5Mp 0,75M
1,5Mp +
+
+
- -
(b)Mekanisme runtuh pada bentang pinggir
(f)Mekanisme runtuh saat bentangan tengah runtuh (a)Struktur dan pembebanan
(c – e)Bidang momen A
L L 1.5L 1.5L L L
w 2w
Mp
1.5w
B 1.5Mp C Mp D
c d
e +
- -
-
+ -
+ Mp
Mp
Mp
Mp
(g)Bidang momen saat bentangan tengah runtuh
[image:68.595.127.487.234.558.2]Persamaan keseimbangan dititik beban pada bentang A – B, adalah :
Mp + 0,5 Mp = 0,5 wL
Mp = 0,33 wL
Atau :
Wc = 3Mp/L
Sedangkan untuk bentang C – D adalah :
Mp + 0,5 Mp = 0,75 wL
Mp = 0,50 wL
Maka :
Wc = 2 Mp/L
Seandainya mekanisme runtuh terjadi pada bentang B – C, momen dalam
tumpuan B tidak akan lebih besar dari Mp. Bidang momen untuk mekanisme ini
diperlihatkan pada gambar (3.12) c, dan kita ketahui bahwa problemanya akan
menyerupai problema suatu balok yang kedua tumpuannya jepit. Persamaan
keseimbangannya adalah :
Mp + 1,5 Mp = 3/2 wL
Maka :
Mp = 0,6 wL
Atau :
Dengan membandingkan ketiga beban runtuh tersebut, dapat kita tentukan
bahwa mekanisme runtuh yang pertama kali terjadi akan terletak pada bentang
B – C dengan nilai beban runtuhnya ditunjukkan pada persamaan (3.14). Dengan
demikian, bentang ini merupakan bentang kritis. Ternyata bila kita
membandingkan momen plastisnya, bentang B – C merupakan bentang yang
memiliki nilai Mp terbesar.
Kesimpulannya, bila pada suatu tumpuan terdapat kapasitas momen plastis
yang tidak sama besar, sendi plastis akan terjadi pada titik yang terletak pada
bentangan yang lebih lemah (yang mempunyai kapasitas momen plastis
penampang yang lebih kecil).
Untuk balok menerus yang memikul beban merata dapat kita lihat gambar
(3.13). Berdasarkan kesimpulan tersebut, sendi plastis ditumpuan B dan C
berturut-turut akan terletak pada bentang B – A dan C – D. Persamaan untuk
bentang A – B :
2 Mp + 0,5 Mp = 1,5 wL2
Sehingga kita peroleh beban runtuh :
Wc = 1,67 Mp/L2
Untuk bentang B – C, lihat gambar (3.13) c.
Mp + Mp = (1/8) 3 wL2
Maka :
Wc = 1,77 Mp/L2
Selanjutnya, untuk bentang C – D (gambar 3.13.d) :
2 Mp + (4/3) Mp = 4 wL2
Mp = 1,2 wL2
Sehingga :
Wc = 0,833 Mp/L2………(3.15)
Perhatikan bahwa beban runtuh wc pada bentang C – D merupakan nilai yang
terkecil. Jadi, sekali lagi dapat kita katakan bahwa bentang C – D merupakan
2L 3L
2Mp Mp 2Mp
3wL 6wL
B C D
A
w/satuan panjang
L L L
(a)Struktur dan pembebanan
(b – d)Bidang momen
(f)Mekanisme keruntuhan
+
Mp 2Mp
Mp
+
- - -
+ 2Mp
2Mp Mp
b c
d
[image:72.595.104.480.153.590.2]III.4. Metode Kerja Virtual
Dapat kita lihat dari uraian sebelumnya, bahwa metode statis sangat baik
untuk menyelesaikan berbagai problema keruntuhan pada balok dan struktur yang
hanya memiliki satu atau dua redundan. Akan tetapi, metode ini akan banyak
memakan waktu bila diterapkan pada struktur yang mempunyai beberapa
redundan. Cara lain yang dapat kita lakukan adalah meninjau keseimbangan
energi dari struktur tersebut ketika mengalami mekanisme runtuhnya. Proses
penyelesaian yang berdasarkan prinsip ini akan lebih cepat. Pada saat runtuh
(collapse), struktur akan mengalami deformasi, sehingga beban luar w akan menjalani kerja-luar sebesar w. Kerja-luar total dari seluruh beban adalah ∑wδ,
yang diserap oleh setiap sendi plastis melalui perubahan sudut θ. Energy dari
masing-masing sendi plastis yang disebut sebagai kerja dalam adalah sebesar
Mpθ. Dengan demikian, kerja dalam untuk seluruh sendi menjadi ∑ Mpθ. Kondisi keseimbangan menghendaki kerja luar harus sama dengan kerja dalam, sehingga
menghasilkan persamaan :
∑wδ = ∑Mpθ……….………….(3.16)
Dalam metode ini, kita perlu memperkirakan letak sendi plastisnya, dan
mencoba beberapa mekanisme yang mungkin terjadi. Karena metode ini
berdasarkan teorema batas atas, beban runtuh yang dihasilkan akan sama ataupun
lebih besar dari nilai yang sebenarnya. Dengan demikian, inti persoalan dalam
metode ini adalah menentukan harga faktor beban yang paling kecil atau kapasitas
Mekanisme pada struktur kerangka dapat dibagi menjadi :
• Mekanisme balok (beam mechanism)
• Mekanisme panel (sway mechanism)
• Mekanisme kombinasi (combine mechanism), dan
• Mekanisme gable, yaitu mekanisme khusus yang terjadi pada portal
beratap lancip (gable frame).
Karena dalam tugas akhir ini penulis hanya membahas mengenai struktur
balok menerus, maka disini kita hanya akan membahas tentang mekanisme balok
(sway mechanism) saja.
III.4.1. Balok bertumpuan sendi-jepit
Gambar (3.14). Mekanisme keruntuhan dan sudut rotasi pada balok bertumpuan sendi-jepit
Dari gambar tersebut, dengan mengacu pada persaman (3.16), dihasilkan
formulasi beban runtuh :
α Θ
Θ+α
L - x X
A
L (a)struktur
wc= ………...……….(3.17)
Letak momen maksimum, yang juga merupakan letak sendi plastisnya
dapat kita tentukan dengan cara mendiferensiasikan persamaan ini terhadap x.
sehingga, kita peroleh :
x2 – 4Lx + 2L2 = 0………(3.18)
persamaan kuadrat ini akan mempunyai jawab x = 0,5878 L
Dengan mensubstitusikan harga x ini kedalam persamaan (3.17), akan
dihasilkan beban runtuh wc = 11,66 Mp/L2. Ternyata, baik metode statis maupun
metode kerja virtual (metode kinematis), memberikan hasil penyelesaian yang
sama besar, yang artinya penyelesaian ini memenuhi teorema unik.
III.4.2. Balok yang kedua tumpuanya jepit
Diasumsikan bahwa semua penampangnya memiliki kapasitas momen plastis
yang sama besar. Dari persamaan kerja :
wδ = - Mp (-θ) + Mp 2θ – Mp (-θ)
w θ L/2 = 4Mpθ kita peroleh :
wc = 8Mp/L
Gambar (3.15). Mekanisme keruntuhan dan sudut rotasi pada balok tumpuan jepit-jepit
III.4.3. Balok menerus
Disini akan kita gunakan contoh yang ada pada pasal (III.3.4). untk bentang A – B :
kerja luar = kerja dalam
3wLδ = 2Mp 2θ – Mp(-θ)
3wL2θ = 5Mpθ
hingga diperoleh :
wc = 1,66Mp/L2
Untuk