Skripsi
GERAKAN MAHASISWA DI JAKARTA
(1981-1990)
D I S U S U N
Oleh:
AMIN YEREMIA SIAHAAN 02076018
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GERAKAN MAHASISWA DI JAKARTA (1981-1990)
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN
O L E H
AMIN YEREMIA SIAHAAN 020706018
Pembimbing,
Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP: 131284307
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
MEDAN
Lembar Persetujuan Skripsi
GERAKAN MAHASISWA JAKARTA (1981-1990) yang diajukan oleh
NAMA :AMIN YEREMIA SIAHAAN
NIM :020706018
Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh:
Pembimbing,
Dra. Fitriaty Harahap S.U tanggal,………
NIP 131284309
Ketua Departemen Ilmu Sejarah
Dra. Firiaty Harahap tanggal,……….
NIP 131284309
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
GERAKAN MAHASISWA DI JAKARTA (1981-1990) SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA :AMIN YEREMIA SIAHAAN
NIM :020706018
Pembimbing,
Dra. Fitriaty Harahap, S.U
NIP: 131284307
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian fakultas Sastra USU Medan, untuk
melengkapi salah satu syarat ujian sarjana sastra dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Lembar Persetujuan Ketua
Disetujui Oleh:
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
Ketua,
Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP: 131284307
Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dosen dan Panitia Ujian
PENGESAHAN
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra
Pada :
Tanggal :
Hari :
Fakultas Sastra USU
Dekan,
Drs. Syaifuddin, M.A. Phd NIP:132098531
Panitia Ujian Tanda Tangan
1……… ( )
2……… ( )
ABSTRAK
Tidak ada yang menyangkal bahwa mahasiswa selalu ambil bagian dalam setiap perubahan. Sejarah kiranya telah mencatat hal ini. Dari berbagai literatur yang kita baca, nampak dengan jelas keterlibatan mahasiswa tersebut telah ada sebelum Indonesia menjadi sebuah negara. Dan, dilanjutkan setelah kemerdekaan berhasil dikumandangkan. Latar belakang utama bagi mahasiswa untuk mencatatkan peranannya dalam sejarah gerakan mahasiswa adalah adanya kesadaran sense of belonging terhadap kondisi di masyarakat.
Mahasiswa dengan kecakapan analisanya akan berontak dengan sendirinya, jika keadaan di sekelilingnya tidaklah sesuai dengan kaidah-kaidah kemanusiaan: terciptanya tatanan masyarakat yang adil, damai, sejahtera, dan demokratis. Artinya, mahasiswa sudah mempunyai pemikiran subyektif yang sewajibnya menjadi kenyataan di masyarakat.
Namun, perjalanan bangsa selalu mencatat bahwa tujuan-tujuan ideal mahasiswa, yang juga sudah digariskan sebelumnya oleh para pendiri bangsa (faunding fathers), tidaklah selalu berjalan dengan mulus. Kita melihat selalu ada kondisi-kondisi dimana masyarakat mengalami praktek dehumanisasi yang sangat hebat: kemiskinan.
Dengan latar belakang ini jugalah mahasiswa pada periode 1981-1990 di Jakarta kembali bergerak. Hanya saja metodenya berbeda dengan para pendahulunya. Ini tentunya sesuai dengan jiwa zaman (zeitgeist) yang ada ketika itu. Di satu sisi, bicara gerakan mahasiswa, maka tidak terlepas dari prestasi apa yang ditorehkannya. Prestasi ini sendiri bisa berupa ada atau tidak adanya sebuah momentum yang tercipta.
Pada tataran inilah gerakan mahasiswa 1981-1990 di Jakarta, sebagaiman juga di daerah lainnya, bisa dikatakan telah gagal dalam mengemban misi mulianya itu. Yaitu karena mereka tidak bisa menciptakan sebuah momentum. Seperti Peristiwa Malari pada gerakan mahasiswa 1974.
Adapun metode penelitian yang penulis terapkan di sini sesuai dengan kaidah penelitian sejarah yaitu yang terdiri dari heuristik, verifikasi, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Di samping itu penulis juga melibatkan wawancara terstruktur untuk menambah analisa penulis dalam melakukan penelitian skripsi ini.
SEPATAH KATA
Sebagai individu yang menyadari akan segala kekurangannya, maka
penulis terlebih dahulu mengucapkan terima kasih kepada Sang Pencipta manusia.
Karena Dialah segala usaha penulis dalam menyusun skripsi ini akhirnya
terselesaikan. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulis.
Skripsi ini berceritakan mengenai Gerakan Mahasiswa di Jakarta pada
periode 1981-1990. Di mana penulis ingin melihat sejauh mana keterlibatan
mahasiswa pada masa itu dalam usahanya menjaga nilai-nilai demokrasi. Selain
itu, skripsi ini dikerjakan juga sebagai salah satu persyaratan dalam
menyelasaikan perkuliahan penulis di Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas
Sastra-USU.
Penulis juga menyadari masih banyak kekurangan dalam proses
pengherjaan skripsi ini. Sehingga hasil ideal yang diharapkan belum tentu
tercapai. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya kritikan yang
membangun demi peningkatan kualitas topik ini di masa yang akan datang.
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyadari pengerjaan skripsi ini tidak semata-semata kerja keras
penulis sendiri. Namun, di balik itu banyak pihak-pihak yang dengan setia
membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Baik itu dengan memberikan
bantuan dalam bentuk materi maupun moril. Oleh karenanya dalam kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. S. Siahaan dan M. Tambunan, selaku orangtua tercinta. Penulis
mengucapkan terima kasih yang tak terkira atas segala cinta dan
kasih mereka selama ini, terkhususnya dalam memberikan
kesempatan kepada penulis untuk dapat menempuh dunia
perguruan tinggi. Penulis meyakini segala pengorbanan mereka
tidak akan sia-sia. Dan juga kepada adik-adik tersayang, Junita,
Jepri, dan Ruth. Terima kasih atas segala dukungannya selama ini,
baik melalui doa maupun nasehat dan sarannya.
2. Drs. Syaifuddin, M. A. Phd, selaku Dekan Fakultas Sastra
3. Dra. Fitriaty Harahap, S.U, selaku ketua Departemen Sejarah dan
Dra. Nurhabsyah, M.si, selaku sekretaris Departemen Sejarah.
Penulis mengapresiasi atas ilmu dan nasehat yang diberikan,
terkhusus selama penulisan skripsi.
4. Dra. Fitriaty Harahap S.U, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan nasehat dan juga sarannya selama proses penulisan
skripsi.
5. Drs. Sentosa Tarigan selaku dosen wali penulis, yang juga telah
memberikan sarannya selama masa perkuliahan.
6. Kepada rekan-rekan penulis di departemen mahasiswa sejarah,
khususnya angkatan 2002, yaitu Roi, Leo, Bohal, Dedy, Zulkifli,
Belli, Antoni, Tomi, Daru, Ringgus, Bambang, Novri, Miftah,
Sandri, Edwin, Erwin, Evaria, Pinta, Pana, Tiomsi, Nana,
Magdalena, Christina, Siti, Ayi, Fitri, Nurbaity, Lisbeth.
7. Kepada rekan-rekan penulis di UKM KMK USU FS, khususnya di
KTB Joyful-Imanuel, yaitu B handayani, Era, Friska, Leli dan Lita.
8. Kepada rekan-rekan seperjuangan penulis di KDAS, yaitu Oscar,
Shinta, Juliana, Novita, Indira, Zuena, Benny, Reagen, John,
Tongam, Ganda, Randy, Steven, Retta, Edward, Hizkia, Jepri,
Ekha, Theodora, Wati, Rossi, Ravi, Luki, Nerly, Cahriady.
9. Kepada rekan-rekan seperjuangan penulis di CC-Medan, yaitu
Januar, John, Hendra, Dozier, Hendro, Surya, Binsar, Yoga, Helen,
Lestari, Neil.
10.Kepada KK Amadea Gracia, yaitu Theo, Eva, dan Meixi. Terima
kasih atas dukungan kalian.
11.Kepada kekasih penulis, Friska S.
Kepada mereka di ataslah penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Kiranya segala kebaikan dan amal budinya, terbalaskan oleh kasih dan karunia
DAFTAR ISI
Abstrak………i
Kata Pengantar………..ii
BAB I Pendahuluan………...1
1.1Latar Belakang Masalah……….1
1.2Rumusan Masalah……….10
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian………10
1.4Tinjauan Pustaka………...12
1.5Metode Penelitian………. 13
BAB II Gambaran Umum Jakarta………15
2.1 Sejarah Singkat Jakarta...15
2.2 Keadaan Geografis………17
2.3 Sistem Ekonomi-Penduduk Jakarta………18
2.3.1 Penduduk Jakarta………..18
2.3.2 Ekonomi Jakarta………20
2.4 Sistem Kekerabatan………..22
BAB III Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990 di Jakarta………….…….24
3.1 Kondisi Umum Gerakan Mahasiswa di Jakarta 1970-an……….24
3.2 Gerakan Mahasiswa 1981-1990………28
3.3 Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990 di Jakarta…..………….32
3.3..1 Organisasi Non-Pemerintah atau LSM…...………36
3.3.2 Pembentukan Kelompok Studi………….……….39
3.3.2.2 Kelompok Studi LSI……..………..42
3.3.2.3 Kelompok Studi Formaci………….…………...42
3.3.3 Pembentukan Pers Mahasiswa….……….44
3.3.4 Pembentukan Komite Rakyat…….………...47
BAB IV Kelemahan Gerakan Mahasiswa 1981-1990...48
4.1 Tidak Adanya Partner Politik Mahasiswa…...………...50
4.2 Lemahnya Penetrasi Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990…..52
4.2.1 Kelemahan Kelompok Studi…….……….54
4.2.2 Kelemahan LSM……….55
4.2.3 Kelemahan Persmawa………57
4.2.4 Kelemahan Komite Rakyat………58
BAB V Penutup………60 Narasumber
ABSTRAK
Tidak ada yang menyangkal bahwa mahasiswa selalu ambil bagian dalam setiap perubahan. Sejarah kiranya telah mencatat hal ini. Dari berbagai literatur yang kita baca, nampak dengan jelas keterlibatan mahasiswa tersebut telah ada sebelum Indonesia menjadi sebuah negara. Dan, dilanjutkan setelah kemerdekaan berhasil dikumandangkan. Latar belakang utama bagi mahasiswa untuk mencatatkan peranannya dalam sejarah gerakan mahasiswa adalah adanya kesadaran sense of belonging terhadap kondisi di masyarakat.
Mahasiswa dengan kecakapan analisanya akan berontak dengan sendirinya, jika keadaan di sekelilingnya tidaklah sesuai dengan kaidah-kaidah kemanusiaan: terciptanya tatanan masyarakat yang adil, damai, sejahtera, dan demokratis. Artinya, mahasiswa sudah mempunyai pemikiran subyektif yang sewajibnya menjadi kenyataan di masyarakat.
Namun, perjalanan bangsa selalu mencatat bahwa tujuan-tujuan ideal mahasiswa, yang juga sudah digariskan sebelumnya oleh para pendiri bangsa (faunding fathers), tidaklah selalu berjalan dengan mulus. Kita melihat selalu ada kondisi-kondisi dimana masyarakat mengalami praktek dehumanisasi yang sangat hebat: kemiskinan.
Dengan latar belakang ini jugalah mahasiswa pada periode 1981-1990 di Jakarta kembali bergerak. Hanya saja metodenya berbeda dengan para pendahulunya. Ini tentunya sesuai dengan jiwa zaman (zeitgeist) yang ada ketika itu. Di satu sisi, bicara gerakan mahasiswa, maka tidak terlepas dari prestasi apa yang ditorehkannya. Prestasi ini sendiri bisa berupa ada atau tidak adanya sebuah momentum yang tercipta.
Pada tataran inilah gerakan mahasiswa 1981-1990 di Jakarta, sebagaiman juga di daerah lainnya, bisa dikatakan telah gagal dalam mengemban misi mulianya itu. Yaitu karena mereka tidak bisa menciptakan sebuah momentum. Seperti Peristiwa Malari pada gerakan mahasiswa 1974.
Adapun metode penelitian yang penulis terapkan di sini sesuai dengan kaidah penelitian sejarah yaitu yang terdiri dari heuristik, verifikasi, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Di samping itu penulis juga melibatkan wawancara terstruktur untuk menambah analisa penulis dalam melakukan penelitian skripsi ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejarah mencatat bahwa mahasiswa selalu ikut ambil bagian dalam
perubahan sosial. Setidaknya ini dapat kita lihat sejak awal abad ke-20, yang
umumnya dipelopori mahasiswa STOVIA. Keterlibatan mahasiswa ini bertujuan
untuk mengubah tatanan sosial-politik yang tidak mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan. Lebih jauh, mahasiswa bergerak untuk mengubah penindasan
(kemiskinan) menuju kehidupan yang lebih beradab. Paradigma berpikir ini di
dapat mahasiswa ketika mereka mulai bersentuhan dekat dengan dunia
pendidikan.
Definisi gerakan mahasiswa itu sendiri cukup jamak. Artinya, gerakan
mahasiswa tidak hanya dipahami sebagai adanya sekelompok massa (mahasiswa)
yang berkumpul dan melakukan unjuk rasa, dan dimana umumnya dilakukan di
mahasiswa adalah sebuah komunitas sosial yang melakoni aktifitas politik,
terlepas dari jumlah, metode dan hasilnya1
Bicara tentang gerakan mahasiswa, paling tidak ada dua kondisi yang
menyebabkan mahasiswa terlibat dalam kegiatan politik tersebut. Pertama,
pemikiran yang mengatakan mahasiswa sebagai ujung tombak perubahan sistem
sosial-politik. Dalil ini sendiri berangkat dari pernyataan bahwa mahasiswa
sebagai komunitas yang lebih maju dibandingkan dengan komunitas masyarakat
lainnya. Lebih maju karena mahasiswa mempunyai tingkat pendidikan yang lebih
tinggi.
.
Kedua, pemikiran yang menyebutkan mahasiswa adalah komunitas sosial
yang lebih cepat meresponi ketimpangan sistem politik. Biasanya gerakan
mahasiswa ini dipicu karena adanya penindasan secara struktural dari atas ke
bawah. Yang akibatnya tak jarang menimbulkan krisis di masyarakat.2
Seperti telah disinggung di awal tulisan, gerakan mahasiswa sudah hadir
seiring datangnya abad ke-20. Namun, mengingat begitu terlalu jauh untuk
menuliskannya, maka penulis di sini akan membatasi latar belakang sejarah
1
Adi Suryadi Culla, Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa
dalam Politik dan Sejarah Indonesia (1908-1998), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, hal., 17
2
gerakan mahasiswa. Yaitu dimulai pasca Indonesia merdeka, tepatnya pada
periode 1960-an. Berbicara gerakan mahasiswa pada periode ini, maka kita akan
melihat dinamika gerakan yang berbeda dengan dinamika sebelum kemerdekaan.
Salah satunya yaitu mengenai musuh gerakan itu sendiri. Jika sebelumnya
musuh gerakan mahasiswa adalah pemerintah Kolonial Belanda yang sudah
menginjakkan kakinya di Indonesia sejak akhir abad ke-16 dan pendudukan
Jepang selama kurang lebih 3,5 tahun, maka setelah kemerdekaan musuh tersebut
adalah anak bangsa sendiri.
Kedudukan atau peranan mahasiswa pascakemerdekaan yaitu ikut untuk
mengisi alamnya kemerdekaan itu sendiri. Terutama dalam hal pendidikan (back
to campus). Mahasiswa menyadari dengan pendidikan tinggi yang nantinya
diperoleh, mereka bisa menyumbangkan pemikiran dan tenaga untuk membangun
bangsanya. Sebagai contoh, yaitu untuk memasuki pos-pos di setiap departemen
atau kementerian yang tentunya membutuhkan tenaga-tenaga ahli di bidangnya.
Namun, mahasiswa ketika itu juga tidak semerta-merta meninggalkan dirinya dari
kegiatan aktifitas politik.
Pada masa ini banyak bermunculan organisasi pergerakan mahasiswa.
dari partai politik (parpol) yang ada ketika itu. Lihat saja misalnya, Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi dengan PNI, Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi dengan PKI, Gerakan
Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) yang berafiliasi dengan PSI, Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berafiliasi dengan NU, Himpunan
Mahasiswa Indonesia (HMI) yang berafiliasi dengan Masyumi, dll.
Sayangnya, di satu sisi, hal ini cukup membuat gerakan mahasiswa
menjadi lemah (tidak independen). Dalam arti, gerakan mahasiswa tidak lagi
berdiri secara otonom, tetapi sudah menjadi komoditi politik dari parpol. Maka,
warna pergerakan organisasi mahasiswa saat itu sama dengan warna pergerakan
parpol yang menaunginya. Di satu sisi, adalah tidak salah jikalau gerakan
mahasiswa mempunyai kekuatan politik yang berasal dari pihak elite (parpol).
Namun, kondisi ini menjadi tidak sehat ketika gerakan mahasiswa lebih
menampakkan diri sebagai alat kepentingan sesaat dari elite. Memasuki periode
1960-an warna politik Indonesia adalah buah dari pelaksanaan Demokrasi
Terpimpin sebagai pengganti dari Demokrasi Parlementer atau Liberal. Pada
disebabkan kebijakan Soekarno yang banyak membubarkan parpol,3
Kalau toh ada organisasi mahasiswa yang masih menjadi underbouw
sebuah parpol, itu lebih dikarenakan parpol tersebut pro kepada pemerintah
(Soekarno). Seperti PNI dan PKI. Dari sinilah perlahan-lahan gerakan mahasiwa
mulai tampil kritis, terlepas dari tidak adanya parpol yang menaungi mereka. Di
sisi lain, konstelasi politik ketika itu semakin memanas.
sehingga
organisasi gerakan mahasiswa sebagai underbouw sebuah parpol, merasa
kehilangan induknya.
Pertentangan parpol (kecuali PKI) dengan pemerintah, militer (AD)
dengan pemerintah maupun dengan PKI semakin menjadi-jadi. Situasi ini
semakin kritis ketika dua kekuatan politik internasional ikut mempengaruhi
konstelasi politik dalam negeri. Yaitu antara AS (liberal) dengan Uni Soviet
(komunis). Dalam perkembangannya dominasi politik luar negeri AS lebih
kentara dibandingkan dengan Uni Soviet.
3
Beberapa partai politik yang dilarang adalah Masyumi dan PNI. Ini terjadi di bulan
Agustus 1960. Selain partai politik, beberapa tokoh yang dianggap berseberangan dengan
Soekarno dijebloskan ke penjara. Diantaranya yaitu, Syarifuddin, Natsir, Simbolon, Burhanudin,
Syahrir, dll. Lihat M.C. Ricklefs, Dharmono Hardjowidjono (pnj.), Sejarah Indonesia Modern,
Salah satunya bisa dilihat dari usaha-usaha AS untuk menjatuhkan
Soekarno. Langkah ini diambil karena Soekarno tidak bisa diajak berkerja sama
dengan AS, terutama dalam hal ekonomi dan ideologi. Sejalan waktu dengan
meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S), seakan menjadi pertanda
bahwa kejatuhan Soekarno tinggal menunggu waktu.
Kejadian ini sendiri sampai sekarang masih menjadi catatan gelap dalam
historiografi Indonesia.4 Pascaperistiwa ini gerakan mahasiswa semakin menguat.
Ini bisa dilihat dari terbentuknya KAMI5 yang mengusung Tritura.6
4
Sampai saat ini belum diketahui apa motif sesungguhnya pada peristiwa yang terjadi 1
Oktober 1965 itu. Ada beberapa spekulasi/teori yang muncul berkaitan dengan peristiwa tersebut.
Diantaranya yaitu, pemberontakan PKI, kudeta “merangkak”militer (AD), konspirasi kekuatan
internasional (AS-CIA), bahkan ada yang menyebutkan Soekarno sendirilah sebagai dalang
utamanya.
Ada hal yang
menarik di sini. Pada masa Demokrasi Parlementer atau Liberal, organisasi
5
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI didirikan pada tanggal 25 Oktober
1965 yang dipelopori oleh Menteri PTIP Mayjen dr. Syarief Thayeb. KAMI terdiri antara lain dari
HMI, PMII, GMKI, dll. Lebih jauh lihat Adi Surya Culla, Op., Cit., hal., 47-53. Sementara
tujuannya adalah untuk menyatukan gerakan mahasiswa dalam rangka mengamankan Pancasila,
menggalang anti-Nasakom, dan membantu ABRI untuk memberangus G 30 S/PKI. Lihat juga
Muridan S. Widjojo, Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa 1998, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1999, hal., 45.
6
Isi Tritura (sebelumnya dikenal dengan istilah suara hati nurani rakyat-Hanura) yaitu
mahasiswa cenderung untuk menjadi underbouw dari parpol, sedangkan pada
masa Demokrasi Terpimpin, mahasiswa cenderung melekat kepada militer (AD).
Kembali gerakan mahasiswa menjadi tidak otonom. Sama halnya ketika
menjadi underbouw parpol, pergerakan mahasiswa lebih menunjukkan
kepentingan (alat) militer. Yaitu untuk mengganti Soekarno. Perjuangan KAMI
yang di back up penuh militer akhinya menuai hasil. Pertanggungjawaban
Soekarno dengan judul Nawaksara ditolak anggota MPRS7
Memasuki zaman Orba, gerakan mahasiswa menemui kondisi yang sama
dengan ketika Indonesia baru saja merdeka. Yaitu lebih menarik diri sambil
mengikuti perkembangan situasi atau keadaan. Ketika Soeharto berkuasa
mahasiswa seakan-akan memberikan kesempatan kepadanya untuk membuktikan
pemerintahan yang dipimpinnya dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih
baik. Namun, memasuki pertengahan tahun 1970-an, gerakan mahasiswa kembali . Peristiwa ini ibarat
membukan pintu masuk kepada Soeharto untuk menjadi Presiden, yang di
kemudian hari dikenal dengan istilah Orde Baru (Orba)
7
Sebelum pidato Soekarno di MPRS, terlebih dahulu terbit yang namanya Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar). Hal ini digunakan oleh Soeharto sebagai senjata ampuh untuk
memuluskan rencananya. Diantaranya yaitu dengan mengganti anggota MPRS dengan anggota
bergolak. Tepatnya di tahun 1974 dan tahun 1978. Di tahun 1974 meletuslah
peritiwa Malari. Peritiwa ini sendiri tidak terlepas dari kontroversi.
Ada yang mengatakan aksi mahasiswa tersebut bukanlah murni
perjuangan mereka sebagai agen of change. Dengan kata lain peristiwa Malari
telah ditunggangi. Beberapa spekulasi yang berkembang mengatakan peristiwa ini
lebih merupakan puncak pertikaian terselubung antara Sumitro dengan Ali
Moertopo. Keduanya ingin mendapatkan nilai lebih di mata Soeharto. Peristiwa
ini sendiri meninggalkan noda hitam bagi sejarah pergerakan mahasiswa.
Bagi mahasiswa, beberapa aktivis ditangkap dan diadili. Termasuk mantan
ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman Siregar. Sedangkan di tataran elite, yaitu
dengan mundurnya Soemitro selaku Pangkopkamtib. Peristiwa Malari adalah
gerakan pertama mahasiswa secara monumental untuk menentang kebijakan
pembangunan Soeharto. Gerakan mahasiswa berikutnya yaitu pada tahun 1978.
Sama halnya dengan gerakan 1974, aksi ini muncul karena kekecewaan
mahasiswa terhadap konsep ekonomi yang dijalankan Soeharto.
Namun, kekecewaan terhadap praktek politik Orba yang semakin jauh dari
nilai-nilai demokrasi juga dimunculkan. Hanya saja isu-isu yang dilemparkan oleh
Orba dalam proses pemilu. Bahkan, pada masa ini mahasiswa dengan berani
mengkampanyekan penolakan terhadap Soeharto yang ingin kembali
mencalonkan dirinya menjadi Presiden.
Untuk menghindari aksi-aksi berikutnya dari mahasiswa, maka pemerintah
mengeluarkan kebijakan NKK/BKK.8
Memasuki periode 1980-an, dinamika pergerakan mahasiswa (dalam hal
ini di Jakarta) benar-benar lemah, jika tak mau dikatakan mati total. Dalam
rentang waktu sepuluh tahun, kita tidak melihat adanya sebuah peristiwa atau
momentum sebagai hasil dari gerakan mahasiswa. Pergerakan mahasiswa
seakan-akan kehilangan akal (daya kreatifitas) untuk menciptseakan-akan sebuah momentum. Inti dari dua kebijakan ini adalah untuk
mengebiri kegiatan aktifitas politik mahasiswa. Di mana mereka hanya cukup
memahami politik dalam artian teori bukan praktek. Kemudian, jika diadakan
evaluasi terhadap kedua aksi tersebut, maka nilainya adalah kegagalan. Salah satu
yang menyebabkannya yaitu tidak adanya partner politik mahasiswa ketika itu.
Akibatnya, gerakan ini dengan mudahnya ditumpas oleh penguasa. Ini berbeda
dengan gerakan mahasiswa 1966 yang mendapatkan dukungan penuh dari militer.
8
NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) berdasarkan SK No 0156/U/1978 dan BKK
(Badan Koordinasi Kemahasiswaan) berdasarkan SK RI No 037/U/1979. Keduanya dikeluarkan
Gejala ini tentunya menarik untuk dipertanyakan. Apakah memang jiwa
zaman (zeitgeist) pada periode ini berbeda dengan periode sebelumya? Jika
memang benar, permenungan selanjutnya adalah mengapa gerakan mahasiswa tak
kunjung jua mencari jalan keluarnya. Maksudnya, mencari solusi dalam kerangka
proses menuju penciptaan momentum yang baru. Toh, gerakan mahasiswa
1970-an berhasil menciptak1970-an momentum: Malari.
Padahal, kondisi zamannya berbeda dengan tahun 1960-an. Oleh
karenanya, penulis beralasan pada periode ini adalah memang masa stagnan
gerakan mahasiswa. Terkhususnya ketidakberhasilan gerakan mahasiswa ketika
itu untuk menciptakan sebuah momentum. Kenapa? Karena penulis juga
beranggapan sebuah gerakan mahasiswa dapat dikatakan berhasil jika ia bisa
menciptakan sebuah momentum. Dari sinilah akan nampak keunggulan gerakan
mahasiswa dalam menjalankan proses perubahan. Persoalan momentum itu sukses
atau tidak, adalah lain hal. Di satu sisi, kevakuman gerakan mahasiswa pada
periode ini dikarenakan beberapa hal.
Pertama, pemerintah sangat menyadari betul bahwa mahasiswa adalah
salah satu elemen terpenting dalam mewujudkan perubahan sosial. Oleh karena
ingin kecolongan lagi. Karena itulah keluar kebijakan NKK/BKK. Kebijakan ini
benar-benar menjauhkan mahasiswa dari realita sosial yang ada. Karena setiap
tindakan yang mengarah kepada kritikan terhadap pemerintah, langsung dihadapi
oleh cara-cara represif. Alasannya, hal itu dapat menggganggu stabilitas
keamanan.
Kedua, selain adanya campur tangan pemerintah yang sangat jauh,
melemahnya gerakan mahasiswa periode 1981-1990 juga dikarenakan belum
terkonsolidasinya dengan kuat gerakan mahasiswa. Apalagi mahasiswa tidak
mempunyai partner politik dalam perjuangannya. Sesuatu yang berbeda dengan
gerakan mahasiswa tahun 1966 yang di back up penuh oleh militer.
Kondisi-kondisi ini berlaku secara umum (nasional) dan demikan pula halnya di Jakarta.
Selain permasalahan kevakuman ini, hal lain yang penulis lihat menarik
untuk dikaji di sini yaitu berubahnya pola atau metode pergerakan mahasiswa.
Jika pada masa Demokrasi Liberal gerakan mahasiswa terkonsentrasi pada
kehidupan parpol, maka pada periode ini gerakan mahasiswa sangat jauh
bersentuhan dengan parpol. Maka, fenomena yang muncul adalah berdirinya
muncul adalah kehadiran organisasi non-pemerintah (Ornop) atau Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM).
Jika kelompok studi fokus terhadap pembentukan sense of intelectual,
maka LSM lebih kepada aksi langsung ke basis-basis masyarakat. Juga
kemunculan pers mahasiswa atau Persmawa. Surat kabar kampus ini muncul
sebagai counter product terhadap media cetak umum yang isi pemberitaannya
condong merupakan “pesanan” dari penguasa. Dan terakhir, pembentukan komite
rakyat (KR) sebagai sebuah sintesa baru pergerakan mahasiswa. Di mana
kehadirannya karena perpaduan dari mantan anggota-anggota kelompok studi atau
Persmawa.
Berjamurnya kembali kelompok studi adalah salah satu dari sedemikian
banyak fenomena yang muncul. Untuk lebih jauh mengenai permasalahan
kelompok studi dan lainnya, akan dibahas dalam isi skripsi ini. Sedangkan untuk
pemilihan topik, penulis mengikuti apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo
mengenai pemilihan topik. Yaitu berdasarkan pada kedekatan emosional. Di mana
adanya kesamaan lokasi penelitian dengan tempat tinggal penulis9
9
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2005, hal.,
91-93
Tetapi, tentunya penulis tetap bersikap krisis dalam melakukan penelitian,
agar hasilnya tidak cenderung subyektifitas penulis. Untuk batasan periodesasinya
sendiri penulis mulai dari tahun 1981-1990.
1.2 Rumusan Masalah
Dinamika gerakan mahasiswa Jakarta 1981-1990 memang tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari periode-periode sebelumnya. Sifat, bentuk dan
permasalahan di dalamnya adalah kelanjutan dari periode sebelumnya. Tentunya
dengan ciri khas tersendiri. Oleh karena itu permasalahan inti (rumusan masalah)
yang ingin penulis kaji adalah berkaitan dengan:
1. Apa yang menyebabkan gerakan mahasiswa Jakarta melemah
dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya?
2. Bagaimana pola atau metode gerakan mahasiswa Jakarta pada
periode 1981-1990?
3. Apa kontribusi gerakan mahasiswa Jakarta 1981-1990 dalam
hubungannya sebagai agen perubahan sosial?
Seperti telah disinggung di atas, pembatasan pada periode 1981-1990
dikarenakan pada periode inilah gerakan mahasiswa benar-benar sangat jauh
mahasiswa pada masa ini sangat minim. Mungkin saja dikarenakan gerakan
mahasiswa pada saat itu sangat miskin dari prestasi. Tetapi ini bukan berarti
gerakan mahasiswa Jakarta periode 1981-1990 tidak menarik sama sekali untuk
dikaji.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Setiap proses pasti ada maknanya. Demikian pula halnya dengan proses
gerakan mahasiswa 1981-1990 di Jakarta. Dengan proses inilah kita dapat
mengetahui pengalaman berharga seperti apa yang dapat kita petik. Oleh karena
itu penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kondisi-kondisi apa saja yang membuat gerakan
mahasiswa Jakarta 1981-1990 lemah dibandingkan dengan
periode-periode sebelumnya.
2. Mengetahui pola atau metode gerakan mahasiswa Jakarta
1981-1990
3. Mengetahui kontribusi apa saja yang dihasilkan dari gerakan
mahasiswa Jakarta 1981-1990
Setiap babakan waktu gerakan mahasiswa, terlepas dari kegagalan atau
keberhasilan, pasti mempunyai nilai-nilai positif bagi perkembangan perubahan
sosial-politik ke arah yang lebih baik. Begitu juga dengan penelitian ini
setidaknya dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk mengetahui beberapa
hal. Antara lain yaitu:
1. Bahwa gerakan mahasiswa Jakarta 1981-1990 tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari masa-masa sebelumnya. Apa yang
terjadi pada periode ini adalah kelanjutan kisah dari
periode-periode sebelumnya.
2. Terlepas dari menurunnya prestasi pada periode ini, adalah
sangat tidak bijaksana untuk mengatakan tidak ada sama sekali
prestasi yang ditorehkannya. Paling tidak dalam skala kecil
sekalipun.
3. Untuk menambah literatur atau bahan bacaan yang berkaitan
langsung dengan gerakan mahasiswa di Jakarta.
Dalam pemilihan topik, penulis menggunakan kedekatan emosional seperti
yang dikatakan oleh Kuntowijoyo. Namun, bukan berarti penulis melepaskan
begitu saja faktor referensi untuk melakukan penelitian. Secara umum, buku-buku
tentang gerakan mahasiswa ditulis secara nasional. Oleh karenanya, penulis tidak
mendapatkan buku-buku yang penulisannya concern untuk gerakan mahasiswa
Jakarta saja.
Untuk menutupi kekurangan ini, penulis menggunakan referensi yang
secara tidak langsung menceritakan gerakan mahasiswa di Jakarta. Buku pertama
yang penulis gunakan yaitu “Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era
80-an” karya Denny J.A. Buku ini adalah tulisan Denny J.A yang sebelumnya di
muat di media massa. Hubungannya dengan judul penelitian penulis adalah
banyak hal mengenai gerakan mahasiswa yang terjadi pada tahun 1980-an
dilengkapi di sini. Baik dalam hal tujuan atau orientasi gerakan, pola atau metode
gerakan, dll. Dari pemikiran inilah yang penulis tangkap sebagai gambaran
gerakan mahasiswa Jakarta pada periode 1981-1990.
Buku kedua yaitu berjudul “ Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa
Pergolakan Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia (1908-1998)”
mahasiswa yang dimulai sejak terbentuknya Budi Utomo sampai meletusnya
reformasi 1998. Memang tidak diceritakan secara detail bagaimana dinamika
gerakan mahasiswa di Jakarta. Tetapi, ia setidaknya telah memberikan gambaran
umum apa yang terjadi pada gerakan mahasiswa di Jakarta. Seperti halnya mulai
terbentuk kelompok-kelompok studi di Jakarta. Kondisi yang hampir sama pada
awal pergerakan.
Sedangkan buku ketiga yang penulis gunakan yaitu “Pergolakan
Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik”
karangan Arbi Sanit. Buku ini mencoba melihat dinamika gerakan mahasiswa itu
sebagai gerakan politikkah atau hanya sebatas gerakan moral. Kaitannya dengan
judul penelitan penulis yaitu apakah dinamika gerakan mahasiswa Jakarta ketika
itu juga dipengaruhi pernyataan tersebut.
Lebih jauh Arbi Sanit juga menceritakan wilayah kekuasaan sebagai
sesuatu yang sangat mempengaruhi gerakan mahasiswa. Ada semacam
pragmatisme di kalangan mahasiswa. Ketika ia di luar struktur kekuasaan, akan
sangat giat untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun, setelah ia memasuki
Kondisi ini jugalah yang ingin penulis kaji, apakah juga menjadi bagian dari
gerakan mahasiswa Jakarta tahun 1981-1990?
1.5 Metode Penelitian
Kuntowijoyo mengatakan penelitian sejarah mempunyai lima tahapan
yang seyogyangya dilakukan sejarawan, yaitu: pemilihan topik, pengumpulan
sumber, verifikasi, interpretasi dan historigrafi.10
Pada tahapan pengumpulan sumber (dikenal dengan istilah heuristik) yang
terdiri dari pengumpulan sumber berdasarkan urutan penyampaian (sumber primer
dan sumber sekunder) dan pengumpulan sumber berdasarkan bahannya (dokumen
dan artefak), penulis berada dalam posisi kedua. Maksudnya yaitu, sumber yang
penulis dapatkan masih kebanyakan berasal dari sumber sekunder, yaitu
buku-buku yang menceritakan sejarah gerakan mahasiswa. Pengumpulan buku-buku-buku-buku ini
sebagai dasar dari penelitian kepustakaan. Selain buku-buku, penulis juga akan Penulis sendiri cenderung untuk
mengikuti kelima tahapan tersebut. Dalam pemilihan topik, seperti telah diuraikan
dalam latar belakang, penulis menggunakan kedekatan emosional.
10
berusaha melengkapinya dengan dokumen baik berupa arsip maupun kliping
koran.
Untuk kekurangannya akan penulis lengkapi pada saat penelitian di
lapangan. Di mana di sini juga akan digunakan metode wawancara untuk
melengkapi data yang akan diteliti. Wawancara juga sangat dimungkinkan
mengingat periodesasi penelitikan yang tidak terlalu jauh. Sedangkan pada
tahapan verifikasi atau kritik sumber yaitu yang terdiri dari kritik internal
(kredibilitas) dan kritik eksternal (autensitas atau keaslian sumber) dan
interpretasi akan penulis lakukan jika data-data yang diinginkan telah memadai.
Kemudian barulah sampai pada tahapan terakhir, yaitu historiografi atau penulisan
BAB II
GAMBARAN UMUM JAKARTA
2.1 Sejarah Singkat Jakarta
Seperti umumnya kota-kota besar lain di Indonesia, Jakarta juga
mempunyai riwayat panjang tentang sejarah berdirinya. Jakarta saat ini adalah
bermula dari pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini sendiri berada
di bawah taklukan kerajaan Pajajaran yang beragama Hindhu. Sunda Kelapa
merupakan pelabuhan yang strategis. Setidaknya hal ini sesuai dengan laporan
musafir Portugis yang bernama Tome Pires. Di mana ia menyebutkan Sunda
Kelapa dapat menghasilkan 1000 bahar lada, sepuluh jung beras setiap tahun,
emas, sayuran, lembu, babi, dll.11
Karena alasan strategis perdagangan inilah, bangsa Portugis yang telah
menduduki Malaka sejak tahun 1511, mengadakan perjanjian kerjasama dengan
Sunda Kelapa pada tanggal 21 Agustus 1522. Selain alasan ekonomis, Portugis
11
Abdurracman Surjomihardjo, Perkembangan Kota Jakarta, Jakarta: Lembaga Research
Kebudayaan Nasional (LKRN) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan
BAB II
GAMBARAN UMUM JAKARTA
2.1 Sejarah Singkat Jakarta
Seperti umumnya kota-kota besar lain di Indonesia, Jakarta juga
mempunyai riwayat panjang tentang sejarah berdirinya. Jakarta saat ini adalah
bermula dari pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini sendiri berada
di bawah taklukan kerajaan Pajajaran yang beragama Hindhu. Sunda Kelapa
merupakan pelabuhan yang strategis. Setidaknya hal ini sesuai dengan laporan
musafir Portugis yang bernama Tome Pires. Di mana ia menyebutkan Sunda
Kelapa dapat menghasilkan 1000 bahar lada, sepuluh jung beras setiap tahun,
emas, sayuran, lembu, babi, dll.11
Karena alasan strategis perdagangan inilah, bangsa Portugis yang telah
menduduki Malaka sejak tahun 1511, mengadakan perjanjian kerjasama dengan
Sunda Kelapa pada tanggal 21 Agustus 1522. Selain alasan ekonomis, Portugis
11
Abdurracman Surjomihardjo, Perkembangan Kota Jakarta, Jakarta: Lembaga Research
Kebudayaan Nasional (LKRN) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan
juga berniat untuk membangun benteng pertahanan.12 Namun, niat Portugis ini
tidak kesampaian karena Sunda Kelapa terlebih dahulu keburu jatuh ke tangan
Fatahillah, menantu Sultan Demak, Trenggana, yang juga dibantu oleh kerajaan
demak13. Ini terjadi di tahun 1527. Dan pada tanggal 22 Juni 1527 Sunda Kelapa
diganti namanya menjadi Jayakarta.14
Pengalihan kekuasaan ini sendiri tidak mengurangi peranannya sebagai
pelabuhan yang strategis. Di satu sisi, bangsa Belanda telah tiba di Nusantara,
tepatnya di Banten pada bulan Juni 1596. Kedatangan bangsa Belanda ini
dipimpin oleh Cornelis de Houtman.
Dan tak lama kemudian ia pun menjadi
kerajaan islami.
15
12
Ibid., Lihat juga Edi Sedyawati, Supratikno Rahardjo, dkk., Sejarah Kota Jakarta
1950-1980, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1987, hal., 15
Namun, kehadiran mereka di Banten tidak
mendapatkan sambutan yang baik. Hal ini dikarenakan sikap monopoli
perdagangan Belanda. Tahun 1619 terjadilah pertempuran antara Belanda di
bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen dengan Banten dan Inggris. Pertempuran
ini sendiri untuk memperebutkan Jayakarta.
13
Demak sebelumnya bagian dari Pajajaran. Namun, memisahkan diri seiring masuknya
agama Islam ke sana. Ibid.
14 Ibid.
15
Akhirnya, Belanda dapat menduduki Jayakarta. Kemenangan ini karena
adanya dukungan Kerajaan Banten yang balik menyerang Inggris. Keputusan
Banten ini di dasari bahwa lebih menguntungkan jika Belanda yang menguasai
Jayakarta dibandingkan Inggris.16 Keputusan ini ternyata di kemudian hari sebuah
blunder. Pada bulan Mei 1619, JP Coen dengan armada kapal yang lebih besar
memukul balik Banten untuk segera menguasai secara keseluruhan dari
Jayakarta17
Dengan alasan pelabuhan yang strategis, maka Belanda pun dengan segera
memindahkan VOC dari markasnya di Banten ke Batavia. Selain digunakan
sebagai pelabuhan (perdagangan), Batavia juga dijadikan sebagai pusat kekuatan
militer VOC. Seiring waktu, Batavia berkembang menjadi kota yang modern.
Berbagai macam infrastruktur pun dibangun. Seperti jalan, trem, kantor, istana.
Batavia juga mulai di padati penduduk. Baik yang berasal dari Eropa, Cina
maupun penduduk lokal nusantara yang hijrah ke Batavia.
. Dan sejak saat itulah nama Jayakarta berubah menjadi Batavia, yang
berasal dari suku bangsa Jerman kuno di Belanda.
16
Ibid., hal., 45
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) Batavia diubah lagi menjadi
Jakarta. Dan melalui peraturan UU no 10 tahun 1964, Jakarta ditetapkan sebagai
pusat Ibukota dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.2 Keadaan Geografis
Jakarta terletak pada posisi 106˚22´42˝ BT sampai 106˚58´18˝ BT dan
-5˚19´12˝ LS sampai -6˚23´54˝ LS. Luasnya sendiri adalah 655,76 km² atau 65.000
ha. Sedangkan untuk batas-batasnya adalah:
Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa,
Sebelah selatan berbatasan dengan Depok,
Sebelah barat berbatasan dengan Banten,
Sebelah timur berbatasan dengan Jawa Barat.18
Selain itu, Jakarta juga terbagai atas lima wilayah Kotamadya dan satu
Kabupaten Administratif, yaitu: Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Utara,
Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Kepulauan Seribu. Jakarta mempunyai keunikan
dalam hal luas wilayah. Paling tidak dalam rentang waktu dari tahun 1967-1978,
Jakarta mengalami lima kali perluasan wilayah. Di awali tahun 1967 luas Jakarta
18
adalah 590,11 km², dan tahun 1969-1975 menjadi 587, 62 km². Berubah kembali
menjadi 637,44 km² pada tahun 1976-1977. Kemudian di tahun 1978 wilayah
Jakarta bertambah lagi menjadi 654,90 km² dan akhirnya sesudah tahun 1978
menjadi 655,76 km².
Adanya disparitas luas wilayah Jakarta dari tahun ke tahun ini disebabkan
oleh kebijakan pembulatan atau tambahan wilayah dari desa-desa provinsi Jawa
Barat ke dalam wilayah Jakarta.19 Sebagai pusat Ibukota dari Republik Indonesia
adalah wajar jika setiap lahan di Jakarta banyak bangunan. Baik itu diperuntukkan
untuk kepentingan pemerintahan, bisnis (ekonomi), hiburan, dll. Kota Jakarta juga
selalu dijadikan acuan atau barometer utama untuk mengubah tingkat kehidupan.
Maka tidak aneh salah satu masalah kota Jakarta ialah kepadatan penduduk.
2.3 Sistem Ekonomi Penduduk Jakarta
2.3.1 Penduduk Jakarta
Sama dengan daerah lainnya di Indonesia, sifat heterogen menjadi ciri
penduduk kota Jakarta. Heterogenitas ini juga sangat didukung oleh potensi
Jakarta sebagai wilayah utama bagi penduduk di luar Jakarta untuk mencari
19
pekerjaan. Pluralitas masyarakat Jakarta ini sudah berlangsung sejak lama.
Bahkan ketika masih sebagai wilayah kolonialisme Belanda. Tepatnya, ketika
Jayakarta berhasil dikuaasai VOC dan diganti namanya menjadi Batavia.
Pengalihan kekuasaan ini membuat VOC melakukan pembangunan
menuju sebuah kota yang lebih modern. Akibatnya, Batavia menjadi lebih ramai
oleh kedatangan penduduk dari luar Batavia, seperti orang-orang Cina. Namun,
kota Jakarta juga mempunyai penduduk asli (lokal). Yaitu suku bangsa Betawi.
Menurut sejarahnya, suku Betawi merupakan hasil perkawinan campuran
beberapa suku bangsa: Bali, Sumatera, Arab dan juga Portugis. Jadi dengan kata
lain, suku Betawi terbentuk oleh heterogenitas masyarakat Jakarta (Batavia) pada
masa lalu.
Suku Betawi sendiri terdiri atas dua jenis. Pembagian ini didasari oleh
letak geografisnya. Pertama, Masyarakat Betawi Tengah. Domisilinya meliputi
wilayah bekas kekuasaan Batavia. Namun, tidak termasuk wilayah Tanjung Priok
dan sekitarnya. Masyarakat Betawi Tengah sangat kuat dipengaruhi oleh
kebudayaan Melayu dan juga agama Islam. Dalam wujud fisik hal ini nampak dari
Ciri lain Masyarakat Betawi Tengah adalah pengucapan tutur kata.
Dimana terjadi perubahan huruf vocal “a” menjadi huruf vokal “e” pada setiap
akhir suku kata. Misalnya, “di mana” menjadi “di mane”. Kedudukan sosial
masyarakat Betawi Tengah pada umumnya berada di tingkatan menengah ke atas.
Ini dikarenakan pada masa lalu kelompok Betawi Tengah mendapatkan akses
ekonomi yang lebih baik dari penguasa.
Kedua, Masyarakat Betawi Pinggiran. Kelompok masyarakat ini dibagi
lagi menjadi dua bagian.
1. Masyarakat Betawi Pinggiran bagian Utara. Domisilinya
meliputi bagian Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Tengerang.
Dalam soal kebudayaan kelompok masyarakat ini banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Hal ini terlihat dari
manifestasi kesenian mereka seperti Gambang Kromong,
Lenong, dan Tari Cokek.
2. Masyrakat Betawi Pinggiran bagian Selatan. Domisilinya
mulai dari Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bogor, dan Bekasi.
Bedanya, kelompok masyarakat ini kental dengan budaya
mana terjadi perubahan vokal “a” menjadi huruf “ah” pada
akhir setiap kata. Misalnya, kata “gua” menjadi “guah”.
Adapun kelompok suku lainnya yang mendiami kota Jakarta
yaitu suku Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Ambon, dll.20
2.3.2 Ekonomi Penduduk Jakarta
Status Jakarta sebagai ibukota Indonesia sungguh berdampak positif bagi
perekonomian provinsi tersebut. Bisa dikatakan pusat perekonomian (bisnis)
nasional banyak ditentukan dari Jakarta. Peredaran uang secara nasional pun
terkonsentrasikan di sini. Adapun lapangan pekerjaan umumnya terbagi atas tiga
sektor. Sektor pertama meliputi pertanian. Kedua, terdiri dari pertambangan,
industri, bangunan, listrik, air, dan gas. Terakhir, perdagangan, angkutan atau
komunikasi, keuangan dan jasa masuk ke sektor ketiga.21
20
Tim Peneliti atau Penulis, Tito Adonis (ed.), Pola Pengasuhan Anak Secara
Tradisional di Kelurahan Kebagusan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 1989, hal., 13-15
21
Pada periode ini lahan pertanian masih bisa dijumpai di Jakarta. Umumnya
berseberangan dengan gedung-gedung bertingkat. Seperti perkantoran, perumahan
maupun bangunan untuk industri. Mereka yang bekerja di sektor pertanian
kebanyakan berpendidikan rendah sehingga sangat menyulitkan bagi mereka
untuk mendapatkan akses pekerjaan di sektor lainnya.
Di kota Jakarta banyak juga dijumpai pedagang, baik itu pedagang kecil,
pedagang keliling maupun pedagang kaki lima. Barang dagangannya bisa berupa
makanan, sayur-sayuran, buah-buahan, dll. Untuk profesi buruh juga mudah
dijumpai di kota besar seperti Jakarta. Sektor ini termasuk kelompok yang
mempunyai pekerjaan tidak menentu.
Karena sifat pekerjaannya tergantung kepada ada tidaknya proyek
pembangunan. Oleh karenanya untuk menyiasati kelangsungan hidup ketika tidak
ada pekerjaan, mereka beralih ke pekerjaan yang lainnya. Seperti menjadi kuli
sawah atau tukang becak. Selain penduduk dengan spesifikasi pekerjaan
menengah ke bawah, ada juga golongan pekerjaan menengah ke atas.
Mereka adalah pegawai atau karyawan. Baik itu pegawai di lingkungan
instansi pemerintah maupun yang bekerja di perusahaan swasta. Demikian juga
adalah pemilik akses atau penyedia lahan pekerjaan. Harus diakui, faktor
pendidikan ternyata sangat mempengaruhi tingkat perekonomian (status)
masyarakat Jakarta. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin tinggi pula
status sosial yang dimilikinya. Dan juga berlaku sebaliknya.
2.4 Sistem Kekerabatan
Suku Betawi memandang perkawinan sebagai suatu yang sakral. Selain
terdapat dalam ajaran agama (Islam), bagi suku Betawi pernikahan adalah suatu
kewajiban. Umumnya pernikahan berlangsung bagi laki-laki dan perempuan yang
menjelang usia dewasa. Meskipun demikian, pernikahan di bawah umur juga
terkadang terjadi. Orang tua suku Betawi sebenarnya mempunyai kewajiban
mencarikan jodoh untuk anaknya.
Namun, dalam perkembangannya si anak juga bisa mencari jodohnya
sendiri. Dengan syarat ia sudah akil baliq. Mengingat suku Betawi cukup fanatik
dalam menjalankan agamanya, maka jodoh yang akan dinikahi haruslah beragama
Islam. Dalam hal prosesi atau adat pernikahan, suku Betawi memiliki caranya
laki-laki dalam masyarakat Betawi mendatangi orang tua si perempuan untuk
melamarnya.
Beda dengan suku Batak yang biasanya rumit pada acara pelamaran, suku
Betawi justru sebaliknya. Kemudian, sebelum pesta pernikahan berlangsung,
maka diadakan terlebih dahulu prosesi ijab kabul.22 Setelah pernikahan
berlangsung, kebiasaan suami-isteri Betawi dalam bertempat tinggal mengikuti
prinsip utrolokal atau bilokal.23
Dalam keluarga inti di masyarakat Betawi, setiap anggota mempunyai
tugasnya masing-masing. Di mana isteri dan anak mempunyai kebiasaan
membantu suami sebagai kepala rumah tangga. Di samping keluarga inti (batih),
terkadang terdapat juga saudara lain yang ikut menumpang untuk bertempat
tinggal sementera. Bisa dari pihak si suami atau si isteri. Mereka biasanya sambil
menunggu mendapatkan pekerjaan yang tetap.
22
Tim Peneliti atau Penulis, Op., Cit., hal., 26-27
23
Utrolokal yaitu adat yang memberikan kebebasan kepada pasangan pengantin baru
untuk tinggal menetap di dekat keluarga suami atau isteri. Sedangkan bilokal adalah adat menetap
bagi pengantin baru untuk secara bergantian bertempat tinggal di keluarga suami atau isteri. Lihat
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Jakarta: Balai
BAB III
Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990 di Jakarta
3.1 Kondisi Umum Gerakan Mahasiswa 1970-an
Pascatumbangnya Orde Lama (Soekarno) gerakan mahasiswa masih
menunjukkan eksistensinya. Paling tidak di periode 1970-1980, ada dua peristiwa
yang bisa di tandai sebagai gerakan mahasiswa. Pertama, peristiwa 15 Januari
1974 atau yang dikenal dengan sebutan peristiwa Malari. Latar belakang peristiwa
ini di awali oleh kritikan mahasiswa terhadap konsep pembangunan yang
dijalankan Orde Baru (Soeharto).
Mahasiswa menegaskan bahwa pembangunan ekonomi dengan bantuan
hutang luar negeri sebagai fondasi utamanya tidak akan berhasil. Sebaliknya
pemerintah meyakini bahwa konsep pembangunan tersebut akan berdampak pada
pertumbuhan ekonomi. Formula trickle down effect sangat diyakini dalam hal
ini.24
24
Tickle down effect atau penetesan ke bawah adalah pemahaman bahwa rakyat akan
mengalami perbaikan taraf hidup dengan sendirinya apabila pertumbuhan ekonomi nasional naik.
Pemahaman ini dengan sendirinya gagal total sejalan krisis ekonomi yang melanda Indonesia
tahun 1997
Selain isu nasional, mahasiswa juga menyoroti permasalahan yang
sifatnya spesifik, yaitu soal Asisten Pribadi (Aspri) Presiden. Diantaranya adalah
Ali Moertopo dan Soedjono Hoermadani. Mahasiswa menilai mereka sebagai
tokoh-tokoh utama agar perekonomian Indonesia disusun berdasarkan konsep
pembangunan kapitalis. Singkatnya, meyakini ketergantungan terhadap modal
asing sebagai dasar pembangunan nasional.25
Lebih jauh, kekecewaan mahasiswa ini disebabkan adanya ingkar janji
Orba kepada mahasiswa. Seperti diketahui, mahasiswa melalui KAMI bersama
militer (AD) berhasil menggulingkan Soekarno. Mahasiswa kemudian mengambil
langkah wait and see. Artinya, mahasiswa ingin memberikan kesempatan kepada
Orba untuk memperbaiki keadaan Indonesia. Terutama soal kondisi politik dan
ekonomi.
Namun, kondisi ideal yang diidam-idamkan mahasiswa tak kunjung
datang. Puncak dari kekecewaan mahasiswa ini adalah peristiwa Malari. Satu hari
sebelum peristiwa ini terjadi, mahasiswa berdemonstrasi di lapangan udara Halim
Perdanakusuma berkaitan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuae
Tanaka. Jepang dijadikan sasaran mahasiswa karena dianggap sebagai salah satu
25
negara kreditor terbesar bagi Indonesia. Pada hari naas tersebut, mahasiswa telah
berkumpul di beberapa titik di Jakarta, yaitu di Salemba, Monas Glodok dan
Senen. Diperkirakan jumlah massa lebih dari 15.000 orang.
Aksi tersebut berubah menjadi tindakan kriminal yang di tandai dengan
pembakaran kendaraan bermotor, toko-toko, kantor-kantor, pusat bisnis, dll.
Untuk kendaraan sendiri diutamakan produk Jepang. Aksi ini meluas di beberapa
titik strategis di Jakarta, terutama kawasan Senen. Dari peristiwa ini diperkirakan
sebelas orang meninggal.26
Peristiwa Malari adalah gerakan mahasiswa pertama pada masa Orba.
Namun, sangat disayangkan gerakan ini tidak mengikuti sukses seperti
pendahulunya, generasi mahasiswa angkatan 1966. Ada beberapa hal yang
menyebabkan peristiwa Malari gagal. Pertama, Malari sebenarnya adalah
pertarungan elite militer, yaitu antara Ali Murtopo dan Sumitro. Keduanya
menjadi berseberangan karena ingin mendapatkan posisi tawar di depan
Hal yang sama juga dikatakan mantan ketua Dewan Mahasiswa (Dema)
UI yang juga tokoh Malari, Hariman Siregar. Dia menyatakan gerakan mahasiswa
(Malari) telah ditunggangi oleh banyak pihak28. Kedua, adanya anggapan bahwa
kerjasama mahasiswa dengan militer justru merugikan mereka sendiri.29
Momentum kedua gerakan mahasiswa periode 1970-an adalah gerakan
mahasiswa tahun 1978. Perbedaan mencolok dengan gerakan mahasiswa 1974
adalah gerakan mahasiswa 1978 lebih memfokuskan isu-isu yang sifatnya
spesifik. Memang isu-isu nasional masih juga dijadikan agenda aksi seperti
penyimpangan politik.
Diantaranya, pro dan kontra mekanisme pemilu mengenai rekruitmen
calon legislatif dari pusat hingga daerah, dan tata cara pemilihan Gubernur.30
Sedangkan isu spesifik yang diangkat adalah menolak Soeharto untuk kembali
menjadi Presiden.31
28
Muchtar E. Harahap dan Adris Basril, Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia,
Jakarta: Network for South East Asian Studies (NSEAS), 1999, hal., 217
Perbedaan yang lainnya adalah tidak adanya dukungan elite
29
Denny J.A., Politik Kaum Muda Dan Pergerakan Zaman, Media Indonesia, 22
November 1989
30
Adi Surya Culla, Op., Cit., hal., 98
31
Ibid., hal., 99. Mahasiswa bahkan, dalam hal ini dipelopori Dipo Alam dan Bambang
Sulastomo yang berasal dari keluarga mahasiswa UI Jakarta, mencalonkan mantan Gubernur
Jakarta, Ali Sadikin, sebagai alternatif calon Presiden selain Soeharto. Lih., Adi Surya Culla, Op.,
(militer) pada gerakan mahasiswa kali ini32
Pada lain pihak, pemerintah segera bertindak cepat terhadap dua
gelombang gerakan mahasiswa pada periode 1970-an. Kebijakan penting yang
diambil yaitu keputusan Pangkopkamtib No. SKEP. 02. KOPKAM/1978 tentang
pembekuan Dema dan keputusan Menteri P dan K No. 0156/U/1978 tentang
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
. Hal ini berbeda dengan angkatan
1966 dan angkatan 1974 yang didukung militer, meskipun dengan cara dan hasil
yang berbeda. Dengan kata lain gerakan mahasiswa 1978 menuai hasil yang sama
dengan gerakan mahasiswa 1974: kegagalan.
Inti kebijakan ini adalah pembubaran organisasi mahasiswa yang ada, di
mana selama ini dianggap dapat membahayakan status quo. Pendapat yang lebih
radikal menyebutkan, ini adalah bagian strategi elite (militer) untuk
mengamankan kekuasaan.33 Pendapat lain namun sejalan maknanya menyebutkan
NKK bermaksud agar mahasiswa hanya fokus pada studi (akademik) dan tidak
boleh terlibat dalam kegiatan politik.34
Setahun kemudian pemerintah mengeluarkan konsep Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (BKK) melalui SK Menteri P dan K No 037/U/1979. Kebijakan
ini mengatur organisasi baru di lingkungan perguruan tinggi sebagai pengganti
Dema. Bentuknya adalah berupa Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Badan
Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun, kebijakan ini tidak jauh
bedanya dengan NKK, yaitu sebagai usaha mengalienasi mahasiswa dari kegiatan
politik. Ini nampak dari besarnya wewenang birokrasi kampus, dalam hal ini
Rektor dan Pembantu Rektor (Purek) III, dalam menentukan kegiatan mahasiswa.
Jadi, dapat disimpulkan kebijakan pemerintah ini berdampak pada dua hal
bagi mahasiswa ketika itu. Pertama, mahasiswa menjadi tidak peka lagi terhadap
kondisi riil masyarakat. Mahasiswa menjadi apatis karena hanya ditempa dalam
perkuliahan semata-mata. Kedua, mahasiswa kehilangan basis massanya. Ini
dikarenakan organisasi yang ada telah dibekukan.35 Denny J.A.
membahasakannya sebagai depolitisasi dan deideologisasi kampus.36
35
Ibid., hal., 120-123
36
3.2 Gerakan Mahasiswa 1981-1990
Pascagerakan mahasiswa 1974 dan 1978, bisa dikatakan periode 1980-an
merupakan masa stagnasi gerakan mahasiswa. Bahkan boleh dikatakan tidak ada
momentum berarti yang berhasil tercipta pada masa ini. Gerakan mahasiswa pun
seakan-akan melupakan hakiki mengapa gerakan mahasiswa itu lahir. Menurut
Hariman Siregar ada dua hal mendasar dalam hal ini.
Pertama, adanya kondisi subyektif. Kondisi ini lahir sebagai buah
pemikiran intelektualitas mahasiswa. Yaitu kecakapan mahasiswa dalam soal
menganalisa lingkungannya. Dalam pemikiran ini mahasiswa menggambarkan
keadaan masyarakat yang ideal. Seperti terpenuhinya hak-hak dasar mereka dalam
soal pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.
Kedua, kondisi obyektif. Yaitu kondisi sebenarnya di lapangan
(lingkungan). Pada dua pemikiran ini terdapat disparitas antara alam pemikiran
ideal mahasiswa dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Jika yang pertama
mendambakan kesejahteraan, maka yang kedua malah menggambarkan
penindasan (kemiskinan).37
37
Hariman Siregar, Gerakan Mahasiswa: Pilar ke-5 Demokrasi, Jakarta: TePlok Press,
2002, hal., 1-3. juga lihat Adi Surya Culla, Op., Cit., hal., 20
lahirnya gerakan mahasiswa, baik sebelum kemerderkaan maupun setelah
kemerdekaan.
Memang harus diakui, banyak faktor yang menyebabkan gerakan
mahasiswa melemah pada periode ini. Misalnya, pemberlakukan NKK/BKK
seperti yang telah disinggung sebelumnya. Namun yang menjadi pertanyaan,
benarkah gerakan mahasiswa periode 1981-1990 tidak berbuat apa-apa bagi
sebuah proses perubahan sosial? Pertanyaan utama inilah yang akan penulis kaji,
terkhususnya gerakan mahasiswa di Jakarta.
Gerakan mahasiswa Jakarta pada periode 1981-1990 umumya tidak jauh
berbeda kondisi dan situasinya dengan daerah lainnya di Indonesia. Satu hal yang
pasti, mereka sedang mengalami masa-masa stagnasi pergerakan. Stagnasi dalam
arti mahasiswa tidak berhasil menciptakan momentum atau peristiwa seperti yang
terjadi di tahun 1966 atau 1974. Di mana ada penetrasi atau kontrol sosial yang
mengkerucut pada sebuah gerakan mahasiswa yang masif.
Melemahnya kontrol mahasiswa ini agaknya bertentangan dengan
pemikiran Denny J.A. Dirinya menyebutkan, jika mahasiswa tidak lagi terlalu
ketat dalam mengontrol pemerintahnya, maka bisa disebut negara itu berasal dari
sudah mapan.38
Justru, seharusnya mahasiswa lebih memainkan peranan penting dalam
konteks perubahan yang lebih baik. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa
negara-negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat demokrasi yang masih
lemah. Dengan begitu, jika tidak ada pengawasan yang efektif terhadap para
pengambil kebijakan (penguasa), maka ditakutkan akan terjadi penyelewengan
atau pelanggaran dalam penyelenggaraan politik, ekonomi dan sosial-budaya. Kondisi ini tentunya bertolak belakang dengan Indonesia, yang
masih dikategorikan sebagai negara berkembang. Dengan kata lain terjadi anomali
dalam hal ini.
Namun meskipun demikian, gerakan mahasiswa tidaklah benar-benar mati
total. Masih ada sekelompok anak muda yang tetap concern pada perubahan
sosial. Hanya saja masalahnya, gerakan ini tidaklah sporadik seperti gerakan
sebelumnya, tapi hanya pada tataran lokal saja. Dan isu yang diangkat juga
sifatnya spesifik. Seperti gerakan mahasiswa di Jakarta.
Orientasi gerakan mahasiswa di Jakarta tidak jauh berbeda dengan
orientasi gerakan di daerah lain. Setidaknya terdapat tiga orientasi di sini.
38
Kemapanan demokrasi ini ditandai dengan sistem check and balance yang ketat antara
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ditambah lagi adanya kontrol sosial yang efektif dari
Pertama, orientasi untuk menggugat depolitisasi kampus. Kedua, orientasi
advokasi (bantuan hukum) terhadap berbagai isu-isu lokal. Ketiga, orientasi yang
masih mengaitkan isu-isu nasional seperti kenaikan tarif listrik dan protes
legalisasi judi.39
Dari ketiga kondisi di atas, konsentrasi gerakan mahasiswa terlihat
memfokuskan diri terhadap perjuangan untuk mengikis depolitisasi kampus.
Depolitisasi kampus di sini artinya adalah strategi dari policy maker untuk
mengeliminasi infrastruktur politik kampus. Di mana dalam prakteknya
termanifestasikan dalam lima kebijakan.
1. Pembekuan Dewan Mahasiswa (Dema) sebagai pusat aktifitas politik
mahasiswa. Sehingga berdampak kepada polarisasi kegiatan politik di
kampus. Dampaknya adalah kegiatan politik mahasiswa beralih dari
kegiatan universitas ke tiap-tiap fakultas. Lebih jauh, setiap fakultas
ini hanya bisa mengadakan kegiatan ekstrakurikuler jika sesuai
dengan asal disiplin ilmu fakultasnya.
2. Masuknya Pembantu Rektor (PR) dan Pembantu Dekan (PD) bidang
kemahasiswaan ke dalam struktur organisasi mahasiswa. Meskipun
39
ditujukan sebatas pengayom atau pembina, kehadiran mereka lebih
berfungsi sebagai penyeleksi setiap kegiatan atau aktifitas yang ingin
dikerjakan oleh mahasiswa di kampus.
3. Pembredelan surat kabar kampus.
4. Pengambilalihan kegiatan inisiasi mahasiswa baru (Ospek). Hal ini
berdampak kepada terputusnya mata rantai penyebaran “virus”
ideologi atau pendidikan politik dari pihak senioren kepada
mahasiswa baru.
5. Adanya pemberlakuan sanksi akademis yang ketat bagi mahasiswa
yang dianggap melawan kebijakan kampus. Ini bisa dilakukan baik
melalui skorsing maupun pemberlakuan droup out (DO).40
Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan represif birokrat kampus ini adalah
tindak lanjut dari pemberlakukan konsep NKK/BKK sebelumnya. Di satu sisi,
fenomena gerakan mahasiswa dalam hal isu yang diangkat telah mengalami
pergesaran. Yaitu, tidak lagi mengusung isu nasional, namun sudah beralih ke
isu-isu lokal.
40
3.3 Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990 di Jakarta
Menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata metode adalah
cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai
sesuai dengan yang dikendaki. Atau juga cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
41
Mereka juga mempunyai metode atau caranya sendiri sebagai pelampiasan
fungsi kontrol mereka terhadap penguasa. Seperti telah disinggung sebelumnya,
orientasi gerakan mahasiswa telah berubah. Yaitu, dari isu nasional beralih ke isu
lokal. Perubahan orientasi ini juga mengakibatkan perubahan metode gerakan
mahasiswa.
Demikian pula halnya dengan perjuangan Jakarta tahun 1980-an.
Di satu sisi, perubahan metode gerakan mahasiswa adalah pemikiran yang
wajar. Di mana metode ini harus disesuaikan dengan semangat jiwa atau zeitgeist.
Jika melihat gerakan mahasiswa jauh ke belakang, misalnya tahun 60-an dan
70-an, dapat disaksikan kekuatan mahasiswa masih terintegrasikan. Artinya,
mahasiswa bersatu padu menyatukan langkah dalam aksinya menentang sikap
41
otoriter penguasa. Di tahun 60-an, muncul aliansi KAMI dengan isu yang terdapat
dalam Tritura.
Kemudian pada tahun 1970-an, dengan dipelopori Dema universitas,
melahirkan konsep Tritura yang baru.42
Tak pelak kondisi ini menimbulkan polarisasi pada gerakan mahasiswa
ketika itu. Bahkan terkadang menimbulkan persaingan yang tidak sehat
antarindividu atau kelompok. Di satu sisi, kelemahan metode pada gerakan
mahasiswa ini juga diakibatkan karena tidak berfugsinya dengan baik organ-organ
mahasiswa yang berbasiskan massa atau kelompok Cipayung: HMI, GMKI, Hanya saja kekuatan politik mahasiswa
tahun 60-an (KAMI) lebih besar dibandingkan gerakan mahasiswa tahun 70-an
(Dema). Hal ini dapat dimaklumi saja, mengingat KAMI di back up penuh oleh
militer (AD). Kondisi berbeda justru dialami gerakan mahasiswa tahun 1980-an.
Dengan latar belakang masifnya sikap otoriter Orba, ketiadaan dukungan politik
dan timbulnya sikap saling curiga antarorgan mahasiswa, mengakibatkan metode
gerakan mahasiswa pada periode ini tidak terintegrasikan dengan baik. Dengan
kata lain, metode gerakan mahasiswa ini berjalan sendiri-sendiri.
42
Tritura baru berisikan ganyang korupsi, bubarkan asisten pribadi (Aspri) Presiden, dan
GMNI, PMKRI, PMII. Organisasi massa yang berbasiskan politik aliran ini
semakin merosot kualitasnya, sehingga menjadi tidak popular di mata mahasiswa.
Kondisi yang sama juga dialami oleh organisasi intra kampus seperti
Dema. Apalagi sejak dibekukannya lembaga tersebut pascatragedi Malari.43
Perpecahan internal HMI diawali oleh adanya kebijakan pemerintah Orba
untuk menerapkan asas tunggal Pancasila sesuai dengan UU No 18/1985 tentang
Keormasan. Menanggapi rencana pemerintah tersebut HMI terpecah menjadi dua
kubu. Kelompok pertama yaitu HMI Dipo dan kelompok kedua yaitu HMI
Majelis Penyelamat Organisasi (MPO).
Salah
satu kasus yang menunjukkan kemunduran kelompok-kelompok Cipayung
tersebut ialah perpecahan yang terjadi di tubuh Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI).
44
43
Denny J. A., Berpencarnya Kekuatan Politik Mahasiswa dan Lemahnya Organisasi,
dalam Media Indonesia, 11 April 1989.
44
Nama HMI Dipo merujuk kepada alamat kantor HMI ini yang terletak di jalan
Diponegoro. HMI Dipo adalah HMI yang pro kepada pemerintah (Orba) atau dengan kata lain
menerima asas tunggal Pancasila. Sedangkan HMI MPO berasal dari adanya Majelis Penyelamat
Organisasi yang beralamat di Bilangan, Tebet, Jakarta Selatan. Kelompok inilah yang menolak
asas tunggal Pancasila dan tetap setia kepada asas Islam. Lihat Ubedilah dalam tesisnya yang
berjudul Radikalisasi Gerakan Mahasiswa (studi kasus HMI MPO) tahun 1998-2001, Program
HMI Dipo menerima asas tunggal Pancasila sejak kongres ke-15 diadakan
di Medan tahun 1983. Dan sekaligus ditegaskan atau dikuatkan pada sidang pleno
III PB HMI dan rapat Majelis Pekerja Kongres (MPK) di Ciloto, Jawa Barat
(Jabar), tanggal 1-7 April 1985. Tindakan ini segera mendapatkan reaksi
penolakan dari beberapa cabang HMI, seperti dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung,
Ujung Pandang, Bogor, Pekalongan, Semarang, Serang dan Tanjung
Karang-Lampung.
Cabang-cabang inilah, dengan motornya dari Jakarta, Yogyakarta, dan
Bandung, mengadakan forum bersama nasional pada Milad HMI ke-37 pada
tanggal 14-16 Februari 1986 di Jakarta. Dari sinilah muncul HMI MPO.45 Di sisi,
kelesuan pergerakan kelompok Cipayung secara tidak langsung telah menciderai
nilai-nilai mulia yang menjadi dasar pembentukan kelompok Cipayung tersebut.
Menurut Ahmad Bagdja46
45
Ibid., hal., 41
, paling tidak ada enam poin penting yang menjadi
tujuan berdirinya Kelompok Cipayung, yaitu:
46
1. Untuk menetang kebijakan pemerintah Orde Baru menjadikan
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai satu-satunya
wadah generasi pemuda Indonesia
2. Menentang pembubaran organisasi mahasiswa ekstra kampus,
3. Menolak politisasi kampus,
4. Menolak kebijakan NKK/BKK,
5. Menolak regimentasi generasi muda Indonesia, dan
6. Sebagai media untuk menjungjung tinggi kebersamaan, keanekaan,
toleransi, dan demokrasi.47
Selain keenam poin penting tersebut, kelompok Cipayung juga
mengusung tema sentral. Yaitu menjadikan kelompok Cipayung sebagai wahana
untuk menuju kebersamaan Indonesia yang sejahtera, adil, demokratis, bersatu,
dan berdaulat yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945.48
Namun, terlepas dari ketidakberesan metode gerakan mahasiswa pada
periode ini, bukan berarti tidak ada sama sekali metode yang setidaknya menjadi
ciri khas gerakan mahasiswa ketika itu. Bonar Tigor Naipospos mengatakan,
47
Hasil tanya-jawab antara penulis dengan Ahmad Bagdja