ABSTRAK
PENGARUH TAYANGAN KOMEDI PESBUKERS TERHADAP
PERILAKU KEKERASAN VERBAL ANAK
(Studi Pada Anak di SD Negeri 1 Kalibalau Kencana
Bandarlampung Kelas 3 s.d. kelas 5)
Oleh Dina Ulia
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besar pengaruh tayangan Komedi Pesbukers terhadap perilaku kekerasan verbal anak di SD Negeri 1 Kalibalau Kencana kelas tiga sampai dengan kelas lima. Penelitian menggunakan teori SOR (Stimulus Organism Respon) dalam membentuk kerangka pikir dan Social Learning Theory dengan pendekatan modelling untuk meneliti proses perubahan perilaku anak. Ada empat proses yang terlibat dalam pendekatan modelling, yaitu perhatian, mengingat, reproduksi motorik dan motivasional. Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) Tayangan komedi Pesbukers berpengaruh langsung terhadap proses perhatian dan mengingat anak akan adegan-adegan kekerasan verbal dengan kontribusi sebesar 49,8%, sedangkan sisanya sebesar 50,2% dijelaskan oleh faktor lain di luar penelitian. Nilai koefisien jalur sebesar 0,706, signifikan dengan nilai Sig. sebesar 0,000 lebih kecil dibanding alfa 5%. Pengaruh langsung ini memiliki tingkat korelasi yang kuat. (2) Proses perhatian dan mengingat anak memiliki kontribusi sebesar 36,7% dalam menjelaskan perubahan yang terjadi pada perilaku kekerasan verbal anak, sisanya sebesar 63,7% dijelaskan oleh faktor lain diluar penelitian. Nilai koefisien jalur sebesar 0,606, signifikan dengan nilai Sig. sebesar 0,000 lebih kecil dibanding alfa 5%. Pengaruh langsung ini memiliki tingkat korelasi yang kuat. (3) Tayangan komedi Pesbukers berpengaruh tidak langsung terhadap perilaku kekerasan verbal anak melalui proses perhatian dan mengingat anak dengan koefisien jalur sebesar 0,428. Besar pengaruh tersebut adalah sebesar 18,3% masuk dalam kategori sedang, sedangkan sisanya sebesar 81,7% dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian.
ABSTRACT
The Effect of Comedy Shows
Pesbukers
Towards Against Verbal
Behavior of Children
( Case Study in SD Negeri 1 Kalibalau Kencana Bandarlampung
3
rd-5
thgrade)
By
Dina Ulia
The purpose of this study was to determine the influence of Comedy Show Pesbukers verbal violence against the child's behavior in SD Negeri 1 Kalibalau Kencana third grade to fifth grade. This study uses the theory of SOR (Stimulus Organism Response) in shaping mindsets and Social Learning Theory with modeling approaches to examine the process of change in children's behavior. There are four processes in modeling approaches, they are attention, retention, motor reproduction and motivation. The conclusion of this study were: (1) comedy shows Pesbukers directly influence the process of considering the child's attention and will be verbally violent scenes with a contribution of 49.8%, while the remaining 50.2% is explained by other faktors which exclude from this study. Value of the path coefficient of 0.706, significant with the Sig. 0,000 less than 5% alpha. The direct effect of this has a strong degree of correlation. (2) The process of considering the child's attention and have a contribution of 36.7% in explaining the changes in the child's verbal behavior, while the remaining 63.7% is explained by other faktors beyond research. Value of the path coefficient of 0.606, significant with the Sig. 0,000 less than 5% alpha. The direct effect of this has a strong degree of correlation.(3) comedy shows Pesbukers indirect effect on the behavior of verbal abuse and children through the process of considering the child's attention with a path coefficient of 0.428. Great influence amounted to 18.3% in the category of being, while the remaining 81.7% is explained by other variables outside of research.
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Dina Ulia. Dilahirkan di
Krui, Pesisir Barat Lampung pada tanggal 11 Oktober
1993. Penulis merupakan putri bungsu dari lima bersaudara
buah hati pasangan Bapak H. Taufik H. Mahdan dan Ibu
Hj. Masnun. Penulis dibesarkan di Krui, Pesisir Barat
Lampung dengan Islam sebagai agama yang dianut dan
diyakini.
Mengawali pendidikan formal di usia 4 tahun, penulis belajar di Taman
Kanak-kanak (TK) AL-Quran Krui Pesisir Barat dan selesai pada tahun 1997. Kemudian
penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar (SD) Negeri 4 Krui Pesisir
Barat dan selesai pada tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis terdaftar
sebagai siswa di Sekolah Menegah Pertama (SMP) Negeri 2 Krui Pesisir Barat
dan selesai pada tahun 2007. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menengah Atas (SMA) Al-Kautsar Bandarlampung dan dinyatakan lulus pada
tahun 2010.
Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan selesai pada tahun
PERSEMBAHAN
PERSEMBAHAN
PERSEMBAHAN
PERSEMBAHAN
Seiring dengan ungkapan penuh rasa syukur kepada Allah SWT,
Kupersembahkan karya kecilku ini untuk:
Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda H. Taufik H. Mahdan dan Ibunda Hj.
Masnun yang tidak pernah lelah memberikan cinta dan kasihsayang.
Pengorbanan yang begitu besar serta doa yang tidak pernah putus demi
keberhasilanku
Kakak – kakakku, Yesi Gusnita, Fitriani, Mery Sofia dan Nopenda Wati yang
sangat saya sayangi dan menyayangi saya
Almamater tercinta Universitas Lampung
MOTO
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT berkat rahmat, hidayah serta
petunjuk-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul
Pengaruh Tayangan Komedi Pesbukers terhadap Perilaku Kekerasan VerbalAnak (Studi Pada Siswa-siswi SD Negeri 1 Kalibalau Kencana Bandarlampung kelas 3
s.d kelas 5).
Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna menyelesaikan studi dan
memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Lampung. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penyusunan skripsi ini masih terdapat kesalahan-kesalahan, baik pada teknik
penulisan maupun materi yang disajikan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik yang membangun sebagai perbaikan pada skripsi ini.
Peran serta dan bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan skripsi sangat
berharga bagi penulis. Tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak
mungkin terselesaikan. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada:
1. Kedua orangtua yang sangat aku sayangi, Ayahanda H. Taufik H. Mahdan
dan Ibunda Hj. Masnun. Terimakasih untuk segala doa, dukungan, nasehat
terbesarku untuk bangun dan terus maju ketika merasa kesulitan. Aku
sayang kalian.
2. Kakak-kakakku, Yesi Gusnita, Fitri Ani, Mery Sofia, Nopenda Wati,
Ponco Prasetyo, Iswandi Nurdiansyah, Ahmad Syukri dan Agus Ridwan.
Terimakasih untuk doa dan dukungannya. Dari kalian aku mendapatkan
semangat, senyum dan tawa mengurangi suntuk akibat berjam-jam di
depan laptop.
3. Adik-adikku, Azka Azlani, Varisha Dhania Aletea, Fahmi Nazhir Aufa,
Danesh Kamelia Maritza dan Jovita Anikha Fakhira yang nda sayangi.
Kalian selalu menjadi obat dari segala bad mood. Kalian dengan kelakuan
lucu pintar dan nakal kalian yang polos adalah kebahagian nda.
4. Bapak Ahmad Rudy Fardiyan, S.Sos., M.Si. selaku Dosen Pembimbing
yang telah membimbing, meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan
banyak koreksi, masukan serta saran demi penelitian yang baik, sehingga
saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Sekali lagi saya sangat berterima
kasih.
5. Ibu Dr. Nina Yudha Aryanti, S.Sos., M.Si. selaku Dosen Penguji yang
telah mengoreksi kesalahan maupun kekeliruan dalam penyusunan
skripsi, sehingga kesalahan-kesalahan tersebut dapat diperbaiki
sebagaimana mestinya. Saya sangat berterima kasih karena dari sejumlah
kritikan beserta masukan yang Ibu berikan telah memotivasi saya untuk
memberikan yang terbaik dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepala sekolah, tata usaha dan para guru khususnya wali kelas kelas tiga
yang sangat terbuka dan ramah menyambut kedatangan peneliti. Yang
telah memberikan izin untuk melakukan penelitian, memberikan
informasi-informasi dan data yang dibutuhkan dalam penelitian.
7. Teman-teman seperjuangan dan sepermainan, teman yang lebih dari
sekedar teman, kalian adalah saudara bagi saya, Leni Destia Edward, Ani
Annisa Lasmah, Siti Fatimah, Fina Yulanda, Hesti Prihastuti, Amaliah
Nurdin, Emirullyta H., Beatrixc Banuarea, Putri Habiebah Baiq, M. Hafiz
Wiratama, Pratama Dio Ananto, Oemar Madri Bafadhal, Imam Mubarok,
Yunardi Hasan KS. Saya tidak dapat berpanjang-panjang cerita, juga tidak
mau “wacana”, singkat kata saya sampaikan bahwa saya sangat amat
sayang kalian.
Peneliti mengucapkan terima kasih banyak, semoga Allah SWT. selalu
melindungi, merekatkan, menjaga ikatan persahabatan dan persaudaraan kita.
Bandarlampung, 27 November 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……….……….……. i
HALAMAN PERSETUJUAN ……… iii
HALAMAN PENGESAHAN ……….……… iv
PERNYATAAN ……….….…. v
RIWAYAT HIDUP ………. vi
PERSEMBAHAN ……… vii
MOTO ……….………. viii
SAN WACANA ……… ix
DAFTAR ISI ……… x
DAFTAR TABEL ………..…. xiii
DAFTAR GAMBAR ………...……… xv
DAFTAR BAGAN ………...……… xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ……….. 1
1.2Rumusan Masalah……… 6
1.3Tujuan Penelitian ………. 6
1.4Kegunaan Penelitian ……… 7
BAB II TINJAUAN PENELITIAN 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ……… 8
2.2 Tinjauan tentang Anak ………..……….. 11
2.2.1 Perkembangan Jiwa Masa Anak Sekolah ………. 13
2.2.2 Perkembangan Fantasi………... 15
2.2.3 Perkembangan Pikiran dan Ingatan ……….. 16
2.3 Tinjauan Perilaku Kekerasan Verbal ……….. 18
2.4 Tinjauan Televisi ………. 21
2.5 Tinjauan Kekerasan di Televisi ……….. 26
2.6 Tinjauan Dampak Negatif Tayangan Kekerasan pada Anak …………..… 29
2.7 Tinjauan Model Teori S-O-R ………. 33
2.8 Tinjauan Social Learning Theory ……….. 34
2.9 Kerangka Pikir ……… 37
2.10Hipotesis ………. 45
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ……… 47
3.2 Metode Penelitian ……….…. 47
3.3 Variabel Penelitian ………. 48
3.4 Definisi Konseptual ……… 49
3.5 Definisi Operasional ………... 50
3.6 Populasi ……….. 55
3.7 Sampel ……… 56
3.8 Jenis Data ……… 58
3.9 Teknik Pengumpulan Data ………. 59
3.10 TeknikPengolahan Data ………...……….. 60
3.11 Pengujian Instrumen Penelitian …………...……….. 61
3.11.1 Uji Validitas ……….. 61
3.11.2 Uji Reliabilitas ……… 62
3.11.3 Uji Normalitas ……… 64
3.12Teknik Analisis Data ……….. 64
BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Mengenai Program Komedi Pesbukers di Televisi ……...…… 67
4.2. Gambaran Mengenai Objek Penelitian ………...…… 71
4.2.1 Gambaran Mengenai SD Negeri 1 Kalibalau Kencana ………. 71
4.2.2 Gambaran Mengenai Orang Tua Responden ………. 72
4.2.3 Gambaran Mengenai Anak-Anak Sebagai Objek Penelitian ……… 73
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pengujian Instrumen Penelitian ……… 75
5.1.1 Uji Validitas ………. 75
5.1.3 Uji Normalitas ……….. 80
5.2 Deskripsi Karakteristik Responden ……… 81
5.2.1 Jenis Kelamin ……… 81
5.2.2 Usia ……….. 82
5.2.3 Tingkatan Kelas Sekolah …….………. 83
5.3 Pengolahan Data ………. 84
5.3.1 Tayangan Program Komedi Pesbukers………. 84
5.3.1.1 Pesan Media ………... 84
5.3.1.2Isi Pesan ……….. 106
5.3.2 Proses Perhatian dan Mengingat Anak ………. 114
5.3.2.1 Proses Perhatian Anak ………... 114
5.3.2.2 Proses Mengingat Anak ………. 117
5.3.3 Perubahan Perilaku Kekerasan Verbal Anak ……… 126
5.3.3.1Proses Reproduksi Motorik ……… 126
5.3.3.2Motivasional ………... 135
5.4 Analisis Hubungan Antarvariabel ………... 140
5.4.1 Analisis Pengaruh Variabel X terhadap Variabel Z ………. 142
5.4.2 Analisis Pengaruh Variabel Z terhadap Variabel Y ……….. 145
5.4.3 Analisis Pengaruh Variabel X terhadap Variabel Y Melalui Variabel Z………. 147
5.5 Hasil Analisis Data ……….. 148
5.6 Pembahasan ………. 153
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ……… 164
6.2. Saran ……… 165
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Tinjauan Penelitian Terdahulu ……….. 9
2. Indikator Variabel Penelitian ……… 54
3. Jumlah Sampel ……….. 58
4. Uji Validitas Variabel X ……… 76
5. Uji Validitas Variabel Z ……… 77
6. Uji Validitas Variabel Y ……… 77
7. Uji Reliabilitas Variabel X ……… 78
8. Uji Reliabilitas Variabel Z ……… 79
9. Uji Reliabilitas Variabel Y ……… 79
10. Tabel Hasil Uji Normalitas ………. 80
11. Karateristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ………. 81
12. Karakteristik Responden Berdasar Usia ………. 82
13. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkatan Kelas Sekolah ……….. 83
14. Tingkat Ketertarikan terhadap Program Komedi Pesbukers ……….. 85
15. Kesesuaian Waktu Tayang Program Komedi Pesbukers ……… 87
16. Kesesuaian Durasi Tayang Program Komedi Pesbukers ……… 89
17. Ketertarikan Terhadap Cerita dalam Sketsa Komedi Pesbukers ………… 91
18. Ketertarikan dengan Tata Panggung Program Komedi Pesbukers ………. 92
19. Ketertarikan Terhadap Musik latar dalam Program Komedi Pesbukers … 93 20. Ketertarikan Terhadap Kostum Pemain dalam Program Komedi Pesbukers ………. 95
21. Tingkat Kesukaan terhadap Pemain Pesbukers Olga Syahputra ………… 98
22. Tingkat Kesukaan terhadap Pemain Pesbukers Raffi Ahmad ……… 99
23. Tingkat Kesukaan terhadap Pemain Pesbukers Jessica Iskandar ………… 100
24. Tingkat Kesukaan terhadap Pemain Pesbukers Sapri ………. 101
25. Tingkat Kesukaan terhadap Pemain Pesbukers Oppie Kumis ……… 102
26. Tingkat Kesukaan terhadap Pemain Pesbukers Julia Perez……….… 103
27. Tingkat Kesukaan terhadap Pemain Pesbukers Kartika Putri……….. 104
28. Tingkat Kesukaan terhadap Pemain Pesbukers Tarra Budiman …………. 105
29. Tingkat Ketertarikan pada Guyonan dalam Komedi Pesbukers …………. 107
30. Tingkat Hiburan dari Guyonan-guyonan Pesbukers ………. 108
32. Tingkat Hiburan dari Pantun dalam Tayangan Komedi Pesbukers ……… 112
33. Tingkat Kemudahan Bahasa untuk Dimengerti ……….…. 113
34. Frekuensi Menonton Tayangan Pesbukers dalam Satu Minggu …………. 115
35. Durasi Menonton Tayangan Komedi Pesbukers ………. 116
36. Tingkat Mengingat Adegan Ketika Pemain Memanggil P dengan Ucap Negatif ……… 118
37. Tingkat Mengingat Adegan Ketika Pemain Membanding-bandingkan Pemain Lainnya dengan Orang Lain ………… 120
38. Tingkat Mengingat Adegan Ketika Pemain Menyebut Pemain Lainnya Dengan Ciri Fisik yang Dimilikinya ………... 122
39. Tingkat Mengingat Adegan Ketika Pemain Mengejek Selera Pribadi Pemain Lainnya ……….…. 123
40. Tingkat Mengingat Adegan Ketika Pemain Merendahkan Pendapat dan Kemampuan Pemain Lainnya …………...… 124
41. Tingkat Mengingat Adegan Ketika Pemain Berbicara dengan Nada Suara yang Keras atau Tinggi …………..………. 125
42. Perilaku Memanggil dengan Ucapan Negatif ………. 127
43. Perilaku Membanding-Bandingkan dengan Orang Lain ……… 129
44. Perilaku Menyebut dengan Ciri Fisik ………. 130
45. Perilaku Memperolok Selera Pribadi Teman ……….. 131
46. Perilaku Merendahkan Pendapat dan Kemampuan ………... 133
47. Perilaku Berbicara dengan Nada Suara yang Tinggi ……….. 134
48. Tingkat Kepuasan Setelah Melakukan Kekerasan Verbal ………. 136
49. Kewajaran Melakukan Kekerasan Verbal……… 137
50. Hilangnya Rasa Takut dengan Teman-teman yang Mengganggu ……….. 139
51. Model Summary (Variabel X terhadap Z) ………. 143
52. Anova (Uji F, variabel X terhadap Z) ………. 144
53. Coefficients (Uji t, variabel X terhadap Z) ………. 144
54. Model Summary (Variabel Z terhadap Y) ……….. 146
55. Anova (Uji F, variabel Z terhadap Y) ………. 147
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Model Mediasi ……….…….……… 64
2. Model Path Analysis ………. 65
3. Model Path Analysis (2) ……… 140
4. Substruktur 1 Model Path Analysis ………...………… 143
5. Substruktur 2 Model Path Analysis ………...……… 146
DAFTAR BAGAN
Bagan
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Majid (2009: 14) mengatakan bahwa, televisi kini telah menjadi salah satu bagian
yang penting dalam keluarga. Hampir setiap rumah memiliki televisi. Tidak
jarang kegiatan lainnya pun dilakukan sambil menonton televisi. Bahkan, tidak
sedikit yang menjadikan televisi sebagai pengasuh, guru, penghibur atau bahkan
sarana promosi dagang. Selain peran televisi yang positif tersebut, televisi juga
memainkan peran besar dalam menyajikan informasi yang tidak layak dan terlalu
dini bagi anak-anak. Menurut para pakar masalah media dan psikologi, di balik
keunggulan yang dimilikinya, televisi berpotensi besar memberikan dampak yang
negatif di tengah berbagai lapisan masyarakat, khususnya anak-anak.
Dwyer (dalam Majid, 2009: 14) mengatakan, televisi mampu merebut 94%
saluran masuknya informasi kedalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga.
Televisi mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50% dari apa
yang mereka tonton di layar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan.
Kebanyakan orang akan ingat 85% dari apa yang mereka lihat di televisi setelah
tiga jam kemudian dan 65% setelah tiga hari kemudian. Dengan demikian
bagi anak-anak yang pada umumnya meniru apa yang mereka lihat, tidak menutup
kemungkinan perilaku dan sikap anak tersebut akan mengikuti acara televisi yang
mereka tonton. Pola pikir anak yang belum bisa membedakan mana yang benar
dan mana yang salah, juga kondisi anak yang belum dapat memahami acara di
televisi secara benar. Mereka menganggap bahwa kejadian yang ditampilkan di
televisi merupakan hal yang benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.
WHO juga menghimbau bahwa kebiasaan menonton siaran televisi yang kurang
bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk. Bahkan penelitian
oleh WHO ini menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang
dilakukan orang adalah hasil dari pelajaran yang mereka terima dari media
semenjak usia anak-anak (Zubaedi, 2011: 13).
Hal ini menjadi kekhawatiran dengan adanya fakta tentang pertelevisian
Indonesia, yang mengatakan pada tahun 2007 bahwa jam tonton televisi
anak-anak 5 sampai 8 jam/hari atau 1.560 sampai 1.820 jam/tahun, sedangkan jam
belajar SD umumnya kurang dari 1.000 jam/tahun, 85% acara televisi tidak aman
untuk anak, karena banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistik yang
berlebihan dan terbuka (Majid, 2009: 15).
Adegan kekerasan merupakan adegan yang paling banyak ditemui dalam tayangan
televisi. Unsur kekerasan sudah menjadi bumbu dalam hampir setiap program
acara televisi yang terbukti ampuh menarik minat menonton masyarakat.
Kekerasan dalam program hiburan khususnya komedi menimbulkan kekhawatiran
tersendiri. Di mana penayangan komedi yang mengunakan unsur kekerasan
khusunya asas manfaat bagi masyarakat. Hal yang memperihatinkan bahwa
perilaku menyimpang tersebut seperti menjadi suatu yang dihalalkan atau
dibenarkan bahkan diberikan suatu keistimewaan dengan dibuatkannya suatu
acara komedi dengan tayang setiap hari di jam prime time (jam televisi banyak
ditonton). Hal ini kemudian berujung pada semakin banyaknya orang-orang yang
tidak lagi peka dengan kekerasan, secara sadar maupun tidak, melakukan
kekerasan verbal terhadap orang-orang di sekeliling mereka.
Salah satu program komedi yang banyak mengandung unsur kekerasan khususnya
kekerasan verbal adalah program komedi Pesbukers yang disiarkan oleh stasiun
televisi nasional ANTV. Ciri khas lawakan Pesbukers adalah lawakan-lawakan
yang dikemas dalam sebuah pantun. Lawakan-lawakan yang dilontarkan dalam
pantun tersebut tentunya tidak lepas dari ejekan-ejekan bagi para pemainnya.
Selain bentuk lawakan berupa pantun juga sering terlihat bentuk spontanitas yang
tidak jarang juga mengandung kekerasan verbal.
Dari bentuk lawakan tersebut, Pesbukers mendapat teguran dari KPI dan sempat
berhenti tayang sementara pada Juli 2012. Pada bulan Juli 2013 Pesbukers
kembali mendapat teguran dari KPI dengan pelanggaran yang termasuk kedalam
kategori pelanggaran terhadap norma kesopanan dan kesusilaan serta pelanggaran
terhadap perlindungan anak. Untuk ketiga kalinya pada Januari 2014, Pesbukers
mendapat teguran dan dikenai sanksi pengurangan durasi selama 30 menit selama
3 hari berturut-turut (www.kpi.go.id, diakses tanggal 26 Februari 2014).
Meskipun demikian, program acara Pesbukers ini mendapat respon yang positif
memenangkan piala Panasonic Gobel Awards sebagai program komedi terfavorit
dua tahun berturut-turut yakni pada tahun 2013 dan 2014 (m.kompas.com edisi
5/3/2013, diakses tanggal 6 Maret 2014).
Dalam penelitian ini, peneliti memilih program komedi Pesbukers karena dalam
program ini banyak ditemukan bentuk gurauan yang mengandung kekerasan
verbal. Hal tersebut dikarenakan Pesbukers ditayangkan secara langsung sehingga
kurangnya kontrol terhadap isi program, tidak melalui proses editing terhadap
gurauan kekerasan verbal tersebut. Beberapa faktor seperti kurangnya kontrol
orang tua dan jam tayang Pesbukers yang berada pada waktu prime time (jam
televisi yang banyak ditonton), menjadikan tayangan tersebut juga dapat ditonton
oleh anak-anak.
Di sisi lain, Oswold Kroh (dalam Zulkifli, 2006: 46) mengatakan, pada usia 8
sampai dengan 10 tahun merupakan masa realism naif, semua yang diamati
diterima begitu saja tanpa ada kecaman tau kritik, masa ini disebut juga masa
penyampaian ilmu pengetahuan. Dalam masa ini anak lebih cenderung
berperilaku seperti yang diperlihatkan di sekelilingnya juga dari tayangan televisi.
Disadari atau tidak, perilaku-perilaku negatif yang dilihat di televisi akan menjadi
suatu memori dalam diri anak, meniru apa yang ia lihat dan bisa berkembang
menjadi karakter pribadi anak tersebut. Hal ini semestinya dicegah sejak dini
karena dapat mengancam moral dan etika anak sebagai penerus bangsa.
Berdasarkan pada penjelasan Oswold Khroh tersebut, dapat dijelaskan bahwa
dampak negatif yang ada dalam suatu tayangan televisi akan sangat terasa pada
dengan 10 tahun, di mana semua diamati dan diterima begitu saja tanpa ada
kecaman atau kritikan. Dalam tingkatan sekolah, pada umumnya usia 8 sampai
dengan 10 tahun berada pada tingkat Sekolah Dasar (SD) yakni kelas 3, 4 dan 5.
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 1 Kalibalau Kencana Bandarlampung
`Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada hasil pra-survey (2014). Dapat
dijelaskan bahwa SD Negeri 1 Kalibalau Kencana merupakan SD yang berada di
daerah Sukarame Bandarlampung. Sekolah ini merupakan SD yang kurang
dikenal dibandingkan dengan SD lain di sekitar wilayah Bandarlampung,
Lokasinya berada di pemukiman warga dengan penghasilan menengah kebawah,
dan kebanyakan anak-anak diseputaran SD itulah yang merupakan siswa-siswi di
SD tersebut. Hasil pra-survey (2014), di mana peneliti secara langsung
berinteraksi dengan anak-anak di SD tersebut, juga mengamati secara seksama
proses interaksi yang terjadi diantara anak-anak. Peneliti mendapati bahwa dalam
berinteraksi, anak-anak di sana sangat tidak segan untuk melontarkan kata-kata
yang tergolong ke dalam kekerasan verbal, yakni berkata-kata kasar, saling ejek,
menghina dan berbicara dengan nada yang tinggi. Korban biasanya merasa kesal
dan tidak menerima perkataan yang ditujukan kepadanya. Guru-guru wali kelas
juga mengakui bahwa ada beberapa siswa dan siswi yang menangis akibat hal
tersebut. Dalam pergaulan di luar sekolah, anak-anak sering berkumpul dan
bermain bersama, seringkali mereka mengucapkan kata-kata yang tidak pantas
diucapkan, seperti “Tolol lu, begok lu, lu jelek, pulang aja lu, gua ketok lu,” dan
lain-lain. Orang dewasa di sana juga jarang memberikan teguran apabila
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
adanya pengaruh tayangan komedi Pesbukers di televisi terhadap perilaku
kekerasan verbal anak di SD Negeri 1 Kalibalau Kencana kelas 3 sampai dengan
kelas 5. Lokasi penelitian dipilih karena di SD Negeri 1 Kalibalau Kencana sering
didapati bentuk kekerasan verbal yang dilakukan anak-anak di lingkungan sekolah
maupun luar sekolah. Peneliti juga mempertimbangkan bahwa kelas 3 sampai
dengan kelas 5 sudah memiliki kemampuan membaca dan memahami isi
pertayaaan dalam kuesioner yang diberikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah, “Berapa besar pengaruh tayangan Komedi Pesbukers terhadap perilaku
kekerasan verbal anak di SD Negeri 1 Kalibalau Kencana kelas 3 sampai dengan
kelas 5?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah, “Untuk mengetahui dan menganalisis besar pengaruh
tayangan Komedi Pesbukers terhadap perilaku kekerasan verbal anak di SD
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian mengenai masalah perilaku kekerasan verbal anak akibat tayangan
televisi akan memperkaya konsep-konsep ilmu sosial, khususnya ilmu
komunikasi yang mengkaji dampak dari media televisi.
2. Kegunaan Praktis
Sebagai bahan informasi bagi instansi terkait dalam upaya peningkatan kualitas
tayangan televisi dan bahan informasi bagi masyarakat khususnya orang tua
untuk lebih mengawasi tontonan anaknya agar dapat meminimalisir pengaruh
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian ini, merujuk kepada penelitian-penelitian terdahulu yang membahas
mengenai pengaruh tayangan yang memiliki unsur kekerasan. Penjelasan
Dengan merujuk penelitian terdahulu di atas, penulis mendapati bahwa pengaruh
tayangan yang memiliki unsur kekerasan merupakan hal yang perlu dikaji lebih
lanjut, terlebih lagi pengaruhnya terhadap anak-anak yang belum dapat memilih
dan memilah tayangan yang baik untuknya.
Peneliti juga melihat bahwa faktor usia dapat mempengaruhi besarnya pengaruh
tayangan televisi. Dapat dilihat dari perbedaan hasil penelitian terhadap anak
SMA (Sekolah Menengah Atas) dengan anak TK (Taman Kanak-kanak). Dimana
di kalangan anak SMA (SMA Triguna Utama Ciputat) tidak menemukan
hubungan yang signifikan antara tayangan kekerasan dengan perilaku kekerasan,
sedangkan hubungan positif ditunjukkan oleh tayangan kekerasan dengan perilaku
agresif anak pra sekolah (TK Islam Terpadu Al Akhyar Kabupaten Kudus).
Persepsi remaja di Kota Malang juga mengkhawatirkan dampak negatif tayangan
dengan kekerasan terhadap perilaku anak. Maka untuk melengkapi penelitian
yang telah dilakukan para peneliti perdahulu, penulis memilih anak dengan usia 8
sampai dengan 10 tahun sebagai responden untuk mengetahui ada atau tidaknya
pengaruh tayangan yang mengandung kekerasan verbal (Komedi Pesbukers)
terhadap perilaku kekerasan verbal anak.
2.2 Tinjauan Tentang Anak
Anak adalah mereka yang belum mengerti dan memiliki apa-apa sebagai bekal
dirinya untuk menghadapi kehidupan yang lebih luas, ia perlu mendapatkan
keluarganya, di samping itu anak juga membutuhkan orang lain dalam
perkembangan dan pertumbuhannya. Orang lain yang paling utama dan pertama
bertanggung jawab adalah orang tuanya sendiri. Secara psikologis anak lebih
rentan dibandingkan orang dewasa dan memiliki pengalaman yang terbatas, yang
mempengaruhi pemahaman dan persepsi mereka mengenai dunia.
Menurut Suhartin (1986: 78) anak adalah mereka yang ditandai dengan fisik yang
terbagi dalam beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut antara lain:
1. Umur 0-1 tahun, yaitu masa bayi
2. Umur 1-3 tahun, yaitu masa balita
3. Umur 3-6 tahun, yaitu masa pra-sekolah
4. Umur 6-12 tahun, yaitu masa sekolah
Menurut Erik Erikson (dalam Zulkifli, 2006: 68), umur 6 tahun sampai 10 tahun
berada dalam masa industry versus inferiority (berkarya/etos kerja versus minder),
yang merupakan masa paling kritis bagi anak-anak untuk mengembangkan
kepercayaan dirinya bahwa mereka mampu untuk berkarya dan bereksplorasi.
Menurut Erik, anak-anak adalah pribadi yang penuh kreativitas, antusias
melakukan sesuatu, aktif berekplorasi maka segala hal ingin dipraktekkannya.
Oswold Khroh (dalam Zulkifli, 2006: 72) menjelaskan, dari segi perkembangan
anak umur 8 sampai 10 tahun berada pada masa realisme naïf, semua diamati dan
diterima begitu saja tanpa ada kecaman atau kritikan, masa ini disebut juga
Merujuk beberapa pendapat tentang anak di atas, maka dalam penelitian ini yang
dimaksud anak adalah mereka yang belum mengerti dan memiliki apa-apa sebagai
bekal dirinya untuk menghadapi kehidupan yang lebih luas. Anak dengan ciri fisik
yang berada pada masa sekolah yang merupakan masa paling kritis, yaitu usia 8
sampai 10 tahun yang berada dalam masa realisme naif, semua diamati dan
diterima begitu saja tanpa ada kecaman atau kritikan. Pada tahap ini anak-anak
adalah pribadi yang penuh kreativitas, antusias melakukan sesuatu, aktif
berekplorasi maka segala hal ingin dipraktekkan.
2.2.1.Perkembangan Jiwa Masa Anak Sekolah
Masa anak sekolah pada umumnya ketika anak berusia 6 sampai 7 tahun,
karena pada usia ini secara umum kejiwaan anak sudah matang dan sudah siap
untuk masuk sekolah. Adapun perkembangan jiwa anak pada masa sekolah ini
menurut Zulkifli (2006: 70) yang menonjol antara lain:
1. Adanya keinginan yang cukup tinggi, terutama yang menyangkut
perkembangan intelektual anak, biasanya dinyatakan dalam bentuk
pertanyaan, senang melakukan pengembaraan atau percobaan-percobaan.
2. Energi yang melimpah, sehingga kadangkala anak itu tidak memperdulikan
bahwa dirinya telah lelah atau capek. Dengan energi yang sangat cukup
inilah nantinya sebagai sumber potensi dan dorongan anak untuk belajar.
3. Perasaan kesosialan yang berkembang pesat, sehingga anak menyukai untuk
mementingkan peer group nya dibanding orang tuanya. Hal itu disebabkan
karena anak sudah banyak temannya disekolah.
4. Sudah dapat berpikir secara abstrak, sehingga memungkinkan anak untuk
menerima hal-hal yang berupa teori atau norma-norma tertentu.
5. Minat istimewanya tertuju kepada kegemaran dirinya (misalnya gemar
bermain gitar, sepak bola, memelihara binatang atau yang lainnya) yang
mengakibatkan anak melalaikan tugas belajarnya.
6. Adanya kekejaman yaitu: “Perhatian anak ditujukan kepada dunia luar, akan
tetapi dirinya tidak mendapat perhatian, saat itu juga anak belum mengenal
jiwa orang lain.
Pada masa anak sekolah ini sebenarnya anak telah tumbuh sikap objektifnya,
yang menyangkut tentang:
a. Kenyataan: Anak mempunyai sikap yang serius kepada dunia nyata
(realistis).
b. Kesusilaan: Sikap anak terhadap norma susila sudah juga, meskipun
terkadang acuh tak acuh.
Proses tumbuh kembang anak terkadang hanya dipahami bahwa anak secara
naluri atau kodrati akan tumbuh dan berkembang secara sendirinya seiring
dengan perkembangan fisik maupun psikis anak. Dari segi perkembangan
pengamatan, Oswold Kroh (dalam Zulkifli, 2006: 72) membaginya ke dalam
1. Sintesis Fantasi: 7 sampai 8 tahun
Pengamatan masih dipengaruhi oleh fantasi dan kenyataan berbaur dengan
fantasi.
2. Masa Realisme Naif: 8 sampai 10 tahun
Semua diamati dan diterima begitu saja tanpa ada kecaman atau kritikan,
masa ini disebut juga sebagai masa pengumpulan ilmu pengetahuan.
3. Masa Realisme Kritis: 10 sampai 12 tahun
Dalam masa ini, anak mulai berfikir kritis, ia mulai mencapai tingkat
berfikir abstrak.
4. Masa Subjektif: 12 sampai 14 tahun
Pada masa ini anak berpaling pada dunianya sendiri. Perhatiannya ditujukan
pada dirinya sendiri. Hidupnya mulai gelisah, ragu-ragu, timbul rasa malu
dan hidup perasaan tidak nyaman.
Dalam masa anak sekolah perkembangan pengamatan merupakan peralihan
dari keseluruhan menuju pada bagian-bagiannya, menerima tanpa kritik
menuju kearah pengertian dari alam khayal (fantasi) menuju alam kenyataan.
2.2.2.Perkembangan Fantasi
Zulkifli (2006: 74) menjelaskan, sejak anak berumur lima atau enam tahun,
perhatiannya mulai ditujukan ke dunia luar, ke alam kenyataan. Tetapi bukan
senantiasa hidup itu akan mencari lapangan penyaluran lain, misalnya
membuat hiburan seperti membaca buku-buku, mendengarkan cerita, membuat
sesuatu dan sebagainya. Beberapa masa fantasi, yaitu:
1. Masa dongeng: 4 sampai 8 tahun.
Masa ini bertepatan waktunya dengan perkembangan anak ke arah
kenyataan. Anak suka mendengarkan cerita kehidupan seperti anak yang
lucu, anak yang rajin, anak yang durhaka dan lain sebagainya. Termasuk
cerita raja-raja yang arif bijaksana dan sebagainya.
2. Masa robinson crusoe: 8 sampai 12 tahun.
Pada masa ini anak mengalami realisme naif, kemudian memasuki masa
realisme krisis. Anak sudah tidak lagi menyukai cerita atau dongeng yang
fantastis (tidak masuk akal). Sekarang ia lebih menyukai cerita yang
sebenarnya, cerita yang masuk akal seperti: cerita perjalanan, cerita roman
dan sebagainya.
3. Masa pahlawan: 12 sampai 15 tahun.
Anak lebih suka membaca cerita atau buku perjuangan yang benar-benar
pernah terjadi.
2.2.3 Perkembangan pikiran dan ingatan
Zulkifli (2006: 58-59) menjelaskan bahwa, dalam keadaan normal, pikiran
anak usia sekolah dasar berkembang secara berangsur-angsur dan tenang. Di
pembentukan akal budi anak. Pola pikir dan perkembangannya berubah, dari
iklim yang egosentris memasuki realitas benda dan dunia pikiran orang lain.
Dari kehidupan fantasi (dengan menyukai cerita atau dongeng) berubah
menjadi menyukai kehidupan yang nyata. Ingatan anak pada usia 8 sampai 12
tahun mencapai insensitas tinggi dan paling kuat, daya menghafal (memorisasi)
paling kuat.
2.2.4 Kehidupan perasaan
Pada umumnya anak lebih emosional dibanding dengan orang dewasa. Sifatnya
optimistis dan kurang dirisaukan oleh rasa penyesalan. Kesengsaraan,
kepedihan dan kegembiraan orang lain kurang dipahami dan dihayati oleh
anak. Perasaan intelektuan anak pada periode ini sangat besar, sehingga
menyukai sesuatu yang menantang, misalnya soal-soal matematika, fisika dan
perhitungan yang sulit terutama yang berkaitan dengan angka.
Pada masa ini perasaan religiusnya menipis seiring dengan berubahnya tidak
lagi menyukai cerita fantasi. Hal ini bukan berarti perasaan religius anak hilang
sama sekali, tetapi tidak menonjol. Untuk mengatasi hal tersebut, hendaknya
pendidikan agama pada anak usia 6 sampai 12 tahun mendapat perhatian yang
serius dari orang tuanya. Namun metode yang digunakan tidak dilaksanakan
dengan kekerasan dan ancaman, akan tetapi diberikannya untuk melakukan
perkembangan psikis, kebutuhan dan keinginan anak. Di samping itu juga
Tuntunan dan pemberian keyakinan akan tuangan kasih sayang orang tua akan
menguatkan kepercayaan pada diri anak.
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini memfokuskan pada anak-anak usia
sekolah dasar, khususnya yang berada di usia 8 sampai 10 tahun. Di mana umur 8
sampai 10 tahun merupakan masa realisme naïf yang berarti anak masih dalam
masa belajar sehingga anak dapat menerima dengan mudah hal-hal bersifat positif
maupun negatif yang dilihat atau diberikan kepadanya, baik yang disampaikan
secara langsung dari seseorang maupun melalui media, termasuk media televisi.
Pada masa ini juga, anak sudah tidak lagi menyukai cerita atau dongeng yang
fantastis (tidak masuk akal), ia lebih menyukai cerita yang sebenarnya. Ingatan
anak pada usia ini pun mencapai insensitas tinggi dan paling kuat. Daya
menghafal (memorisasi) paling kuat, sehingga anak dapat secara cepat belajar dari
apa yang didapatnya. Sifatnya optimistis dan kurang dirisaukan oleh rasa
penyesalan. Kesengsaraan, kepedihan dan kegembiraan orang lain kurang
dipahami dan dihayati oleh anak yang berada pada masa ini.
2.3 Tinjauan Periaku Kekerasan Verbal
Perilaku kekerasan adalah keadaan di mana seseorang menunjukkan sikap yang
bermusuhan yang ditujukan terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan
secara verbal maupun non verbal yang dapat menyebabkan kerusakan. Perilaku
kekerasan dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah peniruan tindak
kekerasan di berbagai media pemberitaan. Pada anak, perilaku kekerasan dicirikan
hati orang lain melalui tindakan maupun kata-katanya (Anantasari, 2006: 11).
Perilaku kekerasan yang dilakukan anak biasanya bertujuan untuk menyakiti hati
atau merusak barang orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, perilaku kekerasan bersifat verbal dan
nonverbal. Namun, kekerasan verbal seringkali dianggap remeh, selain karena
dampaknya tidak terlihat secara fisik, orang-orang yang melakukannya pun
seringkali tidak sadar telah melakukan kekerasan verbal. Padahal, kekerasan
verbal dapat menimbulkan dampak buruk yang cukup besar terhadap kesehatan
mental dan perkembangan psikologis seseorang.
Waruwu (2010: 29) mendefinisikan kekerasan verbal secara umum berupa
penghinaan dengan kata-kata, fitnah, menjelek-jelekkan orang lain, dan
pembunuhan karakter. Sementara menurut Baryadi (dalam Azma, 2012: 122)
kekerasan verbal adalah perilaku berbahasa kasar seperti memaki, mengancam,
mengusir, memfitnah, memaksa, menghasut, membuat orang malu, menghina dan
sebagainya. Menurut Dr. Jay Grady (dalam Azma, 2012: 122), seorang yang telah
bergelut selama lebih dari 30 tahun dalam bidang konseling dan menangani
berbagai macam kasus kekerasan dalam hubungan antar manusia, kekerasan
verbal adalah penggunaan kata-kata yang secara sengaja ataupun tidak sengaja
menyakiti seseorang, kata-kata yang menyerang jati diri dan kemampuan
seseorang atau kata-kata yang membuat seseorang mempercayai pernyataan yang
tidak benar mengenai dirinya. Merujuk definisi-definisi mengenai perilaku
diartikan sebagai: Perilaku berbahasa kasar yang secara sengaja ataupun tidak
sengaja menyakiti seseorang.
Tanpa kita ketahui, perkataan yang seringkali dianggap sepele atau sekedar
candaan dan lelucon, juga merupakan bentuk kekerasan verbal. Berikut kata-kata
yang dapat digolongkan sebagai kekerasan verbal:
1. Memberi cap negatif dengan kata-kata seperti: “Pemalas; Bodoh; Ceroboh;
Jorok; Jelek; Tidak bisa diharapkan; Tidak punya masa depan”.
2. Membanding-bandingkan dengan orang lain: “Masa gak dapet rangking, lihat
tuh kakak kamu, rangking satu terus”.
3. Menyebut berdasarkan ciri fisik tertentu: “Ceking; Gendut; Pendek; Tiang
Listrik; Raksasa; Hitam; Peyang; Badak”.
4. Memperolok selera pribadi, misalnya cara berpakaian, selera musik, potongan
rambut, hobi: “Kutubuku”.
5. Merendahkan pendapat dan kemampuan: “Sok tau lu; Malu-maluin aja; Gitu
aja ngga bisa”.
6. Berbicara dengan nada suara yang keras atau tinggi, membentak.
Kekerasan verbal bahkan memiliki dampak yang lebih besar dan buruk
dibandingkan dengan kekerasan fisik, karena sifatnya yang tersembunyi dan
melukai aspek mental dan psikologis seseorang yang lebih sulit disembuhkan
daripada luka fisik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah, orang yang mengalami
kekerasan verbal seringkali tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban,
sehingga mereka merasa bahwa semua hal-hal buruk yang dikatakan terhadap
bahwa semua hal buruk yang terjadi kepada mereka adalah sepenuhnya karena
kesalahan mereka. Ini membuat mereka tumbuh menjadi pribadi dengan
kepercayaan diri dan konsep diri yang rendah.
Dampak lain dari kekerasan verbal (pada korban) adalah terhambatnya
perkembangan anak secara sosial dan emosional. Anak-anak yang sering
mengalami kekerasan verbal juga dapat tumbuh dengan rasa rendah diri dan
konsep diri yang rendah.
Saat mereka dewasa nanti, mereka pun memiliki kemungkinan lebih besar untuk
terus menjadi korban kekerasan verbal, atau justru berbalik menjadi pelaku
kekerasan verbal. Mereka juga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk
berperilaku agresif dan terlibat dalam tindak kenakalan dan perilaku yang bersifat
merusak terhadap diri sendiri, seperti penggunaan narkoba, penyalahgunaan
alkohol dan zat adiktif sampai percobaan bunuh diri. Korban kekerasan verbal
juga dapat tumbuh menjadi pribadi dengan berbagai macam gangguan psikologis,
seperti gangguan kecemasan, depresi dan ketidakstabilan emosional.
2.4 Tinjauan Televisi
Televisi berasal dari dua kata yang berbeda asalnya, yaitu tele (bahasa Yunani)
yang berarti jauh, dan visi (videre, bahasa Latin) yang berarti penglihatan Dengan
demikian televisi diartikan dengan melihat jauh. Melihat jauh maksudnya gambar
dan suara yang diproduksi di suatu tempat dan dapat dilihat dari tempat lain
televisi menggabungkan unsur audio (pendengaran) dengan unsur visual
(penglihatan) karena menampilkan gambar hidup dan warna. Kedua aspek ini
membuat televisi menarik perhatian masyarakat dan menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk menonton.
Mengingat cakupannya yang terbuka, maka cakupan pemirsanya tidak mengenal
usia dan meliputi seluruh lapisan masyarakat. Luas jangkauan dan cakupan
pemirsanya, menjadikan media televisi sebagai media pembawa informasi yang
besar dan cepat pengaruhnya terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku anggota
masyarakat, serta sistem dan tata nilai yang telah ada.
Menurut Ardianto (2005:128), fungsi televisi tidak jauh berbeda dengan media
massa lainnya seperti surat kabar maupun radio, yaitu memberi informasi,
mendidik, menghibur dan membujuk. Akan tetapi fungsi menghibur lebih
dominan pada media televisi.
Pesan yang disampaikan melalui televisi juga memerlukan pertimbangan lain agar
pesan tersebut dapat diterima oleh khalayak sasaran (Ardianto, 2007: 140). Faktor
tersebut adalah:
1. Pemirsa
Pemirsa adalah khalayak yang menonton tayangan tersebut. Sasaran khalayak
perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan pesan yang disampaikan agar
2. Waktu
Setelah mengetahui minat dan kebiasaan setiap kategori pemirsa, langkah
selanjutnya adalah menyesuaikan waktu penayangan dengan kebiasaan
pemirsa. Faktor waktu menjadi bahan pertimbangan agar setiap acara
ditayangkan secara proporsional dan dapat diterima oleh khalayak yang dituju.
3. Durasi
Durasi berkaitan dengan waktu, yakni jumlah menit dalam setiap penayangan
acara. Durasi masing-masing acara disesuaikan dengan jenis acara dan tuntutan
naskah. Suatu acara tidak akan mencapai sasaran karena durasi terlalu singkat
atau terlalu lama.
4. Metode Penyajian
Fungsi utama televisi menurut khalayak pada umumnya adalah untuk
menghibur dan informasi. Tetapi, tidak berarti fungsi mendidik dan membujuk
dapat diabaikan. Hal yang perlu diperhatikan untuk memadukan fungsi televisi
adalah cara mengemas pesan sedemikian rupa, yakni menggunakan metode
penyajian tertentu dimana pesan nonhiburan dapat mengundang unsur hiburan.
Keempat faktor tersebut satu dengan lainnya saling berhubungan. Penonton
televisi sebagai komunikan yang heterogen terbagi menjadi beberapa kelompok di
mana tiap kelompoknya mempunyai minat dan kebiasaan yang berbeda, termasuk
kebiasaannya dalam menonton televisi. Oleh karenanya acara-acara televisi akan
disesuaikan dengan kebiasaan menonton televisi khalayaknya, sedangkan faktor
Faktor metode penyajian lebih mempertimbangkan sasaran khalayak serta fungsi
utama siaran televisi sebagai media hiburan dan informasi.
Media televisi pun dapat menjadi penangkap ampuh yang mampu membuat
anak-anak duduk pasif selama berjam-jam setiap hari, ia bisa menjadi “penganti baby
sitter” yang handal tanpa perlu digaji. Televisi juga bisa membuat mata anak-anak
kelelahan karena kurang istirahat akibat terus-menerus digunakan untuk
menonton. Dengan demikian televisi mampu mengendalikan jika tidak mampu
mengendalikan pesawat televisi ia akan mengendalikannya (Surbakti, 2008:
45-50).
Muh. Labb mengutip Jhon Fiske, Marshal Mac Luhan dan Jalaludin Rakhmat
(dalam Surbakti, 2008: 50), mengatakan bahwa televisi dikonstruksi dan
merupakan hasil dari pilihan manusia, keputusan-keputusan, budaya-budaya dan
tekanan-tekanan sosial. Marshal Mac Luhan melihat televisi dari dua sudut
pandang, dari sudut pandang isi dan cara penyajiannya. Dari sisi isi, televisi
adalah “review mirrorism” artinya televisi merupakan media baru yang mampu
mengeksploitasi potensi-potensinya, dalam arti media ini melakukan proses
pergantian terhadap tealitas. Ada benarnya dalam istilah Rakhmat (2009: 220)
disebut “realitas tangan kedua”.
Menurut Rahkmat (2009: 220), ada tiga dimensi efek komunikasi massa yaitu
efek kognitif, afektif dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran,
perasaan dan sikap. Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku yakni
melakukan sesuatu menurut cara tertentu.
1. Efek Kognitif: adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya
informatif bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini berkaitan dengan pikiran, nalar
atau rasio. Misalnya komunikasi menyebabkan orang yang semula tidak tahu
menjadi tah, yang semula tidak mengerti menjadi mengerti, atau yang semula
tidak sadar menjadi sadar. Dengan kata lain, media massa dapat membantu
khalayak mempelajari informasi dan mengembangkan keterampilan kognitif.
2. Efek Afektif: yaitu efek yang berhubungan dengan perasaan. Tujuan dari
komunikasi massa bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar
menjadi tahu tentang sesuatu, tetapi setelah mengetahui informasi yang
diterimanya, khalayak diharapkan dapat merasakannya. Semua sikap
bersumber pada organisasi kognitif, informasi dan pengetahuan yang khalayak
miliki. Sikap selalu diarahkan kepada objek, kelompok atau orang. Hubungan
media dengan khalayak pasti didasarkan pada informasi yang khalayak peroleh
tentang sifat-sifat media. Sikap pada seseorang atau sesuatu tergantung pada
citra khalayak tentang orang atau objek tersebut.
3. Efek Konatif: efek ini merupakan efek yang timbul pada diri khalayak dalam
bentuk perilaku tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik atau jasmaniah. Efek
2.5 Tinjauan Tayangan Kekerasan di Televisi
Daya tarik sebuah tayangan televisi memang sangat relatif. Fenomena yang
terjadi, banyak tayangan kurang mendidik justru sangat diminati masyarakat,
sementara tayangan-tayangan yang mendidik justru cenderung ditinggalkan.
Padahal hanya tayangan-tayangan yang mendapat perhatian besar masyarakatlah
yang mampu menarik iklan dalam jumlah besar. Karena itulah, stasiun-stasiun
televisi tetap menyajikan tayangan-tayangan yang disukai masyarakat, terlepas
bahwa kualitas tayangan itu sendiri disadari cenderung menjerumuskan atau
kurang bermanfaat bagi masyarakat. Salah satu unsur yang menjadi andalan
industri media televisi untuk menarik perhatian masyarakat adalah unsur
kekerasan. Kekerasan kini menjadi komoditi yang diperjual dan terbukti ampuh
menarik perhatian masyarakat.
Kumiasari (2009: 22) meneliti bahwa kekerasan dipandang sebagai sesuatu yang
indah, mengandung ciri estetika, yakni menimbulkan sensasi-sensasi kenikmatan.
Kekerasan menghasilkan rasa muak sekaligus rasa kagum hampir pada saat yang
bersamaan. Sehingga tidak mengherankan apabila unsur kekerasan begitu sulit
dilenyapkan dari tayangan televisi.
Menurut Sunarto (2009: 18) tayangan yang termasuk ke dalam tayangan
kekerasan adalah tayangan yang menempatkan tema anti sosial, seksualitas atau
tema supranatural sebagai daya tarik tayangan tersebut, misalnya adalah
kekerasan fisik, seksual maupun mental. Selain itu, tayangan yang menggunakan
bahasa yang tidak pantas diucapkan dan didengar juga termasuk kedalam
antara yang baik dan buruk dan mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh
dilakukan juga dapat dikategorikan sebagai tayangan yang mengandung
kekerasan.
Pengertian tayangan kekerasan dalam penelitian ini merujuk pada pengertian
tayangan kekerasan oleh Sunarto, yaitu tayangan yang menggunakan bahasa yang
tidak pantas diucapkan dan didengar, tayangan yang tidak memperhatikan batasan
yang jelas antara yang baik dan buruk dan mana yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan.
Berdasarkan pengertian tayangan kekerasan di atas, tayangan kekerasan ternyata
begitu mendominasi program televisi. Hampir semua tayangan di televisi memuat
adegan kekerasan di dalamnya. Mulai dari program informasi kriminal, berita,
film, sinetron, reality show, komedi, iklan dan bahkan film kartun yang
merupakan tayangan untuk anak-anak.
Saat kita menonton televisi, sebenarnya kita sedang melakukan komunikasi. Pada
dasarnya komunikasi digunakan untuk menciptakan atau meningkatkan aktivitas
antara manusia atau kelompok, dari hubungan yang ada tersebut lahirlah suatu
pengaruh yang dapat dinilai dari aspek jenis komunikasi yang ada. Jenis
komunikasi itu sendiri terdiri dari komunikasi verbal dan non verbal.
Dugan (1989: 68) mengatakan bahwa humor termasuk kedalam komunikasi
verbal, di mana humor dapat meningkatkan kehidupan yang bahagia. memberikan
Tertawa mempunyai hubungan fisik dan psikis dan harus diingat bahwa humor
adalah merupakan satu-satunya selingan dalam berkomunikasi.
Dalam berkomunikasi, hendaknya dilakukan komunikasi yang efektif.
Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan sama-sama
memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan. Oleh karena itu, dalam
bahasa asing orang menyebutnya “the communication is in tune”, yaitu kedua
belah pihak yang berkomunikasi sama-sama mengerti apa pesan yang
disampaikan.
Menurut Rahkmad (1998: 58) komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya
pengertian, dapat menimbulkan kesenangan, mempengaruhi sikap, meningkatkan
hubungan sosial yang baik dan pada akhirnya menimbulkan suatu tidakan. Maka
dari itu pesan yang disampaikan menjadi kunci dalam menentukan komunikasi
yang efektif, yakni komunikator dapat mengolah pesan tersebut menggunakan
bahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisi serta mudah dimengerti.
Sebagaimana yang dijelaskan Rahkmad (1998: 58), syarat-syarat dalam
berkomunikasi efektif, yaitu:
1. Menciptakan suasana yang menguntungkan.
2. Menggunakan bahasa yang mudah ditangkap dan dimengerti.
3. Pesan yang disampaikan dapat menggugah perhatian atau minat di pihak
komunikan.
4. Pesan dapat menumbuhkan sesuatu penghargaan atau reward di pihak
Sehingga dengan adanya indikasi tersebut, maka pesan yang disampaikan dapat
dengan mudah diterima dan tujuan dari komunikasi dapat terwujud.
2.6 Tinjauan Dampak Negatif Tayangan Kekerasan pada Anak
Ketika anak-anak (penonton) melihat tayangan televisi dalam waktu yang relatif
lama (lebih dari 4 jam sehari) maka akan mudah dipengaruhi oleh televisi. Bila
tayangan tersebut berisi tentang kekerasan, maka anak-anak (penonton) akan
meniru (mencontoh) perilaku tersebut.
Hal ini karena masa anak-anak, khususnya yang berumur antara 6 sampai 10
tahun adalah tahun adalah masa paling kritis bagi anak-anak. Pada tahap ini
mereka akan mengembangkan kepercayaan dirinya bahwa mereka mampu untuk
berkarya dan bereksplorasi. Anak-anak adalah pribadi yang penuh kreativitas
antusias melakukan sesuatu, aktif berekplorasi maka segala hal ingin
dipraktekkannya. Lebih lanjut, anak-anak dalam tahap perkembangannya belum
bisa membedakan antara fakta dan imaginatif, rasa ingin tahunya besar. Sehingga
ketika melihat tayangan televisi dia mempraktekkannya, dia tidak bisa mencerna
apakah tayangan tersebut fakta atau imajinatif. (Kumiasari, 2009: 45).
Aktivis pembelaan atas hak-hak anak mengemukakan bahwa tayangan kekerasan
di sejumlah stasiun televisi telah ikut andil membentuk perilaku kekerasan di
kalangan anak-anak. Salah satu contohnya anak dari Kediri yang membunuh anak
kecil karena terinspirasi dari tayangan telvisi, khususnya di berita kriminal.
telah memberikan “pembelajaran” pada anak-anak untuk melakukan hal serupa
jika menghadapi suatu masalah (Anonim, dalam http://www.republika.co.id,
2007, diakses tanggal 22 Juni 2014).
Kajian yang dibuat oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak pada akhir 2007
terhadap dunia perfilman menunjukkan bahwa televisi adalah salah satu
penyumbang terbesar kekerasan. Hampir 62% dari 35 judul acara atau film
mengandung adegan-adegan kekerasan. Tahun 2008 Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) menganalisa sekitar 47 program. Hasilnya 20% dari tayangan tersebut tidak
sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standart Program Siaran
(P3-SPS). Adegan yang tidak sesuai dengan pedoman tersebut antara lain
pengggunaan senjata, kekerasan, menakutkan bagi anak, sikap tidak baik terhadap
orang tua, adegan pacaran, penggunaan alohol, perilaku antisosial dan adegan
ciuman.
Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kesehatan Mental
Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun,
menyatakan bahwa kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku
agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut. Dimana
kekerasan dan agresivitas tampaknya dua variabel yang selalu berhubungan erat
dan tidak terpisahkan. Keduanya menyatu ibarat dua sisi mata uang sehingga
dimana ada kekerasan di situ ada agresivitas. Sebaliknya, dimana ada agresivitas
pasti di situ kekerasan berkembang dengan subur. (Surbakti, 2008: 131-132).
Ron Solby dari Universitas Harvard (dalam www.indomedia.com, diakses tanggal
yang menayangkan kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian
anak, yakni:
1. Dampak aggressor, di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat.
2. kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit
mempercayai orang lain.
3. ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap
kesulitan orang lain.
4. keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat
atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
Tayangan komedi juga tidak luput dari unsur kekerasan. Di mana kekerasan
khususnya kekerasan verbal dalam tayangan komedi dijadikan senjata utama
untuk memancing tawa pemirsa. Sebuah penelitian oleh Afifi (2010: 98)
menunjukkan bahwa bentuk kekerasan banyak ditemukan dalam
program-program televisi yang didominasi oleh program-program hiburan berbahasa kasar seperti
memaki, mengancam, mengusir, memfitnah, memaksa, menghasut, membuat
orang malu, menghina dan sebagainya.
Kata-kata seperti: “Setan lu; bego lu; Muka lu kayak kebo; Badan lu kayak
king-kong; Kambing lu; Botak lu; Peyang lu”, hanyalah sebagian dari kata-kata yang
kerap kita dengar pada tayangan-tayangan komedi di televisi. Menggunakan ciri
khas seseorang, baik fisik (ukuran tubuh, tinggi badan, ciri fisik tertentu) maupun
non-fisik (sifat, cara berpenampilan, selera pribadi) sebagai bahan lelucon, seolah
Namun tayangan tersebut muncul di masyarakat menjadi dilema tersendiri, di sisi
lain kita membutuhkannya sebagai hiburan setelah seharian beraktifitas, tetapi
disisi lain tayangan tersebut secara tidak langsung memberikan contoh yang tidak
baik kepada masyarakat karena menunjukan unsur kekerasan. Acara-acara yang
berkualitas di televisi semakin sedikit, berganti acara-acara tidak bermutu yang
sekedar mengejar rating (jumlah penonton terbanyak).
Penayangan komedi yang mengunakan unsur kekerasan sebagai bahan lawakan
dapat dikatakan bertentangan dengan asas penyiaran, khusunya asas manfaat bagi
masyarakat. Yang memperihatinkan bahwa perilaku menyimpang tersebut seperti
menjadi suatu yang dihalalkan atau dibenarkan bahkan diberikan suatu
keistimewaan dengan dibuatkannya suatu acara komedi dengan tayang setiap hari
di jam prime time (jam televisi banyak ditonton). Hal ini kemudian berujung pada
semakin banyaknya orang-orang yang secara sadar maupun tidak, melakukan
kekerasan verbal terhadap orang-orang di sekeliling mereka.
Bagi anak-anak, mereka akan merasa terbiasa dengan tindak kekerasan, tidak lagi
mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain, hingga
akhirnya berkurang atau hilangnya kepekaan terhadap kekerasan itu sendiri dan
mengangap kekerasan adalah sesuatu hal yang lucu. Hal itu memungkinkan
2.7 Tinjauan Model Teori S-O-R
Model teori S-O-R singkatan dari Stimulus Organism Respon suatu model klasik
komunikasi yang banyak mendapat pengaruh teori psikologi. Objek material dari
psikologi ilmu komunikasi adalah sama, yaitu manusia yang jiwanya meliputi
komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif. Asumsi dasar dari model ini
adalah: media massa menimbulkan efek yang terarah, segera dan langsung
terhadap komunikan. Model teori ini merupakan model teori paling dasar. Model
ini dipengaruhi oleh displin psikologi, khususnya yang beraliran behavioristik
(Mulyana, 2005: 132). Menurut stimulus respons ini, efek yang ditimbulkan
adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus sehingga seseorang dapat
mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi
komunikan. Unsur-unsur model dalam teori ini adalah:
1. Pesan (stimulus, S)
2. Komunikan (organism, O)
3. Efek (Response, R)
Hosland (dalam Mulyana, 2005: 140) mengatakan bahwa proses perubahan
perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku
tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari:
1. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau
ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus
bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan
stimulus tersebut efektif.
2. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia
mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.
3. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan
untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).
4. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka
stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan
perilaku).
Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku
tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan
organisme. Artinya kualitas dari sumber komunikasi (sources) sangat menentukan
keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat.
Dalam prinsip S-O-R secara gamblang dijelaskan tentang sebuah proses belajar di
mana efek adalah suatu reaksi khusus yang timbul akibat stimulus tertentu.
Artinya bahwa orang-orang dapat memprediksi keterkaitan yang erat antara
pesan-pesan yang disampaikan melalui media massa terhadap reaksi yang akan
muncul dalam diri penerima akibat pesan tersebut.
2.8 Tinjauan Social Learning Theory
Teori yang digagas Albert Bandura (dalam Rakhmat, 2009: 246), pakar psikologi
langsung, melainkan juga melalui peniruan (modeling). Bandura berpijak pada
pemikiran bahwa perilaku seseorang adalah gabungan hasil faktor-faktor kognisi
dan lingkungan. Lebih jauh Bandura menjelaskan bahwa seorang anak dapat
mempelajari perilaku kekerasan melalui media, selanjutnya dalam kondisi tertentu
mendasarkan perilakunya pada karakter-karakter yang ditonjolkan oleh media
tersebut.
Menurut Albert Bandura (dalam Rakhmat, 2009: 241), anak-anak mempelajari
sejumlah perilaku tidak hanya melalui keluarga dan lingkungan melainkan juga
melalui tayangan yang ditampilkan. Selanjutnya mereka mendasarkan perilaku
mereka dengan meniru apa yang mereka saksikan sebelumnya. Anak-anak yang
percaya bahwa tayangan kekerasan termasuk kekerasan secara verbal adalah
realitas hidup yang sebenarnya akan bertindak lebih agresif. Demikian halnya
dengan anak-anak yang memiliki perhatian yang demikian besar terhadap
tayangan kekerasan akan termotivasi lebih agresif.
Dalam proses belajar sosial (Social Learning Proces), Albert Bandura (dalam
Rakhmat, 2009: 246) menggagas bahwa media massa merupakan agen sosialisasi
utama selain orang tua, keluarga besar, guru, sahabat dan seterusnya. Menurut
Bandura terdapat empat proses yang terlibat di dalam pembelajaran melalui
pendekatan modelling, yaitu perhatian (attention), pengendapan atau mengingat
(retention), reproduksi motorik (reproduction) dan penguatan (motivation).
1. Perhatian (attention)
Dalam proses perhatian anak mengamati peristiwa secara langsung atau tidak
Meskipun ada ratusan peristiwa yang dialami setiap hari, namun hanya
beberapa saja yang menarik perhatian mereka. Peristiwa yang menarik
perhatian mereka adalah kejadian yang mudah diingat, sederhana, menonjol,
menarik, dan terjadi berulang-ulang. Anak dapat mengamati peristiwa tersebut
salah satunya dari media televisi
2. Proses mengingat (Retention)
Dalam tahapan terhadap peristiwa, seorang anak akan menyimpan peristiwa
yang dialami maupun yang ia lihat ke dalam memorinya dalam bentuk
imajinasi atau lambang secara verbal sehingga menjadi ingatan (memory) yang
sewaktu-waktu dapat dipanggil kembali.
3. Reproduksi motorik (reproduction)
Hal ini dapat menegaskan bahwa kemampuan motorik seseorang juga
mempengaruhi untuk dapat memungkinkan seseorang meniru suatu perilaku
yang dilihat baik secara keseluruhan atau hanya sebagian.
4. Proses Motivasional (motivation)
Suatu motivasi sangat tergantung kepada peneguhan (reinforcement) yang
mendorong perilaku seseorang anak kearah peneguhan tujuan tertentu. Perilaku
akan terwujud apabila ada nilai peneguhan, salah satunya yaitu self
Ciri–ciri teori pemodelan Bandura (dalam Rakhmat, 2009: 248):
1. Unsur pembelajaran utama ialah pemerhatian dan peniruan
2. Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan
lain-lain
3. Pelajar meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang
didemonstrasikan model
4. Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan
penguatan yang positif
5. Proses pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan, dengan
tingkah laku atau timbal balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan.
Agresivitas yang dilakukan anak setelah menonton televisi itu merupakan faktor
imitasi. Imitasi merupakan mekanisme lain yang membentuk perilaku anak.
Semua orang dan anak khususnya, mempunyai kecenderungan yang kuat untuk
meniru orang lain. Imitasi ini terjadi pada setiap jenis perilaku, termasuk agresi.
Anak yang mengamati orang lain melakukan tindakan agresi atau mengendalikan
agresinya akan meniru orang tersebut.
2.9 Kerangka Pikir
Salah satu media pembelajaran mengenai perilaku adalah televisi. Namun televisi
tidak hanya berdampak positif bagi audiennya, televisi juga memiliki dampak
negatif yang akan jauh lebih besar pengaruhnya terhadap anak-anak. Selain itu