IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA LALAPAN KUBIS (Brassica oleracea)DI WARUNG-WARUNG MAKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
Oleh
KURNIA PUTRA WARDHANA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Jurusan Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRACT
IDENTIFICATION OF SOIL TRANSMITTED HELMINTHS’ (STH) EGG ON FRESH CABBAGE (Brassica oleracea)AT LAMPUNG UNIVERSITY
FOOD STALLS
by
KURNIA PUTRA WARDHANA
Soil Transmitted Helminths (STH) are intestinal nematode that need soil for ripening process in its life cycle. Helminthiasis problem that associated with this worm is still commonly found. Contamination rate of Soil Transmitted Helminths (STH) on vegetables is still high. The poorly processing and washing raw vegetables, facilitate the transmission of worm eggs to humans. This study aims to identify the eggs of Soil Transmitted Helminths (STH) on lalapan—fresh cabbage (Brassica oleracea) at Lampung University food stalls.
This research is a descriptive survey research with laboratory approach. Samples were obtained from 14 food stalls with totally sampling technique. Samples were taken once a week for three weeks in order to obtain 42 samples. Worm egg examination using indirect method with sedimentation technique. In the samples that found any eggs of Soil Transmitted Helminths (STH), the amount of contamination of eggs and egg types are determined.
The results of Soil Transmitted Helminths’ (STH) egg identification on fresh cabbage (Brassica oleracea) at Lampung University food stalls showed that 26.19% (11 samples) are contaminated. Type of worm eggs found are roundworm (Ascaris lumbricoides) 6 samples (14.28 %), whipworm (Trichuris trichiura) 3 samples (7.14%), and 2 samples (4.76%) fresh cabbage are contaminated both type of worm eggs .
ABSTRAK
IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA LALAPAN KUBIS (Brassica oleracea)DI WARUNG-WARUNG MAKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
Oleh
KURNIA PUTRA WARDHANA
Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan. Masalah kecacingan yang berkaitan dengan infeksi cacing ini masih banyak ditemukan. Angka kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran juga masih cukup tinggi. Proses pengolahan dan pencucian sayuran mentah siap makan yang kurang baik, mempermudah transmisi telur cacing ke manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan pendekatan laboratorik. Sampel penelitian diperoleh dari 14 warung makan dengan teknik totally sampling. Pengambilan sampel penelitian dilakukan satu kali dalam seminggu selama tiga minggu sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 42 sampel. Pemeriksaan telur cacing menggunakan metode tak langsung dengan teknik sedimentasi. Pada sampel kubis yang ditemukan adanya telur Soil Transmitted Helminths (STH), ditentukan jumlah kontaminasi telur dan jenis telurnya.
Hasil identifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung menunjukkan bahwa 26,19% (11 sampel) terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted Helminths (STH). Jenis telur cacing yang ditemukan adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) sebanyak 6 sampel (14,28%), cacing cambuk (Trichuris trichiura) sebanyak 3 sampel (7,14%), dan 2 sampel (4,76%) lalapan kubis terkontaminasi kedua jenis telur cacing ini.
DAFTAR ISI
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 4
1. Tujuan Umum ... 4
2. Tujuan Khusus ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
1. Manfaat Teoritis ... 4
2. Manfaat Praktis ... 5
E. Kerangka Pemikiran ... 6
1. Kerangka Teori... 6
2. Kerangka Konsep ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
A. Soil Transmitted Helminths ... 9
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 9
2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ... 13
3. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) ... 16
B. Kubis (Brassica oleracea)... 19
1. Definisi ... 19
2. Taksonomi ... 20
3. Morfologi ... 20
4. Kubis Sebagai Lalapan ... 22
C. Pemeriksaan Soil Transmitted Helminths pada Sayuran ... 23
III.METODE PENELITIAN ... 24
vi
B. Waktu dan Tempat ... 24
C. Variabel Penelitian ... 24
D. Definisi Operasional... 25
E. Alat-alat dan bahan Penelitian ... 25
F. Prosedur Penelitian... 26
G. Populasi dan Sampel ... 27
1. Populasi Penelitian ... 27
2. Sampel Penelitian ... 27
H. Pengolahan Data... 28
IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29
A. Hasil Penelitian ... 29
B. Pembahasan ... 31
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37
A. Kesimpulan ... 37
B. Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 39
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka teori ... 6
2. Kerangka konsep ... 7
3. Daur hidup Ascaris lumbricoides ... 10
4. Telur Ascaris lumbricoides ... 11
5. Telur Trichuris trichiura ... 14
6. Daur hidup Trichuris trichiura ... 15
7. Telur cacing tambang (hookworm) ... 17
8. Daur hidup cacing tambang (hookworm) ... 18
9. Kubis (Brassica oleracea)... 21
10.Prosedur pemeriksaan telur cacing... 26
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Definisi operasional ... 25 2. Data hasil pemeriksaan telur Soil Transmitted Helminths (STH)
DAFTAR LAMPIRAN
1. Gambar hasil pemeriksaan telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5
miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted
Helminths (STH). Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis,
dengan jumlah terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan
Asia Timur (WHO, 2013). Di Indonesia sendiri prevalensi kecacingan di
beberapa kabupaten dan kota pada tahun 2012 menunjukkan angka diatas
20% dengan prevalensi tertinggi di salah satu kabupaten mencapai 76,67%
(Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2013).
Banyak dampak yang dapat ditimbulkan akibat infeksi cacing. Cacingan
mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan
(absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi cacing
dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta
kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,
kecerdasan dan produktifitas kerja, dapat menurunkan ketahanan tubuh
Transmisi telur cacing ke manusia bisa terjadi dari tanah yang mengandung
telur cacing. Telur Soil Transmitted Helminths (STH) dikeluarkan
bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Di daerah yang tidak
memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mengkontaminasi tanah.
Telur dapat melekat pada sayuran dan tertelan bila sayuran tidak dicuci
atau dimasak dengan hati-hati. Selain itu telur juga bisa tertelan melalui
minuman yang terkontaminasi dan pada anak-anak yang bermain di tanah
tanpa mencuci tangan sebelum makan. Tidak ada transmisi langsung dari
orang ke orang, atau infeksi dari feses segar, karena telur yang keluar
bersama tinja membutuhkan waktu sekitar tiga minggu untuk matang
dalam tanah sebelum mereka menjadi infektif (WHO, 2013).
Salah satu jenis sayuran yang sering terkontaminasi oleh Soil Transmitted
Helminths (STH) adalah kubis. Kubis (Brassica oleracea) merupakan jenis
sayuran yang umumnya dikonsumsi secara mentah, karena dilihat dari
tekstur dan organoleptik sayuran ini memungkinkan untuk dijadikan
lalapan (Purba dkk., 2012). Sayuran kubis memiliki permukaan daun yang
berlekuk-lekuk sehingga memungkinkan telur cacing menetap di dalamnya
(Setyorini, 2011). Bila dalam proses pengolahan dan pencucian sayuran
tidak baik, memungkinan bagi telur cacing masih melekat pada sayuran dan
tertelan saat sayuran dikonsumsi (CDC, 2013).
Bedasarkan penelitian yang pernah dilakukan di pasar tradisional dan pasar
modern Kota Bandar Lampung, ditemukan angka kontaminasi Soil
3
tinggi. Angka kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) di pasar
tradisional yaitu sebesar 76,1% dengan proporsi telur Ascaris lumbricoides
43,2%, Trichuris trichiura 10,2% dan keduanya 22,7%. Pada pasar modern
angka kontaminasi telur cacing sebesar 58,3% dengan proporsi telur
Ascaris lumbricoides 16,6%, Trichuris trichiura 19,7% dan keduanya
21,8% (Almi, 2011; Indriani, 2011).
Masih tingginya prevalensi kecacingan dan kontaminasi telur Soil
Transmitted Helminths (STH) pada sayuran kubis yang dijual di pasar
tradisional maupun pasar modern serta bila diikuti dengan pengolahan dan
pencucian sayuran mentah yang kurang baik, memungkinkan terjadinya
kontaminasi pada lalapan kubis yang disajikan di warung-warung makan.
Hal ini menjadi alasan mengapa penting bagi kita untuk mengidentifikasi
telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica
oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.
B. Perumusan Masalah
Masalah kecacingan yang berkaitan dengan infeksi Soil Transmitted
Helminths (STH) masih banyak ditemukan. Dampak yang dapat
ditimbulkan akibat infeksi cacing ini juga sangat merugikan. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa angka kontaminasi Soil Transmitted
Helminths (STH) pada sayuran masih cukup tinggi. Proses pengolahan dan
pencucian sayuran mentah siap makan yang kurang baik, mempermudah
transmisi telur cacing ke manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti
di warung-warung makan Universitas Lampung terkontaminasi telur Soil
Transmitted Helminths (STH)?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi telur Soil
Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di
warung-warung makan Universitas Lampung.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui jumlah kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths
(STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung
makan Universitas Lampung.
b. Mengidentifikasi jenis telur cacing pada lalapan kubis (Brassica
oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi ilmu pengetahuan, diharapkan hasil penelitian ini dapat
menambah pengetahuan mengenai infeksi cacing yang ditularkan
melalui tanah dan kontaminasi telur cacing pada sayuran.
b. Bagi ilmu kedokteran komunitas, diharapkan penelitian ini dapat
5
dengan infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dalam suatu
komunitas.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi instansi terkait, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai data pendukung atau bahan perencanaan dalam pencegahan
kasus kecacingan, khususnya infeksi dari Soil Transmitted
Helminths (STH).
b. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
informasi tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan infeksi
Soil Transmitted Helminths (STH), sehingga dapat dilakukan
pencegahan terjadinya infeksi.
c. Bagi pedagang makanan, diharapkan penelitian ini dapat
memberikan informasi akan pentingnya kebersihan dalam
pengolahan sayuran segar sebelum disajikan, sehingga mencegah
terjadinya infeksi cacing.
d. Bagi pembangunan daerah, diharapkan prevalensi kecacingan dapat
berkurang sehingga berefek pada peningkatan kualitas sumber daya
E. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teori
Gambar 8. Kerangka teori
Soil Transmitted Helminths (STH) ditularkan oleh telur yang
dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Cacing
dewasa hidup di usus manusia dan menghasilkan ribuan telur setiap
hari. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini
akan mengkontaminasi tanah. Transmisi ini dapat terjadi dalam
7
telur yang melekat pada sayuran tertelan bila sayuran tidak
dimasak,dicuci atau dikupas dengan hati-hati.
telur tertelan melalui minuman yang terkontaminasi
telur tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah tanpa
mencuci tangan sebelum makan atau memegang mulut
pada cacing tambang, telur menetas di tanah, melepaskan larva
matang yang secara aktif dapat menembus kulit.
Kubis (Brassica oleracea) merupakan salah satu jenis sayuran yang
dapat terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted Helminths (STH). Bila
dalam proses pengolahan dan pencucian sayuran tidak baik, telur cacing
kemungkinan masih melekat pada sayuran dan tertelan saat sayuran
dikonsumsi (CDC, 2013).
2. Kerangka Konsep
Pemeriksaan laboratorium pada lalapan kubis dilakukan satu kali dalam
seminggu selama tiga minggu sehingga dilakukan tiga kali
pemeriksaan. Pada lalapan kubis yang ditemukan adanya telur Soil
Transmitted Helminths (STH), ditentukan jumlah kontaminasi telur dan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Soil Transmitted Helminths (STH)
Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam
siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan
(Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang
dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Di daerah yang
tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mencemari tanah.
Empat spesies yang paling umum menginfeksi manusia adalah cacing
gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan
cacing tambang antropofilik (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale) (Hotez et al., 2006).
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda terbesar (cacing gelang)
yang hidup sebagai parasit pada usus manusia. Cacing betina
berukuran lebih besar dari cacing jantan. Ukuran cacing betina dewasa
mencapai 20-35 cm dan cacing jantan dewasa 15-30 cm (CDC, 2013).
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Seekor cacing betina dapat
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang
menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk
infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya
menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran
limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah
menuju ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah,
lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea
melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring,
sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena
rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu
menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing
dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur
diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan (Sutanto dkk., 2008).
11
Pada pemeriksaan tinja penderita, dapat ditemukan telur cacing. Ada
tiga bentuk telur yang mungkin ditemukan, yaitu (1) telur yang
dibuahi, berbentuk bulat atau oval dengan dinding telur yang kuat,
terdiri dari 3 lapis. (2) Telur yang mengalami dekortikasi adalah telur
yang dibuahi, akan tetapi kehilangan albuminoidnya. (3) Telur yang
tidak dibuahi, mungkin dihasilkan oleh betina yang tidak subur atau
terlalu cepat dikeluarkan oleh betina yang subur. Telur ini berdinding
tipis dan akan tenggelam dalam larutan garam jenuh (Rusmartini,
2009).
Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides (CDC, 2009)
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan dipengaruhi oleh beberapa hal.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya beratnya infeksi,
keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita
terhadap infeksi cacing. Pada infeksi biasa, penderita mengandung
10-20 ekor cacing, sering tidak ada gejala yang dirasakan oleh hospes,
baru diketahui setelah pemerikasaan tinja rutin atau karena cacing
dewasa keluar bersama tinja (Rusmartini, 2009).
Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis dapat disebabkan oleh
berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada
dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan
batuk, demam, eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat. Pada
kasus ini sering terjadi kekeliruan diagnosis karena mirip dengan
gambaran TBC, namun infiltrat ini menghilang dalam waktu 3 (tiga)
minggu setelah diberikan obat cacing pada penderita. Keadaan ini
disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing
dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau
konstipasi (Sutanto dkk., 2008).
Metode standar untuk mendiagnosis ascariasis adalah dengan
mengidentifikasi telur Ascaris lumbricoides dalam sampel tinja
menggunakan mikroskop. Karena telur mungkin sulit ditemukan pada
infeksi ringan, maka dianjurkan untuk menggunakan prosedur
konsentrasi. Bila prosedur konsentrasi tidak tersedia, pemeriksaan
sediaan langsung pada spesimen dapat dilakukan untuk mendeteksi
infeksi sedang sampai berat. Untuk penilaian kuantitatif, berbagai
metode seperti Kato-Katz dapat digunakan. Selain itu stadium larva
dapat diidentifikasi dalam dahak atau aspirasi lambung selama fase
13
2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Cacing cambuk (Trichuris trichiura) merupakan nematoda usus
penyebab penyakit trikuriasis. Trikuriasis adalah salah satu penyakit
cacing yang banyak tedapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900
juta orang pernah terinfeksi dengan cacing ini. Penyakit ini sering
dihubungkan dengan terjadinya kolitis dan sindrom disentri pada
derajat infeksi sedang (Soedarmo dkk., 2010).
Manusia merupakan hospes definitif dari Trichuris trichiura. Cacing
ini terutama dapat ditemukan di sekum dan appendiks, tetapi juga
dapat ditemukan di kolon dan rektum dalam jumlah yang besar.
Cacing cambuk tidak membutuhkan hospes perantara untuk tumbuh
menjadi bentuk infektif (Rusmartini, 2009).
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan
kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya
kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya
lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul,
sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum.
Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan satu
spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk ke
dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan
telur setiap hari antara 3.000-20.000 butir. Telur berbentuk seperti
Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian
dalamnya jernih (Sutanto dkk., 2008).
Gambar 3. Telur Trichuris trichiura (CDC, 2009)
Telur yang keluar bersama tinja merupakan telur dalam keadaan belum
matang (belum membelah) dan tidak infektif. Telur ini perlu
pematangan pada tanah selama 3-5 minggu sampai terbentuk telur
infektif yang berisi embrio di dalamnya. Manusia mendapat infeksi
jika telur yang infektif ini tertelan. Selanjutnya di bagian proksimal
usus halus, telur menetas, keluar larva, menetap selama 3-10 hari.
Setelah dewasa, cacing akan turun ke usus besar dan menetap dalam
beberapa tahun. Jelas sekali bahwa larva tidak mengalami migrasi
15
Gambar 4. Daur hidup Trichuris trichiura (CDC, 2013)
Mekanisme pasti bagaimana cacing cambuk menimbulkan kelainan
pada manusia tidak diketahui, tetapi paling tidak ada 2 proses yang
berperan, yaitu trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma pada
dinding usus terjadi karena cacing ini membenamkan bagian kepalanya
pada dinding usus (Soedarmo dkk., 2010).
Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya
sedikit. Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas
humoral yang ditunjukkan adanya reaksi anafilaksis lokal yang
dimediasi oleh IgE, akan tetapi peran imunitas seluler tidak terlihat.
Terlihat adanya infiltrasi lokal eosinofil di submukosa dan pada infeksi
berat ditemukan edema. Pada keadaan ini mukosa akan mudah
berdarah, namun cacing tidak aktif menghisap darah (Soedarmo dkk.,
Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh
kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang
mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu
defekasi (Sutanto dkk., 2008).
Infeksi Trichuris trichiura ditegakkan dengan menjumpai telur dalam
feses ataupun cacing dewasa pada feses. Pemeriksaan yang
direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel feses dengan teknik
hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur
intensitas infeksi secara tidak langsung dengan menunjukkan jumlah
telur per gram feses (Lubis, 2012).
3. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
Cacing tambang merupakan nematoda yang hidup sebagai parasit pada
usus manusia. Cacing ini termasuk kelas Nematoda dan tergolong
dalam filum Nemathelmintes. Dua spesies utama cacing tambang yang
menginfeksi manusia adalah Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale (Sehatman, 2006).
Manusia merupakan hospes definitif dari cacing tambang. Cacing ini
hidup dalam usus halus terutama di daerah jejunum. Pada infeksi berat,
cacing dapat tersebar sampai ke kolon dan duodenum. Cacing dewasa
hidup di rongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada
17
Ukuran Ancylostoma duodenale sedikit lebih besar dari Necator
americanus. Cacing dewasa jantan berukuran 5-11 mm x 0,3-0.45 mm
dan cacing betina 9-13 mm x 0,35-0,6 mm. Bentuk badan Necator
americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan Ancylostoma
duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini
besar. Necator americanus mempunyai benda kitin, sedangkan
Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi (Soedarmo dkk., 2010;
Sutanto dkk., 2008).
Telur cacing tambang berbentuk oval, tidak berwarna dan berukuran
40 x 60 mikron. Dinding luar dibatasi oleh lapisan vitelline yang halus,
di antara ovum dan dinding telur terdapat ruangan yang jelas dan
bening. Telur yang baru keluar bersama tinja mempunyai ovum yang
mengalami segmentasi 2, 4, dan 8 sel. Bentuk telur Necator
americanus tidak dapat dibedakan dari Ancylostoma duodenale.
Jumlah telur per-hari yang dihasilkan seekor cacing betina Necator
americanus sekitar 9.000-10.000, sedangkan pada Ancylostoma
duodenale 10.000-20.000 butir (Rusmartini, 2009).
Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di
tanah. Dalam kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal, telur
akan menetas dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform yang
berukuran 250-300 µm. Setelah dua kali mengalami perubahan, akan
terbentuk larva filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform
adalah 5-10 hari. Kemudian larva menembus kulit manusia dan masuk
ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai di alveoli.
Setelah itu larva bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu dari
bronkhiolus ke bronkus, trakea, faring, kemudian tertelan, turun ke
esofagus dan menjadi dewasa di usus halus (Soedarmo dkk., 2010)
Gambar 6. Daur hidup cacing tambang (hookworm) (CDC, 2013) Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkan oleh larva
maupun cacing dewasa. Larva menembus kulit dan membentuk
maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut
19
dalam jumlah banyak atau pada orang yang sensitif dapat
menimbulkan bronkitis atau bahkan pneumonitis (Rusmartini, 2009).
Gejala yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang stadium dewasa
tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita.
Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah
sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale
0,08-0,34 cc. Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom
mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang
biasanya tidak menyebabkan kematian tetapi dapat membuat daya
tahan tubuh berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarmo dkk., 2010).
Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi telur cacing
tambang dalam sampel tinja menggunakan mikroskop. Untuk penilaian
kuantitatif, berbagai metode seperti Kato-Katz dapat digunakan. Untuk
membedakan spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
dapat dilakukan biakan dengan cara Harada-Mori (Soedarmo dkk.,
2010; CDC, 2012).
B. Kubis (Brassica oleracea)
1. Definisi
Kubis (Brassica oleracea) merupakan tanaman semusim atau dua
musim dan termasuk dalam famili Brassicaceae. Pada umumnya kubis
ditanam di daerah yang berhawa sejuk, di dataran tinggi 800-2.000 m
ditanam di dataran rendah atau 200 m dpl. Pertumbuhan optimum
didapatkan pada tanah yang banyak mengandung humus, gembur,
porus, pH tanah antara 6-7. Waktu tanam yang baik pada awal musim
hujan atau awal musim kemarau. Namun kubis dapat ditanam
sepanjang tahun dengan pemeliharaan lebih intensif (Puslitbang
Hortikultura Deptan RI, 2013).
2. Taksonomi
Kedudukan kubis dalam sistemika (taksonomi) tumbuhan
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Papavorales
Famili : Cruciverae (Brassicaceae)
Genus : Brassica
21
muda yang terakhir tumbuh. Pertumbuhan daun terhenti ditandai
dengan terbentuknya krop atau telur (kepala) dan krop samping pada
kubis tunas (Brussel sprouts). Selanjutnya, krop akan pecah dan keluar
malai bunga yang bertangkai panjang, bercabang-cabang, berdaun
kecil-kecil, mahkota tegak, berwarna kuning (Dinas Pertanian
Kabupaten Majalengka, 2012).
Gambar 7. Kubis (Brassica oleracea) (Mayus, 2013)
Daun buah (Carpellum) yang berjumlah dua buah membentuk bakal
buah yang terletak diatas dasar bunga (receptaculum) dan dalam
perkembangan selanjutnya akan menjadi buah (Silikua) dengan dua
ruang yang terpisah oleh dinding penyekat (septum). Buah ini lebarnya
antara 0,4-0,5 cm dan panjangnya kadang-kadang lebih dari 10 cm.
Pada kedua sisi dinding penyekat ruang terdapat masing-masing
sederet biji yang jumlahnya antara 3-15 butir. Panjang buah maksimal
tercapai antara 3-4 minggu sejak bunga mekar. Apabila buah mulai
ujung buah dan biji-biji melekat pada penyekat ruang plasentanya
(Sulistiono, 2008).
Sistem perakaran kubis agak dangkal. Akar yang baru tumbuh
berukuran 0,5 mm, tetapi setelah berumur 1-2 bulan sistem perakaran
menyebar ke samping pada kedalaman antara 20-30 cm. Akar
tunggangnya segera bercabang dan memiliki banyak akar serabut
(Puslitbang Hortikultura Deptan RI, 2013).
Batang tanaman kubis umumnya pendek dan banyak mengandung air
(herbaceous). Di sekeliling batang hingga titik tumbuh terdapat helai
daun yang bertangkai pendek (Sulistiono, 2008).
4. Kubis Sebagai Lalapan
Sayuran lalapan merupakan jenis sayuran yang dikonsumsi secara
mentah. Hal ini dikarenakan tekstur dan organoleptik sayuran lalapan
ini memungkinkan untuk dikonsumsi secara mentah. Kelebihan
sayuran lalapan adalah ketika dikonsumsi zat-zat gizi yang terkandung
di dalamnya tidak mengalami perubahan (Purba dkk., 2012).
Kubis (Brassica oleracea) merupakan jenis sayuran yang umumnya
dikonsumsi secara mentah sebagai lalapan. Varietas kubis yang
tumbuh di dataran rendah pada umumnya kropnya renggang, renyah,
bobot kropnya rendah, dan rasanya lebih manis. Kubis jenis ini sangat
23
C. Pemeriksaan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Sayuran
Salah satu metode pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran
adalah dengan metode tak langsung. Dalam metode ini telur cacing tidak
langsung dibuat sediaan tetapi sebelum dibuat sediaan sampel
diperlakukan sedemikian rupa sehingga telur cacing dapat terkumpul.
Metode ini menghasilkan sediaan yang lebih bersih daripada metode yang
lain (Sehatman, 2006).
Metode tak langsung dibagi menjadi dua cara yaitu sedimentasi
(pengendapan) dan flotasi (pengapungan). Prinsip dari teknik sedimentasi
adalah memisahkan antara suspensi dan supernata dengan adanya
sentrifugasi sehingga telur cacing dapat terendap. Sedangkan prinsip dari
teknik flotasi adalah berat jenis telur cacing lebih kecil daripada berat jenis
NaCl jenuh sehingga mengakibatkan telur cacing akan mengapung di
permukaan larutan (Yudiar, 2012).
Pemeriksaan dengan teknik sedimentasi dan flotasi memiliki kelebihan
dan kekurangan. Teknik sedimentasi memerlukan waktu lama, tetapi
mempunyai keuntungan karena dapat mengendapkan telur tanpa merusak
bentuknya. Pada teknik flotasi, pemeriksaan tidak akurat bila berat jenis
larutan pengapung lebih rendah daripada berat jenis telur dan jika berat
jenis larutan pengapung ditambah maka akan menyebabkan kerusakan
III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan
pendekatan laboratorik yaitu untuk mengetahui gambaran hasil identifikasi
jumlah dan jenis telur cacing pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di
warung-warung makan Universitas Lampung.
B. Waktu dan Tempat
Pengambilan sampel dilakukan di warung-warung makan yang berada di
lingkungan Universitas Lampung. Pemeriksaan telur cacing dilaksanakan
di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
pada bulan November – Desember 2013.
C. Variabel Penelitian
25
D. Definisi Operasional
Tabel 1. Definisi operasional
E. Alat-alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan antara lain :
1. Beaker glass
2. Pipet tetes
3. Alat sentrifugasi dan tabungnya
4. Rak tabung
Bahan-bahan yang digunakan antara lain :
F. Prosedur Penelitian
Pemeriksaan telur cacing pada penelitian ini menggunakan metode tak
langsung dengan teknik sedimentasi (pengendapan). Prosedur
pemeriksaannya yaitu :
Gambar 10. Prosedur pemeriksaan telur cacing Memotong sayuran menjadi bagian kecil-kecil
Merendam 50 gram lalapan kubis dengan 500 ml larutan NaOH 0,2% dalam beaker glass 1000 ml.
Setelah 30 menit, sayuran diaduk dengan pinset hingga merata lalu sayuran dikeluarkan.
Menyaring air rendaman kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass lain dan diamkan selama satu jam.
Air yang di permukaan beaker glass dibuang, air di bagian bawah beaker glass beserta endapannya diambil dengan volume
10-15 ml menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi.
Menyentrifugasi air endapan dengan kecepatan 1500 putaran/menit selama lima menit.
Membuang supernatan dan endapan bagian bawah diambil untuk diperiksa secara mikroskopis.
Mengambil larutan eosin memakai pipet dan meneteskan satu tetes pada object glass.
Mengambil endapan dari tabung sentrifugasi satu tetes lalu meneteskan pada object glass yang telah diberi eosin.
Menutup hati-hati dengan cover glass (cairan harus merata dan tidak boleh ada gelembung udara).
27
G. Populasi dan Sampel
1. Populasi Penelitian
Populasi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sayuran mentah
(lalapan) yang dijual di warung-warung makan Universitas Lampung.
2. Sampel Penelitian
a. Kriteria Inklusi
1) Lalapan kubis (Brassica oleracea) yang dijual di warung-warung
makan Universitas Lampung.
2) Lalapan kubis (Brassica oleracea) segar.
b. Kriteria Eksklusi
Lalapan kubis (Brassica oleracea) segar yang dimakan ulat.
c. Besar Sampel
Pada penelitian ini, besar sampel ditentukan dengan teknik totally
sampling. Dengan demikian, sampel diambil dari seluruh warung
makan di Universitas Lampung yang menyediakan kubis (Brassica
oleracea) sebagai lalapan. Setelah dilakukan survey pendahuluan,
terdapat 14 warung makan yang menyediakan lalapan kubis.
Pengambilan sampel dilakukan satu kali dalam seminggu selama tiga
H. Pengolahan Data
Data diperoleh dari hasil pemeriksaan telur Soil Transmitted Helminths
(STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan
Universitas Lampung. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dilakukan
analisis deskriptif untuk mengetahui jumlah kontaminasi telur cacing dan
jenis telur cacing yang ditemukan. Data hasil penelitian disajikan dalam
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1.
Lalapan kubis di warung-warung makan Universitas Lampungterkontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) dengan jumlah
kontaminasi telur cacing sebanyak 11 sampel lalapan (26,19%).
2.
Jenis telur cacing yang ditemukan pada lalapan kubis yang dijual diwarung-warung makan Universitas Lampung adalah cacing gelang
(Ascaris lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura).
B. Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian serupa di
luar Universitas Lampung dan menambahkan jenis lalapan yang
berpotensi terkontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH).
2. Bagi mahasiswa sebagai konsumen disarankan untuk lebih berperan aktif
dalam mengawasi dan memperhatikan kebersihan dari sayuran mentah
yang akan dikonsumsi agar tidak terinfeksi telur Soil Transmitted
Helminths (STH).
3. Bagi Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Lampung
disaranakan untuk mengadakan penyuluhan kepada para pedagang
air mengalir sebelum disajikan sebagai lalapan dan memperhatikan
kebersihan perseorangan.
4. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung disarankan untuk melakukan
pemeriksaan infeksi cacing pada mahasiswa agar dampak yang
DAFTAR PUSTAKA
Almi, Dina Utari. 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada di Pasar Tradisional Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang. 2012. Teknik Budidaya Kubis. http://www.bbpp-lembang.info/index.php/en/arsip/artikel/artikel-pertanian/ 586-teknik-budidaya-kubis-brassica-oleraceae-l, diakses 5 Oktober 2013.
Centers for Disease Control and Prevention. 2009. Ascariasis. http://www.dpd. cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/A-F/Ascariasis/body_Ascariasis_il2. htm, diakses 4 Oktober 2013.
_____. 2009. Trichuriasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/ S-Z/Trichuriasis/body_ Trichuriasis_il1.htm, diakses 4 Oktober 2013.
_____. 2010. Hookworm.http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/ HTML/ImageLibrary/G-L/Hookworm/body_Hookworm_il1.htm, diakses 4 Oktober 2013.
_____. 2012. Ascariasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/ html/Ascariasis.htm, diakses 4 Oktober 2013.
_____. 2013. Parasites - Ascariasis: Biology. http://www.cdc.gov/parasites/ ascariasis/biology.html., diakses 3 Oktober 2013.
_____. 2013. Parasites - Hookworm. http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/ biology.html, diakses 3 Oktober 2013.
_____. 2013. Parasites - Trichuriasis (also known as Whipworm Infection). http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/ biology .html, diakses 1 Oktober 2013.
Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka. 2012. Kubis (Brassica oleracea var. capitata). http://distan.majalengkakab.go.id/bid-th/index.php?option=com_ content&view=article&id=11:kubis-brassica-oleracea-var-capitata&catid=2: berita, diakses 5 Oktober 2013.
Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI. 2013. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Endriani, Mifbakhudin, Sayono. 2010. Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Usia 1-4 Tahun. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.
Hotez, Peter J., Donald A. P. Bundy, Kathleen Beegle, Simon Brooker, Lesley Drake, Nilanthi de Silva, Antonio Montresor, Dirk Engels. 2006. Helminth Infections: Soil-Transmitted Helminth Infections and Schistosomiasis. Pp 467-482 In: Disease Control Priorities in Developing Countries, 2nd edition. Jamison, Dean T., Joel G. Breman, Anthony R. Measham, George Alleyne, Mariam Claeson, David B. Evans, Prabhat Jha, Anne Mills, Philip Musgrove.Disease Control Priorities Project. Washington (DC). Pp 1400.
Indriani, Annisa. 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada di Pasar Modern Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Lubis, Aridamuriany Dwiputri. 2012. Perbandingan Efektivitas Albendazole 5 Dan 7 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiuria. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Mardiana, Djarismati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7 No. 2, Agustus 2008: 769-774.
41
Menteri Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Rupublik Indonesia Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006 Tentang Pendoman Pengendalian Cacingan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Muyassaroh, Siti, Rahayu Astuti, Wulandari Meikawati. 2012.Pengaruh Frekuensi Pencucian Pada Daun Kubis (Brassica oleracea var Capitata) Terhadap Jumlah Cacing Usus (Nematoda Intestinal). Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.
Nasikhun, Teguh Supriyadi, Mahananto. 2011. Uji Efektifitas Daun Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Tanaman Kubis (Brassica oleracea L.). AGRINECA, Vol. 11 No. 2 Juli 2011: 196-213 hlm.
Nugroho, Cahyono, Sitti Nur Djanah, Surahma Asti Mulasari. 2010. Identifikasi Kontaminasi Telur Nematoda Usus Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea) Warung Makan Lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Jurnal KESMAS UAD Vol. 4, No.1, September 2010: 67-75 hlm.
Purba , Srianna Florensi, Indra Chahaya, Irnawati Marsaulina. 2012. Pemeriksaan Escherichia coli dan Larva Cacing Pada Sayuran Lalapan Kemangi (Ocimum basilicum), Kol (Brassica oleracea L. var. capitata. L.), Selada (Lactuca sativa L.), Terong (Solanum melongena) Yang Dijual Di Pasar Tradisional, Supermarket Dan Restoran Di Kota Medan Tahun 2012. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Puslitbang Hortikultura Deptan RI. 2013. Budidaya Tanaman Kubis. http://hortikultura.litbang.deptan.go.id/index.php?bawaan=berita/fullteks_be rita&&id_menu=3&id_submenu=17&id=347, diakses 5 Oktober 2013.
Rusmartini, Tinni. 2009. Penyakit Oleh Nematoda Usus. 73-96 hlm dalam: Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Natadisastra, D., Agoes, R. EGC. Jakarta. 450 hlm.
Sehatman. 2006. Diagnosa Infeksi Cacing Tambang. Media Litbang Kesehatan XVI Nomor 4 Tahun 2006. Jakarta. 22-25 hlm.
Siskhawahy. 2010. Pengaruh Lama Perebusan Terhadap Keutuhan Telur Ascaris Lumbricoides. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.
Soedarmo, Sumarmo S. P., Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra Irawan Satari. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak indonesia. Jakarta.
Sulistiono, Wawan Riyanto. 2008. Kajian Benzyl Amino Purine dan Jenis Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan, Hasil, dan Kandungan Vitamin C Pada Kubis Putih (Brassica oleraceae L.). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Suryani, Dyah. 2013. Hubungan Perilaku Mencuci Dengan Kontaminasi Telur Nematoda Usus Pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea) Pedagang Pecel Lele di Kelurahan Warungboto Kota Yogyakarta.Jurnal Kesmas UAD Vol. 6, No. 2, Juni 2012: 162-232.
Sutanto, Inge, Is Suhariah Ismid, Pudji K. Sjarifudin, Saleha Sungkar. 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 6-32 hlm.
World Health Organization. 2013. Soil-transmitted helminth infections. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/, diakses 1 Oktober 2013.