• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA LALAPAN KUBIS (Brassica oleracea) DI WARUNG-WARUNG MAKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA LALAPAN KUBIS (Brassica oleracea) DI WARUNG-WARUNG MAKAN UNIVERSITAS LAMPUNG"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA LALAPAN KUBIS (Brassica oleracea)DI WARUNG-WARUNG MAKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

Oleh

KURNIA PUTRA WARDHANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Jurusan Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRACT

IDENTIFICATION OF SOIL TRANSMITTED HELMINTHS’ (STH) EGG ON FRESH CABBAGE (Brassica oleracea)AT LAMPUNG UNIVERSITY

FOOD STALLS

by

KURNIA PUTRA WARDHANA

Soil Transmitted Helminths (STH) are intestinal nematode that need soil for ripening process in its life cycle. Helminthiasis problem that associated with this worm is still commonly found. Contamination rate of Soil Transmitted Helminths (STH) on vegetables is still high. The poorly processing and washing raw vegetables, facilitate the transmission of worm eggs to humans. This study aims to identify the eggs of Soil Transmitted Helminths (STH) on lalapan—fresh cabbage (Brassica oleracea) at Lampung University food stalls.

This research is a descriptive survey research with laboratory approach. Samples were obtained from 14 food stalls with totally sampling technique. Samples were taken once a week for three weeks in order to obtain 42 samples. Worm egg examination using indirect method with sedimentation technique. In the samples that found any eggs of Soil Transmitted Helminths (STH), the amount of contamination of eggs and egg types are determined.

The results of Soil Transmitted Helminths’ (STH) egg identification on fresh cabbage (Brassica oleracea) at Lampung University food stalls showed that 26.19% (11 samples) are contaminated. Type of worm eggs found are roundworm (Ascaris lumbricoides) 6 samples (14.28 %), whipworm (Trichuris trichiura) 3 samples (7.14%), and 2 samples (4.76%) fresh cabbage are contaminated both type of worm eggs .

(3)

ABSTRAK

IDENTIFIKASI TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA LALAPAN KUBIS (Brassica oleracea)DI WARUNG-WARUNG MAKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

Oleh

KURNIA PUTRA WARDHANA

Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan. Masalah kecacingan yang berkaitan dengan infeksi cacing ini masih banyak ditemukan. Angka kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran juga masih cukup tinggi. Proses pengolahan dan pencucian sayuran mentah siap makan yang kurang baik, mempermudah transmisi telur cacing ke manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan pendekatan laboratorik. Sampel penelitian diperoleh dari 14 warung makan dengan teknik totally sampling. Pengambilan sampel penelitian dilakukan satu kali dalam seminggu selama tiga minggu sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 42 sampel. Pemeriksaan telur cacing menggunakan metode tak langsung dengan teknik sedimentasi. Pada sampel kubis yang ditemukan adanya telur Soil Transmitted Helminths (STH), ditentukan jumlah kontaminasi telur dan jenis telurnya.

Hasil identifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung menunjukkan bahwa 26,19% (11 sampel) terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted Helminths (STH). Jenis telur cacing yang ditemukan adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides) sebanyak 6 sampel (14,28%), cacing cambuk (Trichuris trichiura) sebanyak 3 sampel (7,14%), dan 2 sampel (4,76%) lalapan kubis terkontaminasi kedua jenis telur cacing ini.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

1. Tujuan Umum ... 4

2. Tujuan Khusus ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

1. Manfaat Teoritis ... 4

2. Manfaat Praktis ... 5

E. Kerangka Pemikiran ... 6

1. Kerangka Teori... 6

2. Kerangka Konsep ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Soil Transmitted Helminths ... 9

1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 9

2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ... 13

3. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) ... 16

B. Kubis (Brassica oleracea)... 19

1. Definisi ... 19

2. Taksonomi ... 20

3. Morfologi ... 20

4. Kubis Sebagai Lalapan ... 22

C. Pemeriksaan Soil Transmitted Helminths pada Sayuran ... 23

III.METODE PENELITIAN ... 24

(7)

vi

B. Waktu dan Tempat ... 24

C. Variabel Penelitian ... 24

D. Definisi Operasional... 25

E. Alat-alat dan bahan Penelitian ... 25

F. Prosedur Penelitian... 26

G. Populasi dan Sampel ... 27

1. Populasi Penelitian ... 27

2. Sampel Penelitian ... 27

H. Pengolahan Data... 28

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Hasil Penelitian ... 29

B. Pembahasan ... 31

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

A. Kesimpulan ... 37

B. Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori ... 6

2. Kerangka konsep ... 7

3. Daur hidup Ascaris lumbricoides ... 10

4. Telur Ascaris lumbricoides ... 11

5. Telur Trichuris trichiura ... 14

6. Daur hidup Trichuris trichiura ... 15

7. Telur cacing tambang (hookworm) ... 17

8. Daur hidup cacing tambang (hookworm) ... 18

9. Kubis (Brassica oleracea)... 21

10.Prosedur pemeriksaan telur cacing... 26

(9)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi operasional ... 25 2. Data hasil pemeriksaan telur Soil Transmitted Helminths (STH)

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Gambar hasil pemeriksaan telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.

(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan.

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted

Helminths (STH). Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis,

dengan jumlah terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan

Asia Timur (WHO, 2013). Di Indonesia sendiri prevalensi kecacingan di

beberapa kabupaten dan kota pada tahun 2012 menunjukkan angka diatas

20% dengan prevalensi tertinggi di salah satu kabupaten mencapai 76,67%

(Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2013).

Banyak dampak yang dapat ditimbulkan akibat infeksi cacing. Cacingan

mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan

(absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi cacing

dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta

kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,

kecerdasan dan produktifitas kerja, dapat menurunkan ketahanan tubuh

(12)

Transmisi telur cacing ke manusia bisa terjadi dari tanah yang mengandung

telur cacing. Telur Soil Transmitted Helminths (STH) dikeluarkan

bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Di daerah yang tidak

memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mengkontaminasi tanah.

Telur dapat melekat pada sayuran dan tertelan bila sayuran tidak dicuci

atau dimasak dengan hati-hati. Selain itu telur juga bisa tertelan melalui

minuman yang terkontaminasi dan pada anak-anak yang bermain di tanah

tanpa mencuci tangan sebelum makan. Tidak ada transmisi langsung dari

orang ke orang, atau infeksi dari feses segar, karena telur yang keluar

bersama tinja membutuhkan waktu sekitar tiga minggu untuk matang

dalam tanah sebelum mereka menjadi infektif (WHO, 2013).

Salah satu jenis sayuran yang sering terkontaminasi oleh Soil Transmitted

Helminths (STH) adalah kubis. Kubis (Brassica oleracea) merupakan jenis

sayuran yang umumnya dikonsumsi secara mentah, karena dilihat dari

tekstur dan organoleptik sayuran ini memungkinkan untuk dijadikan

lalapan (Purba dkk., 2012). Sayuran kubis memiliki permukaan daun yang

berlekuk-lekuk sehingga memungkinkan telur cacing menetap di dalamnya

(Setyorini, 2011). Bila dalam proses pengolahan dan pencucian sayuran

tidak baik, memungkinan bagi telur cacing masih melekat pada sayuran dan

tertelan saat sayuran dikonsumsi (CDC, 2013).

Bedasarkan penelitian yang pernah dilakukan di pasar tradisional dan pasar

modern Kota Bandar Lampung, ditemukan angka kontaminasi Soil

(13)

3

tinggi. Angka kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) di pasar

tradisional yaitu sebesar 76,1% dengan proporsi telur Ascaris lumbricoides

43,2%, Trichuris trichiura 10,2% dan keduanya 22,7%. Pada pasar modern

angka kontaminasi telur cacing sebesar 58,3% dengan proporsi telur

Ascaris lumbricoides 16,6%, Trichuris trichiura 19,7% dan keduanya

21,8% (Almi, 2011; Indriani, 2011).

Masih tingginya prevalensi kecacingan dan kontaminasi telur Soil

Transmitted Helminths (STH) pada sayuran kubis yang dijual di pasar

tradisional maupun pasar modern serta bila diikuti dengan pengolahan dan

pencucian sayuran mentah yang kurang baik, memungkinkan terjadinya

kontaminasi pada lalapan kubis yang disajikan di warung-warung makan.

Hal ini menjadi alasan mengapa penting bagi kita untuk mengidentifikasi

telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica

oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.

B. Perumusan Masalah

Masalah kecacingan yang berkaitan dengan infeksi Soil Transmitted

Helminths (STH) masih banyak ditemukan. Dampak yang dapat

ditimbulkan akibat infeksi cacing ini juga sangat merugikan. Beberapa

penelitian melaporkan bahwa angka kontaminasi Soil Transmitted

Helminths (STH) pada sayuran masih cukup tinggi. Proses pengolahan dan

pencucian sayuran mentah siap makan yang kurang baik, mempermudah

transmisi telur cacing ke manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti

(14)

di warung-warung makan Universitas Lampung terkontaminasi telur Soil

Transmitted Helminths (STH)?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi telur Soil

Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di

warung-warung makan Universitas Lampung.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui jumlah kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths

(STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung

makan Universitas Lampung.

b. Mengidentifikasi jenis telur cacing pada lalapan kubis (Brassica

oleracea) di warung-warung makan Universitas Lampung.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Bagi ilmu pengetahuan, diharapkan hasil penelitian ini dapat

menambah pengetahuan mengenai infeksi cacing yang ditularkan

melalui tanah dan kontaminasi telur cacing pada sayuran.

b. Bagi ilmu kedokteran komunitas, diharapkan penelitian ini dapat

(15)

5

dengan infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dalam suatu

komunitas.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi instansi terkait, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan

sebagai data pendukung atau bahan perencanaan dalam pencegahan

kasus kecacingan, khususnya infeksi dari Soil Transmitted

Helminths (STH).

b. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat memberikan

informasi tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan infeksi

Soil Transmitted Helminths (STH), sehingga dapat dilakukan

pencegahan terjadinya infeksi.

c. Bagi pedagang makanan, diharapkan penelitian ini dapat

memberikan informasi akan pentingnya kebersihan dalam

pengolahan sayuran segar sebelum disajikan, sehingga mencegah

terjadinya infeksi cacing.

d. Bagi pembangunan daerah, diharapkan prevalensi kecacingan dapat

berkurang sehingga berefek pada peningkatan kualitas sumber daya

(16)

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Gambar 8. Kerangka teori

Soil Transmitted Helminths (STH) ditularkan oleh telur yang

dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Cacing

dewasa hidup di usus manusia dan menghasilkan ribuan telur setiap

hari. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini

akan mengkontaminasi tanah. Transmisi ini dapat terjadi dalam

(17)

7

telur yang melekat pada sayuran tertelan bila sayuran tidak

dimasak,dicuci atau dikupas dengan hati-hati.

telur tertelan melalui minuman yang terkontaminasi

telur tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah tanpa

mencuci tangan sebelum makan atau memegang mulut

pada cacing tambang, telur menetas di tanah, melepaskan larva

matang yang secara aktif dapat menembus kulit.

Kubis (Brassica oleracea) merupakan salah satu jenis sayuran yang

dapat terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted Helminths (STH). Bila

dalam proses pengolahan dan pencucian sayuran tidak baik, telur cacing

kemungkinan masih melekat pada sayuran dan tertelan saat sayuran

dikonsumsi (CDC, 2013).

2. Kerangka Konsep

(18)

Pemeriksaan laboratorium pada lalapan kubis dilakukan satu kali dalam

seminggu selama tiga minggu sehingga dilakukan tiga kali

pemeriksaan. Pada lalapan kubis yang ditemukan adanya telur Soil

Transmitted Helminths (STH), ditentukan jumlah kontaminasi telur dan

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Soil Transmitted Helminths (STH)

Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam

siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan

(Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang

dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Di daerah yang

tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mencemari tanah.

Empat spesies yang paling umum menginfeksi manusia adalah cacing

gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan

cacing tambang antropofilik (Necator americanus dan Ancylostoma

duodenale) (Hotez et al., 2006).

1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Ascaris lumbricoides merupakan nematoda terbesar (cacing gelang)

yang hidup sebagai parasit pada usus manusia. Cacing betina

berukuran lebih besar dari cacing jantan. Ukuran cacing betina dewasa

mencapai 20-35 cm dan cacing jantan dewasa 15-30 cm (CDC, 2013).

Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Seekor cacing betina dapat

(20)

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang

menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk

infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya

menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran

limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah

menuju ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah,

lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea

melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring,

sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena

rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu

menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing

dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur

diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan (Sutanto dkk., 2008).

(21)

11

Pada pemeriksaan tinja penderita, dapat ditemukan telur cacing. Ada

tiga bentuk telur yang mungkin ditemukan, yaitu (1) telur yang

dibuahi, berbentuk bulat atau oval dengan dinding telur yang kuat,

terdiri dari 3 lapis. (2) Telur yang mengalami dekortikasi adalah telur

yang dibuahi, akan tetapi kehilangan albuminoidnya. (3) Telur yang

tidak dibuahi, mungkin dihasilkan oleh betina yang tidak subur atau

terlalu cepat dikeluarkan oleh betina yang subur. Telur ini berdinding

tipis dan akan tenggelam dalam larutan garam jenuh (Rusmartini,

2009).

Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides (CDC, 2009)

Gejala klinis yang dapat ditimbulkan dipengaruhi oleh beberapa hal.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya beratnya infeksi,

keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita

terhadap infeksi cacing. Pada infeksi biasa, penderita mengandung

10-20 ekor cacing, sering tidak ada gejala yang dirasakan oleh hospes,

baru diketahui setelah pemerikasaan tinja rutin atau karena cacing

dewasa keluar bersama tinja (Rusmartini, 2009).

Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis dapat disebabkan oleh

(22)

berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada

dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan

batuk, demam, eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat. Pada

kasus ini sering terjadi kekeliruan diagnosis karena mirip dengan

gambaran TBC, namun infiltrat ini menghilang dalam waktu 3 (tiga)

minggu setelah diberikan obat cacing pada penderita. Keadaan ini

disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing

dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala

gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau

konstipasi (Sutanto dkk., 2008).

Metode standar untuk mendiagnosis ascariasis adalah dengan

mengidentifikasi telur Ascaris lumbricoides dalam sampel tinja

menggunakan mikroskop. Karena telur mungkin sulit ditemukan pada

infeksi ringan, maka dianjurkan untuk menggunakan prosedur

konsentrasi. Bila prosedur konsentrasi tidak tersedia, pemeriksaan

sediaan langsung pada spesimen dapat dilakukan untuk mendeteksi

infeksi sedang sampai berat. Untuk penilaian kuantitatif, berbagai

metode seperti Kato-Katz dapat digunakan. Selain itu stadium larva

dapat diidentifikasi dalam dahak atau aspirasi lambung selama fase

(23)

13

2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Cacing cambuk (Trichuris trichiura) merupakan nematoda usus

penyebab penyakit trikuriasis. Trikuriasis adalah salah satu penyakit

cacing yang banyak tedapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900

juta orang pernah terinfeksi dengan cacing ini. Penyakit ini sering

dihubungkan dengan terjadinya kolitis dan sindrom disentri pada

derajat infeksi sedang (Soedarmo dkk., 2010).

Manusia merupakan hospes definitif dari Trichuris trichiura. Cacing

ini terutama dapat ditemukan di sekum dan appendiks, tetapi juga

dapat ditemukan di kolon dan rektum dalam jumlah yang besar.

Cacing cambuk tidak membutuhkan hospes perantara untuk tumbuh

menjadi bentuk infektif (Rusmartini, 2009).

Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan

kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya

kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya

lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul,

sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum.

Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan satu

spikulum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk ke

dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan

telur setiap hari antara 3.000-20.000 butir. Telur berbentuk seperti

(24)

Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian

dalamnya jernih (Sutanto dkk., 2008).

Gambar 3. Telur Trichuris trichiura (CDC, 2009)

Telur yang keluar bersama tinja merupakan telur dalam keadaan belum

matang (belum membelah) dan tidak infektif. Telur ini perlu

pematangan pada tanah selama 3-5 minggu sampai terbentuk telur

infektif yang berisi embrio di dalamnya. Manusia mendapat infeksi

jika telur yang infektif ini tertelan. Selanjutnya di bagian proksimal

usus halus, telur menetas, keluar larva, menetap selama 3-10 hari.

Setelah dewasa, cacing akan turun ke usus besar dan menetap dalam

beberapa tahun. Jelas sekali bahwa larva tidak mengalami migrasi

(25)

15

Gambar 4. Daur hidup Trichuris trichiura (CDC, 2013)

Mekanisme pasti bagaimana cacing cambuk menimbulkan kelainan

pada manusia tidak diketahui, tetapi paling tidak ada 2 proses yang

berperan, yaitu trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma pada

dinding usus terjadi karena cacing ini membenamkan bagian kepalanya

pada dinding usus (Soedarmo dkk., 2010).

Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya

sedikit. Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas

humoral yang ditunjukkan adanya reaksi anafilaksis lokal yang

dimediasi oleh IgE, akan tetapi peran imunitas seluler tidak terlihat.

Terlihat adanya infiltrasi lokal eosinofil di submukosa dan pada infeksi

berat ditemukan edema. Pada keadaan ini mukosa akan mudah

berdarah, namun cacing tidak aktif menghisap darah (Soedarmo dkk.,

(26)

Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh

kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang

mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu

defekasi (Sutanto dkk., 2008).

Infeksi Trichuris trichiura ditegakkan dengan menjumpai telur dalam

feses ataupun cacing dewasa pada feses. Pemeriksaan yang

direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel feses dengan teknik

hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur

intensitas infeksi secara tidak langsung dengan menunjukkan jumlah

telur per gram feses (Lubis, 2012).

3. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

Cacing tambang merupakan nematoda yang hidup sebagai parasit pada

usus manusia. Cacing ini termasuk kelas Nematoda dan tergolong

dalam filum Nemathelmintes. Dua spesies utama cacing tambang yang

menginfeksi manusia adalah Necator americanus dan Ancylostoma

duodenale (Sehatman, 2006).

Manusia merupakan hospes definitif dari cacing tambang. Cacing ini

hidup dalam usus halus terutama di daerah jejunum. Pada infeksi berat,

cacing dapat tersebar sampai ke kolon dan duodenum. Cacing dewasa

hidup di rongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada

(27)

17

Ukuran Ancylostoma duodenale sedikit lebih besar dari Necator

americanus. Cacing dewasa jantan berukuran 5-11 mm x 0,3-0.45 mm

dan cacing betina 9-13 mm x 0,35-0,6 mm. Bentuk badan Necator

americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan Ancylostoma

duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini

besar. Necator americanus mempunyai benda kitin, sedangkan

Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi (Soedarmo dkk., 2010;

Sutanto dkk., 2008).

Telur cacing tambang berbentuk oval, tidak berwarna dan berukuran

40 x 60 mikron. Dinding luar dibatasi oleh lapisan vitelline yang halus,

di antara ovum dan dinding telur terdapat ruangan yang jelas dan

bening. Telur yang baru keluar bersama tinja mempunyai ovum yang

mengalami segmentasi 2, 4, dan 8 sel. Bentuk telur Necator

americanus tidak dapat dibedakan dari Ancylostoma duodenale.

Jumlah telur per-hari yang dihasilkan seekor cacing betina Necator

americanus sekitar 9.000-10.000, sedangkan pada Ancylostoma

duodenale 10.000-20.000 butir (Rusmartini, 2009).

(28)

Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di

tanah. Dalam kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal, telur

akan menetas dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform yang

berukuran 250-300 µm. Setelah dua kali mengalami perubahan, akan

terbentuk larva filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform

adalah 5-10 hari. Kemudian larva menembus kulit manusia dan masuk

ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai di alveoli.

Setelah itu larva bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu dari

bronkhiolus ke bronkus, trakea, faring, kemudian tertelan, turun ke

esofagus dan menjadi dewasa di usus halus (Soedarmo dkk., 2010)

Gambar 6. Daur hidup cacing tambang (hookworm) (CDC, 2013) Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkan oleh larva

maupun cacing dewasa. Larva menembus kulit dan membentuk

maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut

(29)

19

dalam jumlah banyak atau pada orang yang sensitif dapat

menimbulkan bronkitis atau bahkan pneumonitis (Rusmartini, 2009).

Gejala yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang stadium dewasa

tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita.

Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah

sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale

0,08-0,34 cc. Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom

mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang

biasanya tidak menyebabkan kematian tetapi dapat membuat daya

tahan tubuh berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarmo dkk., 2010).

Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi telur cacing

tambang dalam sampel tinja menggunakan mikroskop. Untuk penilaian

kuantitatif, berbagai metode seperti Kato-Katz dapat digunakan. Untuk

membedakan spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

dapat dilakukan biakan dengan cara Harada-Mori (Soedarmo dkk.,

2010; CDC, 2012).

B. Kubis (Brassica oleracea)

1. Definisi

Kubis (Brassica oleracea) merupakan tanaman semusim atau dua

musim dan termasuk dalam famili Brassicaceae. Pada umumnya kubis

ditanam di daerah yang berhawa sejuk, di dataran tinggi 800-2.000 m

(30)

ditanam di dataran rendah atau 200 m dpl. Pertumbuhan optimum

didapatkan pada tanah yang banyak mengandung humus, gembur,

porus, pH tanah antara 6-7. Waktu tanam yang baik pada awal musim

hujan atau awal musim kemarau. Namun kubis dapat ditanam

sepanjang tahun dengan pemeliharaan lebih intensif (Puslitbang

Hortikultura Deptan RI, 2013).

2. Taksonomi

Kedudukan kubis dalam sistemika (taksonomi) tumbuhan

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Papavorales

Famili : Cruciverae (Brassicaceae)

Genus : Brassica

(31)

21

muda yang terakhir tumbuh. Pertumbuhan daun terhenti ditandai

dengan terbentuknya krop atau telur (kepala) dan krop samping pada

kubis tunas (Brussel sprouts). Selanjutnya, krop akan pecah dan keluar

malai bunga yang bertangkai panjang, bercabang-cabang, berdaun

kecil-kecil, mahkota tegak, berwarna kuning (Dinas Pertanian

Kabupaten Majalengka, 2012).

Gambar 7. Kubis (Brassica oleracea) (Mayus, 2013)

Daun buah (Carpellum) yang berjumlah dua buah membentuk bakal

buah yang terletak diatas dasar bunga (receptaculum) dan dalam

perkembangan selanjutnya akan menjadi buah (Silikua) dengan dua

ruang yang terpisah oleh dinding penyekat (septum). Buah ini lebarnya

antara 0,4-0,5 cm dan panjangnya kadang-kadang lebih dari 10 cm.

Pada kedua sisi dinding penyekat ruang terdapat masing-masing

sederet biji yang jumlahnya antara 3-15 butir. Panjang buah maksimal

tercapai antara 3-4 minggu sejak bunga mekar. Apabila buah mulai

(32)

ujung buah dan biji-biji melekat pada penyekat ruang plasentanya

(Sulistiono, 2008).

Sistem perakaran kubis agak dangkal. Akar yang baru tumbuh

berukuran 0,5 mm, tetapi setelah berumur 1-2 bulan sistem perakaran

menyebar ke samping pada kedalaman antara 20-30 cm. Akar

tunggangnya segera bercabang dan memiliki banyak akar serabut

(Puslitbang Hortikultura Deptan RI, 2013).

Batang tanaman kubis umumnya pendek dan banyak mengandung air

(herbaceous). Di sekeliling batang hingga titik tumbuh terdapat helai

daun yang bertangkai pendek (Sulistiono, 2008).

4. Kubis Sebagai Lalapan

Sayuran lalapan merupakan jenis sayuran yang dikonsumsi secara

mentah. Hal ini dikarenakan tekstur dan organoleptik sayuran lalapan

ini memungkinkan untuk dikonsumsi secara mentah. Kelebihan

sayuran lalapan adalah ketika dikonsumsi zat-zat gizi yang terkandung

di dalamnya tidak mengalami perubahan (Purba dkk., 2012).

Kubis (Brassica oleracea) merupakan jenis sayuran yang umumnya

dikonsumsi secara mentah sebagai lalapan. Varietas kubis yang

tumbuh di dataran rendah pada umumnya kropnya renggang, renyah,

bobot kropnya rendah, dan rasanya lebih manis. Kubis jenis ini sangat

(33)

23

C. Pemeriksaan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Sayuran

Salah satu metode pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk

mengidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran

adalah dengan metode tak langsung. Dalam metode ini telur cacing tidak

langsung dibuat sediaan tetapi sebelum dibuat sediaan sampel

diperlakukan sedemikian rupa sehingga telur cacing dapat terkumpul.

Metode ini menghasilkan sediaan yang lebih bersih daripada metode yang

lain (Sehatman, 2006).

Metode tak langsung dibagi menjadi dua cara yaitu sedimentasi

(pengendapan) dan flotasi (pengapungan). Prinsip dari teknik sedimentasi

adalah memisahkan antara suspensi dan supernata dengan adanya

sentrifugasi sehingga telur cacing dapat terendap. Sedangkan prinsip dari

teknik flotasi adalah berat jenis telur cacing lebih kecil daripada berat jenis

NaCl jenuh sehingga mengakibatkan telur cacing akan mengapung di

permukaan larutan (Yudiar, 2012).

Pemeriksaan dengan teknik sedimentasi dan flotasi memiliki kelebihan

dan kekurangan. Teknik sedimentasi memerlukan waktu lama, tetapi

mempunyai keuntungan karena dapat mengendapkan telur tanpa merusak

bentuknya. Pada teknik flotasi, pemeriksaan tidak akurat bila berat jenis

larutan pengapung lebih rendah daripada berat jenis telur dan jika berat

jenis larutan pengapung ditambah maka akan menyebabkan kerusakan

(34)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan

pendekatan laboratorik yaitu untuk mengetahui gambaran hasil identifikasi

jumlah dan jenis telur cacing pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di

warung-warung makan Universitas Lampung.

B. Waktu dan Tempat

Pengambilan sampel dilakukan di warung-warung makan yang berada di

lingkungan Universitas Lampung. Pemeriksaan telur cacing dilaksanakan

di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

pada bulan November – Desember 2013.

C. Variabel Penelitian

(35)

25

D. Definisi Operasional

Tabel 1. Definisi operasional

E. Alat-alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan antara lain :

1. Beaker glass

2. Pipet tetes

3. Alat sentrifugasi dan tabungnya

4. Rak tabung

Bahan-bahan yang digunakan antara lain :

(36)

F. Prosedur Penelitian

Pemeriksaan telur cacing pada penelitian ini menggunakan metode tak

langsung dengan teknik sedimentasi (pengendapan). Prosedur

pemeriksaannya yaitu :

Gambar 10. Prosedur pemeriksaan telur cacing Memotong sayuran menjadi bagian kecil-kecil

Merendam 50 gram lalapan kubis dengan 500 ml larutan NaOH 0,2% dalam beaker glass 1000 ml.

Setelah 30 menit, sayuran diaduk dengan pinset hingga merata lalu sayuran dikeluarkan.

Menyaring air rendaman kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass lain dan diamkan selama satu jam.

Air yang di permukaan beaker glass dibuang, air di bagian bawah beaker glass beserta endapannya diambil dengan volume

10-15 ml menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi.

Menyentrifugasi air endapan dengan kecepatan 1500 putaran/menit selama lima menit.

Membuang supernatan dan endapan bagian bawah diambil untuk diperiksa secara mikroskopis.

Mengambil larutan eosin memakai pipet dan meneteskan satu tetes pada object glass.

Mengambil endapan dari tabung sentrifugasi satu tetes lalu meneteskan pada object glass yang telah diberi eosin.

Menutup hati-hati dengan cover glass (cairan harus merata dan tidak boleh ada gelembung udara).

(37)

27

G. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sayuran mentah

(lalapan) yang dijual di warung-warung makan Universitas Lampung.

2. Sampel Penelitian

a. Kriteria Inklusi

1) Lalapan kubis (Brassica oleracea) yang dijual di warung-warung

makan Universitas Lampung.

2) Lalapan kubis (Brassica oleracea) segar.

b. Kriteria Eksklusi

Lalapan kubis (Brassica oleracea) segar yang dimakan ulat.

c. Besar Sampel

Pada penelitian ini, besar sampel ditentukan dengan teknik totally

sampling. Dengan demikian, sampel diambil dari seluruh warung

makan di Universitas Lampung yang menyediakan kubis (Brassica

oleracea) sebagai lalapan. Setelah dilakukan survey pendahuluan,

terdapat 14 warung makan yang menyediakan lalapan kubis.

Pengambilan sampel dilakukan satu kali dalam seminggu selama tiga

(38)

H. Pengolahan Data

Data diperoleh dari hasil pemeriksaan telur Soil Transmitted Helminths

(STH) pada lalapan kubis (Brassica oleracea) di warung-warung makan

Universitas Lampung. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dilakukan

analisis deskriptif untuk mengetahui jumlah kontaminasi telur cacing dan

jenis telur cacing yang ditemukan. Data hasil penelitian disajikan dalam

(39)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1.

Lalapan kubis di warung-warung makan Universitas Lampung

terkontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) dengan jumlah

kontaminasi telur cacing sebanyak 11 sampel lalapan (26,19%).

2.

Jenis telur cacing yang ditemukan pada lalapan kubis yang dijual di

warung-warung makan Universitas Lampung adalah cacing gelang

(Ascaris lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura).

B. Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian serupa di

luar Universitas Lampung dan menambahkan jenis lalapan yang

berpotensi terkontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH).

2. Bagi mahasiswa sebagai konsumen disarankan untuk lebih berperan aktif

dalam mengawasi dan memperhatikan kebersihan dari sayuran mentah

yang akan dikonsumsi agar tidak terinfeksi telur Soil Transmitted

Helminths (STH).

3. Bagi Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Lampung

disaranakan untuk mengadakan penyuluhan kepada para pedagang

(40)

air mengalir sebelum disajikan sebagai lalapan dan memperhatikan

kebersihan perseorangan.

4. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung disarankan untuk melakukan

pemeriksaan infeksi cacing pada mahasiswa agar dampak yang

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Almi, Dina Utari. 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada di Pasar Tradisional Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang. 2012. Teknik Budidaya Kubis. http://www.bbpp-lembang.info/index.php/en/arsip/artikel/artikel-pertanian/ 586-teknik-budidaya-kubis-brassica-oleraceae-l, diakses 5 Oktober 2013.

Centers for Disease Control and Prevention. 2009. Ascariasis. http://www.dpd. cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/A-F/Ascariasis/body_Ascariasis_il2. htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2009. Trichuriasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/ S-Z/Trichuriasis/body_ Trichuriasis_il1.htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2010. Hookworm.http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/ HTML/ImageLibrary/G-L/Hookworm/body_Hookworm_il1.htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2012. Ascariasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/ html/Ascariasis.htm, diakses 4 Oktober 2013.

_____. 2013. Parasites - Ascariasis: Biology. http://www.cdc.gov/parasites/ ascariasis/biology.html., diakses 3 Oktober 2013.

_____. 2013. Parasites - Hookworm. http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/ biology.html, diakses 3 Oktober 2013.

(42)

_____. 2013. Parasites - Trichuriasis (also known as Whipworm Infection). http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/ biology .html, diakses 1 Oktober 2013.

Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka. 2012. Kubis (Brassica oleracea var. capitata). http://distan.majalengkakab.go.id/bid-th/index.php?option=com_ content&view=article&id=11:kubis-brassica-oleracea-var-capitata&catid=2: berita, diakses 5 Oktober 2013.

Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI. 2013. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Endriani, Mifbakhudin, Sayono. 2010. Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Usia 1-4 Tahun. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Hotez, Peter J., Donald A. P. Bundy, Kathleen Beegle, Simon Brooker, Lesley Drake, Nilanthi de Silva, Antonio Montresor, Dirk Engels. 2006. Helminth Infections: Soil-Transmitted Helminth Infections and Schistosomiasis. Pp 467-482 In: Disease Control Priorities in Developing Countries, 2nd edition. Jamison, Dean T., Joel G. Breman, Anthony R. Measham, George Alleyne, Mariam Claeson, David B. Evans, Prabhat Jha, Anne Mills, Philip Musgrove.Disease Control Priorities Project. Washington (DC). Pp 1400.

Indriani, Annisa. 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada di Pasar Modern Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Lubis, Aridamuriany Dwiputri. 2012. Perbandingan Efektivitas Albendazole 5 Dan 7 Hari Pada Infeksi Trichuris Trichiuria. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Mardiana, Djarismati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7 No. 2, Agustus 2008: 769-774.

(43)

41

Menteri Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Rupublik Indonesia Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006 Tentang Pendoman Pengendalian Cacingan. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Muyassaroh, Siti, Rahayu Astuti, Wulandari Meikawati. 2012.Pengaruh Frekuensi Pencucian Pada Daun Kubis (Brassica oleracea var Capitata) Terhadap Jumlah Cacing Usus (Nematoda Intestinal). Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Nasikhun, Teguh Supriyadi, Mahananto. 2011. Uji Efektifitas Daun Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Tanaman Kubis (Brassica oleracea L.). AGRINECA, Vol. 11 No. 2 Juli 2011: 196-213 hlm.

Nugroho, Cahyono, Sitti Nur Djanah, Surahma Asti Mulasari. 2010. Identifikasi Kontaminasi Telur Nematoda Usus Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea) Warung Makan Lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Jurnal KESMAS UAD Vol. 4, No.1, September 2010: 67-75 hlm.

Purba , Srianna Florensi, Indra Chahaya, Irnawati Marsaulina. 2012. Pemeriksaan Escherichia coli dan Larva Cacing Pada Sayuran Lalapan Kemangi (Ocimum basilicum), Kol (Brassica oleracea L. var. capitata. L.), Selada (Lactuca sativa L.), Terong (Solanum melongena) Yang Dijual Di Pasar Tradisional, Supermarket Dan Restoran Di Kota Medan Tahun 2012. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Puslitbang Hortikultura Deptan RI. 2013. Budidaya Tanaman Kubis. http://hortikultura.litbang.deptan.go.id/index.php?bawaan=berita/fullteks_be rita&&id_menu=3&id_submenu=17&id=347, diakses 5 Oktober 2013.

Rusmartini, Tinni. 2009. Penyakit Oleh Nematoda Usus. 73-96 hlm dalam: Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Natadisastra, D., Agoes, R. EGC. Jakarta. 450 hlm.

Sehatman. 2006. Diagnosa Infeksi Cacing Tambang. Media Litbang Kesehatan XVI Nomor 4 Tahun 2006. Jakarta. 22-25 hlm.

(44)

Siskhawahy. 2010. Pengaruh Lama Perebusan Terhadap Keutuhan Telur Ascaris Lumbricoides. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.

Soedarmo, Sumarmo S. P., Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra Irawan Satari. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak indonesia. Jakarta.

Sulistiono, Wawan Riyanto. 2008. Kajian Benzyl Amino Purine dan Jenis Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan, Hasil, dan Kandungan Vitamin C Pada Kubis Putih (Brassica oleraceae L.). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Suryani, Dyah. 2013. Hubungan Perilaku Mencuci Dengan Kontaminasi Telur Nematoda Usus Pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea) Pedagang Pecel Lele di Kelurahan Warungboto Kota Yogyakarta.Jurnal Kesmas UAD Vol. 6, No. 2, Juni 2012: 162-232.

Sutanto, Inge, Is Suhariah Ismid, Pudji K. Sjarifudin, Saleha Sungkar. 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 6-32 hlm.

World Health Organization. 2013. Soil-transmitted helminth infections. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/, diakses 1 Oktober 2013.

Gambar

Gambar 8. Kerangka teori
Gambar 9. Kerangka konsep
Gambar 1. Daur hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2013)
Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides (CDC, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, bila pengajar mendapati pembelajar telah lancar menulis seperti ini, pengajar dapat menyuruh pembelajar ini untuk diam (tidak mengikuti

Program menampilkan data pengubahan data analog menjadi data discreet menggunakan sensor lm35 sebagai masukan dan LCD sebagai tampilan keluaran.. Program menampilkan suhu ruangan

(1) Seksi Pengendalian, Evaluasi dan Pelaporan Pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c, mempunyai tugas pokok membantu

4.1.6   Rencana konstruksi (Construction plan)  

ISBN: 978-602-60286-0-0 Berdasarkan data gradasi butiran yang ditunjukkan pada Gambar 3, akan didapatkan diameter butiran untuk analisis debit sedimen dasar di tiap pias pada

Namun dalam pembahasannya, pada dasarnya semua buku menjelaskan hanya sebatas gambaran umum saja tentang pengkodifikasian hadis, belum ada buku yang secara khusus

Untuk melihat koherensi antara sajian pemahaman konseptual dan kompetensi strategis materi Trigonometri dalam buku teks matematika SMA, dilihat dengan mengamati

KEDELAI KIPAS MERAH BIREUN YANG DIRADIASI SINAR GAMMA UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN.. Polyethylene Glycole Effectivity as Selection Agent to Soybean: Kipas Merah