• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2011–2013 (ANALYSIS OF CIGARETTE CONSUMPTION ON POOR HOUSEHOLD IN LAMPUNG PROVINCE 2011–2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2011–2013 (ANALYSIS OF CIGARETTE CONSUMPTION ON POOR HOUSEHOLD IN LAMPUNG PROVINCE 2011–2013)"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

(Tesis)

Oleh

MOVIYANTI

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(2)

ANALYSIS OF CIGARETTE CONSUMPTION ON POOR HOUSEHOLD IN LAMPUNG PROVINCE 20112013

By MOVIYANTI

The government through the Financial Ministry increases the tax once again for 2013 for about 8.5 percent or about 5 IDR to 20 IDR per cigarette. The tobacco products tax policy is available in Financial Ministry Regulation No.179/PMK.011/2012 about tax tariff in November 2012, and the provision will be valid on December 25th 2012. The Financial Ministry Regulation No.179/PMK.011/2012 about tax tariff of tobacco products erase the old regulation No. 181/PMK.011/2009 about the tax tariff of tobacco product in November 16th 2009 that started to be valid on January 1st 2010. Cigarette is the commodity that is addictive and having the bad effects to the health. The objective of this study is to analyze the factors influence the cigarette consumption in poor household in Lampung annually from 2011, 2012, and 2013.

This study is estimating the model using the Doubled Linear Regression that is done using the common linear square technique using income, education degree of the head of household, the health fees and the price of the cigarette consumed by poor household variables. The analysis is applied in the National Social Economy Survey data in 2011–2013 with cross section data. The software used in this study is SPSS.

(3)

ANALISIS KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI PROVINSI LAMPUNG TAHUN 20112013

Oleh MOVIYANTI

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menaikkan harga cukai untuk tahun 2013 dengan besaran rata-rata sekitar 8,5 persen atau mulai Rp 5,00 sampai dengan Rp 20,00 per batang rokok. Kebijakan cukai hasil tembakau tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.179/PMK.011/2012 tentang tarif cukai pada 12 November 2012, dengan ketentuan tarif cukainya mulai berlaku pada 25 Desember 2012. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.179/PMK.011/2012 tentang tarif cukai hasil tembakau mencabut PMK No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau pada tanggal 16 November 2009 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Rokok merupakan komoditi yang bersifat adiktif dan mempunyai pengaruh yang buruk terhadap kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Provinsi Lampung setiap tahun 2011, 2012, dan 2013.

Penelitian ini mengestimasi model menggunakan Regresi Linier Berganda yang dilakukan dengan teknik kuadrat linier biasa menggunakan variabel pendapatan, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, biaya kesehatan dan harga rokok yang dikonsumsi pada rumah tangga miskin. Analisis diaplikasikan pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2011 – 2013 dengan data cross section.Softwareyang digunakan adalah SPSS.

Hasilnya menunjukkan bahwa pada Tahun 2011 pendapatan rumah tangga miskin, biaya kesehatan rumah tangga miskin dan harga rokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin berpengaruh signifikan terhadap konsumsi rokok dirumah tangga miskin. Tahun 2012 dan 2013 pendapatan rumah tangga miskin, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, biaya kesehatan rumah tangga miskin dan harga rokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin berpengaruh signifikan terhadap konsumsi rokok dirumah tangga miskin.

(4)

Oleh MOVIYANTI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS

Pada

Program Pascasarjana Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(5)
(6)
(7)
(8)

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang dan Masalah... 1

1.2. Tujuan ... 15

1.3. Kerangka Pemikiran ... 16

1.4. Hipotesis ... 17

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 18

2.1. Tinjauan Empiris ... 18

2.2. Tinjauan Teoritis ... 29

2.2.1. Teori Engel ... 29

2.2.2. Teori Konsumsi ... 30

2.2.2.1. Teori Konsumsi John Maynard Keynes ... 31

2.2.2.2. Teori Konsumsi Milton Friedman ... 33

2.2.2.3. Teori Konsumsi Franco Modigliani ... 36

2.2.2.4. Teori Konsumsi James Duesenberry ... 37

(9)

III. METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Tempat dan Waktu ... 41

3.2. Sumber Data ... 41

3.3. Metode Penelitian ... 42

3.4. Spesifikasi Model ... 43

3.5. Definisi Operasional Variabel ... 44

3.6. Analisis Data ... 45

3.6.1. Analisis Deskriptif ... 46

3.6.2. Regresi Linier Berganda ... 46

3.6.3. Pengujian Parameter ... 49

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1. Karakteristik Responden ... 52

4.1.1. Konsumsi Rokok ... 52

4.1.2 Pendapatan Rumah Tangga Miskin ... 53

4.1.3. Pendidikan Kepala Rumah Tangga ... 55

4.1.4. Biaya Kesehatan ... 57

4.2. Asumsi Regresi Linier Berganda ... 58

4.2.1. Uji Linieritas ... 58

4.2.2. Pendeteksian Kenormalan ... 60

4.2.3. Uji Varian Sama (Heterokedastisitas) ... 63

4.2.4. Uji Multikolinieritas ... 65

4.3. Estimasi Model Konsumsi Rokok ... 65

(10)

4.3.2. Pembahasan Hasil Tahun 2012 ... 69

4.3.3. Pembahasan Hasil Tahun 2013 ... 72

4.4. Analisis Model Tahun 2011, 2012, dan 2013 ... 75

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 80

5.1. Simpulan ... 80

5.2. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(11)

Tabel Halaman 1. Estimasi Jumlah Kasus Baru dan Jumlah Kematian Akibat Kanker

Paru di Rumah Sakit Kanker Dharmais selama tahun

2010 - 2013 ... 12

2. Pengeluaran Rata-rata Per Kapita Sebulan (Rupiah) menurut Kelompok Makanan dan Daerah Tempat Tinggal di Provinsi Lampung, Maret 2013 ... 13

3. Rata-rata Rokok dan Harga Rokok yang Dikonsumsi Rumah Tangga Miskin Selama Satu Bulan di Provinsi Lampung Tahun 2011–2013 ... 52

4. Jumlah dan Persentase Pendapatan Perkapita Rumah Tangga Miskin Yang Mengonsumsi Rokok di Provinsi Lampung Tahun 2011–2013 ... 54

5. Persentase Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga Miskin yang Mengonsumsi Rokok dan Tidak Mengonsumsi Rokok di Provinsi Lampung Tahun 2011–2013 ... 56

6. Rata-rata Biaya Kesehatan Perbulan yang Dikeluarkan oleh Rumah Tangga Miskin yang Mengonsumsi Rokok di Provinsi Lampung Tahun 2011–2013... 58

7. Uji Linieritas 2011 ... 59

8. Uji Linieritas 2012 ... 59

9. Uji Linieritas 2013 ... 59

10. Regresi Linier Berganda dengan Data Tahun 2011 ... 66

11. Regresi Linier Berganda dengan Data Tahun 2012 ... 69

(12)
(13)

Tesis ini saya persembahkan kepada kedua orang tua, Suami dan Anakku tercinta, seluruh keluarga besar, sahabat-sahabatku di Lampung Tengah dan

(14)

Penulis dilahirkan di Teluk Betung tanggal 13 Februari 1982. Merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Sarnubi Sarif dan Ibu Amnah. Pendidikan pertama penulis adalah Taman Kanak-kanak (TK) Kartini diselesaikan tahun 1988, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 2 Palapa, Bandar Lampung lulus pada tahun 1994, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTPN 2 Tanjung Karang pada tahun 1997, dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMUN 3 Bandar Lampung pada tahun 2000.

(15)

Puji syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Penulisan tesis dengan

judul “Analisis Konsumsi Rokok Pada Rumah Tangga Miskin Di Provinsi Lampung Tahun 2011–2013,” merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan

studi Pascasarjana Ilmu Ekonomi di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. I Wayan Suparta, S.E., M.Si., selaku Ketua Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi sekaligus Dosen Pembimbing kedua.

3. Bapak Prof. S.S.P. Pandjaitan, S.E., M.Sc., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing pertama.

4. Ibu Dr. Marselina, S.E., M.P.M., selaku dosen penguji pertama. 5. Dr. Toto Gunarto, S.E., M.Si.,selaku dosen penguji kedua.

6. Bapak Ibu Dosen Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Lampung. 7. Seluruh Staf dan Karyawan Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas

Lampung.

(16)

10. Suami tercinta Budi Gunawan, S.E., yang sudah dengan sabar dan cinta mendampingi hidup penulis, ananda Nadhif Fadhil Arvi semoga menjadi anak yang sholeh dan berbakti pada Agama, kedua orang tua, bangsa dan negara. 11. Keluarga besar yang sudah memberikan support dan doa dalam menyelesaikan

tesis ini.

12. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Lampung angkatan III, Rifkah Dewi, Defia Risky, Muammar Biladi, Tria Dessi Putri, Sri Sunarti, dan Darna Setiadi.Fighting !

13. Semua Pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi sedikit harapan semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Oktober 2015

(17)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Masalah

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menaikkan harga cukai untuk Tahun 2013 dengan besaran rata-rata sekitar 8,5 persen atau mulai Rp 5,00 sampai dengan Rp 20,00 per batang rokok. Kebijakan cukai hasil tembakau tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.179/PMK.011/2012 tentang tarif cukai pada 12 November 2012, dengan ketentuan tarif cukai mulai berlaku pada 25 Desember 2012. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.179/PMK.011/2012 tentang tarif cukai hasil tembakau mencabut PMK No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau pada tanggal 16 November 2009 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.

(18)

7,48 persen. Penelitian Indonesian Forum Parliamentarians for Population and Development (IFPPD) melaporkan, dua dari tiga ayah di Indonesia mengonsumsi rokok. Lembaga ini memperkirakan, sebanyak 12 juta ayah dari 19 juta keluarga miskin adalah perokok.

Pada bulan September 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,55 juta orang (11,47 persen), bertambah sebanyak 0,48 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 yang sebanyak 28,07 juta orang (11,37 persen). Selama periode Maret – September 2013, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik sebanyak 0,30 juta orang (dari 10,33 juta orang pada Maret 2013 menjadi 10,63 juta orang pada September 2013), sementara di daerah perdesaan naik sebanyak 0,18 juta orang (dari 17,74 juta orang pada Maret 2013 menjadi 17,92 juta orang pada September 2013). Selama periode Maret 2013 – September 2013, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan tercatat mengalami kenaikan. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2013 sebesar 8,39 persen, naik menjadi 8,52 persen pada September 2013. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan meningkat dari 14,32 persen pada Maret 2013 menjadi 14,42 persen pada September 2013.

(19)

Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan relatif sama dengan di perdesaan, diantaranya adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, mie instan, gula pasir, tempe, dan bawang merah. Sedangkan, untuk komoditi bukan makanan diantaranya adalah biaya perumahan, listrik, pendidikan, dan bensin. Pada periode Maret 2013 – September 2013, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan peningkatan. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung menjauh dari Garis Kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin melebar.

(20)

dan non makanan yang dihitung oleh BPS. Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari, sedangkan garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Sumber : BPS, 2012

Gambar 1. Trend Kemiskinan di Indonesia 1996 - 2012

Gambar 2 memperlihatkan ada disparitas tingkat kemiskinan antar Provinsi sangat tinggi (Jakarta sebesar 3,69 persen, Papua sebesar 31,11 persen, dan Lampung sebesar 16,2 persen serta Indonesia sebesar 11,96 persen. Persentase Provinsi Lampung masih di atas angka nasional.

34.01

(21)

Sumber : BPS, 2012

Gambar 2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi, Maret 2012

Angka kemiskinan Lampung September 2013 masih lebih tinggi dibanding angka nasional (11,47 persen). Trend menurun sejak 2007 dengan rata-rata penurunan sekitar 1,05 persen setiap Tahun. Tingkat kecepatan penurunan yang lebih cepat dibanding nasional terlihat dari gap yang semakin menyempit.

3.7

16.2

31.1

(22)

Sumber : BPS, 2013

Gambar 3. Trend Angka Kemiskinan Lampung dan Indonesia, Tahun 2007 - 2013

Menurut Aditama (2012) masalah merokok merupakan masalah yang serius karena menyangkut berbagai aspek, yaitu: aspek kesehatan, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Kebiasan merokok telah terbukti berhubungan dengan 25 jenis penyakit dari berbagai alat tubuh manusia, seperti kanker paru, bronkitis kronik, emfisema dan berbagai penyakit paru lainnya. Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan kimia yang berbahaya. Levinthal (1996), Asap satu batang rokok mengandung 4.000 bahan kimia yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Peningkatan jumlah perokok akan sangat membahayakan status kesehatan masyarakat di masa depan. Status kesehatan yang menurun akibat dampak merokok dapat meningkatkan kemungkinan terkena berbagai jenis penyakit yang dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Selain itu, merokok akan menciptakan beban ganda yang harus ditanggung, karena

22,19

Mar 2007 Mar 2008 Mar 2009 Mar 2010 Mar 2011 Sep 2011 Mar 2012 Sep 2012 Mar 2013 Sep 2013

Angka Kemiskinan Provinsi Lampung dan Indonesia, 2007-2013

(23)

merokok akan mengganggu kesehatan sehingga akan lebih banyak lagi biaya yang dikeluarkan untuk mengobati penyakitnya.

Thabrany (2008), Setiap tahun di Indonesia diperkirakan mengeluarkan uang untuk membeli rokok senilai Rp 120 triliun dan diperkirakan pada Tahun 2008 ini Pemerintah bisa mendapatkan penghasilan cukai dari rokok sekitar Rp 44 triliun. Pada penelitian Kosen pada Tahun 2005, melakukan estimasi penghitungan biaya akibat konsumsi tembakau sebesar Rp 167,1 triliun. Jumlah tersebut adalah sekitar 5,1 kali lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp 32,6 triliun pada Tahun 2005. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan bahwa dari segi pemasukan keuangan negara terlihat bahwa pemasukan cukai rokok untuk keuangan negara menyumbang dana yang cukup besar. Tetapi apabila dibandingkan dengan kerusakan moral dan kesehatan anak bangsa maka bangsa ini akan lebih menderita jika terus dibiarkan mengonsumsi rokok.

(24)

Pada penelitian Barber (2008), tingginya prevalensi merokok berkontribusi secara signifikan pada kematian dini. Akibatnya mengurangi umur harapan hidup laki-laki, meningkatkan biaya kesehatan dan menurunkan produktivitas. Berdasarkan laporan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFE-UI) diperoleh bahwa sebanyak 57 juta penduduk Indonesia merokok. Persentase penduduk yang merokok pada Tahun 1995 adalah 27 persen, meningkat menjadi 34 persen pada Tahun 2004. Persentase penduduk laki-laki merokok mencapai 63 persen sedangkan penduduk perempuan yang merokok adalah 4,5 persen. Mayoritas perokok (88 persen) mengonsumsi rokok kretek dan 78 persen perokok mulai merokok sebelum umur 19 tahun. Rata-rata umur mulai merokok pertama kali adalah 17,4 tahun.

(25)

Salah satu dasar hukum yang mendukung pengendalian konsumsi tembakau adalah Undang-Undang (UU) Kesehatan No. 36/2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Untuk melengkapi UU tersebut maka Pemerintah membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengendalian Dampak Tembakau, namun hingga saat ini belum juga disahkan. Kontroversi mengenai RPP Tembakau terus bergulir. Berbagai pihak meminta Pemerintah mempertimbangkan kembali dampak ekonomi RPP Tembakau, tetapi beberapa pihak lain juga mendesak Pemerintah untuk segera mengesahkan RPP Tembakau dengan alasan bahwa RPP Tembakau dapat melindungi anak Indonesia dari bahaya konsumsi tembakau.

Salah satu upaya untuk mengontrol penggunaan tembakau secara global ditandai dengan adanya komitmen internasional melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diadopsi oleh 192 negara anggota Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Tahun 2003. Meskipun secara internasional Indonesia belum menunjukkan komitmen pengendalian tembakau yang kuat, karena belum menandatangani FCTC, namun Indonesia telah menerapkan beberapa program pengendalian tembakau. Konvensi FCTC berisi upaya-upaya untuk:

1. Mengatasi dampak tembakau terhadap kesehatan publik;

2. Mengatasi isu-isu penting, seperti kebijakan harga dan cukai rokok, penyelundupan, iklan rokok;

3. Mengkaji hubungan antara tembakau dan kemiskinan;

(26)

Adanya kajian tentang hubungan antara tembakau dan kemiskinan maka studi tentang keterkaitan antara penggunaan tembakau terhadap kemiskinan dan perekonomian nasional masih terbatas sampai saat ini. Irawan (2005), Kajian tersebut tentunya sangat relevan dilakukan di Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil tembakau dan produsen rokok, serta masih relatif tingginya tingkat kemiskinan. Menurut Irawan (2005) penggunaan tembakau sering kali menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Penggunaan tembakau dapat meningkatkan kemiskinan melalui kerentanan timbul risiko karena sumber pendapatan keluarga miskin yang terbatas justru dibelanjakan untuk konsumsi tembakau, dan bukan untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga. Hal senada disampaikan Ahsan (2012) bahwa konsumsi tembakau merupakan perangkap kemiskinan. Ancaman konsumsi tembakau untuk kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat kini semakin nyata.

(27)

stroke, arteriosclerosis, bronchitis, asma dan lain sebagainya, menunjukkan adanya hubungan antara penyakit yang diderita perokok dengan jumlah rokok yang dikonsumsi. Hal senada disampaikan oleh (Aditama, 2012) yang menyatakan bahwa jika konsumsi rokok tidak dihentikan mulai dari sekarang, dalam 10 tahun lagi dampak buruk rokok akan menimpa tenaga kerja produktif. Tenaga kerja yang sakit-sakitan akan menurunkan produktivitas nasional yang akan mengancam bonus demografi .

Tahun 2010, sebanyak 190.260 orang penduduk Indonesia meninggal karena penyakit yang terkait tembakau atau 12,7 persen dari total kematian (Kosen, 2012). Kosen (2012) juga menjelaskan bahwa secara makro, tembakau di Indonesia pada Tahun 2010 menyebabkan pengeluaran yang tidak perlu sebesar Rp 231,27 triliun, yang terdiri dari Rp 138,00 triliun untuk pembelian rokok, Rp 2,11 triliun untuk biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan, dan Rp 91,16 triliun kerugian akibat kehilangan produktivitas karena kematianpremature dan morbiditas-disabilitas. Sementara total pendapatan dari cukai tembakau pada Tahun 2010 hanya sebesar Rp 55,00 triliun.

(28)

empat tahun terakhir terus meningkat sejalan dengan tingginya kematian akibat kanker paru yang terus meningkat setiap tahun.

Tabel 1. Estimasi Jumlah Kasus Baru dan Jumlah Kematian Akibat Kanker Paru Di Rumah Sakit Kanker Dharmais Selama Tahun 2010 - 2013

Tahun Kasus Baru Kematian

Sumber : Instalasi Deteksi Dini dan Promosi Kesehatan RS Kanker Dharmais, 2010-2013

Kerugian akibat rokok sangat dirasakan khususnya oleh keluarga miskin, ketika pendapatan mereka yang sangat terbatas harus disisihkan untuk membeli rokok, dan bukan untuk kebutuhan dasar makanan dan kebutuhan esensial lainnya. Bagi keluarga miskin, sedikit saja pengalihan sumber pendapatan yang terbatas mempunyai dampak yang besar terhadap status kesehatan dan gizi mereka. Tingginya prevalensi perokok di Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan. Seperti yang dilansir Bisnis Indonesia (2 Januari 2012) bahwa rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua pada Garis Kemiskinan (GK) yang dihitung oleh BPS. Sungguh mengkhawatirkan bahwa di dalam pengeluaran makanan, banyak penduduk miskin yang membelanjakan pendapatannya untuk hal-hal yang berdampak buruk bagi kesehatan seperti pengeluaran untuk rokok.

(29)

persen di perkotaan dan 32,72 persen di perdesaan dan rokok kretek filter yang berada di posisi dua. Konsumsi rokok kretek filter ini memengaruhi kemiskinan sebesar 10 persen di perkotaan dan 8,31 persen di perdesaan. Rokok ini tidak ada kalorinya, tapi pengaruhnya sangat besar. Rumah tangga di Indonesia yang terjerat konsumsi rokok pada Tahun 2003 mencapai 60 persen. Pada Tahun 2003 - 2006 pengeluaran rumah tangga per bulan untuk membeli rokok meningkat, dari Rp 424.000,00 pada tahun 2003 menjadi Rp 523.000,00 pada Tahun 2006. Sementara, pada tahun 2006 pengeluaran rumah tangga termiskin untuk rokok hanya terkalahkan oleh pengeluaran untuk padi-padian.

Tabel 2. Pengeluaran rata-rata Per Kapita Sebulan (Rupiah) menurut Kelompok Makanan dan Daerah Tempat Tinggal di Provinsi Lampung, Maret 2013

Padi-padian dan Umbi-umbian 65.317 64.614 64.794 Ikan, Daging, Telur dan Susu 65.581 41.247 47.498 Kacang, Buah dan Sayuran 72.565 58.495 62.109 Minyak dan Lemak,

Bumbu-bumbuan 21.548 18.179 19.046

Bahan Minuman dan Konsumsi

Lainnya 23.461 20.600 21.336

Makanan dan Minuman Jadi 100.587 39.120 54.912 Tembakau dan Sirih 56.152 40.757 44.712

Jumlah 405.210 283.011 314.408

Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2013

(30)

sayur-sayuran Rp 62.109,00 perbulan, lauk pauk sebesar Rp 47.498,00 perbulan, konsumsi makanan jadi dan yang keempat konsumsi tembakau dan sirih yaitu sebesar Rp 44.712,00 perbulan. Beberapa penelitian di Indonesia tentang rokok menunjukkan bahwa penduduk miskin cenderung lebih banyak menggunakan tembakau daripada penduduk yang lebih kaya (World Bank, 1999). Menurut Irawan (2005) dan Ahsan (2012) semakin tinggi tingkat kecanduan perokok, semakin miskin kondisi perekonomian keluarga. Sebab, porsi belanja rokok semakin besar sehingga mengurangi kemampuan mencukupi kebutuhan lain, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga, pengobatan, terlebih menabung. Hasil studi yang hampir sama dikemukakan Efroymson (2001) bahwa pengeluaran untuk konsumsi rokok akan mengakibatkan kemiskinan dan secara signifikan menurunkan standar hidup keluarga miskin.

(31)

Kenaikan pendapatan tersebut diduga akan diikuti kenaikan konsumsi rokok rumah tangga.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO,2004) dan Harahap (2003) menyatakan bahwa rokok merupakan barang yang berbahaya dan bersifat adiktif atau mencandui, yaitu membuat pengguna ketagihan, membuat ketergantungan. Sulit menghentikan kebiasaan merokok pada rumah tangga miskin maupun tidak miskin, karena kebiasaan merokok sudah menjadi penyakit masyarakat yang sampai sekarang belum ada penyembuhnya. Hasil penelitian Lawror (2003) dalam penelitian Setiaji (2011) menyatakan bahwa pada kelompok kurang beruntung merokok seringkali merupakan kenikmatan dan cara untuk mengatasi masalah, serta mengatasi kehidupan yang penuh tekanan.

Dari permasalahan di atas maka penelitian ini mempunyai pertanyaan penelitian, yaitu:

a. Apa saja yang menjadi faktor-faktor dalam mengonsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Provinsi Lampung ?

1.2. Tujuan

(32)

1.3. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini menggunakan alur pikir sebagai berikut:

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Konsumsi Rokok Pada Rumah Tangga Miskin di Provinsi Lampung Tahun 2011 - 2013

Rokok merupakan komoditi yang bersifat adiktif dan mempunyai pengaruh yang buruk terhadap kesehatan. Namun masih banyak rumah tangga yang terperangkap dalam adiksi rokok. Pemerintah telah berusaha untuk

Latar Belakang:

Konsumsi rokok menyebabkan berbagai penyakit dan kematian. Kanker paru selama 3 tahun terakhir menduduki peringkat pertama.

Harapan:

Dengan adanya kenaikan cukai diharapkan masayarakat dapat mengurangi konsumsi rokok.

Banyak rumah tangga miskin yang merokok

Teori yang mendukung :

1. Teori konsumsi menyatakan bahwa besar kecilnya pengeluaran konsumsi didasarkan atas besar kecilnya pendapatan masyarakat.

2. Teori Engel yang menyebutkan bahwa semakin tinggi pendapatan suatu keluarga, maka persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan cenderung semakin rendah.

Variabel yang diduga memengaruhi:

(33)

mengurangi konsumsi rokok masyarakat, salah satunya adalah dengan menaikkan tarif cukai rokok. Namun fakta menunjukkan bahwa prevalensi rokok masih tinggi, terutama pada rumah tangga miskin. Dengan mengembangkan model dari penelitian sebelumnya maka pola konsumsi rokok rumah tangga diduga akan dipengaruhi oleh karakteristik sosial demografi rumah tangga yang diduga dapat memengaruhi pola konsumsi rokok adalah lama sekolah kepala rumah tangga, dan pendapatan rumah tangga. Variabel sosial demografi tersebut dimasukkan ke dalam model karena berfungsi sebagai variabel kontrol.

1.4. Hipotesis

(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Kebiasaan merokok merupakan kebiasaan yang sangat umum dan meluas di masyarakat Indonesia. Bahkan masyarakat yang mengadakan suatu kenduri merasa tidak lengkap jika tidak ada sajian rokok. Sehingga merokok menjadi satu kebiasaan yang dianggap sebagai bagian dari kehidupan normal. Masyarakat Indonesia sebagian beranggapan bahwa rokok merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi. Kebiasaan merokok merupakan kebiasaan yang sangat sulit dihilangkan dan jarang orang mau mengakui bahwa merokok adalah kebiasaan buruk. Kontroversi mengenai rokok atau produk tembakau dan larangan merokok dewasa ini tengah menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Pada bagian ini, akan membahas mengenai faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok, tinjauan teoritis, dan tinjauan penelitian terdahulu yang terkait dengan konsumsi rokok baik di Indonesia maupun di negara lain.

2.1. Tinjauan Empiris

(35)

“ ”

Chris Lovelace and Ayda Yorekli

(36)

Judul Pengarang Tahun Kesimpulan

“Cigarette Smoking in Indonesia”

Budi Hidayat dan Hasbullah Thabrany

(37)

Judul Pengarang Tahun Kesimpulan Model yang digunakan

dimana:

Cit : Konsumsi rokok i : Individu

Pc dan Pa

: Harga rokok dan Alkohol

x’ : Vektor eksogenus variabel yg menyebabkan konsumsi rokok, termasuk disposable income, umur, status pekerjaan, dan keberadaan anak usia 14 tahun kebawah.

vi : Efek tetap individu mengendalikan preferensi waktu dan utilitas kekayaan marginal.

dt : Dummy time, mengantisipasi perubahan kesejahteraan makro.

(38)

Judul Pengarang Tahun Kesimpulan

2005 Pada model regresi harga rokok, diasumsikan bahwa ada beberapa variabel bebas, seperti pendapatan kapita rumah tangga, cukai, daerah (perkotaan atau pedesaan), nama pulau tempat tinggal, pendidikan, dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga, memengaruhi harga rokok yang rumah tangga

mampu atau bersedia membayar. Konsumsi rokok di Indonesia terus mengalami kenaikan, dan juga di banyak negara berkembang lainnya, hal ini menyebabkan kenaikan jumlah penyakit dan kematian usia muda. Pajak cukai yang lebih tinggi telah terbukti efektif di banyak negara dalam mengurangi konsumsi rokok dan meningkatkan pendapatan pemerintah. Penelitian ini menguji pengaruh harga lebih tinggi/pajak pada keputusan untuk merokok, jumlah rokok yang dikonsumsi oleh perokok diberbagai kelompok pendapatan di Indonesia, dan pendapatan pemerintah.

(39)

Judul Pengarang Tahun Kesimpulan

berpendapatan rendah menghabiskan persentase tertinggi.

(40)

Judul Pengarang Tahun Kesimpulan

Crki : Konsumsi rokok rumah tangga miskin sebulan (Rupiah) Yd : Pendapatan rumah tangga miskin sebulan (Rupiah) DWS : Jumlah anggota rumah tangga dewasa

NRK : Konsumsi non rokok rumah tangga miskin sebulan (Rupiah)

β0 : Konstanta

β1, β2, dan β3 : Parameter

ε :error-term

i : rumah tangga ke 1, 2, 3 ...n

Menggunakan regresi berganda dan metode estimasi OLS, untuk mengetahui fungsi konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa. Dari hasil pengolahan data didapatkan bahwa variabel pendapatan, jumlah anggota rumah tangga dewasa dan konsumsi non rokok

(41)

Judul Pengarang Tahun Kesimpulan

Hubungan konsumsi rokok dan konsumsi non rokok sangat tinggi, Apabila konsumsi rokok naik sebesar Rp 1000,00 maka konsumsi rokok

akan turun sebesar Rp 722,00. Pendapatan rumah tangga miskin juga siginifikan dimana setiap jika pendapatan naik sebesar Rp 1000,00 maka konsumsi rokok akan naik sebesar Rp 678,00.

“Smoking, Standard Of

Ej : Kapita total pengeluaran rumah tangga dikurangi perpengeluaran rokok, pengeluaran makanan per kapita, Pengeluaran perumahan per kapita, belanja pakaian per kapita, pengeluaran pendidikan per kapita.

SM : Perokok - jumlah rokok yang dikonsumsi In : Pendapatan rumah tangga per kapita Age : Umur kepala rumah tangga (tahun) Ed : Tahun pendidikan kepala rumah tangga HS : Ukuran Rumah Tangga (jumlah individu)

UR : lokasi Perkotaan (=1) dibandingkan pedesaan (=0) Ui :Error term

(42)

Judul Pengarang Tahun Kesimpulan

Variabel yang digunakan adalah pengeluaran makanan, pengeluaran perumahan, belanja pakaian, dan belanja pendidikan.

Hasil survei menunjukkan bahwa rumah tangga berpenghasilan rendah membeli rokok jauh lebih rendah dari dari rumah tangga berpenghasilan tinggi di Cina. Rumah tangga berpenghasilan rendah juga merokok kurang dari rumah tangga berpenghasilan tinggi, terutama di rumah tangga pedesaan. Namun, mengingat pendapatan yang relatif rendah, rumah tangga di bawah tingkat kemiskinan dialokasikan persentase yang lebih tinggi dari pendapatan mereka untuk rokok daripada rumah tangga tidak miskin.

“Cigarette Smoking And

(43)

Judul Pengarang Tahun Kesimpulan

(44)

Judul Pengarang Tahun Kesimpulan

“Socioeconomic Status And Tobacco Expenditure Among Australian

Households: Result From The 1998–1999

Household Expenditure Survei”

(45)

2.2. Tinjauan Teoritis 2.2.1. Teori Engel

Teori Engel menyatakan bahwa saat pendapatan meningkat, proporsi pendapatan yang dihabiskan untuk membeli makanan berkurang, bahkan jika pengeluaran aktual untuk makanan meningkat. Dalam kata lain, elastisitas pendapatan makanan selalu di antara 0 dan 1. Hukum ini dinamakan Ernst Engel (1821–

1896). Hukum Engel menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran konsumen untuk produk makanan (dalam persen) meningkat lebih kecil daripada peningkatan pendapatan. Salah satu penerapan hukum Engel adalah untuk melihat standar hidup suatu negara. Apabila koefisien Engel meningkat, maka negara ini lebih miskin, dan jika koefisiennya lebih kecil maka negara tersebut punya standar hidup yang tinggi. Dalam penelitian ini, negara dapat diidentikkan dengan rumah tangga.

Gambar 5. Kurva Engel

Hukum Engel merupakan penemuan empiris yang begitu konsisten sehingga para ekonom menyarankan agar share pengeluaran untuk makanan

I3

I2 I1

X1 X2 X3

Pendapatan (I)

(46)

digunakan sebagai indikator ketahanan pangan. Menurut Deaton dan Muellbauer (1980), pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung terhadap kesejahteraan. Hubungan antara pengeluaran total dengan kebutuhan pokok (misalnya makanan) terlihat dalam Kurva Engel pada Gambar 5. Kurva Engel yang diturunkan dari kurva kepuasan yang sama dari individu menunjukkan bahwa pada kebutuhan pokok, pangsa pengeluaran untuk barang tersebut akan menurun sementara pendapatan meningkat. Meningkatnya kesejahteraan akan meningkatkan daya beli dan menurunnya pangsa pengeluaran pangan yang akan meningkatkan ketahanan pangan. Dalam teori kesejahteraan, kurva indeferen individu dapat diangkat menjadi kurva indeferen masyarakat, sehingga jika kesejahteraan individu meningkat maka kesejahteraan masyarakat (lokal, regional dan nasional) juga akan meningkat.

2.2.2. Teori Konsumsi

Dilihat dari arti ekonomi, konsumsi merupakan tindakan untuk mengurangi atau menghabiskan nilai guna ekonomi suatu benda. Sedangkan menurut Draham

Bannoch dalam bukunya “economics” memberikan pengertian tentang konsumsi

yaitu merupakan pengeluaran total untuk memperoleh barang dan jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (dalam satu tahun) pengeluaran. Konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu “Consumption”. Konsumsi adalah

(47)

konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi (Dumairy, 2004).

Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan di antara tingkat konsumsi rumah tangga dalam perekonomian dengan pendapatan nasional (pendapatan disposabel) perekonomian tersebut. Fungsi konsumsi dapat dinyatakan dalam persamaan:

C = a + bY ... (2.1) Di mana a adalah konsumsi rumah tangga ketika pendapatan nasional adalah 0, b adalah kecondongan konsumsi marginal, C adalah tingkat konsumsi dan Y adalah tingkat pendapatan nasional.

2.2.2.1. Teori Konsumsi John Maynard Keynes

Dalam teorinya Keynes mengandalkan analisis statistik, dan juga membuat dugaan-dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi casual. Pertama dan terpenting Keynes menduga bahwa, kecenderungan mengonsumsi marginal (marginal propensity to consume) jumlah yang dikonsumsi dalam setiap tambahan pendapatan adalah antara nol dan satu. Kecenderungan mengonsumsi marginal adalah krusial bagi rekomendasi kebijakan Keynes untuk menurunkan pengangguran yang kian meluas. Kekuatan kebijakan fiskal untuk memengaruhi perekonomian seperti ditunjukkan oleh pengganda kebijakan fiskal muncul dari umpan balik antara pendapatan dan konsumsi.

(48)

kemewahan, sehingga ia berharap orang kaya menabung dalam proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan mereka ketimbang si miskin. Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peranan penting. Keynes menyatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori. Kesimpulannya bahwa pengaruh jangka pendek dari tingkat bunga terhadap pengeluaran individu dari pendapatannya bersifat sekunder dan relatif tidak penting. Berdasarkan tiga dugaan ini, fungsi konsumsi Keynes sering ditulis sebagai berikut:

C = a + bY a > 0 , 0 < b < 1 ... (2.2) Keterangan:

C = konsumsi

Y = pendapatan disposibel a = konstanta

b = kecenderungan mengonsumsi marginal (Mankiw, 2003)

Secara grafis, fungsi konsumsi Keynes digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6. Fungsi Konsumsi Keynes

Y (Pendapatan) C (Konsumsi)

a

0

(49)

Secara singkat di bawah ini beberapa catatan mengenai fungsi konsumsi Keynes (Soediyono Reksoprayitno, 2000):

1. Variabel nyata adalah bahwa fungsi konsumsi Keynes menunjukkan hubungan

antara pendapatan nasional dengan pengeluaran konsumsi yang keduanya dinyatakan dengan menggunakan tingkat harga konstan.

2. Pendapatan yang terjadi disebutkan bahwa pendapatan nasional yang menentukan besar kecilnya pengeluaran konsumsi adalah pendapatan nasional yang terjadi ataucurrent national income.

3. Pendapatan absolut disebutkan bahwa fungsi konsumsi Keynes variabel pendapatan nasionalnya perlu diinterpretasikan sebagai pendapatan nasional absolut, yang dapat dilawankan dengan pendapatan relatif, pendapatan permanen dan sebagainya.

4. Bentuk fungsi konsumsi menggunakan fungsi konsumsi dengan bentuk garis lurus. Keynes berpendapat bahwa fungsi konsumsi berbentuk lengkung.

2.2.2.2. Teori Konsumsi Milton Friedman

(50)

Gambar 7. Fungsi Konsumsi Milton Friedman

Budget line diumpamakan sebagai garis pendapatan. Ada tiga faktor yang memengaruhinya, yaitu pendapatan pada periode pertama, pendapatan pada periode kedua dan tingkat bunga.

OA = OB = Jumlah total pendapatan untuk periode satu dan periode kedua OD = Pendapatan periode pertama

(51)

FB = Pendapatan periode pertama yang ditambah bunga (i)

Pada saat pendapatan periode pertama Y1, konsumen mengonsumsi barang pada periode satu sebesar C1. Sisanya DE disimpan. Pada periode kedua, ketika pendapatan hanya mencapai Y2, agar kepuasan maksimum, ia akan mengonsumsi sebesar C2. Pada saat itu C2> Y2, ini dapat terjadi karena konsumen menggunakan savingpada periode pertama (disebutdissaving) sebesar FGFG = DE + bunga. Jadi sekarang konsumen mencapai kepuasan yang maksimum selama dua periode. Pertama ia mengonsumsi sebesar C1 dan pada periode kedua mengonsumsi sebesar C2.

Dengan kata lain, hipotesis Friedman ini menjelaskan bahwa konsumsi pada saat ini tidak tergantung pada pendapatan saat ini tetapi lebih padaExpected Normal Income (rata-rata pendapatan normal) yang disebut sebagai permanent income. Fungsi konsumsinya adalah sebagai berikut:

C = f (YP,i) YP = permanent income

i = real interest rate

Jadi apabila pendapatan konsumen itu tidak stabil, seperti pada gambar diatas, maka selalu terjadi proses saving dan dissaving. Dalam jangka panjang, real interest rate dianggap stabil, sehingga fungsi konsumen menjadi persentase dari permanent income.

CL = k YP dimana:

(52)

Friedman melakukan penelitian dengan menggunakan data time series Tahun 1897-1949 dan data cross section. Hasil penelitiannya dengan menggunakan data time series Friedman menemukan bahwa pada saat resesi (1921,1931-1935, 1938) rasio antara saving dan disposable income rendah, dan rasio antara konsumsi dan disposable income rendah pada saat ekonomi tumbuh. Berdasarkan data cross section, keluarga yang memiliki pendapatan tinggi akan menabung dalam jumlah besar, baik itu dari segi nominalnya, maupun dari segi proporsinya terhadap pendapatan disposable dibandingkan dengan keluarga yang memiliki penghasilan rendah. Ketika kelompok kaya ini mendapatkan penghasilan transitory (windfall), penghasilan ini tidak digunakan untuk meningkatkan konsumsi, tetapi lebih kepada peningkatan tabungan.

2.2.2.3. Teori Konsumsi Franco Modigliani

(53)

Gambar 8. Fungsi Konsumsi Franco Modigliani

Konsumsi seseorang dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu pendapatan saat ini, kekayaan yang terakumulasi (akibat tabungan masa lalu) dan harapan penghasilan di masa depan. Jika pendapatan pada masa yang akan datang semakin tinggi (usia muda ke usia produktif) maka orang itu akan meningkatkan konsumsinya dan akan mengurangi konsumsinya pada saat penghasilannya mulai menurun (usia produktif ke usia lanjut). Hal sama terjadi pada orang yang memiliki kekayaan yang banyak (akumulasi tabungan, warisan, dan lain-lain), akan mengonsumsi lebih banyak dibandingkan orang yang tidak memiliki kekayaan, sehingga terlihat pada saat usia lanjut konsumsi masih tetap tinggi, karena adanya akumulasi kekayaan yang dikumpulkan saat masih produktif (konsumsi >saving)

2.2.2.4. Teori Konsumsi James Duesenberry

James Duesenberry mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan terutama oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah

Dissaving

Saving

Dissaving C

Yd C, Yd

(54)

dicapainya. Pendapatan berkurang, konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluaran untuk konsumsi. Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi, terpaksa mengurangi besarnya tabungan. Apabila pendapatan bertambah maka konsumsi mereka juga akan betambah, tetapi bertambahnya tidak terlalu besar. Sedangkan tabungan akan bertambah besar dengan pesatnya. Kenyataan ini terus kita jumpai sampai tingkat pendapatan tertinggi yang telah kita capai tercapai kembali. Sesudah puncak dari pendapatan sebelumnya telah dilalui, maka tambahan pendapatan akan banyak menyebabkan bertambahnya pengeluaran untuk konsumsi, sedangkan di lain pihak bertambahnya tabungan tidak begitu cepat.

Dalam teorinya, Duesenberry menggunakan dua asumsi yaitu:

1. Selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran yang dilakukan oleh orang sekitarnya.

2. Pengeluaran konsumsi adalah irreversibel artinya pola pengeluaran seseorang pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan mengalami penurunan.

Bentuk fungsi konsumsi masyarakat menurut Duesenberry akibat dari adanya pendapatan relatif adalah sebagai berikut:

C / Yt = f [Y / Y* ] ...(2.3) di mana:

Yt = pendapatan pada tahun t

(55)

Bentuk fungsi tersebut dapat dijelaskan dengan kurva seperti pada Gambar 9 berikut:

CLmenunjukkan besarnya pengeluaran konsumsi jangka panjang. Apabila

pendapatan sebesar 0Y0, maka besarnya pengeluaran konsumsi yang terjadi adalah BY0, apabila pendapatan mengalami penurunan dari 0Y0 menjadi 0Y1, maka pengeluaran konsumsi tidak akan turun ke titik E pada kurva pengeluaran jangka panjang (C) namun ke titik A pada kurva pengeluaran konsumsi jangka pendek C1. Dalam hal ini pada saat terjadinya penurunan pendapatan, pengeluaran konsumsi rumah tangga tidak turun drastis melainkan bergerak turun secara perlahan. Dari pengamatan yang dilakukan Duesenberry mengenai pendapatan relatif secara memungkinkan terjadi suatu kondisi yang demikian, apabila seseorang pendapatannya mengalami kenaikan maka dalam jangka pendek tidak akan langsung menaikkan pengeluaran konsumsi secara proporsional dengan kenaikan pendapatan, akan tetapi kenaikan pengeluaran konsumsinya lambat

(56)

karena seseorang lebih memilih untuk menambah jumlah tabungan (saving), dan sebaliknya bila pendapatan turun seseorang tidak mudah terjebak dengan kondisi konsumsi dengan biaya tinggi (high consumption).

2.2.2.5. Teori Konsumsi Irving Fisher

Ekonom Irving Fisher mengembangkan model yang digunakan para ekonom untuk menganalisis bagaimana konsumen yang berpandangan ke depan dan rasional membuat pilihan antar waktu yaitu, pilihan yang meliputi periode waktu yang berbeda. Model Fisher menghilangkan hambatan-hambatan yang dihadapi konsumen, preferensi yang mereka miliki dan bagaimana hambatan-hambatan serta preferensi ini bersama-sama menentukan pilihan mereka terhadap konsumsi dan tabungan. Dengan kata lain konsumen menghadapi batasan atas beberapa banyak yang mereka bisa belanjakan, yang disebut batal atau kendala anggaran (budget constraint). Ketika mereka memutuskan berapa banyak akan mengonsumsi hari ini versus berapa banyak akan menabung untuk masa depan, mereka menghadapi batasan anggaran antar waktu (intertemporal budget constaint), yang mengukur sumber daya total yang tersedia untuk konsumsi hari

(57)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung yang terdiri dari 14 kabupaten/kota meliputi rumah tangga miskin yang dijadikan sampel Susenas di Provinsi Lampung Tahun 2011–2013.

3.2. Sumber Data

Untuk keperluan studi ini, data yang digunakan adalah data sekunder yang dipeoleh dari Susenas. Penulis menggunakan data Susenas Tahun 2011 - 2013. Sampel Susenas yaitu rumah tangga miskin yang mengonsumsi rokok pada Tahun 2011 sebanyak 457 rumah tangga, Tahun 2012 sebanyak 132 rumah tangga, dan Tahun 2013 sebanyak 242 rumah tangga. Data yang digunakan bersifat cross section karena didalam penelitian ini penulis akan menganalisis variabel yang memengaruhi rumah tangga miskin tersebut mengonsumsi rokok setiap tahunnya. Bagaimana karakteristik ekonomi yang dihasilkan pertahun dari perhitungan model regresinya.

(58)

individu memuat keterangan pokok yang meliputi karakteristik setiap anggota rumah tangga seperti umur, jenis kelamin, hubungan dengan kepala rumah tangga, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, fertilitas dan keluarga berencana, sedangkan keterangan rumah tangga memuat keterangan pokok tentang keadaan karakteristik rumah tangga diantaranya perumahan dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga. Data modul konsumsi memuat keterangan rinci tentang pengeluaran rumah tangga untuk setiap jenis komoditi yang dikonsumsi, baik makanan maupun non makanan.

Jenis-jenis data yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi data pengeluaran dan konsumsi rumah tangga untuk berbagai jenis komoditi makanan dan non makanan, serta data karakteristik rumah tangga yang diduga ikut memengaruhi pengeluaran rokok rumah tangga. Data pengeluaran konsumsi makanan dalam Susenas dikelompokkan dalam 14 kelompok besar yaitu padi-padian, umbi-umbian, ikan/udang/cumi/kerang, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, serta tembakau dan sirih. Sedangkan data konsumsi non makanan dikelompokkan menjadi lima kelompok besar, yaitu perumahan dan fasilitas rumah tangga; aneka barang dan jasa; pakaian, alas kaki dan penutup kepala; barang tahan lama; serta pajak, pungutan dan asuransi.

3.3. Metode Penelitian

(59)

adalah SPSS versi 16 dengan teknik kuadrat linier biasa (OLS). Analisis statistik yang digunakan dalam SPSS menggunakan regresi linier metode backward, metode ini dipilih karena mampu memilih model terbaik. Metode ini mengeliminasi variabel yang tidaksignifikan.

3.4. Spesifikasi Model

Untuk mengetahui besarnya konsumsi rokok pada rumah tangga miskin, maka penelitian ini menggunakan model Regresi Linier Berganda. Estimasi dilakukan dengan teknik kuadrat linier biasa (OLS). Variabel menggunakan logaritma natural dikarenakan data awal tidak memenuhi asumsi kenormalan, oleh karena itu beberapa tahap digunakan agar asumsi kenormalan terpenuhi salah satunya menggunakan teknik logaritma natural. Model yang dianalisis adalah:

Ci = eβ0 Ydiβ1 eEDUCiβ2 HEALTHiβ3 CGRTiβ4

εi

Kemudian ditransformasi menjadi:

Ln_Ci = β0 +β1ln_Ydi+β2EDUCi+β3ln_HEALTHi+β4ln_CGRTi+

εi

dimana :

Ci = Konsumsi rokok rumah tangga miskin sebulan (rupiah)

β0 = intercept

β1,β2,β3,β4 = Koefisien parameter regresi

Yd = Pendapatan rumah tangga miskin (rupiah) EDUC = Tingkat pendidikan kepala rumah tangga (tahun) HEALTH = Biaya kesehatan (rupiah)

(60)

ε

= Residual(error term)

i = Tahun 2011, 2012, 2013.

Dengan mengacu Regresi Linier Berganda estimasi dilakukan dengan teknik kuadrat linier biasa (OLS) maka model diperluas dengan menggunakan variabel ekonomi. Variabel ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, biaya kesehatan, dan harga rokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin sebulan.

3.5. Definisi Operasional Variabel

Penelitian ini menggunakan beberapa variabel yang diambil dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS sehingga konsep dan definisi yang dipakai mengacu kepada konsep BPS. Adapun definisi operasional variabel-variabel menurut BPS sebagai berikut:

1. Konsumsi rokok adalah banyaknya batang rokok yang dikonsumsi rumah tangga dan banyaknya uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut. 2. Pendapatan rumah tangga adalah besarnya upah/gaji yang didapat oleh seluruh

anggota rumah tangga yang bekerja selama satu bulan.

3. Tingkat pendidikan di hitung dari jumlah tahun belajar penduduk yang telah diselesaikan dalam pendidikan formal (tidak termasuk tahun yang mengulang).

4. Biaya kesehatan adalah besarnya biaya yang dikeluarkan rumah tangga untuk berobat jalan, berobat sendiri dan rawat inap.

(61)

6. Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga (kepala rumah tangga, suami/istri, anak, menantu, cucu, orangtua/mertua, famili lain, pembantu rumah tangga atau anggota rumah tangga lainnya).

7. Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Yang dimaksud dengan makan dari satu dapur adalah mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu.

8. Kepala rumah tangga adalah salah seorang dari anggota rumah tangga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumah tangga.

9. Rumah tangga miskin adalah rumah tangga yang mempunyai pengeluaran konsumsi perkapita sebulan di bawah garis kemiskinan yaitu konsumsi makanan perkapita dibawah 2100 kkal.

3.6. Analisis Data

(62)

3.6.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah teknik analisis yang digunakan untuk menggambarkan keadaan suatu hal secara umum dan bertujuan untuk mempermudah penafsiran dan penjelasan, diantaranya melalui analisis tabel dan grafik. Pada penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis konsumsi rokok pada rumah tangga miskin. Analisis yang disajikan diantaranya adalah persentase rumah tangga miskin yang mengonsumsi rokok, rata-rata harga per kelompok komoditi, dan proporsi pengeluaran per kelompok komoditi (budget share) terhadap total pengeluaran rumah tangga. Analisis ini lebih menggambarkan terhadap karakteristik perilaku rumah tangga miskin di Provinsi Lampung dalam kurun waktu Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2013.

3.6.2. Regresi Linier Berganda

Sebelum analisis regresi dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji kelinieran, dan asumsi dari error. Kelinieran dapat dilihat dari plot masing-masing variabel bebas dengan variabel independen (Gujarati, 1978), juga bisa dilihat dari plot antara nilai sisaan jika tidak membentuk pola tertentu maka asumsi kelinieran dapat diterima.

Penggunaan metode kuadrat terkecil (OLS) harus didasarkan pada asumsi regresi linier normal klasik berikut:

1. Pendeteksian kenormalan

(63)

(Drapper and Smith, 1996: 137). Tetapi apabila plot normalnya masih meragukan maka dilakukan pengujian contohnya uji kolmogorof. Ada kecenderungan bahwa sisaan yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya menyebar secara normal mengikuti Teorema Limit Pusat(Central Limit Theorem). Jika suatu sisaan seperti

ε merupakan jumlah sisaan dari beberapa sumber, maka apapun sebaran peluang

masing-masing sisaan itu, jumlah sisaan itu ε, akan menyebar semakin mendekati sebaran normal bila komponen sisaannya semakin banyak.

2. Uji Varian Sama (Homokedastisitas)

E (uit2) = σ2 maksudnya variasi dari kesalahan pendugaan merupakan suatu konstanta atau dengan kata lain tidak terjadi heterokedastisitas. Untuk menguji asumsi ini dapat dilakukan dahulu pendeteksian dengan melihat plot antara nilai sisa dengan nilai taksiran, jika plot membentuk pola tertentu maka asumsi tidak terpenuhi (Gujarati, 1978). Apabila plot meragukan dapat dilakukan uji homokedastisitas contohnya uji Park, Barlet atau uji homokedastisitas lain-lainnya.

3. Uji multikolinieritas

(64)

multikolinieritas (Santoso, 1999). Hubungan VIF dengan tolerance sebagai berikut:

VIF = 1 / (1–R2)

Dalam Gujarati, 1999, dengan terpenuhinya asumsi regresi linier klasik tersebut maka teknik analisis dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (OLS = Ordinary Least Square) akan diperoleh penaksir tak bias linier terbaik (BLUE = Best Linier Unbiased Estimator).

Persamaan regresi linier berganda yang digunakan : Y = b1+ b2X1+ b3X2+ ... + bKXK-1+ e

Y adalah variabel tidak bebas dalam hal ini nilai produksi. X adalah variabel bebas sebanyak i yaitu sebanyak faktor yang terbentuk dari analisis faktor.

4. Koefisien Determinasi

Besaran R2 dikenal sebagai koefisien deteminasi dan merupakan besaran yang paling lazim digunakan untuk mengukur kebaikan suai (goodness of fit) garis regresi. Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui proporsi variasi dependent yang dijelaskan oleh variabel independent secara bersama-sama (gabungan). Secara verbal, R2 mengukur proporsi (bagian) atau persentase total variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi (Gujarati, 1999).

Dua sifat R2adalah :

1. R2merupakan besaran non negatif. 2. Batasnya adalah 0≤R2≤ 1.

(65)

nilai R2 dengan angka 1 maka semakin kuatlah model tersebut dalam menerangkan peubah tak bebasnya demikian sebaliknya.

R2dapat dihitung dengan rumus :

= = ( )

(Y )

dimana :

SST adalah jumlah kuadrat total SSR adalah jumlah kuadrat regresi

Ŷadalah nilai dugaan Y

Ȳadalah rata rata Y

3.6.3. Pengujian Parameter

Pengujian penduga parameter bertujuan untuk mengetahui tingkat keberartian penduga parameter yang digunakan melalui pengujian hipotesis. Apabila hipotesisnya ditolak, maka penduga parameter tersebutsignificantatau berarti.

1. Uji–F

Uji ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan model. Pengujian hipotesis :

H0: β1= ... = βi= 0 (fungsi regresinya tidak layak dipakai). H1: ada paling sedikit satu nilaiβi≠ 0, dimana i = 0, 1, 2, ... , n Statistik Uji :

Fhit= /( )

(66)

dimana :

k adalah banyaknya peubah n adalah banyaknya observasi SSR adalah jumlah kuadrat regresi SSE adalah jumlah kuadrat kesalahan Keputusan :

Fhit< Fα(k-1),(n-k), maka H0diterima Fhit> Fα(k-1),(n-k), maka H0ditolak

α adalah derajat kesalahan, α yang digunakansebesar lima persen.

2. Uji–t

Uji ini dilakukan untuk mengetahui kebeartian masing-masing penduga parameter.

Pengujian hipotesis :

1. H0 : β1 = 0, (tidak ada pengaruh dari pendapatan rumah tangga miskin terhadap konsumsi rokok di rumah tangga miskin)

H1 : β1 ≠ 0, (ada pengaruh dari pendapatan rumah tangga miskin terhadap konsumsi rokok di rumah tangga miskin)

2. H0 : β2= 0, (tidak ada pengaruh dari tingkat pendidikan kepala rumah tangga miskin terhadap konsumsi rokok di rumah tangga miskin)

H1: β2≠ 0, (ada pengaruh dari tingkat pendidikan kepala rumah tangga miskin terhadap konsumsi rokok di rumah tangga miskin)

(67)

H1: β3≠ 0, (ada pengaruh dari biaya kesehatan rumah tangga miskin terhadap konsumsi rokok di rumah tangga miskin)

4. H0: β4= 0, (tidak ada pengaruh dari harga rokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin)

H1 : β4 ≠ 0, (ada pengaruh dari harga rokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin)

Statistik Uji :

t-hit =

( )

dimana :

bi adalah koefisien regresi ke–i

Se (bi) adalahstandar errordari koefisien regresi ke-i Keputusan :

│t-hit│ < tα/2,(n-k), maka H0diterima

(68)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada BAB IV maka diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Tahun 2011 faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok di rumah tangga miskin adalah pendapatan rumah tangga miskin, biaya kesehatan rumah tangga miskin dan harga rokok.

2. Tahun 2012 faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok di rumah tangga miskin adalah pendapatan rumah tangga miskin, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, biaya kesehatan rumah tangga miskin dan harga rokok.

3. Tahun 2013 faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok di rumah tangga miskin adalah pendapatan rumah tangga miskin, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, biaya kesehatan rumah tangga miskin dan harga rokok.

4. Tahun 2011 rumah tangga miskin meskipun terjadi peningkatan pendapatan dan harga rokok naik tidak akan mengurangi konsumsi rokoknya. Konsumsi rokok akan menurun jika rumah tangga miskin tersebut mengeluarkan biaya kesehatan yang lebih besar.

(69)

yang besar. Namun peningkatan pendapatan rumah tangga miskin, dan harga rokok tidak akan mengurangi konsumsi rokok.

6. Tahun 2013 bahwa rumah tangga miskin yang berpendidikan tinggi dan adanya kenaikan pendapatan pada rumah tangga tersebut akan mengalihkan konsumsi mereka tidak pada rokok. Justru peningkatan biaya kesehatan yang tinggi dan kenaikan harga rokok tidak mengurangi konsumsi rokok di rumah tangga miskin.

5.2. Saran

Dengan memerhatikan berbagai temuan dalam penelitian ini, maka beberapa saran yang diberikan adalah:

1. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang mengonsumsi rokok untuk itu Pemerintah agar meningkatkan program edukasi bagi masyarakat agar memiliki pola hidup sehat dan menumbuhkan kesadaran untuk mengurangi bahkan menghentikan kebiasaan merokok, khususnya bagi kepala rumah tangga miskin.

2. Rumah tangga miskin yang mengonsumsi rokok memiliki peluang untuk keluar dari garis kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup seandainya rumah tangga mampu menghentikan kebiasaan merokok dan mengalihkan alokasi pengeluaran rokok pada kebutuhan rumah tangga yang lebih penting. Pemberian subsidi bersyarat (salah satunya tidak merokok) diharapkan dapat mengurangi perilaku merokok rumah tangga miskin penerima bantuan.

(70)

untuk menurunkan konsumsi rokok. Cukai akan menaikkan harga rokok ditingkat konsumen. Berdasarkan hukum ekonomi maka kenaikan harga akan menimbulkan penurunan permintaan. Pemerintah hendaknya menaikkan harga cukai hingga harga rokok tersebut tidak dapat dijangkau oleh rumah tangga miskin.

(71)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama,Tjandra Yoga. (2012). Konsumsi Rokok Mengancam Bonus Demografi. Diunduh dari http://bebasrokok.wordpress.com/2012/06/19/penduduk-produktif-ri-bakal-melempem-15-tahun-lagikarena-rokok/.

Ahsan, Abdillah. (2012). Perokok Ancam Tinggal Landas Ekonomi Indonesai. Diunduh dari http://www.tempo.co/read/news/2012/06/14/090410527/ Perokok-Ancam-Tinggal-Landas-Ekonomi-Indonesia.

Barber S, Adioetomo SM, Ahsan A, Setyonaluri D. (2004). Aspek Ekonomi

Tembakau di Indonesia - LDFE-UI. Diunduh dari

http://www.worldlungfoundation.org/ht/a/GetDocumentAction/i/6571.

Beyer, Joy de, C. Lovelace and A. Yurekli. (2001). “Poverty and Tobacco.”

Tobacco Control 2001, 10, pp. 210-211.

Chaloupka, FJ and Warner, K. (2000). “The Economic of Smoking.” In: Handbook of Health Economic, Vol 18. Culyer AJ, Newhouse JP (eds) North-Holland: Amsterdam.

Chen, Yuyu and Xing, Weibo. (2011). “Quantity, Quality, and Regional Price Variation of Cigarettes: Demand Analysis Based on a Household Survey in China.”China Economic Riview 22, 221-232.

Djutaharta T, Adioetomo SM, Hendratno. (2005). “Cigarette Consumption, Taxation, and Household Income.” Economics of Tobacco Control Paper No. 26.

(72)

Efroymson D., S.Ahmed, J. Twonsend and et.al. (2001).“Hungry for Tobacco: an Analysis of the Economic Impact of Tobacco Consumption on the Poor in Bangladesh.”Tobacco Control 2001, 10, pp. 212-217.

Firdaus, Muhammad and Suryaningsih, Tri. (2010). Kemiskinan dan Tingginya Konsumsi Rokok: Faktor Penyebab Sulitnya Implementasi Green Economic

di Pulau Jawa. Diunduh dari

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53653

Gujarati, Damodar dan Porter, DC. (2010). Dasar-dasar Ekonometrika Edisi 5 Buku 1.Salemba Empat. Jakarta Selatan. 686 hlm.

Harahap, Akhir Matua. (2003). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Konsumsi Rokok Individu Model ‘Sample Selection’. Tesis Tidak Dipublikasi. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi. Universitas Indonesia, Depok.

Hidayat, Budi and Thabrany, Hasbullah. (2010). Cigarette Smoking in Indonesia: Examination of a Myopic Model of Addictive Behaviour. Int. J. Environ. Res. Public Health, 7, pp. 2473-2485.

Hu, T-w; Mao, Z; Liu, Y; Beyer, J de; and Ong, M. 2005. “Smoking, Standard of Living, and Poverty in China.”Tobacco Control,Vol.4, No. 4, pp 247-250.

Irawan, Puguh B. (2005). Dampak Penggunaan Tembakau Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/21124711/Dampak-Penggunaan-Tembakau-Terhadap-Kemiskinan-di-Indonesia

Kosen, Soewarta. (2012).Isu Terkini Mengenai Rokok: Lindungi Generasi Muda dan Selamatkan Masa Depan Bangsa. Disampaikan pada E-learning Program for the Youths HIV-AIDS Preventions, Universitas Indonesia, 1 Maret 2012.

Liu, Yuanli; Rio, Keqin; Hu, The-wei; Sun, Qi; Mao, Zhenzhong. (2006).

(73)

Mankiw, N. Gregory.( 2003). Teori Makro Ekonomi Terjemahan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Nicholson, W (2005) Microeconomic Theory: Basic Principles and Extentions, Thomson South Western, Ninth Edition, USA.

Reksoprayitno, Soediyono. (2000). Ekonomi Makro (Pengantar Analisis Pendapatan Nasional), Edisi Kelima, Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta.

Ross, Hana and Chaloupka, Frank J. (2002). “Economic of Tobacco Control.”

International Tobacco Evidence Network, June 26.

Setiaji, Bambang. (2011). Kebiasaan Merokok dan Kemiskinan. Diunduh dari http://banyubiru3prast.wordpress.com/2011/06/20/kebiasan-merokok-dan-kemiskinan/.

Siahpush, M. (2003). “Socioeconomic Status and Tobacco Expenditure Among Australian Households: Results from the 1998-99 Household Expenditure Survey.” Journal of Epedemiology and Community Health(1979), Vol. 57, No. 10, pp. 798-801.

_____. (2003). National Labor Force Survey 2003. Subdirectorate of Manpower Statistics - BPS (Statistics Indonesia). Diunduh dari http://catalog.ihsn.org/ index.php/catalog/4836/study-description,

Suparmoko, M., 2001.Pengantar Ekonomika Makro, BPFE, Yogyakarta.

Triana, R.A. Leisa. (2011). Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan Bantuan Langsung Tunai terhadap Pengeluaran Telekomunikasi ran Rokok Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa. Tesis Tidak Dipublikasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gambar

Gambar 1. Trend Kemiskinan di Indonesia 1996 - 2012
Gambar 2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi, Maret 2012
Gambar 3. Trend Angka Kemiskinan Lampung dan Indonesia,Tahun 2007 - 2013
Tabel 1. Estimasi Jumlah Kasus Baru dan Jumlah Kematian Akibat Kanker
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dan plot ketiga menyatakan hubungan dengan sikap pada ekowisata yaitu iklan Central ( Means 4,75),dan variable dependent x3,angka signifikansi di bawah 0,05

Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan tertua di Pulau Jawa yang dipengaruhi agama dan kebudayaan Hindu. Letaknya di Jawa Barat dan diperkirakan berdiri kurang lebih abad

pelajaran Instalasi Listrik Komersial yang tidak sesuai dengan tuntutan dunia kerja, dihapus dari GBPP Kurikulum 1984 SMKTA. Sejalan dengaxi uraian pada sub bab

Ada sejumlah manfaat yang dapat diperoleh apabila seorang guru mengembangkan bahan ajar sendiri, yakni antara lain; pertama, diperoleh bahan ajar yang sesuai tuntutan

Maka berdasarkan hasil pembahasan peneliti dan pengamat diketahui penyebab keaktifan siswa kelas III dalam belajar pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada siklus

Dari hasil uji signifikansi regresi sederhana ternyata F hitung &lt;F tabel , atau 2,712&lt; 4,35 maka hipotesis ditolak, dengan demikian, dapat disimpulan bahwa

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi bahan ajar pendekatan kontektual berbantuan linever efektif digunakan dalam proses perkuliahan program

Mengapa penulis memilih surat kabar Warta Kota, dikarenakan surat kabar ini banyak dibaca oleh semua kalangan dengan beragam tingkat usia, namun bentuk bahasa