• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tipologi Tutupan Vegetasi Sebagai Dasar Penyusunan Strategi Restorasi Di Area Iuphhk Re Pt Reki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Tipologi Tutupan Vegetasi Sebagai Dasar Penyusunan Strategi Restorasi Di Area Iuphhk Re Pt Reki"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TIPOLOGI TUTUPAN VEGETASI

SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN STRATEGI RESTORASI

DI AREA IUPHHK-RE PT REKI

NINING NURFATMA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa penelitian berjudul Analisis Tipologi Tutupan Vegetasi sebagai Dasar Penyusunan Strategi Restorasi di Area IUPHHK-RE PT IUPHHK-REKI adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

NINING NURFATMA. Analisis Tipologi Tutupan Vegetasi sebagai Dasar Penyusunan Strategi Restorasi di Area IUPHHK-RE PT REKI. Dibimbing oleh PRIJANTO PAMOENGKAS dan IKA HERIANSYAH.

Hutan Harapan yang berada di wilayah Sumatera Selatan merupakan kawasan hutan produksi dataran rendah yang dikelola dengan skema restorasi ekosistem oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) yang sangat rentan terhadap konversi lahan. Area restorasi yang luas dan permasalahan sosial yang tinggi serta belum terujinya teknik silvikultur merupakan hambatan dalam mengimplementasikan upaya restorasi ekosistem. Tingkat kerusakan yang dicerminkan dari kondisi tutupan vegetasi merupakan salah satu informasi dasar biofisik yang sangat penting, dan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam penyusunan strategi restorasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kerusakan, kondisi ekosistem, upaya pemulihan dan jenis prioritas restorasi. Metode yang digunakan yaitu analisis vegetasi pada 4 tipologi tutupan vegetasi (hutan sekunder, belukar tua, belukar muda, eks HT akasia) yang masing-masing diwakili oleh 3 lokasi berbeda, dan analisis Normalized Difference Vegetation Index (NDVI).

Hasil penelitian menunjukkan urutan tingkat kerusakan terendah hingga tertinggi meliputi: tipologi hutan sekunder, belukar tua, belukar muda dan eks HT akasia. Tipologi Hutan sekunder memiliki nilai keanekeragaman, kekayaan dan

kemerataan yang tinggi (H’>3, Dm>5, E>0.6). Hubungan tipologi eks HT akasia dengan tipologi lain tergolong tidak erat (euclidean distance>3.31), hubungan semai dan pohon di semua tipologi (terkecuali eks HT akasia) menunjukkan nilai korelasi sangat tinggi (r>0.9). Strategi restorasi yang dapat dilakukan meliputi pemulihan fisik berupa eradikasi tanaman jenis Acacia mangium, pemeliharaan regenerasi alam jenis asli dan penanaman/pengkayaan pada aeral minim regenerasi alam pada tipologi eks HT akasia, pemulihan biotis berupa penanaman/pengkayaan jumlah jenis toleran pada tipologi pada tipologi belukar muda dan pengkayaan jumlah individu dari jenis toleran/semitoleran pada tipologi belukar tua, upaya pemulihan fungsi berupa jaminan perlindungan dan pengamanan dari faktor perusak ekosistem pada tipologi hutan sekunder. Jenis prioritas restorasi yang terpilih ditentukan berdasarkan toleransi jenis dan tujuan pengelolaan (produksi, pembinaan habitat satwa, dan pemenuhan kebutuhan sosial).

(5)

SUMMARY

NINING NURFATMA. Typological of Vegetation Cover Analysis as the Basis Strategy of Restoration on IUPHHK-RE PT REKI. Supervised by PRIJANTO PAMOENGKAS and IKA HERIANSYAH.

Harapan Rainforest situated in South Sumatera is a lowland production forest managed in the scheme of restoration ecosystem by PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) that is highly susceptible to land conversion. Restored area, social problems, and silvicultural techniques that have been tested are obstacles in the implementing of restoration efforts. The level of damage that is reflected from the condition of the vegetation cover is one of the important biophysical basic information is very important that can be used as a reference in the preparation of the restoration strategy. The study aimed to determine the level of damage, the condition of the ecosystem, appropriate recovery techniques and plant species restoration priorities. The used methods were analysis of vegetation in 4 typologies (secondary forest, old shrub, young shurb, former akasia plantations) consisting in three locations, and the analysis of Normalized Difference Vegetation Index (NDVI).

The results showed that the order of area with the level of damage from the lowest to the highest were: the typology of secondary forest, old shurb, young shrub, and former akasia plantation, respectively. The typology of secondary forests had the highest value of diversity, richness, and evenness (H’>3, Dmg>5, and E>0.6). Relationship between open land typology and another tipologies was not germane (euclidean distance> 3.31), and the relationship between seedling and trees in all typologies (with the exception of former akasia plantations) was very high (r> 0.9). Restoration strategy could involve eradicating of Acacia mangium, maintenance and enrichment of natural regeneration of native species in the area lack of natural regeneration on the typology of former acacia forest, biotic recovery by cultivation and enrichment of tolerant species in the typology of shrub, protection and security against destructive factors on the typology of secondary forest. Selected species of restoration are determined based on tolerant species and purpose of management (production, development of wildlife habitat, and the fulfillment of social needs).

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Silvikultur Tropika

ANALISIS TIPOLOGI TUTUPAN VEGETASI

SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN STRATEGI RESTORASI

DI AREA IUPHHK-RE PT REKI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2016 ini ialah restorasi ekosistem, dengan judul “Analisis Tipologi Tutupan Vegetasi sebagai Dasar Penyusunan Strategi Restorasi di Area IUPHHK-RE PT REKI”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Prijanto Pamoengkas MSc FTrop selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ika Heriansyah, SHut MAgr selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan karya tulis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh staff PT REKI, terutama tim riset (Zelvin, Supriyadi, Ferry, Firman, Edi, Idam, Akbar, Sarwo, Habibi, Agus) yang telah banyak membantu dalam proses pengambilan data dan pengumpulan data sekunder. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Harits Aulia Ahmad, Dwi Budi, Zakaria Al Anshori, Arief Firmansyah, Ilham Ananda, M. Hamdani, Rizki Widiyatmoko, Nurani Hardikananda, Tri Yanto, M Iqbal Maulana, Konita Rahman yang telah membantu dalam menganalisis data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu (Bapak Slamet Haryadi, Ibu Patimah), adik (M Adam Makmur Setiadi, Eliza Rahmawati, Jasmine Aulia Fitri, Abdul Rohman Muhammad) yang selalu menjadi penyemangat dalam menyelesaikan karya tulis ini, dan tak lupa kepada seluruh keluarga besar Alm H Arobi (khususnya kepada H Abdulah Makmur dan Hj Sinkletika), keluarga besar H Kliwon Niaty, serta teman-teman Silvikultur Tropika, Fahutan IPB, dan juga seluruh civitas akademika IPB atas segala doa dan kasih sayangnya, serta kepada PT REKI yang telah membantu operasional selama di lapangan dan LPDP yang telah memberikan dana bantuan beasiswa tesis batch 2, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan studi tepat pada waktunya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Alat dan Bahan 4

Pengumpulan Data 5

Prosedur Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 11

Hasil dan Pembahasan 12

SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 35

(12)

DAFTAR TABEL

1 Jenis, teknik pengumpulan, dan analisis data ... 5

2 Sebaran komunitas menurut Hukum Frekuensi Raunkaier ... 9

3 Sebaran tipologi tutupan vegetasi di area restorasi Hutan Harapan wilayah Sumatera Selatan ... 11

4 Jenis tanah di lokasi penelitian ... 11

5 Dugaan persentase perubahan kerapatan pohon pada tahun 2008 dan 2016 di beberapa tipologi berdasarkan nilai NDVI ... 13

6 Nilai kerapatan berdasarkan stratifikasi tajuk (N/ha) ... 15

7 Rata-rata komposisi jenis pionir dan klimaks di beberapa tipologi ... 16

8 Indeks Nilai Penting berdasarkan tingkat permudaan di beberapa tipologi ... 20

9 Nilai indeks keanekaragaman (H’), kekayaan (DMg), kemerataan (E), dominansi (ID) tingkat permudaan pada setiap tipologi hutan ... 22

10 Hubungan korelasi antara semai dan pohon di beberapa tipologi ... 25

11 Persentase tutupan vegetasi terhadap hutan sekunder berdasarkan nilai kerapatan dan luas bidang dasar. ... 26

12 Penentuan teknik pemulihan berdasarkan kondisi vegetasi ... 27

13 Jenis prioritas berdasarkan tujuan pengelolaan ... 29

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pendekatan penelitian... 4

2 Bentuk petak ukur yang diamati di lapangan ... 7

3 Grafik hubungan persamaan regresi linear antara NDVI dengan kerapatan pohon (N/ha) ... 13

4 Struktur tegakan berdasarkan kelas diameter di beberapa tipologi pada tingkat pohon ... 14

5 Struktur tegakan berdasarkan ketersedian tingkatan permudaan di beberapa tipologi. ... 16

6 Perbandingan jumah spesies dan famili berdasarkan tingkat permudaan ... 18

7 Sebaran famili berdasarkan tingkat permudaan di berbagai tipologi ... 19

8 Distribusi jenis pohon di beberapa tipologi Hutan Harapan Sumatera Selatan berdasarkan kelas Frekuensi Raunkaier... 23

9 Hasil analisis kluster berdasarkan tingkat permudaan di beberapa tipologi. ... 24

10 Score plot hubungan semai dan pohon di beberapa tipologi ... 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian ... 35

2 Kondisi di masing-masing tipologi ... 35

3 Spesies dari famili Euphorbiaceae yang ditemukan di lokasi penelitian ... 36

4 Indeks Nilai Penting tingkat semai di beberapa tipologi ... 37

5 Indeks Nilai Penting tingkat pancang di beberapa tipologi ... 38

6 Indeks Nilai Penting tingkat tiang di beberapa tipologi ... 39

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki hutan terluas luasan ketiga di dunia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015) luas hutan Indonesia mencapai 120 juta ha atau 51.3% dari luas wilayah daratan wilayah. Luas hutan yang tergolong besar ini menyimpan sumber daya alam hayati yang berlimpah dan memiliki peranan yang penting bagi kehidupan makhluk hidup. Akan tetapi, pengelolaan yang kurang bijaksana dan orientasi pada hasil hutan kayu mengakibatkan hutan Indonesia mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut mengakibatkan penurunan biodiversitas dan daya dukung lingkungan sehingga kesimbangan ekosistem terganggu dan berdampak pada penurunan produktivitas hutan dalam menjalankan fungsi ekologi, ekonomi dan sosial.

Laju deforestasi dan degradasi hutan pada periode 2009–2012 adalah sekitar 450 000 ha/tahun (FWI 2011), dan pada periode 2009–2014 sekitar 9% tutupan hutan berkurang dari 30.1 juta ha menjadi 27.2 juta ha (KLHK 2015). Luas hutan yang berkurang menyebabkan daya serap hutan terhadap emisi karbon menjadi menurun, yang dapat memicu terjadinya perubahan iklim global. Oleh karena itu, Indonesia telah berkomitmen untuk berperan aktif dalam Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang pada tahun 2010 berkembang menjadi REDD++. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan daya serap karbon sekaligus meningkatkan stabilitas ekosistem dan optimalisasi jasa-jasa ekosistem yaitu melalui upaya restorasi ekosistem.

Restorasi ekosistem merupakan paradigma baru dalam pengelolaan hutan alam produksi dari pengelolaan berbasis kayu menjadi pengelolaan berbasis ekosistem. Upaya nyata yang dilakukan Indonesia dalam merestorasi ekosistem hutan yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007, jo PP Nomor 3 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa kegiatan restorasi ekosistem dalam hutan alam produksi dilakukan dalam kawasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) (Kartodiharjo et al.2014).

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.64/Menhut-II/2014 IUPPHK-RE adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim, dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.

(14)

yang selanjutnya lebih dikenal dengan Hutan Harapan (Harapan Rainforest). Hutan ini merupakan bekas konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Padeco Jaya (perusahan kerjasama antara Filipina, Jepang, dan Indonesia) yang beroperasi pada tahun 1970 sampai dengan 1990. Pengusahaan berbasis kayu tersebut menyebabkan sebagian besar kawasan hutan terdegradasi, sehingga izin konsesi tidak diperpanjang dan dialihkan kepada PT Inhutan V, yang berorientasi pada pembangunan hutan tanaman. Perusahaan tersebut melakukan rehabilitasi hutan dengan membangun hutan tanaman akasia. Namun setelah sepuluh tahun, izin konsesi juga tidak diperpanjang sehingga area dikembalikan kepada pemerintah, dibawah yuridiksi Kementerian Kehutanan. Sejak saat itu, kawasan menjadi areal terbuka (open access) yang tidak terhindar dari kegiatan pembalakan liar dan okupasi lahan yang dilakukan oleh masyarakat (Burung Indonesia et al.2014).

Hutan Harapan termasuk salah satu hutan dataran rendah yang tersisa di Sumatera Selatan, bagian dari 34 konservasi hostpot keanekaragaman hayati dataran sunda internasional, kawasan burung endemik, habitat 26 spesies langka dan kritis untuk dilindungi (sebagian diantaranya: bangau, harimau sumatera, gajah sumatera, tapir, ungko, trenggiling), serta tempat tinggal bagi 220 keluarga yang merupakan masyarakat asli/adat Batin Sembilan (indigenous people). Oleh karena hal tersebut Hutan Harapan memiliki ekosistem yang sangat penting dan keterwakilannya perlu dijamin melalui pengelolaan hutan dengan mekanisme restorasi ekosistem (Burung Indonesia et al.2014).

Restorasi yang dilakukan di Hutan Harapan ini salah satu upaya untuk mengurangi tingkat kerusakan ekosistem yang ada di hutan daratan rendah Sumatera yang berbasis pada proses pemulihan vegetasi. Proses pemulihan tersebut dapat ditentukan salah satunya dengan mempertimbangkan kondisi tutupan vegetasi. Kondisi tutupan vegetasi yang beragam dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan, yang dinilai dari struktur dan komposisi tegakan. Menurut penelitian Htun et al. (2011) tingkat kerusakan semakin rendah seiring dengan meningkatnya nilai kerapatan tegakan suatu ekosistem. Selain itu tingkat kerusakan juga dapat dibedakan menurut keanekaragaman hayati (Ng et al. 2009) dan kekayaan jenis (Bischoff et al. 2005), yang menjadi karakteristik ekologi suatu tegakan.

Kondisi tutupan vegetasi merupakan salah satu informasi dasar yang sangat penting untuk diketahui, dan dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam penyusunan strategi restorasi. Selain itu, melalui informasi tersebut dapat diketahui kondisi dinamika perubahan ekosistem (suksesi), dan juga dapat ditentukan teknik pemulihan yang tepat dalam rangka upaya restorasi. Oleh karena itu peneliti dirasa sangat perlu dilakukannya penelitian mengenai Analisis Tipologi Tutupan Vegetasi sebagai Dasar Penyusunan Strategi Restorasi di Area IUPHHK-RE PT REKI.

Perumusan Masalah

(15)

menyebabkan hutan Hutan Harapan sebagian kawasannya terdegradasi. Oleh karena itu, untuk mencapai stabilitas ekosistem dan optimalisasi jasa-jasa lingkungan diperlukan upaya restorasi yang komprehensif berdasarkan kondisi biofisik dari setiap tipologi tutupan vegetasi. Informasi tersebut menjadi ladasan dalam menyusun dasar strategi restorasi ekosistem. Oleh karena itu, rumusan masalah yang menjadi landasan dalam kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi tutupan vegetasi di Hutan Harapan berdasarkan analisis citra?

2. Bagaimana stuktur dan komposisi tegakan pada setiap tipologi tutupan vegetasi?

3. Bagaimana hubungan kedekatan antara tingkat permudaan?

4. Bagaimana tingkat kerusakan yang terjadi di lokasi penelitian?Adakah ekosistem utuh yang dapat dijadikan sebagai referensi/target dalam restorasi? 5. Tindakan pemulihan apa yang sesuai pada setiap tipologi tutupan vegetasi

dalam rangka mencapai tujuan restorasi dan dasar strategi restorasi?

6. Jenis asli apa yang sesuai untuk restorasi pada setiap tipologi tutupan vegetasi? Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah tersusunnya strategi restorasi berdasarkan tipologi tutupan vegetasi di areal kerja PT REKI, dengan tahapan sebagai berikut meliputi :

1. Mengidentifikasi tipologi tutupan vegetasi berdasarkan citra satelit

2. Menganalisis struktur dan komposisi tegakan di setiap tipologi tutupan vegetasi 3. Mengetahui hubungan kedekatan antara tingkat permudaan

4. Mengklasifikasikan tingkat kerusakan berdasarkan hasil analisis vegetasi 5. Menentukan teknik pemulihan yang sesuai untuk mencapai tujuan restorasi dan

sebagai dasar strategi restorasi di setiap tipologi tutupan vegetasi

6. Menentukan jenis asli yang sesuai untuk upaya restorasi disetiap tipologi tutupan vegetasi

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan oleh PT REKI dalam melaksanakan upaya restorasi di wilayah Sumatera Selatan. Memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan restorasi (pemulihan). Sumber informasi atau referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai restorasi ekosistem hutan di wilayah lain.

Ruang Lingkup Penelitian

(16)

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di area restorasi Hutan Harapan (PT REKI) yang berada di wilayah Sumatera Selatan. Area tersebut, secara geografis terletak diantara 1030 27' 00" – 1030 7' 54" BT dan 020 23' 51" – 020 07' 00" LS, dengan ketinggian tempat antara 30-70 mdpl, secara administrasi kehutanan, termasuk kedalam Dinas Kehutanan Sekayu dan secara administrasi pemerintahan, termasuk kedalam wilayah Kecamatan Batanghari Liko, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, serta termasuk dalam sub-DAS Meranti dan sub-DAS Kapas (REKI 2016). Waktu pelaksanaannya dimulai pada Mei 2016 sampai dengan Juni 2016.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: alat survey lapangan dan alat analisis data. Alat survey lapangan terdiri vertex, phi band, kompas, GPS

Tindakan pemulihan sebagai dasar strategi restorasi

(17)

dan kamera, sunto tandem sedangkan alat analisis data yang digunakan adalah ERDAS Imagine, Arcgis, Minitab, Ms. Excel. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder meliputi: peta tutupan lahan area kerja PT REKI Citra Landsat (2008 dan 2016), data analisis vegetasi berupa data IHMB dan Risalah , data primer berupa hasil analisis vegetasi tahun 2016.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan didasarkan pada tujuan penelitian, jenis data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data (Tabel 1). Pendekatan yang digunakan dalam pengumpulan data berbasis pada interpretasi citra dan data hasil pengecekan lapang /pengamatan langsung di lapangan (ground check).

Tabel 1 Jenis, teknik pengumpulan, dan analisis data Tujuan Penelitian Jenis Data

Metode

Analisis Vegetasi : Indeks

Nilai Penting (INP), H’,

DMg, E’, C, IS, frekuensi

Menganalisis gap antara lokasi peneltian dengan

(18)

Prosedur Analisis Data

Analisis Vegetasi berdasarkan Citra

Analisis vegetasi ini digunakan untuk menduga nilai kerapatan pada tahun 2008 yang dapat dijadikan acuan dalam menduga perubahan tutapan vegetasi selama periode 2008–2016 di area restorasi Hutan Harapan (PT REKI) Sumatera Selatan, yang menjadi pertimbangan dalam penentuan strategi restorasi yang tepat dalam melakukan upaya restorasi. Tahapan yang dilakukan meliputi:

a. Pemilihan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan tingkat kehijauan hasil dari pengolahan data Citra Landsat tahun 2016, yang dianggap mewakili setiap tipologi tutupan vegetasi (hutan sekunder, belukar tua, belukar muda dan lahan terbuka). Klasifikasi tipologi yang digunakan mengacu pada hasil interpretasi Citra Landsat tahun 2015 yang disahkan oleh Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Surat Nomor : S.410/IPSDH-2/2015 tanggal 10 Desember 2015. Jumlah dan sebaran lokasi penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan tenaga ahli bagian pemetaan PT REKI dan Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor: P.9/PHPL-SET/2015. b. Indeks Vegetasi

Indeks Vegetasi atau Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) menggabungkan pemantulan dalam R (band red) dan NIR (band near infra red) pada daerah spektral, serta memungkinkan untuk pemantauan perubahan dinamika tutupan vegetasi, yang dapat menguksur jumlah vegetasi hijau (Petropoulos et al. 2014). Analisis ini menggunakan citra Landsat 5 tahun 2008 dan Landsat 8 OLI tahun 2016 dengan path 125 row 61-62. Persamaan algoritma dari NDVI sebagai berikut :

NDVI = (NIR - Red)/(NIR + Red) Keterangan :

NDVI = Normalized difference vegetation index NIR = Band near infra red

Red = Band red

b. Analisis Regresi Hubungan NDVI dengan Kerapatan

Analisis regresi dimaksudkan untuk mengetahui besarnya pengaruh yang diakibatkan adanya perubahan pada setiap satuan variabel x terhadap variabel y. Nilai hasil NDVI tahun 2016 dijadikan sebagai variabel x sedangkan nilai kerapatan (N/ha) yang diperoleh dari pengambilan data di lapangan digunakan sebagai variabel y. Persamaan ini digunakan untuk menduga perubahan kerapatan selama 8 tahun (2008-2016). Persamaan yang digunakan sebagai berikut:

y = a + bx Keterangan:

y = variabel dependen yang diprediksi (N/ha)

x = variabel indepen yang mempunyai nilai tertentu (nilai NDVI) a = intercept

(19)

Analisis Vegetasi berdasarkan Pengamatan Lapangan

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi tegakan serta distribusi vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan pada empat tipologi dengan masing-masing tipologi diwakili oleh tiga lokasi yang berbeda, dengan tahapan analisis vegetasi yang dilakukan sebagai berikut:

a. Pembuatan Plot

Metode yang digunakan yaitu metode garis berpetak yang merupakan modifikasi dari metode petak ganda dan jalur, dimana terdapat jarak antar petak, sehingga garis rintis antar petak memiliki ukuran yang sama panjang (Indriyanto 2006). Plot penelitian yang dibuat seperti yang terlihat pada Gambar 2.

Keterangan:

a. 20 m x 20 m : Plot pengamatan pohon (pohon dewasa berdiameter ≥ 20 cm)

b. 10 m x 10 m : Plot pengamatan tiang (pohon muda yang berdiameter ≥ 10 cm sampai diameter < 20 cm)

c. 5 m x 5 m : Plot pengamatan pancang (anakan pohon yang tingginya ≥ 1,5 m dengan diameter batang < 10 cm)

d. 2 m x 2 m : Plot pengamatan semai dan tumbuhan bawah

Gambar 2 Bentuk petak ukur yang diamati di lapangan.

Gambar 2 menunjukkan bentuk plot yang digunakan berupa petak yang berukuran 20 m x 20 m dengan jarak antar petak sebesar 100 meter. Petak yang dibuat sebanyak 5 buah pada setiap jalur. Jalur yang dibuat sebanyak 3 buah untuk setiap tipologi tutupan vegetasi. Sehingga banyak plot pengamatan sebanyak 60 plot (5 petak x 3 jalur x 4 tipologi).

b. Analisis Data

Pengolahan data hasil analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis vegetasi yang ada di kawasan tersebut. Struktur tegakan dapat diketahui dengan distribusi jumlah pohon berdasarkan kelas diameter (Indriyanto 2008). Analisis data yang dilakukan dengan membuat tabel distribusi frekuensi berdasarkan selang kelas diameter dan kurva eksponensial dengan menggunakan Ms Excel. Komposisi jenis dapat diketahui dengan melakukan analisis data meliputi menghitung nilai Kerapatan Jenis (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (D), dan Dominansi Relatif (DR) dengan rumus sebagai berikut:

b c d

b c d

100 m a

a 20 m

20

m

(20)

Jumlah individu suatu jenis

Kerapatan Jenis (K) = individu/ha Luas plot pengamatan

Kerapatan suatu jenis

Kerapatan Relatif (KR) = x 100% Kerapatan seluruh jenis

Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Frekuensi Jenis (F) =

Jumlah total plot pengamatan

Frekuensi suatu jenis

Frekuensi Relatif (FR) = x 100% Frekuensi seluruh jenis

Luas bidang dasar suatu jenis

Dominansi Jenis (D) = m2/ha Luas plot pengamatan

Dominasi suatu jenis

Dominansi Relatif (DR) = x 100%

Dominasi seluruh jenis Indeks Nilai Penting (INP)

INP Semai = KR + FR

INP Pancang, Tiang, Pohon = KR + FR + DR Nilai Keanekaragaman Jenis (H’)

Nilai keanekaragaman jenis tumbuhan dapat diketahui dengan rumus Indeks Shannon dan Wiener (1949) dalam Maguran (1988), sebagai berikut:

H ∑pi

S

i 1

ln (pi) a a pi nNi nin i s i 1 Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman jenis N = Total INP

ni = INP jenis ke-i, dan Nilai Kekayaan Jenis (Dmg)

Nilai kekayaan dapat diketahui dari jumlah spesies yang ditemukan pada setiap tipe ekosistem, dengan rumus sebagai berikut (Hilwan et al. 2013):

Dmg ln NS 1

Keterangan :

Dmg =Indeks kekayaan jenis

(21)

Nilai kemeratan jenis (E)

Tingkat kemerataan jenis tumbuhan pada seluruh petak contoh pengamatan akan digunakan pendekatan Indeks Kemerataan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Hilwan et al. 2013):

E H’ / ln(S) Keterangan:

E’ = Indeks kemerataan jenis

H’ = Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan S = Jumlah jenis

Indeks Dominansi Jenis (ID)

Nilai indeks ini digunakan untuk melihat dominansi suatu jenis dari seluruh nilai INP yang diperoleh, dengan rumus sebagai berikut (Hilwan et al. 2013):

ID ∑n (niN i 0 )

2

Keterangan :

ID = Indeks dominansi ni = INP jenis i N = Total INP

Indeks Kesamaan Komunitas (IS)

Indeks ini digunakan untuk melihat kesamaan suatu komunitas yang ditemukan di beberapa tutupan vegetasi yang diamati, rumus yang digunakan sebagai berikut (Indriyanto 2006):

IS a b2 x 100

Keterangan :

IS = Indeks kesamaan komunitas

W = Jumlah nilai yang sama atau nilai terendah dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan

a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada komunitas pertama

b = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada komunitas kedua

Frekuensi Raunkaier

Hukum Frekuensi Raunkaier digunakan untuk melihat penyebaran jenis dalam komunitas, yang diklasifikasikan kedalam lima kelas terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Sebaran komunitas menurut Hukum Frekuensi Raunkaier Klasifikasi Jumlah jenis dengan frekuensi

A 1 – 20%

B 21 – 40%

C 41 – 60%

D 61 – 80%

E 81 – 100%

(22)

Komunitas hutan alam terdistribusi secara normal apabila : A > B > C > D < E; atau

A > B > C = D < E; atau A > B > C < D < E

Berdasarkan huruf yang ditunjukkan, dapat diketahui kondisi penyebaran jenis dalam suatu komunitas, dengan kriteria sebagai berikut:

a) Komunitas tergolong homogen, apabila E > D b) Komunitas tergolong terganggu, apabila E < D c) Komunitas tergolong buatan, apabila A, E tinggi d) Komunitas tergolong heterogen, apabila B, C, D tinggi Hubungan Kedekatan antara Tingkat Permudaan

Hubungan kedekatan antara tingkat permudaan dapat diketahui melalui dua metode yaitu:

a. Analisis Kluster

Analisis kluster atau disebut juga analisis gerombol digunakan dalam menggelompokkan objek pengamatan berdasarkan kesamaan yang dimiliki. Prinsip yang diterapkan dalam analisis ini adalah ukuran kedekatan atau kemiripan berdasarkan jarak euclidean (euclidean distance) dari setiap individu penyusun komposisi suatu ekosistem yang disajikan dalam bentuk dendrogram dengan menggunakan software Minitab (Andini 2013).

b. Ordinansi Principal Components Analysis

Principal Components Analysis (PCA) adalah salah satu metode ordinasi yang digunakan dalam ilmu ekologi. Prinsip PCA adalah menyederhanakan matriks yang kompleks kedalam suatu komponen sumbu orthogonal, menerjemahkan nilai eigen dari varibel nilai yang tercatat dan dapat diterapkan untuk matriks yang menggunakan jarak euclidean. Metode ini merupakan teknik statistik yang secara linear mengubah bentuk sekumpulan variabel asli menjadi variabel yang lebih kecil yang tidak berkorelasi yang dapat mewakili informasi dari kumpulan variabel asli dan untuk menemukan variabel mana dalam kumpulan tersebut yang berhubungan dengan lainnya (Ludwig dan Reynolds 1988). Data yang digunakan dalam analisis ini berupa data hasil perhitungan Indeks Similarity (IS) antar tingkat permudaan pada setiap tipologi, yang disajikan dalam bentuk loading plot dan scree plot atau keduanya (biplot) dengan menggunakan software minitab.

Teknik dan Jenis Prioritas Restorasi

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kondisi fisik wilayah

Kondisi fisik di area restorasi Hutan Harapan wilayah Sumatera Selatan diklasifikasikan berdasarkan kondisi tutupan vegetasi, yaitu: Hutan lahan kering sekunder, belukar tua, belukar muda dan semak, tanah terbuka, awan. Klasifikasi tersebut didasarkan dari hasil interpretasi Citra Landsat tahun 2015 yang disahkan oleh Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Surat Nomor : S.410/IPSDH-2/2015 tanggal 10 Desember 2015. Klasifikasi tersebut dikenal dengan istilah tipologi. Luasan masing-masing tipologi yang terdapat pada areal konsesi PT REKI khusus wilayah Sumatera Selatan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran tipologi tutupan vegetasi di area restorasi Hutan Harapan

wilayah Sumatera Selatan

No. Penutupan Lahan Luas area (ha)

HP HPT Total %

1 Hutan lahan kering sekunder 18 015 7 076 25 091 77.79

2 Belukar tua 1 739 3 657 5 396 16.73

3 Belukar muda dan semak 474 109 583 1.81

4 Tahan terbuka 105 36 141 0.44

5 Awan 830 212 1 042 3.23

Jumlah 21 163 11 090 32 253 100.00

Tabel 3 menunjukkan bahwa hutan lahan kering sekunder merupakan tipologi terluas, sedangkan tanah terbuka tergolong dalam luasan tersempit dengan kondisi sebagain besar eks HT akasia. Kondisi topografi di area sumsel 89% tergolong datar (kemiringan lereng antara 0-8%) dan sekitar 11% bertopografi landai (kemiringan lereng antara 8-15%) (REKI 2016). Hasil pengamatan lapang (ground check) menunjukkan bahwa pada tipologi lahan terbuka yang dipilih sebagai lokasi pengambilan data sudah bukan merupakan lahan terbuka akan tetapi dominan ditumbuhi oleh jenis Acacia mangium. Oleh karena itu, peneliti mengganti nama tipologi tanah terbuka tersebut menjadi bekas hutan tanaman akasia (eks HT akasia).

Kondisi geologis dan klimatis

Hutan Harapan memiliki formasi geologi utama (air benakat, kasai, muaraenim) dan termasuk aluvial (8%), latosol (24%), planosol (33%) dan podsolik (35%). Jenis tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis tanah di lokasi penelitian

No. Tipologi Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3

1 Hutan sekunder Planosol podsolik merah

kuning planosol

(24)

No. Tipologi Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 3 Belukar muda podsolik merah

kuning

podsolik merah

kuning planosol

4 Eks HT akasia podsolik merah kuning

podsolik merah kuning

podsolik merah kuning

Tabel 4 menunjukkan bahwa lokasi penelitian didominasi oleh jenis tanah planosol dan podsolik merah kuning. Tanah podsolik merah kuning dan planosol merupakan jenis tanah yang ada di wilayah Indonesia. Tanah podsolik merah kuning menurut klasifikasi USDA merupakan tanah ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah yang memiliki ciri-ciri morfologi berupa peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon bawah yang dikenal sebagai horizon argilik, kejenuhan basa < 35%, bersifat masam (pH 3–5), kejenuhan Al yang tinggi (0-16%), jenis tanah yang miskin hara, dan peka terhadap erosi (Prasetyo dan Suriadikarta 2006). Kemudian nama lain dari tanah planosol adalah tanah Inceptisol, jenis ini dicirikan dengan adanya horisol albik yang terletak diatas horison argilik atau natrik, perubahan tekstur nyata, adanya liat berat atau fragipan di dalam kedalam 125 cm, memiliki pH 4–6, dan kandungan hara tanah tergolong rendah (Arfiandi et al. 2015).

Kondisi klimatis di Hutan Harapan wilayah Sumatera Selatan menurut data Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika stasiun klimatologi klas I kenten Palembang lokasi Sekayu tahun 1995–2014 menunjukkan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 2617 mm/tahun. Curah hujan tertinggi rata-rata terjadi pada bulan November (328 mm/bulan), Desember (318 mm/bulan), dan Januari (300 mm/bulan), sedangkan terendah terjadi pada bulan Juli (101 mm/bulan), Agustus (107 mm/bulan), September (126 mm/bulan). Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson, lokasi penelitian termasuk tipe iklim A (sangat basah) dengan pola distribusi hujan basah sepanjang tahun dengan nilai Q = 0 (tanpa bulan kering). Nilai Q merupakan perbandingan antara jumlah rata-rata bulan kering (< 60 mm) dan jumlah rata-rata bulan basah (> 100 mm) (REKI 2016).

Hasil dan Pembahasan

Kondisi Tipologi berdasarkan Citra

a. Identifikasi tipologi

Kondisi tipologi dapat diketahui dengan analisis Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Hasil citra Wen (2010) menyatakan bahwa kerusakan hutan dapat ditentukan menggunakan indeks vegetasi, salah satunya adalah NDVI atau indeks vegetasi. Indeks vegetasi merupakan salah satu cara yang efektif dan sederhana untuk mengidentifikasi kondisi vegetasi di suatu wilayah. Indeks vegetasi ini merupakan sebuah transformasi dari penajaman citra pada band spektral. Nilai indeks vegetasi diperoleh dari rasio antara pantulan yang terukur dari band merah (R) dan band infra-merah (didekati oleh band NIR). Penggunaan kedua band ini banyak dipilih sebagai parameter indeks vegetasi karena hasil ukuran dari band ini dipengaruhi oleh penyerapan klorofil, kepekaan terhadap biomassa vegetasi, serta mempermudah dalam membedakan antara lahan bervegetasi, lahan terbuka, dan air. Nilai indeks vegetasi ini berkisar antara -1 hingga +1 (Danoedoro dan Projo 1996).

(25)

Hasil analisis NDVI yang dilakukan sesuai dengan pernyataan Iskandar et al. (2012) yang menyatakan bahwa nilai indeks ini berbanding lurus dengan tingkat kerapatan vegetasi di suatu wilayah. Hasil analisis yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Grafik hubungan persamaan regresi linear antara NDVI dengan kerapatan pohon (N/ha).

Gambar 3 menunjukkan hubungan persamaan yang terbentuk yaitu y = 425.46x -136.35, dimana y merupakan nilai kerapatan (N/ha) dan x merupakan nilai NDVI. Nilai determinasi dihasilkan sebesar 0.89 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat diantara dua variabel tersebut. Oleh karena itu, persamaan tersebut digunakan sebagai acuan menghitung persentase perubahan kerapatan pohon (N/ha) pada tahun 2008 lihat Tabel 5.

Tabel 5 Dugaan persentase perubahan kerapatan pohon pada tahun 2008 dan 2016 di beberapa tipologi berdasarkan nilai NDVI

Tipologi NDVI Kerapatan (N/ha)

2008 2016 2008 2016 %perubahan

Hutan sekunder 0.63 0.73 136 206 51.47

Belukar tua 0.62 0.69 126 120 -4.76

Belukar muda 0.61 0.42 123 45 -63.41

Eks HT akasia 0.49 0.35 59 5 -91.53

Keterangan : (-) = berkurang, (+) = bertambah

Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar nilai persentase perubahan vegetasi di lokasi penelitian secara signifikan mengalami penurunan. Nilai ini tentunya sangat bertolak belakang dengan hasil ground check lapangan, dimana berdasarkan tabel tersebut 91% kerapatan tahun 2008 lebih rapat dibandingkan tahun 2016, sedangkan hasil analisis citra tahun 2007 menunjukkan bahwa lokasi eks HT akasia ini termasuk kedalam 0.27% dari areal yang tergolong dalam tipologi lahan terbuka. Oleh karena itu, peneliti menganalisis kembali persamaan yang terbentuk dengan membangun persamaan baru dari 2/3 data dan 1/3 data untuk menguji keakuratan suatu persamaan. Hasil yang diperoleh menunjukkan persamaan y = 337.89x - 101.98 (R2 = 0.59), dengan nilai standar deviasi sebesar 0.18. Nilai standar deviasi tersebut menunjukkan jarak setiap unit data dengan nilai rata-rata tergolong dekat sehingga data yang dipakai cukup representatif

y = 425.46x - 136.35 R² = 0.8935

0 50 100 150 200 250

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80

Kerapatan (N/ha)

(26)

untuk membangun persamaan. Akan tetapi, persamaan tersebut tidak dapat digunakan untuk menduga nilai kerapatan tegakan pada tahun 2008, karena terdapat beberapa nilai NDVI tahun 2008 yang merupakan data pencilan atas dan bawah yang sangat berpengaruh terhadap keakuratan data.

Kondisi Tipologi Hasil Analisis Vegetasi

a. Struktur tegakan

Hutan hujan tropis disebut hutan heterogen tidak seumur (uneven-aged forest) dikarenakan setiap tapaknya memiliki komposisi jenis yang heterogen dengan struktur tegakan yang beragam. Struktur tegakan menunjukkan ketersediaan tegakan pada setiap kelas diameter (Muhdin et al. 2008). Hasil analisis mengenai struktur tegakan di plot penelitian terlihat pada Gambar 4.

y = 152.22e-0.69x belukar muda=BM, belukar tua=BT, hutan sekunder=HS pada tingkat pohon. Angka dibelakang huruf menunjukkan urutan lokasi.

(27)

Gambar 4 menunjukkan kurva eksponensial yang menggambarkan struktur horizontal di beberapa tipologi. Tipologi hutan sekunder (lokasi pertama dan kedua), dan belukar tua (lokasi kedua), dan belukar muda lokasi ketiga menunjukkan kurva eksponensial negatif dengan nilai determinasi (R2) yang lebih dari 0.5. Nilai determinasi tertinggi berada pada tipologi hutan sekunder di lokasi kedua (R2 = 0.98), dan belukar tua di lokasi pertama (R2 = 0.97). Kedua tipologi di lokasi tersebut mengindikasikan kondisi tegakan yang produktif, yang ditandai dengan kehadiran pohon berdiamater 40up, selain itu ketersediaan tegakan yang tinggi pada pohon kelas diameter kecil menjamin kelangsungan tegakan dimasa mendatang apabila terjadi kerusakan pada pohon kelas diameter besar (Suwardi et al. 2013).

Nilai determinasi lebih besar dari 0.95 menunjukkan bahwa kontribusi nilai kelas diameter terhadap variasi (naik turunnya) nilai kerapatan di dua lokasi tersebut sebesar lebih dari 95%, sedangkan sisanya kurang dari 5% disebabkan oleh faktor lain (Supranto 2009). Tipologi eks HT akasia yang diteliti tidak dapat dibuat persamaan ekponensial karena jumlah pohon yang ditemukan hanya satu jenis yaitu A.mangium. Struktur vertikal suatu tegakan dapat diketahui dari hubungan kerapatan dengan stratifikasi tajuk dan tingkat permudaan. Stratifikasi tajuk di plot penelitian disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Nilai kerapatan berdasarkan stratifikasi tajuk (N/ha) Tipologi

Stratifikasi tajuk

A (>30 m) B (20-30 m) C (4-20 m) D (1-4 m) E (0-1 m)

Hutan sekunder 30 120 688 4 640 65 500

Belukar tua 8 60 438 5 008 56 250

Belukar muda 0 15 188 2 280 15 750

Eks HT akasia 0 0 5 1 160 3 827 750

Tabel 6 menunjukkan bahwa semua tipologi yang diamati menunjukkan bahwa nilai kerapatan tertinggi terdapat pada stratum E. Stratum E ini dominannya merupakan jenis permudaan tingkat semai. Stratifikasi A-C lebih banyak ditemukan di tipologi Hutan sekunder. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tipologi hutan sekunder terdapat pohon-pohon yang lapisan teratasnya mengalahkan atau menguasai pohon-pohon lebih rendah, yang menjadi penciri dari komunitas yang bersangkutan (Soerianegara dan Indrawan 2014). Maribungan (Callerya atropurpurea) adalah jenis dari famili Fabaceae yang memiliki tajuk tertinggi 41 m di tipologi tersebut. Selain itu, adanya kekosongan atau gap pada stratifikasi A dan B di tipologi belukar muda dan bekas hutan tanaman akasia mengindikasikan bahwa di kedua tipologi tersebut menggalami gangguan.

(28)

Gambar 5 menunjukkan kurva J terbalik yang terbentuk di semua tipologi. Kurva tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan berada dalam kondisi yang seimbang dimana, tingkat pemudaan tersedia dalam jumlah yang cukup (tingkat semai>tingkat pancang>tingkat tiang>tingkat pohon) dan mengindikasikan bahwa proses regenerasi sedang berlangsung (Dendang et al. 2015). Kemudian pada semua tingkat permudaan, tipologi hutan sekunder memiliki nilai kerapatan tertinggi, sedangkan terendah terdapat pada tipologi eks HT akasia. Hal ini diduga karena adanya faktor lingkungan terutama faktor cahaya yang memengaruhi pertumbuhan suatu vegetasi, dimana pada kondisi cahaya penuh, jenis yang tumbuh adalah jenis semai yang intoleran terhadap naungan sedangkan pada saat kanopi mulai terbentuk, vegetasi tumbuh ke tahap dewasa merupakan jenis toleran dan semi toleran terhadap naungan sehingga jumlah jenis yang tumbuh akan lebih banyak dan beragam ketika tutupan kanopi sudah terbentuk (Whitemore 1998). b. Komposisi jenis

Lokasi penelitian yang diambil mempunyai karakteristik berbeda. Karakteristik yang berbeda pada setiap tipologi tentunya akan menciptakan susunan komposisi jenis yang berbeda. Peneliti melakukan klasifikasi jenis antara spesies pionir dan klimaks yang mengacu pada Ghazoul dan Sheil (2009). Komposisi jenis pionir dan klimaks di lokasi penelitian terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Rata-rata komposisi jenis pionir dan klimaks di beberapa tipologi Permudaan

Tipologi

Jumlah jenis Jumlah individu klimaks Pionir

%

klimaks klimaks pionir

% Hutan sekunder 65500 4640 620 206

Belukar tua 56250 4880 450 120

Belukar muda 15251 2280 160 45

Eks HT akasia 27789 1680 40 5

0

(29)

Permudaan

Tipologi

Jumlah jenis Jumlah individu klimaks Pionir

%

klimaks klimaks pionir

% klimaks

Pancang

Hutan sekunder 33 3 93 54 4 93

Belukar tua 27 5 84 43 18 70

Belukar muda 5 4 53 8 21 26

Eks HT akasia 0 2 0 0 15 0

Tiang

Hutan sekunder 21 1 95 30 2 95

Belukar tua 11 5 69 13 10 58

Belukar muda 4 3 62 5 3 63

Eks HT akasia 0 1 0 0 2 0

Pohon

Hutan sekunder 29 3 92 39 3 93

Belukar tua 15 3 81 18 6 75

Belukar muda 5 4 59 5 4 56

Eks HT akasia 0 1 0 1 1 50

Tabel 7 menunjukkan rata-rata jumlah jenis dan jumlah individu antara pionir dan klimaks berbanding terbalik pada setiap tipologi yang diamati. Jumlah jenis klimaks mengalami penurunan seiring dengan keterbukaan tutupan vegetasi, sedangkan jenis pionir mengalami peningkatan seiring dengan keterbukaan tutupan vegetasi. Hal ini diduga karena pada kondisi ekosistem yang seimbang tumbuhan klimaks akan tumbuh secara normal dan tidak ada pergantian skala besar pada distribusi komunitas dan karakter spesies seperti biomassa, toleransi naungan, dan kerapatan kayu (Ghazoul dan Sheil 2009). Akan tetapi, pada tingkat semai di tipologi hutan sekunder jumlah individu jenis pionir lebih besar meskipun jumlah jenis klimaks lebih besar jika dibandingkan dengan jenis pionir. Hal ini dikarenakan pada tipologi tersebut ditemukan jenis Stachyphrynium repens di lokasi ketiga dengan jumlah individu sebanyak 1 350 individu. Artijani et al. (2006) menyatakan bahwa jenis ini merupakan jenis yang tumbuh di hutan sekunder dan biasanya pada kondisi terbuka dan mengalami ganguan.

Jenis klimaks yang mendominasi di tipologi hutan sekunder dari tingkat semai s/d pohon meliputi merpayang (Scaphium macropodum), asam-asam (Baccaurea racemosa), bebras (Aporosa elmeri), darah-darah (Knema latifolia), renai (Antidesma montanum), kelat putih (Syzygium longiflorum), kemenyan (Styrax benzoin), rambutan (Nephelium cuspidatum), kayu gading (Hydnocarpus polypetala), kayu biayawak (Polyalthia rumphii), siluk (Gironniera hirta), medang telur (Alseodaphne malabonga), bidang (Artocarpus kemando), kempas (Koompassia malaccensis), sigam (Polyalthia beccarii), kayu kuning (Santiria griffithii), dan kelat merah (Syzygium laxiflorum). Komposisi jenis berdasarkan jumlah spesies dan famili yang ditemukan di semua tingkat permudaan pada beberapa tipologi terlihat pada Gambar 6.

(30)

Gambar 6 Perbandingan jumah spesies dan famili berdasarkan tingkat permudaan. Gambar 6 menunjukkan bahwa hutan sekunder memiliki jumlah spesies dan famili terbesar pada semua tingkat permudaan terkecuali untuk jumlah spesies pada tingkat tiang. Hal ini dikarenakan pada tipologi hutan sekunder, khususnya di lokasi tiga atau HS3 terdapat banyak liana berkayu. Kemudian jumlah spesies dan famili terkecil pada semua tingkat permudaan berada di tipologi eks HT akasia. Hal ini diduga karena adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi kemampuan adaptasi dari suatu tingkat permudaan, terutama di lokasi eks HT akasia yang merupakan area bekas kebakaran dengan tingkat keparahan berat yang sedikit ditemukan permudaan pohon komersial, banyak pohon mati berdiri dan terdapat banyak komunitas ilalang (Darwiati dan Tuhateru 2010). Famili yang ditemukan sebagian besar hanya diwakili 1 spesies, famili yang memiliki jumlah

spesies relatif banyak ( ≥ 1 spesies ) dapat terlihat pada Gambar 7.

42

semai pancang tiang pohon semai pancang tiang pohon

spesies famili

Jumlah

Hutan sekunder Belukar tua Belukar muda Eks Ht akasia

0 2 4 6 8

Hutan sekunder Belukar tua Belukar muda Eks HT akasia

Jumlah spesies

Hutan sekunder Belukar tua Belukar muda Eks HT akasia

(31)

Gambar 7 Sebaran famili berdasarkan tingkat permudaan; A)semai, B)pancang, C)tiang, D)pohon di berbagai tipologi.

Gambar 7 menunjukkan bahwa di lokasi hutan sekunder hampir di seluruh tingkat permudaan ditemukan tiga famili yang umumnya ditemukan di hutan alam dengan jumlah yang sangat berlimpah. Tiga famili tersebut yaitu Annonaceae, Euphorbiaceae, dan Rubiaceae (De Kok et al.2015). Satu dari tiga Famili tersebut ditemukan di seluruh lokasi penelitian dan di seluruh tingkat permudaan. Famili yang dimaksud adalah Euporbiaceae, famili ini merupakan salah satu famili yang banyak ditemukan pada tipe hutan hujan dataran rendah dengan keragaman jenis yang tinggi. Spesies dari famili Euphorbiaceae yang ditemukan di lokasi penelitian terlampir pada lampiran 4. Salah satu jenis dari famili tersebut yang selalu hadir di berbagai tingkat permudaan adalah Bacaurea racemosa atau menteng/kepundung/bencoy. Jenis ini termasuk jenis klimaks yang toleran (tahan naungan), jenis tanaman budidaya yang dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000 mdpl pada hampir semua tipe dan jenis tanah (Siregar 2005). c. Indeks Nilai Penting (INP)

Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat diketahui dari besar kecilnya Indeks Nilai Penting, dimana semakin tinggi INP yang dimiliki maka jenis tersebut semakin mendominasi. Suatu jenis mendominasi dalam suatu komunitas diduga karena jenis tersebut memiliki daya kesesuaian dengan lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis yang lain. Hasil analisis yang diperoleh terlihat pada Tabel 8.

0 2 4 6

Hutan sekunder Belukar tua Belukar muda Eks HT akasia

Jumlah spesies

Tipologi

Annonaceae Arecaceae

Burseraceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Fabaceae

Lauraceae Malvaceae

Melastomataceae Myristicaceae

Myrtaceae Rubiaceae

0 2 4 6

Hutan sekunder Belukar tua Belukar muda Eks HT akasia

Tipologi

Annonaceae Arecaceae

Burseraceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Fabaceae

Fagaceae Lauraceae

Melastomataceae Myristicaceae

Myrtaceae Rubiaceae

C)

(32)

Tabel 8 Indeks Nilai Penting berdasarkan tingkat permudaan di beberapa tipologi

(33)

Kemudian pada tingkat pancang jenis dari famili Poaceae mendominasi di eks HT akasia dan belukar muda. Hal ini diduga karena kondisi lahan yang cukup berlereng, berdrainase baik dan termasuk dalam jenis tanah podsolik merah kuning sehingga secara topografi dan geologis jenis Gigantochloa dan Dendrocalamus tumbuh baik di lokasi tersebut (Peran 2008), sedangkan pada lokasi pertama di tipologi eks HT akasia jenis akasia mendominasi diduga karena jenis tersebut merupakan jenis yang mempunyai kemampuan regenerasi alami di lahan bekas terganggu dan sangat intoleran terhadap naungan (Krisnawati et al. 2011).

Famili Euphorbiaceae mendominasi di belukar tua dan hutan sekunder karena pada umumnya pada hutan dataran rendah Sumatera banyak ditemui jenis dari famili tersebut. Salah satu dari famili tersebut berpontensi sebagai tanaman obat yaitu C.argyratus yang bagian daunnya dapat dimanfaatkan sebagai obat sakit gigi (Hidayat dan Hardiansyah 2012). Kemudian pada lokasi kedua di hutan sekunder terdapat jenis eksotik (De Kok et al. 2015) yang menginvasi yaitu B.pentamera. Penyebaran jenis ini dibantu oleh satwa dengan memakan buah yang dihasilkan. Selanjutnya pada tingkat permudaan tiang dan pohon jenis pionir hanya mendominasi di eks HT akasia, sedangkan tipologi lainnya didominasi oleh jenis klimaks. Hal ini diduga karena kondisi eks HT akasia dan dalam keadaan kondisi lahan yang terdegradasi sehingga jenis pionir tumbuh dan memegang peran untuk mengembalikan kondisi yang menunjang untuk pertumbuhan jenis klimaks (Mindwanti et al. 2010).

Hasil perhitungan INP di seluruh tingkat permudaan yang memiliki nilai INP yang lebih dari 10% mengindikasikan bahwa terdapat jenis dominan yang memanfaatkan kondisi lingkungan secara optimal dan efisien sehingga ketahanan dan pertumbuhan dari jenis tersebut lebih stabil dibandingkan jenis yang lain (Mawazin dan Subiakto 2013). Jenis-jenis dominan tersebut menjadi penciri kondisi ekosistem, pada tipologi eks HT akasia vegetasi alang-alang (I.cylindrica) dan semak-semak kecil (A.conyzoides) mendominasi di lokasi tersebut.

Hal ini menunjukkan proses suksesi pada areal terganggu diawali dengan pertumbuhan jenis rerumputan. Kemudian muncul belukar dan herba dari famili Melastomataceae (C.hirta) dan Polypodiaceae (P.polydactyla) yang ditemukan pada tipologi belukar muda. Selanjutnya akan tumbuh pohon hutan sekunder seperti jenis pioneer Macaranga (adapun jenis Dillenia yang ditemukan akan tetapi tidak mendominasi), Baccaurea yang ditemukan pada tipologi belukar tua. Terakhir, akan tumbuh jenis-jenis Dipterocarpaceae (salah satunya Shorea sp.) yang ditemukan pada tipologi hutan sekunder tua (Soerianegara dan Indrawan 2014). Dominansi jenis di belukar tua dan hutan sekunder yang tidak sesuai dengan Soerianegara dan Indrawan (2014) diduga karena proses suksesi yang belum mencapai klimaks dimana tegakan masih didominasi oleh jenis-jenis yang intoleran (tidak tahan naungan).

d. Nilai indeks keanekaragaman (H’), kekayaan (DMg), kemerataan (E), dominansi (ID)

(34)

Kemudian nilai kekayaan jenis juga memiliki beberapa tingkatan yaitu: rendah (Dmg<3.5), sedang (Dmg=3.5 – 5.00), tinggi (Dmg>3.5). Selanjutnya nilai kemerataan dikategorikan dalam tingkat rendah jika nilai E kurang dari 0.3, sedang jika nilai E diantara 0.3 – 0.6, dan tinggi jika nilai E lebih dari 0.6. Terakhir nilai dominansi apabila mendekati atau sama dengan satu dikateggorikan sebagai nilai yang tinggi. Hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman, kekayaan, kemerataan dan dominasi di beberapa tipologi disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Nilai indeks keanekaragaman (H’), kekayaan (DMg), kemerataan (E),

dominansi (ID) tingkat permudaan pada setiap tipologi hutan

Tipologi H’ DMg E’ ID

Semai

Hutan sekunder 3.494T 10.954 T 0.937 T 0.474 S

Belukar tua 3.158T 9.147 T 0.903 T 0.067 R

Belukar muda 2.684 S 5.958 T 0.931 T 0.075 R

Eks HT akasia 2.251 S 6.113 T 0.764 T 0.181 R

Pancang

Hutan sekunder 3.425 T 9.605 T 0.971 T 0.038 R

Belukar tua 3.201 T 8.794 T 0.936 T 0.058 R

Belukar muda 1.784 R 3.504 S 0.833 T 0.244 R

Eks HT akasia 1.495 R 2.485 R 0.929 T 0.244 R

Tiang

Hutan sekunder 3.010 T 6.675 T 0.983 T 0.052 R

Belukar tua 2.676 S 8.919 T 0.966 T 0.077 R

Belukar muda 1.813 R 2.926 R 0.984 T 0.172 R

Eks HT akasia 0.000 R 0.000 R 0.000 R 1.000 T

Pohon

Hutan sekunder 3.409 T 8.939 T 0.985 T 0.036 R

Belukar tua 2.805 S 5.869 T 0.976 T 0.066 R

Belukar muda 2.067 S 3.480 S 0.986 T 0.137 R

Eks HT akasia 0.000 R 0.000 R 0.000 R 1.000 T

Keterangan: R (rendah), S (sedang), T (tinggi)

(35)

Nilai keragaman yang tinggi menunjukkan bahwa ekosistem hutan sekunder merupakan ekosistem yang stabil terhadap gangguan. Kemudian nilai ID berbanding terbalik dengan tiga nilai lainnya, dimana terendah terdapat pada tipologi hutan sekunder dan tertinggi pada eks HT akasia. Hal ini diduga karena pada tipologi eks HT akasia khususnya tingkat pohon terjadi penguasaan oleh jenis A.mangium (Indriyanto 2006), dan pada tipologi tersebut ekosisitemnya telah terdegradasi yang mengakibatkan penurunan komposisi spesies, keanekaragaman hayati dan juga produktivitas hutan (Ng et al. 2009).

e. Penyebaran jenis dalam komunitas

Hukum Frekuensi Rauinkaier digunakan untuk mengetahui kondisi suatu komunitas dan penyebaran jenis dalam komunitas. Hasil analisis mengenai frekuensi Raunkaier di lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 menunjukkan bahwa kelas Frekuensi Raunkaier A>B>C=D=E yang berarti semua tipologi berdasarkan sebaran jenisnya tidak tersebar secara normal dan dominan nilai A yang tinggi mengindikasikan di seluruh tipologi mengalami gangguan. Oleh karena itu, dilakukan analisis lanjut secara kluster untuk mengetahui hubungan antar tingkat permudaan.

Hubungan kedekatan antar tingkat permudaan

a. Analisis kluster (Cluster analysis)

Analisis kluster bersinomin dengan arti klasifikasi, akan tetapi biasanya mengacu pada klasifikasi algoritma. Objek dari analisis ini bersifat grafik yang menunjukkan hubungan antara kluster yang terbentuk dan point data yang digunakan. Tujuan dari analisis ini menghasilkan dendrogram yang menggambarkan hubungan hirarki antar kluster yang terbentuk (Chahouki 2012). Data analisis yang digunakan merupakan nilai IS pada tingkat permudaan di beberapa tipologi yang diteliti. Pengelompokkan atau clustering ini didasarkan pada euclidean distance untuk mengetahui hubungan asosiasi dari variabel yang diobservasi (Zuur et al. 2007). Hasil analisis kluster di lokasi penelitian terlihat pada Gambar 9.

Gambar 8 Distribusi jenis pohon di beberapa tipologi berdasarkan kelas Frekuensi Raunkaier.

25

17

7

1 5

2

0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 10 15 20 25 30

Hutan sekunder Belukar tua Belukar muda Eks HT akasia

Jum

lah

Tipologi

(36)

Gambar 9 menunjukkan bahwa hubungan antar tingkat permudaan di beberapa tipologi tergolong sama. Hubungan kedekatan yang terbentuk dapat diketahui dari besar kecilnya jarak euclidean, dengan menggunakan nilai dari pautan tunggal (single lingkage). Nilai tersebut mengukur jarak terdekat dalam pengelompokkan objek pada suatu kluster, dimana semakin kecil jarak yang terbentuk maka semakin erat hubungan yang terjalin. Rata-rata jarak yang digunakan sebesar 1.73, berdasarkan jarak tersebut terlihat bahwa antara tipologi hutan sekunder dengan tipologi lainnya memiliki hubungan yang tidak dekat. Hal ini diduga karena komposisi penyusun antara tipologi hutan sekunder dengan tipologi lainnya sangat berbeda, sehingga mempengaruhi nilai kesamaan yang dihasilkan.

b. Prinsipal Component Analysis

Prinsipal Component Analysis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan kedekatan antar tingkat permudaan dikhususkan pada hubungan nilai kesamaan (indeks similiarty) antara tingkat semai dengan pohon. Hal ini diduga karena proses regenerasi suatu vegetasi didukung oleh keberadaan permudaan khususnya pada tingkat semai. Hasil analisis mengenai hubungan kedekatan antar semai dan pohon di beberapa tipologi disajikan pada Gambar 10.

Gambar 9 Hasil analisis kluster pada antar tingkat permudaan; a)semai, b)pancang, c)tiang, d)pohon di beberapa tipologi.

(37)

Gambar 10 menunjukan gambar titik semai dengan pohon di beberapa tipologi, dimana semakin dekat titik yang digambarkan maka mengindikasikan adanya hubungan. Selain itu tipologi eks HT akasia mengelompok dalam kuadran 3 yang terpisah dengan tipologi lainnnya, kemudian tipologi belukar muda dan belukar tua mengelompok dalam kuadran yang sama (kuadran 1), selanjutnya terdapat tipologi lahan belukar tua lokasi ketiga yang mengelompok dengan tipologi hutan sekunder pada kuadran 4, hal ini mengindikasikan bahwa belukar tua lokasi ketiga cenderung memiliki kesamaan jenis yang cukup tinggi dengan tipologi hutan sekunder. Keeratan hubungan antar permudaan tersebut dapat diketahui dari nilai korelasi yang terdapat pada Tabel 10.

Tabel 10 Hubungan korelasi antara semai dan pohon di beberapa tipologi

Tipologi Korelasi (r) p-value

Hutan sekunder 0.97 0.00

Belukar tua 0.95 0.00

Belukar muda 0.98 0.00

Eks HT akasia 0.84 0.00

Tabel 10 menunjukkan bahwa hubungan korelasi di semua tipologi (terkecuali tipologi eks HT akasia lokasi dua dan tiga) memiliki nilai korelasi yang sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan keeratan yang sangat kuat antara dua variabel di tipologi tersebut (Sudaryono et al. 2012). Hubungan keeratan yang sangat kuat antara semai dan pohon menunjukkan bahwa kemampuan regenerasi suatu jenis vegetasi sangat dipengaruhi oleh kesediaan anakan alami (salah satunya keberadaan semai) yang berperan penting dalam kelangsungan hidup individu baru dimasa yang akan datang (Moore 2008). Selain itu menurut Ewel dan Conde (1980) dalam Mawazin dan Subiakto (2013) salah satu, indikator pemulihan hutan secara lestari adalah terciptanya regenerasi

2

(38)

permudaan alam yang dicirikan pertumbuhan permudaan alam dan ketahanan keanekaragaman jenisnya.

Tingkat Kerusakan berdasarkan Analisis Vegetasi

Hasil analisis vegetasi berdasarkan citra yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, menyebutkan bahwa persamaan yang terbentuk tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat kerusakan. Oleh karena itu, peneliti menggunakan data analisis vegetasi dari hasil pengamatan lapang (ground check) untuk menghitung persen tutupan vegetasi sebagai acuan dalam mengklasifikasi tingkat kerusakan yang terjadi di lokasi penelitian (lihat Tabel 11).

Tabel 11 Persentase tutupan vegetasi terhadap hutan sekunder berdasarkan nilai kerapatan dan luas bidang dasar.

Tipologi Kerapatan (N/ha) Persentase tutupan

Luas bidang dasar (m2)

Persentase tutupan Hutan sekunder 206 (185 – 226 ) ±100.00* 3.025(2.69 – 3.36) ±100.00* Belukar tua 120 (100 – 140) ±58.25 1.94(1.15 – 2.73) ±64.13 Belukar muda 45 (30 – 60) ±21.84 0.63(0.54 – 0.71) ±20.66

Eks HT akasia 5 (5) ±2.43 0.18(0.35) ±5.79

Keterangan : * hutan sekunder dijadikan ekosistem referensi

Tabel 11 menunjukkan bahwa persen perubahan kerapatan berbanding lurus dengan nilai luas bidang dasar (lbds). Nilai persen tutupan vegetasi dari nilai kerapatan dan lbds menjadi landasan dalam klasifikasi tingkat kerusakan. Urutan tipologi berdasarkan tingkat kerusakan dari tinggi ke rendah meliputi: tipologi eks HT akasia dan belukar muda (tinggi), belukar tua (sedang), hutan sekunder (rendah). Hasil ini sesuai dengan dugaan Onrizal et al. (2005) yang menyatakan bahwa antara nilai kerapatan vegetasi dengan tingkat kerusakan terdapat suatu hubungan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Iskandar et al. (2012) yang menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai kerapatan vegetasi dengan tingkat kerusakan.

Tingkat kerusakan yang berbeda diduga karena gangguan dan kondisi yang berbeda (Partomihardjo 2011), dimana pada tipologi eks HT akasia disebabkan oleh kebakaran hutan dengan intensitas tinggi di tahun 2015. Kemudian pada belukar muda diduga terdapat beberapa jenis tumbuhan yang mati karena kondisi persaingan hara dan cahaya yang cukup tinggi antara tumbuhan pionir dengan jenis bambu. Selanjutnya pada belukar tua diduga karena adanya beberapa lokasi yang memiliki kondisi vegetasi hampir menyerupai tipologi hutan sekunder yang ditandai dengan kelimpahan jenis klimaks yang hampir menyeluruh. Terakhir pada hutan sekunder kondisi persaingan lebih stabil dimana pada fase ini jenis semi toleran dan toleran mulai menempati kondisi klimaks

Tindakan pemulihan dan Jenis Prioritas

(39)

adalah untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman dan dinamika suatu ekosistem yang dituju. Upaya yang dilakukan salah satunya mereintroduksi spesies kunci (Walker dan del Moral 2003), agar struktur dan komposisi penyusun ekosistem yang direstorasi kembali seperti semula. Upaya restorasi dilakukan secara intensif untuk memicu dan mempercepat pemulihan fungsi, integritas struktur dan komposisi, serta kelestarian (ketahanan terhadap gangguan dan resiliensi) ekosistem. Mengingat kompleksnya proses-proses dan fungsi ekosistem, maka untuk dapat memperoleh kembali fungsi-fungsi tersebut harus dilakukan pemulihan pada level lanskap (Hobbs et al. 2007 dan Primack et al. 1998). Oleh karena itu, dalam menentukan teknik pemulihan yang tepat peneliti mengacu pada kondisi ekosistem (lihat Tabel 12).

Tabel 12 Penentuan teknik pemulihan berdasarkan kondisi vegetasi Kondisi

sekunder Belukar tua

Belukar

Keterangan: *sumber dari data PUP tahun 2016 (PT REKI, 2016)

(40)

belukar tua, sehingga dalam penyusunan strategi restorasi peneliti mempertimbangkan kondisi tutupan vegetasi dari tipologi hutan sekunder yang diteliti sebagai acuan ekosistem referensi. Hasil analisis citra menunjukkan bahwa tipologi eks HT akasia termasuk kedalam tipologi lahan terbuka, akan tetapi intensitas kebakaran yang tinggi menyebabkan tingkat kerusakan tergolong tinggi hal ini menyebabkan jenis alang-alang mendominasi pada tingkat semai dan akasia mendominasi pada tingkat pancang (kerapatan di lokasi pertama 480/ha, lokasi ketiga 1 780/ha). Heriansyah et al. (2007) menyatakan bahwa biomassa dan volume jenis akasia di hutan Sumatera Selatan mencapai produksi maksimal pada umur tanaman muda. Oleh karena itu, teknik pemulihan yang dilakukan adalah pemulihan fisik berupa pengendalian jenis A.mangium untuk menstimulir pertumbuhan jenis asli yang bersifat pioner, memelihara regenerasi permudaan alam yang ada di lokasi penelitian dan perlu dilakukan penanaman jenis asli yang bersifat pioner, dalam upaya mempengaruhi arah regenerasi.

Metode pengendalian jenis A.mangium yang diupayakan harus mempertahankan fungsi suatu kawasan. Salah satu metode pengendalian yang dapat dilakukan yaitu eradikasi. Eradikasi adalah pemusnahan secara mekanik/fisik dengan cara mencabut/menebang/memotong batang pada pangkal akar hingga kedalaman 10cm–100cm di bawah permukaan tanah dan kemudian membawanya keluar dari kawasan (Setyawati 2013). Hal ini akan berimplikasi terhadap aspek pembiayaan dalam pengelolaan hutan, dimana tindakan tersebut memerlukan biaya yang cukup besar, akan tetapi sangat mudah untuk diaplikasikan dan efektif dalam menghambat regenerasi dari jenis invasif tersebut (Pallewatta et al. 2003).

Tingkat kerusakan pada tipologi belukar muda tergolong tinggi diduga menyebabkan keterbukaan tajuk yang besar dan intesitas cahaya yang tinggi dan berada dekat daerah aliran sungai sehingga jumlah individu dari jenis klimaks pada semua tingkat permudaan tidak lebih dari 1 individu, dan pada tingkat pancang didominasi oleh komunitas bambu (kerapatan di lokasi pertama 1040/ha, kerapatan di lokasi kedua 1680/ha). Tindakan pemulihan yang dilakukan adalah pemulihan biotis dengan kegiatan penanaman yang bertujuan untuk pengkayaan jumlah jenis dan jumlah individu, dengan cara menanam jenis asli yang bersifat toleran/semi toleran atau jenis klimaks yang pada umumnya mampu bertahan dibawah naungan.

Gambar

Gambar 1  Kerangka pendekatan penelitian.
Tabel 1  Jenis, teknik pengumpulan, dan analisis data
Gambar 2  Bentuk petak ukur yang diamati di lapangan.
Gambar 5 menunjukkan kurva J  terbalik yang terbentuk di semua tipologi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode Penelitian: Jenis penelitian yang dilakukan adalah kuantitatif, untuk mengetahui hubungan antara lamanya bekerja sebagai penambang batu kapur dengan nilai

Dari hasil penelitian yang disajikan, dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara pengaruh bimbingan bimbingan orang tua eterhadap perkembangan

17 Find the lateral area and the surface area and volume of a right cone whose slant height is 9 ft and whose circumference at the base is 4 ft..

Langkah selanjutnya adalah menghitung interval waktu perawatan pada masing-masing mesin distribusi air yang dimiliki IPA Gunung Lipan Samarinda Seberang berdasarkan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mendalam tentang bagaimana pelaksanaan program kulliyatu tahfidz al-Qur’an dalam meningkatkan hafalan santri pondok

Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu kontak yang optimum adalah 2 jam, kapasistas adsorpsinya sebesar 6,452 g/L dan mengikuti pola isoterm adsorpsi Freundlich

Diamati serapannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum ranitidin HCl dalam HCl 0,1 N dilakukan sebanyak tiga kali, dihitung nilai recovery dan