• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia"

Copied!
261
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN

ERA DESENTRALISASI DI INDONESIA

ANTHON ANTHONNY DJARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2009

(3)

ANTHON ANTHONNY DJARI. Systems Development of Fisheries Extension on Decentralize Circumstance in Indonesia. (Under the direction of SUGENG HARI WISUDO, RUDY C TARUMINGKENG, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO and BASITA GINTING)

This research forwarded to (1) identify the kind of atributes that reflecting the fisheries extension development (2) analizing the fisheries present status in some region in Indonesia, (3) comparing the fisheries present status between east Indonesia region, middle Indonesia region and also west Indonesia region and (4) formulating policy recomendation for implementation fisheries extension develompment. Collecting data methode implemented during the field survey process, and also literature tracement as the secondary data. This study employs the multi dimensional scaling for the analizing methode as the examination of the fisheries present status, one way anova to show different status between region and prospective analysis to formulating policy recommendation. Based on the result we know that the sustainability status of fisheries extension system in decentralize circumstance majority in unsustainable condition, except on implementation dimension. The result also showed that present status of fisheries extension in some region in Indonesia isn’t different. Four strategies are structured to optimize fisheries extension development.

(4)

ANTHON ANTHONNY DJARI. Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia. Di bawah bimbingan SUGENG HARI WISUDO, RUDY C TARUMINGKENG, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO, BASITA GINTING

Secara terminologi, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengacu pada pengertian tersebut tersirat harapan bahwa dalam era desentralisasi masing-masing daerah dapat memanfaatkan sumberdaya produktif secara berkelanjutan. Sebagai negara yang memiliki potensi besar di bidang perikanan dan kelautan, tidak salah jika banyak daerah yang sangat bergantung pada sektor tersebut. Permasalahannya adalah kualitas sumberdaya manusia (SDM) sebagai motor penggerak utama masih rendah kualitasnya.

Salah satu cara yang dinilai efektif untuk meningkatkan kualitas SDM adalah penyuluhan. Berdasarkan pemikiran bahwa pendelegasian wewenang penyuluhan dari pemerintah pusat ke daerah dapat mempercepat akselerasi peningkatan kualitas SDM, maka penyuluhan perikanan termasuk urusan yang didesentralisasikan. Meskipun penyerahan kewenangan penyuluhan perikanan kepada pemerintah daerah (desentralisasi) di satu sisi memberikan manfaat langsung terhadap daerah namun disisi lain membawa persoalan terkait dengan institusionalisasi.

Melihat kompleksitas permasalahan penyuluhan era desentralisasi di Indonesia, maka dipandang perlu melakukan penelitian mengenai sistem penyuluhan perikanan di era desentralisasi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah merancang kebijakan dasar pengembangan penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia. Tujuan tersebut dicapai melalui beberapa tahap kegiatan yaitu (1) mengidentifikasi atribut/indikator yang dapat mencerminkan pengembangan sistem penyuluhan perikanan, (2) menganalisis nilai indeks pengembangan sistem penyuluhan perikanan di daerah, (3) membandingkan nilai indeks pengembangan sistem penyuluhan perikanan di wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat dan (4) memformulasikan rekomendasi kebijakan dan skenario strategi implementasi penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah

(5)

atribut pada dimensi penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan serta respon sasaran utama (sosial) masing-masing 12, 9 dan 10 atribut.

Secara umum sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia berada pada kondisi yang kurang berkelanjutan. Hal ini diindikasikan dari nilai dimensi pada masing-masing daerah yang menjadi titik sampel umumnya berada di bawah 50%. Pengecualian untuk dimensi penyelenggaraan, nilai indeks keberlanjutan di mayoritas daerah masih mengindikasikan kondisi yang cukup berkelanjutan. Jika masing-masing daerah yang menjadi sampel dikelompokkan berdasarkan wilayah Timur, Tengah dan Barat maka ditemukan fakta bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk kelima dimensi yang dianalisis pada wilayah tersebut tidak berbeda nyata.

Mengacu pada indikasi yang ditemukan pada hasil analisis, dirancang 4(empat) skenario strategi untuk optimalisasi sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia, yaitu : (1) antara ada dan tiada, (2) upaya penyesuaian dan sinkronisasi, (3) penerapan sistem penyuluhan yang efektif dan efisien dan (4) penciptaan iklim yang kondusif.

(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

(7)

PENGEMBANGAN SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN

ERA DESENTRALISASI DI INDONESIA

ANTHON ANTHONNY DJARI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama Mahasiswa : Anthon Anthonny Djari Nomor Pokok : C561030134

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si Ketua

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA

Anggota Anggota

Dr.Ir. Basita Ginting, MA Anggota

Diketahui,

Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ketua

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(9)

i

Kuasa, atas anugerah dan karunia-Nya, disertasi yang berjudul “Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia” ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat: Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing; dan Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF; Dr. Ir. Hartisari Hardjomidjojo, DEA; serta Dr. Ir. Basita Ginting S., MA, masing masing sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah dengan penuh kesabaran dan ketelitian memberikan bimbingan hingga tersusunnya disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Rizald M. Rompas, M.Agr; Ir. J. W. Mosse, M.Sc, PhD dan Dr. Soen’an H. Poernomo atas rekomendasinya kepada penulis serta kepada Sekretaris Jenderal DKP dan Prof. Dr. Ir. Sahala Hutabarat, M.Sc yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada Program S3 Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen pada Program Studi Teknologi Kelautan yang telah membagikan ilmu dan pengalamannya selama proses belajar serta para anggota Komisi Pendidikan yang telah memberikan masukan dalam penyempurnaan disertasi ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta stafnya, Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc selaku Ketua Departemen PSP FPIK IPB dan Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan beserta stafnya yang telah memberikan pelayanan administrasi.

(10)

ii

yang tak mungkin di sebutkan satu persatu yang dengan penuh keikhlasan telah membantu dalam pengumpulan data dan terlibat dalam diskusi serta memberikan masukan berharga dalam penelitian ini. Demikian juga kepada Ir. Sumardi Suriatna, M.Ed, serta teman-teman dan staf di BPSDM KP/ Pusat Pengembangan Penyuluhan Perikanan, STP Jakarta, Jurusan Penyuluhan Perikanan Bogor, BAPPL Serang serta teman-teman seperjuangan mahasiswa Program Studi TKL yang telah memberikan saran masukan terhadap penyempurnaan disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih.

Kepada Irham B, S.Pi, M.Si dan Pieter Amalo, S.Tp, MM, penulis menyampaikan limpah terima kasih atas keikhlasan bantuan yang diberikan, terutama dalam meramu analisis dan penulisannya, serta kepada Ir. Tjahjo Hartono, M.Si dan Dr. Ir. Taslim Arifin, M.Si yang dengan segala ketulusan telah memberikan pemahaman kepada penulis berkaitan dengan pendekatan Rapfish

untuk menganalisa keberlanjutan pengembangan penyuluhan perikanan. Secara khusus pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas segala jasa, kasih dan inspirasi yang diperoleh dari kedua orangtua penulis yaitu Bapak Paulus Djari (almarhum) dan Ibu Cornelia Djari-Bule (almarhumah), mertua Bapak Titus Bawole (almarhum) dan Ibu Altje Bawole-Tuter serta Saudara-saudara penulis yang tak dapat disebutkan satu-persatu.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang tiada tara kepada istri tercinta dr. Ruth Esther Djari-Bawole dan keempat putera terkasih yaitu Alvin Javier Djari, Alvan Aresto Djari, Alven Aresto Djari, dan Alvon Artito Djari, atas segala cinta kasih, doa, dorongan dan pengorbanan yang diberikan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2009

(11)

iii

Penulis dilahirkan di Kupang pada tanggal 6 Agustus 1959 sebagai anak ke-dua belas dari ke-dua belas bersaudara dari pasangan Bapak Paulus Djari (almarhum) dan Ibu Cornelia Djari-Bule (almarhumah). Pendidikan sarjana di tempuh di Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang pada tahun 1983. Tahun 1988, penulis melanjutkan pendidikan S2 di program studi Biologi Reproduksi pada Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 1990. Sejak tahun 2003, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S3 program studi Teknologi Kelautan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam bidang pekerjaan, sejak tahun 1986 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan diberi kepercayaan untuk mengemban berbagai jabatan sebagai berikut:

1. Kepala Seksi Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan pada Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi NTT, tahun 1992-1996

2. Kepala Seksi Produksi Peternakan dan Perikanan pada Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi NTT, tahun 1996-1999

3. Kepala Dinas Perikanan pada Pemda Kota Kupang, tahun 1999-2001 4. Kepala Dinas Pertanian pada Pemda Kota Kupang, tahun 2001-2002 5. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan pada Pemda Kota Kupang, tahun

2002-2003

6. Kepala Bagian Tata Usaha pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2003-2005

7. Kepala Bidang Pendidikan pada Pusat Pengembangan SDM-KP Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2005-2006

8. Kepala Bagian Perencanaan pada Sekretariat BPSDM-KP Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2006-2007

9. Kepala Bagian Evaluasi dan Dokumentasi pada Sekretariat BPSDM-KP Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2007

(12)

iv Perikanan, tahun 2008-2009

12.Kepala Bidang Program, Pusat Pengembangan Penyuluhan Perikanan, BPSDMKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2009-sekarang Selama penulis bekerja, telah memperoleh pendidikan dan latihan penjenjangan untuk menunjang karier yaitu:

1. Pendidikan dan Pelatihan Administrasi Umum (ADUM), tahun 1996 2. Pendidikan dan Pelatihan Pimpinan Tingkat III (SPAMA), tahun 1999 3. Pendidikan dan Pelatihan Pimpinan Tingkat II (SPAMEN), tahun 2001 Disamping itu penulis juga telah memperoleh tanda jasa dari Presiden Republik Indonesia berupa: “Satya Lencana Karya Satya 10 Tahun” pada tahun 1998 dan “Satya Lencana Karya Satya 20 Tahun” pada tahun 2008.

(13)

v menerangkan mengenai objek penelitian.

2. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Dimensi adalah ruang lingkup atau batasan ukuran dari sudut pandang (segi) tertentu yang menjadi pusat/objek penelitian.

4. Indeks adalah suatu nilai/skor dengan skala tertentu sebagai petunjuk untuk menilai suatu ciri tertentu.

5. Keberlanjutan adalah keadaan berkesinambungan yang mencerminkan suatu kondisi masa lampau, dapat di nilai pada masa kini dan diprediksikan pada masa yang akan datang (nilai buruk mencerminkan kondisi yang tidak menguntungkan, sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi yang menguntungkan).

6. Kelembagaan adalah institusi/organisasi dan/atau bukan institusi/organisasi yang menetapkan aturan/norma/nilai yang sifatnya mengikat untuk dilakukan, ditaati dan menjamin adanya sanksi bagi semua yang melakukan pelanggaran. 7. Ketenagaan adalah semua penyuluh yang mempunyai tugas pokok dan fungsi,

kompetensi, peran dan tanggung jawab untuk melaksanakan penyuluhan. 8. Kompetensi adalah kemampuan dan kewenangan bertindak yang di miliki

oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan yang didasari oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan sesuai dengan unjuk kerja yang telah ditetapkan.

9. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

10.Partisipasi adalah keikutsertaan secara aktif dalam suatu kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi serta memperoleh manfaatnya.

(14)

vi

bermata pencaharian utama di bidang kelautan dan perikanan.

13.Pemberdayaan adalah proses dalam upaya pemberian pemahaman terhadap kemampuan pengendalian diri serta memperluas kemampuan melalui berbagai cara/motivasi sampai pada tingkat prestasi dan kepuasan yang lebih besar dari sebelumnya.

14.Pengembangan adalah upaya untuk meningkatkan, mendalami,

memperbaharui, atau memperluas suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. 15.Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan, mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

16.Penyelenggaraan adalah semua proses dan aktifitas perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi terhadap program, mekanisme kerja, metode, materi penyuluhan, peran serta dan kerjasama yang dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan penyuluhan.

17.Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama dan pelaku usaha sebagai sasaran penyuluhan agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi dan sumber daya lainnya.

18.Penyuluh pegawai negeri sipil adalah pegawai negeri sipil yang di beri tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup kelautan dan perikanan.

19.Penyuluh swadaya adalah sasaran penyuluhan yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh.

20.Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan.

(15)

vii sosial.

23.Sarana prasarana dan pembiayaan adalah semua faktor dan sumber daya selain lembaga dan tenaga yang mendukung penyelenggaraan penyuluhan.

24.Sistem adalah kumpulan elemen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan karakteristik kompleks, dinamis dan probabilistik.

(16)

viii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Hipotesis... 10

1.6 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 10

1.7 Ruang Lingkup Penelitian... 13

2 TINJAUAN PUSTAKA Desentralisasi, Otonomi Daerah dan Partisipasi Masyarakat ... 14

Sumberdaya Manusia pada Era Desentralisasi ... 19

Konsepsi Penyuluhan ... 25

Pembangunan Perikanan dan Pemberdayaan Masyarakat ... 31

Kondisi Penyuluhan Sebelum dan di Era Desentralisasi ... 41

2.6 Sistem Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan ... 53

2.6.1 Kelembagaan penyuluhan ... 56

2.6.2 Ketenagaan penyuluh perikanan ... 62

2.6.3 Pembiayaan, sarana dan prasarana penyuluhan ... 64

2.6.4 Penyelenggaraan penyuluhan perikanan ... 65

2.6.5 Karakteristik Sumber Daya Manusia perikanan ... 71

2.6.6 Pendekatan sistem penyuluhan ... 75

2.7 Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 79

3 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 83

Jenis dan Sumber Data ... 84

Metode Pengumpulan Data ... 85

Analisis Data ... 85

3.4.1 Pendekatan sistem ... 86

3.4.2 Analisis pengembangan penyelenggaraan penyuluhan Perikanan... 90

3.4.3 Analisis perbandingan status... 100

(17)

ix

4.2 Status Keberlanjutan Sistem Penyuluhan Era Desentralisasi Secara

Multi Dimensi ... 123

4.3 Status Keberlanjutan Sistem Penyuluhan Era Desentralisasi Secara Dimensional ... 126

4.4 Status Keberlanjutan Sistem Penyuluhan Era Desentralisasi di Indonesia Timur ... 127

4.5 Status Keberlanjutan Sistem Penyuluhan Era Desentralisasi di Indonesia Tengah ... 130

4.6 Status Keberlanjutan Sistem Penyuluhan Era Desentralisasi di Indonesia Barat... 133

4.7 Pola Pengembangan Dimensional Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi ... 136

4.8 Perbandingan Keberlanjutan Penyelenggaraan Penyuluhan di Indonesia Timur, Tengah dan Barat... 138

4.9 Potret Keberlanjutan Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi... 156

4.9.1 Keberlanjutan dimensi kelembagaan ... 159

4.9.2 Keberlanjutan dimensi ketenagaan ... 164

4.9.3 Keberlanjutan dimensi penyelenggaraan ... 169

4.9.4 Keberlanjutan dimensi sapras-pembiayaan... 173

4.9.5 Keberlanjutan dimensi sosial ... 176

4.10 Akurasi Pendugaan Status Keberlanjutan ... 180

4.11 Strategi Pengembangan Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi ... 183

4.11.1 Penentuan faktor kunci dengan pendekatan need analysis 183 4.11.2 Analisis I/D Matrix dari hasil analisis kebutuhan berdasarkan stakeholder assessment... 185

4.11.3 Penentuan faktor kunci dengan pendekatan analisis keberlanjutan ... 186

4.11.4 Analisis I/D Matrix dari hasil analisis kebutuhan berdasarkan analisis keberlanjutan... 188

4.11.5 Analisis I/D Matrix untuk integrasi hasil analisis kebutuhan dan analisis keberlanjutan ... 189

4.11.6 Skenario strategi pengembangan penyuluhan perikanan era desentralisasi ... 213

4.11.7 Peran dan tanggungjawab stakeholders... 216

4.11.8 Skema pengembangan sistem penyuluhan perikanan era Desentralisasi di Indonesia... 222

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 224

5.2 Saran... 225

DAFTAR PUSTAKA... 226

(18)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Instansi yang menangani sektor kelautan dan perikanan di propinsi ... 48

2 Instansi yang menangani sektor kelautan dan perikanan di kabupaten/kota ... 49

3 Kelembagaan penyuluhan (pertanian) di kabupaten/kota ... 50

4 Penelitian mengenai keberlanjutan dan penyuluhan pernah dilakukan

di Indonesia ...80

5 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ... 84

6 Analisa kebutuhan pelaku sistem dalam sistem penyelenggaraan

penyuluhan perikanan ... 89

7 Atribut-atribut dan skor penyelenggaraan penyuluhan perikanan ... 91

8 Kategori status pengembangan sistem penyelenggaraan penyuluhan

perikanan berdasarkan nilai indeks hasil analisis nilai

Rap-INSINYURKANIN ... 95

9 Pedoman penilaian analisa prospektif ... 101

10 Pengaruh langsung antar faktor dalam penyelenggaraan penyuluhan

perikanan ... 102

11 Rekapitulasi jumlah penyuluh bidang perikanan dan kelautan per provinsi

di Indonesia sampai September 2008... 113

12 Nilai indeks multidimensi daerah yang berada di wilayah Indonesia Timur... 124

13Nilai indeks multidimensi daerah yang berada di wilayah Indonesia Tengah...124

14 Nilai indeks multidimensi daerah yang berada di wilayah Indonesia Barat...125

15 Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi setiap daerah di

Wilayah Indonesia Timur... 129

(19)

xi

17 Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi setiap daerah di

Wilayah Indonesia Barat ... 135

18 Pola pengembangan dimensi penyuluhan perikanan di Indonesia... 136

19 Pola pengembangan dimensi penyuluhan perikanan era desentralisasi

di Indonesia ... 155

20 Kodifikasi wilayah sampel

... 157

21 Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi setiap daerah ... 158

22 Hasil analisis Rap-INSYINYURKANIN untuk berbagai parameter statistik .... 180

23 Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan penyuluhan

perikanan era desentralisasi di Indonesia berdasarkan hasil analisis

kebutuhan ...184

24 Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan penyuluhan

perikanan era desentralisasi di Indonesia berdasarkan hasil analisis

keberlanjutan ...187

25 Faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar namun ketergantungan antar

faktor rendah dan faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar

namun ketergantungan antar faktor tinggi terhadap penyuluhan perikanan

era desentralsasi di Indonesia berdasarkan analisis kebutuhan... 189

26 Faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar namun ketergantungan antar

faktor rendah dan faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar

namun ketergantungan antar faktor tinggi terhadap penyuluhan perikanan

era desentralsasi di Indonesia berdasarkan analisis kebutuhan... 190

27 Keterangan integrasi faktor-faktor yang memiliki korelasi dan pengaruh

besar namun ketergantungan antar faktor rendah, serta faktor-faktor

yang memiliki pengaruh besar dan ketergantungan antar faktor tinggi

berdasarkan analisis kebutuhan dan keberlanjutan ... 191

28 Faktor gabungan yang memiliki pengaruh besar namun ketergantungan

rendah terhadap penyuluhan perikanan era desentraliasasi di

Indonesia berdasarkan analisa kebutuhan dan keberlanjutan...192

29 Perubahan kondisi faktor-faktor kunci dalam pengembangan sistem

(20)

xii

30 Inkompatibilitas antar keadaan dari lima faktor kunci dalam

penyelenggaraan penyuluhan era desentralisasi di Indonesia dalam jangka

waktu 5 tahun ... 206

31 Hasil analisis skenario sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi

di Indonesia ... 207

32 Prediksi skenario strategi pengembangan sistem penyuluhan perikanan

era desentralisasi di Indonesia... 208

33 Responden pakar untuk analisis prospektif... 210

34 Presentase pendapat responden terhadap masing-masing skenario ... 210

(21)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pikir penelitian kajian sistem penyuluhan perikanan di era

desentralisasi ... 12

2 Ilustrasi indeks pengembangan penyuluhan perikanan sebesar 65% ... 94

3 Ilustrasi indeks pengembangan setiap dimensi penyelenggaraan

penyuluhan perikanan era desentralisasi ... 94

4 Tahapan analisis Rap- INSYINYURKANIN ... 99

5 Diagram pengaruh dan ketergantungan sistem ... 102

6 Diagram layang nilai indeks keberlanjutan sistem penyuluhan era

desentralisasi di Indonesia ... 126

7 Diagram layang nilai indeks keberlanjutan sistem penyuluhan era

desentralisasi di Indonesia Timur ... 127

8 Diagram layang nilai indeks keberlanjutan sistem penyuluhan era

desentralisasi di Indonesia Tengah ... 129

9 Diagram layang nilai indeks keberlanjutan sistem penyuluhan era

desentralisasi di Indonesia Barat... 133

10 Rata-rata nilai indeks keberlanjutan ± SD di wilayah Indonesia Timur, Tengah

dan Barat pada dimensi (1) kelembagaan, (2) ketenagaan, (3) penyelenggaraan,

(4) sapras-pembiayaan dan (5) sosial ... 142

11 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan di Indonesia Barat

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 143

12 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan di Indonesia Tengah

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 144

13 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan di Indonesia Timur

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 145

14 Peran masing-masing atribut dimensi ketenagaan di Indonesia Barat

(22)

xiv

15 Peran masing-masing atribut dimensi ketenagaan di Indonesia Tengah

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 156

16 Peran masing-masing atribut dimensi ketenagaan di Indonesia Timur

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 147

17 Peran masing-masing atribut dimensi penyelenggaraan di Indonesia Barat

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 148

18 Peran masing-masing atribut dimensi penyelenggaraan di Indonesia Tengah

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 149

19 Peran masing-masing atribut dimensi penyelenggaraan di Indonesia Timur

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 149

20 Peran masing-masing atribut dimensi sapras-pembiayaan di Indonesia Barat

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 150

21 Peran masing-masing atribut dimensi sapras-pembiayaan di Indonesia Tengah

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 151

22 Peran masing-masing atribut dimensi sapras-pembiayaan di Indonesia Timur

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 151

23 Peran masing-masing atribut dimensi sosial di Indonesia Barat

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 152

24 Peran masing-masing atribut dimensi sosial di Indonesia Tengah

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 153

25 Peran masing-masing atribut dimensi sosial di Indonesia Timur

yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS... 153

26 Kondisi indeks keberlanjutan masing-masing dimensi... 157

27 Analisis Rap-INSYINYURKANIN yang menunjukkan nilai indeks

keberlanjutan dimensi kelembagaan ... 159

28 Kondisi indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan di masing-masing

daerah ... 161

29 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam

(23)

xv

30 Analisis Rap- INSYINYURKANIN yang menunjukkan nilai indeks

keberlanjutan dimensi ketenagaan ... 166

31 Kondisi indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan di masing-masing

daerah ... 166

32 Peran masing-masing atribut dimensi ketenagaan yang dinyatakan dalam

bentuk perubahan nilai RMS ... 169

33 Analisis Rap- INSYINYURKANIN yang menunjukkan nilai indeks

keberlanjutan dimensi penyelenggaraan ... 170

34 Kondisi indeks keberlanjutan dimensi penyelenggaraan di masing-masing

daerah ... 171

35 Peran masing-masing atribut dimensi penyelenggaraan yang dinyatakan

dalam bentuk perubahan nilai RMS ... 173

36 Analisis Rap- INSYINYURKANIN yang menunjukkan nilai indeks

keberlanjutan dimensi sapras-pembiayaan... 174

37 Kondisi indeks keberlanjutan dimensi sapras-pembiayaan di masing-masing

daerah ... 175

38 Peran masing-masing atribut dimensi sapras-pembiayaan yang dinyatakan

dalam bentuk perubahan nilai RMS ... 176

39 Analisis Rap- INSYINYURKANIN yang menunjukkan nilai indeks

keberlanjutan dimensi sosial ... 177

40 Kondisi indeks keberlanjutan dimensi sosial di masing-masing daerah... 178

41 Peran masing-masing atribut dimensi sosial yang dinyatakan dalam

bentuk perubahan nilai RMS ... 179

42 Analisis Monte Carlo setiap dimensi (1) kelembagaan, (2) ketenagaan,

(3) penyelenggaraan, (4) sarana, (5) sosial dan (6) multidimensi ... 182

43 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam penyuluhan perikanan

(24)

xvi

44 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam penyuluhan perikanan

era desentralisasi di Indonesia berdasarkan analisis keberlanjutan... 188

45 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam penyuluhan perikanan

era desentralisasi di Indonesia berdasarkan analisis kebutuhan dan

keberlanjutan ... 193

46 Alur skenario berdasarkan perkiraan pada masa yang akan datang... 213

47 Skema pengembangan sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi

(25)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta lokasi penelitian... 238

2 Atribut-atribut dan skor pengembangan penyuluhan perikanan ... 239

3 Keberlanjutan sistem penyuluhan di Indonesia Timur setiap dimensi... 245

4 Keberlanjutan sistem penyuluhan di Indonesia Tengah setiap dimensi... 246

5 Keberlanjutan sistem penyuluhan di Indonesia Barat setiap dimensi...247

(26)

1.1 Latar Belakang

Acuan hukum dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi terhadap Undang-Undang No. 22 tahun 1999. Secara de facto, pemberlakuan otonomi daerah telah dimulai sejak 1 Januari 2001. Berdasarkan pasal 22 Undang-Undang No.32 tahun 2004 ditegaskan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi, daerah memiliki kewajiban antara lain : (1) melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI, (2) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, (3) mengembangkan kehidupan demokrasi, (4) mewujudkan keadilan dan pemerataan, dan (5) mengembangkan sumber daya produktif di daerah.

Dalam pembagian urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi daerah yang bersangkutan. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang dimaksud dengan ”urusan pemerintahan yang secara nyata ada” adalah sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi daerah antara lain : pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan pariwisata.

(27)

dan dengan pengembangan core competence serta berbagai varian-nya akan memberikan dampak besar dalam pembangunan daerah tersebut.

Kebijakan otonomi daerah merupakan paradigma baru pengelolaan pemerintahan yang dilaksanakan sebagai penyempurnaan atas segala bentuk pemusatan wewenang dan tidak lepas dari tuntutan keadilan dan perbaikan nasib rakyat, khususnya di daerah untuk meningkatkan taraf hidup, penghargaan terhadap kondisi sosial dan budaya lokal, dan kelestarian lingkungan. Perubahan tersebut mempengaruhi secara langsung bentuk-bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan sebab telah memberikan kewenangan pengelolaan wilayah laut dari pemerintah pusat ke daerah. Keadaaan tersebut seperti yang diatur pada pasal 18 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kewenangan daerah tersebut meliputi : (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, (b) pengaturan administrasi, (c) pengaturan tata ruang, (d) penegakkan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, (e) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan, dan (f) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Selanjutnya ditegaskan bahwa kewenangan yang dimaksud adalah paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan / atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota; akan tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. ”Nelayan kecil” yang adalah nelayan masyarakat tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan secara tradisional, tidak dikenakan surat ijin dan bebas dari pajak, serta bebas menangkap ikan di seluruh pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.

Untuk menunjang konsepsi pembangunan yang mendukung otonomi daerah di wilayah laut, diperlukan beberapa prasyarat. Prasyarat tersebut dijelaskan oleh Kusumastanto (2003) yaitu sebagai berikut: pertama, kebebasan politik (political

freedom) yang bermakna bagi masyarakat pesisir yang implementasinya

(28)

umumnya berada di bawah tekanan ; kedua, penyediaan fasilitas – fasilitas ekonomi (economic facilities) yang menunjang pengembangan sektor kelautan dan perikanan menjadi sebuah persoalan politik yang diproyeksikan guna menunjang proses ekonomi yang berkeadilan. Oleh karena itu otonomi yang dikembangkan tanpa dibarengi perbaikan pelayanan justru akan menjadi ”beban”. Hal tersebut sama maknanya dengan memberikan kewenangan ke daerah, tetapi tanpa disertai dukungan sumber daya yang memadai; ketiga, terbukanya peluang sosial (social opportunities) yang mendukung otonomi daerah di wilayah laut ;

keempat, perluasan partisipasi (expansion of participation) masyarakat pesisir dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan ekonomi politik yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di daerah.

Dengan desentralisasi atau penyerahan wewenang dari pemerintah ke pemerintah daerah, maka terdapat keuntungan sekaligus pemerintah daerah menghadapi tantangan. Manfaat langsung dari penyerahan wewenang di bidang kelautan dan perikanan menurut Dahuri (2003) adalah pemerintah daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing

(29)

Secara implisit, penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di sektor kelautan dan perikanan (desentralisasi) meliputi beberapa aspek di antaranya yang bersifat umum, aspek kelautan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengawasan dan pengendalian, pengolahan dan pemasaran, investasi dan peluang usaha, serta pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan.

Khusus pada aspek penyuluhan perikanan, hal yang diserahkan menjadi urusan daerah tingkat propinsi di antaranya adalah : (1) penetapan/perumusan kebijakan, norma, standar dan pedoman penyuluhan perikanan tingkat propinsi, (2) perencanaan penyelenggaraan penyuluhan perikanan tingkat propinsi dan/atau lintas kabupaten/kota, (3) melakukan koordinasi, supervisi dan distribusi sumberdaya penyuluhan perikanan di propinsi, (4) melaksanakan kerjasama penyuluhan perikanan dengan pihak lain, baik instansi pemerintah, swasta maupun masyarakat, (5) menyelenggarakan penyuluhan perikanan di tingkat propinsi. Kewenangan penyuluhan perikanan yang diserahkan menjadi urusan daerah tingkat kabupaten/kota meliputi : (1) merumuskan kebijakan, perencanaan, program dan kegiatan penyuluhan perikanan di kabupaten/kota setelah mendapat masukan dari penyuluh, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan dan unsur masyarakat lainnya, (2) menyusun pedoman teknis penyuluhan perikanan, (3) melakukan koordinasi, supervisi dan distribusi sumberdaya penyuluhan perikanan, (4) menyelenggarakan kegiatan penyuluhan perikanan, (5) menetapkan, mengangkat, membina dan mensupervisi petugas penyuluh yang berada di kabupaten/kota, (6) menetapkan lokasi dan memfasilitasi Pos Pelayanan Penyuluhan Perikanan, (7) melaksanakan pembinaan, pemantauan, pengawasan, penilaian dan evaluasi kegiatan penyuluhan perikanan di kabupaten/kota.

(30)

1) Belum adanya institusi/lembaga pengelola khusus yang menangani masalah penyelengaraan penyuluhan perikanan di daerah. Implikasinya tidak tersedianya instrumen hukum penyelenggaraan penyuluhan perikanan. Selain itu, belum lengkapnya pedoman , standar, kebijakan, strategi dan manajemen penyuluhan di daerah guna peningkatan kesejahteraan masyarakat.

2) Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintahan) dalam bidang penyuluhan perikanan. Ini menimbulkan kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah yang ada terhadap penyelenggaraan penyuluhan perikanan.

3) Pemahaman sistem penyuluhan dan karakteristik pelaku utama. Selama ini program penyuluhan lebih banyak didesain oleh Pemerintah, telah menyebabkan kemampuan daerah dalam merancang program penyelenggaraan penyuluhan perikanan menjadi rendah. Hal ini akan berkaitan dengan masalah programa penyuluhan, mekanisme kerja dan metode, materi penyuluhan, peran serta dan kerjasama dalam penyelenggaraan peyuluhan perikanan.

4) Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan teknologi bidang kelautan dan perikanan. Akibatnya, upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum bisa terwujud.

Pada sisi lain, penyelenggaraan penyuluhan perikanan selama ini merupakan bagian dari sistem penyuluhan pertanian. Mengingat bahwa sifat dan bentuk kegiatan perikanan bersifat spesifik, maka menurut Purnomo (2006) diperlukan penyelenggaraan tersendiri untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dengan pertimbangan sebagai berikut:

1) Wawasan, pengetahuan, kesadaran sumberdaya manusia perikanan masih perlu ditingkatkan. Di sisi lain, kesadaran kritis (critical awareness)

(31)

makin mudah dan intensif, serta secara utuh/tanpa saringan. Di sisi lain tingkat kedewasaan/kematangan sangat beragam dalam menyikapi penyelenggaraan penyuluhan sehingga rentan terhadap konflik.

2) Selama ini sistem penyuluhan yang ada bersifat polivalen sedangkan substansi perikanan bersifat khas, dimana kondisi teknis, lingkungan, ekologis dan sosial perikanan sangat spesifik, sehingga perlu tersedia kelembagaan, fasilitas, tenaga penyuluh, yang secara khusus menangani bidang perikanan dan dapat dilaksanakan secara tersendiri.

3) Kondisi saat ini menunjukkan bahwa nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan belum memanfaatkan teknologi terapan secara optimal untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraannya, sehingga pengetahuan, keterampilan, sikap dan motivasi yang dimiliki dipandang perlu untuk ditingkatkan melalui penyuluhan. Di sisi lain, sistem penyuluhan perikanan baku belum efektif implementasinya, sehingga dalam pelaksanaannya belum diselenggarakan dalam konteks jejaring kerja.

4) Saat ini terdapat perubahan sosial yang lebih demokratis dan tata pemerintahan yang lebih banyak melimpahkan kewenangan kepada daerah (prinsip otonomi daerah), namun demikian, implementasi otonomi daerah berimplikasi pada penempatan kegiatan dan kelembagaan penyuluhan (termasuk perikanan) bukan sebagai prioritas penanganan, karena dianggap sebagai overhead cost daerah (kata lain dari menjadi beban daerah dan bukan pemasok PAD). Secara pemerintahan, keberadaan kelembagaan penyuluhan perikanan sebagai unit administrasi pangkal di daerah menjadi beragam. 5) Tuntutan masyarakat terhadap sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang

(32)

Dalam konteks desentralisasi penyuluhan perikanan yang harus dilaksanakan secara spesifik sesuai tuntutan pelaku utama di daerah memerlukan suatu perencanaan dan pengembangan yang terpadu yang mencakup aspek-aspek seperti kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta kebutuhan pelaku utama.

Untuk memperoleh gambaran yang komprehensip mengenai status (kondisi) pengembangan penyuluhan perikanan di daerah pada era desentralisasi sekaligus bisa mengidentifikasi berbagai masalah serta arah pemecahannya bagi pengambilan keputusan dan penentuan prioritas kebijakan, maka penelitian ini dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat diidentifikasikan permasalahan-permasalahan pada pengembangan sistem penyuluhan perikanan yang terjadi pada era desentralisasi sebagai berikut:

1) Penyelenggaraan penyuluhan perikanan belum berfungsi dan berjalan secara optimal di daerah karena kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan perikanan belum terbentuk. Kalaupun ada, tugas pokok dan fungsinya masih polivalen serta programnya tidak terfokus ke penyelenggaraan penyuluhan perikanan.

2) Banyaknya alih tugas penyuluh perikanan ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya dan rendahnya kemampuan dan kinerja penyuluh perikanan.

3) Materi dan metoda penyuluhan perikanan belum sepenuhnya mendukung pengembangan perikanan sebagai komoditas unggulan di daerah, karena kurangnya dukungan informasi dan keterbatasan sumberdaya.

4) Terbatasnya dukungan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan dari pemerintah daerah maupun dukungan pembiayaan dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan.

(33)

pelaku utama untuk turut serta dalam pengembangan sistem penyuluhan perikanan.

Dengan melihat berbagai permasalahan yang kompleks dalam pengembangan sistem penyuluhan perikanan di era desentralisasi, maka diperlukan suatu solusi melalui pendekatan yang bersifat multidimensi/integral yang mencakup aspek-aspek yang mempengaruhi penyuluhan perikanan era desentralisasi sehingga pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dapat diwujudkan secara optimal.

Kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah antara lain: (1) sulitnya merubah paradigma stakeholder yang berperan dalam pengembangan sistem penyuluhan di daerah dan adanya perbedaan persepsi tentang penyuluhan perikanan, (2) belum fokusnya prioritas pemerintah daerah terhadap penanganan penyuluhan perikanan, (3) sistem operasionalisasi penyuluhan perikanan belum terintegrasi dan dijabarkan dalam aturan/pedoman yang dapat dijadikan acuan desentralisasi penyuluhan bagi daerah.

Dengan demikian permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah upaya merancang suatu sistem yang terintegrasi menyangkut berbagai dimensi pengembangan penyuluhan perikanan sebagai upaya untuk mengembangkan sumberdaya manusia perikanan (pelaku utama) di daerah.

Pertanyaan selanjutnya dalam penelitian ini adalah:

1) Apa saja atribut/indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan pengembangan penyuluhan perikanan dari masing-masing dimensi (kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta respons pelaku utama/sosial) ?

2) Seberapa besar performa pengembangan penyelenggaraan penyuluhan perikanan saat ini?

3) Apakah ada perbedaan performa pengembangan penyelenggaraan penyuluhan antar wilayah di Indonesia?

(34)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian berjudul ”Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia” Terkait dengan judul tersebut maka tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk merancang kebijakan dasar pengembangan penyuluhan perikanan di daerah. Kebijakan dasar tersebut hanya dapat diformulasikan secara tepat jika diketahui kondisi eksisting dari sistem penyuluhan yang ada. Oleh karenanya ditetapkan tujuan-tujuan spesifik yang pada garis besarnya berupaya mengungkap kondisi eksisting penyuluhan perikanan era desentralisasi berikut rekomendasi strategi yang akan diambil. Adapun tujuan spesifik peneltian ini yaitu:

1) Mengidentifikasi atribut/indikator yang dapat mencerminkan pengembangan penyuluhan perikanan yang mencakup dimensi kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan serta respons pelaku utama (sosial)

2) Mengukur tingkat perkembangan penyuluhan perikanan di daerah

3) Membandingkan nilai indeks pengembangan penyuluhan perikanan di wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat

4) Merumuskan rekomendasi kebijakan dan skenario strategi implementasi pengembangan penyuluhan perikanan di daerah

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini secara umum adalah sebagai bahan rujukan dalam penyusunan rencana pembangunan perikanan, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan penyuluhan perikanan. Secara khusus penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi:

1) Stakeholders,sebagai informasi dan bahan pertimbangan untuk memanfaatkan peluang penyuluhan perikanan dalam konteks dan kebutuhannya.

2) Pemerintah, sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan dan prioritas program yang operasional, khususnya dalam pengembangan penyuluhan perikanan di daerah tingkat II Kabupaten/Kota

(35)

model penyuluhan perikanan yang efektif dan efisien di era desentralisasi dapat diwujudkan dalam tempo yang relatif cepat

4) Pengelolaan perikanan tangkap, sebagai informasi acuan dan bahan pertimbangan dalam penentuan sumbangsih penyuluhan perikanan terhadap pengembangan dan efektifitas pengelolaan perikanan tangkap

1.5 Hipotesis

Hipotesis umum yang menyusun penelitian ini adalah kebijakan dasar pengembangan penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia akan berbeda di masing-masing daerah dan sangat tergantung pada cara pandang pemerintah daerah terhadap nilai strategis penyuluhan dalam rangka optimalisasi potensi sumberdaya. Adapun hipotesis khusus yang dibangun dalam penelitian ini adalah:

1) Terdapat perbedaan fokus pengembangan dimensi yang akan dikembangkan oleh daerah dalam era desentralisasi penyuluhan

2) Terdapat perbedaan status keberlanjutan penyuluhan perikanan era desentralisasi di wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat;

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Pencapaian tujuan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah membutuhkan serangkaian kajian secara integral yang meliputi variabel-vaeriabel multidimensional seperti kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sapras-pembiayaan dan sosial.

Berbagai faktor akan turut mempengaruhi dalam pengembangan penyuluhan perikanan di daerah terutama yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan menyangkut kelembagaan penyuluhan perikanan, ketenagaan dan pembiayaan yang harus menjadi tanggung jawab daerah. Pada saat bersamaan kebijakan penyelenggaraan penyuluhan perikanan sudah harus berdiri sendiri (dipisahkan dari pertanian) karena kekhasan dan karakteristik yang berbeda antara perikanan dan pertanian.

(36)

kelembagaan, penyuluhan yang selama ini difungsikan sebagai ”rumah para penyuluh” bersifat variatif di masing-masing daerah. Kelembagaan dinas pun beragam dan ada yang tidak melaksanakan fungsi penyuluhan perikanan. Keragaman ini tentunya akan berpengaruh pada tugas dan fungsi kelembagaan itu sendiri dan berdampak pada penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah. Di sisi lain masalah keberadaan dan pemanfaatan para penyuluh menjadi beragam pula. Karir dan kompetensi para penyuluh (fungsional) menjadi tidak jelas dan beberapa di antaranya beralih fungsi kegiatan yang lebih banyak berada di luar bidang penyuluhan. Dalam situasi yang tidak menentu itu, motivasi kerja para penyuluh turun drastis dan bahkan ada yang tidak melaksanakan tugasnya lagi. Keprofesionalan penyuluh perikanan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena implementasi regulasi dalam penilaian angka kredit penyuluh perikanan belum berjalan. Hal ini makin diperparah dengan tidak adanya pengaturan penyelenggaraan penyuluhan perikanan dan program-program penyuluhan yang wajib mereka lakukan di lapangan, di samping tidak adanya dukungan Biaya Operasional Penyuluh (BOP) yang memadai untuk melayani kebutuhan-kebutuhan kelompoknya, apalagi biaya khusus yang di alokasikan dalam rangka penyelenggaraan penyuluhan perikanan dikatakan hampir tidak disediakan oleh semua daerah.

Berdasarkan deskripsi kondisi di atas, maka telah terjadi stagnasi/kesenjangan dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah, sehingga perlu dicari solusi alternatif pengembangannya. Kesenjangan antar daerah kemungkinan makin diperparah oleh adanya pola pembangunan kewilayahan pada masa lalu yang difokuskan berdasarkan wilayah timur, tengah dan barat sehingga kemungkinan adanya perbedaan di masing-masing wilayah masih ada. Oleh karenanya perlu pula dalam analisis dilakukan kajian mengenai perbedaan pengembangan penyuluhan perikanan di masing-masing wilayah.

Alternatif pengembangan penyelenggaraan penyuluhan perikanan dikaji dalam pengembangan sistem penyuluhan perikanan berdasarkan 5 dimensi yaitu: kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta respons pelaku utama (sosial) dan diharapkan adanya perubahan paradigma

stakeholder, peningkatan peran pemerintah dan peningkatan operasional

(37)
[image:37.612.95.559.161.656.2]

skenario kebijakan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dilakukan dengan mengubah kondisi dari faktor-faktor yang berpengaruh pada masing-masing dimensi untuk menghasilkan rekomendasi bagi pihak-pihak pengambil keputusan. Kerangka pikir tersebut seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian kajian pengembangan sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia.

Kajian Pengembangan sistem Penyuluhan Perikanan Kesenjangan Penyelenggaraan

Penyuluhan Perikanan

Alternatif Pengembangan Penyuluhan Perikanan

Kelembagaan Ketenagaan Penyelenggaraan Sarana & Biaya

Pelaku Utama

Perubahan Paradigma

Peran PEMDA

Operasional Penyuluhan

Rancangan Skenario Kebijakan Pengembangan Penyuluhan di Daerah

Rekomendasi Penyelenggaraan Penyuluhan

Spesifik Perikanan Desentralisasi

(38)

Dalam penyusunan kajian pengembangan sistem penyuluhan perikanan terlebih dahulu diawali dengan menentukan kondisi saat ini (existing condition).

Penentuan dan penilaian terhadap kondisi saat ini dianalisis dengan menggunakan metode Rapid Appraisal Index Development System of Fisheries Extension on Decentralize Circumstance in Indonesia/Pengembangan sistem Penyuluhan

Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia (Rap- INSINYURKANIN) yang

dikembangkan dari metode Rapfish (Kavanagh, 2001). Selanjutnya berdasarkan hasil exsisting condition serta stakeholders assesment maka dirancang skenario kebijakan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif menghasilkan rekomendasi yang dapat dioperasionalkan dalam pengembangan penyuluhan perikanan di daerah.

1.7Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah, khususnya daerah Kabupaten/Kota yang berdasarkan kebijakan desentralisasi mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah yang bersangkutan. Penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah didasarkan pada 5 (lima) dimensi yaitu: dimensi kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta respons pelaku utama (sosial). Untuk mengetahui gambaran umum dan keberadaan penyelenggaraan penyuluhan perikanan saat ini dilakukan analisis menggunakan metode Rap-

INSINYURKANIN sehingga memperoleh nilai indeks dan divisualisasikan dalam 5 (lima) dimensi. Selanjutnya pengaruh error hasil

Rap-INSINYURKANIN yang berupa nilai indeks tersebut divalidasi dengan analisis Monte Carlo.

Berdasarkan hasil analisis dan pertimbangan faktor penentu dari

(39)

2.1 Desentralisasi, Otonomi Daerah dan Partisipasi Masyarakat.

Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pengertian itu, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang –undangan.

Penerapan azas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia menurut Setyawan (2002) adalah melalui pembentukan daerah-daerah otonom, dimana istilah otonomi sendiri berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu

“autos” (sendiri), dan “namos” (peraturan) atau undang-undang, sehingga otonomi berarti peraturan itu sendiri yang selanjutnya berkembang menjadi

“ pemerintahan sendiri”

(40)

urusan tersebut, (4) pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Menurut Fakrulloh (2004), daerah otonom dapat diberikan beberapa pengertian yaitu: 1) daerah yang mempunyai kehidupan sendiri yang tidak bergantung pada satuan organisasi lain, 2) daerah yang mengemban misi tertentu yaitu dalam rangka meningkatkan keefektifan dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah didaerah dimana untuk melaksanakan tugas dan kewajiban itu daerah diberi hak dan kewenangan tertentu, 3) daerah yang memiliki atribut, mempunyai urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat dan yang memiliki sumber keuangan sendiri. Selanjutnya Fakrulloh (2004) menyatakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya berurusan dengan persoalan pembagian kewenangan dan keuangan dari pusat ke daerah, melainkan juga kebijakan ini hendak membawa negara lebih dekat pada masyarakat atau membuat demokrasi lokal bekerja (akuntabilitas lokal, transparansi, responsivitas dan partisipasi masyarakat).

(41)

mengungkapkan bahwa desentralisasi mencakup dua elemen pokok, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom tersebut.

Secara teoritis antara desentralisasi dan demokratisasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain (Fakrulloh, 2004) dan tanpa demokratisasi dan partisipasi masyarakat maka desentralisasi dan otonomi daerah tidak mungkin berjalan seperti yang diharapkan (Kaloh, 2007). Desentralisasi dalam berbagai bentuknya selalu berasosiasi dengan demokratisasi (Wibowo et al. 2004), karena desentralisasi memberikan kesempatan bagi masyarakat melalui wakilnya untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara lebih efektif dari semua keputusan. Dijelaskan oleh Smith (1985) dalam Muluk (2006) biasanya desentralisasi diasumsikan memerlukan demokrasi, meski secara logis dengan desentralisasi tidak membawa implikasi terhadap demokrasi, tetapi desentralisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (seperti akuntabilitas penyediaan layanan publik dan partisipasi) tetap memerlukan adanya demokrasi. Keterkaitan antara desentralisasi dan demokrasi telah melahirkan model otonomi daerah yang berbasis masyarakat. Secara prinsip, otonomi daerah yang berbasis masyarakat adalah otonomi yang dibingkai dengan demokrasi dan demokrasi yang berbasis pada partisipasi masyarakat, karena semuanya berawal dari masyarakat dan dikembalikan kepada masyarakat; yaitu otonomi daerah yang dibangun “dari” partisipasi masyarakat, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab “oleh” masyarakat, dan dimanfaatkan secara responsif

“untuk” masyarakat (Fakrulloh, 2004). Dengan demikian, dikemukakan oleh

(42)

kaum rentan, lemah, tak berdaya, miskin dengan kegiatan-kegiatan peningkatan pemahaman, peningkatan pendapatan dan usaha-usaha kecil diberbagai bidang ekonomi kearah swadaya, (3) ditingkatkan kemampuan dan kinerja kelompok-kelompok swadaya dalam keterampilan teknis dan manajemen untuk perbaikan produktivitas dan pendapatan mereka.

Strategi pembangunan daerah yang berorientasi meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dibidang kelautan dan perikanan menurut Dahuri (2003) diantaranya adalah: (1) mengembangkan kapasitas aparat pemerintahan (birokrasi) yang mendukung peranannya dalam mengembangkan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan, (2) meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan khususnya ekonomi lokal yang didasarkan pada: 1) sumberdaya lokal (local resources) termasuk didalamnya sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, 2) kandungan lokal

(local content) baik tenaga kerja maupun bahan baku, 3) pertimbangan gender dan 4) perencanaan bisnis (business plan) yang mengarah pada keberlanjutan, serta kegiatan budidaya dan sistem bisnis berbasis sumberdaya domestik kawasan pesisir dan laut termasuk kegiatan pengolahan (agroindustri) dan tata niaga, (3) meningkatkan sumberdaya manusia pelaku ekonomi pembangunan kelautan dan perikanan, baik pelaku industri skala modern maupun tradisional seperti nelayan melalui pendidikan formal maupun nonformal yang tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) dan perubahan perilaku (attitude).

Bentuk partisipasi masyarakat dibagi dalam 5 tingkatan menurut Breinkeirhoff (2002) yang dikutip oleh Wibowo et al. (2004) adalah sebagai berikut :

(1) Penyebaran informasi/information sharing untuk menjamin transparansi dan membangun legitimasi, baik berasal dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya.

(43)

(3) Kolaborasi merupakan aktivitas bersama yang melibatkan pihak eksternal tetapi inisiator masih memegang kendali atas pengambilan keputusan dan kontrol.

(4) Pembuatan keputusan bersama/joint decision making, adalah sebuah kolaborasi dimana terdapat pembagian kontrol atas keputusan yang dibuat. (5) Pemberdayaan/empowerment, adalah transfer kontrol atas pembuatan

kebijakan, sumberdaya dan aktivitas dari inisiator kepada stakeholder yang lain.

Pilihan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan langkah strategis untuk menciptakan keadilan ekonomi serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Djayadiningrat, 2003). Menurut Kusumastanto (2003), pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan perikanan dilandasi oleh : 1) partisipasi masyarakat pesisir khususnya nelayan dan petani ikan merupakan instrumen untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat yang menekankan bahwa tanpa kehadirannya program pembangunan yang dikembangkan akan gagal, 2) masyarakat pesisir akan lebih mempercayai program yang dikembangkan dalam bidang yang terkait langsung dengan kepentingan mereka, karena keterlibatan mereka dalam proses persiapan dan perencanaan sampai implementasi membuat mereka mengetahui seluk-beluk program tersebut bahkan merasa memilikinya, 3) akan mendorong terciptanya partisipasi secara umum (common participation) bagi masyarakat pesisir dalam pembangunan karena tercipta persepsi yang kondusif bahwa partisipasi mereka merupakan suatu “hak demokrasi” dalam menunjang proses itu sendiri: dan dalam perspektif inilah kunci pokok keberhasilan penerapan otonomi daerah.

(44)

pengelolaan sumberdaya perikanan dapat menemukan kembali kekuatan perannya, atau dengan kata lain formula community based management yang lebih kompleks, dan tentunya masih banyak potensi dan manfaat lain yang dapat digali dari pendekatan desentralisasi itu (Satria et al. 2002). Namun demikian, diingatkan oleh Satria et al. (2002) bahwa dengan kondisi objektif masyarakat perikanan Indonesia saat ini membuat kita harus kembali berpikir untuk menerapkan pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat secara murni, karena hal tersebut berhubungan dengan tingkat pendidikan dan keterampilan serta menuntut antara lain kemampuan manajerial dan kedewasaan bermasyarakat yang merata sehubungan dengan pengelolaan yang diserahkan pada organisasi-organisasi masyarakat, dan hal ini tentunya membutuhkan perangkat-perangkat lokal/lembaga-lembaga lokal.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Wibowo et al. (2004) mengungkapkan bahwa problem partisipasi didaerah adalah berkenaan dengan belum dimilikinya mekanisme dialog yang efektif, khususnya dalam menangani isu-isu pembangunan, sehingga yang muncul lebih sebagai komunikasi satu arah dari pemerintah daerah kepada masyarakatnya, dimana hal ini disebakan karena tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang hak – hak sebagai warga masyarakat sangat sedikit, juga sering muncul keengganan dari pihak pemerintah karena biasanya proses pengambilan keputusan akan berjalan alot jika melibatkan banyak pihak.

2.2 Sumber Daya Manusia pada Era Desentralisasi

Menurut Fakrulloh (2004) unsur desentralisasi dalam konteks desentralisasi demokratis mengandung dua elemen penting; pertama pelembagaan pembaharuan konstitisional dan hukum untuk membagi kekuasaan pada struktur pemerintahaan lokal (perubahan dalam konteks hubungan antar level pemerintahan), kedua

(45)

daerah dengan warga masyarakat lokal), (2) penguatan peran elemen-elemen masyarakat sipil (partisipasi masyarakat baik secara individual maupun kolektif), (3) perbaikan kualitas hidup warga masyarakat (pemberdayaan warga, kualitas layanan publik dan pemerataan akses).

(46)

penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa yang bersangkutan. Selanjutnya ditegaskan bahwa sumberdaya manusia kelautan dan perikanan sebagai penggerak pembangunan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam praktek pembangunan daerah dan nasional diperankan oleh 3 (tiga) kelompok pelaku pembangunan, yaitu kelompok birokrasi, pelaku kegiatan ekonomi dan kelompok masyarakat itu sendiri.

Menurut Wibowo et al.(2004) birokrasi diharapkan kehadirannya mengingat kebutuhan publik yang selalu berubah-ubah atau berkembang, sehingga fungsi-fungsi pelayanan publikpun harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dengan tetap menjaga sifat netralisir pelayanannya; karena disinilah birokrasi menjadi relevan eksistensinya. Selanjutnya dikatakan oleh Weber yang dikutip oleh Wibowo et al. (2004) bahwa alasan pokok birokrasi berimplikasi kepada tugas utama untuk melayani masyarakatnya dan agar tugas tersebut bisa dilaksanakan dengan baik, maka Weber mengajukan 6 (enam) syarat bagi terciptanya birokrasi yang netral, yaitu : 1) Desentralization of work, 2) Fixed and jurisdictional areas, 3) Profesionalized system of work, 4) Technical capability, 5)

No personal feelings or favoritisme, dan 6) Tracking carreer. Dikatakan oleh Hidayat et al. (2004) bahwa peningkatan kualitas pelayanan akan merujuk pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik, karena pelayanan yang baik dapat dilihat dari besarnya sumberdaya manusia yang dimiliki oleh birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan publik; dan oleh karena itu kemampuan dan sumberdaya dari aparat birokrasi harus berkualitas dan profesional untuk dikonsentrasikan pada pelayanan kebutuhan dan kepentingan publik.

Riyadmadji (2006) menyatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi yang mempunyai kapasitas besar dalam menyelenggarakan urusan-urusan publik bila dibandingkan organisasi non birokrasi, dan oleh Setyono (2002) yang dikutip oleh Riyadmadji (2006) memberi alasan sebagai berikut : (1) birokrasi memiliki

“legitimate power”, karena mendapat mandat dari undang-undang untuk

(47)

negara dan pelayanan kepada masyarakat, maka ia memiliki aset, akses dan jaringan informasi yang sangat banyak; (3) keahlian teknis, karena aparatur birokrasi harus memiliki berbagai keahlian teknis dalam hal perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengaturan serta pelayanan kepada masyarakat; (4) status sosial yang tinggi, karena profesi aparatur pemerintah masih dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai profesi yang terhormat; (5) kontinuitas lembaga, karena tanpa ada kesinambungan lembaga, suatu kelompok atau institusi tidak akan berkembang dan mempengaruhi pihak lain secara permanen; (6) peran dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, karena birokrasi dapat membuat keputusan-keputusan publik yang dapat mempengaruhi kehidupan seluruh warga negara; (7) kepermanenan institusi, karena pembentukan dan pembubarannya harus ditetapkan dengan peraturan yang legal. Namun demikian dalam konteks aparatur birokrasi pemerintahan daerah, Suwandi (2002) menyarankan untuk terus dilakukan penataan dan pengembangan kapasitasnya, karena bagaimanapun juga keberadaan aparatur birokrasi sebagai unsur sumberdaya manusia akan mencerminkan dan mewarnai penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Dikatakan oleh Hidayat et al. (2004) bahwa birokrasi publik dituntut harus mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, baik kepada publik maupun kepada investor, dan karena itu pendekatan struktural dan kultural kedalam sistem pelayanan birokrasi perlu dilakukan untuk semakin meningkatkan produktivitas dan perbaikan pelayanan birokrasi. Sondakh (2003) menambahkan bahwa hal tersebut berarti para aparat birokrasi perlu membenahi dan memampukan diri menjadi pelayan masyarakat bahkan menjadi inovator dan entrepreneur

pemberdayaan masyarakat. Secara normatif dan makro, pemberdayaan masyarakat lokal harus diawali dengan menyiapkan pemerintah daerah untuk memiliki kemampuan dan profesionalisme memerintah, mengelola dan mengelola sumberdaya daerah sedemikian rupa sehingga tujuan pembangunan makro ekonomi dapat dicapai dan dipertahankan secara berkelanjutan (sustained

economic growth) yaitu antara lain : meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

(48)

daerah dianggap masih lemah yang disebabkan oleh: (1) masih kurangnya pengetahuan tentang konsep-konsep pemerintah daerah guna menyusun kebijakan-kebijakan dan strategi- strategi pembangunan daerah; (2) kurangnya ketrampilan politis untuk mengidentifikasi isu-isu pembangunan daerah; (3) kurangnya kemampuan manajerial untuk memperkuat kerjasama diantara para pelaku pembangunan daerah; (4) kurangnya kemampuan pengembangan keahlian profesional, dan (5) kurangnya tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah melalui penataan dan penyempurnaan struktur kelembagaan pemerintah daerah, yang menurut Hidayat et al. (2004) bertujuan untuk: 1) meningkatkan kinerja pelayanan umum, 2) mengembangkan kebijakan publik yang lebih terbuka 3) memantapkan sistem organisasi dan tata laksana pemerintah daerah, 4) meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, 5) mengembangkan lembaga masyarakat, dan 6) mengembangkan peraturan melalui upaya regulasi dan deregulasi. Dalam kaitan itu, Sondakh (2003) yang mengutip pendapat Riwukaho dan Sarundayang (1998) menyebutkan bahwa minimal terdapat 4 (empat) faktor yang diperlukan dan berpengaruh dalam pengembangan kapasitas daerah yaitu: (1) adanya kemampuan sumberdaya manusia, (2) tersedianya dana untuk membiayai kegiatan rutin dan pembangunan, (3) tersedianya peralatan dan teknologi operasionalisasi program, dan (4) terdapat struktur organisasi penyelenggaraan pemerintahan.

(49)

tingkatan pemerintahan, dan kelembagaan/institusi diartikan sebagai pengawasan melalui peraturan yang mengendalikan atau mengawasi tindakan bersama dalam organisasi, (lembaga merupakan norma-norma dan organisasi merupakan wadahnya). Dikatakan oleh Wibowo et al. (2004), dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sektor publik atau pemerintah harusnya tidak dominan, tetapi masyarakat dan sektor swasta juga harus berperan dalam kepemerintahan

(governance), karena dengan demikian terjadi hubungan yang sinergis dan

kontruktif diantara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, namun demikian hal ini hanya bisa dilakukan apabila masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah mampu dan berdaya.

(50)

implementasi, serta penegakan hukum dan aturan suatu rezim pengelolaan sumberdaya perikanan.

2.3 Konsepsi Penyuluhan

Istilah penyuluhan dipopulerkan oleh James Stuard dari Trinity College (Cambridge) tahun 1867-1868, walaupun sebenarnya istilah UniversitasExtension

atau Extension of University telah digunakan di Inggris pada tahun 1840 dan pada 1871 telah dijadikan mata kuliah yang diajarkan pada Universitas Cambridge serta menerapkan sistem penyuluhan di lingkungan kampus, sedangkan di Amerika pada abad 20 sasaran penyuluhan telah meluas keluar kampus dengan menempatkan pengajar sebagai kegiatan akademi dan mempekerjakan penyuluh sampai ke daerah/negara bagian (van den Ban dan Hawkins, 1999)

Secara harfiah kata penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor atau alat untuk menerangi keadaan yang gelap, dimana menerangi bermakna petunjuk bagi masyarakat dari tidak tahu menjadi mengerti, dari mengerti menjadi mengerti lagi (Nasution, 1996). Lebih lanjut menurut Claar et al. (1984) dalam

Poernomo (2004) menerangkan bahwa penyuluhan merupakan jenis khusus dari pendidikan problem solving yang berorientasi pada tindakan pengajaran sesuatu, mendemonstrasikan, memotivasi, tetapi tidak melakukan pengaturan (regulating) dan tidak melaksanakan program yang bersifat non creative. Tindakan mengajarkan sesuatu artinya bisa dimaknai sebagai upaya memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk melakukan hal-hal yang sifatnya masih asing dan baru. Dengan begitu makna penyuluhan adalah proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang belum diketahui dengan jelas untuk dilaksanakan/diterapkan dalam rangka meningkatkan produksi dan pendapatan/keuntungan yang dicapai melalui suatu kegiatan (Sayogo, 1998). Apa yang dimaksud oleh Sayogo tersebut sejalan dengan konsep penyuluhan yang dikemukakan oleh Samsudin (1977) yang menurutnya penyuluhan adalah sistem pendidikan non formal tanpa paksaan yang menjadikan seseorang sadar dan yakin bahwa sesuatu yang diajarkan akan membawa kearah perbaikan dari hal-hal yang dikerjakan atau dilaksanakan sebelumnya.

(51)

pemberian pengetahuan yang dalam istilah penyuluhan dipakai kata dominan adalah pendidikan. Karena penyuluhan dapat dipersepsikan sebagai pendidikan no

Gambar

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian kajian pengembangan sistem penyuluhan
Tabel 2 Instansi yang menangani sektor kelautan dan perikanan di kabupaten/kota
Tabel 4.  Penelitian mengenai keberlanjutan dan penyuluhan pernah dilakukan di Indonesia
Tabel 4.  Penelitian mengenai keberlanjutan dan penyuluhan yang pernah dilakukan di Indonesia (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Statistik deskriptif yang diambil merupakan suatu data yang disajikan untuk mengukur sejauh mana realitas yang terjadi di Kota Medan khususnya di dalam pemberdayaan masyarakat

Meskipun berbagai penelitian telah banyak membuktikan bahwa rasa percaya merupakan faktor sentral bagi kesuksesan hubungan antara penjual dan pembeli, namun penelitian

Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Gani (2015) menunjukkan bahwa persepsi siswa tentang matematika berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Selain itu, kendala yang sering dihadapi adalah masalah daya tampung asrama, dan toilet (kamar mandi) terutama ketika dilaksanakan diklat operator mesin industri

Spirit feminisme dalam novel GJ dihadirkan untuk meng-counter konstruksi gender yang hidup dalam masyarakat, terutama dalam konteks masyarakat Islam dan pesantren

Dengan Mendaftar sebagai peserta pada suatu paket pekerjaan melalui aplikasi SPSE, maka peserta telah menadatangani Pakta Integritas, kecuali untuk penyedia

terhadap prestasi belajar matematika siswa, pengaruh tingkat komunikasi matematik siswa (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap prestasi belajar matematika siswa, dan

Temuan ini menunjukkan bahwa strategi MHM berbasis masalah lebih unggul daripada pembelajaran konvensional dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis