• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1 Peta lokasi penelitian

2) Dimensi ketenagaan

Dimensi ketenagaan dalam penelitian ini dibangun oleh 14 (empat belas) atribut dan berdasarkan hasil nilai stress sebesar 0.2198 menunjukkan bahwa atribut-atribut tersebut telah memadai menggambarkan dimensi ketenagaan. Beberapa indikasi dalam dimensi ketenagaan menggambarkan bahwa masih jauh dari yang diharapkan. Menurut Robbins (1994), syarat-syarat ketenagaan yang baik diantaranya (1) memiliki kualitas dan kuantitas yang memadai, (2) punya kompetensi yang didasarkan pada pendidikan, pengalaman serta pelatihan yang sesuai dengan tugas dan fungsi organisasi.

Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah sebagai konsekwensi dari pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah memberi keleluasaan penuh untuk mengatur, menempatkan, memanfaatkan dan mendayagunakan penyuluh termasuk untuk melaksanakan tugas lainnya diluar kegiatan penyuluhan. Tercatat bahwa 70% penyuluh di samping melaksanakan tugasnya, mereka lebih banyak melaksanakan tugas-tugas lain yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan penyuluhan, bahkan tugas yang diemban bukan tugas pelayanan, atau yang berhubungan dengan masyarakat melainkan tugas-tugas yang bersifat teknis lain dan tidak dikategorikan sebagai tugas-tugas penyuluh. Dalam pelaksanaan tugas pelayanan kepada masyarakat, lebih dominan pada fungsi-fungsi administrasi dan bukan teknis lapangan. Pelaksanaan tugas tersebut juga tidak terfokus pada satu sektor saja melainkan polivalen dan lebih banyak tidak sinkron antara keahlian penyuluh yang bersangkutan dengan permasalahan pelaku utama, sehingga cenderung penyuluh tidak berperan maksimal dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan.

Dalam rangka pengembangan karier dan peningkatan kualitas profesionalisme pegawai yang menjalankan tugas sebagai penyuluh perikanan, telah ditetapkan dan diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/19/M.PAN/10/2008. Dengan demikian kualifikasi penyuluh perikanan secara khusus telah syah berdiri sendiri dan tidak bergabung lagi dengan penyuluh pertanian sebagaimana selama ini sebelum Peraturan

Menteri Penertiban Aparatur Negara tersebut diterbitkan. Itu berarti jabatan fungsional penyuluh perikanan dan angka kreditnya telah bisa diterapkan dan dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Kaloh (2007) mengatakan bahwa poin penting dalam peningkatan kualitas SDM adalah penerapan manajemen sumberdaya manusia yang meliputi rekruitmen, pemahaman atas komitmen profesional, promosi karir, kesejahteraan dan etika birokrasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan kontradiksi dengan persyaratan ketenagaan yang dikemukakan sebelumnya, dimana 35% tidak berlaku kualifikasi penyuluh perikanan dan 50% menyatakan belum sesuai aturan jabatan fungsional penyuluh perikanan. Kondisi pada waktu penelitian tentunya berbeda dengan setelah diterbitkannya aturan jabatan fungsional penyuluh perikanan, karena kondisi yang menggambarkan 35% tidak berlaku itu kenyataannya memang penyuluh perikanan tidak diakui sehingga pada waktu pengajuan angka kredit dengan nomenklatur penyuluh perikanan ditolak dan tidak bisa dinilai angka kreditnya. Demikian halnya dengan kondisi 50% yang menggambarkan kondisi penyuluh perikanan yang belum sesuai aturan, lebih disebabkan oleh pelaksanaan penyuluhan pada kegiatan yang khas perikanan belum dapat tertampung/ terakomodir dalam sub unsur/butir kegiatan dan jumlah angka kredit yang harus diperoleh. Akibatnya pengusulan angka kredit oleh penyuluh perikanan sulit dilakukan, karena antara kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku (lebih dominan substansi pertanian). Selain dari alasan diatas, ditemukan bahwa kebanyakan penyuluh perikanan sulit mengumpulkan angka kreditnya oleh karena yang bersangkutan dialihkan melaksanakan tugas-tugas lain diluar kegiatan penyuluhan yang tidak mendapatkan penilaian angka kredit, karena dalam kenyataannya kegiatan yang dilaksanakan penyuluh perikanan tidak sesuai dengan aturan penilaian angka kredit penyuluh. Kondisi lain yang ditemukan adalah bahwa tugas-tugas penyuluhan dilaksanakan oleh petugas teknis yang bukan berprofesi sebagai penyuluh sehingga kegiatannya tidak dapat dinilai dengan angka kredit penyuluh.

Jumlah penyuluh yang berlatar belakang pendidikan perikanan cukup bervariasi antar daerah dan relatif masih sedikit bila dibandingkan dengan penyuluh yang berlatar belakang pendidikan pertanian. Rata-rata antara 5-10

orang ditemukan pada 65% Kabupaten/Kota sampel, dimana jumlah ini sebenarnya tidak selalu yang berprofesi penyuluh perikanan namun ada juga petugas teknis perikanan lainnya atau penyuluh berlatar belakang bukan perikanan yang membantu melaksanakan penyuluhan perikanan dan bahkan petugas administrasi yang membantu dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan, sehingga tercatat pula ada Kabupaten/Kota yang mempunyai lebih dari 10 orang penyuluh perikanan. Hal ini terlihat dari jumlah penyuluh perikanan yang ada di Kabupaten/Kota sampel 10% adalah bukan berprofesi sebagai penyuluh, tetapi ditugaskan untuk melaksanakan penyuluhan dan 90% daerah sampel tersebut tidak semuanya penyuluh perikanan yang berstatus PNS.

Sementara ini Pusat Pengembangan Penyuluhan DKP sedang melakukan pendataan kembali penyuluh perikanan diseluruh wilayah Indonesia yang benar-benar berlatar belakang perikanan dan berprofesi sebagai penyuluh. Sampai bulan September 2008, jumlah penyuluh bidang perikanan dan kelautan berjumlah 4.195 orang (Tabel 11).

Berbicara mengenai kompetensi penyuluh, Margono (2003) mengemukakan bahwa ada 18 (delapan belas) kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh, yaitu (1) sistem sosial setempat, (2) perilaku masyarakat, (3) analisis sistem, (4) analisis data, (5) merancang pendekatan penyuluhan, (6) perencanaan usaha pertanian, (7) manajemen teknologi, (8) ekonomi rumah tangga, (9) mengembangkan teknologi lokal spesifik, (10) memahami cara masyarakat belajar, (11) pengembangan kelompok dan organisasi, (12) perilaku pasar, (13) peta kognitif, (14) teknologi produksi, (15) teknologi pasca panen, (16) usaha sebagai bisnis, (17) proses pembangunan, (18) berkepribadian sesuai dengan profesi sebagai penyuluh.

Tabel 11. Rekapitulasi jumlah penyuluh bidang perikanan dan kelautan per provinsi di Indonesia sampai September 2008

Sumber: Pusbangluh BPSDM-KP (2009)

Pengangkatan penyuluh sejak era desentralisasi hampir dikatakan tidak ada, karena penyuluh yang ada sekarang adalah berdasarkan pengangkatan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan penempatannya telah banyak dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat, baik untuk melakukan tugas-tugas lain maupun sebaliknya ada penempatan petugas lain bukan penyuluh untuk melaksanakan

tugas-tugas yang berhubungan dengan penyuluhan atau kalaupun sekitar 5% dikatakan ada pengangkatan penyuluh oleh daerah adalah sebatas tenaga lepas. Apabila dihubungkan dengan umur dan masa kerja para penyuluh perikanan (PNS), ditemukan pada daerah sampel bahwa rata-rata usia bertumpuk pada umur 36-50 tahun dengan masa kerja lebih dari 15 tahun, artinya dominan menuju pada usia pensiun dan tidak ada peremajaan/kaderisasi yang berkesinambungan. Sementara itu, upaya peningkatan kompetensi penyuluh perikanan dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas jarang dilakukan apabila tidak mau dikatakan tidak ada karena ternyata pelatihan-palatihan teknis khusus bagi penyuluh perikanan tidak pernah dilakukan dan kalaupun penyuluh mengikuti pertemuan/rapat-rapat teknis/ rapat koordinasi dan sebagainya biasanya tidak terkait langsung dengan peningkatan kompetensi. Di lain pihak walaupun penyuluh rata-rata membuat rencana kerja sebagai pedoman/petunjuk dalam pelaksanaan tugasnya namun karena lebih banyak diperintah untuk melaksanakan tugas-tugas lainnya, maka pedoman tersebut ada secara administrasi tetapi belum dilaksanakan dengan baik. Kenyataan lainnya adalah bahwa pedoman-pedoman dibuat hanya sebagai suatu formalitas dan belum dapat dilaksanakan seutuhnya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sistem dan mekanisme kerja penyuluh belum sepenuhnya berjalan sesuai ketentuan, artinya secara formal administrasi ada, namun belum dilaksanakan dengan baik. Kondisi tersebut diatas tidak terlepas juga dari konsekwensi belum memadainya dukungan fasilitas (sarana/uang) kepada penyuluh, karena ternyata sekitar 95% menyatakan memang ada dukungan sarana dan pembiayaan, namun belum sesuai dengan kebutuhan penyuluh; apalagi bila dihubungkan dengan wilayah kerja dan binaan penyuluhan yang luas dan banyaknya pelaku utama sebagai sasaran penyuluhan yang harus dilayani. Ratio yang dianjurkan oleh Pusat Pengembangan Penyuluhan antara jumlah penyuluh dan pelaku utama yang dilayani adalah 1 penyuluh berbanding 10-15 kelompok.

Sementara itu, penyuluh swasta yang diharapkan dapat berperan dan membantu dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan belum ada untuk semua Kabupaten/Kota sampel. Yang disebut penyuluh swasta kegiatannya lebih pada orang perorang yang menjual produk tertentu untuk kepentingan perusahaannya dan kepeduliannya hanya untuk pelaku utama yang menggunakan produk tersebut

dan cenderung berjalan sendiri/tidak terpadu dengan penyuluhan perikanan. Sedangkan penyuluh kontrak yang direkrut oleh Pemerintah Pusat dan ditempatkan di daerah dirasakan cukup berperan dalam membantu penyelenggaraan penyuluhan perikanan dan bekerjasama baik dengan penyuluh yang ada di Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Walau demikian keberadaan mereka hanya untuk satu tahun, sehingga belum banyak dirasakan dampaknya dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan yang seharusnya berjalan berkesinambungan. Rekruitmen penyuluh kontrak oleh Pemerintah Pusat dan penempatannya di daerah mestinya dapat menstimulir Pemerintah Daerah untuk melakukan hal yang sama apabila dirasakan manfaatnya dengan keberadaan tenaga penyuluh kontrak tersebut, dan bila perlu dapat dikembangkan sesuai kebutuhan. Keberadaan dan peranan dari penyuluh swadaya/mandiri disetiap daerah juga sangat dibutuhkan karena mereka diharapkan berasal dari masyarakat setempat yang memahami benar kondisi wilayah, berpengalaman dan berpengetahuan lebih tentang perikanan untuk disebarkan pengetahuan dan keterampilannya kepada pelaku utama lainnya. Tercatat di daerah sampel dominant belum ada penyuluh yang berkategori swadaya/mandiri. Hal ini juga kemungkinan belum ada mekanisme baku dan penetapan prosedur pengakuan terhadap penyuluh swadaya/mandiri ini ditingkat lapangan. Pada kenyataannya yang dikategorikan sebagai penyuluh swadaya sekitar 40%, karena mereka adalah orang-orang yang berpengalaman lebih dan hampir selalu menjadi tempat bertanya bagi keluarga-keluarga yang bersangkutan atau kerabat tertentu saja, sehingga memang tidak ada koordinasi dengan penyuluh PNS dan cenderung mereka berjalan sendiri serta tertutup. Demikian halnya hubungan kerja antara penyuluh PNS dengan berbagai pihak juga dinilai sangat kurang; hal ini terutama dikaitkan dengan pelaksanaan tugas pokok organisasinya untuk penyelenggaraan penyuluhan perikanan; seperti hubungan-hubungan yang seharusnya diciptakan dengan sumber-sumber informasi, institusi penelitian, pendidikan, dan pelatihan atau perusahaan/industri perikanan, LSM dan berbagai pihak lainnya masih sangat jarang dilakukan.