• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Daya Manusia pada Era Desentralisasi

Halaman 1 Peta lokasi penelitian

2.2 Sumber Daya Manusia pada Era Desentralisasi

Menurut Fakrulloh (2004) unsur desentralisasi dalam konteks desentralisasi demokratis mengandung dua elemen penting; pertama pelembagaan pembaharuan konstitisional dan hukum untuk membagi kekuasaan pada struktur pemerintahaan lokal (perubahan dalam konteks hubungan antar level pemerintahan), kedua

peningkatan kemampuan pemerintah daerah untuk bertindak (kapasitas sumberdaya manusia dan finansial serta tanggung jawab yang signifikan). Selanjutnya dikatakan bahwa tata pemerintahan daerah yang demokratis mencakup tiga elemen, yaitu: (1) pengelolaan pemerintahan secara transparan, akuntabel dan responsif (perubahan dalam konteks hubungan antara pemerintah

daerah dengan warga masyarakat lokal), (2) penguatan peran elemen-elemen masyarakat sipil (partisipasi masyarakat baik secara individual maupun kolektif), (3) perbaikan kualitas hidup warga masyarakat (pemberdayaan warga, kualitas layanan publik dan pemerataan akses).

Berkenaan dengan itu, Kaloh (2007) berpendapat bahwa secara kelembagaan, pemerintah daerah harus menyiapkan birokrasi yang efisien dengan mengembangkan teknologi informasi dalam meningkatkan kinerja kelembagaannya yang tentunya dengan dukungan sumberdaya manusia yang berkualitas, serta dipihak lain daerah harus memfasilitasi dan berkreasi pelayanan publik agar mengikuti perkembangan teknologi dan dinamika science, karena interaksi perkembangan tersebut akan memberikan sinergi bagi kemajuan daerah secara keseluruhan sehingga corak apapun masyarakatnya (agraris atau bahari), semuanya bergerak dalam bingkai dan visi teknologi yang berbasis ilmu pengetahuan. Menghadapi perubahan hubungan pusat dan daerah otonom, maka perkembangan sosial ekonomi daerah menurut Sondakh (2003) akan terutama tergantung dari : (1) prasarana dan sarana (2) ketersediaan dana rutin dan pembangunan daerah (3) kualitas pemerintahan lokal dan (4) kualitas pengusaha dan masyarakat lokal. Ditegaskan oleh Tim World Bank (1994) yang dikutip oleh Sondakh (2003) bahwa dalam konteks yang lebih terfokus ke perkembangan sosial ekonomi suatu daerah, pada kenyataannya kemajuan tidak semata ditentukan oleh kekayaan sumberdaya alam (natural resource endowment) tetapi oleh produktivitas sumberdaya manusia. Rumusan ini sejalan dengan pandangan Todaro (1974) yang disetir oleh Sondakh (2003) tentang pengaruh tiga faktor utama terhadap proses perkembangan ekonomi, yaitu : sistem pasar, sistem dan perilaku sosial, dan kebijakan dan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, dimana faktor pertama dan ketiga merupakan men make sistem yang dengannya ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia. Ditekankan oleh Dahuri (2003) bahwa kunci keberhasilan pembangunan bidang kelautan dan perikanan di era otonomi daerah dan masa depan bangsa tidak terlepas dari faktor kualitas sumberdaya manusia dan kemampuannya dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, karena pengalaman empiris selama ini telah membuktikan, bahwa kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan suatu bangsa sangat ditentukan oleh

penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa yang bersangkutan. Selanjutnya ditegaskan bahwa sumberdaya manusia kelautan dan perikanan sebagai penggerak pembangunan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam praktek pembangunan daerah dan nasional diperankan oleh 3 (tiga) kelompok pelaku pembangunan, yaitu kelompok birokrasi, pelaku kegiatan ekonomi dan kelompok masyarakat itu sendiri.

Menurut Wibowo et al.(2004) birokrasi diharapkan kehadirannya mengingat kebutuhan publik yang selalu berubah-ubah atau berkembang, sehingga fungsi-fungsi pelayanan publikpun harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dengan tetap menjaga sifat netralisir pelayanannya; karena disinilah birokrasi menjadi relevan eksistensinya. Selanjutnya dikatakan oleh Weber yang dikutip oleh Wibowo et al. (2004) bahwa alasan pokok birokrasi berimplikasi kepada tugas utama untuk melayani masyarakatnya dan agar tugas tersebut bisa dilaksanakan dengan baik, maka Weber mengajukan 6 (enam) syarat bagi terciptanya birokrasi yang netral, yaitu : 1) Desentralization of work, 2) Fixed and jurisdictional areas, 3) Profesionalized system of work, 4) Technical capability, 5)

No personal feelings or favoritisme, dan 6) Tracking carreer. Dikatakan oleh Hidayat et al. (2004) bahwa peningkatan kualitas pelayanan akan merujuk pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik, karena pelayanan yang baik dapat dilihat dari besarnya sumberdaya manusia yang dimiliki oleh birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan publik; dan oleh karena itu kemampuan dan sumberdaya dari aparat birokrasi harus berkualitas dan profesional untuk dikonsentrasikan pada pelayanan kebutuhan dan kepentingan publik.

Riyadmadji (2006) menyatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi yang mempunyai kapasitas besar dalam menyelenggarakan urusan-urusan publik bila dibandingkan organisasi non birokrasi, dan oleh Setyono (2002) yang dikutip oleh Riyadmadji (2006) memberi alasan sebagai berikut : (1) birokrasi memiliki

“legitimate power”, karena mendapat mandat dari undang-undang untuk

mengurus kehidupan negara, sehingga dapat bertindak atas nama negara pada hal-hal yang dimandatkan kepadanya; (2) penguasaan informasi, karena birokrasi bertugas mengurus segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan

negara dan pelayanan kepada masyarakat, maka ia memiliki aset, akses dan jaringan informasi yang sangat banyak; (3) keahlian teknis, karena aparatur birokrasi harus memiliki berbagai keahlian teknis dalam hal perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengaturan serta pelayanan kepada masyarakat; (4) status sosial yang tinggi, karena profesi aparatur pemerintah masih dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai profesi yang terhormat; (5) kontinuitas lembaga, karena tanpa ada kesinambungan lembaga, suatu kelompok atau institusi tidak akan berkembang dan mempengaruhi pihak lain secara permanen; (6) peran dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, karena birokrasi dapat membuat keputusan-keputusan publik yang dapat mempengaruhi kehidupan seluruh warga negara; (7) kepermanenan institusi, karena pembentukan dan pembubarannya harus ditetapkan dengan peraturan yang legal. Namun demikian dalam konteks aparatur birokrasi pemerintahan daerah, Suwandi (2002) menyarankan untuk terus dilakukan penataan dan pengembangan kapasitasnya, karena bagaimanapun juga keberadaan aparatur birokrasi sebagai unsur sumberdaya manusia akan mencerminkan dan mewarnai penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Dikatakan oleh Hidayat et al. (2004) bahwa birokrasi publik dituntut harus mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, baik kepada publik maupun kepada investor, dan karena itu pendekatan struktural dan kultural kedalam sistem pelayanan birokrasi perlu dilakukan untuk semakin meningkatkan produktivitas dan perbaikan pelayanan birokrasi. Sondakh (2003) menambahkan bahwa hal tersebut berarti para aparat birokrasi perlu membenahi dan memampukan diri menjadi pelayan masyarakat bahkan menjadi inovator dan entrepreneur

pemberdayaan masyarakat. Secara normatif dan makro, pemberdayaan masyarakat lokal harus diawali dengan menyiapkan pemerintah daerah untuk memiliki kemampuan dan profesionalisme memerintah, mengelola dan mengelola sumberdaya daerah sedemikian rupa sehingga tujuan pembangunan makro ekonomi dapat dicapai dan dipertahankan secara berkelanjutan (sustained

economic growth) yaitu antara lain : meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

mengurangi pengangguran, menekan kemiskinan, menekan inflasi, memperbaiki pemerataan dan ketimpangan termasuk ketimpangan regional (Sondakh, 2003). Sementara itu Wibowo et al. (2004) menilai bahwa kondisi aparatur pemerintahan

daerah dianggap masih lemah yang disebabkan oleh: (1) masih kurangnya pengetahuan tentang konsep-konsep pemerintah daerah guna menyusun kebijakan-kebijakan dan strategi- strategi pembangunan daerah; (2) kurangnya ketrampilan politis untuk mengidentifikasi isu-isu pembangunan daerah; (3) kurangnya kemampuan manajerial untuk memperkuat kerjasama diantara para pelaku pembangunan daerah; (4) kurangnya kemampuan pengembangan keahlian profesional, dan (5) kurangnya tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah melalui penataan dan penyempurnaan struktur kelembagaan pemerintah daerah, yang menurut Hidayat et al. (2004) bertujuan untuk: 1) meningkatkan kinerja pelayanan umum, 2) mengembangkan kebijakan publik yang lebih terbuka 3) memantapkan sistem organisasi dan tata laksana pemerintah daerah, 4) meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, 5) mengembangkan lembaga masyarakat, dan 6) mengembangkan peraturan melalui upaya regulasi dan deregulasi. Dalam kaitan itu, Sondakh (2003) yang mengutip pendapat Riwukaho dan Sarundayang (1998) menyebutkan bahwa minimal terdapat 4 (empat) faktor yang diperlukan dan berpengaruh dalam pengembangan kapasitas daerah yaitu: (1) adanya kemampuan sumberdaya manusia, (2) tersedianya dana untuk membiayai kegiatan rutin dan pembangunan, (3) tersedianya peralatan dan teknologi operasionalisasi program, dan (4) terdapat struktur organisasi penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut Supriatna (1997) yang mengutip pendapat Davey (1983) mengatakan bahwa fungsi birokrasi dalam pembangunan masyarakat sangat berkaitan langsung dengan kualitas perilaku (individu dan organisasi), sikap dan kultur yang kondusif. Selanjutnya dikatakan oleh Supriatna (1997) bahwa perilaku birokrasi pemerintahan secara umum dipengaruhi oleh perilaku individu dibentuk oleh faktor fisiologis (fisik dan mental), psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi) dan lingkungan (keluarga, kebudayaan, dan kelas sosial) sedangkan perilaku organisasi dipengaruhi oleh status, peran, norma, kohesifitas, konflik, ambiguitas, komunikasi, manajemen, kepemimpinan dan efektivitas organisasi. Berkaitan dengan itu Sugiyanto (2002) menyatakan bahwa peran dan fungsi birokrasi akan tercermin di kelembagaan dalam berbagai

tingkatan pemerintahan, dan kelembagaan/institusi diartikan sebagai pengawasan melalui peraturan yang mengendalikan atau mengawasi tindakan bersama dalam organisasi, (lembaga merupakan norma-norma dan organisasi merupakan wadahnya). Dikatakan oleh Wibowo et al. (2004), dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sektor publik atau pemerintah harusnya tidak dominan, tetapi masyarakat dan sektor swasta juga harus berperan dalam kepemerintahan

(governance), karena dengan demikian terjadi hubungan yang sinergis dan

kontruktif diantara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, namun demikian hal ini hanya bisa dilakukan apabila masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah mampu dan berdaya.

Pendapat UNDP (1997) dalam Wibowo et al. (2004) menyimpulkan bahwa peran kelembagaan swasta sangat penting dalam pembangunan ekonomi berkaitan dengan penciptaan suatu kondisi pasar dimana produksi barang dan jasa dapat berjalan dengan lancar melalui dukungan yang memadai bagi aktivitasnya serta dalam penciptaan dan perluasan lapangan kerja. Sementara itu, peran lembaga masyarakat sangat penting dalam mempermudah pencapaian tujuan pembangunan daerah, dengan alasan yang dikemukakan Supriatna (1997) sebagai berikut: 1) lembaga masyarakat dapat mengembangkan sistem komunikasi dua arah yang efektif untuk menyusun, melaksanakan dan mengevaluasi pembangunan, 2) lembaga masyarakat adalah sarana untuk menggalakkan dan mengukuhkan perubahan-perubahan perilaku, 3) lembaga masyarakat dapat berfungsi sebagai pihak penyalur, pengatur, pengintegrasi berbagai kebutuhan dan kepentingan masyarakat, 4) keterlibatan lembaga masyarakat dari perencanaan sampai kontroling akan mengikat komitmen terhadap resiko dan tanggung jawab bersama. Namun demikian Nikijuluw (2002) mengajurkan agar dalam pengelolaan perikanan perlu dilakukan analisis kelembagaan untuk mengkaji dan memahami perbedaan atau kesenjangan antara kelembagaan yang memiliki dasar normatif dengan organisasi yang bisa sangat bernuansa subyektif, sehingga dengan hasil tersebut akan dapat memformulasikan tatanan kelembagaan (institutional arrangement), mempengaruhi tingkah laku pemanfaat sumber daya (nelayan) dan insentif untuk berkoordinasi, bekerjasama dan berkontribusi dalam perumusan,

implementasi, serta penegakan hukum dan aturan suatu rezim pengelolaan sumberdaya perikanan.