• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1 Peta lokasi penelitian

1.1 Latar Belakang

Acuan hukum dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi terhadap Undang-Undang No. 22 tahun 1999. Secara de facto, pemberlakuan otonomi daerah telah dimulai sejak 1 Januari 2001. Berdasarkan pasal 22 Undang-Undang No.32 tahun 2004 ditegaskan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi, daerah memiliki kewajiban antara lain : (1) melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI, (2) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, (3) mengembangkan kehidupan demokrasi, (4) mewujudkan keadilan dan pemerataan, dan (5) mengembangkan sumber daya produktif di daerah.

Dalam pembagian urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi daerah yang bersangkutan. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang dimaksud dengan ”urusan pemerintahan yang secara nyata ada” adalah sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi daerah antara lain : pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan pariwisata.

Secara filosofis, urusan pemerintahan yang secara nyata ada adalah untuk menyediakan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya dan untuk itulah kesesuaian antara kebutuhan nyata masyarakatnya atas pelayanan yang diberikan pemerintah daerah akan merupakan realitas otonomi daerah yang sebenarnya (Suwandi, 2002). Selanjutnya Suwandi (2003) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah harus memahami dengan benar sektor-sektor mana yang menjadi andalan daerah yang bersangkutan untuk dikembangkan, karena dengan pemahaman sektor unggulan tersebut akan menjadi acuan bagi daerah dalam menentukan isi otonomi atas dasar ”core competence” daerah yang bersangkutan,

dan dengan pengembangan core competence serta berbagai varian-nya akan memberikan dampak besar dalam pembangunan daerah tersebut.

Kebijakan otonomi daerah merupakan paradigma baru pengelolaan pemerintahan yang dilaksanakan sebagai penyempurnaan atas segala bentuk pemusatan wewenang dan tidak lepas dari tuntutan keadilan dan perbaikan nasib rakyat, khususnya di daerah untuk meningkatkan taraf hidup, penghargaan terhadap kondisi sosial dan budaya lokal, dan kelestarian lingkungan. Perubahan tersebut mempengaruhi secara langsung bentuk-bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan sebab telah memberikan kewenangan pengelolaan wilayah laut dari pemerintah pusat ke daerah. Keadaaan tersebut seperti yang diatur pada pasal 18 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kewenangan daerah tersebut meliputi : (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, (b) pengaturan administrasi, (c) pengaturan tata ruang, (d) penegakkan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, (e) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan, dan (f) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Selanjutnya ditegaskan bahwa kewenangan yang dimaksud adalah paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan / atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota; akan tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. ”Nelayan kecil” yang adalah nelayan masyarakat tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan secara tradisional, tidak dikenakan surat ijin dan bebas dari pajak, serta bebas menangkap ikan di seluruh pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.

Untuk menunjang konsepsi pembangunan yang mendukung otonomi daerah di wilayah laut, diperlukan beberapa prasyarat. Prasyarat tersebut dijelaskan oleh Kusumastanto (2003) yaitu sebagai berikut: pertama, kebebasan politik (political

freedom) yang bermakna bagi masyarakat pesisir yang implementasinya

berlandaskan pada prakarsa mereka sendiri (local initiatives). Prakarsa ini tidak mungkin berkembang secara produktif, jika masyarakat nelayan dan pesisir

umumnya berada di bawah tekanan ; kedua, penyediaan fasilitas – fasilitas ekonomi (economic facilities) yang menunjang pengembangan sektor kelautan dan perikanan menjadi sebuah persoalan politik yang diproyeksikan guna menunjang proses ekonomi yang berkeadilan. Oleh karena itu otonomi yang dikembangkan tanpa dibarengi perbaikan pelayanan justru akan menjadi ”beban”. Hal tersebut sama maknanya dengan memberikan kewenangan ke daerah, tetapi tanpa disertai dukungan sumber daya yang memadai; ketiga, terbukanya peluang sosial (social opportunities) yang mendukung otonomi daerah di wilayah laut ;

keempat, perluasan partisipasi (expansion of participation) masyarakat pesisir dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan ekonomi politik yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di daerah.

Dengan desentralisasi atau penyerahan wewenang dari pemerintah ke pemerintah daerah, maka terdapat keuntungan sekaligus pemerintah daerah menghadapi tantangan. Manfaat langsung dari penyerahan wewenang di bidang kelautan dan perikanan menurut Dahuri (2003) adalah pemerintah daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing

pemerintah pusat dan daerah dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah dan (c) pendapatan tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Sedangkan tantangan yang dihadapi adalah tanggung jawab dan pembiayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah berupa pembangunan kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain. Kusumastanto (2003) menyatakan bahwa dengan adanya otonomi daerah, mekanisme dan proses penyelenggaraan negara serta penguasaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sangat dekat dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakatnya yang seharusnya tidak perlu dijalankan sepenuhnya oleh negara. Dalam konteks ini otonomi termasuk wilayah laut yang merupakan peluang besar terjadinya redefinisi dan reorientasi pembangunan, asalkan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah dan memiliki wawasan yang jelas terhadap perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan.

Secara implisit, penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di sektor kelautan dan perikanan (desentralisasi) meliputi beberapa aspek di antaranya yang bersifat umum, aspek kelautan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengawasan dan pengendalian, pengolahan dan pemasaran, investasi dan peluang usaha, serta pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan.

Khusus pada aspek penyuluhan perikanan, hal yang diserahkan menjadi urusan daerah tingkat propinsi di antaranya adalah : (1) penetapan/perumusan kebijakan, norma, standar dan pedoman penyuluhan perikanan tingkat propinsi, (2) perencanaan penyelenggaraan penyuluhan perikanan tingkat propinsi dan/atau lintas kabupaten/kota, (3) melakukan koordinasi, supervisi dan distribusi sumberdaya penyuluhan perikanan di propinsi, (4) melaksanakan kerjasama penyuluhan perikanan dengan pihak lain, baik instansi pemerintah, swasta maupun masyarakat, (5) menyelenggarakan penyuluhan perikanan di tingkat propinsi. Kewenangan penyuluhan perikanan yang diserahkan menjadi urusan daerah tingkat kabupaten/kota meliputi : (1) merumuskan kebijakan, perencanaan, program dan kegiatan penyuluhan perikanan di kabupaten/kota setelah mendapat masukan dari penyuluh, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan dan unsur masyarakat lainnya, (2) menyusun pedoman teknis penyuluhan perikanan, (3) melakukan koordinasi, supervisi dan distribusi sumberdaya penyuluhan perikanan, (4) menyelenggarakan kegiatan penyuluhan perikanan, (5) menetapkan, mengangkat, membina dan mensupervisi petugas penyuluh yang berada di kabupaten/kota, (6) menetapkan lokasi dan memfasilitasi Pos Pelayanan Penyuluhan Perikanan, (7) melaksanakan pembinaan, pemantauan, pengawasan, penilaian dan evaluasi kegiatan penyuluhan perikanan di kabupaten/kota.

Perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi penyerahan kewenangan penyuluhan perikanan kepada pemerintah daerah (desentralisasi) berdampak pada masalah yang berkaitan lansung dengan institusionalisasi otonomi daerah. Secara teoritis dapat diterangkan dengan mensitir pendapat Dahuri (2003) tentang persoalan institusional di daerah dalam konteks pengelolaan wilayah laut untuk penyelenggaraan penyuluhan perikanan sebagai berikut:

1) Belum adanya institusi/lembaga pengelola khusus yang menangani masalah penyelengaraan penyuluhan perikanan di daerah. Implikasinya tidak tersedianya instrumen hukum penyelenggaraan penyuluhan perikanan. Selain itu, belum lengkapnya pedoman , standar, kebijakan, strategi dan manajemen penyuluhan di daerah guna peningkatan kesejahteraan masyarakat.

2) Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintahan) dalam bidang penyuluhan perikanan. Ini menimbulkan kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah yang ada terhadap penyelenggaraan penyuluhan perikanan.

3) Pemahaman sistem penyuluhan dan karakteristik pelaku utama. Selama ini program penyuluhan lebih banyak didesain oleh Pemerintah, telah menyebabkan kemampuan daerah dalam merancang program penyelenggaraan penyuluhan perikanan menjadi rendah. Hal ini akan berkaitan dengan masalah programa penyuluhan, mekanisme kerja dan metode, materi penyuluhan, peran serta dan kerjasama dalam penyelenggaraan peyuluhan perikanan.

4) Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan teknologi bidang kelautan dan perikanan. Akibatnya, upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum bisa terwujud.

Pada sisi lain, penyelenggaraan penyuluhan perikanan selama ini merupakan bagian dari sistem penyuluhan pertanian. Mengingat bahwa sifat dan bentuk kegiatan perikanan bersifat spesifik, maka menurut Purnomo (2006) diperlukan penyelenggaraan tersendiri untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dengan pertimbangan sebagai berikut:

1) Wawasan, pengetahuan, kesadaran sumberdaya manusia perikanan masih perlu ditingkatkan. Di sisi lain, kesadaran kritis (critical awareness)

masyarakat semakin meningkat di era reformasi sedangkan tingkat kepercayaan pada sistem birokrasi yang ada menurun, sehingga mereka berupaya mencari penyelesaian masalahnya dari berbagai sumber alternatif yang belum tentu dapat dipertanggung jawabkan. Masyarakat dari berbagai lapisan makin mudah dalam mengakses informasi lokal, nasional dan global

makin mudah dan intensif, serta secara utuh/tanpa saringan. Di sisi lain tingkat kedewasaan/kematangan sangat beragam dalam menyikapi penyelenggaraan penyuluhan sehingga rentan terhadap konflik.

2) Selama ini sistem penyuluhan yang ada bersifat polivalen sedangkan substansi perikanan bersifat khas, dimana kondisi teknis, lingkungan, ekologis dan sosial perikanan sangat spesifik, sehingga perlu tersedia kelembagaan, fasilitas, tenaga penyuluh, yang secara khusus menangani bidang perikanan dan dapat dilaksanakan secara tersendiri.

3) Kondisi saat ini menunjukkan bahwa nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan belum memanfaatkan teknologi terapan secara optimal untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraannya, sehingga pengetahuan, keterampilan, sikap dan motivasi yang dimiliki dipandang perlu untuk ditingkatkan melalui penyuluhan. Di sisi lain, sistem penyuluhan perikanan baku belum efektif implementasinya, sehingga dalam pelaksanaannya belum diselenggarakan dalam konteks jejaring kerja.

4) Saat ini terdapat perubahan sosial yang lebih demokratis dan tata pemerintahan yang lebih banyak melimpahkan kewenangan kepada daerah (prinsip otonomi daerah), namun demikian, implementasi otonomi daerah berimplikasi pada penempatan kegiatan dan kelembagaan penyuluhan (termasuk perikanan) bukan sebagai prioritas penanganan, karena dianggap sebagai overhead cost daerah (kata lain dari menjadi beban daerah dan bukan pemasok PAD). Secara pemerintahan, keberadaan kelembagaan penyuluhan perikanan sebagai unit administrasi pangkal di daerah menjadi beragam. 5) Tuntutan masyarakat terhadap sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang

lebih demokratis, seiring dengan kesadaran untuk keluar dari keterpurukan ekonomi yang membebani dan fungsi birokrasi yang selama ini kurang berpihak pada rakyat. Adanya semangat dan kesadaran membangun masyarakat setempat serta akses informasi yang mudah didapat, juga gencarnya agen pemasaran swasta dan institusi pendidikan dan penelitian di sektor perikanan, telah menempatkan penyuluh fungsional PNS bukan sebagai satu-satunya agent of change.

Dalam konteks desentralisasi penyuluhan perikanan yang harus dilaksanakan secara spesifik sesuai tuntutan pelaku utama di daerah memerlukan suatu perencanaan dan pengembangan yang terpadu yang mencakup aspek-aspek seperti kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta kebutuhan pelaku utama.

Untuk memperoleh gambaran yang komprehensip mengenai status (kondisi) pengembangan penyuluhan perikanan di daerah pada era desentralisasi sekaligus bisa mengidentifikasi berbagai masalah serta arah pemecahannya bagi pengambilan keputusan dan penentuan prioritas kebijakan, maka penelitian ini dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat diidentifikasikan permasalahan-permasalahan pada pengembangan sistem penyuluhan perikanan yang terjadi pada era desentralisasi sebagai berikut:

1) Penyelenggaraan penyuluhan perikanan belum berfungsi dan berjalan secara optimal di daerah karena kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan perikanan belum terbentuk. Kalaupun ada, tugas pokok dan fungsinya masih polivalen serta programnya tidak terfokus ke penyelenggaraan penyuluhan perikanan.

2) Banyaknya alih tugas penyuluh perikanan ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya dan rendahnya kemampuan dan kinerja penyuluh perikanan.

3) Materi dan metoda penyuluhan perikanan belum sepenuhnya mendukung pengembangan perikanan sebagai komoditas unggulan di daerah, karena kurangnya dukungan informasi dan keterbatasan sumberdaya.

4) Terbatasnya dukungan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan dari pemerintah daerah maupun dukungan pembiayaan dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan.

5) Kurangnya keberpihakan kepada pelaku utama sehingga penyuluhan perikanan yang dioperasionalkan belum sepenuhnya menggairahkan peran

pelaku utama untuk turut serta dalam pengembangan sistem penyuluhan perikanan.

Dengan melihat berbagai permasalahan yang kompleks dalam pengembangan sistem penyuluhan perikanan di era desentralisasi, maka diperlukan suatu solusi melalui pendekatan yang bersifat multidimensi/integral yang mencakup aspek-aspek yang mempengaruhi penyuluhan perikanan era desentralisasi sehingga pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dapat diwujudkan secara optimal.

Kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah antara lain: (1) sulitnya merubah paradigma stakeholder yang berperan dalam pengembangan sistem penyuluhan di daerah dan adanya perbedaan persepsi tentang penyuluhan perikanan, (2) belum fokusnya prioritas pemerintah daerah terhadap penanganan penyuluhan perikanan, (3) sistem operasionalisasi penyuluhan perikanan belum terintegrasi dan dijabarkan dalam aturan/pedoman yang dapat dijadikan acuan desentralisasi penyuluhan bagi daerah.

Dengan demikian permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah upaya merancang suatu sistem yang terintegrasi menyangkut berbagai dimensi pengembangan penyuluhan perikanan sebagai upaya untuk mengembangkan sumberdaya manusia perikanan (pelaku utama) di daerah.

Pertanyaan selanjutnya dalam penelitian ini adalah:

1) Apa saja atribut/indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan pengembangan penyuluhan perikanan dari masing-masing dimensi (kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta respons pelaku utama/sosial) ?

2) Seberapa besar performa pengembangan penyelenggaraan penyuluhan perikanan saat ini?

3) Apakah ada perbedaan performa pengembangan penyelenggaraan penyuluhan antar wilayah di Indonesia?

4) Bagaimana rumusan kebijakan yang dapat menjadi pedoman dasar bagi daerah dalam pengembangan penyuluhan perikanan?