• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1 Peta lokasi penelitian

2.3 Konsepsi Penyuluhan

Istilah penyuluhan dipopulerkan oleh James Stuard dari Trinity College (Cambridge) tahun 1867-1868, walaupun sebenarnya istilah UniversitasExtension

atau Extension of University telah digunakan di Inggris pada tahun 1840 dan pada 1871 telah dijadikan mata kuliah yang diajarkan pada Universitas Cambridge serta menerapkan sistem penyuluhan di lingkungan kampus, sedangkan di Amerika pada abad 20 sasaran penyuluhan telah meluas keluar kampus dengan menempatkan pengajar sebagai kegiatan akademi dan mempekerjakan penyuluh sampai ke daerah/negara bagian (van den Ban dan Hawkins, 1999)

Secara harfiah kata penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor atau alat untuk menerangi keadaan yang gelap, dimana menerangi bermakna petunjuk bagi masyarakat dari tidak tahu menjadi mengerti, dari mengerti menjadi mengerti lagi (Nasution, 1996). Lebih lanjut menurut Claar et al. (1984) dalam

Poernomo (2004) menerangkan bahwa penyuluhan merupakan jenis khusus dari pendidikan problem solving yang berorientasi pada tindakan pengajaran sesuatu, mendemonstrasikan, memotivasi, tetapi tidak melakukan pengaturan (regulating) dan tidak melaksanakan program yang bersifat non creative. Tindakan mengajarkan sesuatu artinya bisa dimaknai sebagai upaya memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk melakukan hal-hal yang sifatnya masih asing dan baru. Dengan begitu makna penyuluhan adalah proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang belum diketahui dengan jelas untuk dilaksanakan/diterapkan dalam rangka meningkatkan produksi dan pendapatan/keuntungan yang dicapai melalui suatu kegiatan (Sayogo, 1998). Apa yang dimaksud oleh Sayogo tersebut sejalan dengan konsep penyuluhan yang dikemukakan oleh Samsudin (1977) yang menurutnya penyuluhan adalah sistem pendidikan non formal tanpa paksaan yang menjadikan seseorang sadar dan yakin bahwa sesuatu yang diajarkan akan membawa kearah perbaikan dari hal-hal yang dikerjakan atau dilaksanakan sebelumnya.

Pada konteks penyuluhan, pengetahuan yang disampaikan adalah yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan masih dalam bingkai

pemberian pengetahuan yang dalam istilah penyuluhan dipakai kata dominan adalah pendidikan. Karena penyuluhan dapat dipersepsikan sebagai pendidikan non formal, implementasinya bukan saja untuk bidang tertentu akan tetapi dapat diterapkan pada aktifitas lainnya yang berkaitan dengan pemberian pengetahuan kepada orang lain (Poernomo, 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa jika dipahami lebih jauh tentang pendidikan yang disyaratkan dalam pengertian penyuluhan, maka pendidikan mempunyai posisi yang strategis bagi masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan, terutama dalam aktifitas belajar mengajar di luar sekolah, karena melalui pendidikan masyarakat mempunyai pengalaman terutama dalam bidang bagaimana meningkatkan kualitas hidup mereka seperti yang dikemukakan oleh Sayoga (1998) bahwa dalam masyarakat barat telah dikembangkan falsafah “3t” yakni : teach, truth, dan trust (pendidikan, kebenaran dan kepercayaan), artinya penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan untuk menyampaikan kebenaran yang telah diyakini. Atau dengan kata lain, dalam penyuluhan diajarkan informasi yang baru, yang telah teruji kebenarannya dan telah diyakini dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. Dengan demikian konsep-konsep pengertian tersebut menujukkan bahwa penyuluhan dianggap sebagai suatu proses memberikan pengetahuan kepada masyarakat.

Menurut Leagans (1995) dikutip Ibrahim (2001) memandang panyuluhan sebagai bentuk khusus dari pendidikan luar sekolah bagi orang dewasa maupun pendidikan terus menerus yang berfungsi untuk menyebarluaskan pengetahuan dan teknologi kepada kelompok masyarakat sasaran beserta keluarganya agar mereka mampu, sanggup dan berswadaya untuk meningkatkan produksi dan pendapatan dalam usahanya hingga hidupnya dapat lebih sejahtera. Hal ini sejalan dengan pengertian yang diajukan oleh Slamet (2003) bahwa penyuluhan adalah suatu usaha pendidikan non formal yang merupakan suatu sistem pendidikan praktis dengan maksud agar kelompok sasaran dapat belajar sambil mengerjakan usahanya. Ditambahkan oleh Wiriatmaja (1990) bahwa pendidikan di luar sekolah tersebut agar mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi mau, tahu dan dapat menyelesaikan sendiri masalah – masalah yang dihadapinya secara baik, menguntungkan dan memuaskan.

Oleh karena itu Slamet (2003) berkesimpulan bahwa penyuluhan mempunyai falsafah dasar yakni : (1) penyuluhan adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi, (3) penyuluhan adalah proses kontinue. Dengan falsafah dasar tersebut, penyuluhan bermakna: menolong orang agar orang tersebut mampu menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Karena sifatnya yang demikian, maka menurut Soedarmanto (1994) penyuluhan biasa juga disebut pendidikan non formal yakni suatu bentuk pendidikan yang cara, bahan dan sarananya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kepentingan sasaran.

Padmanegara (1973) dikutip Slamet (1987) menyatakan bahwa penyuluhan sebagai sistem pendidikan diluar sekolah baik informal maupun non formal untuk kelompok sasaran dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki maupun meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Penyuluhan sebagai proses pendidikan harus dapat membawa perubahan manusia dalam aspek koqnitif, afektif maupn psikomotoriknya (Sumardjo, 1999). Menurut Komar (2006), pendidikan non formal adalah pendidikan yang diselenggarakan diluar sekolah, baik dilembagakan maupun tidak dan penyelenggaraannya bersifat lebih terbuka, tidak terikat dan tidak terpusat serta secara cepat dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah. Berdasarkan pengertian pendidikan non formal yang mengacu pada proses penyelenggaraannya, Adikusumo (1973) yang dikutip oleh Komar (2006) menyatakan bahwa setiap kesempatan yang didalamnya terdapat komunikasi yang teratur dan terarah diluar sekolah, dan seseorang / kelompok memperoleh informasi, pengetahuan, pelatihan ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan bangsanya.

Berbagai perspektif tentang konsep penyuluhan seperti pendidikan penyuluhan (extension education), pendidikan non formal (non formal education), alih teknologi (technology transfer) maupun penyuluhan pembangunan (developmentextension) setelah memperkaya konsep dan memberikan sumbangan terhadap kemajuan pelaksanaan penyuluhan yang berkembang. Slamet (2003)

mengaplikasikan konsep penyuluhandalam konteks yang lebih luas yaitu konteks pembangunan dengan mengembangkan Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantikan dengan perilaku baru yang berakibat kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi lebih baik.

Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan memulai proses perkembangannya dengan merangkum konsep-konsep ilmiah dari berbagai disiplin ilmu lain yang relevan, seperti ilmu pendidikan ekonomi, psikologi, antropologi, sosiologi, psikologi sosial, manajemen dan komunikasi yang oleh Slamet (2003) menyatakan bahwa sebagai ilmu, penyuluhan pembangunan bersifat interdisipliner karena praktek penyuluhan pembangunan di lapangan menuntut pendekatan interdisipliner. Sejalan dengan itu Dahama & Bhatnagar (1980) dalam Ibrahim (2001) mengatakan bahwa pendidikan penyuluhan merupakan ilmu terapan yang terdiri dari berbagai hal dari hasil penelitian yang bersifat fisik, biologi dan ilmu-ilmu sosial disintesa dalam suatu konsep, prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang ditujukan pada pelaksanaan pendidikan luar sekolah orang dewasa.

van den Ban dan Hawkins (1999) mempersepsikan bahwa penyuluhan merupakan kegiatan mempengaruhi perilaku sasaran untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengambil keputusan sendiri mengenai cara-cara mencapai tujuannya. Penyuluhansebagai proses pendidikan dalam pembangunan menurut Mosher (1966) karena sifatnya yang selektif, dalam arti memilih bahan dan metode pendidikannya yang bersifat langsung dan segera menunjang pembangunan yang dikehendaki.

Penyuluhan sebagai proses demokrasi oleh Soemardjo (1999) memberi alasan karena penyuluhan harus dapat menciptakan suasana bebas untuk mengembangkan kemampuan masyarakat untuk diajak berpikir, berdiskusi, menyelesaikan masalahnya dan bertindak sehingga berlaku penyelesaian dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Sebagai proses yang berkelanjutan, penyuluhan harus dimulai dari keadaan kelompok sasaran kearah tujuan yang mereka kehendaki berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan yang akan

mereka rasakan dan yang senantiasa berkembang. Selanjutnya diungkapkan oleh Roling (1988) dalam Ibrahim (2001) bahwa penyuluhan sama dengan suatu proses perubahan berencana bagi sasaran tertentu, dan Roling mendefinisikan penyuluhan sebagai suatu intervensi komunikasi yang diselenggarakan oleh sesuatu lembaga untuk menimbulkan (induce) perubahan perilaku secara sukarela (voluntare change) bagi kesejahteraan masyarakat.

Sebagai suatu intervensi, penyuluhan merupakan suatu upaya sistematis melalui penerapan strategi dengan mengkondisikan sumberdaya bagi berlangsungnya proses sosial, perubahan orientasi sehingga mengarahkan proses pada dorongan terjadinya perubahan yang dikehendaki bersama; jadi penyuluhan adalah sesuatu yang dipikirkan, direncanakan, dirancang secara sistematik, diprogramkan dan diarahkan pada suatu tujuan dan aktivitas yang disengaja. Sebagai suatu proses komunikasi, penyuluhan oleh Swason (1984) yang dikutip Ibrahim (2001) adalah pemberian informasi oleh seorang (komunikan) yang berguna kepada kelompok sasaran dan kemudian dapat membantu kelompok sasarannya untuk mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan agar efektif menggunakan informasi atau teknologi yang diberikan. van den Ban & Hawkins (1999) juga berpendapat bahwa penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar untuk membantu sasaran dalam berpendapat dan bisa membuat keputusan yang benar.

Batasan pengertian penyuluhan dan komunikasi itu tidak jauh berbeda, akan tetapi antara keduanya masih terdapat perbedaan. Komunikasi menurut Suprapto dan Fahriannor (2004) dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dalam bentuk simbol atau lambang yang melibatkan dua person atau lebih yang terdiri atas pengirim (komunikator) dan penerima (komunikan) dengan maksud untuk mencapai tujuan bersama mengenai masalah atau persoalan masing-masing pihak. Dari berbagai konsep, menunjukkan bahwa penyuluhan dianggap sebagai suatu proses memberikan pengetahuan kepada masyarakat; dan pada konteks pemberian pengetahuan inilah Suprapto dan Fahriannor (2004) menyatakan bahwa komunikasi menempati peranan yang strategis, sehingga menurutnya penyuluhan adalah proses komunikasi. Menurut Bungin (2006) komunikasi berfungsi untuk menyampaikan informasi, mendidik, menghibur dan

mempengaruhi; sedangkan tujuan komunikasi adalah untuk perubahan sikap, perubahan pendapat, perubahan perilaku dan perubahan sosial. Hardiman (2003) berpendapat bahwa tindakan komunikasi harus diarahkan oleh norma-norma yang disepakati bersama berdasarkan harapan timbal balik yang dipahami dalam bahasa sehari-hari adalah sangat penting sebagai media komunikasi. Lebih jauh Rahmat (2001) mengatakan bahwa perubahan sikap sangat dipengaruhi oleh cara komunikasi dalam penyuluhan, faktor-faktor personal dan faktor-faktor situasional. Dijelaskan oleh Soekartawi (2005) bahwa penyampaian informasi (komunikasi) dikatakan berhasil jika kedua belah pihak (komunikator dan komunikan) merasa diuntungkan, disatu pihak komunikator merasa yakin kalau pesan yang diberikan diserap oleh komunikan dan dipihak lain komunikan merasa diuntungkan setelah mendapatkan pesan yang diberikan oleh komunikator; oleh karena itu komunikasi menjadi penting dalam metode penyuluhan. Ditambahkan oleh Murdiyanto (2004) bahwa dalam pengembangan masyarakat pantai sebagai komunikan, maka partisipasi mereka adalah faktor yang sangat menentukan dalam pendekatan pengelolaan perikanan. Hal ini sejalan dengan prinsip penyuluhan yang harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan (Dahama & Bhatnagar, 1980 dalam Sumardjo 1999).

Swanson (1990) yang dikutip Puspadi (2002) menyatakan bahwa tujuan penyuluhan adalah membantu memperbaiki tingkat kehidupan keluarga sasaran dan peningkatan kemampuannya melalui proses transfer teknologi, dimana untuk mencapai tujuan tersebut, maka kegiatan penyuluhan harus: (1) dinamis, (2) dibutuhkan masyarakat, (3) menjangkau mayoritas masyarakat sasaran, (4) bersifat perbaikan dan (5) dapat dinilai/diukur dan fakta-faktanya dapat dikumpulkan (Slamet dan Asngari, 1998 dalam Puspadi, 2002).

Dalam hubungan itu, unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan tujuan kegiatan penyuluhan antara lain: (1) orang yang menjadi sasaran penyuluhan, (2) perubahan perilaku yang diinginkan dan (3) masalah yang ingin dipecahkan dengan perubahan perilaku tersebut (Slamet, 1978 dalam

Dikemukakan oleh van den Ban dan Hawkins, (1999) bahwa pencapaian tujuan penyuluhan dapat mengunakan berbagai cara, antara lain: (1) memberi nasehat, (2) menambahkan kisaran alternatif, (3) memberi informasi mengenai konsekwensi yang dapat diharapkan dari masing-masing alternatif, (4) membantunya dalam memutuskan tujuan mana yang paling penting, (5) membantunya dalam mengambil keputusan secara sistematis, (6) membantu belajar dari pengalaman dan dari pengujicobaan dan (7) mendorongnya untuk tukar menukar informasi dengan sesama sasaran.