• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelenggaraan penyuluhan perikanan

Halaman 1 Peta lokasi penelitian

2.6 Sistem Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan

2.6.4 Penyelenggaraan penyuluhan perikanan

Penyuluhan harus dilaksanakan berdasarkan program penyuluhan yang terencana, yang akan memberikan arahan dalam bentuk kegiatan. Program penyuluhan tingkat pusat, ditujukan untuk menetapkan kegiatan-kegiatan pusat untuk dapat memfasilitasi penyelenggaraan penyuluhan di tingkat propinsi dan di tingkat kabupaten/kota, sedangkan di propinsi, program penyuluhan berisikan pengorganisasian dan pemanfaatan sumberdaya yang dibutuhkan untuk memfasilitasi penyelenggaraan penyuluhan di kabupaten/kota atau lintas kabupaten/kota. Demikian halnya, program penyuluhan di kabupaten/kota berisikan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber daya untuk memfasilitasi penyelenggaraan penyuluhan di kecamatan yang diselenggarakan berpedoman pada programa penyuluhan kecamatan dan tingkat lapangan (Badan Pengembangan SDM Deptan, 2003)

Dalam hierarki hubungan tersebut penyelenggaraan penyuluhan kiranya harus sesuai dengan filosofi dan prinsip-prinsip penyelenggaraan penyuluhan yaitu: 1) otonomi dan desentralisasi, 2) kemitrasejajaran, 3) demokrasi, 4) keterbukaan, 5) keswadayaan, 6) akuntabilitas, 7) integrasi, dan 8) keberpihakan (BPSDM-Deptan, 2004). Dikemukakan oleh Wiriatmaja (1983) yang dikutip Poernomo (2005) bahwa penyelenggaraan penyuluhan harus mengikuti azas kerja sebagai pedoman semua pihak, sebagai berikut : (1) penyuluhan harus diselenggarakan menurut keadaan yang nyata, tidak hanya berdasarkan program atau proyek yang bersifat sterotip. Untuk ini penyuluh harus mengenal masyarakat

dan kebutuhannya; (2) penyuluhan harus ditujukan kepada kepentingan dan kebutuhan sesama, bukan untuk kepentingan sumber dana, motif politik, atau kepentingan individu penyuluh; (3) penyuluhan ditujukan kepada seluruh anggota keluarga masyarakat, tidak untuk kelompok golongan atau orang per-orang; kecuali bila memang materi penyuluhannya bersifat spesifik atau memang merupakan tahapan strategi; (4) penyuluhan adalah pendidikan untuk demokrasi dan dilaksanakan secara demokratis, mengikut sertakan sasaran dalam segala tahapan; (5) harus ada hubungan yang erat antara penyuluhan, pendidikan atau pelatihan dan penelitian, sehingga bisa saling menunjang dan saling mengisi.

Menurut Soedijanto (2004) penyuluhan adalah proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan cara melibatkan pelaku utama dan pelaku usaha untuk melakukan “discovery learning “ agar mendapatkan ilmu dan teknologi yang mereka butuhkan untuk dapat keluar dari masalahnya secara mandiri dan independensi. Proses penemuan ilmu dan teknologi adalah proses pembelajaran (bukan proses pengajaran yang menempatkan penyuluh sebagai

“pengajar” dan pelaku utama sebagai “murid” yang diajar); sedangkan proses untuk dapat keluar dari masalah secara mandiri dan independensi adalah proses pemberdayaan. Jadi penyuluhan adalah proses pencerahan (yakni proses keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan untuk membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga orang tersebut bisa membuat keputusan yang benar). Proses ini berintikan proses pembelajaran dan pemberdayaan sehingga disarankan agar model penyuluhan harus diubah: 1) dari model paket teknologi ke model “farmer driven”; 2) dari model linier kemodel “research and development” ; 3) dari model tranfer teknologi ke model pemberdayaan; 4) dari model “delivery” ke model akuisisi (Soedijanto, 2004).

Mardikanto (1993) yang dikutip Poernomo (2004) menyarankan agar dalam kegiatan penyuluhan dapat diselenggarakan dengan metode atau cara yang dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan misi yang harus dicapai, yaitu : (1) secara persuasif, atau bujukan kepada sasaran, terutama menyentuh aspek emosi secara bertahap dan berkelanjutan; (2) secara pervation, atau pengulangan pesan sehingga akhirnya masuk kedalam persepsi sasaran yang disuluh; (3) secara

compulsion yakni teknik pemaksaan tidak langsung dengan menciptakan kondisi yang membuat tidak ada alternatif lain bagi sasaran untuk harus mengikuti misi penyuluha; (4) secara coersion atau pemberian stick and carrot, yakni “pemaksaan” secara langsung dengan memberikan hadiah bagi yang melaksanakan/mendukungnya, (seperti pada penyuluhan untuk mencegah perusakan terumbu karang). Dengan berbagai cara tersebut diharapkan secara bertahap sasaran penyuluhan akan melalui urutan tingkat-tingkat psikologis dan perilaku dalam melakukan proses adopsi yakni tahap menyadari, tahap berminat, tahap menilai, tahap mencoba, dan akhirnya tahap penerapan atau adopsi (Wiriatmaja dalam Poernomo, 2004). Dalam hubungan itu Poernomo (2004) menambahkan bahwa pentahapan tersebut merupakan proses mental, sehingga pada kenyataannya dapat berurutan secara gradual, tapi dapat pula tumpang tindih atau tanpa berurutan bahkan bisa juga mengalami lompatan; yang kesemuanya menentukan cepat-lambatnya suatu proses adopsi-inovasi.

Menurut Nasution (1996), dalam penerimaan sesuatu inovasi, biasanya seseorang melalui sejumlah tahapan yang disebut tahap putusan inovasi, yaitu: (1) tahap pengetahuan, dimana seseorang sadar dan tahu bahwa ada sesuatu inovasi; (2) tahap bujukan, dimana sedang mempertimbangkan dan membentuk sikap terhadap inovasi, apakah ia menyukai atau tidak; (3) tahap putusan, dimana seseorang membuat putusan apakah menerima atau menolak inovasi tersebut; (4) tahap implementasi, dimana seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya mengenai sesuatu inovasi; (5) tahap pemastian, dimana seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang telah diambilnya tersebut.

Masyarakat yang menghadapi suatu penyebarserapan inovasi, oleh Rogers dan Shoemaker (1971) yang dikutip Nasution (1996) mengelompokan dalam golongan-golongan : (1) inovator, yakni mereka yang pada dasarnya menyenangi hal-hal baru dan rajin melakukan percobaan-percobaan; (2) penerima dini (early adopters); (3) mayoritas dini (early majority), yakni orang-orang yang selangkah lebih dahulu menerima suatu inovasi dibanding rata-rata kebanyakan orang lainnya; (4) mayoritas belakangan (late majority), yakni orang-orang yang baru bersedia menerima inovasi apabila masyarakat sekelilingnya sudah menerima; (5)

laggards, yakni lapisan yang paling akhir dalam menerima suatu inovasi atau malah tidak mau sama sekali.

Sehubungan dengan penyebarserapan inovasi, maka menurut Nasution (1996) terdapat lima atribut yang menandai setiap gagasan atau cara baru, yang oleh Poernomo (2004) menyatakan seringkali merupakan materi penyuluhan, yaitu : (1) keuntungan-keuntungan relatif (relative advantages), yakni gagasan baru tersebut memberikan suatu keuntungan relatif, (2) keserasian (compatibility), yakni inovasi yang didifusikan serasi dengan nilai, sistem kepercayaan, gagasan yang dahulu, kebutuhan, selera, adat-istiadat, dan sebagainya dari masyarakat yang bersangkutan; (3) kerumitan (complecity), yakni inovasi tersebut dirasakan rumit, karena pada umumnya masyarakat tidak atau kurang berminat pada hal-hal yang rumit yang sukar untuk dipahami dan dapat dianggap menambah beban baru; (4) dapat dicobakan (trialability), yakni inovasi tersebut akan lebih cepat diterima bila dapat dicobakan dalam bentuk ukuran kecil (model) sebelum menerimanya secara menyeluruh untuk menghindari resiko yang besar; (5) dapat dilihat

(observability) yakni disaksikan dengan mata dan dapat terlihat langsung hasilnya, bukan sesuatu yang abstrak, yang hanya ada dalam pikiran/hanya dibayangkan.

Dalam Pedoman Umum Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan, materi penyuluhan dapat berupa salah satu atau lebih dari 6 (enam) aspek, yaitu : 1) aspek teknologi, yakni penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang perikanan atau bidang lainnya untuk meningkatkan produktivitas secara bertanggungjawab; 2) aspek manajemen, yakni penerapan manajemen yang baik dalam rangka efektifitas dan efisiensi untuk meningkatkan kinerja usaha perikanan; 3) aspek ekonomi, yakni pemanfaatan sumberdaya ekonomi yang meliputi antara lain penyediaan modal, sarana produksi, informasi potensi sumberdaya, informasi prospek dan peluang usaha atau jaringan pasar yang diperlukan untuk mengembangkan usaha dan meningkatkan kesejahteraannya; 4) aspek ekologis, yakni pemahaman dan kesadaran tentang arti penting kelestarian sumberdaya alam agar usaha atau kegiatannya dapat berkelanjutan dan menjadi lebih baik pada masa yang akan datang, serta tidak merugikan masyarakat dan lingkungannya; 5) aspek sosial dan budaya, yakni pengembangan kondisi sosial dan kesadaran kultural untuk meningkatkan kemampuan dalam menyalurkan

aspirasi serta mengembangkan harkat kemanusiaan dan kesejahteraannya, dengan mengembangkan adat positif setempat; 6) aspek hukum, yakni pemberian informasi tentang peraturan perundang-undangan sehingga khalayak yang disuluh menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara, khususnya yang terkait dengan kegiatan dibidang perikanan.

Menurut Nasution (1996) suatu inovasi biasanya terdiri dari dua komponen, yakni komponen ide dan komponen objek (yaitu aspek material atau produk fisik dari ide). Setiap inovasi selalu memiliki komponen ide, namun banyak juga yang tidak mempunyai rujukan fisik, sehingga penerimaan terhadap suatu inovasi yang memiliki kedua komponen tersebut memerlukan adopsi yang berupa tindakan (action), sedang untuk inovasi yang hanya mempunyai komponen ide, penerimaannya lebih merupakan suatu putusan simbolik.

Dalam proses penyebarserapan inovasi terdapat unsur-unsur utama yang Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Nasution (1996) terdiri atas: (1) suatu inovasi, (2) yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu, (3) dalam suatu jangka waktu, (4) diantara para anggota suatu sistem sosial. Cara atau teknik penyampaian inovasi/materi penyuluhan kepada pelaku utama dan pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung inilah dikenal dengan metode penyuluhan (Badan PSDM Deptan, 2003). Metoda penyuluhan dalam Pedoman Umum Pemilihan Metode (2003) terdiri dari 3 (tiga) golongan yaitu : 1) berdasarkan teknik komulasi; 2) berdasarkan jumlah sasaran yang dicapai, dan 3) berdasarkan indra penerima dari sasaran. Berdasarkan teknik komunikasi dibagi : (1) metoda penyuluhan langsung (direct communications), dimana penyuluh secara langsung bertatap muka dan berdialog dengan pelaku utama/pelaku usaha (seperti : demonstrasi, ceramah, kursus, obrolan sore, dan sebagainya) ; (2) metoda penyuluhan tidak langsung (indirect communications), dimana penyuluh tidak berhadapan langsung dengan pelaku utama/pelaku usaha melainkan melalui “perantara” / media komunikasi (seperti : poster, brosur, leaflet, majalah, siaran radio, TV, pemutaran slide, film dan sebagainya). Berdasarkan jumlah sasaran yang dicapai dibagi: 1) pendekatan perorangan, dimana penyuluh berhubungan dengan pelaku utama secara perorangan baik langsung maupun tidak langsung (seperti: kunjungan rumah/tempat usaha, surat menyurat, hubungan telepon, dan

sebagainya); 2) pendekatan kelompok, dimana penyuluh berhubungan dengan sekelompok pelaku utama / pelaku usaha (seperti : diskusi, karya wisata, kursus, pertemuan kekompok, dan sebagainya); 3) pendekatan masal, dimana penyuluh berhubungan dengan pelaku utama / pelaku usaha secara masal (seperti : siaran radio, TV, berita dikoran/majalah, pemasangan poster/spanduk, penyelenggaraan pameran, dan sebagainya). Berdasarkan indra penerima dari sasaran, terbagi : (1) melalui indra penglihatan; karena materi yang diterima sasaran melalui indra penglihatan (seperti : penyebaran bahan cetakan, album foto, atau slide tanpa suara, dan sebagainya); (2) melalui indra pendengaran, karena materi yang diterima sasaran melalui indra pendengaran (seperti: pemutaran tape recorder, radio, dan sebagainya); (3) melalui kombinasi indra penerima, karena materi yang diterima dapat melalui kombinasi lebih dari dua indra antara indra penglihatan, indra pendengaran, penciuman serta perabaan (seperti : demontrasi cara/hasil, pemutaran film, video atau siaran TV)

Menurut Poernomo (2004) metoda pendekatan dalam penyuluhan perikanan dapat bersifat persuasif, edukatif, komunikatif, akomodatif dan fasilitatif, yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) persuasif artinya bahwa mampu meyakinkan sasaran, sehingga mereka merasa tertarik terhadap hal-hal yang disampaikan; 2) edukatif, artinya bahwa penyuluh perikanan harus bersikap dan berperilaku sebagai pendidik yang dengan penuh kesabaran dan ketekunan membimbing masyarakat; 3) komunikatif, artinya bahwa penyuluh perikanan harus mampu berkomunikasi dan menciptakan iklim serta suasana sedemikian rupa sehingga tercipta suatu pembicaraan atau komunikasi yang bersifat akrab, terbuka dan timbal balik; 4) akomodatif, artinya bahwa dengan diajukannya permasalahan-permasalahan dibidang perikanan oleh masyarakat, penyuluh perikanan mampu megakomodasikan, menampung dan memberikan jalan pemecahannya dengan sikap dan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami oleh khalayak yang disuluh; 5) fasilitatif, artinya bahwa penyuluh perikanan harus mampu memanfaatkan jejaring kerja penyuluhan perikanan untuk menghubungkan antara khalayak yang disuluh dengan pihak yang lain seperti sumber teknologi, sumber permodalan, sumber informasi, akses pasar, dan lain- lain.

Sementara itu dalam Pedoman Umum Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan (2002) dicantumkan bahwa khalayak yang disuluh meliputi seluruh lapisan masyarakat yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) nelayan, (2) pembudidaya ikan, (3) pengolah ikan, (4) pedagang ikan, (5) pengusaha perikanan, (6) generasi muda, (7) tokoh adat dan masyarakat, (8) pemuka agama, (9) aparatur pemerintahan, (10) kelompok masyarakat lainnya yang berkaitan secara langsung atau tidak dengan perikanan. Menurut Undang-Undang No. 16 tahun 2006, sasaran penyuluhan dibagi menjadi sasaran utama dan sasaran antara, dimana sasaran utama adalah pelaku utama dan pelaku usaha, sedangkan sasaran antara adalah pemangku kepentingan lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati (perikanan) serta generasi muda dan tokoh masyarakat. Pelaku utama kegiatan perikanan adalah nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan beserta keluarga intinya, dan pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha perikanan.

Poernomo (2004) menyarankan agar para penyuluh harus memahami benar tentang sistem sosial, norma-norma yang berlaku, kepercayaan yang dianut dan berbagai karakteristik khalayak yang disuluh dalam rangka mencapai tujuan penyuluhan perikanan. Kebutuhan hal ini muncul, terutama oleh karena diterapkannya berbagai materi, metoda dan pendekatan penyuluhan yang harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat perikanan yang memang sangat spesifik (berbeda dengan masyarakat petani umumnya).