• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patogenesis Mastitis Subklinis yang Disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada Mencit Berdasarkan Gambaran Histopatologi sebagai Hewan Model untuk Sapi Perah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Patogenesis Mastitis Subklinis yang Disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada Mencit Berdasarkan Gambaran Histopatologi sebagai Hewan Model untuk Sapi Perah"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)

PATOGENESIS MASTITIS SUBKLlNlS YANG DISEBABKAN OLEH

Staphylococcus aureus PADA MENCIT BERDASARKAN GAMBARAN

HISTOPATOLOGI SEBAGAI HEWAN MODEL UNTUK SAP1 PERAH

OLEH :

SAYU PUTU YUNl PARYATl

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(77)

ABSTRAK

SAYU PUTU YUNl PARYATI. Patoaenesis Mastitii Subklinis vana Dibabkan oleh Staphyiloooccus aureus pada

en&

Berdasarkan ~ a m b a r a ~ ~ i ~ o p a t o l o g i sebagai

Hewan Model untuk Sapi Perah. Dibawah bimbinaan BAMBANG PONTJO

-

PRIOSOERYANTO dan I WAYAN TEGUH WIBAWAN.

Kejadian mastitis pada sapi di Indonesia sangat tinggi, sebagian besar merupakan mastitis subklinis. Berbagai penyebab mastitis subklinis, di antaranya adalah bakteri. Salah satu bakteri yeng paling sering terisolasi dari sampel susu penderita mastitii subklinis adalah S t a p h ~ o c o a m aureus. Pada kasus mas% subklinis, ambing sapi tidak memperlihatkan pe~bahan atau tanda-tanda sakit, akan tetapi dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedik'i, diintaranya karena penurunan produksi dan kualiis susu, pengafkiran susu, biaya pengobatan dan jasa dokter hewan.

Masalah mastitis pada sapi perah telah banyak dipelajari, baik secara in

vitro

rnaupun in vivo, namun belum banyak diketahui mengenai patogenesis mastitis subklinis. Berbagai kendala yang dihadapi untuk mempelajari patogenesis mastitis subklinis secara histopatologi menggunakan sapi perah, maka dalam peneliian ini diaunakan mencit sebaaai hewan model. Tuiwn dari peneliian ini adalah untuk

mkpelajari perubaha&rubahan yang teiadi dalam jaringan kelenjar ambing

yang diinfeksi oleh S. aureus berdasarkan gambaran histopatdogi.

- -

Sebanyak 42 ekor mencit laktasi dcnfeksi dengan S. auius. Masing-masing ambing dietesi 50 p1 suspensi yang rnengandungl~~ sel I ml melalui lubang puting (orificium extema). Tiga ekor mencit sebagai kontml negatif (tidak diinfeksi). Mencit yang diinfeksi dengan S. a u m s dibagi menjadi 14 kelompok sesuai tahapan waktu. yaitu : 2,4,6,8, 12, 16.20.20, 24, 36.48.60.72, 84 dan 96 jam pasca infeksi (pi). Mencit dieuthanasi sesuai perlakuan. iarinaan ambina diambil untuk pembuatan - -

-

preparat histopatologi. ~ e n ~ a m a t a n secara histo$ologi dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin, sedangkan untuk rnelihat keberadaan bakteri

-

digunakan pewamaan Watthin-Stany.

Pengamatan secara hiiopatologi menunjukkan, bahwa infeksi bakteri S. aureus pada mencit tidak menyebabkan adanya perubahan jaringan arnbing secara klinis. Patogenesis bakteri S. aureus dimulai dari puting ambing melalui ductus

lactive~s menuju alveol, diawali dengan menempelnya bakteri pada perrnukaan sel

epitel (12 jam p i ) , menyebabkan degenerasi dan nekrosis (24 jam p.i.). Selanjutnya terjadi atrofi kelenjar dan penggantian jaringan nekrosis dengan 1-erbentuknya fat pad mulai 48 jam p.i. Bakteri S. aureus dapat diiemukan pada jaringan interstiium (6 jam p.i), fokus peradangan. PMN dan makrofag (8 jam p.i), lumen dan epitel ahreol (12 jam p.i) serta di antara jaringan lemak fat pad (mulai 48 jam p.i). Peradangan tampak nyata pada 8 hingga 16 jam p.i. Pe~bahan pada s t ~ k t u r kelenjar susu mencit yang diinfeksi S. aureus tidak berbeda nyata (P>0.05) dibandingkan dengan kontrol, namun teqadi penurunan jumlah ahreol yang aktf (P<0,05) pada kelompok mencit 60 sampai 96 jam p.i. yang diikuti dengan menurunnya sekresi susu dan globula lemak dalam susu.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mencit kemungkinan besar &pat

digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan patogenesis mast~is subklinis

(78)

ABSTRACT

SAYU PUTU YUNl PARYATI. Pathogenesis of Subclinical Matiiis Caused by

Staphy/lococcus a u m s in Mice Based on Histopathological Lesion as an Animal Model for Dairy Cattle. Under the direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO and I WAYAN TEGUH WIBAWAN.

Pathogenesis of subdinical mastitis in dairy cattle caused by Stapbylococws aureus was studied using mice as an animal model. The aim of the present study is to elaborate the change of the mammary tissue due to S. a u m s infection based on histopathological lesion. Forty-two lactating mice were infected by 10' cells/ml S. a u m s through oni5cium extema of the mammary glands, and 3 mice as control. Mice were divided into 14 groups based on the time of infection, i.e : 2,4, 6, 8. 12, 16, 20, 24, 36, 48, 60, 72, 84 and 96 hour pest infection (p.i.). Histopathological analysis was done on the mouse mammary tissue using the Hematoxyline-eosin and Wadhin-Stany stainings. Staining by Hematoxylineeosin showad that milk produdion was decreased on 60 to 96 hour p.i. Inflammatory reaction of the tissue was omred and significantly different (P<0.05) on 8 to 16 hour p.i. compared to the control group. Degeneration; necroses and desquamation with infiltration of Polimorph Nudeated Cells (PMN) and macrophages were also encountered. The necrotic cells were replaced by fat tissue (fat pad) from 12 to 96 hour p.i. Using Wadhimstany staining method, the coccus bacteria were seen in the skin of mammary gland, the interstitial tissue (6 hour p.i), PMN, macrophages (8 hour p.i). alveolar epithelial cells, the lumen of alveolar (12 hour p.i) and fatpad(48 hour p.i).

(79)

SURATPERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang bejudul :

Patogenesis

Mas-

Subklinis yang Disebabkan oleh

Staphylococcus

aunws pada Mencit Berdasarkan Gambaran Hiipatologi sebagai

-

-

Hewan

Model

untuk Sapi Perah

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.

Semw surnber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bandung, 28 Juli 2002

.

SAYU PUT U YUNl PARYATI

(80)

PATOGENESIS MASTITIS SUBKLlNlS YANG DISEBABKAN OLEH

S t a p h y l a : ~ ~ ~ ~ ~

aureus

PADA MENCIT BERDASARKAN GAMBARAN

-

HISTOPATOLOGI SEBAGAI HEWAN MODEL UNTUK SAP1 PERAH

SAYU PUTU YUNl PARYATI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Sains pada

Program Studi Sains Veteriner

.

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(81)

Judul Tesis

N a m a

Nomor Pokok

Program Studi

: Patogenesis Mastitis Subklinis yang D i i b k a n deh

[image:81.594.58.499.46.757.2]

Staph~lococcus aumus pada Mencit Berdasalkan

Gambaran Histopatologi sebagai Hewan Model untuk Sapi Perah

: Sayu Putu Yuni Paryati

: 99445

: Sains Veteriner

Menyetujui

1. Komisi Pembimbing

Drh. Bambana ~ & t i o Priosoervanto, MS.. Ph.D.

Ketua

Dr. drh. I Wavan Teauh Wibawan. MS.

Anggota

2.

Ketua Program Studi ram Pascasarjana

0

7

~ l l f i 7"'
(82)

Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Juni 1965 di Tabanan, Bali, sebagai putri pertama dari empat bersaudara, dari pasangan ayah I Gusti Kayan Suparta dan ibu Ni Putu Daning.

Setelah lulus dari SMA Negeri I Tabanan. Bali,pada tahun 1984, penulis rnendapat kesempatan mengikuti pendidikan di Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Udayana melalui jalur PMDK. Pada tahun 1988, penulis lulus sebagai Sajana Kedokteran Hewan kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Profesi

Dokter Hewan dan lulus sebagai Dokter Hewan pada tahun 1990.

Sejak tahun 1991, penulis mengabdikan diri sebagai staf pengajar di

Akademi Medis Veteriner Puragabaya Bandung dan tahun 1993 penulis diangkat

menjadi staf pengajar Kopertis Wilayah IV Jawa Barai yang dipekejakan di Akademi

Medis Veteriner Puragabaya Bandung hingga sekarang. Pada tahun 1999, penulis

memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan program magister di Program Studi Sains Veteriner pada Program Pascasajana IPB dengan beasiswa dari Direktorai Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidiian Nasional melalui

Biaya Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS).

Penulis menikah pada tahun 1991 dengan lr. I Gusti Ngurah Sudira dan saat ini telah dikaruniai seorang putri, Gusti Ayu Sinta Deasy Andani yang lahir pada

tanggal 26 Desember 1992 dan seorang putra, Gusti Ngurah Dananjaya Gandhewa

(83)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa, kerena atas berkah dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan pendiikan program magister di Program Studi Sains Veteriner pada Program

Pascasaiana IPB. Dalam penelitinn ini, penulis mengambil judul : 'Patogenesis

mastitis subklinis yang disebabkan deh Staphflomccus aureus pada mencit

berdasarkan gambaran histopatologi sebagai hewan model untuk sapi perah"

Pa& kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan hormat serta terima kasih yang tulus kepada Bapak Drh. Bamkng Pontjo Priosoetyanto, MS. Ph.D. selaku Ketua Komisi Pembimbing atas segala bantuan, bimbingan dan domngan semangat yang telah diberikan. Penghargaan dan rasa terima kasih yang

tulus juga disampaikan kepada Bapak Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. selaku Anggota Komisi Pernbimbing yang telah membantu, membimbing, memberikan pengarahan dan semangat kepada penulis mulai dari rencana mengikuti pendidikan, selama mengikuti pendidikan, persiapan dan pelaksanaan peneliian hingga penyusunan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Kepala Laboratorium Patologi FKH-IPB beserta staf, atas ijin, pengertian dan bantuan baik moril maupun materiil yang telah diberikan kepada penulis. Demikian juga kepada Kepala Lzboratorium BaMeriolog~ FKH-IPB beserta staf, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas bantuan dan kesempatan yang diberikan untuk menggunakan fasilitas laboratoriuin selama penulis melakukan penelitian. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada DireMur PT. Bio Farma (Persero), atas kesempatan dan keleluasaan serta bantuan yang telah diberikan selama peneman berlangsung.

Penulis sampaikan pula rasa terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Pmyek BPPS DiMi, Departemen Pendidikan Nasional RI yang telah

memberikan M ~ s w a kepada penuhs selama mengikuti pendidikan.

Kepada Bapak Drh. H. Zulkiii Surahamdani selaku DireMur Akademi Medis Veteriner Puragabaya Bandung beserta staf, penulis menyampaikan terima kasih

* dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas pengertian dan kesempatan yang

(84)

Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada lbu Drh. Lia Sii Halimah. M.Si.. Bapak Drh. Kamaluddin Zarkasie. Ph.D., Drh. Darsono, Drh.

Maharani. M.Si.. Sarmedi. SE., Sukanda, Benyamin, Ahmad dan Darmin, atas bantuan moril dan materiil yang telah diberikan. Terima kasih juga kepada Bapak

Agus Somantri. S.Pd. dan Bapak Kasnadi, yang telah banyak membantu

pelaksanaan peneliian secara teknis.

Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada sahabat terdekat, Lina Roslina Oktiinsyah. SH. yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan semangat untuk penulis. Tsrima kasih pula kepada lbu Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si.. Ibu Drh. Dewi Ratih, Ph.D. dan lbu Drh. Ekowati Handharyani, Ph.D., Ir. Etih Sudamika, MS., Dr. #rh. AETH Wahyuni, M.Si. den Dr. drh. Tiiek Djanatun, atas

bantuan yang telah diberikan. Kepada teman-teman mahasiswa SVT, penulis menyampaikan terima kasih atas keja samanya selama ini.

Kepada Ayahanda dan lbunda I Gusti Kayan Suparta, Ayahanda dan lbunda

I Gusti Ngurah Mecutan s e a adik-adik tercinta, penulis menyampaikan terima kasih yang sedalamdalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa, bimbingan, setta dorongan semangat yang tak pemah berhenti diberikan dalam kehidupan penulis dengan suasana penuh cinta.

Terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis

sampaikan kepada suami tercinta. I Gusti Ngurah Sudira, yang dengan penuh rasa kasih, sabar dan penuh pengertian, selalu mendoakan, memberikan dorongan. berkorban dengan tuius dan mendampingi penulis, sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan dan menyelesaikan peneliian dan tesis ini. Terima kasih pula untuk

anak-anak tercinta. Gusti Ayu Sinta Deasy Andani dan Gusti Ngurah Dananjaya Gandhewa, yang senantiasa menciptakan suasana ceria dan memberikan warna serta dorongan dalam kehidupan penulis.

Penulis menyadari, bahwa karya ilmiah ini belum sempuma. Oleh karena l u

.

dengan rendah hati penulis mengharapkan saran dari pembaca demi kesempumaan

karya kecil ini, sehingga

dapat

bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkannya.

Bandung, Juli 2002.

(85)

DAFTAR IS1

Halaman

DAFTAR TABEL

...

viii

DAFTAR GAMBAR

...

ix

DAFTAR LAMPIRAN

...

x

BAB I PENDAHULUAN

...

1

1

.

1 Latar Belakang

...

2

1.2 Rumusan Permasalahan

...

3

1.3 Maksud dan Tujuan

...

3

1.4 Manfaat Peneliiian

...

4

1.5 Hipotesis

...

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

...

5

2.1 Mastitis pada Sapi Perah

...

5

2.2 Penyebab dan Tipe Matiiis

...

5 2.3 S t a p h y i m s aureus sebagai Penyebab Matiiis

...

7

2.4 Histdogi Kelenjar Ambing Mencit

...

9

2.5 Histopatologi Matiiis Subklinis ... 10

2.6 Patogenesis Bakten Staphylocoocus aureus

...

11

BAB Ill BAHAN DAN METODE PENELlTlAN

...

15 3.1 Lokasi dan Waktu Peneltian

...

15

3.2 Bahan dan Peralatan

...

15

3.2.1 Bahan

...

15

3.2.2 Peralatan

...

16

3.3 Metode Peneliian

...

16

.

(86)

3.3.1 Desain Penditian

...

3.3.2 Reidentifikasi lsolat

...

3.3.3 Preparasi Bakteri

...

3.3.4 Persiapan Hewan Model (Mencit)

...

3.3.5 lnfeksi

In Vivo pada Mencit Laktasi

...

3.3.6 Jaringan Kontml Positii

...

3.3.7 Pembuatan Preparat Histopatologi

...

3.3.8 Pewarnaan Jaringan

...

3.3.8.1 Metode Pewamaan Hematoksilin-Eosin

...

3.3.8.2 Metode Pewamaan Warthin-Stany

...

...

3.3.9 Parameter

3.3.1 0 Metode Skoring Perubahan Jaringan

...

. .

3.3.1 1 Analts~s Data

...

BAB IV HASlL DAN PEMBAHASAN

...

4.1 Reidentikasi lsolat

...

4.2 Tanda Klinis dan Perubahan Makroskopis Kelenjar Ambing

Mencit seteiah Diinfeksi S . aureus

...

4.3 Histologi Kelenjar Ambing Mencit Normal

...

4.4 Perubahan Histopatologis Kelenjar Ambing Mencit Laktasi

setelah Diinfeksi oleh S

.

aureus

...

...

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

...

...

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

...

(87)

DAFTAR TABEL

1 Hasil uji statistika arsitektur, kemampuan sekresi dan reaksi inflamasi pada kdenjar ambing mend setelah diinfeksi S. aureus

. .

(Hematoks~l~n-Eosin)

...

31

2 Arsitektur dan kemampuan sekresi pada kelenjar ambing mend

...

setelah diinfeksi S. aueus (Hematoksilin-Eosin) 46 3 Reaksi inflamasi kelenjar ambing mend setelah diinfeksi

. .

S. aureus
(88)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur kelenjar ambing mencit normal

... ...

...

...

...

...

... ... ...

...

...

...

... ...

...

.

26 2 Sekresi susu.dalarn lumen alveol ambing mend normal

... ..

.

... .. .

...

...

...

..

27

3 Hiperplasia sel epitel ahreol serta dilatasi pembuluh darah pada

jaringan ambing mencit yang diinfeksi S. aureus 2 jam p.i.

...

...

...

...

... ...

..

28

4 Degenerasi sel epitel alveol (tanda panah) dan infiltrasi sel radang

pada pusat-pusat radang 6 jam p.i.

...

...

...

...

... ...

...

...

...

...

...

...

. .

.

.

29 5 Penurunan jumlah kelenjar yang aktif dan atrofi alveol menyebabkan

penurunan sekresi susu pada mend 60 jam setelah diinfeksi S. aureus 32

6 Sel-sel deskuamasi pada lumen alveol kelenjar ambing 48 jam p.i. ...

... ...

7 Degenerasi sel-sel epitel ambing mencit setelah diinfeksi

S. aureus 24 jam p.i.

...

...

... ... ..

.

...

. .. ... ...

...

...

...

...

..

,

...

... ... ... ... .. . .

.. ..

. .. .

8 Nekrosis sel-sel epitel ambing mencit setelah diinfeksi

S. aureus 12 jam p.i.

. . .

. .

. . .

. . . .

. . .

. .

. . .

. . .

. . . .

. . . .

. . . .

.

. . .

. . .

. . .

. ..

9 Sel-sel radang (PMN) menginfiltrasi fokus peradangan, terjadi di sekeliling alveol yang mengalami atrofi 48 jam p.i.

... ...

...

...

...

...

...

...

...

...

...

... ...

...

..

10 Pembentukan jaringan lemak

(fat

pad) menggantikan kelenjar ambing yang mengalami nekrosis dan atrofi akibat infeksi S. aureus 60 jam p.i.

...

11 Bakteri S. aureus yang telah diigositosis dalam PMN 8 jam p.i.

...

... ...

...

12 Bakteri S. aureus pada epitel dan lumen alveol menyebabkan degenerasi, nekrosis dan atroti kelenjar 48 jam p.i.

... ...

... ...

... ...

... ...

... ...

...

...

...

...

...

.
(89)

DAFTAR

LAMPIRAN

1 Arsitektur dan kemampuan sekresi pada kelenjar ambing mend

...

setebh diinfeksi S. aureus (Hematoksilin-Eosin) 46

2 Reaksi inflamasi kelenjar ambing mencit setelah diinfeksi S. aureus

(90)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mastitis atau peradangan pada ambing meNpakan salah satu penyakit yang

sering dijumpai pada temak, khususnya temak perah. Selain menimbulkan kerugian

secara ekonomi karena menurunnya produksi dan kualitas susu serta biaya

pengobatan yang mahal, kejadian mastitis juga dapai membahayakan masyarakat

konsumen yang mengkonsumsi susu asal ternak yang mendetita mastitis.

Sebagian besar kasus mastitis disebabkan oleh adanya infeksi bakteri. Pada

umumnya bakteri penyebab mastitis berasal dari lingkungan maupun bakteri yang

bersifat kontagius (contagious mastitis), ditulakan dari satu kuartir ke kuartir yang

lain pada sapi yang sama atau dari satu sapi ke sapi lainnya.

Kejadian mastiiis pada sapi di Indonesia sangat tinggi (85%) dan sebagian besar merupakan mastitis subklinis (Wibawan et a/. 1995). Dari sampel susu yang

diperiksa di tiga daerah di P. Jawa, dapat diketahui 3 jenis bakteri penyebab mastiis

subklinik yang paling sering terisolasi adalah Streptococcus agalacliae,

Staphylococcus aureus dan Eschericia coli.

Pada peternakan sapi perah, S. aureus mempunyai arti penting sebagai

penyebab mastitis karena bakteri dapat rnenyebar ke mana-mana dan dapat

membentuk koloni dengan baik pada kulit dan puting ambing. Selain itu S. aufeus

juga cepat resisten terhadap penisilin dan pengobatan biasanya kurang berhasil

dibandingkan

pada

mastiiis yang disebabkan oleh S. agaladae (Siegmund 1979;
(91)

yang lama, padahal pemberian antibiotika yang lama pada masa l a h s i sangat Mak

menguntungkan secara ekonomi (Sandholm

et

al. 1991).

Tingkat kejadian infeksi S. aureus dalam satu kandang dapat menmpai 35%

(Submnto 1985). Selain menyebabkan penurunan produksi dan kuaktas susu,

infeksi oleh S. aureus juga tidak jarang mengakibatkan kematian hewan pendetita.

Kerugian lain berupa meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu terbuang.

biaya obat-obatan, biaya dokter hewan dan upah buruh (Kirk et a/. 1994). S. a u m s

sebagai salah satu penyebab mastitis klinis maupun subklinis, dikenal pula sebagai

bakteri komensal yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan tubuh (Warsa

1994; Clements 1999).

Tahap awal infeksi bakteri adalah adanya kontak pennukaan antara sel inang

dan bakteri, dimana dalam proses ini melibatkan komponen pennukaan

sel

seperti

protein dan karbohidrat (Mims 1986). Pmses adhesi merupakan tahap infeksi yang

sangat penting dan dominan sebagai penentu ekspresi penyakit yang benifat

subklinis. Peran adhesi dan kolonisasi bakteri pada pennukaan sel ambing, jauh

lebih penting dibandingkan dengan kemampuan invasi bakteri tersebut.

Menernpelnya baktsri pada pennukaan sel epitel ambing menyebabkan degenerasi

dan nekrosa sel epitel (Estuningsih 2001).

.' I

Sampai saat ini penelian mengenai patogenesis mastitis subklinis yang

disebabkan oleh S. agalactiae telah dilakukan (Estuningsih 2001). Demikian juga

patogenesis mastitis nekrotik akut (Shibahara dan Nakamura 1998) serta mastitis

subklinis yang disebabkan oleh S. aureus telah ditelii

secara

in vitro menggunakan biakan jaringan (Pumami 1999). namun M u m banyak diketahui mengenai

patogenesis penyakit yang disebabkan oleh S. aureus pada kasus mastitis subklinis

(92)

mastitis subklinis pada jaringan kelenjar ambing sapi, maka dalam peneltiin ini

diiunakan mencit sebagai hewan model.

1.2 Rumusan Permasalahan

Pada kasus mastitis, jalan infeksi bakteri S. aureus biasanya melewati puting ambing. Diduga infeksi diawali oleh keberhasilan bakteri menembus lapisan tanduk

puting lalu dilanjutkan oleh proses adhesi dan. Kerusakan tampak nyata dari gejala

peradangan pada kelenjar ambing teiutama sapi yang menderita matiiis klinis.

namun tidak demikian halnya pada kasus mastitis subkinis yang tidak menampakkan

adanya perubahan anatomis kelenjar ambing. Patogenesis infeksi bakteri ini pada

kejadian mastitis subklinis belum banyak diketahui.

1.3

Maksud

dan

Tujuan

1. Mempelajafi patogenesis S. aureus sebagai penyebab matiiis subklinis

pada mencit sebagai hewan model,

2. Mengetahui secara histopatologi perubahan-perubahan yang terjadi pada

jaringan atau seCsel ambing penderita matiiis subklinis yang disebabkan

oleh S. aureus.

3. Mengetahui apakah mencit dapat dijadikan hewan model untuk menjelaskan

(93)

1.4

Manfaat

Penelian

Penelian ini diharapkan bermanfaat untuk memahami patogenesis penyakit

akibat infeksi oleh S. aureus yang berkaitan dengan proses adhesi bakteri pada sel-

sel ambing penderita mastitiis subklinis. lnformasi yang dipemleh diharapkan dapat

digunakan sebagai landasan dalam upaya pencegahan mastitis.

1.5 Hipotesis

1. Ada

perubahan

struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing penderita

mastiis subkbnis akibat infeksi bakteri S. aureus.

2. Tejadi variasi kerusakan jaringan ambing pendetita mastitis subklinis yang

disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu infeksi.

3. Mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan

(94)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mastitis pada Sapi Perah

Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan internal kelenjar

ambing. Penyakit ini umum terjadi pada petemakan sapi perah di s e l u ~ h dunia

(Duval 1997). Peradangan dapat tejadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas.

Kelenjar ambing membengkak, edematus berisi cairan eksudat disertai tandetanda

peradangan lainnya, sepetti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa sakii dan penurunan fungsi. Akan tetap~ seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya

suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastiis sering dilakukan melalui

pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan penghitungan

jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991).

Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya

penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat mastiis.

Kewgian lain timeul akibat adanya residu antibiotika pada susu, biaya pengobatan

dan tenaga kerja, pengafkiran, meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu

terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan kualiias susu (Kirk et a/.

1994; Hurley dan Morin 2000).

2.2 Penyebab dan Tipe Mastitis

Matiiis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya :

lntramammary infecton (/MI), yalu karena adanya infeksi oleh bakteri termasuk juga

(95)

Secara mekanik, trauma temnal dan trauma kimiawi sebagai f&or predisposisi

tejadinya

/MI

pada kdenjar ambing (Hurley dan Morin. 2000). lnfeksi pada kdenjar

ambing tergantung dari tiga faktor, yaitu faktor induk semang, agen penyaki dan

lingkungan. lnfeksi pada umumnya terjadi pada masa keluamya kolostrum, saat sapi mengalami masa kering kandang dan

awal

masa laktasi, namun infeksi dapat te jadi

kapan saja.

Tingkat keparahan dan intensitas mastitis sangat dipengamhi oleh organisme

penyebabnya, sehingga ada beberapa

tipe

mastiis yang dapat tejadi pada sapi

perah (Duval 1997). Berdasarkan respon radang yang terjadi, mastitis dapat

dibedakan menjadi : matiiis perakut, akut, sub akut, sub Minis dan kronis (Hurley

dan Morin 2000 ; Nelson dan Nickerson 1991).

Matiiis perakut, diindai dengan adanya peradangan yang tiba-tiba pada

puting. susu bersifat serous dan tejadi gejala sistemik serta kematian pada sapi;

MaMls akut, ditandai dengan kejadian yang tiba-tiba dengan peradangan pada

puting, penurunan produksi susu dengan susu yang bersifat serous serta gejala

sistemik yang mirip dengan kasus mastitis perakut, tetapi gejalanya lebih ringan.

Mastitis subakut. yaitu adanya peradangan ringan sehingga hampir tidak terlihat

adanya perubahan pada puting, ilamun secara umum terdapat gumpalan-gumpalan

pada susu. Tidak terlihat adanya gejala sistemik pada kasus ini. Matiiis subklinis,

merupakan matiiis yang paling umum tejadi, yaitu kira-kira 15

-

40 kali lebih

banyak dibandingkan dengan m a m ~ s Winis. Sedangkan mastitis kronis umumnya

terjadi sebagai kelanjutan

dari

mastitii subklinis yang bedangsung selama b%berapa

bulan atau beberapa tahun (Hurley dan Morin 2000).

Mastitis subklinis mempakan peradangan jaringan intema ambing tanpa

(96)

peningkatan jumlah sef radang, diiemukannya mikroorganisme patogen dan terjadi

perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993). Menurut Hurley dan Morin (2000). jumlah

sel somatik yang mdebihi 200.000 sel I 1 ml susu dapat berindikasi terjadinya mastitis pada sapi. Tapi jumlah sel somatik pada susu dapat meningkat seiring

dengan bettambahnya umur sapi (Duirs dan Mamillan 1979).

2.3

Stephflococcus auraw sebagai Penyebab Mastitis

S. a u w s tersebar luas di dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kdainan

pada kuli dan membran mukosa hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifal @am

positif, fakultatii anaemb, katalase positii, koagulase positii dan menghasilkan asam

laktat. Pada biakan agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998).

S. aumus t i a k membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik pada suhu 37" C

dan mati apabila dipanaskan pada suhu 80° C selama setengah jam.

Bebagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi

adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam

dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein

fibmnectin (Ndson et a/. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses

kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). lnvasin yang berperan dalam penyebaran

bakteri di dalam janngan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul

dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ;

(4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan pmduk katalase, dapat membuat

bakteri beahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan dumping factor

untuk menghindarkan din dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase

(97)

coagulase

(Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis

membran sel dan jaringan inang (Todar 1998).

S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastiis subklinis

karena bakteri ini dapat rnenyebar ke rnana-mana dan dapat membentuk koloni

dengan balk pada kuli dan puting ambing. Keberadaannya pada kuli merupakan

suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri

menjadi persisten (Todar 1997). S. aueus dapat dimusnahkan dari permukaan kuli

arnbing dengan tempi antibiiika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan

ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aueus cenderung menjadi resisten terhadap

antibiotika (Hoblet and Eastridge 1992 ; Arpin et a/. 1996). S i i resistensi ini juga

diientukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et a\. 1998).

Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai

jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya

bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab

mastitie

subklinis,(Bramley 1991).

Selain sebagai penyebab mastitis klinis maupun subklinis, S. aureus dikenal

pula sebagai bakteri komensal, yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan

tubuh. Bakteri ini bersifat ''shin-host spedfid, artinya ada kaiin antara biotipe

dengan spesies inang (Hajek dan Marsalek 1971). S. aumus merupakan flora

normal pada manusia, terutama diternukan pada saluran pemapasan bagian atas,

kulii dan mukosa. Pada babi sehat. S. aumus banyak diiemukan pada cairan

bmnahoaIvedar (Hensel et a\. 1994).

Kemarnpuan S. aureus menginvasi dan hiiup dalam set-sel endotel diyakini

dapat menyebabkan infeksi endovascular yang bersifat persisten dengan

(98)

sebagai bagiin dari proses apoptasis yang disebabkan oleh infeksi S. a u m s

(Menzies dan K w M a 1998).

2.4

Histologi Kelenjar Ambing Mencit

Sampai saat ini mencit adalah hewan percobaan yang banyak sekali

digunakan dalam dunia biomedis untuk keperluan pengujian dan pendiiikan. Mencit

dewasa mempunyai panjang antara 12

-

15 crn dan pada betina memiliki lima pasang kelenjar ambing, tiga pasang di antaranya terletak di regio cewMco-thorasica

dan dua pasang lainnya berada pada regio inguino-abdominal (Vandenberg 2000).

Struktur keknjar ambing tersusun dari jaringan parenkim dan stroma

(connective tissue). Parenkim merupakan jaringan sekretori berbentuk kelenjar

tubule-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen alveol

dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid. Lapisan sei epitel ini dikelilingi oleh sel-sel

myoepitel yang bersifat kontraktil sebagai responnya terhadap horrnon oxytocin dan

selanjutnya dikelilingi oleh stroma ber~pa jaringan ikat rnembrana basalis. Pembuluh

darah dan kapiler terdapat pada jaringan ikat di antara alveol-alveol ini. Beberapa

alveol bersatu membentuk suatu s t ~ k t u r lobulus dan beberapa lubulus bergabung

dalam suatu lobus yang lebih besar. Penyaluran susu dari alveol sampai ke glandula

sistema melalui suatu sistem duktus yang disebut ductus lactiifems (Hurley 2000).

Sel yang melapisi alveol be~ariasi penampilannya, tergantung aktivitas

fungsionalnya. Pada keadaan kelenjar tidak laktasi, sel berbentuk kuboid. Bila aktii

menghasilkan sekret (susu), selnya berbentuk silindris. Dan bila susu dicurahkan ke

dalam lumen, meregang, seCsel kembali berbentuk kuboid dengan ukuran yang jauh

(99)

kaya akan ribosom, kompleks gdgi dan droplet lemak seda banyak memiliki vakuol

sekretoris (Russo dan Russo 1996).

Pada

rnendt,

masa laktasi berlangsung selama 3

-

4 minggu tergantung

strain mend dan sekresi susu maksimal terjadi antara 12-13 hari

post

partus.

Setelah masa sapih, sel-sel epitel mulai berdegenerasi dan alveol mulai menurun

aktifitasnya untuk memproduksi susu dan berubah bentuk menjadi kumpulan stnrktur

rnassa sel tanpa lumen. Pada saat ini lobulus alveolar mulai diisi dengan jaringan lemak (fat pad).

2.5 Histopatologi Mastitis Subklinis

Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat diemukan adanya

peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain

itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang

1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit

berinti polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).

Penelitan pada matiiis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae

menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri

pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu

menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa berlanjut dan menyebabkan atrofi

alveol kelenjar susu disertai respon peradangan yang menyebabkan terjadi invdusi kelenjar susu. Selanjutnya terjadi proses persernbuhan berupa pembentukan

jaringan ikat. Pada hari keempat setelah diinfeksi, sebagian jaringan ikat diiantikan

oleh jaringan lemak dan bakteri terperangkap di dalam kelenjar ambing (Estuningsih

(100)

Knight dan Peaker (1991) menyatakan bahwa peradangan yang

t%jadi

pada

satu kelenjar ambing akan mengakibatkan adanya efek kompensasi pada kelenjar

ambing yang sehat, ditandai dengan adanya dirensiasi dan prolirasi jaringan

kelenjar yang sehat. Mekanisme ini belum banyak dimengerti, tetapi kemungkinan

besar karena kelenjar ambing mempunyai sistem kontrol tersendiri melalui produksi

sejumlah faktor kimia aktif yang bemifat lokal maupun sistemik.

2.6 Patogenesis Bakteri Staphylococcus aureus

Pada kasus mastiis, infeksi te jadi melalui puting ambing karena kontaminasi

dari tangan pemerah atau mesin pemerah susu, kemudiin melewati ductus

lactife~s dan akhimya mencapai sisterna. lnfeksi ini berhasil apabila bakteri dapat

bertahan dalam saluran kelenjar ambing, bertahan terhadap mekanisme pertahanan

spesifik dan nonspesifik dan harus mampu melawan arus pengeluaran air susu

(Nelson et a/. 1991). Patogenesis infeksi bakteri pada kejadian mastitis belum

banyak diketahui. Diduga infeksi diawali oleh keberhasilan bakteri menembus

lapisan tanduk puting ambing, lalu dilanjutkan oleh proses adhesi dan kolonisasi.

Tampaknya kemampuan adhesi dan berkolonisasi bakteri pada sel epitel merupakan

tahap kritis untuk keberhasilan infeksi (Jonsson dan WadstrcTm 1993). Pembaan

secara in vitro menggunakan sel epitel ambing menunjukkan bahwa kdonisasi

bakteri S. aumus merupakan suatu tahap penting dalam perkembangan matiiis

(Nelson et a/. 1991).

Proses adhesi merupakan tahap awal infeksi bakteri yang berperan dalam

kolonisasinya pada pemukaan sel inang. Adanya adhesi memparpendek jarak

antara bakteri dengan permukaan tubuh inang sehingga mempermudah toksin yang

(101)

dua bentuk, yalu adhesi yang bersifat nonspesifik dan adhesi yang bersifat spesifik.

Pada adhesi yang nonspesifik, perlekatan tidak melibatkan peran reseptor

pennukaan, tetapi dibabkan karena sifat hidrofobisitas agen dan perbedaan

muatan listrik permukaan bakteri dengan permukaan sel sehingga perbkatan pada umumnya tidak kuat (Todar 1997). Sedangkan pada adhesi spesifik, perlekatan

diperantarai oleh reseptor permukaan sel inang yang mampu berikatan dengan

antigen permukaan bakteri yang umum disebut adhesin (Foster dan McDevitt 1994;

Todar 1997 ; Todar 1998). Antigen permukaan ini dapat berupa fimbria, pilli. kapsul

atau komponen struktural bakteri lainnya (Wibawan dan Lammler 1991; Wibawan et

a/. 1992; Shutter et a/. 1996) serla protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) yang bertanggungjawab terhadap aktiiitas hemaglutinasi (Gottschalk et al. 1990 ;

Wibawan et al. 1993). Hemaglutinin merupakan salah satu faktor virulen yang

dimiliki bakteri patogen dan bertanggungjawab dalam patogenesis infeksi (Kurl et a/.

1989) dan dari sisi inang, melibatkan peran reseptor hemaglutinin (Estuningsih

1998).

Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui

beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan rnikroorganisme dimana sejumlah

mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter),

kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang

terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada

induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-

leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel

ambing. Apabila respon ini gagal, maka rnikroorganisme akan rnengalami

(102)

P e n d i n pada mencit yang diinfeksi dengan S. aumus, memperlihatkan

bahwa tahap kritis patogenesis mastitis terjadi ketika terjadi interaksi antara neutrofil

dan S. aureus pada 12 sampai 18 jam setelah diinokulasi S. aurws melalui kelenjar

ambing. Fagositosis bakteri oleh neutrofil mulai terlihat pada 6 jam setelah infeksi.

Setelah 12 jam pasca infeksi, neutrotil mengalami perubahan-perubahan yang

bersifat

degeneratif, mengakibatkan S. aureus dapat mencapai lumen ahreol dan

terjadi peningkatan jumlah bakteri ekstraseluler pada I 8 jam setelah infeksi (Anderson dan Chandler 1975).

Hurley dan Morin

(2000),

menjelaskan bahwa peradangan pada ambing

diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan

multiplikasi. Sebagai respon pertama, pembuluh darah ambing mengalami

vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilis

pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi,

seperti prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit oksigen toksik yang dapat

meningkatkan permeabilis kapiler ambing. Adanya filtrasi cairan ke jaringan

menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi diapedesis, sel-sel

fagosl (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang

terinfeksi dilanjutkan dengan _fagositosis dan penghancuran bakteri. Tahap

berikutnya, terjadi proses persembuhan jaringan.

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi

kemampuan kelenjar ambing untuk bertahan dari infeksi, di antaranya adalah :

jaringan yang menjadi kurang efektif pada umur tua; PMN yang terlalu muda pada

kelenjar dan adanya PMN yang tidak memusnahkan bakteri tapi sebaliknya malah

melindungi bakteri dari proses penghancuran berikutnya. Hal lain juga disebabkan

(103)

Fc

pada leukosit, menyebabkan degranulasi yang bedebihan dan meningkatnya

gejala peradangan. Lemak dan casein susu yang tertelan oleh PMN dapat

menyebabkan kegagalan PMN dalam proses ingesti bakteri. Kernampun PMN

dalam fagositosis dan mernbunuh bakteri juga dapat menurun pada keadaan

detisiensi vitamin

E

atau selenium.

Pemusnahan bakteri melalui sistem oxygen respiratory burst membutuhkan

oksigen yang lebih banyak, namun kadar oksigen pada susu jauh lebih rendah

daripada konsentrasi oksigen dalam darah. Demikian juga glukosa sebagai sumber

energi pada susu sangat rendah konsentrasinya, padahal untuk fagositosis

diperlukan energi yang lebih tinggi. Di samping itu, susu mengandung komponen

(104)

BAB Ill

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Peneliian

Peneliian dilakukan di Laboratorium Patologi FKH-IPB, Laboratorium

Bakteriologi FKH-IPB dan di Laboratorium PT. Bio Farma (Persero) Bandung selama

12 bulan.

3.2 Bahan dan Peralatan

3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1. Mencit strain ddY yang sedang IaMasi (5 hari post partum) sebagai hewan

model. Mencit diperoleh dari PT. Bio Farma (Persem) Bandung.

2. lsolat bakteri S. aureus lapangan yang dipemleh dari kasus mastitis subklinik pada sapi perah. lsolasi dan identikasi bakteri telah dilakukan oleh Abrar

(2000).

Media dan bahan lain yang digunakan dalam penelifin ini meliputi :

1. Media untuk kukur bakteri Todd Hewitt Broth (THE).

2. Berbagai bahan untuk pembuatan preparat histopatologi, yaitu Normal Buffer

Formalin (BNF), xylol, alkohol bertingkat yang dimulai dari 70% sampai absolut,

parafin dan perekat.

3. Bahan-bahan yang digunakan dalam pewamaan Warthin-Stany, seperti ; perak

(105)

Peralatan yang diiunakan dalam peneliian meliputi :

1. Alat-alat gelas, yaitu gelas piala, cawan petri, tabung reaksi, gelas obyek, gelas penutup, pipet dan mikmpipet

2. Tabung sentrifus, rak tabung reaksi, sentrifus, penangas.

3. Gunting, pinset dan peralatan untuk pembuatan preparat histopatologi.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Desain Penelitian

Sebanyak 42 ekor mencit diinfeksi dengan isolat S. aureus dan 3 ekor mencit

tidak diinfeksi sebagai kontrol negatii. Euthanasi dan pengambilan jaringan ambing

dilakukan dalam 14 tahap waktu, yaitu 2, 4. 6, 8. 12, 16, 20, 24. 36, 48. 60, 72, 84

dan 96 jam pasca infeksi, masing-masing sebanyak 3 ekor. Kemudian dibuat

preparat histopatologi. Pengamatan pada jaringan dilakukan dengan pewamaan HE

dan Warthin-Stany.

3.3.2 Reidentifikasi B a h r i S. aureus

Dipilih sa?u isolat bakteri S. aureus yang diperoleh dari kasus matiiis subklinis lapangan yang telah diisolasi dan diidentikasi oleh penelii sebelumnya

(Abrar 2000).

Untuk reidentifikasi, bakteri ditumbuhkan pada perbenihan agar darah

selarna 18 jam pada suhu 37 OC. Bentuk koloni dan pola hemoliik yang dihasilkan diarnati secara makmskopis. Uji hemqgutinasi dilakukan untuk melihat keberadaan

hemaglutinin. Reaksi ini dapat dilihat dari suspensi bakteri (log bakteri I ml)

(106)

rnanusia, domba, kuda, ayam, anjing dan kelinci). Reaksi positif &tandai dengan

adanya reaksi hernaglutinasi.

Untuk melihat adanya protein A, dibkukan dengan menumbuhkan bakten

pada soft agar (SA) dan serum soft agar (SSA) berdasarkan bentuk koloni yang

diimpilkan (Djanatun 2001).

3.3.3 Preparasi Bakteri

Sebelum dilaksanakan infeksi bakteri pada mencit, perlu disiapkan

bakterinya terlebih dahulu dengan cara sebagai berikut. Sebanyak 50 ml Todd

Hewitt Broth (THB) diimbah dengan isolat bakteri lapangan, diinkubasikan pada suhu 37" C selama 18 jam, kemudian disentrifus'selama 10 menit dengan kecepatan

3000 rpm sehingga terbentuk pelet. Pelet dipisahkan dari supematan dan dibuat

suspensi dengan menambahkan 5 ml NaCl fisiologis, kemudian disentrifus. Pelet

yang terbentuk dibuat suspensi dengan menambahkan NaCl fisiologis dan

disetarakan dengan kekeruhan Barium Suffit menggunakan spektrofotometer,

sehingga menghasilkan suspensi bakteri yang diperkirakan mengandung 10'

bakterilml suspensi.

3.3.4 Persiapan Hewan Model (Mencit)

Pengamatan patogenesis infeksi S. aueus sebagai penyebab mastitis

subklinis dilakukan pada hewan model mend. Sebanyak 45 ekor mencit yang umur

kebuntingannya kirakira sama dipelihara secara konvensional dalam kandang

individu. Pakan dan minum diberikan ad libitum. lnfeksi pada men& dilakukan 5 hari

post partus dan langsung dipisahkan dengan anaknya (dilakukan penyapihan).

(107)

infeksi yang terdiri atas 1 kelompok kontrol yang t i a k diinfeksi dan 14 kelompok

yang diinfeksi S. aumus. Masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor rnencit.

3.3.5 lnfeksi in V i pada Mencit Laktasi

Suspensi bakteri yang telah disiapkan dengan kepadatan 10' W m l

diinfeksikan pada mencit secara intra mammati dengan cam rneneteskan 50 pl

suspensi bakteri tersebut tepat di atas lubang puting (orificium extema) arnbing

menggunakan pipet rnikro (Biorad).

Mend dipegang dengan posisi dorso-ventral rnenghadap ke atas sehingga

memudahkan melakukan infeksi. Sebelurn diinfeksi, bagian yentral tubuh mencit

didesinfeksi menggunakan kapas beralkohol, ditunggu hingga kering kernudian

dilakukan infeksi secara bertahap setetes demi setetes (satu tetes sebanyak 5 pl).

diiunggu sampai terabsorbsi baru dilanjutkan dengan tetes berikutnya. Selanjutnya rnencit dikandangkan secara individual, diberi pakan dan rninurn ad libitum dan

diarnati keadaan kelenjar arnbingnya dan gejala kilinis yang rnungkin tirnbul.

3.3.6 Jaringan Kontrol Positii

Untuk jaringan kontrol positif diiunakan jaringan yang berasal dari mend

yang tdah diinfeksi S. aureus secara intra pefitonium dan subkutan. Mencit

kemudian dieuthanasi 24 jam setelah infeksi dan jaringan yang terinfeksi diarnbil

untuk dibuat preparat histopatologi, selanjutnya dilakukan pewamaan Hematoksilin-

(108)

3.3.7 Pembuatan Pmparat Histopatologi

Semw kelompok mend yang sudah diinfeksi kemudiin dieuthanasi masing-

masing 3 ekor rnendt dari setiap kelompok sesuai dengan desain peneliiin.

".

Perubahan yang terjadi pada kelenjar ambing diamati secara makroskopis dengan

cara melepaskan baginn kuli penutup. Jaringan kelenjar susu kemudiin dimbil

untuk psmbuatan preparat histopatc!ogi. Fiksasi kelenjar susu mend dilakukan

dengan menggunakan buffer normal fomalin (BNF) 10%. dipotong tipis dan

diletakkan dalam kaset untuk proses dehydrasidalam alkohol bertingkat (80%. 90%,

95%) dan dilanjutkan dengan clearing menggunakan xylol. Proses ini dilakukan

secara otomatis dalam tissue plocessof. Tahap berikutnya dilakukan em-ng

dengan parafin yang memiliki tiik leleh 58OC (Richeft Jung, Germany) dan d i i k dalam cetakan khusus. Setelah dingin, cetakan dilepas dan dilakukan pemotongan

jaringan dengan ketebalan 5 pm menggunakan mikrdom. Potongan tipis jaringan

diletakkan pada pefmukaan air agar terapung, kemudian diambil dengan gdas objek

dan dibiarkan menempel selama semalam atau dipanaskan pada suhu kurang lebih

60°C den dapat digunakan untuk berbagai teknik pewamaan.

3.3.8 Pewamaan Jaringan

Untuk melihat respon jaringan secara umum, preparat d i i m a i dengan

metode pewamaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan untuk melihat keberadaan bakteri

dalam jaringan kelenjar susu digunakan teknik pewamaan Warthin-Starry.

Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop untuk mdihat patogenesis S. aumus

(109)

3.3.8.1 Metode Pewamaan Hematoksilin-Eosin

Metode pewarnaan Hernatoksilin-Eosin diiakukan dengan cara sebagai

berikut :

1. Defaratinisasi. Gelas objek direndam dalam larutan xyld dan alkohol dengan konsentrasi degradasi mulai dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah agar

parafin terlarut dari jaringan kelenjar ambing yang akan diiamai. Perendaman

dimulai dan larutan xylol sebanyak 2 kali dilanjutkan dengan alkohol 95%. 90%.

80% dan akuades.

2. Gelas objek diiamai dengan hernatoksilin selama 10 menit, kemudian dicuci

dengan air kran hingga sisa pewarnaan habis.

-.

3. Gelas objek dicelupkan dalarn larutan Lithium Carbonat (Bluing Solution)

kurang lebih selama 1 menit hingga memberi kesan kebiruan, kemudian dicuci

dengan akuades.

4. Gelas objek diwamai dengan Eosin selama 10 menit, kernudian dicuci dengan air kran hingga sisa pewarnaan hilang.

5.

Gelas objek direndam da!arn akuades, kemudian dicelupkan dalam alkohol

mulai dari konsentrasi 80°h, 90%, 95%, alkohol absolut.

6. Gelas objek dicelupkan ke dalam xylol sebanyak 2 kali untuk proses

penjernihan.

7. Gelas objek ditutup dengan kaca penutup yang sebelumnya diberi mounting

(110)

3.3.8.2.

Metode

Pewamaan Watthin-Sfany

1.

Defarafinisasi sebagaimana dijelaskan pada bagian 3.3.8.1.

2. Gelas objek didehidrasi dengan merendamnya dalarn akuabiies (Triple

aquadest).

3. Jaringan pada gelas objek 'impregnasi dengan perak menggunakan larutan

pemk nitrat 1% yang telah dilarutkan dalam air asam (acidulated water3 selama

1 jam dalam penangas air bersuhu 60' C.

4. Gelas objek direndam dalam larutan pengembang (developer solution) hingga

timbul wama kuning kecddatan (kurang lebih selama 3 menit). Wama yang

diharapkan adalah sitoplasma sel berwama kuning hingga kecoklatan dengan

inti berwama coklat, bakteri bewama coklat tua hingga hitam.

5. Gelas objek dicuci dengan cepat menggunakan air kran hangat bersuhu kurang

lebih 60" C selama 10 menl hingga bersih.

6. Gelas objek dicuci dengan akuabides (Triple aquadest).

7. Gelas objek didehidrasi dengan alkohol95% dan dalam alkohol absolut.

8. Gelas objek dibersihkan dalam xylene sebanyak 2 kali, kemudian dilakukan

mounting der~gan Perrnount dan diutup dengan kaca penutup.

3.3.9 Parameter

Parameter yang diamati dalam peneliiian ini adalah perubahan-perubahan

yang terjadi pada kelenjar susu m e n d berdasarkan pengamatan histopatologi

dengan pewamaan Hematoksilin-Eosin. Perubahan yang diamati dan dibandingkan

adalah

:

struktur jaringan kelenjar ambing dan sekresi susu yang tampak dalam lumen alveol dan lumen duktus, reaksi radang dan infiltrasi sel radang, deskuarnasi
(111)

dengan jaringan kmak (fat pad). Pengamatan juga dilakukan terhadap lokalisasi

bakteri di dalam jaringan kelenjar ambing (di dalam lumen alveol, jaringan

interstitium dan di dalam sel epitel kelenjar susu). Lokalisasi bakteri pada jaringan

kelenjar ambing dilihat secara histopatologi menggunakan teknik pewamaan

Warthimstany. Dengan teknik pewamaan ini, akan terihat sitoplasma sel berwama kuning hingga kecoWatan dengan i ~ t i berwama coklat, bakteri b e m m a coklat tua

hingga hitarn. Keberadaan bakteri dinyatakan secara deskriptif

3.3.10 Metode Skoring Perubahan Jaringan

Skoring untuk perubahan pada struktur jaringan kelenjar arnbing dan sekresi

susu yang tampak dalam lumen alveol dan lumen duktus, globula lernak dalam susu

dan proses pergantian kelenjar dengan jaringan lernak (fat pad) menggunakan

perbandingan antara bagian yang terkena dan luas keseluruhan sediaan jaringan

yang dinyatakan dalam persentasi, sebagai berikut :

0 : tanpa perubahan berarti

+I : bila terdapat perubahan berkisar 25% dari luas sediaan jaringan

+2 : bila terdapat perubahan berkisar 50% dari luas sediaan jaringan

+3 : bila terdapat perubahan berkisar 75% dari luas sediaan jaringan

+4 : bila terdapat perubahan melebihi 75% aiau rnenyeluruh dari luas sediaan jaringan.

(Estuningsih 2001).

Keberadaan bakteri S. aureos dilakukan dengan melihat lokasi bakerli pada

(112)

3.3.11 Analhib Data

(113)

BAB

IV

HASlL DAN PEMBAHASAN

4.1 Reidentifikasi lsolat

Berdasarkan pengamatan morfologi kdoni, pada media padat agar darah

tumbuh koloni kuning keemasan. Pengamatan terhadap aktivitas hemoliik

menunjukkan bahwa bakteri tidak menghemdisis darah. Pada media THB, isolat

menunjukkan adanya pertumbuhan (keruh) dan adanya protein A diunjukkan

dengan tumbuhnya koloni dius pada media soff agar (SA) menjadi kompak pada

semm soff agar (SSA). Uji hemaglutinasi menunjukkan hasil positii lemah pada sel

darah merah sapi, ayam, kuda, anjing dan kelinci. Hal ini sesuai dengan hasil

idenfikasi terdahulu oleh Abrar (2000).

4.2 Tanda Klinis dan Perubahan Makroskopis Kelenjar Ambing Mencit setelah Diinfeksi S. aumus

Ambing dari semua kelompok mencit yang diinfeksi dengan S. aureus tidak

menampakkan adanya tanda-tanda peradangan dan terlihat sama dengan kelompok

kontrol. Puting tampak normal, tidak menampakkan adanya pembengkakan,

eksudasi maupun keropeng. Keadaan ini tampak pada seluruh kelompok perlakuan.

Puting pada semua mencit bewama putih, tersembunyi di antara rambut abdomen.

Mencit juga tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisah, tidak menggaruk-garuk dan

tidak menunjukkan tingkah laku yang berbeda dibandingkan dengan mend kontrol.

Aktivitas makan dan minum berjalan normal, menunjukkan bahwa infeksi S. a u m s

tidak menimbulkan perubahan secara klinis. Keadaan ini tidak berbeda dengan yang

terjadi pada ambing sapi penderita mastiis subklinis, yaitu tidak terlihat gejala

(114)

Ketika kult bagiin ventral mencit dibuka, tampak ada perubahan pada

bagian subkutis. Subkutis tampak lebih basah pada mend yang diinfeksi S. aureus.

Hal ini terlihat pada kelompok mend 12, 16, 20, 24 dan 36 jam pasca infeksi. Diperkirakan karena terjadinya edema radang ringan. Sedangkan pada kelompok

mencit 2 jam sampai dengan 8 jam pasca infeksi tidak tampak adanya perubahan

ini. Hiperemi pada pernbuluh darah yang menuju ke kelenjar ambing tampak pada

kelompok mend 2 jam sampai dengan 36 jam pasm infeksi. Juga disertai adanya

sedikit eksudat disekitamya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelenjar ambing

sedang tejadi peradangan. Dan pada kelompok mencit 48 jam pasca infeksi,

keadaan subkutis sedikit kering sehingga kulit agak susah dipisahkan dari kelenjar

ambing.

4.3 Histologi KelenjarAmbing Mencit Normal

Struktur kelenjar ambing mencit menrpakan bagian dari kulit yang terdiri atas

lapisan supenisial epidermis berupa epitel berlapis pipih, dan lapisan dalam dermis

terdiri atas jaringan ikat. Se!umlah kelenjar sebasius tampak bejajar di sepanjang

lapisan kuli. Kelenjar ambing mend normal (kontml) memperlihatkan gambaran

sesuai dengan susunan histologis kelenjar ambing sapi normal (Hurley 2000).

Struktur kelenjar arnbing mend normal tersusun dari jaringan sekretori berbentuk

kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen

alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid (Gambar 1). Dalam keadaan aktif, sel

eptel ini sangat pipih dan lumen penuh terisi susu. Penglepasan sekret (susu)

disertai dengan penglepasan bagian apikal sel alveol, sehingga sel epitel tampak

(115)

sebagai

unsur yang rnembentuk bagian

sekret

dikpaskan dari

sd

melalui

Garnbar 1. Struktur kelenjar ambiig mencit normal. Struktur terdiri dari susunan kelenjar tubulo9Iwl krisi sekresi susu.(HE 86 X)

Pernbuluh darah clan kapiler terdapat pada jaringan interstitiurn (stmma) di

antara alveolalveol. Beberapa ahred bersatu membentuk suatu struktur lobulus

yang dibatasi oleh jaringan ikat. Interstiurn juga rnengandung jaringan ikat longgar

dan terdapat sel-sel lemak di antara kelenjar ambing. Sei lemak akan mduas

membentuk jaringan lemak (fat pad) pada keadaan kelenja; t i a k aktii untuk

menggantikan tempat kelenjar yang tidak berproduksi lagi.

Susu diilurkan dan ahreol sampai ke glandula sistema dalarn suatu sistem

duktw yang disebut ductus laciifems yang mempunyai susunan selapis sel epitel yang lebih kompak dilengkapi dengan.jaringan ikat berupa mernbrana basalis yang

labih

tebal.

Dari ductus l a & ~ s , susu dialirkan rnenuju kistema atau d u b s yang
(116)

berwama biru tua sedangkan sitoplasma bemema merah keunguan. SeCsel epiitel

tubulus mengambil wama M i h kuat dibandingkan dengan

sel

epitel ahred kelenjar

ambing, sedangkan

sekresi

susu tampak berwama merah muda keunguan dengan [image:116.570.65.540.36.741.2]

globula lemak bsrupa ~ a n g - ~ a n g kosong berwarna putih di dalam lumen

ahreol

(Gambar 2).

Gambar 2. Sekresi susu dalam lumen alveol ambing mend normal. Tampak globula lemak dalam sekresi susu sebagai gelembung-gelembung bewama putih (HE 350 X)

4.4 Perubahan Histopatologis Kelenjar Ambing Mencit Laktasi setelah Diinfeksi oleh S. auntus.

Perubahan histopatologis pada jaringan ambing mencit yang diamati adalah

respon jaringan setelah mend diinfeksi dengan S. aureus. Pengamatan

menggunakan pewamaan HE pada kdompok 2 jam pasca infeksi mempedihatkan

edema jaringan interstitium dan pembendungan pembuluh darah inter-atveoter. SeC

sd

epitel a l v d mulai mengalami hiperplasia. ShuMur kelenjar ambing,

sekresi

susu
(117)

ambing

m

d

kontrol. Belum tampak adanya pernbenhrkan jaringan lemak (fat

pad). Susunan W j a r masih dalam batas normal. Pada lumen

ahFed

tampak

adanya seCseI deskuamasi dan sel epitel a l v d mulai mengalami degenerasi dan peradangan yang tidak berbeda nyata (P~0.05) bila dibandingkan dengan kebnjar ambing mencii kontrol (Garnbar 3).

Ernpal jam pasca infeksi, masih terlihat adanya edema jaringan interstitiurn

dan pembendungan pembuluh darah. Pada saat ini, dilatasi pembuluh darah disertai dengan diipedesis mulai tampak sebagai respon inang terhadap infeksi. Juga tampak adanya infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear

(PMN)

pada jaringan

interstitiurn. Arsitektur kelenjar, sekresi susu dan &- inflamasi maSih dalam batas normal (P>0.05). Tampak adanya stagnasi sekresi susu pada lumen ductus

lactive~s sebagai akibat dari adanya hambatan pengaliran susu.

[image:117.579.75.501.374.789.2]
(118)

Pada 6

jam

pi., edema jaringan interstitiurn dan pembendungan pembuluh darah masih tedihat dan infikrasi PMN b e m a s a m a dengan makrofag semakin

banyak terjadi pada jaringan interstitium, mernbentuk pusat-pusat radang.

-

Degenerasi

sel

epitel tampak makin jelas, diindai dengan hilangnya sbuktur normal sel. Sel epitel mengalami v a k u o l i i dan terjadi perubahan intensitas wama sitoplasma

sel

menjadi lebih merah dan inti mengeul mengambil wama lebih gelap

dengan HE. Tampak inti menghilang pada beberapa sel (Gambar 4). Tejadi

penurunan sekresi susu yang tidak nyata (P>0.05) dan retensi susu pada tubulus.

Gambar 4. Oegenerasi sel epitel alveol (tanda panah) dan infinrasi set radang (tanda bi&ng) pada 'pusat-pusat &ang 6 jam p.i. (HE 350 X).

Pada kelompok mend 8 jam p.i.. reaksi peradangan tampak berbeda nyata

(P<0.05) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, namun arsitektur kelenjar dan sekm susu masih dalam batas normal (P>0,05). Pada saat ini, jaringan interstitium

[image:118.567.18.535.20.621.2]
(119)

Hiperplasia sel eplel alveol masih terlihat sampai 12 jam p.i. disertai dengan

reaksi peradangan dan nekrosis sel epitel yang nyata (PcO.05) dibandingkan

dengan kontrol. Tampak adanya penurunan sekresi susu karena berkurangnya

jumlah sel epitel dan alveol yang aktif (Reid et a/. 1976) dan pembentukan jaringan lemak (fatpad) yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol.

Reaksi peradangan masih tampak nyata (P<0,05) sampai 16 jam p.i.. Tejadi

perubahan arsitektur kelenjar, sekresi susu, pembentukan fat pad, deskuamasi,

degenerasi dan nekrosis, namun tidak berbeda nyata (P>0.05) jika dibandinglan

dengan men& kontrol. Demikian juga pada kelompok men& 20 jam p.i., walau

reaksi peradangan tampak menurun dan tidak b e M a nyata (P>0,05) jika

dibandinglan dengan mencl kontrol.

Pada 24 jam p.i. terjadi degenerasi sel-sel epitel yang nyata (P<0,05) jika

dibandinglan dengan mencit kontrol. Arsitektur dan sekresi masih dalam batas

normal (P>0,05) sampai 36 jam p.i. Mulai 48 jam p.i., tampak adanya pembentukan

fat pad yang nyata (Pc0,05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol serta tejadi

penurunan sekresi susu yang nyata (P<0,05) mulai 60 jam p.i.

Hasil uji statistik pada Tabel 1 mempellihatkan struktur kelenjar ambing

mencit kontrol berbecia tidak nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok

perlakuan, namun kelompok mencit 2 dan 4 jam pasca infeksi (p.i.) mempellihatkan

struktur kelenjar yang berbeda nyata (Pc0.05) bila dibandingkan dengan kelompok

72, 84 dan 96 jam p.i.; serta kelompok 6 jam p.i. berbeda nyata (P<0,05) dengan

kelompok 72 dan 96 jam p.i.

Penurunan jumlah alveol yang aktii tejadi pada kelompok men& 60 sampai

96 jam p.i. (Pe0.05) bila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya

(120)

menyebabkan penurunan sekresi susu. Isi lumen a l v d dan keutuhan epitel

menunjukkan kemampuan epitel alveol dalam mensekresikan susu. Namun

demikian, keberadaan susu di dalam lumen ahreol dapat pula dipandang sebagai

keadaan retensi susu jika disertai dengan tejadinya degenerasi epitel alveol dan

tubular. Hambatan pengaliran susu dapat tejadi jika terdapat kebengkakan atau

hambatan akibat banyaknya re~rituhan

Gambar

Gambaran Histopatologi sebagai Hewan Model
Gambar 2. Sekresi susu dalam lumen alveol ambing mend normal.
Gambar 3. Hiperplasia sel epitel a l v d  (tanda panah) serta dilatasi
Gambar 4. Oegenerasi sel epitel alveol (tanda panah) dan infinrasi set
+7

Referensi

Dokumen terkait