PATOGENESIS MASTITIS SUBKLlNlS YANG DISEBABKAN OLEH
Staphylococcus aureus PADA MENCIT BERDASARKAN GAMBARAN
HISTOPATOLOGI SEBAGAI HEWAN MODEL UNTUK SAP1 PERAH
OLEH :
SAYU PUTU YUNl PARYATl
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
SAYU PUTU YUNl PARYATI. Patoaenesis Mastitii Subklinis vana Dibabkan oleh Staphyiloooccus aureus pada
en&
Berdasarkan ~ a m b a r a ~ ~ i ~ o p a t o l o g i sebagaiHewan Model untuk Sapi Perah. Dibawah bimbinaan BAMBANG PONTJO
-
PRIOSOERYANTO dan I WAYAN TEGUH WIBAWAN.
Kejadian mastitis pada sapi di Indonesia sangat tinggi, sebagian besar merupakan mastitis subklinis. Berbagai penyebab mastitis subklinis, di antaranya adalah bakteri. Salah satu bakteri yeng paling sering terisolasi dari sampel susu penderita mastitii subklinis adalah S t a p h ~ o c o a m aureus. Pada kasus mas% subklinis, ambing sapi tidak memperlihatkan pe~bahan atau tanda-tanda sakit, akan tetapi dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedik'i, diintaranya karena penurunan produksi dan kualiis susu, pengafkiran susu, biaya pengobatan dan jasa dokter hewan.
Masalah mastitis pada sapi perah telah banyak dipelajari, baik secara in
vitro
rnaupun in vivo, namun belum banyak diketahui mengenai patogenesis mastitis subklinis. Berbagai kendala yang dihadapi untuk mempelajari patogenesis mastitis subklinis secara histopatologi menggunakan sapi perah, maka dalam peneliian ini diaunakan mencit sebaaai hewan model. Tuiwn dari peneliian ini adalah untuk
mkpelajari perubaha&rubahan yang teiadi dalam jaringan kelenjar ambing
yang diinfeksi oleh S. aureus berdasarkan gambaran histopatdogi.
- -
Sebanyak 42 ekor mencit laktasi dcnfeksi dengan S. auius. Masing-masing ambing dietesi 50 p1 suspensi yang rnengandungl~~ sel I ml melalui lubang puting (orificium extema). Tiga ekor mencit sebagai kontml negatif (tidak diinfeksi). Mencit yang diinfeksi dengan S. a u m s dibagi menjadi 14 kelompok sesuai tahapan waktu. yaitu : 2,4,6,8, 12, 16.20.20, 24, 36.48.60.72, 84 dan 96 jam pasca infeksi (pi). Mencit dieuthanasi sesuai perlakuan. iarinaan ambina diambil untuk pembuatan - -
-
preparat histopatologi. ~ e n ~ a m a t a n secara histo$ologi dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin, sedangkan untuk rnelihat keberadaan bakteri-
digunakan pewamaan Watthin-Stany.Pengamatan secara hiiopatologi menunjukkan, bahwa infeksi bakteri S. aureus pada mencit tidak menyebabkan adanya perubahan jaringan arnbing secara klinis. Patogenesis bakteri S. aureus dimulai dari puting ambing melalui ductus
lactive~s menuju alveol, diawali dengan menempelnya bakteri pada perrnukaan sel
epitel (12 jam p i ) , menyebabkan degenerasi dan nekrosis (24 jam p.i.). Selanjutnya terjadi atrofi kelenjar dan penggantian jaringan nekrosis dengan 1-erbentuknya fat pad mulai 48 jam p.i. Bakteri S. aureus dapat diiemukan pada jaringan interstiium (6 jam p.i), fokus peradangan. PMN dan makrofag (8 jam p.i), lumen dan epitel ahreol (12 jam p.i) serta di antara jaringan lemak fat pad (mulai 48 jam p.i). Peradangan tampak nyata pada 8 hingga 16 jam p.i. Pe~bahan pada s t ~ k t u r kelenjar susu mencit yang diinfeksi S. aureus tidak berbeda nyata (P>0.05) dibandingkan dengan kontrol, namun teqadi penurunan jumlah ahreol yang aktf (P<0,05) pada kelompok mencit 60 sampai 96 jam p.i. yang diikuti dengan menurunnya sekresi susu dan globula lemak dalam susu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mencit kemungkinan besar &pat
digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan patogenesis mast~is subklinis
ABSTRACT
SAYU PUTU YUNl PARYATI. Pathogenesis of Subclinical Matiiis Caused by
Staphy/lococcus a u m s in Mice Based on Histopathological Lesion as an Animal Model for Dairy Cattle. Under the direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO and I WAYAN TEGUH WIBAWAN.
Pathogenesis of subdinical mastitis in dairy cattle caused by Stapbylococws aureus was studied using mice as an animal model. The aim of the present study is to elaborate the change of the mammary tissue due to S. a u m s infection based on histopathological lesion. Forty-two lactating mice were infected by 10' cells/ml S. a u m s through oni5cium extema of the mammary glands, and 3 mice as control. Mice were divided into 14 groups based on the time of infection, i.e : 2,4, 6, 8. 12, 16, 20, 24, 36, 48, 60, 72, 84 and 96 hour pest infection (p.i.). Histopathological analysis was done on the mouse mammary tissue using the Hematoxyline-eosin and Wadhin-Stany stainings. Staining by Hematoxylineeosin showad that milk produdion was decreased on 60 to 96 hour p.i. Inflammatory reaction of the tissue was omred and significantly different (P<0.05) on 8 to 16 hour p.i. compared to the control group. Degeneration; necroses and desquamation with infiltration of Polimorph Nudeated Cells (PMN) and macrophages were also encountered. The necrotic cells were replaced by fat tissue (fat pad) from 12 to 96 hour p.i. Using Wadhimstany staining method, the coccus bacteria were seen in the skin of mammary gland, the interstitial tissue (6 hour p.i), PMN, macrophages (8 hour p.i). alveolar epithelial cells, the lumen of alveolar (12 hour p.i) and fatpad(48 hour p.i).
SURATPERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang bejudul :
Patogenesis
Mas-
Subklinis yang Disebabkan olehStaphylococcus
aunws pada Mencit Berdasarkan Gambaran Hiipatologi sebagai
-
-
HewanModel
untuk Sapi Perahadalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semw surnber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bandung, 28 Juli 2002
.
SAYU PUT U YUNl PARYATI
PATOGENESIS MASTITIS SUBKLlNlS YANG DISEBABKAN OLEH
S t a p h y l a : ~ ~ ~ ~ ~
aureus
PADA MENCIT BERDASARKAN GAMBARAN
-
HISTOPATOLOGI SEBAGAI HEWAN MODEL UNTUK SAP1 PERAH
SAYU PUTU YUNl PARYATI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Magister Sains pada
Program Studi Sains Veteriner
.
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis
N a m a
Nomor Pokok
Program Studi
: Patogenesis Mastitis Subklinis yang D i i b k a n deh
[image:81.594.58.499.46.757.2]Staph~lococcus aumus pada Mencit Berdasalkan
Gambaran Histopatologi sebagai Hewan Model untuk Sapi Perah
: Sayu Putu Yuni Paryati
: 99445
: Sains Veteriner
Menyetujui
1. Komisi Pembimbing
Drh. Bambana ~ & t i o Priosoervanto, MS.. Ph.D.
Ketua
Dr. drh. I Wavan Teauh Wibawan. MS.
Anggota
2.
Ketua Program Studi ram Pascasarjana0
7
~ l l f i 7"'Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Juni 1965 di Tabanan, Bali, sebagai putri pertama dari empat bersaudara, dari pasangan ayah I Gusti Kayan Suparta dan ibu Ni Putu Daning.
Setelah lulus dari SMA Negeri I Tabanan. Bali,pada tahun 1984, penulis rnendapat kesempatan mengikuti pendidikan di Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Udayana melalui jalur PMDK. Pada tahun 1988, penulis lulus sebagai Sajana Kedokteran Hewan kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Profesi
Dokter Hewan dan lulus sebagai Dokter Hewan pada tahun 1990.
Sejak tahun 1991, penulis mengabdikan diri sebagai staf pengajar di
Akademi Medis Veteriner Puragabaya Bandung dan tahun 1993 penulis diangkat
menjadi staf pengajar Kopertis Wilayah IV Jawa Barai yang dipekejakan di Akademi
Medis Veteriner Puragabaya Bandung hingga sekarang. Pada tahun 1999, penulis
memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan program magister di Program Studi Sains Veteriner pada Program Pascasajana IPB dengan beasiswa dari Direktorai Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidiian Nasional melalui
Biaya Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS).
Penulis menikah pada tahun 1991 dengan lr. I Gusti Ngurah Sudira dan saat ini telah dikaruniai seorang putri, Gusti Ayu Sinta Deasy Andani yang lahir pada
tanggal 26 Desember 1992 dan seorang putra, Gusti Ngurah Dananjaya Gandhewa
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa, kerena atas berkah dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan pendiikan program magister di Program Studi Sains Veteriner pada Program
Pascasaiana IPB. Dalam penelitinn ini, penulis mengambil judul : 'Patogenesis
mastitis subklinis yang disebabkan deh Staphflomccus aureus pada mencit
berdasarkan gambaran histopatologi sebagai hewan model untuk sapi perah"
Pa& kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan hormat serta terima kasih yang tulus kepada Bapak Drh. Bamkng Pontjo Priosoetyanto, MS. Ph.D. selaku Ketua Komisi Pembimbing atas segala bantuan, bimbingan dan domngan semangat yang telah diberikan. Penghargaan dan rasa terima kasih yang
tulus juga disampaikan kepada Bapak Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. selaku Anggota Komisi Pernbimbing yang telah membantu, membimbing, memberikan pengarahan dan semangat kepada penulis mulai dari rencana mengikuti pendidikan, selama mengikuti pendidikan, persiapan dan pelaksanaan peneliian hingga penyusunan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Kepala Laboratorium Patologi FKH-IPB beserta staf, atas ijin, pengertian dan bantuan baik moril maupun materiil yang telah diberikan kepada penulis. Demikian juga kepada Kepala Lzboratorium BaMeriolog~ FKH-IPB beserta staf, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas bantuan dan kesempatan yang diberikan untuk menggunakan fasilitas laboratoriuin selama penulis melakukan penelitian. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada DireMur PT. Bio Farma (Persero), atas kesempatan dan keleluasaan serta bantuan yang telah diberikan selama peneman berlangsung.
Penulis sampaikan pula rasa terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Pmyek BPPS DiMi, Departemen Pendidikan Nasional RI yang telah
memberikan M ~ s w a kepada penuhs selama mengikuti pendidikan.
Kepada Bapak Drh. H. Zulkiii Surahamdani selaku DireMur Akademi Medis Veteriner Puragabaya Bandung beserta staf, penulis menyampaikan terima kasih
* dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas pengertian dan kesempatan yang
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada lbu Drh. Lia Sii Halimah. M.Si.. Bapak Drh. Kamaluddin Zarkasie. Ph.D., Drh. Darsono, Drh.
Maharani. M.Si.. Sarmedi. SE., Sukanda, Benyamin, Ahmad dan Darmin, atas bantuan moril dan materiil yang telah diberikan. Terima kasih juga kepada Bapak
Agus Somantri. S.Pd. dan Bapak Kasnadi, yang telah banyak membantu
pelaksanaan peneliian secara teknis.
Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada sahabat terdekat, Lina Roslina Oktiinsyah. SH. yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan semangat untuk penulis. Tsrima kasih pula kepada lbu Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si.. Ibu Drh. Dewi Ratih, Ph.D. dan lbu Drh. Ekowati Handharyani, Ph.D., Ir. Etih Sudamika, MS., Dr. #rh. AETH Wahyuni, M.Si. den Dr. drh. Tiiek Djanatun, atas
bantuan yang telah diberikan. Kepada teman-teman mahasiswa SVT, penulis menyampaikan terima kasih atas keja samanya selama ini.
Kepada Ayahanda dan lbunda I Gusti Kayan Suparta, Ayahanda dan lbunda
I Gusti Ngurah Mecutan s e a adik-adik tercinta, penulis menyampaikan terima kasih yang sedalamdalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa, bimbingan, setta dorongan semangat yang tak pemah berhenti diberikan dalam kehidupan penulis dengan suasana penuh cinta.
Terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada suami tercinta. I Gusti Ngurah Sudira, yang dengan penuh rasa kasih, sabar dan penuh pengertian, selalu mendoakan, memberikan dorongan. berkorban dengan tuius dan mendampingi penulis, sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan dan menyelesaikan peneliian dan tesis ini. Terima kasih pula untuk
anak-anak tercinta. Gusti Ayu Sinta Deasy Andani dan Gusti Ngurah Dananjaya Gandhewa, yang senantiasa menciptakan suasana ceria dan memberikan warna serta dorongan dalam kehidupan penulis.
Penulis menyadari, bahwa karya ilmiah ini belum sempuma. Oleh karena l u
.
dengan rendah hati penulis mengharapkan saran dari pembaca demi kesempumaankarya kecil ini, sehingga
dapat
bermanfaat bagi semua pihak yangmembutuhkannya.
Bandung, Juli 2002.
DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL
...
viiiDAFTAR GAMBAR
...
ixDAFTAR LAMPIRAN
...
xBAB I PENDAHULUAN
...
11
.
1 Latar Belakang...
21.2 Rumusan Permasalahan
...
31.3 Maksud dan Tujuan
...
31.4 Manfaat Peneliiian
...
41.5 Hipotesis
...
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...
52.1 Mastitis pada Sapi Perah
...
52.2 Penyebab dan Tipe Matiiis
...
5 2.3 S t a p h y i m s aureus sebagai Penyebab Matiiis...
72.4 Histdogi Kelenjar Ambing Mencit
...
92.5 Histopatologi Matiiis Subklinis ... 10
2.6 Patogenesis Bakten Staphylocoocus aureus
...
11BAB Ill BAHAN DAN METODE PENELlTlAN
...
15 3.1 Lokasi dan Waktu Peneltian...
153.2 Bahan dan Peralatan
...
153.2.1 Bahan
...
153.2.2 Peralatan
...
163.3 Metode Peneliian
...
16.
3.3.1 Desain Penditian
...
3.3.2 Reidentifikasi lsolat
...
3.3.3 Preparasi Bakteri
...
3.3.4 Persiapan Hewan Model (Mencit)
...
3.3.5 lnfeksi
In Vivo pada Mencit Laktasi
...
3.3.6 Jaringan Kontml Positii
...
3.3.7 Pembuatan Preparat Histopatologi
...
3.3.8 Pewarnaan Jaringan
...
3.3.8.1 Metode Pewamaan Hematoksilin-Eosin
...
3.3.8.2 Metode Pewamaan Warthin-Stany
...
...
3.3.9 Parameter3.3.1 0 Metode Skoring Perubahan Jaringan
...
. .
3.3.1 1 Analts~s Data
...
BAB IV HASlL DAN PEMBAHASAN
...
4.1 Reidentikasi lsolat
...
4.2 Tanda Klinis dan Perubahan Makroskopis Kelenjar Ambing
Mencit seteiah Diinfeksi S . aureus
...
4.3 Histologi Kelenjar Ambing Mencit Normal...
4.4 Perubahan Histopatologis Kelenjar Ambing Mencit Laktasi
setelah Diinfeksi oleh S
.
aureus...
...
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
...
...
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
...
DAFTAR TABEL
1 Hasil uji statistika arsitektur, kemampuan sekresi dan reaksi inflamasi pada kdenjar ambing mend setelah diinfeksi S. aureus
. .
(Hematoks~l~n-Eosin)
...
312 Arsitektur dan kemampuan sekresi pada kelenjar ambing mend
...
setelah diinfeksi S. aueus (Hematoksilin-Eosin) 46 3 Reaksi inflamasi kelenjar ambing mend setelah diinfeksi
. .
S. aureusDAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur kelenjar ambing mencit normal
... ...
...
...
...
...
... ... ...
...
...
...
... ...
...
.
26 2 Sekresi susu.dalarn lumen alveol ambing mend normal... ..
.... .. .
......
...
..27
3 Hiperplasia sel epitel ahreol serta dilatasi pembuluh darah pada
jaringan ambing mencit yang diinfeksi S. aureus 2 jam p.i.
...
......
...
... ...
..
284 Degenerasi sel epitel alveol (tanda panah) dan infiltrasi sel radang
pada pusat-pusat radang 6 jam p.i.
...
...
...
...... ...
...
...
......
...
.... .
..
29 5 Penurunan jumlah kelenjar yang aktif dan atrofi alveol menyebabkanpenurunan sekresi susu pada mend 60 jam setelah diinfeksi S. aureus 32
6 Sel-sel deskuamasi pada lumen alveol kelenjar ambing 48 jam p.i. ...
... ...
7 Degenerasi sel-sel epitel ambing mencit setelah diinfeksi
S. aureus 24 jam p.i.
...
...
... ... ..
....
. .. ... ...
...
...
...
...
..
,...
... ... ... ... .. . .
.. ..
. .. .
8 Nekrosis sel-sel epitel ambing mencit setelah diinfeksiS. aureus 12 jam p.i.
. . .
. .. . .
. . . .. . .
. .. . .
. . .. . . .
. . . .. . . .
.
. . .
. . .. . .
. ..9 Sel-sel radang (PMN) menginfiltrasi fokus peradangan, terjadi di sekeliling alveol yang mengalami atrofi 48 jam p.i.
... ...
...
......
...
......
...
...
...... ...
...
..10 Pembentukan jaringan lemak
(fat
pad) menggantikan kelenjar ambing yang mengalami nekrosis dan atrofi akibat infeksi S. aureus 60 jam p.i....
11 Bakteri S. aureus yang telah diigositosis dalam PMN 8 jam p.i....
... ......
12 Bakteri S. aureus pada epitel dan lumen alveol menyebabkan degenerasi, nekrosis dan atroti kelenjar 48 jam p.i.
... ...
... ...
... ...
... ...... ...
......
...
...
...
.DAFTAR
LAMPIRAN
1 Arsitektur dan kemampuan sekresi pada kelenjar ambing mend
...
setebh diinfeksi S. aureus (Hematoksilin-Eosin) 46
2 Reaksi inflamasi kelenjar ambing mencit setelah diinfeksi S. aureus
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mastitis atau peradangan pada ambing meNpakan salah satu penyakit yang
sering dijumpai pada temak, khususnya temak perah. Selain menimbulkan kerugian
secara ekonomi karena menurunnya produksi dan kualitas susu serta biaya
pengobatan yang mahal, kejadian mastitis juga dapai membahayakan masyarakat
konsumen yang mengkonsumsi susu asal ternak yang mendetita mastitis.
Sebagian besar kasus mastitis disebabkan oleh adanya infeksi bakteri. Pada
umumnya bakteri penyebab mastitis berasal dari lingkungan maupun bakteri yang
bersifat kontagius (contagious mastitis), ditulakan dari satu kuartir ke kuartir yang
lain pada sapi yang sama atau dari satu sapi ke sapi lainnya.
Kejadian mastiiis pada sapi di Indonesia sangat tinggi (85%) dan sebagian besar merupakan mastitis subklinis (Wibawan et a/. 1995). Dari sampel susu yang
diperiksa di tiga daerah di P. Jawa, dapat diketahui 3 jenis bakteri penyebab mastiis
subklinik yang paling sering terisolasi adalah Streptococcus agalacliae,
Staphylococcus aureus dan Eschericia coli.
Pada peternakan sapi perah, S. aureus mempunyai arti penting sebagai
penyebab mastitis karena bakteri dapat rnenyebar ke mana-mana dan dapat
membentuk koloni dengan baik pada kulit dan puting ambing. Selain itu S. aufeus
juga cepat resisten terhadap penisilin dan pengobatan biasanya kurang berhasil
dibandingkan
pada
mastiiis yang disebabkan oleh S. agaladae (Siegmund 1979;yang lama, padahal pemberian antibiotika yang lama pada masa l a h s i sangat Mak
menguntungkan secara ekonomi (Sandholm
et
al. 1991).Tingkat kejadian infeksi S. aureus dalam satu kandang dapat menmpai 35%
(Submnto 1985). Selain menyebabkan penurunan produksi dan kuaktas susu,
infeksi oleh S. aureus juga tidak jarang mengakibatkan kematian hewan pendetita.
Kerugian lain berupa meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu terbuang.
biaya obat-obatan, biaya dokter hewan dan upah buruh (Kirk et a/. 1994). S. a u m s
sebagai salah satu penyebab mastitis klinis maupun subklinis, dikenal pula sebagai
bakteri komensal yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan tubuh (Warsa
1994; Clements 1999).
Tahap awal infeksi bakteri adalah adanya kontak pennukaan antara sel inang
dan bakteri, dimana dalam proses ini melibatkan komponen pennukaan
sel
sepertiprotein dan karbohidrat (Mims 1986). Pmses adhesi merupakan tahap infeksi yang
sangat penting dan dominan sebagai penentu ekspresi penyakit yang benifat
subklinis. Peran adhesi dan kolonisasi bakteri pada pennukaan sel ambing, jauh
lebih penting dibandingkan dengan kemampuan invasi bakteri tersebut.
Menernpelnya baktsri pada pennukaan sel epitel ambing menyebabkan degenerasi
dan nekrosa sel epitel (Estuningsih 2001).
.' I
Sampai saat ini penelian mengenai patogenesis mastitis subklinis yang
disebabkan oleh S. agalactiae telah dilakukan (Estuningsih 2001). Demikian juga
patogenesis mastitis nekrotik akut (Shibahara dan Nakamura 1998) serta mastitis
subklinis yang disebabkan oleh S. aureus telah ditelii
secara
in vitro menggunakan biakan jaringan (Pumami 1999). namun M u m banyak diketahui mengenaipatogenesis penyakit yang disebabkan oleh S. aureus pada kasus mastitis subklinis
mastitis subklinis pada jaringan kelenjar ambing sapi, maka dalam peneltiin ini
diiunakan mencit sebagai hewan model.
1.2 Rumusan Permasalahan
Pada kasus mastitis, jalan infeksi bakteri S. aureus biasanya melewati puting ambing. Diduga infeksi diawali oleh keberhasilan bakteri menembus lapisan tanduk
puting lalu dilanjutkan oleh proses adhesi dan. Kerusakan tampak nyata dari gejala
peradangan pada kelenjar ambing teiutama sapi yang menderita matiiis klinis.
namun tidak demikian halnya pada kasus mastitis subkinis yang tidak menampakkan
adanya perubahan anatomis kelenjar ambing. Patogenesis infeksi bakteri ini pada
kejadian mastitis subklinis belum banyak diketahui.
1.3
Maksuddan
Tujuan1. Mempelajafi patogenesis S. aureus sebagai penyebab matiiis subklinis
pada mencit sebagai hewan model,
2. Mengetahui secara histopatologi perubahan-perubahan yang terjadi pada
jaringan atau seCsel ambing penderita matiiis subklinis yang disebabkan
oleh S. aureus.
3. Mengetahui apakah mencit dapat dijadikan hewan model untuk menjelaskan
1.4
Manfaat
Penelian
Penelian ini diharapkan bermanfaat untuk memahami patogenesis penyakit
akibat infeksi oleh S. aureus yang berkaitan dengan proses adhesi bakteri pada sel-
sel ambing penderita mastitiis subklinis. lnformasi yang dipemleh diharapkan dapat
digunakan sebagai landasan dalam upaya pencegahan mastitis.
1.5 Hipotesis
1. Ada
perubahan
struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing penderitamastiis subkbnis akibat infeksi bakteri S. aureus.
2. Tejadi variasi kerusakan jaringan ambing pendetita mastitis subklinis yang
disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu infeksi.
3. Mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mastitis pada Sapi Perah
Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan internal kelenjar
ambing. Penyakit ini umum terjadi pada petemakan sapi perah di s e l u ~ h dunia
(Duval 1997). Peradangan dapat tejadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas.
Kelenjar ambing membengkak, edematus berisi cairan eksudat disertai tandetanda
peradangan lainnya, sepetti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa sakii dan penurunan fungsi. Akan tetap~ seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya
suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastiis sering dilakukan melalui
pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan penghitungan
jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991).
Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya
penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat mastiis.
Kewgian lain timeul akibat adanya residu antibiotika pada susu, biaya pengobatan
dan tenaga kerja, pengafkiran, meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu
terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan kualiias susu (Kirk et a/.
1994; Hurley dan Morin 2000).
2.2 Penyebab dan Tipe Mastitis
Matiiis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya :
lntramammary infecton (/MI), yalu karena adanya infeksi oleh bakteri termasuk juga
Secara mekanik, trauma temnal dan trauma kimiawi sebagai f&or predisposisi
tejadinya
/MI
pada kdenjar ambing (Hurley dan Morin. 2000). lnfeksi pada kdenjarambing tergantung dari tiga faktor, yaitu faktor induk semang, agen penyaki dan
lingkungan. lnfeksi pada umumnya terjadi pada masa keluamya kolostrum, saat sapi mengalami masa kering kandang dan
awal
masa laktasi, namun infeksi dapat te jadikapan saja.
Tingkat keparahan dan intensitas mastitis sangat dipengamhi oleh organisme
penyebabnya, sehingga ada beberapa
tipe
mastiis yang dapat tejadi pada sapiperah (Duval 1997). Berdasarkan respon radang yang terjadi, mastitis dapat
dibedakan menjadi : matiiis perakut, akut, sub akut, sub Minis dan kronis (Hurley
dan Morin 2000 ; Nelson dan Nickerson 1991).
Matiiis perakut, diindai dengan adanya peradangan yang tiba-tiba pada
puting. susu bersifat serous dan tejadi gejala sistemik serta kematian pada sapi;
MaMls akut, ditandai dengan kejadian yang tiba-tiba dengan peradangan pada
puting, penurunan produksi susu dengan susu yang bersifat serous serta gejala
sistemik yang mirip dengan kasus mastitis perakut, tetapi gejalanya lebih ringan.
Mastitis subakut. yaitu adanya peradangan ringan sehingga hampir tidak terlihat
adanya perubahan pada puting, ilamun secara umum terdapat gumpalan-gumpalan
pada susu. Tidak terlihat adanya gejala sistemik pada kasus ini. Matiiis subklinis,
merupakan matiiis yang paling umum tejadi, yaitu kira-kira 15
-
40 kali lebihbanyak dibandingkan dengan m a m ~ s Winis. Sedangkan mastitis kronis umumnya
terjadi sebagai kelanjutan
dari
mastitii subklinis yang bedangsung selama b%berapabulan atau beberapa tahun (Hurley dan Morin 2000).
Mastitis subklinis mempakan peradangan jaringan intema ambing tanpa
peningkatan jumlah sef radang, diiemukannya mikroorganisme patogen dan terjadi
perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993). Menurut Hurley dan Morin (2000). jumlah
sel somatik yang mdebihi 200.000 sel I 1 ml susu dapat berindikasi terjadinya mastitis pada sapi. Tapi jumlah sel somatik pada susu dapat meningkat seiring
dengan bettambahnya umur sapi (Duirs dan Mamillan 1979).
2.3
Stephflococcus auraw sebagai Penyebab MastitisS. a u w s tersebar luas di dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kdainan
pada kuli dan membran mukosa hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifal @am
positif, fakultatii anaemb, katalase positii, koagulase positii dan menghasilkan asam
laktat. Pada biakan agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998).
S. aumus t i a k membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik pada suhu 37" C
dan mati apabila dipanaskan pada suhu 80° C selama setengah jam.
Bebagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi
adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam
dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein
fibmnectin (Ndson et a/. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses
kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). lnvasin yang berperan dalam penyebaran
bakteri di dalam janngan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul
dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ;
(4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan pmduk katalase, dapat membuat
bakteri beahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan dumping factor
untuk menghindarkan din dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase
coagulase
(Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisismembran sel dan jaringan inang (Todar 1998).
S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastiis subklinis
karena bakteri ini dapat rnenyebar ke rnana-mana dan dapat membentuk koloni
dengan balk pada kuli dan puting ambing. Keberadaannya pada kuli merupakan
suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri
menjadi persisten (Todar 1997). S. aueus dapat dimusnahkan dari permukaan kuli
arnbing dengan tempi antibiiika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan
ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aueus cenderung menjadi resisten terhadap
antibiotika (Hoblet and Eastridge 1992 ; Arpin et a/. 1996). S i i resistensi ini juga
diientukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et a\. 1998).
Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai
jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya
bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab
mastitie
subklinis,(Bramley 1991).Selain sebagai penyebab mastitis klinis maupun subklinis, S. aureus dikenal
pula sebagai bakteri komensal, yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan
tubuh. Bakteri ini bersifat ''shin-host spedfid, artinya ada kaiin antara biotipe
dengan spesies inang (Hajek dan Marsalek 1971). S. aumus merupakan flora
normal pada manusia, terutama diternukan pada saluran pemapasan bagian atas,
kulii dan mukosa. Pada babi sehat. S. aumus banyak diiemukan pada cairan
bmnahoaIvedar (Hensel et a\. 1994).
Kemarnpuan S. aureus menginvasi dan hiiup dalam set-sel endotel diyakini
dapat menyebabkan infeksi endovascular yang bersifat persisten dengan
sebagai bagiin dari proses apoptasis yang disebabkan oleh infeksi S. a u m s
(Menzies dan K w M a 1998).
2.4
Histologi Kelenjar Ambing MencitSampai saat ini mencit adalah hewan percobaan yang banyak sekali
digunakan dalam dunia biomedis untuk keperluan pengujian dan pendiiikan. Mencit
dewasa mempunyai panjang antara 12
-
15 crn dan pada betina memiliki lima pasang kelenjar ambing, tiga pasang di antaranya terletak di regio cewMco-thorasicadan dua pasang lainnya berada pada regio inguino-abdominal (Vandenberg 2000).
Struktur keknjar ambing tersusun dari jaringan parenkim dan stroma
(connective tissue). Parenkim merupakan jaringan sekretori berbentuk kelenjar
tubule-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen alveol
dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid. Lapisan sei epitel ini dikelilingi oleh sel-sel
myoepitel yang bersifat kontraktil sebagai responnya terhadap horrnon oxytocin dan
selanjutnya dikelilingi oleh stroma ber~pa jaringan ikat rnembrana basalis. Pembuluh
darah dan kapiler terdapat pada jaringan ikat di antara alveol-alveol ini. Beberapa
alveol bersatu membentuk suatu s t ~ k t u r lobulus dan beberapa lubulus bergabung
dalam suatu lobus yang lebih besar. Penyaluran susu dari alveol sampai ke glandula
sistema melalui suatu sistem duktus yang disebut ductus lactiifems (Hurley 2000).
Sel yang melapisi alveol be~ariasi penampilannya, tergantung aktivitas
fungsionalnya. Pada keadaan kelenjar tidak laktasi, sel berbentuk kuboid. Bila aktii
menghasilkan sekret (susu), selnya berbentuk silindris. Dan bila susu dicurahkan ke
dalam lumen, meregang, seCsel kembali berbentuk kuboid dengan ukuran yang jauh
kaya akan ribosom, kompleks gdgi dan droplet lemak seda banyak memiliki vakuol
sekretoris (Russo dan Russo 1996).
Pada
rnendt,
masa laktasi berlangsung selama 3-
4 minggu tergantungstrain mend dan sekresi susu maksimal terjadi antara 12-13 hari
post
partus.Setelah masa sapih, sel-sel epitel mulai berdegenerasi dan alveol mulai menurun
aktifitasnya untuk memproduksi susu dan berubah bentuk menjadi kumpulan stnrktur
rnassa sel tanpa lumen. Pada saat ini lobulus alveolar mulai diisi dengan jaringan lemak (fat pad).
2.5 Histopatologi Mastitis Subklinis
Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat diemukan adanya
peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain
itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang
1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit
berinti polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).
Penelitan pada matiiis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae
menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri
pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu
menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa berlanjut dan menyebabkan atrofi
alveol kelenjar susu disertai respon peradangan yang menyebabkan terjadi invdusi kelenjar susu. Selanjutnya terjadi proses persernbuhan berupa pembentukan
jaringan ikat. Pada hari keempat setelah diinfeksi, sebagian jaringan ikat diiantikan
oleh jaringan lemak dan bakteri terperangkap di dalam kelenjar ambing (Estuningsih
Knight dan Peaker (1991) menyatakan bahwa peradangan yang
t%jadi
padasatu kelenjar ambing akan mengakibatkan adanya efek kompensasi pada kelenjar
ambing yang sehat, ditandai dengan adanya dirensiasi dan prolirasi jaringan
kelenjar yang sehat. Mekanisme ini belum banyak dimengerti, tetapi kemungkinan
besar karena kelenjar ambing mempunyai sistem kontrol tersendiri melalui produksi
sejumlah faktor kimia aktif yang bemifat lokal maupun sistemik.
2.6 Patogenesis Bakteri Staphylococcus aureus
Pada kasus mastiis, infeksi te jadi melalui puting ambing karena kontaminasi
dari tangan pemerah atau mesin pemerah susu, kemudiin melewati ductus
lactife~s dan akhimya mencapai sisterna. lnfeksi ini berhasil apabila bakteri dapat
bertahan dalam saluran kelenjar ambing, bertahan terhadap mekanisme pertahanan
spesifik dan nonspesifik dan harus mampu melawan arus pengeluaran air susu
(Nelson et a/. 1991). Patogenesis infeksi bakteri pada kejadian mastitis belum
banyak diketahui. Diduga infeksi diawali oleh keberhasilan bakteri menembus
lapisan tanduk puting ambing, lalu dilanjutkan oleh proses adhesi dan kolonisasi.
Tampaknya kemampuan adhesi dan berkolonisasi bakteri pada sel epitel merupakan
tahap kritis untuk keberhasilan infeksi (Jonsson dan WadstrcTm 1993). Pembaan
secara in vitro menggunakan sel epitel ambing menunjukkan bahwa kdonisasi
bakteri S. aumus merupakan suatu tahap penting dalam perkembangan matiiis
(Nelson et a/. 1991).
Proses adhesi merupakan tahap awal infeksi bakteri yang berperan dalam
kolonisasinya pada pemukaan sel inang. Adanya adhesi memparpendek jarak
antara bakteri dengan permukaan tubuh inang sehingga mempermudah toksin yang
dua bentuk, yalu adhesi yang bersifat nonspesifik dan adhesi yang bersifat spesifik.
Pada adhesi yang nonspesifik, perlekatan tidak melibatkan peran reseptor
pennukaan, tetapi dibabkan karena sifat hidrofobisitas agen dan perbedaan
muatan listrik permukaan bakteri dengan permukaan sel sehingga perbkatan pada umumnya tidak kuat (Todar 1997). Sedangkan pada adhesi spesifik, perlekatan
diperantarai oleh reseptor permukaan sel inang yang mampu berikatan dengan
antigen permukaan bakteri yang umum disebut adhesin (Foster dan McDevitt 1994;
Todar 1997 ; Todar 1998). Antigen permukaan ini dapat berupa fimbria, pilli. kapsul
atau komponen struktural bakteri lainnya (Wibawan dan Lammler 1991; Wibawan et
a/. 1992; Shutter et a/. 1996) serla protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) yang bertanggungjawab terhadap aktiiitas hemaglutinasi (Gottschalk et al. 1990 ;
Wibawan et al. 1993). Hemaglutinin merupakan salah satu faktor virulen yang
dimiliki bakteri patogen dan bertanggungjawab dalam patogenesis infeksi (Kurl et a/.
1989) dan dari sisi inang, melibatkan peran reseptor hemaglutinin (Estuningsih
1998).
Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui
beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan rnikroorganisme dimana sejumlah
mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter),
kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang
terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada
induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-
leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel
ambing. Apabila respon ini gagal, maka rnikroorganisme akan rnengalami
P e n d i n pada mencit yang diinfeksi dengan S. aumus, memperlihatkan
bahwa tahap kritis patogenesis mastitis terjadi ketika terjadi interaksi antara neutrofil
dan S. aureus pada 12 sampai 18 jam setelah diinokulasi S. aurws melalui kelenjar
ambing. Fagositosis bakteri oleh neutrofil mulai terlihat pada 6 jam setelah infeksi.
Setelah 12 jam pasca infeksi, neutrotil mengalami perubahan-perubahan yang
bersifat
degeneratif, mengakibatkan S. aureus dapat mencapai lumen ahreol danterjadi peningkatan jumlah bakteri ekstraseluler pada I 8 jam setelah infeksi (Anderson dan Chandler 1975).
Hurley dan Morin
(2000),
menjelaskan bahwa peradangan pada ambingdiawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan
multiplikasi. Sebagai respon pertama, pembuluh darah ambing mengalami
vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilis
pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi,
seperti prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit oksigen toksik yang dapat
meningkatkan permeabilis kapiler ambing. Adanya filtrasi cairan ke jaringan
menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi diapedesis, sel-sel
fagosl (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang
terinfeksi dilanjutkan dengan _fagositosis dan penghancuran bakteri. Tahap
berikutnya, terjadi proses persembuhan jaringan.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi
kemampuan kelenjar ambing untuk bertahan dari infeksi, di antaranya adalah :
jaringan yang menjadi kurang efektif pada umur tua; PMN yang terlalu muda pada
kelenjar dan adanya PMN yang tidak memusnahkan bakteri tapi sebaliknya malah
melindungi bakteri dari proses penghancuran berikutnya. Hal lain juga disebabkan
Fc
pada leukosit, menyebabkan degranulasi yang bedebihan dan meningkatnyagejala peradangan. Lemak dan casein susu yang tertelan oleh PMN dapat
menyebabkan kegagalan PMN dalam proses ingesti bakteri. Kernampun PMN
dalam fagositosis dan mernbunuh bakteri juga dapat menurun pada keadaan
detisiensi vitamin
E
atau selenium.Pemusnahan bakteri melalui sistem oxygen respiratory burst membutuhkan
oksigen yang lebih banyak, namun kadar oksigen pada susu jauh lebih rendah
daripada konsentrasi oksigen dalam darah. Demikian juga glukosa sebagai sumber
energi pada susu sangat rendah konsentrasinya, padahal untuk fagositosis
diperlukan energi yang lebih tinggi. Di samping itu, susu mengandung komponen
BAB Ill
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Peneliian
Peneliian dilakukan di Laboratorium Patologi FKH-IPB, Laboratorium
Bakteriologi FKH-IPB dan di Laboratorium PT. Bio Farma (Persero) Bandung selama
12 bulan.
3.2 Bahan dan Peralatan
3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
1. Mencit strain ddY yang sedang IaMasi (5 hari post partum) sebagai hewan
model. Mencit diperoleh dari PT. Bio Farma (Persem) Bandung.
2. lsolat bakteri S. aureus lapangan yang dipemleh dari kasus mastitis subklinik pada sapi perah. lsolasi dan identikasi bakteri telah dilakukan oleh Abrar
(2000).
Media dan bahan lain yang digunakan dalam penelifin ini meliputi :
1. Media untuk kukur bakteri Todd Hewitt Broth (THE).
2. Berbagai bahan untuk pembuatan preparat histopatologi, yaitu Normal Buffer
Formalin (BNF), xylol, alkohol bertingkat yang dimulai dari 70% sampai absolut,
parafin dan perekat.
3. Bahan-bahan yang digunakan dalam pewamaan Warthin-Stany, seperti ; perak
Peralatan yang diiunakan dalam peneliian meliputi :
1. Alat-alat gelas, yaitu gelas piala, cawan petri, tabung reaksi, gelas obyek, gelas penutup, pipet dan mikmpipet
2. Tabung sentrifus, rak tabung reaksi, sentrifus, penangas.
3. Gunting, pinset dan peralatan untuk pembuatan preparat histopatologi.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Desain Penelitian
Sebanyak 42 ekor mencit diinfeksi dengan isolat S. aureus dan 3 ekor mencit
tidak diinfeksi sebagai kontrol negatii. Euthanasi dan pengambilan jaringan ambing
dilakukan dalam 14 tahap waktu, yaitu 2, 4. 6, 8. 12, 16, 20, 24. 36, 48. 60, 72, 84
dan 96 jam pasca infeksi, masing-masing sebanyak 3 ekor. Kemudian dibuat
preparat histopatologi. Pengamatan pada jaringan dilakukan dengan pewamaan HE
dan Warthin-Stany.
3.3.2 Reidentifikasi B a h r i S. aureus
Dipilih sa?u isolat bakteri S. aureus yang diperoleh dari kasus matiiis subklinis lapangan yang telah diisolasi dan diidentikasi oleh penelii sebelumnya
(Abrar 2000).
Untuk reidentifikasi, bakteri ditumbuhkan pada perbenihan agar darah
selarna 18 jam pada suhu 37 OC. Bentuk koloni dan pola hemoliik yang dihasilkan diarnati secara makmskopis. Uji hemqgutinasi dilakukan untuk melihat keberadaan
hemaglutinin. Reaksi ini dapat dilihat dari suspensi bakteri (log bakteri I ml)
rnanusia, domba, kuda, ayam, anjing dan kelinci). Reaksi positif &tandai dengan
adanya reaksi hernaglutinasi.
Untuk melihat adanya protein A, dibkukan dengan menumbuhkan bakten
pada soft agar (SA) dan serum soft agar (SSA) berdasarkan bentuk koloni yang
diimpilkan (Djanatun 2001).
3.3.3 Preparasi Bakteri
Sebelum dilaksanakan infeksi bakteri pada mencit, perlu disiapkan
bakterinya terlebih dahulu dengan cara sebagai berikut. Sebanyak 50 ml Todd
Hewitt Broth (THB) diimbah dengan isolat bakteri lapangan, diinkubasikan pada suhu 37" C selama 18 jam, kemudian disentrifus'selama 10 menit dengan kecepatan
3000 rpm sehingga terbentuk pelet. Pelet dipisahkan dari supematan dan dibuat
suspensi dengan menambahkan 5 ml NaCl fisiologis, kemudian disentrifus. Pelet
yang terbentuk dibuat suspensi dengan menambahkan NaCl fisiologis dan
disetarakan dengan kekeruhan Barium Suffit menggunakan spektrofotometer,
sehingga menghasilkan suspensi bakteri yang diperkirakan mengandung 10'
bakterilml suspensi.
3.3.4 Persiapan Hewan Model (Mencit)
Pengamatan patogenesis infeksi S. aueus sebagai penyebab mastitis
subklinis dilakukan pada hewan model mend. Sebanyak 45 ekor mencit yang umur
kebuntingannya kirakira sama dipelihara secara konvensional dalam kandang
individu. Pakan dan minum diberikan ad libitum. lnfeksi pada men& dilakukan 5 hari
post partus dan langsung dipisahkan dengan anaknya (dilakukan penyapihan).
infeksi yang terdiri atas 1 kelompok kontrol yang t i a k diinfeksi dan 14 kelompok
yang diinfeksi S. aumus. Masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor rnencit.
3.3.5 lnfeksi in V i pada Mencit Laktasi
Suspensi bakteri yang telah disiapkan dengan kepadatan 10' W m l
diinfeksikan pada mencit secara intra mammati dengan cam rneneteskan 50 pl
suspensi bakteri tersebut tepat di atas lubang puting (orificium extema) arnbing
menggunakan pipet rnikro (Biorad).
Mend dipegang dengan posisi dorso-ventral rnenghadap ke atas sehingga
memudahkan melakukan infeksi. Sebelurn diinfeksi, bagian yentral tubuh mencit
didesinfeksi menggunakan kapas beralkohol, ditunggu hingga kering kernudian
dilakukan infeksi secara bertahap setetes demi setetes (satu tetes sebanyak 5 pl).
diiunggu sampai terabsorbsi baru dilanjutkan dengan tetes berikutnya. Selanjutnya rnencit dikandangkan secara individual, diberi pakan dan rninurn ad libitum dan
diarnati keadaan kelenjar arnbingnya dan gejala kilinis yang rnungkin tirnbul.
3.3.6 Jaringan Kontrol Positii
Untuk jaringan kontrol positif diiunakan jaringan yang berasal dari mend
yang tdah diinfeksi S. aureus secara intra pefitonium dan subkutan. Mencit
kemudian dieuthanasi 24 jam setelah infeksi dan jaringan yang terinfeksi diarnbil
untuk dibuat preparat histopatologi, selanjutnya dilakukan pewamaan Hematoksilin-
3.3.7 Pembuatan Pmparat Histopatologi
Semw kelompok mend yang sudah diinfeksi kemudiin dieuthanasi masing-
masing 3 ekor rnendt dari setiap kelompok sesuai dengan desain peneliiin.
".
Perubahan yang terjadi pada kelenjar ambing diamati secara makroskopis dengan
cara melepaskan baginn kuli penutup. Jaringan kelenjar susu kemudiin dimbil
untuk psmbuatan preparat histopatc!ogi. Fiksasi kelenjar susu mend dilakukan
dengan menggunakan buffer normal fomalin (BNF) 10%. dipotong tipis dan
diletakkan dalam kaset untuk proses dehydrasidalam alkohol bertingkat (80%. 90%,
95%) dan dilanjutkan dengan clearing menggunakan xylol. Proses ini dilakukan
secara otomatis dalam tissue plocessof. Tahap berikutnya dilakukan em-ng
dengan parafin yang memiliki tiik leleh 58OC (Richeft Jung, Germany) dan d i i k dalam cetakan khusus. Setelah dingin, cetakan dilepas dan dilakukan pemotongan
jaringan dengan ketebalan 5 pm menggunakan mikrdom. Potongan tipis jaringan
diletakkan pada pefmukaan air agar terapung, kemudian diambil dengan gdas objek
dan dibiarkan menempel selama semalam atau dipanaskan pada suhu kurang lebih
60°C den dapat digunakan untuk berbagai teknik pewamaan.
3.3.8 Pewamaan Jaringan
Untuk melihat respon jaringan secara umum, preparat d i i m a i dengan
metode pewamaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan untuk melihat keberadaan bakteri
dalam jaringan kelenjar susu digunakan teknik pewamaan Warthin-Starry.
Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop untuk mdihat patogenesis S. aumus
3.3.8.1 Metode Pewamaan Hematoksilin-Eosin
Metode pewarnaan Hernatoksilin-Eosin diiakukan dengan cara sebagai
berikut :
1. Defaratinisasi. Gelas objek direndam dalam larutan xyld dan alkohol dengan konsentrasi degradasi mulai dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah agar
parafin terlarut dari jaringan kelenjar ambing yang akan diiamai. Perendaman
dimulai dan larutan xylol sebanyak 2 kali dilanjutkan dengan alkohol 95%. 90%.
80% dan akuades.
2. Gelas objek diiamai dengan hernatoksilin selama 10 menit, kemudian dicuci
dengan air kran hingga sisa pewarnaan habis.
-.
3. Gelas objek dicelupkan dalarn larutan Lithium Carbonat (Bluing Solution)
kurang lebih selama 1 menit hingga memberi kesan kebiruan, kemudian dicuci
dengan akuades.
4. Gelas objek diwamai dengan Eosin selama 10 menit, kernudian dicuci dengan air kran hingga sisa pewarnaan hilang.
5.
Gelas objek direndam da!arn akuades, kemudian dicelupkan dalam alkoholmulai dari konsentrasi 80°h, 90%, 95%, alkohol absolut.
6. Gelas objek dicelupkan ke dalam xylol sebanyak 2 kali untuk proses
penjernihan.
7. Gelas objek ditutup dengan kaca penutup yang sebelumnya diberi mounting
3.3.8.2.
Metode
Pewamaan Watthin-Sfany1.
Defarafinisasi sebagaimana dijelaskan pada bagian 3.3.8.1.2. Gelas objek didehidrasi dengan merendamnya dalarn akuabiies (Triple
aquadest).
3. Jaringan pada gelas objek 'impregnasi dengan perak menggunakan larutan
pemk nitrat 1% yang telah dilarutkan dalam air asam (acidulated water3 selama
1 jam dalam penangas air bersuhu 60' C.
4. Gelas objek direndam dalam larutan pengembang (developer solution) hingga
timbul wama kuning kecddatan (kurang lebih selama 3 menit). Wama yang
diharapkan adalah sitoplasma sel berwama kuning hingga kecoklatan dengan
inti berwama coklat, bakteri bewama coklat tua hingga hitam.
5. Gelas objek dicuci dengan cepat menggunakan air kran hangat bersuhu kurang
lebih 60" C selama 10 menl hingga bersih.
6. Gelas objek dicuci dengan akuabides (Triple aquadest).
7. Gelas objek didehidrasi dengan alkohol95% dan dalam alkohol absolut.
8. Gelas objek dibersihkan dalam xylene sebanyak 2 kali, kemudian dilakukan
mounting der~gan Perrnount dan diutup dengan kaca penutup.
3.3.9 Parameter
Parameter yang diamati dalam peneliiian ini adalah perubahan-perubahan
yang terjadi pada kelenjar susu m e n d berdasarkan pengamatan histopatologi
dengan pewamaan Hematoksilin-Eosin. Perubahan yang diamati dan dibandingkan
adalah
:
struktur jaringan kelenjar ambing dan sekresi susu yang tampak dalam lumen alveol dan lumen duktus, reaksi radang dan infiltrasi sel radang, deskuarnasidengan jaringan kmak (fat pad). Pengamatan juga dilakukan terhadap lokalisasi
bakteri di dalam jaringan kelenjar ambing (di dalam lumen alveol, jaringan
interstitium dan di dalam sel epitel kelenjar susu). Lokalisasi bakteri pada jaringan
kelenjar ambing dilihat secara histopatologi menggunakan teknik pewamaan
Warthimstany. Dengan teknik pewamaan ini, akan terihat sitoplasma sel berwama kuning hingga kecoWatan dengan i ~ t i berwama coklat, bakteri b e m m a coklat tua
hingga hitarn. Keberadaan bakteri dinyatakan secara deskriptif
3.3.10 Metode Skoring Perubahan Jaringan
Skoring untuk perubahan pada struktur jaringan kelenjar arnbing dan sekresi
susu yang tampak dalam lumen alveol dan lumen duktus, globula lernak dalam susu
dan proses pergantian kelenjar dengan jaringan lernak (fat pad) menggunakan
perbandingan antara bagian yang terkena dan luas keseluruhan sediaan jaringan
yang dinyatakan dalam persentasi, sebagai berikut :
0 : tanpa perubahan berarti
+I : bila terdapat perubahan berkisar 25% dari luas sediaan jaringan
+2 : bila terdapat perubahan berkisar 50% dari luas sediaan jaringan
+3 : bila terdapat perubahan berkisar 75% dari luas sediaan jaringan
+4 : bila terdapat perubahan melebihi 75% aiau rnenyeluruh dari luas sediaan jaringan.
(Estuningsih 2001).
Keberadaan bakteri S. aureos dilakukan dengan melihat lokasi bakerli pada
3.3.11 Analhib Data
BAB
IV
HASlL DAN PEMBAHASAN
4.1 Reidentifikasi lsolat
Berdasarkan pengamatan morfologi kdoni, pada media padat agar darah
tumbuh koloni kuning keemasan. Pengamatan terhadap aktivitas hemoliik
menunjukkan bahwa bakteri tidak menghemdisis darah. Pada media THB, isolat
menunjukkan adanya pertumbuhan (keruh) dan adanya protein A diunjukkan
dengan tumbuhnya koloni dius pada media soff agar (SA) menjadi kompak pada
semm soff agar (SSA). Uji hemaglutinasi menunjukkan hasil positii lemah pada sel
darah merah sapi, ayam, kuda, anjing dan kelinci. Hal ini sesuai dengan hasil
idenfikasi terdahulu oleh Abrar (2000).
4.2 Tanda Klinis dan Perubahan Makroskopis Kelenjar Ambing Mencit setelah Diinfeksi S. aumus
Ambing dari semua kelompok mencit yang diinfeksi dengan S. aureus tidak
menampakkan adanya tanda-tanda peradangan dan terlihat sama dengan kelompok
kontrol. Puting tampak normal, tidak menampakkan adanya pembengkakan,
eksudasi maupun keropeng. Keadaan ini tampak pada seluruh kelompok perlakuan.
Puting pada semua mencit bewama putih, tersembunyi di antara rambut abdomen.
Mencit juga tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisah, tidak menggaruk-garuk dan
tidak menunjukkan tingkah laku yang berbeda dibandingkan dengan mend kontrol.
Aktivitas makan dan minum berjalan normal, menunjukkan bahwa infeksi S. a u m s
tidak menimbulkan perubahan secara klinis. Keadaan ini tidak berbeda dengan yang
terjadi pada ambing sapi penderita mastiis subklinis, yaitu tidak terlihat gejala
Ketika kult bagiin ventral mencit dibuka, tampak ada perubahan pada
bagian subkutis. Subkutis tampak lebih basah pada mend yang diinfeksi S. aureus.
Hal ini terlihat pada kelompok mend 12, 16, 20, 24 dan 36 jam pasca infeksi. Diperkirakan karena terjadinya edema radang ringan. Sedangkan pada kelompok
mencit 2 jam sampai dengan 8 jam pasca infeksi tidak tampak adanya perubahan
ini. Hiperemi pada pernbuluh darah yang menuju ke kelenjar ambing tampak pada
kelompok mend 2 jam sampai dengan 36 jam pasm infeksi. Juga disertai adanya
sedikit eksudat disekitamya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelenjar ambing
sedang tejadi peradangan. Dan pada kelompok mencit 48 jam pasca infeksi,
keadaan subkutis sedikit kering sehingga kulit agak susah dipisahkan dari kelenjar
ambing.
4.3 Histologi KelenjarAmbing Mencit Normal
Struktur kelenjar ambing mencit menrpakan bagian dari kulit yang terdiri atas
lapisan supenisial epidermis berupa epitel berlapis pipih, dan lapisan dalam dermis
terdiri atas jaringan ikat. Se!umlah kelenjar sebasius tampak bejajar di sepanjang
lapisan kuli. Kelenjar ambing mend normal (kontml) memperlihatkan gambaran
sesuai dengan susunan histologis kelenjar ambing sapi normal (Hurley 2000).
Struktur kelenjar arnbing mend normal tersusun dari jaringan sekretori berbentuk
kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen
alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid (Gambar 1). Dalam keadaan aktif, sel
eptel ini sangat pipih dan lumen penuh terisi susu. Penglepasan sekret (susu)
disertai dengan penglepasan bagian apikal sel alveol, sehingga sel epitel tampak
sebagai
unsur yang rnembentuk bagiansekret
dikpaskan darisd
melaluiGarnbar 1. Struktur kelenjar ambiig mencit normal. Struktur terdiri dari susunan kelenjar tubulo9Iwl krisi sekresi susu.(HE 86 X)
Pernbuluh darah clan kapiler terdapat pada jaringan interstitiurn (stmma) di
antara alveolalveol. Beberapa ahred bersatu membentuk suatu struktur lobulus
yang dibatasi oleh jaringan ikat. Interstiurn juga rnengandung jaringan ikat longgar
dan terdapat sel-sel lemak di antara kelenjar ambing. Sei lemak akan mduas
membentuk jaringan lemak (fat pad) pada keadaan kelenja; t i a k aktii untuk
menggantikan tempat kelenjar yang tidak berproduksi lagi.
Susu diilurkan dan ahreol sampai ke glandula sistema dalarn suatu sistem
duktw yang disebut ductus laciifems yang mempunyai susunan selapis sel epitel yang lebih kompak dilengkapi dengan.jaringan ikat berupa mernbrana basalis yang
labih
tebal.
Dari ductus l a & ~ s , susu dialirkan rnenuju kistema atau d u b s yangberwama biru tua sedangkan sitoplasma bemema merah keunguan. SeCsel epiitel
tubulus mengambil wama M i h kuat dibandingkan dengan
sel
epitel ahred kelenjarambing, sedangkan
sekresi
susu tampak berwama merah muda keunguan dengan [image:116.570.65.540.36.741.2]globula lemak bsrupa ~ a n g - ~ a n g kosong berwarna putih di dalam lumen
ahreol
(Gambar 2).Gambar 2. Sekresi susu dalam lumen alveol ambing mend normal. Tampak globula lemak dalam sekresi susu sebagai gelembung-gelembung bewama putih (HE 350 X)
4.4 Perubahan Histopatologis Kelenjar Ambing Mencit Laktasi setelah Diinfeksi oleh S. auntus.
Perubahan histopatologis pada jaringan ambing mencit yang diamati adalah
respon jaringan setelah mend diinfeksi dengan S. aureus. Pengamatan
menggunakan pewamaan HE pada kdompok 2 jam pasca infeksi mempedihatkan
edema jaringan interstitium dan pembendungan pembuluh darah inter-atveoter. SeC
sd
epitel a l v d mulai mengalami hiperplasia. ShuMur kelenjar ambing,sekresi
susuambing
m
d
kontrol. Belum tampak adanya pernbenhrkan jaringan lemak (fatpad). Susunan W j a r masih dalam batas normal. Pada lumen
ahFed
tampakadanya seCseI deskuamasi dan sel epitel a l v d mulai mengalami degenerasi dan peradangan yang tidak berbeda nyata (P~0.05) bila dibandingkan dengan kebnjar ambing mencii kontrol (Garnbar 3).
Ernpal jam pasca infeksi, masih terlihat adanya edema jaringan interstitiurn
dan pembendungan pembuluh darah. Pada saat ini, dilatasi pembuluh darah disertai dengan diipedesis mulai tampak sebagai respon inang terhadap infeksi. Juga tampak adanya infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear
(PMN)
pada jaringaninterstitiurn. Arsitektur kelenjar, sekresi susu dan &- inflamasi maSih dalam batas normal (P>0.05). Tampak adanya stagnasi sekresi susu pada lumen ductus
lactive~s sebagai akibat dari adanya hambatan pengaliran susu.
[image:117.579.75.501.374.789.2]Pada 6
jam
pi., edema jaringan interstitiurn dan pembendungan pembuluh darah masih tedihat dan infikrasi PMN b e m a s a m a dengan makrofag semakinbanyak terjadi pada jaringan interstitium, mernbentuk pusat-pusat radang.
-
Degenerasi
sel
epitel tampak makin jelas, diindai dengan hilangnya sbuktur normal sel. Sel epitel mengalami v a k u o l i i dan terjadi perubahan intensitas wama sitoplasmasel
menjadi lebih merah dan inti mengeul mengambil wama lebih gelapdengan HE. Tampak inti menghilang pada beberapa sel (Gambar 4). Tejadi
penurunan sekresi susu yang tidak nyata (P>0.05) dan retensi susu pada tubulus.
Gambar 4. Oegenerasi sel epitel alveol (tanda panah) dan infinrasi set radang (tanda bi&ng) pada 'pusat-pusat &ang 6 jam p.i. (HE 350 X).
Pada kelompok mend 8 jam p.i.. reaksi peradangan tampak berbeda nyata
(P<0.05) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, namun arsitektur kelenjar dan sekm susu masih dalam batas normal (P>0,05). Pada saat ini, jaringan interstitium
[image:118.567.18.535.20.621.2]Hiperplasia sel eplel alveol masih terlihat sampai 12 jam p.i. disertai dengan
reaksi peradangan dan nekrosis sel epitel yang nyata (PcO.05) dibandingkan
dengan kontrol. Tampak adanya penurunan sekresi susu karena berkurangnya
jumlah sel epitel dan alveol yang aktif (Reid et a/. 1976) dan pembentukan jaringan lemak (fatpad) yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol.
Reaksi peradangan masih tampak nyata (P<0,05) sampai 16 jam p.i.. Tejadi
perubahan arsitektur kelenjar, sekresi susu, pembentukan fat pad, deskuamasi,
degenerasi dan nekrosis, namun tidak berbeda nyata (P>0.05) jika dibandinglan
dengan men& kontrol. Demikian juga pada kelompok men& 20 jam p.i., walau
reaksi peradangan tampak menurun dan tidak b e M a nyata (P>0,05) jika
dibandinglan dengan mencl kontrol.
Pada 24 jam p.i. terjadi degenerasi sel-sel epitel yang nyata (P<0,05) jika
dibandinglan dengan mencit kontrol. Arsitektur dan sekresi masih dalam batas
normal (P>0,05) sampai 36 jam p.i. Mulai 48 jam p.i., tampak adanya pembentukan
fat pad yang nyata (Pc0,05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol serta tejadi
penurunan sekresi susu yang nyata (P<0,05) mulai 60 jam p.i.
Hasil uji statistik pada Tabel 1 mempellihatkan struktur kelenjar ambing
mencit kontrol berbecia tidak nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok
perlakuan, namun kelompok mencit 2 dan 4 jam pasca infeksi (p.i.) mempellihatkan
struktur kelenjar yang berbeda nyata (Pc0.05) bila dibandingkan dengan kelompok
72, 84 dan 96 jam p.i.; serta kelompok 6 jam p.i. berbeda nyata (P<0,05) dengan
kelompok 72 dan 96 jam p.i.
Penurunan jumlah alveol yang aktii tejadi pada kelompok men& 60 sampai
96 jam p.i. (Pe0.05) bila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya
menyebabkan penurunan sekresi susu. Isi lumen a l v d dan keutuhan epitel
menunjukkan kemampuan epitel alveol dalam mensekresikan susu. Namun
demikian, keberadaan susu di dalam lumen ahreol dapat pula dipandang sebagai
keadaan retensi susu jika disertai dengan tejadinya degenerasi epitel alveol dan
tubular. Hambatan pengaliran susu dapat tejadi jika terdapat kebengkakan atau
hambatan akibat banyaknya re~rituhan