DINAMIKA HARGA DIRI PADA PEMAKAI BODY PIERCING
Proposal Skripsi Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Skripsi Psikologi Sosial
Oleh:
ARUM MUTIA SYLVIANA 031301043
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas ridho dan karunia-Nya yang
senantiasa menyertai penulis sehingga saya diberikan kekuatan dan
kemampuan untuk dapatmenyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang penulis
selesaikan ini berjudul “Dinamika Harga Diri Pada Pemakai Body Piercing”
yang diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk
mencapai gelar sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
karena keterbatasan kemampuan, baik pengetahuan maupun keterampilan
penulis tentang proses pencarian makna hidup pada pecandu alkohol wanita.
Oleh karena itu Penulis memohon saran dan kritikan yang bersifat
membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Medan, Desember 2008
Hormat Saya
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Arum Mutia Sylviana
Dinamika Harga diri Pada Pemakai Body Piercing 1x + 139 + Lampiran
Bibliografi 27 (1996-2007)
Fenomena memodifikasi tubuh telah banyak popular di kalangan remaja bahkan dewasa muda di Indonesia. Anak-anak remaja yang akrab memodifikasi tubuhnya dengan melubangi bagian tibih tertentu biasa diistilahkan dengan body piercing. Menindik tubuh ini pada lazimnya di lakukan di daerah telinga, namun seiring dengan perkembangan zaman tindik tubuh mulai banyak di lakukan di beberapa bagian tubuh seperti lidah, hidung, bibir, dan area tubuh lainnya.
Karakteristik tubuh berpenngaruh terhadap harga diri seseorang dan tubuh merupakan sember pembentukan harga diri seseorang. Harga diri terbentuk dari multidimensi, yaitu dimensi akademik, dimensi fisik, dimensi sosial dan dimensi emosi. Dinamika harga diri terbenruk dari susunan keempat multidimensi ini. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, karena dengan metode ini dapat dipahami tingkah laku individu menurut pemahaman dan sudut pandang si pelaku. Untuk pengambilan data digunakan metode wawancara mendalam. Penelitian ini melibatkan sebanyak 2pemakai body piercing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden penelitian sama-sama berada pada tahap penemuan makna hidup namun memiliki sumber makna hidup yang berbeda. Responden A memiliki dinamika harga diri dan merasa hidupnya berharga danbermakna. Sedangkan responden B memiliki dinamika harga diri yang merasa hidupnya kurang bermakna .
Implikasi dari penelitian ini berguna bagi para pemakai body piercing dapat keluar dari penghayatan tak bermakna dalam bentuk mengkonsumsi minuman beralkohol dan juga bagi lingkungan sosialnya termasuk keluarga dan teman untuk memberikan dukungan sosial kepada pemakai body piercing agar dapat mencapai kebahagiaan dan kehidupan bermakna, baik dengan cara memberikan perhatian, menjalin komunikasi yang baik dan hubungan yang saling memberikan kasih sayang.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah ... 1
I.B. Identifikasi Masalah ... 9
I.C. Tujuan Masalah ... 9
I.D. Manfaat Penelitian I.D.1. Manfaat Teoritis ... 9
I.D.2. Manfaat Praktis ... 10
I.E. Sistematika Penulisan ... 10
I.F. Paradigma ... 12
I.G. Uraian Paradigma... 13
BAB II LANDASAN TEORI II.A. Harga Diri ... 15
II.A.1. Defenisi Harga Diri ... 15
II.A.2. Multidimensi Harga Diri ... 15
II.A.3. Struktur Multidimensi Harga Diri ... 16
II.A.4. Tahapan Harga Diri ... 18
II.A.6. Dinamika Harga Diri ... 20
II.B. Body Piercing ... 22
II.B.1. Definisi Body Piercing... 22
II.B.2. Jenis Alkohol Wanita ... 23
BAB III METODE PENELITIAN III.A. Pendekatan Kualitatif ... 26
III.B. Metode Pengumpulan Data ... 27
III.B.1. Wawancara ... 27
III.B.2. Observasi ... 28
III.C. Lokasi Penelitian ... 28
III.D. Responden Penelitian ... 28
III.D.1. Karakteristik Responden ... 28
III.D.2. Teknik Pengambilan Responden ... 29
III.E. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 29
III.F. Prosedur Penelitian ... 30
III.G. Metode Analisis Data ... 31
BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI IV.A. Analisa Kasus Responden A ... 33
IV.A.1. Biodata Responden A... 33
IV.A.2. Gambaran Diri Responden A ... 33
IV.A.3. Tahapan Penemuan Makna Hidup pada Responden A ... 37
IV.A.3.b. Tahap Penerimaan Diri ... 39
IV.A.3.c. Tahap Penemuan Makna Hidup ... 42
IV.A.3.c.(1). Nilai Kreatif ... 42
IV.A.3.c.(2). Nilai Bersikap ... 43
IV.B. Interpretasi Data responden A ... 44
IV.C. Analisa Kasus Responden B ... 57
IV.C.1. Biodata Responden B ... 57
IV.C.2. Gambaran Diri Responden B ... 57
IV.C.3. Tahapan Penemuan Makna Hidup pada Responden B ... 60
IV.C.3.a. Tahap Derita ... 60
IV.C.3.b. Tahap Penerimaan Diri... 62
IV.C.3.c. Tahap Penemuan Makna Hidup ... 65
IV.C.3.c.(1). Nilai Kreatif ... 65
IV.C.3.c.(2). Nilai Bersikap ... 66
IV.C.3.c.(3). Nilai Penghayatan ... 67
IV.D. Interpretasi Data Responden B ... 68
IV.E. Analisa Data Antar Responden ... 80
IV.E.1. Analisis Banding Antar Responden Berdasarkan Proses Penemuan Makna Hidup ... 85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.A. Kesimpulan ... 89
V.C. Saran ... 92
V.C.1. Saran Praktis ... 92
V.C.2. Saran Penelitian Lanjutan ... 93
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Arum Mutia Sylviana
Dinamika Harga diri Pada Pemakai Body Piercing 1x + 139 + Lampiran
Bibliografi 27 (1996-2007)
Fenomena memodifikasi tubuh telah banyak popular di kalangan remaja bahkan dewasa muda di Indonesia. Anak-anak remaja yang akrab memodifikasi tubuhnya dengan melubangi bagian tibih tertentu biasa diistilahkan dengan body piercing. Menindik tubuh ini pada lazimnya di lakukan di daerah telinga, namun seiring dengan perkembangan zaman tindik tubuh mulai banyak di lakukan di beberapa bagian tubuh seperti lidah, hidung, bibir, dan area tubuh lainnya.
Karakteristik tubuh berpenngaruh terhadap harga diri seseorang dan tubuh merupakan sember pembentukan harga diri seseorang. Harga diri terbentuk dari multidimensi, yaitu dimensi akademik, dimensi fisik, dimensi sosial dan dimensi emosi. Dinamika harga diri terbenruk dari susunan keempat multidimensi ini. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, karena dengan metode ini dapat dipahami tingkah laku individu menurut pemahaman dan sudut pandang si pelaku. Untuk pengambilan data digunakan metode wawancara mendalam. Penelitian ini melibatkan sebanyak 2pemakai body piercing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden penelitian sama-sama berada pada tahap penemuan makna hidup namun memiliki sumber makna hidup yang berbeda. Responden A memiliki dinamika harga diri dan merasa hidupnya berharga danbermakna. Sedangkan responden B memiliki dinamika harga diri yang merasa hidupnya kurang bermakna .
Implikasi dari penelitian ini berguna bagi para pemakai body piercing dapat keluar dari penghayatan tak bermakna dalam bentuk mengkonsumsi minuman beralkohol dan juga bagi lingkungan sosialnya termasuk keluarga dan teman untuk memberikan dukungan sosial kepada pemakai body piercing agar dapat mencapai kebahagiaan dan kehidupan bermakna, baik dengan cara memberikan perhatian, menjalin komunikasi yang baik dan hubungan yang saling memberikan kasih sayang.
BAB I PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang
Tubuh adalah bagian yang melekat pada individu sebagai titik pusat
diri. Sebagai media yang tepat untuk dipromosikan dan divisualkan, tubuh
merupakan proyek besar yang dapat terus dibongkar, ditata ulang,
dieksplorasi, didandani atau disakiti, semata untuk menciptakan gaya
tertentu. Media-media yang digunakan untuk memamerkan tubuh ini sangat
beragam, salah satunya dengan melubangi area khusus pada bagian fisik
tertentu yang diistilahkan dengan body piercing. Sebagai tanda bagi manusia
menghiasi tubuh dan penampilannya (Muliani dan Sasmito, 2003).
Kemunculan awal body piercing diperkirakan sudah ada pada zaman
prasejarah, dimana pada zaman itu tindik merupakan suatu tanda jabatan
dan kecantikan. Bukti prasejarah ini berlanjut dengan adanya penemuan
arkeologi di daerah gletser Itali yang menjumpai tubuh mumi “Otzy The Ice
Men” dengan menggunakan tindik di telinga berdiameter 7-11 milimeter.
Kemudian pada 5000 tahun yang lampau, Pharaoh atau raja oleh bangsa
Mesir juga melakukan piercing di daerah pusar (Washington Post,
November 2006).
Sejarah telah mencatat bahwa bangsa Mesir melakukan tindakan
Yunani dan Romawi dimana abad ke 14 tentara Romawi menindik bagian
puting mereka, sebagai simbol dari kejantanan (youngswomenhealth,
Januari 2006). Penemuan-penemuan ini menggambarkan bahwa body
piercing telah dipraktekkan pada kumpulan masyarakat leluhur dengan
beragam kebudayaan di dunia.
Beberapa suku primitif seperti Aztec dan Maya, juga menindik lidah
mereka secara permanen sebagai bagian dari blood ritual. Suku Indian
menindik kait besi di bagian dada sebagai ritual yang dinamakan okipa,
yang diperuntukkan bagi tentara atau panglima perang. Kemudian salah satu
suku di India setiap bulan Februari melakukan ritual kavandi yaitu menusuki
tubuh mereka dengan jarum sepanjang satu meter sebagai tanda
penghormatan kepada dewa, sedangkan perilaku menindik hidung bagi
masyarakat mulai populer di sekitar abad ke 16. (Mulden, 1997).
Penelitian yang dilakukan oleh Elnekave (2006) tentang hubungan
suku bangsa dan pemakaian body piercing, menunjukkan bahwa satu suku
di Afrika sejak zaman dahulu telah melakukan kegiatan tindik tubuh untuk
menarik perhatian dari lawan jenisnya. Selain itu piercing juga berfungsi
sebagai tanda dari status sosial seseorang. Hal ini tidak hanya djumpai pada
suku-suku yang terdapat di Afrika, tetapi suku di daerah di Asia juga tidak
asing dengan bentuk modifikasi tubuh ini. Secara umum, penggunaan body
piercing digunakan sebagai tanda kecantikan, kemakmuran, status,
Di Indonesia, pada awalnya body piercing dikenal di kepulauan
Mentawai, daerah Papua, dan Dayak (Suara Karya, Juli 2006). Suku Dayak
di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun
telinga sejak abad ke-17. Tidak sembarangan orang bisa menindik diri
karena hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik
di kuping. Sedangkan perempuan-perempuan suku Dayak sengaja
memperbesar lubang tindik di lubang telinga mereka hingga terjuntai agar
dibilang cantik. Di daerah Irian Jaya, memakai body piercing adalah tanda
pertempuran melawan hewan buruan, dan juga sebagai tanda pemilik tempat
tertentu (Elnekave, 2006). Pria pada suku Dani di Papua memasang hiasan
tanduk hewan di hidung sebagai lambang keperkasaan. Model primitif inilah
yang akhirnya banyak ditiru komunitas piercing di dunia.
Kata piercing berkenaan dengan tindik yang dilakukan pada bagian
tubuh tertentu. Hewitt dan Armstrong (1999) mendefinisikan body piercing
sebagai penciptaan suatu lubang yang dapat dilewati ornamen atau
perhiasan yang akan dikenakan. Sedangkan menurut Suyasa dan Djoenaina
(2005), body piercing adalah kegiatan melubangi bagian-bagian tubuh dan
pemakaian aksesoris pada bagian-bagian tersebut.
Dalam melakukan piercing, telinga adalah bagian tubuh yang lazim
untuk ditindik. Walaupun kegiatan body piercing dengan melubangi telinga
sudah menjadi sangat popular semenjak lebih dari satu dekade yang silam,
hidung, alis mata, pusat, bahkan bagian genital dapat dijadikan sebagai
tempat tindik tubuh (Meltzer, 2005). Dapat disimpulkan bahwa body
piercing adalah bentuk dari seni modifikasi tubuh dengan cara menindik
bagian-bagian tubuh tertentu yang bertujuan untuk memakai perhiasan pada
lubang yang diciptakan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Deschenes dkk (2006)
diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir banyak artikel yang dipublikasikan
mengenai peningkatan popularitas pemakaian body piercing pada
masyarakat barat, khususnya diantara para remaja. Hasil penelitian tersebut
menemukan bahwa 27% dari anak SMU di Quebec mengenakan tindik
tubuh dengan alasan ekspresi diri sebagai individu yang unik dan spesial,
dan merupakan simbol dari estetika.
Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Armstrong (2005), yang
membuktikan maraknya body piercing di Amerika dengan melihat studio
body art yang makin menjamur di beberapa tempat. Fenomena ini akhirnya
menyadarkan pemerintah beberapa negara bagian di Amerika untuk
membuat regulasi tentang kegiatan body piercing. Salah satu isi dari
regulasi tersebut calon body piercer yang akan di-piercing minimal berusia
18 tahun dan mendapat izin dari orang tua, dan juga tidak berada dalam
pengaruh alkohol dan obat-obatan.
Selain remaja, ternyata banyak dari orang dewasa yang menindik
peningkatan pemakaian body piercing sejalan dengan pertambahan umur.
Ferguson (1999) juga mengungkapkan hasil survei yang dilakukan Body Art
Magazine terhadap 134 responden yang telah memakai piercing,
menyatakan 79% body piercer berumur 29 tahun dan 58% nya sudah
menikah dengan waktu yang lama.
Armstrong (2005) menyatakan bahwa 33% dari individu dewasa
muda yang berusia antara 18-25 tahun di Amerika Serikat memakai body
piercing, dengan motif umum sebagai “uniqueness and be my self”. Seperti
yang dituturkan seorang ibu dari 4 anak, Jane Lansdowne (34) dalam
(Martell, 2007) tentang alasannya memakai beberapa tindik tubuh:
“This is how express myself. I’m not an artist. I don’t do paint or anything like that. So I express my creativity with my body”
Motif dari perilaku seseorang akan tergantung dari budaya dan
kepribadian seseorang serta situasi yang dihadapinya (Boosoon dkk dalam
Baron dan Byrne, 2004), dimana motif-motif pada diri individu akan terkait
dengan harga dirinya. Di Indonesia sendiri, gambaran mengenai body
piercing tergambar dalam salah satu artikel pada situs
indonesiansubculture.com sebagai berikut:
Prass dan Latief (2003) memaparkan ada berbagai alasan kaum
muda melakukan body piercing. Elda seorang remaja putri yang melakukan
tindik tubuh sejak lulus SMU, mengaku melakukan hal tersebut dengan
alasan mengikuti tren. Ketika Elda pertama kali melakukan piercing, belum
banyak anak muda yang melakukannya. Namun kini, telah banyak remaja
yang telah melakukannya.
“Dulu saya merasa lebih gaya, karena belum banyak melakukannya. Tapi kini, biasa saja. Habis banyak anak muda berpiercing ria. Jadinya tidak istimewa”
Seni piercing juga sudah menjadi bagian gaya hidup kaum dewasa
muda di kota-kota besar di Indonesia. Bagi kaum dewasa muda zaman
sekarang, selain dianggap bisa mendongkrak penampilan, tindik juga
menjadi sarana ekspresi diri. Sebuah simbol kebebebasan dari segala
komunitas yang ada. Setidaknya, demikian pengakuan salah seorang
pemuda metropolitan yang memiliki lebih dari satu tindikan di tubuhnya
(komunikasi personal, 1 April 2007):
“Memang sih ada yang ditindik buat gaya-gayaan, atau ditindik biar dibilang funky tapi gue ditindik karena begini gue..“.
Dari pemaparan di atas tergambar bahwa kegiatan body piercing
dikatakan sebagai suatu cara untuk mengekspresikan diri. Hal ini sesuai
dengan penelitian Armstrong dkk (2004), yang menyebutkan bahwa
kebanyakan piercing bertujuan untuk mengekspresikan diri dan identitas.
“Awalnya aku memakai piercing karena ikut-ikutan tren, soalnya band musik yang aku sukai...pakai piercing pada tubuhnya. Lama-lama setelah aku pakai piercing ini...baru aku ngerasa piercing ku ini bagian dari diriku sendiri. Temen-temen ku juga pada bilang kalau aku tanpa piercing itu bukan aku, gitu...selain aku pakai piercing ikut-ikutan tren, aku juga mengekspresikan diri dengan piercingdi kupingku ini... ”
Menyimak pernyataan-pernyataan para subjek di atas, terungkap
bahwa para pemakai body piercing melakukan modifikasi sebagai
manifestasi diri. Featherstone (1999) mendeskripsikan banyak dari
pemakaian piercing sebagai identitas diri yang terlihat. Menurut Sweetman
(1999) dan Soyland (1997) body piercing berhubungan dengan tanda sejarah
tubuh seseorang. Peningkatan tren body piercing yang menjadikan tubuh
sebagai proyek merupakan tanda dari peningkatan hubungan antara identitas
diri dengan tubuh (Giddens, 1991).
Pandangan modern yang diungkapkan oleh Caroll (2002) terhadap
modifikasi tubuh, mengidentifikasikan hal tersebut sebagai penanda diri dan
untuk mengontrol serta menguasai tubuh. Pernyataan dari Synnott dan
Routledge (1993) menggangap tubuh sebagai jiwa, mesin dan merupakan
diri itu sendiri. Deaux (1993) juga menyatakan bahwa karakteristik tubuh
berpengaruh kepada harga diri seseorang, hal ini sejalan dengan pendapat
Goldenberg (Baron dan Byrne, 2004) tubuh dapat menjadi sumber harga
diri, dan saat individu diingatkan pada sifat tubuh yang dapat berubah, hal
Harga diri telah menjadi topik yang menghiasi ruang lingkup
psikologi sosial sejak disiplin ilmu ini berdiri hingga sekarang. William
James (1890) menyatakan harga diri sebagai evaluasi diri sendiri. Hal ini
juga sejalan dengan pernyataan Hogg (2002) yang mengartikan harga diri
sebagai perasaan tentang evaluasi terhadap diri individu tersebut. Weiten
dan Llyod (2006) mendefinisikan harga diri sebagai keseluruhan
pengukuran harga diri seseorang sebagai individu.
Menurut Shavelson dkk (1976) harga diri merupakan sesuatu yang
dapat di evaluasi, dengan kata lain individu tidak hanya dapat
mendeskripsikan dirinya tetapi juga membuat evaluasi diri pada berbagai
situasi, dan pada situasi khusus harga diri dapat terlihat sebagai sesuatu yang
stabi. Terdapat empat dimensi yang berbentuk struktur yang dapat
menggambarkan harga diri seseorang, Shavelson, Stanton dan Hubner
menjabarkan struktur multidimensi dari harga diri tersebut yaitu fisik,
akademik, emosi dan sosial (Chu, 2002).
Pemakaian piercing pada tubuh merupakan salah satu bentuk
penampilan yang berhubungan dengan fisik, Weiten dan Llyod (2006)
mengungkapkan bahwa struktur multidimensi fisik berfokus pada
penampilan fisik seorang individu. Salah satu alasan seseorang juga
memakai piercing pada tubuhnya sebagai ekspresi dengan perasaan unik
dan spesial, yang menimbulkan bentuk emosi tertentu. Kemudian dari
bertujuan untuk mengikuti tren dari masyarakat yang berhubungan dengan
dimensi sosial. Ditinjau dari hubungan pernyataan yang terbentuk di atas
maka peneliti tertarik untuk melihat gambaran multidimensi struktur harga
diri yaitu dimensi akademik, emosi dan sosial, yang akhirnya serangkaian
ini dapat menjadi dinamika harga diri pada pemakai body piercing.
I. B. Perumusan Masalah
Menyimak latar belakang yang telah diuraikan maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana latar belakang pemakaian body piercing?
a. Bagaimana gambaran dimensi akademik dari struktur harga diri
para pemakai body piercing?
b. Bagaimana gambaran dimensi fisik dari struktur harga diri para
pemakai body piercing?
c. Bagaimana gambaran dimensi emosi dari struktur harga diri para
pemakai body piercing?
d. Bagaimana gambaran dimensi sosial dari struktur harga diri para
pemakai body piercing?
e. Bagaimana dinamika harga diri pada pemakai body piercing?
I. C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini
I. D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah untuk memperkaya khazanah
ilmu psikologi khususnya di bidang Psikologi Sosial, mengenai
gambaran dinamika harga diri pada pemakai body piercing.
2. Manfaat praktisnya digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan
memberi pandangan yang tepat mengenai diri dan kehidupan pemakai
body piercing.
I. E Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun berdasarkan suatu sistematika yang teratur
sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya.
Bab I merupakan pendahuluan yang berisikan, latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta
sistematika penulisan.
Bab II berisikan landasan teori yaitu yang menjelaskan dan
mendukung penelitian.
Bab III mengutarakan tentang metodologi penelitian kualitatif,
termasuk metode pengambilan data, responden penelitian, alat bantu yang
digunakan dan prosedur penelitian dan metode analisis data.
Bab IV menganalisa data dan interpretasi yang akan memuat
BAB V menjelaskan kesimpulan dari penelitian ini serta diskusi
mengenai hasil penelitian yang ada diikuti dengan saran-saran yang
berkaitan dengan penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A. HARGA DIRI
II. A. 1. Definisi Harga Diri
Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki segala keunikan
dan tidak lepas dari proses pembahasan ruang psikologi. Diri manusia
secara umum sering dibicarakan dalam kehidupan, dan adanya pernyataan
yang diungkapkan oleh Tesser (2001): bahwa diri manusia merupakan topik
yang sering dibahas, khususnya dalam disiplin ilmu psikologi. Diri atau self
juga dijabarkan dengan berbagai istilah dan salah satu topiknya yang cukup
populer adalah harga diri. William James (1890) yang memberikan definisi
pertama tentang harga diri, menyatakan bahwa harga diri merupakan suatu
konstruk unidimensi yang berkaitan dengan perasaan yang dirasakan
seorang individu. Sementara Cooley (1902) mengatakan harga diri
bergantung kepada persepsi yang diberikan significant others terhadap diri
seseorang. Mead (1934) juga menekankan pentingnya pendapat orang lain
dalam memberikan penilaian diri yang didapatkan dengan adanya interaksi
sosial.
Berbagai ungkapan dan pernyataan telah dibahas mengenai harga
diri selama lebih dari puluhan tahun. Di masa sekarang harga diri juga
pertama harga diri termasuk kedalam komponen afektif dan kognitif, kedua
harga diri merupakan komponen yang mampu dievaluasi, dan ketiga harga
diri bukan hanya persoalan pribadi ataupun psikologis tetapi juga interaksi
sosial.
Definisi yang diberikan oleh Shavelson, Stanton dan Hubner (1976)
juga mengatakan harga diri merupakan suatu multidimensi yang membahas
bagaimana seorang individu memahami dan mengevaluasi dirinya dari
pengalaman yang diperolehnya dan lingkungan mereka menetap. Harga diri
dijabarkan dengan berbagai bentuk dari defenisi yang kompleks hingga
akhirnya berujung pada pernyataan Hogg (2002) yakni:
“Self esteem is feeling about and evaluation of oneself“.
Harga diri adalah perasaan dan evaluasi terhadap diri seseorang.
Pernyataan ini juga diiringi dari Weiten dan Llyod (2006) yang
mengemukakan bahwa harga diri adalah:
“ Self esteem refers to one’s overall assessment of one worth as a
person“
Dengan pengartian harga diri merupakan suatu perasaan keberhargaan
seseorang sebagai individu.
Telah banyak defenisi dari harga diri yang dituliskan, maka dari itu
peneliti menyimpulkan bahwa harga diri adalah suatu komponen afeksi
yang dapat dievaluasi dari pendapat yang diberikan orang lain dengan
adanya interaksi sosial, yang bertujuan untuk mendapatkan penilaian
II. A. 2. Multidimensi Harga Diri
Tokoh yang pertama sekali mengungkapkan model multidimensi
dari harga diri adalah Shavelson, Stanton dan Hubner pada tahun 1976.
Harga diri tersusun dari dimensi-dimensi spesifik yang merefleksikan diri
beserta peran dan pengalamannya. Berbagai dimensi ini berkumpul menjadi
suatu struktur yang menggambarkan harga diri secara umum.
Multidimensi dari harga diri secara garis besar, terbagi ke dalam dua
divisi akademik dan non-akademik yang terbagi dengan empat bagian yaitu:
dimensi akademik, fisik, emosi dan sosial. Secara spesifik dimensi
akademik menggambarkan bagaimana perjalanan edukasi yang berkaitan
dengan pengetahuan secara logika/matematika dan bahasa dan mata
pelajaran lain yang dijalani seorang individu. Sedangkan dimensi fisik
berkaitan dengan anggapan individu mengenai penampilan dan kemampuan
fisiknya. Kemudian dimensi emosi melibatkan perasaan yang dirasakan oleh
individu yang secara negatif akan berhubungan dengan kecemasan dan
depresi. Dimensi terakhir yaitu sosial menjabarkan tentang hubungan
individu dengan kedua orang tua dan keluarga, kemudian bagaimana
hubungan dengan teman sebaya dan lingkungan sekitarnya.
II. A. 3. Struktur Multidimensi Harga Diri
Pernyataan dari Shavelson dkk (1976) memberikan suatu gambaran
digambarkan oleh Shavelson, Stanton dan Hubner (1976) ke dalam suatu
struktur berbentuk piramid. Struktur multidimensi ini memiliki tujuh
penjelasan yang antara lain:
1. Harga diri suatu bentuk yang teroganisir dan terstruktur. Dalam
pengertian individu akan menggelompokkan
pengalaman-pengalaman yang dialami, kemudian akan menggaitkan antara satu
dan lainnya.
2. Harga diri merupakan suatu konstruk dengan multifase. Fase-fase
dari harga diri direpresentasikan dari sistem penggelompokkan
pengalaman yang diadaptasi individu atau sekelompok individu
3. Harga diri merupakan suatu hirarki. Hirarki ini terstruktur dari
dimensi yang paling spesifik hingga ke dimensi yang paling umum,
dan pada puncaknya menggambarkan harga diri secara keseluruhan.
Harga diri ini terbagi ke dalam dua divisi yaitu akademik dan
non-akademik. Kemudian non-akademik terbagi lagi ke dalam dimensi
fisik, emosi dan sosial. Keempat dimensi dari dua divisi harga diri
ini dapat terbagi ke dalam area-area yang lebih spesifik.
4. Karakteristik dari harga diri secara keseluruhan dapat dilihat sebagai
bentuk yang stabil. Jika terjadi suatu penonjolan pada salah satu
dimensi maka harga diri berubah menjadi sesuatu yang spesifik dan
5. Konstruk harga diri bersifat berkembang. Harga diri seorang
individu akan berubah sesuai dengan pertambahan umurnya.
6. Harga diri dapat dievaluasi. Maka dari itu struktur multidimensi ini
memiliki kedua aspek yang berupa deskriptif dan evalutif. Seorang
individu tidak hanya menggambarkan siapa dirinya tetapi juga
melakukan penilaian terhadap dirinya.
7. Dimensi-dimensi harga diri berbeda antar satu dan lainnya. Seperti
kemampuan belajar berkolerasi tinggi dengan dimensi akademik,
bukan berhubungan dengan sosial atau fisik.
Harga diri yang bermodel struktur ini saling berkaitan. Jika salah
satu dari multidimensi ini tidak dilibatkan, maka gambaran harga diri secara
keseluruhan akan sulit untuk diungkapkan. Struktur multidimensi harga diri
ini tergambar sebagai berikut:
Bagan. 1. Struktur Multidimensi Harga Diri
Harga Diri
Akademik Fisik Emosi Sosial
Relationship
II. B. Body Piercing
II. B. 1. Definisi Body Piercing
Hewitt dan Armstrong mendefinisikan body piercing sebagai
penciptaan suatu lubang yang dapat dilewati ornamen atau perhiasan yang
akan dikenakan. Pernyataan dari Suyasa dan Djoenaina (2005) body
piercing adalah kegiatan melubangi bagian-bagian tubuh dan pemakain
aksesories pada bagian-bagian tersebut. Meltzer (2005) mengungkapkan
dalam melakukan body piercing, telinga adalah bagian tubuh yang lazim
untuk ditindik. Tetapi bagian tubuh seperti lidah, bibir, hidung, alis mata,
pusat bahkan bagian genital merupakan area-area khusus untuk ditindik.
Kesimpulan dari defenisi body piercing adalah suatu bentuk dari seni
modifikasi tubuh dengan cara menindik area-area khusus pada
bagian-bagian tubuh tertentu yang bertujuan untuk memakai perhiasan pada lubang
yang telah diciptakan.
II. B. 3. Jenis Body Piercing
II. B. 2. Alasan Memakai Body Piercing
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Deschenes dkk (2006)
didapatkan bahwa banyak anak remaja menggunakan body piercing dengan
alasan sebagai tanda estetika, dan juga sebagai ekspresi diri untuk merasa
unik dan spesial, dan sebagai konfirmasi dari identitas personal mereka.
(2004), yang menemukan bahwa tujuan para mahasiswa di salah satu
universitas di Quebec menggunakan body piercing adalah untuk
menunjukkan kunikan dan menjadi diri sendiri. Seperti yang dituturkan oleh
Jane Lansdowne seorang ibu dari empat anaknya (dalam Martell, 2007).
“This is how express myself. I’m not an artist. I don’t do paint or anything like that. So I express my creativity with my body” (Martell, 2007)
Di Indonesia, alasan para kawula muda menggunakan piercing tidak
berbeda jauh dengan hasil penelitian diatas, yaitu menggunakan tindik tubuh
dengan alasan mengikuti tren, mengekpresikan diri bahkan telah menjadi
gaya hidup. Seperti pengungkapan dari Taufik Hidayat yang menindik
kupingnya saat mengikuti salah satu turnamen di Hong Kong (Hanoman,
2000). Ia mengaku melakukan tindik telinga tersebut dengan alasan karena
ajakan teman, bukan maksud untuk tampil lebih gaya atau gaul. Rio (26)
seorang pekerja kafe di Jakarta mengungkapkan selain dianggap bisa
mendongkrak penampilan, tindik juga menjadi sarana ekspresi diri.
Sedangkan pengakuan Elda, seorang remaja putri yang baru lulus SMU juga
mengaku memakai tindik karena mengikuti tren. Dapat disimpulkan dari
berbagai pernyataan di atas banyak anak muda memakai tindik tubuh
dengan alasan mengikuti tren, sebagai bentuk estetika tubuh juga sarana
ekspresi diri. Armstrong (2005) mengatakan beberapa pemakai body
Pemakaian body piercing merupakan suatu penciptaan citra diri yang
juga spesifik (Weiten dan Llyod, 2006). Peningkatan tren body piercing
yang menjadikan tubuh sebagai proyek merupakan penanda adanya
peningkatan koneksi antara identitas diri dengan tubuh (Giddens, 1991).
Deaux (1993) menyatakan bahwa karakteristik tubuh berpengaruh kepada
harga diri seseorang. Goldenberg (dalam Baron dan Byrne, 2004) juga
mengatakan tubuh merupakan sumber manifestasi harga diri seseorang.
Maka dapat diberi kesimpulan dilihat dari beberapa pernyataan
diatas bahwa alasan pemakaian piercing pada tubuh karena dapat
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bagian pendahuluan, telah dijelaskan bahwa tujuan utama dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika harga diri para pemakai
body piercing. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pendekatan yang akan
dipakai, metode pengambilan data, subjek penelitian dan prosedur
penelitian.
III. A. Pendekatan Kualitatif
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan alasan salah
satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman
yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar
aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen
dan angka sehingga akan lebih etis dan kontekstual bila diteliti dalam setting
alamiah (Poerwandari, 2001).
III. B. Metode Pengambilan Data
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes,
metode pengumpulan data dalam penelitian ini disesuaikan dengan masalah,
akan menggunakan metode observasi sebagai metode pendukung saat
melakukan wawancara .
III. B. 1 Wawancara
Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2001) wawancara adalah
percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Wawancara dilakukan peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan
tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan
topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu
tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan pendekatan lain.
III. B. 2 Observasi
Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari,
aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam
aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat
dalam kejadian yang diamati tersebut (Poerwandari, 2001).
III. C. Alat Bantu Pengumpul Data Penelitian
Menurut Poerwandari (2001) untuk memudahkan pengumpulan data,
peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara, dan tape recorder.
III. C. 1. Pedoman Wawancara
Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan
multidimensi harga diri yang dikemukakan oleh Shavelson dkk (1976)
kepada para pemakai body piercing yang terjadi pada individu dewasa dari
tingkatan awal keatas di kota Medan, tanpa menentukan urutan pertanyaan.
Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara
berlangsung tanpa melupakan semua aspek yang relevan telah dibahas atau
ditanyakan (Poerwandari, 2001).
III. C. 2. Lembar Observasi
Lembar pengamatan dibuat untuk mendata lokasi dimana wawancara
dilakukan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menangkap hal-hal selama
wawancara yang dapat terlihat dari diri subjek yang selama proses
wawancara. Lembaran observasi berfungsi mencatat tingkah laku subjek
selama wawancara dilakukan, mencatat poin-poin penting, menarik atau
kurang jelas dan disertai komentar. Data-data yang terpapar dalam lembaran
observasi meliputi gambaran fisik dan penampilan subjek, sikap subjek
selama wawancara dilakukan, gangguan dan hambatan selama wawancara,
disertai dengan catatan-catatan khusus selama wawancara.
III. D. Subjek Penelitian
Kriteria yang ditetapkan dalam menentukan subjek adalah :
1. Pemakai body piercing
3. Bertempat tinggal di kota Medan
III. E. Lokasi
Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan, hal ini karena dari hasil
observasi awal yang dilakukan oleh peneliti di Medan sudah mulai terlihat
fenomena para pemakai body piercing.
III. F. Jumlah Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan tiga orang subjek
penelitian.
III. G. Prosedur Penelitian
Tahap Persiapan Penelitian
Tahap persiapan penelitian ini dilakukan guna mempersiapkan
hal-hal yang diperlukan selama penelitian.
a. Peneliti mengumpulkan teori mengenai harga diri dan
teori-teori mengenai body piercing, serta data-data mengenai perilaku
penggunaan piercing pada dewasa awal hingga dewasa akhir.
b. Peneliti menghubungi calon responden yang sesuai dengan kriteria
yang telah ditentukan. Dari responden yang bersedia, diminta untuk
membuat janji pertemuan sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak (kesepakatan antara peneliti dengan responden).
1. Persiapan dan pelaksanaan wawancara
a. Menghubungi calon responden yang sesuai dengan kriteria
yang ditentukan.
b. Meminta kesediaan responden untuk diwawancarai disertai
pembanggunan rapport antara peneliti dan subjek.
c. Membuat janji pertemuan dengan responden atas
kesepakatan bersama untuk melaksanakan wawancara.
d. Menentukan lokasi wawancara dilakukan. Lokasi yang
dipilih adalah tempat dimana wawancara dapat berlangsung
dengan baik.
e. Memastikan kelengkapan setiap perlengkapan wawancara
seperti alat perekam, kaset dan pedoman wawancara.
f. Peneliti memastikan diri agar dapat melakukan wawancara
dengan baik. Peneliti berperan menjadi pewawancara tunggal
dalam wawancara ini.
g. Sebelum wawancara dilakukan, dimulai dengan percakapan
yang ringan terlebih dahulu agar tidak terlalu tegang dan
kaku saat wawancara.
2. Persiapan dan pelaksanaan observasi
a. Peneliti memastikan diri agar dapat melakukan observasi
b. Selama wawancara dilaksanakan, peneliti yang bertindak
sebagai observer juga melakukan observasi pada responden.
c. Observasi dapat dilakukan juga dengan mencatat lembara
observasi ketika wawancara dilakukan.
d. Peneliti yang bertindak sebagai observer dalam penelitian ini,
selain mengobservasi subjek selama wawancara berlangsung
juga mengobservasi keseharian responden, dengan cara
terlibat langsung dalam pergaulan responden.
e. Setiap hasil observasi yang dianggap sebagai data yang
penting untuk penelitian ini dicatat dan akan menjadi data
deskriptif untuk penelitian.
3. Tahap Pencatatan Data
a. Peneliti membuat verbatim dari hasil wawancara yang
dilakukan
b. Membuat koding sesuai dengan teori yang digunakan
c. Menganalisa dan menginterpretasi data yang diperoleh dari
masing-masing responden
III. H. Metode Analisis Data
Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut
Poerwandari (2001), yaitu:
Data kualitatif sangat banyak dan beragam, sehingga perlu untuk
diorganisasikan secara rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Highlen
dan Finley (dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa organisasi
data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas
data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta
menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian
penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan
adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang
telah dibubuhi kode spesifik dan dokumentasi umum yang kronologis
mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.
2. Coding
Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah
membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Langkah awal
coding dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun transkrip
verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangan sedemikian rupa,
sehingga ada kolom yang lebih besar di sebelah kanan transkrip.
3. Pengujian Terhadap Dugaan
Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita
mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan
kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus
4. Strategi Analisis
Analisa terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan
mengenai apa yang ingin diungkapkan peneliti melalui pengamatan yang
dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan bahwa proses
analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau
kata-kata responden sendiri maupun konsep yang dikembangkan oleh
peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. Analisa yang
dilakukan adalah dengan cara menganalisa setiap responden terlebih
BAB IV
ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI
Bab ini berisi uraian hasil analisis wawancara dalam bentuk narasi.
Hasil wawancara dianalisis dengan teori struktur multidimensi harga diri
yang oleh Shavelson, Stanton dan Hubner (1976). Peneliti menggambarkan
data penelitian yang diperoleh dalam 5 tema utama. Lima tema tersebut
mendukung peneliti untuk mengungkapkan dinamika harga diri pada
pemakai body piercing, diantaranya adalah:
- Latar Belakang Pemakaian Body Piercing
- Gambaran Dimensi Akademik
- Gambaran Dimensi Fisik
- Gambaran Dimensi Emosi
- Gambaran Dimensi Sosial
Data yang berkaitan dengan dinamika harga diri akan dijabarkan,
dianalisa dan diinterpretasi per responden.
IV. A. Responden I IV. A. 1. Analisa Data IV. A. 1. 1. a. Identitas Diri
Nama : Andi (Nama Samaran)
Suku : Batak Toba
Agama : Kristen
Pendidikan terakhir : SMU
Pekerjaan : Pengganguran
Urutan dalam keluarga : Anak 1 dari 3 Bersaudara
Jenis piercing yang dipakai : Bulat
Lama pemakaian : 8 tahun
Pekerjaan Orang Tua : Wirausaha
IV. A. 1. 1. b. Tempat dan Tanggal Wawancara
Wawancara berlangsung di sebuah café di salah satu plaza di Medan
yang dilakukan pada:
1. Pada hari Kamis, tanggal 17 Juli 2008, mulai pukul 16.00 WIB –
17.00 WIB
2. Pada hari Jum’at, tanggal 1 Agustus 2008, mulai pukul 16.30 WIB –
17.30 WIB
3. Pada hari Kamis, tanggal 28 Agustus 2008, mulai pukul 16.30 WIB
– 18.00 WIB
IV. A. 1. 2. Data Observasi
Wawancara pertama dimulai pada salah satu café yang berada di
lantai tiga salah satu plaza di Medan. Pintu masuk ruangan yang dihiasi oleh
diramaikan oleh sepasang pramusaji yang akan menawarkan tempat untuk
duduk. Dari pintu masuk terlihat empat set susunan kursi berbentuk sofa
menghiasi sudut kiri ruangan dan iringan lagu terdengar dari salah satu
speaker yang digantungkan di sudut dinding. Enam set kursi yang
terbungkus oleh kain berwarna cream dan coklat berserta meja makan
berbahan kayu tersusun rapi di tengah ruang café tersebut. Meja bar dengan
susunan beberapa buah gelas kaca yang tergantung di rail menghiasi sudut
kanan ruangan dan dipenuhi oleh beberapa pasang set kursi beserta meja
kayu, yang di khususkan untuk smoking area.
Suasana ruangan yang terlihat terang dipancarkan dengan lampu
gantung hias berwarna merah, kuning dan oranye pada setiap meja makan di
sudut kiri ruangan. Peneliti akhirnya memilih untuk duduk di sudut kiri
ruangan dengan kursi berbentuk sofa dengan posisi berhadapan dengan
responden I. Dua buah gelas berisi minuman kedelai dan teh terletak di atas
meja makan yang dipesan oleh peneliti dan Andi, beserta sebuah tape
recorder untuk perekaman suara selama wawancara berlangsung.
Wawancara pertama dilakukan pada sore hari, peneliti tiba lebih
awal dari kedatangan responden I sekitar tiga puluh menit. Setibanya Andi
menjelaskan keterlambatannya dikarenakan ia telat bangun dan mengalami
kemacetan dalam perjalanan. Andi tiba dengan wajah yang terlihat tirus dan
pucat dengan memakai baju kaos berwarna hitam tertutup jaket dan celana
180 cm dan berat badan 49 kg. Kulitnya berwarna kuning langsat dan
rambutnya berwarna hitam. Di telinga sebelah kirinya, Andi memakai dua
buah piercing berbahan besi yang berbentuk bulat dan dengan rambutnya
yang bergelombang dan tergerai panjang yang membuat penampilannya
seperti seorang penyanyi rock metal.
Kesan pertama Andi terlihat ramah dengan sikap yang menyapa
peneliti terlebih dahulu, lalu ia memperkenalkan diri dan memberikan
tangan kanannya untuk berjabat dengan peneliti. Lalu peneliti
memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dari wawancara yang akan
berlangsung. Awalnya Andi terlihat sungkan untuk memulai wawancara
yang akan direkam dengan tape recorder, ini terlihat dengan sikapnya yang
memundurkan tubuh dari posisi duduk yang berhadapan dengan peneliti.
Kemudian peneliti menjelaskan secara rinci maksud dari penelitian ini dan
akhirnya Andi setuju untuk diwawancarai dan hasil percakapan ini direkam
dengan tape recorder.
Pertanyaan-pertanyaan pada wawancara awal yang diutarakan
peneliti didengarkan dengan baik oleh Andi, ia juga memberikan
jawaban-jawaban dengan antusias. Namun terkadang ada satu atau dua pertanyaan
yang diminta Andi untuk diulangi karena dia kurang memahami maksudnya.
Selama wawancara, percakapan dan proses perekaman berjalan lancar, hasil
Dalam menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti sesekali Andi
membuat bahan lawakan untuk mencairkan suasana, sambil menikmati
minuman di atas meja atau menghisap sebatang atau dua batang rokok. Pada
mulanya Andi tertarik membicarakan latar belakang ia menggunakan
piercing. Ia juga menceritakan secara terbuka topik pembicaran lainseputar
pendidikan, keluarga dan kehidupan pergaulannya yang ia habiskan di luar
rumah.
Wawancara kedua dan ketiga yang juga berlangsung di tempat yang
sama dengan waktu pertemuan yang tidak berbeda dari wawancara pertama,
dan pertemua-pertemuan ini berjalan dengan lancar. Dalam pertemuan ke
dua dan ketiga ini Andi semakin komunikatif dan bertambah humoris.
Namun dari keseluruhan wawancara yang berlangsung, peneliti belum
pernah sekalipun mengunjungi tempat tinggal ataupun bertemu langsung
dengan keluarga Andi. Hal ini dikarenakan waktu Andi yang terbilang
singkat di rumahnya, karena ia hanya pulang ke rumah untuk tidur dan
setelah bangun di sore hari ia pergi bersama teman-temannya hingga larut
malam.
IV. A. 1. 3. Data Wawancara
Pada awalnya Andi tertarik dengan body piercing ketika ia melihat
penampilan anggota grup band musik yang sangat diidolakannnya yakni
Van Hallen.
“Awal mulanya ya tertarik, karena melihat idola pemain musik timbulah ketertarikannya…”(S1.W2/L.3-5)
“Van Hallen, awalnya…karena pada saat itu lagi dengerin musiknya”(S1.W2/L.7-8)
Awal ketertarikan ini bermula ketika Andi duduk di sekolah dasar.
Setiap pagi Andi berangkat ke sekolah dengan ibunya, yang sering
mendengarkan lagu-lagu Van Hallen di radio. Lalu ibu Andi juga
mengoleksi beberapa album kompilasi yang salah satunya berisi jump, lagu
pertama Van Hallen yang disukai oleh Andi.
“Kalo Andi pertama tahu musik, pertama kali. Mama, dulu suka musik…jadi Andi SD tiap mau berangkat sekolah dulu mama biasanya suka ngidupin radio. Ada banyak lagu kompilasinya yang ada Van Hallen” (S1.W2/L.116-120)
Van Hallen yang populer sekitar tahun 1970an ini memainkan
lagu-lagu yang bergenre rock oldies dengan permainan musik yang dikatakan
bagus oleh subjek. Pada zaman itu personil band ini senang mengeksplor
tubuh mereka, berupa perilaku menindik tubuh atau body piercing, lazim
dilakukan pada area kuping. Piercing zaman Van Hallen ini berbeda dengan
band rock zaman sekarang yang sudah lebih kreatif mendandani dirinya.
yang hampir di seluruh tubuh, beda jadinya. Eranya uda beda…” (S1.W2/L.32- 39)
Selain Van Hallen beberapa band rock lainnya juga
menginspirasikan dirinya untuk memakai piercing. Sederetan band seperti
Black Sabbath, Bon Jovi, Deep Purple, Gun’s n roses, Led Zeppelin,
Metalica, dan lainnya. Namun penampilan Van Hallen terkesan lebih jantan.
Maka, timbul dorongan dalam dirinya untuk meniru yang dikatakannya
sebagai gaya hidup Van Hallen.
“Enggak… bukan karena musiknya si sebenarnya. Musik ya memang cinta, suka..cuman bukan karena musik Andi pake piercing, tapi karena Andi liat dia pakek..akhirnya jadi tertarik. Ya Andi liat dia laki-laki, berambut panjang pake piercing, jantan aja kesannya. Ada sesuatu apalah gitu kesannya ya jantan aja... (S1.W2/L. 43-50)
Band rock oldies ini tidak hanya menjadi kiblat musik bagi diri
Andi. Kekaguman para sepupu Andi pada Van Hallen juga membuat
mereka memakai piercing. Akhirnya bulatlah tekad Andi untuk menindik
telinganya, yang ia wujudkan ketika memasuki masa akhir pendidikannya,
di kelas tiga SMA setelah menyelesaikan ujian evaluasi belajar tahap akhir
nasional (EBTANAS).
“Ya kayaknya ada proses, pertama kali sepupu Andi itu piercing, Andikan masih sekolah? Kan nggak mungkin pake piercing waktu masih sekolah, jadi Andi pake piercing setelah Ebtanas” (S1.W1/L.485-490)
Rasa cintanya terhadap musik dan kekagumannya terhadap personil
Van Hallen yang terkesan jantan serta salah satu dari sepupunya yang juga
memakai piercing, merupakan latar belakang Andi untuk memakai piercing
di telinganya.
IV. A. 1. 3. b. Gambaran Dimensi Akademik
Andi memulai pendidikan kanak-kanaknya di salah satu TK di
Jakarta. Masa taman kanak-kanak Andi digambarkannya dengan kegiatan
bermain dan belajar, dan ia mengakui memiliki banyak teman baik di
lingkungan sekolah dan tempat tinggalnya. Dalam menghabiskan masa
kanak-kanaknya, Andi mengingat tidak memiliki prestasi dalam bidang
apapun.
Pendidikan sekolah Andi berlanjut ke tingkat sekolah dasar di salah
satu SD Impress Pagi di Jakarta. Saat Andi berada di kelas 1 ia mengikuti
pelajaran dengan baik, dan seiring dengan kenaikan kelasnya responden I
mulai meminati pelajaran yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan alam
tapi kurang menyukai pelajaran berhitung dan matematika Rank 5 besar
pertamanya di dapatkan Andi ketika ia duduk di kelas 2 dengan mendapat
ranking 4. Kejuaraannya ini timbul karena rasa persaingan dirinya dengan
temannya yang pintar namun sombong.
mencintai pelajaran IPA dulu, standardlah..dulu persaingan kita berdua itu disitu, tapi tetap tak bisa terkalahkan, mungkin dia lebih dikenal sama guru-guru. Dia ranking 1 Andi rangking 4 apa 5 gitu?...”
Walaupun Andi gagal menyaingi ketua kelasnya, yang akhirnya tetap
menjadi ranking 1, ia tidak merasa putus asa dan lebih mengambil sikap
positif.
Ketika memasuki SMP, Andi mulai tertarik pada bidang olahraga
seperti bola basket dan bola kaki. Hampir setiap pulang sekolah atau saat
istirahat sekolah dihabiskan Andi untuk bermain basket. Ia juga menjadi
anggota klub basket di sekolahnya, bahkan mengikuti turnamen dengan 5-10
kali pertandingan. Tetapi Andi belum sekalipun mendapatkan piala dari
pertandingan turnamen tersebut.
Bidang olahraga begitu dicintai oleh Andi, tetapi tidak dengan
pelajaran di sekolahnya. Saat SMP ini Andi mulai mengalami kemunduran
dalam pelajaran, ia pernah mendapatkan rapor merah pada pelajaran bahasa
dan matematika, bahkan ia sampai 2 kali berpindah karena terancam tidak
naik kelas karena masalah absen dan sering cabut dari sekolah.
“Ya Andi paling ini..maksudnya ya nggak terlalu ini, cuma Andi males gitu..katanyakan kemalasan menciptakan kebodohan, jadi Andi nggak bodoh, cuman matematika Andi males, nah itu…”(S1.W1/L.235-340)
“SMP sempat pindah-pindah..pertamanaya di sekolah A, terus pindah ke SMP Negeri B.”(S1.W1/L.167-170)
Walaupun Andi kerap berpindah sekolah, tapi ia tetap tamat dari
SMP dan memasuki salah satu SMA swasta di Jakarta. Di SMA, ia tetap
aktif bermain basket dan tetap bergabung dengan klub basket sekolah.
Hanya ada perubahan minat pelajaran saat Andi di SMA, jika saat SD dan
SMP Andi lebih menyukai pelajaran IPA, maka sebaliknya saat di SMA ia
lebih menyukai pelajaran-pelajaran sosial, khususnya sosiologi. Perubahan
minatnya ini diutarakan Andi karena ia sangat senang bergaul, dan semakin
ingin mengenal karakter banyak orang.
“Ikut, turnamen juga tapi fero aktif di Tim Basket SMA, tapi fero nggak aktif di tim skolah jadi kalo ada turnamen-turnamen apa, ya tim sekolah mainlah tapi fero nggak maen gitu ceritanya loh hehe…”(S1.W1/L.206-211)
“Ya..ya..ya..Ketertarikan awal pada IPA di SD dan waktu masuk SMP Andi semakin banyak tau pergaulan, dan di awal SMA ingin banyak kenal karakter orang..semua pelajaran jadi lupa. Jadi lebih mentingin pergaulan, jalan-jalan, hura-hura dan yang lain-lain. Ya pokoknya masuk transisi usialah, anak muda gitu hehehe...”(S1.W1.260-268)
Kemudian di bangku akhir SMAnya Andi beserta keluarga pindah
ke Medan. Ia masuk ke SMA swasta dan tetap tertarik bermain basket. Ia
juga menjadi vokalis di band sekolahnya, dan menang dalam perlombaan
band antar sekolah. Andi memilih vokalis karena ia tidak bisa memainkan
satu alat musikpun, walau ia sangat menyukai musik. Namun, perjalanan
musiknya ini tidak berlanjut lagi, karena setelah tamat sekolah ia tidak
menemukan teman band yang satu visi dan misi dengan dirinya, dan
“SMA kelas tiga terakhir ikut perlombaan band antar sekolah…kelas 1, kelas 2 dan kelas 3dan kebetulan band kita yang menang..itu aja si..”(S1.W1/L.416-420)
Dunia SMA Andi diselesaikan saat ia berada di Medan, yang
kemudian berlanjut ke perguruan tinggi. Pertama kali, Andi mendaftarkan
kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta, mengambil jurusan sastra
Jepang. Ternyata sastra Jepang tidak menarik perhatian Andi yang awalnya
ingin mengambil Hukum.
“Oh Fero pernah gini, pertama kuliah pernah di Jakarta, cuman kemaren karena fero maunya ngambil hukum, dan cuma karena pembukaan kuliah disana udah diluan, jadi udah tutup, akhirnya Fero ambil kuliah sastra jepang, itu di Borobudur, ya cuma ngertilah karena tidak sesuai…Terakhir karena udah jarang kuliah juga, Fero pulang ke Medan, terus daftar UISU hukum.”(S1.W1/L.273-283)
Akhirnya Andi pulang ke Medan tanpa menamatkan kuliah sastra
Jepangnya, dan kembali mendaftar kuliah di perguruan swasta di Medan
dengan jurusan Hukum. Andi memilih hukum terinspirasi dari sebuah film
rasissm yang pernah ia tonton ketika SMA yang membahas tentang
perdebatan kulit hitam dan kulit putih.
Sayangnya kesenangan Andi menonton film persidangan tidak juga
menjadikan ia seorang sarjana hukum. Akhirnya Andi tidak menamatkan
kuliah hukumnya karena tidak cocok dengan kebijakan kampus. Ia juga
merasa dibatasi dalam berkarya dan bekreasi, dan merasa monoton dengan
kegiatan belajar yang hanya datang, duduk dan mendengarkan staf pengajar.
“Salah satunya tidak boleh pakek piercing, dan tidak membiarkan manusianya bisa berkarya, berkreasi, salah satunya itu. Nggak ada kegiatan mahasiswa-mahasiswinya, jadi kadang kita cuma duduk, dengar dan kita pulang” (S1.W1/L.0349-0356)
Sekarang Andi tidak melanjutkan kuliahnya lagi, ia juga tidak
memiliki pekerjaan yang tetap ataupun sambilan. Tetapi Andi berniat untuk
membuka usaha kuliner, hanya modal usaha belum terkumpul. Tidak
banyak prestasi yang bisa diceritakan tentang Andi, hal ini sesuai dengan
pengakuannya: bahwa ia bukanlah seseorang yang selalu mengejar atau
mengumpulkan prestasi.
IV. A. 1. 3. c. Gambaran Dimensi Fisik
Sosok Andi memiliki tubuh kurus yang tinggi, rambutnya yang
panjang bergelombang tergerai hingga dadanya, jika dibandingkan dengan
gaya Van Hallen, penampilan Andi ini cukup meniru gaya mereka.
Ditambah dengan adanya dua buah piercing berbentuk bulat yang
tergantung di telinga kirinya. Sebelum memakai piercing, Andi merasa
tidak ada yang spesial dari dirinya dan ia terlihat rata-rata seperti
telinganya, ia mengaku hidupnya lebih beda dengan memiliki warna baru di
telinganya.
“Kalo Andi Pribadi, pakek piercing...Hidup lebih berwarna aja. Ya karena ada warna baru di kuping Andi” (S1.W2/L.0146-0148)
Pada awalnya Andi juga merasa senang karena ibunya mendukung dirinya
memakai piercing, dan ia juga tidak mendapat protes dari keluarganya. Rasa
percaya diri Andi pun sedikit bertambah karena menjadi orang yang berbeda
dari pada umumnya. Andi begitu ingin ada sesuatu yang berbeda dari
fisiknya karena ia memakai piercing dengan gaya hidupnya yang baru.
“Alasan waktu itu si, kenapa ya?...Menjadi orang yang berbeda, ya Andi cuman ingin aja si. Perbedaan? Ya mungkin karena Andi mencontoh, Andi kepengen punya lifestyle seperti itu, mungkin karena ada kebanggaan tersendiri menjadi orang yang berbeda. Mungkin setiap orang pasti gitukan?” (S1.W2/L.172-180/Hal…)
Andi juga merasa setiap individu yang ingin tampil berbeda
memiliki rasa kebanggan terhadap diri sendiri, khususnya dengan perubahan
yang terjadi pada bagian tubuh. Dari sekian teman-teman Andi belum ada
yang pada waktu itu diperbolehkan menindik tubuh mereka, dan secara
spesifik ia mengungkapkan rasa kebangaannya ini dikarenakan, Andi adalah
orang pertama di lingkungan pergaulannya yang diizinkan orang tua
memakai piercing.
Andi memilih bentuk piercing yang standar dan menjadikan telinga
sebagai tempat piercingnya karena merasa bukan suatu hal yang penting
merupakan manifestasi perilaku mencontoh wanita yang memakai anting di
kuping mereka.
“Karena Andi liat seperti itu kan, awalnya itu terbentuk pada kaum pria, mungkin ya itulah sesuatu yang dicontoh. Pria akhirnya mencontoh gimana kalo akhirnya kita pake piercing seperti wanita. Mungkin untuk pertama kali yang harus diambil harus sama kan? Jadi ya piercingnya di kuping” (S1.W2/L.239-245)
Bagi Andi pribadi selain perilaku mencontoh wanita, ia tetap
berprinsip bahwa piercing yang ia pakai adalah sikap mencontoh idolannya
Van Hallen. Belum ada keinginan dalam diri Andi untuk memodifikasi
tubuh dengan piercing yang parah, karena ia merasa segala perbuatan itu
pada akhirnya berujung kepada eksistensi diri.
“Gak, gak pengen. Bukan karena takut atau apa ya, ya…ga berkeinginan dan ngerasa ga penting. Karena Andi pikir semua yang seperti itu ya…itu si balik ke eksistensi diri. Ya orang-orang yang selalu ingin tampil berlebihan dengan penampilannya. Ya orang, yang ingin keberadaannnya itu diakui aja di masyarakat. Ya mungkin setiap orang yang pernah melakukan hal yang samakan? Andi sendiri juga pernah…Mungkin Andi dengan berbeda ini, ya mungkin pada awalnya Andi ingin merasa diakui oleh yang lain gitu sama aja sih. Cuman masalahnya disitu lifestyle…masalah eksistensi di masayarakat” (S1.W2/L.280-294)
Namun setelah hampir 9 tahun memakai piercing, ia tidak lagi merasa
dirinya berbeda dengan orang pada umumnya sekarang, dan akhirnya
merasa biasa saja dengan piercing di telinganya.
Terkadang Andi merasa fisiknya terlalu kurus, perasaan ini timbul
dari penilaian yang diberikan oleh teman-temannya. Walaupun begitu secara
pribadi Andi merasa fisiknya sendiri baik-baik saja. Andi telah melakukan
hasilnya tetap tidak tampak, akhirnya ia berharap mungkin berat badannya
akan bertambah jika ia sudah mendapatkan seseorang untuk merawatnya
suatu hari nanti.
“Fisik Andi kurangnya mungkin kurus kali ya?..atau terlampau kurus kali. Kalau Andi si menilai fisik Andi si fine-fine aja selama ini, cuma banyak teman-teman yang bilang terlalu kurus. Udah banyak juga usaha yang dilakukan cuma emang susah gemuk. Capek kayaknya…Ya mungkin nanti la ya kalo udah ada yang ngerawat istilahnya” (S1.W3/L.140-147)
Walau dilihat dari berat badannya Andi sangat kurus, tetapi ia
merasa memiliki kelebihan dengan fisiknya, dan mengatakan penampilan
fisiknya keren. Penilaian diri ini didapatkan Andi dari seseorang yang
pernah mengatakan dirinya keren. Ia juga berkomentar jika tidak ada
seorangpun yang memuji dirinya, maka Andi akan memberikan hanya untuk
dirinya sendiri.
“Gak ada soalnya pernah ada yang bilang dulu Andi keren…Jadi kalo gak ada yang memuji, siapa lagi kalo nggak diri sendiri ya kan?” (S1.W3/L.152-154)
Biar tubuhnya banyak dikatakan sangat kurus oleh teman-temannya,
Andi tidak merasa minder. Tetapi ada satu hal yang mungkin akan membuat
dia merasa kurang percaya diri. Jika ia akan mengunjungi rumah dan
bertemu dengan keluarga cewek yang baru dikenalnya. Andi beranggapan
jika orang tua dari cewek tersebut melihat dia begitu kurus, maka Andi akan
disangka sebagai pengguna narkoba.
“Mungkin ada si ya.. Kalo misalnya Andi punya teman atau cewek yang baru kenal begitu ke rumahnya, untuk bertemu orang tua pertama kali. Mungkin yang bikin Andi minder karena badan Andi kurus, Andi takut dianggap makek narkoba” (S1.W3/L.161-166)
Andi memiliki fikiran bahwa para orang tua dari teman wanitanya
akan mengatakan ia pengguna karena ia merasa badannya identik dengan
badan pemakai narkoba. Tetapi kenyataanya badan kurus Andi ini sudah
terbentuk dari semasa ia kecil.
“Dari kecil..dari kecil udah kurus” (S1.W3/L.173)
“Berat yang paling berat itu 49 kg dengan tinggi 180 cm (S1.W3/L.175)
“Karena soalnya mungkin orang berfikir badan Andi lebih identik dengan para pengguna, tapi sebenarnya Andi diguna-guna hahaha…” (S1.W3/L.168-171)
IV. A. 1. 3. d. Gambaran Dimensi Emosi
Saat pertama sekali Andi memakai piercing pada telinganya, ia
merasa sangat senang. Tetapi rasa senangnya ini bukan untuk memamerkan
piercingnya kepada orang banyak.
“Ya seneng aja udah bisa pakek piercing tapi kalo pamer gitu enggak” (S1.W1/L.107-109).
Rasa senang yang dirasakan Andi ini diawali dengan merasa berbeda
dari orang pada umumnya. Lebih lanjut alasan ia ingin tampak berbeda dari
orang lain karena Andi ingin mempunyai gaya hidup seperti Van Hallen,
yang menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi dirinya.
lifestyle seperti itu. Mungkin karena ada kebanggaan tersendiri ya menjadi orang yang berbeda” (S1.W2/L.172-180).
“Ya ada kebanggan tersendiri jadi orang yang berbeda. Pasti setiap orang gitulah, setiap individu menjadi orang yang berbeda pasti ada rasa kebanggan terhadap diri sendiri” (S1.W2/L.182-186)
Andi juga merasa percaya dirinya sedikit bertambah, tetapi tidak
berlebih-lebihan. Namun, sekarang piercing bagi Andi terasa biasa saja.
Dengan tren zaman yang terbentuk sekarang, Andi pun merasa piercing
yang ia pakai tidak lagi membuat dirinya merasa berbeda.
“Mungkin awal-awalnya ngerasa agak beda, kepedeaan nambah dikit. Tapi sikit lah, gak terlalu berlebihan. Ya kayak lebih giman gitu, ya senenglah. Apalagi orang rumah juga gak ada yang proteskan” (S1.W2/L.159-169)
“Ya awalnya pakek piercing ngerasa beda, cuma sekarang sama aja. Mungkin tren jaman yang terbentuk sekarang udah banyak ya, udah biasa aja si... Gak ngerasa beda lagi” (S1.W1/L.154-157)
Pada awalnya penampilan pertama Andi dengan piercing baru di
telinganya, membuat beberapa teman Andi kaget. Saat itu ia juga orang
pertama diantara teman-temanya yang diberikan izin untuk membuat
piercing yang semakin membuat dirinya merasa berbeda.
“Ya mungkin pada saat itu di lingkungan Andi bergaul, ya baru Andi yang pakek piercing. Mungkin Andi juga pada saat itu masih diijinin pakek piercing” (S1.W2/L.194-197)
Lalu beberapa teman-teman Andi ini memberikan
komentar-komentar mereka tentang penampilan baru Andi. Namun lama kelamaan
perguruan tinggi,penampilannya ini pun ditanggapi biasa saja oleh
teman-teman barunya di kampus.
“Biasa ya, kalo udah kehidupan kampus kan udah kehidupan orang yang lebih dewasa dan udah mulai banyak juga yang makek piercing. Mungkin yang lebih parah dari Andi juga ada, ya biasalah…”S1.W1/L.584-589).
Selama Andi memakai piercing ia belum pernah sekalipun mendapat
komentar negatif tentang dirinya dari orang lain, dan seandainya suatu hari
nanti Andi mendapatkan komentar yang negatif, maka ia hanya
mendengarkannya kritikan itu saja. Ia tidak akan menanggapi dengan
kemarahan, karena ia berfikir hanya dialah yang tahu betul baik dan buruk
dirinya. Andi juga membantah jika ada orang yang mengatakan dirinya
sebagai pemarah atau temperamen. Ia berfikir dengan bersikap emosi belum
tentu akan menyelesaikan persoalan yang terjadi.
“Kayaknya gak perlu juga marah, karena dia bukan Andi yang paling tau diri Andi kan, Andi sendiri” (S1.W1/L.595-597)
“Andi apa ya?Orangnya cuek sebenernya. Terus kayaknya gak terbawa emosi. Gak terlalu gimana ya? Andi berfikiran yang lurus-lurus ajalah. Menggunakan emosi juga kayaknya gak menyelesaikan masalah. Kalau bisa diselesaikan baik-baik, kenapa harus menggunakan emosi”. (S1.W1/L.617-625).
Kurangnya penggunaan emosi berupa amarah pada diri Andi,
diakuinya sudah ada dari ia kecil. Ketika ia SMP sifat pengontrolan emosi
ini sudah terlihat, jauh sebelum ia menjadi seorang dewasa seperti sekarang
“Enggak, Andi itu sebenarnya orangnya datar aja. Andi orangnya biasa aja, ya dari Andi SMP, SMA ya orangnya gitu-gitu aja, nyantai. Pokoknya orangnya flat abislah..” (S1.W1/L.631-635)
“Karena gimana ya? Andi orangnya kadang apa ya? Ya yang bikin Andi flat gitu kadang.. ada sesuatu masalah, kalo Andi belom tahu itu masalahnya betol apa enggak? Andi tidak mengungkapkan dengan emosi. Jadi Andi mesti tahu inti masalahnya itu dulu, baru diselesaikan” (S1.W1/L.637-644)
Pernyataan Andi mengenai dirinya ini, juga didukung oleh ungkapan di
bawah yang mengatakan sepanjang hidupnya hingga sekarang ini, belum
sekalipun ia mengalami kemarahan yang berujung dengan kemurkaan.
“Marah besar?...Sebesar apa si?..Tapi sejauh ingatan Andi kayaknya enggak pernah si. Andi enggak pernah murka soalnya.” (S1.W1/L.647-650)
Saat peneliti menanyakan kepada Andi apakah ia seorang yang
sensitif ataupun penyedih, yang mungkin mempengaruhi perasaan datarnya
itu, Andi menjawab pertanyaan ini dengan jawaban tidak. Namun, bukan
berarti ia tidak pernah merasakan kesedihan. Kekecewaan dan kesedihan
yang cukup dalam di alaminya sekitar tahun lalu, saat ayah tercintanya
meninggal dunia.
“Tahun lalu” (S1.W1/L.652)
“Papa meninggal. Ya gitulah, Andi ngerasain down-down kukulah” (S1.W1/L.654-655)
Kekecewaan lain yang dirasakan Andi juga saat ia duduk di SMA.
Saat itu Andi mengalami kesedihan karena patah hati akibat putus dengan
long distant dengan pacarnya. Saat ia mengetahui pacarnya berselingkuh,
Andi pun merasakan sakit dan hancur karena ditipu oleh kedua orang yang
disayanginya tersebut.
“Patah hati…setiap orang pasti pernahnlah ngerasain patah hati. Andi pastilah ngerasain patah hati. Waktu itu setelah long distant, dia juga kebetulan jadian sama sahabat Andi lagi” (S1.W1/L.630-634).
“Hancurlah…Sakiiiittt… Tertusuklah pokoknya. Ya biasalah cewek-standarlah sama kayak perasaan orang-orang yang pernah ditipu. Standarlah, cewek-cowok pasti gak beda rasa sakitnya kan?” (S1.W1/L.661-667)
Menanggapi kejadian ini pada awal-awalnya Andi cukup marah
dengan mantan pacar dan sahabatnya itu. Namun Andi berfikir kembali
mengapa ia harus bersikap marah kepada mereka. Ia berfikir kembali, pasti
ada perbuatannya yang mengakibatkan mantan pacarnya itu akhirnya
berselingkuh dan mengkhianati dirinya. Ia beranggapan mungkin ketika
dirinya berada jauh, pacarnya membutuhkan orang lain yang berada lebih
dekat untuk menemaninya.
“Ya nggak ada. Ya mungkin Andi awalnya marah, cuman Andi berfikir. Kenapa Andi harus marah?” (S1.W2/L.643-645)
“Dalam satu hubungan mungkin kita harus sadar terhadap diri kita masing-masing mungkin ya? Kenapa pasangan kita bisa berbuat begitu, pasti ada alasannya kan?” (S1.W2/L.647-650)
Pada akhirnya untuk melawan rasa sakit yang dirasakannya itu, Andi
mencoba untuk mengintrospeksi dirinya, memaafkan dan menghapus segala
masalah yang terjadi diantara mereka.
“Ya akhirnya. Gak ada masalah” (S1.W2/L.659)
“Ya pada awalnya pasti orang pertama kali disakitin pasti marah sih. Tapi kalo kita bisa berfikir secara sehat dengan benar, kayaknya semua itu gampang sih dilewatinnya. Coba introspeksi diri masing-masing aja, apa alasan mereka seperti itu. Pasti kita akan tahu jawabannya, menurut Andi sih…” (S1.W2/L.661-667)
Begitu berkesan bagi Andi masa-masa pacaran yang ia habiskan
dengan pacarnya saat di SMA tersebut, bahkan Andi menyatakan mantan
pacarnya ini sebagai cinta pertamanya. Berbicara tentang cinta pertama,
Andi mengingat saat-saat ia sedang jatuh cinta. Bagi