NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Di Susun Oleh Rahmat Hidayatullah
10501100198
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
▸ Baca selengkapnya: nilai-nilai dharmasastra yang terdapat pada zaman kaliyuga adalah
(2)Dasar ideal pendidikan Islam adalah Al-Qur’an. Kandungannya sangat luas dan dalam, yang mendorong pada peningkatan kualitas kehidupan manusia ketingkat yang lebih baik dan sempurna. Artinya, seluruh ajaran Islam terkandung dalam Al-Qur’an pada dasarnya mengarahkan agar mendekatkan diri kepada Allah, dengan berbagai cara berbentuk aktivitas yang berguna bagi kehidupan manusia pada umumnya. Aspek pendidikan merupakan komponen yang utama dalam kehidupan manusia, yang telah tercakup pada ayat-ayat suci Al-Qur’an. Mengingat perjalanan hidup manusia dimuka bumi ini merupakan aktivitas pendidikan dan proses pengajaran berkesinambungan, dari sejarah Nabi diutus oleh Allah SWT untuk menjadi penyampai dan pendidik bagi umatnya agar mengajarkan bagaimana mengenal Allah.
Bahwasannya Al-Qur’an telah mengajarkan terjadinya kemajuan beragama melalui proses belajar, dan sangat menekankan pada pentingnya sesuatu proses belajar yang akan mengangkat derajat manusia. Al-Qur’an merupakan penyampaian berita kepada manusia agar terlaksana proses-proses yang baik dalam pembelajaran yang dilalui sehingga dapat mencapai keridhaan yang didambakan, jelas bahwa penuturan yang terkandung dalam al-Qur’an merupakan sarana pendidikan yang pasti serta akurat, sumber pengarahan dan wejangan mulai bagi kehidupan manusia.
Dalam penelitian ini penulis bertujuan ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16 sampai 24. Adapun metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, hadits-hadits dan pendapat para mufassir. Kemudian menganalisis pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa dalam surat al-Ankabut ayat 16 sampai 24 terdapat nilai-nilai pendidikan, yaitu nilai pendidikan tauhid yang pada intinya mengesakan Allah dalam zat maupun sifat, pendidikan kesabaran, yang mengajarkan betapa pentingnya kesabaran dalam kehidupan, pendidikan syukur, yang mengajarkan kita untuk selalu bersukur ketika dalam keadaan apapun, dan Allah akan menambahkan nikmat apabila kita selalu bersukur kepada-Nya, pendidikan belajar mengajar, suatu keharusan dilakukan oleh seorang muslim dalam rangka memanfaatkan potensi akal yang diberikan Allah SWT, dan Orang yang menuntut ilmu lalu mengajarkannya memiliki kedudukan yang sama dengan kebaikan orang yang jihad di medan perang melawan orang-orang kafir dan pendidikan iman kepada hari kebangkitan, Keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari kemudian (kehidupan setelah mati), keimanan kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir, dengan beriman kepada hari akhir manusia akan sadar bahwa ada kehidupan setelah kematian yang di dalamnya terdapat balasan ketika manusia hidup di dunia.
SWT yang telah memberikan banyak ni’mat kapada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan
seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.
Selama menyusun skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis alami. Namun, tidak sedikit pula pelajaran yang didapat, baik dengan
kesusahan maupun dengan kesenangan. Berkat kesungguhan hati, kerja keras, dan
motivasi, serta bantuan dari berbagai pihak, segala kesulitan dan hambatan
tersebut dapat di atasi. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang
setulusnya kepada kedua orang tua penulis, khususnya ibunda tercinta Hj. Siti
Jamilah yang dengan susah payah mengasuh dan mendidik penulis dengan penuh
kasih sayang dan kesabaran hingga dapat menyelesaikan perkuliahan.
Kakak-kakaku tercinta: Yoyoh Maswiroh, Ahmad Syahrullah, Lilis Muslihah, Ahmad
Syaifullah yang dengan penuh kasih sayang telah mendukung dan membantu
keberhasilan belajar penulis. Keponakan-keponakanku tersayang, Nurul Zahra,
Sarah Nur Rahmania, Bilqis Izzati, Najwa Aulia Syahmi, Kaila Aulia Syahmi,
Muhammad Reza, Nadiva Safa Salsabila, Habibi Qolbi yang telah mengisi
hari-hari penulis dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Dan tidak lupa Nenek dan
Kakek tercinta almarhumah Hj Syami’nah dan almarhum H. Ilyas. Semoga
kesalahan dan dosa-dosa mereka diampuni Allah SWT.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta stafnya.
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
iii
3. Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA sebagai pembimbing yang telah
banyak menyisihkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabaran dalam
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Para Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu
pengetahuan yang sangat berharga.
5. Pimpinan dan staf perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Teman-teman di jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2005/2006
7. Pimpinan pondok pesantren Daar El-Hikam Abi Bahruddin dan keluarga
yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan agama, mudah-mudahan
apa yang diberikan kepada penulis bermanfaat di dunia dan di akhirat.
8. Pimpinan pondok pesantren Al-Hidayah Basmol KH. Alawi Zein dan
keluarga.
9. Dewan guru pondok pesantren Al-Hidayah. KH. Ahmad Syarifuddin
Abdul Ghoni MA, KH. Ahmad Zawawi Mas’ud, KH. Ishak, KH Abdul
Rahman, KH Niswan Toyib, Alm KH. Hasyim Mas’ud, Alm KH Sofyan
Mas’ud, Alm KH Husaini. Yang telah banyak memberikan ilmu
pengetahuan agama kepada penulis.
10.Teman-teman karib-ku, Sofyan Amrullah, Andi Hastono, Abu Bulaini,
Ahmad Fatoni, Azis Rosdiansyah, Harid Isnaeni, Anang Lukman, Iwan
Wahyudin, Rahmat Hidayatullah TH, Chairul Malik dan teman-teman
yang tidak penulis sebutkan.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT jualah penulis berharap dan ber-doa
semoga amal baik mereka yang telah membantu dalam proses penyelesaian
skripsi ini mendapat balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Amin ya Rabbal ‘alamin
Jakarta, 11 November 2010
KATA PENGANTAR...ii
DAFTAR ISI...iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Perumusan Masalah ... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
E. Metode Penelitian... 6
F. Sistematika Pembahasan... 7
BAB II KAJIAN TEORI A. Nilai-nilai Pendidikan Islam ... 9
1. Pengertian Nilai... 10
2. Landasan Nilai Pendidikan... 11
B. Pengertian Pendidikan Islam ... 13
C. Tujuan Pendidikan Islam... 15
D. Dasar-dasar Pendidikan Islam ... 18
BAB III TAFSIR SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24 A. Teks Ayat dan Mufrodat 1.Teks Ayat Dan Terjemah ... 22
v
2. Tafsir Mufrodat ... 23
B. Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 16-24... 25
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-ANKABUT AYAT 16 – 24 A. Nilai Pendidikan Tauhid... 52
1. Perintah Beribadah Hanya Kepada Allah... 58
2. Perintah Bertakwa Kepada Allah... 60
B. Nilai Pendidikan Syukur... 63
C. Nilai Pendidikan Sabar... 69
D. Nilai Pendidikan Iman Kepada Hari Kebangkitan... 73
E. Nilai Pendidikan Kewajiban Belajar Dan Mengajar... 79
1. Ayat Qauniyah Sebagia Sumber Ilmu... 83
2. Kedudukan Orang Yang Mengajarkan Ilmu... 84
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 86
B. Saran-saran ... 87
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah untuk menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia, dengan segala petunjuknya yang lengkap, meliputi seluruh aspek kehidupan yang bersifat universal. Nabi Muhammad Saw sebagai pendidik pertama (pada masa awal pertumbuhan Islam) telah menjadikan
al-Qur’an sebagai dasar utama dalam pendidikan Islam. Bahkan lebih dari itu, kedudukan al-Qur’an pun telah menjadi sumber pokok dalam pendidikan Islam.
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk serta pedoman hidup muslim, memuat begitu banyak nilai serta kandungannya yang luas, akan sangat berguna dalam setiap segi kehidupan secara keseluruhan. Begitu banyak sendi-sendi kehidupan ini yang tercakup dalam ayat-ayatnya baik yang tersirat maupun yang tersurat, baik itu mulai dari pri-hidup kemanusiaan sampai keberbagai bidang dan ruang lingkup ilmu pengetahuan. Berbagai macam ilmu pengetahuan disinyalir banyak terkandung dalam al-Qur’an. Seperti halnya ketika al-Qur’an menerangkan tentang masalah Sosialogi, Astronomi, Biologi, Sejarah, Humaniora, Seksologi, Astronomi dan Psikologi, hal tersebut tentunya merupakan sebagian kecil diantara ilmu-ilmu yang disinggung dalam al-Qur’an.
Di antara fungsi al-Quran adalah “sebagai petunjuk (huda), penerang jalan hidup (bayyinat), pembeda antara yang benar dan yang salah (furqan), penyembuh penyakit hati (syifa), nasihat atau petuah (mau’idzah) dan sumber informasi
2
(bayan)”.1 Al-qur’an tidak hanya sebagai petunjuk bagi umat tertentu dan untuk periode waktu tertentu, melainkan menjadi petunjuk universal dan sepanjang zaman. al-Qur’an eksis bagi setiap zaman dan tempat. Petunjuknya sangat luas seperti luasnya umat manusia dan meliputi segala aspek kehidupannya.
Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan al-Qur’an mengemukakan
bahwa diantara tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah :
1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang ke-Esaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-semata sebagai konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.
2. Untuk mengajarkan kepada kemanusiaan yang adil dan beradab. Yakni bahwa manusia merupakan suatu umat yang wajib bekerja sama dalam pendidikan kepada Allah dan pelaksanaan tugas sebagai khalifah di bumi. Selain itu juga bertujuan untuk menjelaskan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan Nur Ilahi,
3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat.
4. Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit, penderitaan hidup, serta pemerasan manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.2
Demikian sebagian tujuan kehadiran al-Qur’an, tujuan yang terpadu dan
menyeluruh, bukan sekedar mewajibkan pendekatan yang relegius yang bersifat ritual atau mistik, yang dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan. al-Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.
1
Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalm Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat : PT Ciputat Press, 2005), hal. 4
2
Dasar ideal pendidikan Islam adalah al-Qur’an. Kandungannya sangat luas dan dalam, yang mendorong pada peningkatan kualitas kehidupan manusia ketingkat yang lebih baik dan sempurna. Artinya, seluruh ajaran Islam terkandung dalam al-Qur’an pada dasarnya mengarahkan agar mendekatkan diri kepada Allah, dengan berbagai cara berbentuk aktivitas yang berguna bagi kehidupan manusia
pada umumnya. Aspek pendidikan merupakan komponen yang utama dalam kehidupan manusia, yang telah tercakup pada ayat-ayat suci al-Qur’an. Mengingat perjalanan hidup manusia dimuka bumi ini merupakan aktivitas pendidikan dan proses pengajaran berkesinambungan, dari sejarah Nabi diutus oleh Allah SWT untuk menjadi penyampai dan pendidik bagi umatnya agar mengajarkan bagaimana mengenal Allah.
Bahwasannya al-Qur’an telah mengajarkan terjadinya kemajuan beragama melalui proses belajar, dan sangat menekankan pada pentingnya sesuatu proses belajar yang akan mengangkat derajat manusia. 3 “al-Qur’an merupakan penyampaian berita kepada manusia agar terlaksana proses-proses yang baik dalam pembelajaran yang dilalui sehingga dapat mencapai keridhaan yang didambakan, jelas bahwa penuturan yang terkandung dalam al-Qur’an merupakan sarana pendidikan yang pasti serta akurat, sumber pengarahan dan wejangan mulai bagi kehidupan manusia”.4
Allah menurunkan al-Qur’an untuk menjadi bahan yang harus dipelajari dan diamalkan manusia. Kalau seseorang banyak belajar serta tekun untuk mempelajari isi kandungan al-Qur’an, maka aktivitas yang dilakukannya pun akan senantisa memicu dan mendorong terhadap perkembangan dan kemajuan ajaran agama Islam. Sebab kemajuan beragama tak akan lepas serta terjadi melalui proses belajar. Oleh karena itu, pentingnya preses belajar menjadi modal dasar dalam upaya meningkatkan derajat manusia.
Sejarah penafsiran al-Qur’an dimulai dengan penafsiran ayat-ayatnya
sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah atau pendapat para sahabat. Penafsiran
3
Fazlurrahman, al-Qur’an Sunber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), cet. Ke-2, h. 39
4
4
demikian kemudian berkembang sehingga tidak disadari bercampurlah hadis-hadis shahih dengan isroiliyyat (kisah-kisah yang bersumber dari ahli kitab yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau akal sehat), ini mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut
dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat sahabat yang dianggap benar.5 Sebagai upaya dalam memahami maksud serta tujuan suatu ayat dalam al-Qur’an, maka disitulah peran tafsir yang sebenarnya, yang tentunya telah menyakini perkembangan yang bervariasi. Secara umum, al-Qur’an banyak memuat ayat-ayat yang menuntun manusia dalam usaha dan penghidupannya supaya melahirkan generasi yang lebih baik. Hal-hal yang merupakan tuntunan bagi manusia untuk senantiasa meningkatkan iman dan takwa, mengembangkan wawasan keagamaan, ataupun tuntunan untuk membentuk kepribadian manusia seutuhnya, itu semua merupakan hal-hal yang tentunya hanya akan dapat dicapai dengan proses pendidikan.
Dalam al-Qur’an banyak ayat yang membicarakan tentang masalah tauhid, di antaranya adalah surat al-ankabut ayat 16-24, yang menerangkan tentang perjuangan Khalilullah (kekasih) Allah yaitu Nabi Ibrahim a.s yang mengajak kaumnya untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan, agar manusia menyembah kepada Allah saja dan bertakwa kepada Allah SWT, itu karena rusaknya kepercayaan mereka selama ini yaitu dengan menyembah berhala-berhala selain Allah, yang tidak lain adalah hasil buatan tangan mereka sendiri karena mereka membuat sesuai dengan dorongan diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan mereka.
Tentunya masih banyak nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam surat al-ankabut yang tidak bisa dijelaskan dalam bab I ini. Untuk lebih jelas lagi tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-ankabut akan
dibahas pada bab IV.
Bertitik tolak pada uraian sebagaiman telah tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk menyusun skripsi ini dalam kajian tafsir atas ayat pendidikan
5
dengan judul ”NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG
DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24”
Alasan penulis memilih ayat-ayat pendidikan pada surat al-Ankabut karena di dalamnya memuat nilai-nilai pendidikan dan pengajaran yang menuntut adanya usaha pemahaman secara komprehensif untuk dapat dimaknai dari
nilai-nilai pendidikan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu: “nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16-24”
C. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam perumusan masalah penulisan skripsi ini, penulis bertitik tolak dari identifikasi masalah di atas. Maka penulis dapat merumuskan masalah yaitu: “nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16-24?”
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan utama dari penelitian penulisan skripsi ini adalah penulis ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Qur’an surat al-Ankabut ayat 16-24
2. Manfaat Penelitian
a. Mengembangkan khazanah pengetahuan keislaman di lingkungan institusi pendidikan tinggi Islam.
b. Memberi sumbangsih pemikiran tentang konsep dan teoritis tentang
pendidikan dalam al-Qur’an, serta menambah khazanah kepustakaan dalam meneliti dan memahami al-Qur’an sebagai petunjuk umat.
6
E. Metode Penelitian 1. Sumber Bahan
Sumber bahan kajian dalam penulisan ini menggunakan data informasi yang bersifat literatur kepustakaan, karena itu metode penulisan yang dipilih adalah library reseach, yang bersumber pada al-Qur’an al-Karim dan terjemah kitab-kitab tafsir (tafsir al-Maragi, al-Azhar, fi Zilalil Qur’an dan tafsir al-Misbah), buku pendidikan khususnya buku-buku pendidikan Islam, skripsi, majalah dan sumber lainnya yang berhubungan dengan pembahasan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah study literatur (book survey), yakni mengumpulkan bahan-bahan yang terkait dengan masalah pendidikan, kemudian kitab-kitab tafsir yang pembahasannya berkaitan dengan masalah yang akan dikaji. Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam teknik pemgumpulan data ini ialah:
a. Mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, dengan mengambil dari beberapa sumber buku yang saling berhubungan.
b. Menganalisis data-data dari sumber tersebut, yakni dengan cara mengelompokan data-data berdasarkan jenisnya, yaitu primer (sumber pokok) yaitu tafsir al-misbah, tafsir al-maragi, tafsir fi zilalil al-quran, tafsir al-azhar dan sekunder (sumber umum) yaitu buku-buku pendidikan Islam dan sumber-sumber lain yang ada kaitannya dengan pokok pembahasan.
3. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, hadits-hadits dan pendapat para
mufassir. Kemudian menganalisis pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah dengan mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007
F. Sistematika Pembahasan
Agar karya ilmiah ini tersusun dengan rapih dan sistematis, maka penulis membagi pembahasan dalam lima bab yang secara garis besar adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode pembahasan dan sistematika pembahasan.
BAB II KAJIAN TEORI
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, dasar-dasar pendidikan Islam dan nilai-nilai pendidikan islam.
BAB III TAFSIR SURAT AL-ANKABUT
8
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang nilai pendidikan tauhid, nilai pendidikan syukur, nilai pendidikan sabar, nilai pendidikan percaya kepada hari kebangkitan dan nilai pendidikan
kewajiban belajar mengajar. BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Kehidupan manusia tidak terlepas dari nilai dan nilai itu selanjutnya
diinstitusikan. Institusional nilai yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan.
Pandangan Freeman But dalam bukunya Cultural History Of Western Education yang dikutip Muhaimin dan Abdul Mujib menyatakan bahwa “hakikat pendidikan
adalah proses transformasi dan internalisasi nilai. Proses pembiasaan terhadap
nilai, proses rekonstruksi nilai serta proses penyesuaian terhadap nilai”.1
Lebih dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan
pengembangan nilai-nilai dienul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat dan
kebutuhan tenaga disemua tingkat dan bidang pembangunan bagi terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Nilai pendidikan Islam perlu ditanamkan pada anak
sejak kecil agar mengetahui nilai-nilai agama dalam kehidupannya.
Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam yang
mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatui rangkaian atau
sistem didalamnya. Nilai tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa anak
sehingga bisa memberi out put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan
masyarakat luas. Dengan banyaknya nilai-nilai Islam yang terdapat dalam
pendidikan Islam, maka penulis mencoba membatasi bahasan dari penulisan
skripsi ini dan membatasi nilai-nilai pendidikan Islam dengan nilai pendidikan
tauhid, nilai pendidikan jihad, nilai pendidikan sabar nilai pendidikan percaya atau
1
Muhaimindan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 127
10
iman kepada hari kebangkitan dan nilai pendidikan larangan putus asa dari rahmat
Allah.
1. Pengertian Nilai
Menurut bahasa nilai artinya “harga hal-hal yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan
hakikatnya”.2
Secara filosofis nilai sangat terkait dengan masalah etika, etika juga sering
disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur
tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.
Sumber-sumber etika bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat, atau tradisi, ideologi
bahkan dari agama. Dalam konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika
dan nilai-nilai yang paling shohih adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, yang
kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang
bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan
situasional, sedangkan nilai-nilai al-Qur’an, yaitu “nilai-nilai yang bersumber
kepada Al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran al-Qur’an bersifat mutlak dan
universal”.3
Selanjutnya, di dalam Encyclopedi Britannaica sebagaimana dikutip oleh M.
Noor Syam dalam bukunya, ”nilai ialah suatu penetapan atau suatu kualitas suatu
objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat”.4
Menurut pandangan idealisme para pengikut Hegel (hegelian) sebagaimana
dikutip Noor Syam, bahwa “nilai ialah suatu yang bersifat normatif dan objektif,
berlaku umum. Bahkan nilai itu bersifat idealisme, cita-cita tiap pribadi yang
mengerti dan menyadarinya, nilai itu menjadi norma, ukuran untuk suatu tindakan
seseorang apakah itu baik, buruk dan sebagainya”.5 Lebih lanjut ditegaskan
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), edisi ke-3, hal. 783
3
Said Agil Husin Al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam System Pendidikan Islam, (Ciputat : PT. Ciputat Press, 2005), hal. 3
4
M. Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya : Usaha Nasional, 1988), cet. IV, hal. 133
5
bahwa, nilai-nilai tidak hanya menurut pikiran dan keinginan manusia secara
subjektif. Nilai-nilai itu besifat objektif, universal, independen dalam arti bebas
dari pengaruh rasio dan keinginan manusia secara individual.
Nilai bukan semata-mata untuk memenuhi dorongan intelek dan keinginan
manusia. Nilai justru berfungsi untuk membimbing dan membina manusia supaya
menjadi lebih luhur, lebih matang sesuai dengan martabat human dignity, sedangkan human dignity ini ialah tujuan itu sendiri, tujuan dan cita-cita manusia.
Berdasarkan pada pendapat serta pengertian sebagaimana tersebut di atas,
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa nilai ialah suatu hal yang bersifat
normatif dan objektif, sebagai ukuran atas suatu tindakan yang menjadi norma
yang akan membimbing dan membina manusia supaya menjadi lebih luhur,
berguna dan bermartabat dalam kehidupannya.
2. Landasan Nilai Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataaan individual dan sosial
yang membawa penganutnya pada pengaplikasian Islam dan ajaran-ajarannya
kedalam tingkah laku sehari-hari. Karena itu, keberadaan sumber dan landasan
pendidikan Islam harus sama dengan sumber islam itu sendiri, yaitu al-Quran dan
As-Sunnah.
Pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan Islam ialah
pandangan hidup muslim yang merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat universal
yakni al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih juga pendapat para sahabat dan ulama
sebagai tambahan. Hal ini senada dengan pendapat Ahmad D. Marimba yang
menjelaskan bahwa “yang menjadi landasan atau dasar pendidikan diibaratkan
sebagai sebuah bangunan sehingga isi al-Qur’an dan al-Hadits menjadi pondamen,
karena menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan”.6
6
12
A. Al-Qur’an
Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber dapat dilihat dari kandungan surat
al-Baqarah ayat 2 :
☺
)
ﻟا
ةﺮﻘﺑ
/
:
(
Artinya: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 2)
Al-Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipalajari akan membantu
menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai problem
hidup.apabila dihayati dan diamalkan menjadi pikiran rasa dan karsa mengarah
pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup
pribadi dan masyarakat.
B. As-Sunnah
Setelah al-Qur’an, pendidikan Islam menjadikan as-Sunnah sebagai dasar
dan sumber kurikulumnya. Secara harfiah sunnah berarti “jalan, metode dan
program. Secara istilah sunnah adalah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang
shahih baik itu berupa perkataan, perbuatan atau sifat Nabi Muhammad Saw”.7 Sebagaimana al-Qur’an sunah berisi petunjuk-petunjuk untuk
kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya yang membina manusia menjadi
muslim yang bertaqwa. Dalam dunia pendidikan sunah memiliki dua faedah yang
sangat besar, yaitu:
1. Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al- Qur’an atau
menerangkan hal-hal yang tidak terdapat didalamnya.
2. Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah Saw
bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan kedalam jiwa yang
dilakukannya.8
7
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan masyarakat,
(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 31 8
B. Pengertian Pendidikan Islam.
Kata pendidikan, secara bahasa (etimologi), berasal dari bahasa Yunani,
yaitu kata majemuk “paedagogik”. Kata tersebut terdiri dari dua kata, yaitu kata paes dan ago. Paes berarti anak, sedangkan ago berarti aku membimbing. Kata paedagogike ini bisa diartikan secara simbolik, hingga kemudian memiliki arti
sebagai perbuatan membimbing anak didik. Dalam hal ini membimbing menjadi
kegiatan inti dalam proses pendidikan.9 Dengan demikian berarti bahwa, pendidikan adalah bimbingan untuk mencapai kedewasaan anak didik yang
kemudian pada suatu saat tertentu anak didik akan kembali ke dalam masyarakat.
Sedangkan secara istilah (terminologi), pendidikan mempunyai definisi
yang beragam, antara lain :
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, disebutkan
bahwa : “pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang
akan datang”.10
Menurut Brubacher, sebagaimana yang dikutip oleh M. Noor Syam dalam
buku pengantar dasar-dasar kependidikan dinyatakan bahwa, “pendidikan
diartikan sebagai proses timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam
menyesuaikan dirinya dengan alam, dengan teman dan dengan alam semesta”.11 Berdasarkan keseluruhan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh si pendidik untuk
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan atau latihan menuju terbentuknya kepribadian utama bagi
peranannya yang akan datang dan agar menyesuaikan diri dengan alam semesta.
Dengan demikian yang menjadi titik tekan dalam proses pendidikan
tersebut adalah kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan untuk
mengembangkan potensi personal anak didik, sehingga anak didik benar-benar
9
Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Rineka Cipta, 1991), h.70 10
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995),cet.ke-1, h. 2
11
14
bisa menjadi manusia dewasa berdasarkan potensi dirinya sendiri (menjadi diri
sendiri) dan penuh kemandirian serta tanggung jawab.
Dari definisi di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa,
nilai-nilai pendidikan atau nilai-nilai-nilai-nilai dalam pendidikan adalah sifat-sifat atau hal-hal
yang penting atau berguna bagi manusia untuk perkembangan jasmani dan rohani
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang dapat
mengarahkan potensi personal manusia tersebut menuju terbentuknya kepribadian
utama bagi peranannya yang akan datang dalam menyesuaikan diri dengan alam,
teman dan alam semesta.
Definisi pendidikan secara umum di atas telah mendapatkan atribut Islam
sehingga menjadi pendidikan Islam. Pendidikan yang sebagaimana telah
disebutkan definisinya dengan pendidikan Islam mempunyai perbedaan.
Perbedaan tersebut antara lain pada tujuan pendidikan secara khusus, yaitu
pendidikan pada umumnya bertujuan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan
hukum-hukum agama Islam, menuju kepada terbentuknya kepribadian utama.
Kepribadian utama menurut Islam tersebut adalah peribadi yang memiliki
nilai-nilai agama Islam, bertanggung jawab dan sejalan dengan pedoman al-Qur’an
serta hadis. Demikian Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan Islam. Dan
tampaknya dalam proses pendidikan Islam ini ia menekankan pada aspek
pembentukan akhlak.
Zuhairini dalam bukunya filsafat pendidikan Islam menyatakan bahwa
pendidikan Islam adalah “usaha yang diarahkan pada pembentukan kepribadian
seseorang yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam
dapat berfikir, membuat suatu keputusan dan bertindak berdasarkan nilai-nilai
Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam pula”.12
M. Arifin berpendapat, “pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang
dapat memberikan kemampuan seseoranguntuk memimpin kehidupannya sesuai
12
dengan cita-cita Islam karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak
kepribadiannya”.13
Sedangkan bagi Ahmad Tafsir, “pendidikan Islam ialah bimbingan yang
diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal
sesuai dengan ajaran Islam”.14 Atau dengan kata lain bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap jasmani maupun rohani seseorang
sebagai usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian yang utama agar
dapat berfikir, membuat suatu keputusan dan bertindak serta bertanggung jawab
berdasarkan nilai-nilai Islam sehingga dapat berkembang secara maksimal dan
berkemampuan menjalankan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam.
C.Tujuan Pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan agama Islam secara umum adalah ”meningkatkan
keimanan, pemahaman, pengetahuan, pengalaman peserta didik tentang agama
Islam. Sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada
Allah swt serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama dan
negara”.15
Secara khusus pendidikan Islam sesuai dengan falsafah dan pandangan
hidup yang telah digariskan oleh al-qur’an, paling tidak mempunyai dua tujuan:
1. Tujuan keagamaan, maksudnya ialah beramal untuk akhirat, sehingga ia
menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah SWT yang
diwajibkannya.
2. Tujuan ilmiah, maksudnya ialah apa yang diungkapkan oleh pendidikan
modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.16
13
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta :Bumi Aksara, 2000), h. 10 14
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspekti Islam, (Bandung PT. Remaja Rosda Karya, 2001), cet. Ke-4, h. 32
15
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004)cet ke-3, h. 79
16
16
Zuhairini mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan agama islam adalah
“membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh,
beramal saleh serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama dan
negara”.17
Menurut al-Syaibani, beliau menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi
tiga tujuan, yaitu:
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani, dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan dalam kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.18
Tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah
pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak”
Tuhan yang sesuai dengan syari’at Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di
dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.
Secara praktis Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan
pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu :
1. Membentuk akhlak mulia
2. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat
3. Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya
4. Menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik
5. Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.19
Imam al-Ghazali, sebagaiman dikutip Zainuddin dalam buku seluk-beluk
pendidikan dari al-ghazali, memandang dan membagi tujuan-tujuan pendidikan
menjadi tiga aspek, yaitu
17
Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 45
18
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2004), h. 49
19
1. Aspek keilmuan, yang bertujuan agar manusia senang berfikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
2. Aspek kerohanian, yang menghantarkan manusia agar berakhlak mulia dan kepribadian yang kuat.
3. Aspek ke-Tuhanan, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.20
Abdullah al-Misri secara secara lebih spesifik memberikan poin-poin sebagai
tujuan pendidikan Islam :
1. Memperkenalkan kepada generasi muda tentang aqidah Islam, dasar ibadah dan pelaksanaannya dengan benar sehingga mereka dapat menghormati agamanya sendiri.
2. Menumbuhkan kesadaran agama yang benar kepada diri seseorang mengenai agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang mulia.
3. Menanamkan keimanan kepada Allah, malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab dan hari akhir berdasarkan pada kesadaran yang benar.
4. Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
5. Menanamkan rasa cinta dan penghargaan pada al-qur’an dengan membacanya secara baik, memahaminya, dan mengamalkan ajaran-ajarannya.
6. Menumbuhkan rasa bangga pada sejarah dan kebudayaan islam dan syuhada serta mengikuti jejak mereka.
7. Menumbuhkan rasa senang, optimis, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong atas kebaikan dan takwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, berjuang untuk kebaikan, memgang teguh prinsip, berkorban untuk islam dan tanah air, serta siap untuk membelanya.
8. Mendidika naluri, motivasi, dan keinginan generasi muda serta menguatkannya dan nilai-nilai, membiasakan mereka menahan emosi dan menyuburkan motivasinya, serta mengajarkan adab sopan santun.
9. Menanamkan iman yang kokoh kepada Allah, semangat keagamaan dan akhlak pada diri mereka. Serta menanamkan rasa cinta, zikir, takwa dan takut kepada Allah
10.Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, benci kekerasan, tipuan, khianat, nifak, ragu, perpecahan dan perselisihan.21
20
Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 21
18
Dalam hal ini Abuddin Nata mencoba memberikan cirri-ciri tujuan pendidikan
Islam. Antara lain adalah :
1. Mengarahkan manusia agar mejadi khalifah Tuhan di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi sesuai dengan kehendaknya.
2. Mengarahkan manusia agar setiap pelaksanaan tugas kekhalifahannya dilaksakan dalam rangka beribadah kepada Allah sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga fungsi kekhalifahannya tidak disalah gunakan.
4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani manusia agar memiliki keterampilan, ilmu, serta akhlak sebagai pendukung tugas kekhalifahannya.
5. Mengarahkannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.22
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah:
1. Membimbing dan membentuk manusia menjadi hamba Allah yang saleh, teguh imannya, taat beribadah dan berakhlak mulia.
2. Membina dan mengarahkan manusia supaya bertakwa serta dapat menunaikan hak-hak Allah, sebagai wujud pengabdiannya dalam tugasnya sebagi khalifah di bumi.
3. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang dapat digunakan guna menunjang kehidupan dan tugas kekhalifahannya.
4. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat
D. Dasar-Dasar Pendidikan Islam
Dasar secara bahasa, “berarti asas, fundamen, pokok atau pangkal segala
sesuatu (pendapat, ajaran, aturan)”.23 lebih lanjut dikatakan bahwa, dasar adalah landasan berdirinya sesuatu. Fungsi adalah memberikan arah kepada tujuan yang
akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu.24
Pendidikan Islam sebagai aktivitas yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan pembinaan kepribadian tertentu memerlukan dasar atau landasan
kerja untuk memberi arah bagi programnya. Dasar ilmu pendidikan Islam adalah
22
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 53 23
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, kamus…….hal. .121
24
Islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada al-Qur’an dan
as-Sunnah Rasulullah saw dan ijtihad (hasil pikir manusia). Dasar inilah yang
membuat ilmu pendidikan ini disebut sebagai ilmu pedidikan Islam. Tanpa dasar
ini, maka tidak akan ada ilmu pendidikan Islam.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an ialah “firman Allah berupa wahwu yang disampaikan oleh
malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran
pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan
melalui ijtihad. Ajaran berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut
akidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari’ah”.25
Nabi Muhammad sebagai pendidik pertama, (pada masa awal
pertumbuhan Islam) telah menjadikan al-Qur’an sebagai sumber pokok serta dasar
pendidikan Islam. Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pokok pendidikan Islam
dapat dipahami dari ayat al-Qur’an itu yang berbunyi : surat Al-Alaq 1-5
)
ﻟﻌﻟا
ق
/
٩
:
-(
Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Al-Qur’an diperuntukkan bagi manusia untuk dijadikan sebagai pedoman
hidupnya. Sebab pada dasarnya al-Qur’an banyak membahas tentang berbagai
aspek kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan tema terpenting yang
dibahasnya. Setiap ayatnya merupakan bahan baku bangunan pendidikan yang
dibutuhkan manusia. Hal ini tidak aneh mengingat al-Qur’an merupakan kitab
25
20
hidayah, dan seseorang bisa memperoleh hidayah tiada lain atas kehendak Allah,
karena pendidikan yang benar serta ketaatannya.
Menurut M. Quraish Shihab, al-Qur’an secara garis besar mempunyai tiga
tujuan pokok, diantaranya :
1. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan, dan kepastian akan adanya hari pembalasan.
2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3. Petunjuk mengenai syari’ah dan hukun dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.26
2. As-Sunnah
Dasar yang kedua setelah al-Qur’an ialah as-Sunnah Rasulullah saw,
amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah dalam proses perubahan sikap hidup
sehari-hari tersebut menjadi dasar utama pendidikan Islam setelah al-Qur’an,
karena Allah telah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi umatnya,
sebagaimana firmannya dalam surah al-Ahzab ayat 21 berikut ini :
⌧
☺
⌧
⌧
⌧
)
ا
ﻷ
ﺤ
ز
ا
/
:
(
”Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.(QS. Al-Ahzab [33]: 21)
As-sunnah menurut bahasa artinya jalan; baik terpuji maupun tercela.
Sedang kan menurut istilah ahli hadis, ”sunnah ialah segala yang dinukilkan dari
Nabi saw, baik berupa perkataan, taqrir, pengajaran, sifat, keadaan, maupun
26
perjalanan hidup beliau : baik yang berupa yang demikian itu terjadi sebelum
maupun sesudah diangkat menjadi Rasul”.27
3. Ijtihad
Ijtihad yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh
ilmuan syariat Islam untuk menetapkan atau menentukan suatu syariat Islam
dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur’an dan
as-Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan
termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada al-Qur’an dan
as-Sunnah.28
Ijtihad dalam bidang pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur’an dab
as-sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam.
Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhiubungan langsung dengan
kebutuhan hidup manusia, pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori
pendidikan baru dari hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan
kebutuhan hidup.
Dengan demikian, untuk melengkapi dan merealisasikan ajaran Islam itu
memang sangat dibutuhkan ijtihad. Sebab globalnya al-Qur’an dan sunnah belum
menjamin tujuan pendidikan Islam tercapai. Dalam hal ini, pemikiran para ahli
pendidikan muslim adalah salah satu bentuk ijtihad dibidang pendidikan yang bisa
dijadikan salah satu rujukan bagi kaum muslimin dalam bidang pendidikan Islam.
27
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung Angkasa, 1994), cet. 2, hal. 12 28
BAB III
TAFSIR SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24
Surat al-Ankabut yang berarti rumah laba-laba adalah nama surah yang
ke-29 di antara surah-surah dalam al-Qur’an, terdiri dari 69 ayat dan termasuk dalam
golongan surah-surah makiyah. Nama surah ini diambil dari perkataan al-Ankabut
yang terdapat pada ayat 41 surah ini. “Dinamakan demikian karena dalam surah
ini Allah mengumpamakan orang-orang yang menyembah berhala itu seperti
rumah laba-laba yang percaya kepada kekuatan rumahnya sebagai tempat ia
berlindung dan sebagai tempat ia menangkap mangsanya. Padahal apabila ditiup
angin atau ditimpa oleh suatu barang yang kecil saja, rumah itu akan hancur.
Begitu pula dengan kaum musyrikin yang percaya dengan kekuatan
sembahan-sembahan yang tidak mampu sedikitpun menolong mereka dari azab Allah di
dunia. Apalagi menghadapi azab Allah di akhirat nanti”.1
A. Teks Ayat dan Mufrodat
1. Teks ayat dan Terjemah
☺
☺
☺
1
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2006), cet ke-2, h. 25-26
Artinya: Dan (Ingatlah) Ibrahim, ketika ia Berkata kepada kaumnya: "Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.
24
sembahlah dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.
18. Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, Maka umat yang sebelum kamu juga Telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya."
19. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
20. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
21. Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan.
22. Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di bumi dan tidak (pula) di langit dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah.
23. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih.
24. Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: "Bunuhlah atau bakarlah dia", lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.(Q.S. al-Ankabut [29] : 16-24)
2. Tafsir Mufrodat
a.
=
Berhala yang berupa batuatau yang terbuat dari kayu dan memiliki bentuk seperti manusia atau hewan yang mereka pilih untuk disembah2
b.
= walau sedikit rizki
c.
=
Meminta ataumenuntut sesuatu melebihi batas moderasi.3
d.
=
Melihat dengan mata kepala ataumata hati
e. = Memulai sesuatu
f. ☺
=
Merekaputus asa dari rahmat-Ku
g.
=
Penciptaan dan pengadaan.4
2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 461
3
h. = Kalian dihidupkan kembali setelah mati.5
i. ☺ = Menjadikan Allah lemah
Ayat 16
☺
)
ﻌﻟا
ڪ
تﻮﺑ
/
٩
:
(
Artinya: Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Q.S. al-Ankabut [29] : 16)
Allah Ta’ala memberi tahukan tentang hamba, rasul, dan kekasih-Nya,
Ibrahim a,s sebagai pemimpin umat yang hanif bahwa dia mengajak kaumnya
untuk menyembah Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, serta memurnikan
ketakwaan dan permintaan rezeki hanya kepada-Nya semata, tanpa sekutu
bagi-Nya. Nabi Ibrahim mengajak mereka dengan dakwah yang sederhana dan jelas,
yang tak komples dan misterius. Dakwah itu disampaikan secara teratur dengan
cermat, sehingga sangat baik jika diteladani oleh para pembawa dakwah. Ia
memulai dengan menjelaskan hakikat dakwah yang ia ajak mereka kapadanya,
”sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya...
Mustafa al-Maragi menafsirkan: “ingatkanlah kepada kaummu kisah
Ibrahim setelah akalnya sempurna, mampu mengadakan penelitian, meningkat
dari martabat kesempurnaan ke martabat memberi petunjuk kepada manusi, dan
melaksanakan dakwah ke jalan yang haq, maka ia menyeru kaumnya untuk
menyembah Allah semata, yang tidak mempunyai sekutu, memurnikan ibadah
kepada-Nya, baik dalam keadaan sembinyi-sembunyi maupun dalam keadaan
4
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Toha Putra 1989), h. 221
5
26
terang-terangan, dan menjauhi kemurkaan-Nya dengan melaksanakan segala
kewajiban-Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya”.6
Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menceritakan kepada
kaumnya kisah Nabi Ibrahim. Setelah dewasa sempurna pertumbuhan akalnya,
sanggup untuk berfikir dan menganalisa sesuatu dengan objektif dan telah
memungkinkan untuk mencapai derajat kenabian yang sempurna, maka Ibrahim
mulai mencurahkan perhatiannya menyeru manusia untuk menerima kebenaran
yang di bawanya. Ia mengajak mereka untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan
membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan. Ia juga menyerukan agar
mereka ikhlas mengabdi kepada Allah baik ketika seorang diri atau dihadapan
orang banyak, serta menjauhi murka Allah dengan melaksanakan segala tugas dan
kewajiban yang diperintahkan-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya.
Sedangkan prof. Dr. Hamka dalam kitabnya menafsirkan: “disini Tuhan
menceritakan pula perjuangan hamba-Nya yang disebut juga khalil Allah, artinya
sahabat karib Tuhan, karena dari sangat usahanya mandekatkan dirinya kepada
Allah. ketika beliau masih berdiam di kampung halamannya telah diserunya
kaumnya agar menyembah kepada Allah saja dan bertakwa kepada Allah saja.
Karena Allahlah, tiada yang lain, yang menciptakan alam ini. Allahlah tidak
bersekutu yang lain dengan Dia di dalam memberikan jaminan hidup bagi seluruh
yang bernyawa di muka bumi ini, terutama manusia. Maka tidaklah patut kalau
manusia menyembah pula kepada yang lain”.
Ayat 17
☺
☺
)
ﻌﻟا
ڪ
تﻮﺑ
/
٩
:
(
6
Artinya: Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan. (Q.S. al-Ankabut [29] : 17)
Kata autsân adalah “bentuk jama’ dari kata
watsan, yaitu berhala yang berupa batu atau yang dari kayu dan memiliki bentuk
seperti manusia atau hewan yang mereka pilih atau buat untuk disembah. Kata ini
lebih khusus dari pada kata ashnâm, karena yang ini adalah berhala yang
disembah walau hanya batu yang tidak berbentuk”.7
Kata autsân dalam ayat ini berbentuk nakirah sehingga mengisyaratkan
bahwa kepercayaan tentang ketuhanan berhala-berhala itu adalah kepercayaan
sesat yang tidak berdasar serta berupa kebohongan dan pemutar balikan fakta
karena berhala-berhala itu tidak mampu memberikan manfaat kepada
penyembahnya.8
Ahmad Mustafa al-Maragi menegaskan bahwa pada ayat ini “Allah
memberitahukan kepada orang kafir bahwa apa yang mereka sembah selain Allah
itu tidak lain hanyalah berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka
sendiri, dan mereka berdusta ketika menamakannya sebagai tuhan-tuhan serta
mengakuinya dapat memberikan syafaat bagi mereka di sisi Tuhan”.9
Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, di jelaskan bahwa “Nabi Ibrahim
menjelaskan kepada mereka kerusakan kepercayaan mereka selama ini ditinjau
dari beberapa segi. Pertama, mereka menyembah berhala-berhala selain Allah,
dan itu adalah penyembahan yang amat bodoh, apalagi jika karena itu mereka
menghindar untuk menyembah Allah. Kedua, dengan penyembahan itu, mereka
tidak bersandar kepada bukti maupun dalil. Berhala itu hanyalah buatan mereka
dengan penuh misi dusta dan kebatilan mereka menciptakannya sebagai suatu
ciptaan yang tak ada ceritanya sebelumnya, karena mereka membuat sesuai
7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 461
8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2007 ), cet, I, h. 377.
9
28
dengan dorongan diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan
mereka. Ketiga, berhala-berhala ini tak memberikan manfaat bagi mereka
sedikitpun”.10
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang mereka
sembah selama ini hanyalah berhala. Berhala itu adalah buatan tangan mereka
sendiri, lalu mereka beriman. Padahal berhala mereka buat dari pada batu atau
dari pada kayu. Mereka yang membuatnya sendiri, lalu mereka sembah dan
mereka muliakan, mereka beri nama dan mereka Tuhankan, perbuatan mereka
sudah nyata dusta. Bukankah suatu dusta dengan disadari atau tidak disadari,
kalau buatan tangan sendiri lalu dianggap lebih berkuasa dari yang membuatnya.
Kata rizqan terambil dari asal kata razaqa yarzuqu
rizqon yang artinya “tiap-tiap rizki yang memberi manfaat”11, rizqan, yang berbentuk nakiroh dalam konteks menafikan kemampuan berhala-berhala untuk
memberi rizki, bentuk nakiroh itu mengandung makna sedikit, yakni ”walau
sedikit rizki”. “Sedangkan penggunaan bentuk ma’rifat al-rizqu ketika berbicara
tentang rizki yang ada pada Allah, mengandung makna keumuman sehingga
mencakup segala macam dan jenis rizki, banyak atau sedikit”.12 Berkata Zamakhsyari sebagamana dikutip Fakhrur Razi rizqon yaitu “nakiroh pada mu’rid
nafi artinya semata-mata tiada rizki disisi mereka”.13
Prof. Hamka menafsirkan: “alangkah bodoh orang-orang menyangka
bahwa berhala memberinya rizki, padahal berhala itu di buat oleh yang meminta
rizki kepadanya itu sendiri? dia tidak dapat menggerakkan tangannya dan
melangkahkan kakinya. Dia baru termulia karena dimuliakan orang yang
mengatakan dia mulia, bagaiman dia akan dapat memberikan rizki? Padahal dia
10
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 95
11
Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, (tt, Darul Ihya, tt), h. 235
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h.461-462
13
adalah makhluk Allah, sama juga keadaannya dengan orang yang meminta itu
sendiri”.14
Penulis menarik kesimpulan bahwa: rizki itu adalah wewenang mutlak
yang hanya dimiliki Allah. Oleh karena itu, dianjurkan kepada mereka supaya
memohon rizki dan penghasilan hanya kepada Allah, kemudian mensyukuri jika
yang diminta itu telah dikabulkan-Nya, hanya Allah yang mendatangkan rizki
bagi manusia serta semua kenikmatan hamba-Nya.
Selanjutnya kata fabtaghû terambil dari kata baghâ yang antara lain berarti
meminta atau menuntut sesuatu melebihi batas moderasi, baik dalam kuantitas
maupun kualitas.
Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan, maka carilah rizki dari Allah,
bukan dari berhala-berhala kalian, niscaya kalian memperoleh apa yang kalian
cari itu, dan beribadah kepada-Nya semata dan bersyukurlah atas segala nikmat
yang dilimpahkan-Nya kepada kalian seraya memohon tambahan dan
karunia-Nya.
Rizki itu menjadi pikiran utama banyak orang, terutama jiwa yang tak
dipenuhi dengan keimanan. Namun mencari rizki dari Allah semata adalah
hakikat yang bukan sekedar untuk mendorong kecenderungan yang tersimpan
dalam jiwa.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sesembahan selain Allah
hanyalah hasil rekaan manusia belaka, tidak mungkin mendatangkan keuntungan
ataupun kerugian di dunia maupun di akhirat.
Ayat 18
☺
)
ﻌﻟا
ڪ
تﻮﺑ
/
٩
:
(
Artinya: Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, Maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya." (Q.S. al-Ankabut [29] : 18)
14
30
Ayat 18 di atas merupakan lanjutan nasihat Nabi Ibrahim a.s, kepada
kaumnya, setelah beliau melihat tanda-tanda penolakan mereka, atau nasihat
tersebut beliau sampaikan setelah sebelumnya beliau telah menyampaikan nasihat
lalu mereka menolak. Bisa juga ayat di atas adalah komentar sekaligus teguran
dari Allah SWT. Kepada kaum musyrikin untuk menggaris bawahi bahwa tugas
rasul, siapapun dia, hanyalah menyampaikan ajaran dan mengajak kepada
kebenaran.
Ayat di atas dapat juga merupakan penjelasan tentang pendustaan dan
akibatnya yang akan dialami oleh mitra bicara yang menolak kehadiran rasul.
Seakan-akan ia menyatakan kepada kaum musyrikin bahwa keadaan kamu dalam
menolak ajakan rasul, serupa dengan keadaan umat-umat yang lalu. Mereka juga
mendustakan rasul-Nya. Sikap itu mengundang jatuhnya siksa Allah. Mereka
tidak mampu menolaknya dan tidak juga ada yang menolong mereka, begitu juga
kamu, jika kamu terus-menerus mendustakan ajaran Allah yang disampaikan oleh
rasul.
Di dalam tafsir Fakhr al-Razi dikatakan, dalam ayat ini terdapat dua
khitab, pertama, khitab tehadap kaum Nabi Ibrahim dan ayat ini menceritakan
tentang kaum Ibrahim, sebagaimana Ibrahim berkata kepada kaumnya, ”jika kamu
mendustakan, maka umat-umat sebelum kamu telah mendustakan, kedua,
bahwasannya khitab itu adalah khitab terhadap kaum Nabi Muhammad dan
penjelasannya bahwasannya hikayat-hikayat yang terbanyak itu untuk
tujuan-tujuan tertentu, tetapi hikayat itu melupakan hikayat yang baik, oleh karena itu
banyak sekali penghikayat mengatakan untuk apa aku menghilangkan hikayat ini.
Nabi Muhammad bermaksud memberi peringatan kepada kaumnya mengenai
umat-umat terdahulu, sehingga mereka mencegah dirinya dari berbohong dan
mereka menggigil gemetar karena takut siksaan, lalu Nabi Muhammad bersabda
pada pertengahan hikayatnya: hai kaumku jika kamu mendustakan aku, maka aku
takut akan datang sesuatu (siksaan) yang datang pada umat-umat selain kamu15.
15
Menurut Qurais Shihab ayat tersebut di atas merupakan bentuk pendustaan
kaum Nabi Ibrahim dan akibat dari pendustaan tersebut, yang menyatakan:
Kalau kamu wahai kaum musyrikin dan pendurhaka, siapapun kamu membenarkan tuntunan Allah, maka itu adalah untuk keuntungan kamu dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan jika kamu terus menerus mendustakan ajaran Allah yang disampaikan oleh para rasul, maka kamu tidak merugikan kecuali diri kamu sendiri, dan cukuplah kamu katahui bahwa umat-umat yang sebelum kamu seperti umat Nabi Nuh, Ad, dan Tsamud telah mendustakan juga para rasul mereka, lalu Allah membinasakan yang durhaka dan menyelamatkan yang taat. Demikian mereka merugikan diri mereka sendiri, dan sedikitpun tidak merugikan Allah atau para rasulnya. Dan tiada kewajiban atas rasul siapapun dia, apakah Nabi Ibrahim atau Nabi Muhammad, atau selain mereka kecuali penyampaian, dengan uraian serta praktek dan contoh pengamalan tuntunan Allah yang jelas dan dengan cara seterang-terangnya.16
Nabi Ibrahim kembali memperingatkan kaumnya bahwa jika mereka
membenarkan apa yang telah disampaikan kepada mereka, pasti mereka akan
bahagia. Sebaliknya, mereka akan mendapat mudarat dan kesengsaraan jika tetap
mendustakan seruan nabi seperti yang dialami orang-orang sebelum mereka yang
mendustakan para utusan Tuhan. Di antaranya seperti yang telah dialami umat
Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Saleh. Mereka semua telah disiksa Allah akibat
kedurhakaan mereka. Di sisi lain, Allah menyelamatkan orang-orang yang
beriman beserta para rasul-Nya.17
Al-Maragi menjelaskan, “jika kalian membenarkan aku, maka
sesungguhnya kalian telah beruntung memperoleh kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, tetapi jika kalian mendustakan aku tentang apa yang aku beritakan kepada
kalian, maka sesungguhnya kalian tidak akan mendatangkan kemudharatan
pendustaan kalian itu, karena umat-umat sebelum kalian telah pernah
mendustakan para rasulnya, seperti kaum Idris, Nuh, Hud, dan Salih a.s, lalu
berlakulah apa yang telah menjadi sunnah Allah pada makhluk-Nya, yaitu
keselamatan orang-orang yang membenarkan para rasul dan kenabian orang-orang
yang mendurhakai mereka”.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 462-463
17
32
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tugas rasul hanya
menyampaikan dakwah mengesakan Allah. Bila seseorang tidak mau beriman dan
tetap mendurhakai rasul, tidak akan mendatangkan kerugian kepada rasul itu,
tetapi justru menimbulkan kecelakaan bagi orang Itu sendiri.
Ayat 19-20
⌧
⌦
)
ﻌﻟا
ڪ
تﻮﺑ
/
٩
:
-٩
(
Artinya: dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. al-Ankabut [29] : 19-20)
Kata yarau terambil dari kata “ra’â yang dapat berarti
melihat atau memandang”.18
Thaba’thaba’i sebagaimana dikutip oleh Quraih Shihab memahami kata
tersebut dalam arti melihat dengan mata hati atau memikirkan bukan melihat
dengan mata kepala, sedangkan Thahir Ibn Asyur memahami kata tersebut dalam
kedua makna di atas, yaitu melihat dengan mata kepala dan melihat dengan mata
hati.
18
Sebagian ulama memandang ayat ini ditujukan kepada penduduk Makkah
yang tidak mau beriman kepada Rasulullah. Tetapi jumhur mufassir berpendapat
bahwa ayat ini masih merupakan rangkaian dari peringatan Nabi Ibrahim kepada
kaumnya.
Menurut Sayyid Quthb, “ini adalah khitab yang ditujukan kepada
orang-orang yang mengingkari Allah dan pertemuan dengan-Nya. Khitab melalui cara
al-Qur’an dalam menjadikan seluruhnya sebagai media pemaparan ayat-ayat
keimanan dan petunjuk-Nya dan lembaran yang terbuka bagi indra dan hati, yang
mencari ayat-ayat Allah di dalamnya, dan melihat bukti-bukti wujud-Nya dan
wihdaniyah-Nya. Maha benar janji dan ancamannya”.19
Di sini Allah menegaskan bila mana orang-orang kafir tetap tidak juga
percaya kepada Allah Yang Maha Esa seperti apa yang disampaikan oleh para
Rasul-Nya, maka mereka diajak untuk melihat dan memikirkan tentang proses
kejadian dari mereka sendiri sejak dari permulaan sampai akhir. Allah
menciptakan manusia mulai dari proses di rahim ibu selama enam atau sembilan
bulan, atau lebih. Setelah lahir manusia dilengkapi dengan kemampuan
pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran. Untuk menjamin kehidupannya, Allah
memudahkan sumber-sumber rizki guna menunjang kelestarian hidupnya. Apabila
telah datang takdir, Allah mewafatkannya melalui malaikat yang ditugaskan. Bagi
Allah membangkitkan manusia adalah mudah seperti mudahnya menciptakan
mereka.20
Kata yubdi’u terambil dari kata bada’a berkisar
maknanya pada memulai sesuatu. Dalam al-munjid kata bada’a diartikan
“iftahuhu qoddamuhu fil amal atau memulai, mendahulukan dalam perbuatan”.21 Maksudnya, Allah yang memulai penciptaan dipahami dalam arti ”Dia yang
menciptakan segala sesuatu pertama kali dan tanpa contoh sebelumnya”. Ini
mengandung arti bahwa Allah ada sebelum adanya sesuatu. Dia yang menciptakan
dari tiada, maka wujudlah segala sesuatu yang dikehendaki-Nya22.
19
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, h. 96 20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, h. 380 21
Luis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut, Dar el- Machreq, 1986), h. 28 22
34
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah memberitahukan tentang al-Khalil
a.s. bahwasannya dia menegaskan hari kiamat kepada kaumnya yang
mengingkarinya. Penegasannya itu melalui hasil penciptaan Allah yang dapat
mereka liat pada diri mereka sendiri, setelah sebelumnya mereka bukan apa-apa.
Zat yang memulai penciptaan dari tiada adalah pula untuk mengembalikannya.
Dan itu mudah bagi-Nya. Penegasan itu juga dilakukan dengan mengambil
pelajaran dari penciptaan langit dan bumi, makhluk-makhluk yang ada pada
keduanya, dan benda-benda yang ada diantara keduanya yang menunjukkan
kepada adanya pembuat sebagai Pencipta Yang Mutlak, yang mengatakan pada
sesuatu ”jadilah”, maka ia pun menjadi”.23 Karena itu Allah berfirman yang artinya,
”Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memilii sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana”.
Tegasnya, ayat ini memperingatkan bahwa manusia seharusnya dapat
mamahami betapa mudahnya bagi Allah menciptakan manusia. Akan tetapi,
mengapa mereka tidak mempercayai akan adanya hari kebangkitan padahal itu
justru lebih mudah bagi Allah.
Sementara ulama membatasi kata “( ) al-khalq pada
ayat ini dalam pengertian manusia”. Ini karena mereka memahami kata “yu’iduhu
yakni mengembalikan manusia hidup kembali di akhirat setelah kematiannya di
dunia ini”.24
Kata ( ) an-nasy’ah terambil dari kata nasya’a yaitu
menjadikan kejadian, pada ayat ini maksudnya Allah memerintahkan Nabi
Muhammad untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik, kalau mereka belum
juga mempercayai keterangan-keterangan di atas antara lain yang disampaikan
oleh leluhur mereka dan bapak para nabi yakni Nabi Ibrahim, Allah menganjurkan
supaya mereka berjalan mengunjungi tempat-tempat lain seraya memperhatikan
dan memikirkan betapa Allah kuasa menciptakan makhluk-Nya.
23
Muhammad Nasib al-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasana Tafsir Ibn Katsir, Terj, Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet ke-I, h. 723
24
Al-Maragi menafsirkan ayat ini: “Berjalanlah dimuka bumi ini dan
saksikanlah langit-langit dengan segala bintangnya yang terang, baik bintang yang
tetap maupun yang beredar, saksikanlah pula bumi dengan segala isinya, seperti
gunung, tanah rata, gurun pasir dan padang tandus, pepohanan dan buah-buahan,
serta sungai-sungai dan lautan. Semua itu menjadi saksi atas kebaruannya sendiri
dan atas adanya pembuatnya yang apabila berkata kepada sesuatu, ”jadilah”, maka
terjadilah ia”.25
Perintah berjalan kemudian dirangkai