BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seorang muslim dan muslimah yang shalih, ketika membangun
mahligai rumah tangga maka yang menjadi dambaan dan cita-citanya adalah
agar kehidupan rumah tangganya kelak berjalan dengan baik, dipenuhi
mawaddah wa rahmah, sarat dengan kebahagiaan, adanya saling ta′awun
(tolong-menolong), saling memahami dan saling mengerti. Dia juga
mendamba memiliki istri yang pandai memposisikan diri untuk menjadi
naungan ketenangan bagi suami dan tempat beristirahat dari ruwetnya
kehidupan di luar. Ia berharap dari rumah tangga itu kelak akan lahir anak
turunannya yang shalih yang menjadi penyejuk mata baginya.1
Sebagaiman telah diketahui sesungguhnya pernikahan adalah langkah
awal membentuk rumah tangga muslim. Untuk itu Rasulullah SAW.
bersabda kepada orang-orang muslim semua, khususnya kepada pemuda.
Sebab dialah yang akan menjalani pernikahan.
ﻦ ﻋ
ﻪﻨﻋ
"
ﻰ ﻠﺻ
ﻪﻴﻠﻋ
ﺎﻳ
ﻌﻣ
ﺮﺸ
ﻦ ﻣ
ﻢ ﻜ ﻨﻣ
ﻪﻧﺈﻓ
ﺮﺼ ﺒﻠﻟ
ﻊ ﻄ ﺘﺴ ﻳ
ﻪﻴﻠﻌﻓ
ﻪﻧﺈﻓ
ﻪﻟ
"
2Dari Abdullah Ibnu Mas'ud RA. berkata: Rasulullah SAW bersabda pada kami: "Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan, maka hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan
1 Nesia Adriana, Menikalah,
Bulletin KMII, Edisi 9 Th.1/4 Zulqaidah 1424 H/28 Desember 2003 M.
2Al-Hāfizh ibn Hajar al-Asqalānīy,
pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikannya."
Pada umumnya apabila telah dilaksanakan suatu perkawinan seorang
laki-laki dengan perempuan, pasti timbul suatu angan-angan didalam pikiran
mereka untuk hidup berkeluarga dalam keadaan selalu rukun, bahagia,
sejahtera selama-lamanya sampai mereka lanjut usia dan meninggal dunia.
Dan pada prinsipnya keluarga kekal yang bahagia itulah yang akan dituju.
Banyak perintah Allah dan Rasul yang bermaksud untuk ketenteraman
keluarga dalam hidup tersebut.
3
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Kedamaian hidup berumah tangga mesti diatur sejak awal perkenalan
yaitu menyelidiki latar belakang pasangannya. Sekiranya pihak lelaki atau
wanita mengikuti kriteria yang dianjurkan oleh Islam, akan ada kerukunan
dalam perkawinan. Selain itu pasangan yang ingin menikah juga hendaklah
memahami dengan sebenarnya apakah tujuan perkawinan tersebut. Apabila
perkawinan itu sekedar memenuhi tuntutan nafsu dan melayani kehendak
tanpa memikirkan tujuan yang sebenarnya, maka perkawinan tersebut akan
lebih tertuju kepada kehancuran. Justru, dalam menjamin keharmonisan,
sebuah keluarga Islam mestilah mempunyai kekuatan iman dan taqwa,
pengetahuan dan aturan hidup serta akhlak yang mulia.
Perkawinan adalah akad yang berdasarkan kesukarelaan kedua pihak
yang akan menjadi suami isteri. Pihak ketiga tidak boleh memaksakan
kemauannya untuk suatu perkawinan, jika yang bersangkutan sendiri tidak
suka. Meskipun pihak ketiga itu ayah, abang, paman, dan sebagainya.
Beberapa puluh tahun yang lampau banyak sekali gadis menjadi
korban kawin paksa karena pihak pemaksa berlindung di balik perisai
fatwa-fatwa ulama yang membolehkan ayah memaksa anak gadisnya kawin
dengan laki-laki yang tidak disukainya, bahkan kadang-kadang sangat
dibenci sang gadis. Banyak kemalangan telah terjadi disekitar soal ini, yang
pada hakikatnya adalah suatu penzaliman yang tidak disengaja oleh orang
tua terhadap anaknya.
Pada dasarnya pernikahan itu harus seperti jual-beli, yaitu harus
sama-sama ridha dan ikhlas dari kedua belah pihak, terutama kedua mempelai,
tidak boleh ada paksaan / tekanan dari pihak manapun, termasuk orang tua,
walaupun orang tua tersebut yakin bahwa calon menantunya itu baik dan
dapat membahagiakan anaknya.4
Di kalangan masyarakat kita, terutama di daerah pedesaan, masih
berlaku tradisi yang hampir mengambil hak kemerdekaan seorang gadis
untuk memilih suaminya. Biasanya anak itu didikte untuk menikah dengan
seseorang yang disenangi oleh ayah atau ibunya, sedangkan anak gadis itu,
4 Miftah Faridl,
dalam pembawaanya sebagai anak gadis yang pemalu, mestinya ia malu
untuk menyatakan pendapatnya dalam hal itu. Dan juga karena suasana
masyarakat tempat ia dibesarkan, yang tidak membolehkan anak itu
membantah kehendak ayah atau walinya. Perkawinan yang demikian sering
kali mengecewakan dan mengakibatkan kesusahan-kesusahan yang banyak.
Rumah tangga yang sakinah tidaklah hanya identik dengan hubungan
suami dan isteri. Keluarga sakinah juga mensyaratkan relasi yang harmonis
antara orang tua dan anak sebagai elemen keluarga. Keharmonisan relasi ini
telah digambarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW., dalam sabdanya:
5
Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang muda dari kami serta tidak mengenal hak orang alim dari kami.
Sedangkan dalam Pernikahan juga diperlukan keridhaan orang tua,
sebagai bekal masa depan yang penuh berkah dari doa kedua orang tua.
Dalam Kitab Bulugh al-Maram dijelaskan dalam sebuah hadis:
،
ﻰ ﻠﺻ
ﻪﻴﻠﻋ
) :
،
(
،
6Dari Abdullah Ibnu Amar al-'Ash RA. bahwa Nabi SAW. bersabda: "Keridaan Allah tergantung kepada keridaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua." Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.
Pernikahan yang dipaksakan berpotensi melahirkan ketidakstabilan
emosional maupun pikiran. Apalagi nikah paksa yang dialami seorang anak.
5 Hadis Hasan, no.5443. Lihat di Kitab, Muhammad Nāshiruddīn al-Albāni,
Shahīh al-Jāmi′ al-Shaghīr wa Ziyadātih(Beirut: Maktab al-Islāmī, Cet. III, 1408 H./1988 M.), Hal.957.
6 Al-Hāfizh ibn Hajar al-Asqalānīy,
Hal ini rentan menimbukan tekanan kejiwaan padanya. Jika kondisi ini yang
terjadi, bisa saja si anak mengalami gangguan psikis yang begitu berat, yang
berakibat pada munculnya ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Memaksa seorang anak untuk menikah dengan seseorang yang tidak
disukai dan dicintainya merupakan awal berumah tangga yang tidak baik.
Ini karena cinta tidak bisa dipaksakan dan rasa cinta itu sangat penting di
dalam membangun rumah tangga.7
Memang, sebenarnya tidak ada ayat ataupun hadis yang dengan tegas
melarang perbuatan ayah atau wali yang demikian, tetapi dalam beberapa
madzhab ditetapkan bahwa ayah dapat memaksa anaknya yang masih gadis
untuk menikah, tetapi sunnah baginya untuk mengikuti pendapat anaknya
itu, dan pemaksaan itu sudah tidak boleh lagi, kalau anak itu sudah janda.
Zaitunah Subhan8 mengatakan bahwa tindak kekerasan tehadap perempuan pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu kekerasan
yang bersifat fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain berupa
pelecehan seksual, seperti perabaan, colekan yang tidak diinginkan,
pemukulan, penganiayaan, serta perkosaan. Termasuk dalam kategori ini
adalah teror dan intimidasi, kawin paksa (kawin di bawah umur), incest,
kawin di bawah tangan, pelacuran paksa, stigma negatif, ekspkloitasi tenaga
kerja, dan pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi.
Salah satu bentuk kasus kekerasan terhadap anak adalah perjodohan
paksa. Efek tindakan ini dapat lebih parah ketimbang kekerasan fisik.
7 Miftah Faridl,
Op. Cit.,hal. 30.
8 Zaitunah Subhan,
Walaupun terkadang kawin paksa berakhir dengan kebahagiaan dalam
menjalankan rumah tangga, namun tidak sedikit yang berimbas pada
ketidakharmonisan atau perceraian. Itu semua akibat ikatan perkawinan
yang tidak dilandasi cinta kasih, namun berangkat dari keterpaksaan semata.
Banyak peristiwa di tengah masyarakat anak menderita karena
dikawinkan dengan pasangan yang tidak dikehendaki atau pilihan yang
sama sekali tidak tepat bagi dirinya. Sering kali yang mendorong orang tua
berbuat demikian adalah kekeliruannya atau ketidakpatuhannya pada
syari′at Allah. Akibat dari penyimpangan ini, yang menjadi korban pertama
adalah anaknya dan selanjutnya adalah dirinya sendiri. Bilamana anak
terlanjur menjadi korban dari langkah salah orang tua memaksakan
kehendaknya kepada anaknya dalam memilih pasangan, maka
penyesalannya sulit diatasi. Penyesalan ini tidak hanya merugikan materi
orang tua, tetapi lebih jauh adalah penderitaan batin anak. Bilamana ternyata
anaknya dijodohkan dengan pasangan yang membekaskan penderitaan yang
berat dalam kehidupannya, maka hal semacam ini akan menimbulkan
traumatis bagi anaknya. Padahal sebenarnya maksud orang tua
menjodohkan dengan pilihannya adalah untuk membahagiakan
anak-anaknya, tetapi yang diperoleh justru sebaliknya.
Sebagaimana kita ketahui, di dalam umat Islam di Indonesia terdapat
pernyataan tentang anggapan bahwa soal jodoh bagi anak lelaki adalah
urusan Tuhan, dan bagi anak perempuan adalah urusan orang tua (ayah).
ini juga belum mengenal wajah bakal suaminya. Hak orang tua yang
demikian dalam fiqih disebut hak ijbār, hak menentukan secara sepihak
untuk anak gadisnya siapa bakal suaminya. Cerita Siti Nurbaya
mengambarkan tradisi ijbār dari orang tua yang dimaksud. Akan tetapi,
sebutlah modernisasi, hak ijbār itu kini mulai memudar. Tidak sedikit anak
gadis yang berani menentukan sendiri pilihannya, atau bakal suaminya.9 Dalam tradisi masyarakat Madura, jika melihat raelitas kultural yang
sangat ekstrim, biasanya masyarakat desa justru menjodohkan anaknya yang
masih berumur di bawah lima tahun (balita) dengan anak dari anggota
keluarga yang lain pada usia yang sama. Bahkan, ada pula sebagian dari
mereka yang menjodohkan anak-anaknya ketika anak-anak itu masih berada
dalam kandungan ibunya atau pada saat baru dilahirkan. Tidak
mengherankan apabila terjadi banyak kasus kawin paksa.
Tujuan menjodohkan menurut mereka10, adalah untuk menjaga kehormatan keluarga dari persaaan aib dan malu jika pada waktunya nanti
anak perempuan mereka belum juga menemukan jodoh. Menurut pandangan
orang madura, seorang perempuan seharusnya sudah menikah tidak lama
setelah mengalami haid yang pertama atau pada umur antara 12 sampai 5
tahun. Apabila telah melebihi umur tersebut dan ternyata masih juga belum
menikah, semua orang akan mencemoohnya sebagai perempuan tidak laku.
Pada saat itulah kedua orang tuanya serta anak perempuan yang
9 Masdar F. Mas’udi,
Islam Dan Hak-Hak Reproduksi: Dialog Fiqih Pemberdayaan, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 88.
10 Lihat bukunya A. Latief Wiyata,
bersangkutan merasakan aib dan malu pada semua orang di lingkungan
sosialnya.
Wanita Islam bukanlah wanita barat yang terlalu bebas dan tak
terkendalikan. Wanita Islam juga bukan wanita pingitan dan umpetan yang
setiap hari waktunya dihabiskan untuk dikamar. Wanita Muslimah bukanlah
wanita yang hanya memiliki tiga harakah yaitu dapur, kasur, dan sumur.
Wanita Muslimah merupakan wanita tengah-tengah antara wanita Barat
dengan wanita pingitan dan umpetan, sesuai dengan sebuah riwayat Nabi
Muhammad SAW.:
ﺎﻬﻄ ﺳ
11 “Sebaik-baik perkara itu adalah yang ada di tengah-tengah”Berbicara paksaan dalam menikah, maka penulis merujuk paksaan
menikah itu pada kata ijbār. Hal ini sudah lazim dipelajari dalam fikih
Munakahat, dan diantara semua itu terdapat korelasi antara ijbar, wali nikah,
dan wali mujbir.
Perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan perempuan
biasanya tunduk kepada perasaannya, karena itu ia tidak pandai memilih,
sehingga tidak dapat mencapai tujuan perkawinan. Oleh sebab itu ia tidak
boleh melakukan akad nikah secara langsung. Akad nikah harus dilakukan
oleh walinya supaya tujuan perkawinan dapat tercapai secara sempurna.
Islam memberikan kemerdekaan kepada wanita untuk menikah dan
kemerdekaan untuk memiliki harta, tak seorangpun dapat memaksa wanita
11 Muhammad Nāshiruddīn al-Albānī,
Silsilat al-Ahādīs al-Dha′īfat wa al-Maudhūat
untuk menikah dengan orang yang ia benci. Wanita dapat meninggalkan apa
yang tidak ia ridhai dan ia benci. Nabi telah menghentikan kawin paksa bagi
seorang gadis oleh ayahnya, yang tujuan ayah gadis tersebut adalah untuk
kemaslahatan pribadi dalam pernikahan anaknyadengan anak saudaranya
sendiri. Demikian juga halnya seperti masalah pernikahan, dalam hal harta
benda dan mentasarufkan atau mendistribusikan. Tentang larangan kawin
paksa di dalam hadis Nabi Muhammad SAW ;
12
Telah menceritakan kepada kami Muslim ibn Ibrahim, Telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi SAW., beliau bersabda: "Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga ia dimintai pertimbangan, dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali dengan seizinnya." Para sahabat bertanya; wahai Rasulullah, bagaimana izinya? Beliau bersabda: "Dengan cara diam."
Dari semua permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis
mencoba akan membahas perihal “Nikah Paksa Menurut Perspektif
Hukum Fikih (Studi Perbandingan Antara Madzhab Hanafi dan Syafi′i), dengan mendasarkan pada sudut pandang fikih sebagai pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah serta sebagai bentuk ketaatan kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya Muhammad SAW.
12Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy′as al-Sijistaniy,
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan
yang akan diteliti dan dibahas serta dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah hukum nikah paksa menurut madzhab Syafi'i dan Hanafi ?
2. Pendapat manakah yang lebih kuat (rājih) dari dua madzhab tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka peneliti melakukan
penelitian dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui hukum nikah paksa menurut madzhab Syafi'i.
2. Untuk mengetahui hukum nikah paksa menurut madzhab Hanafi.
3. Untuk mengetahui pendapat yang lebih kuat (rājih) dari dua madzhab
tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Pembahasan masalah ini mempunyai kegunaan sebagai bentuk
reinterpretasi terhadap pemahaman umat Islam mengenai pernikahan.
Sebuah bentuk pemahaman hukum Islam dari dua madzhab yang
diperbandingkan, yaitu: Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi.
Untuk lebih jelasnya kegunaan pembahasan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Secara teoritis, penulisan ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
khasanah keilmuan dan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan mampu memberikan wawasan
pengetahuan sebagai acuan pelaksanaan perkawinan di Indonesia yang
berhubungan antara hak dan kewajiban orang tua dengan hak dan
kewajiban anak mengingat masih banyaknya pemahaman orang tua yang
hanya didasarkan pada satu aturan fiqh tanpa memperhatikan nilai-nilai
universal Islam.
3. Memahami sudut pandang, cara-cara ijtihad yang berlainan, dan
dalil-dalil serta pemikiran-pemikiran umum atau khusus yang mendukungnya.
(Madzhab Hanafi dan Syafi’i).
E. Definisi Operasional 1. Nikah Paksa
Nikah dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan perjanjian
antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi);
perkawinan.13
Makna nikah dalam Bahasa Arab secara bahasa ialah pengabungan
dan pencampuran. Sedangkan menurut syari′at, nikah berarti akad antara
pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan
menjadi halal.14
Paksa, dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan perbuatan
yang harus dilakukan walaupun tidak mau; kekerasan; perkosaan.15
13Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Bahasa Indonesia(Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 1003.
14 Hasan Ayub,
Fiqh al-Usrah al-Muslimah, ter. M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008). Hal. 29.
15
Kata paksa dalam Bahasa Arab adalah Ikrāh ( ) dan ijbār
( ).16Al-Quran misalnya menyebutkan kataIkrāh:
ﻻ
Tidak ada paksaan dalam agama.17Pengertian Paksaan oleh para fuqaha18 yaitu suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang kepada orang lain, atas perbuatan tersebut
hilang kerelaaanya19atau tidak sempurna lagi pilihannya.
Di dalam kamus al-Munawir kata ijbār
(
)
yang artinyapemaksaan, berasal dari kata padanan kalimatnya
yang artinya mewajibkan, memaksa agar mengerjakan.20
Adapun ijbār adalah suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas
dasar tanggung jawab. Di dalam fiqh Islam, istilah ijbār dikenal dalam
kaitannya dengan soal perkawinan.21
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nikah
paksa adalah perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu calon
mempelai atas hak paksa dari seorang wali akad nikah dengan menafikan
adanya unsur kerelaan.
16 Asad M. Alkali,
Kamus Indonesia Arab(Jakarta: Bulan Ibntang, 1987), hal. 381.
17 QS. Al-Baqarah: 256.
18 Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah.
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah (Kuwait, juz 6, 1410 H = 1990 M), hal. 98.
19 Maksudnya hilang kerelaan orang yang dipaksa( َﺮْﻜُﻣه ),(dari penulis skripsi). 20 Ahmad Warson Munawwir,
Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia(Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hal. 164 – 165.
21 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan – Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender
2. Hukum Fikih
Hukum ( ) secara etimologi/bahasa, bermakna al-Man'u ( )
yakni mencegah, seperti mengandung
pengertian bahwa engkau mencegah melakukan sesuatu yang berlawanan itu. Hukum juga berarti qadha' ( ) yang memiliki arti putusan,
seperti
(
)
mengandung pengertian bahwa engkau telahmemutuskan dan menyelesaikan kasus mereka.22
Pengertian hukum menurut terminologi/istilah adalah:
Firman Allah atau sabda Nabi yang mengenai segala pekerjaan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik titah itu mengandung tuntutan (suruhan dan larangan) ataupun semata-mata menerangkan kebolehan, atau menjadikan sesuatu sebab, atau syarat, atau pengahalang bagi sesuatu hukum.23
Fikih secara bahasa bahasa ialah paham/ tahu atau pemahaman
yang mendalam, yang membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian
ini dapat ditemukan dalam Qur’an yang berbunyi:
.
.
Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. supaya mereka mengerti perkataanku.24
Secara terminologi (istilah), fikih ialah:25
ﱠﻟ
ﺎ
Kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
22 Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah.
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah(Kuwait, juz 18, 1410 H = 1990 M), hal. 65.
23
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah,Juz XVII,Op. Cit.,hal. hal. 65
24 QS. Thāhā (20): 27-28 25Abd al-Wahhab Khalaf,
′Ala′uddin Abu Bakar ibn Mas′ud al-Kasani berkata:26
،
،
،
،
،
،
،
Bahwasanya tak ada ilmu yang lebih mulia sesudah ilmu tauhid, selain ilmu Fikih. Itulah ilmu yang dinamai ilmu halal haram syari’at dan ahkam. Untuknyalah dibangkitkan para Rasul, diturunkan Kitab karena tak ada jalan untuk mengetahui yang demikian itu dengan semata-mata akal, tanpa dibantu oleh pendengaran dan nukilan.
T.M. Hasbi ash Shiddieqy dalam bukunya “Hukum-Hukum Fiqih
Islam” menjelaskan bahwa hukum-hukum Fiqih Islamiy, didasarkan
kepada dua dasar asasy, yang terpokok yaitu27: 1. Al-Qur’an Al-Syarief (Ayat al-Ahkam)
2. Al-Sunnah al-Nabawiyah (Sunan al-Ahkam)
Dan disendikan juga kepada dua dasar lagi yang bercabang dari dua
dasar pokok, yaitu :
1. Al-Ijma′ (Putusan Permusyawaratan)
2. Ijtihad Ahli-ahli Fiqih (Istinbath dan Istidlal).
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah studi kepustakaan (library
reseach),yang menyajikan secara sistematis, data yang berkenaan dengan
26 ′Ala′uddin Abu Bakar ibn Mas′ud al-Kasani,
Bada`i’ al-Shana`i’ fi Tartib al-Syara`i
(Beirut: Dar al-Kutub al-′Ilmiyah, Juz I, 1406 H = 1986 M) hal. 2.
27 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy,
permasalahan yang diperoleh berdasarkan telaah terhadap kitab-kitab
fikih dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data terbagi dua yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diambil dari sumber data primer
atau sumber pertama pustaka.28 Sumber primer, yakni tulisan ulama yang bersangkutan; atau tulisan yang dinisbahkan dengan ulama
tersebut.29Adapun data primer dalam penelitian perbandingan fikih ini adalah;
1. Al-Qur’an al-Karim
2. Al-Hadits dalam kitab induk sembilan kitab (Kutubu Tis’ah). 3. Kitab Fikih Madzhab Syafi′i yaitu Kitab Al-Umm oleh
Muhammad ibn Idris al-Syafi'i.
4. Kitab Fikih Madzhab Hanafi yaitu Hidāyat Syarh Bidāyat
al-Mubtadī karya Al-Imām Burhānuddīn Abī Hasan Alī ibn Abī
Bakar al-Marghīnānī al-Hanafi.30
28 Dr. Burhan Bungin, Drs., M.Si.,
Metode Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, (Surabaya: Airlangga University Pers, 2001), hal. 128.
29 Cik Hasan Basri,
Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers), hal. 309-310.
30
Profil ulama Madzhab Hanafi dapat dilihat pada Kitab Al-Jawahir al-Mudhiyyah fi Thabaqat al-Hanafiyahkarya Muhyiddin Abdul Qadir ibn Abu al-Qafa al-Qurasyi al-Mishri dan
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah buku-buku penunjang berupa kitab Tafsir
al-Qur’an, Syarah Hadis, Kitab-kitab Fikih dari Madhab Syafi’i dan
Hanafi, Kitab Fikih Perbandingan Madzhab, dan segala refrensi yang
mendukung pembahasan tersebut.
3. Teknik Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan dianalisa secara deskriptif kulitatif
dan komparatif, yakni menyajikan atau menguraikan seluruh
permasala-han yang ada dengan tegas dan jelas, baik persamaan maupun perbedaan
konsep antara fikih Madzhab Hanafi dan Syafi′i, mengenai hukum nikah
paksa. Kemudian dari paparan atau uraian tersebut ditarik suatu
kesimpulan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan hasil yang sistematis dan terarah sesuai dengan
judul yang peneliti ambil, serta untuk memudahkan dalam memahami hasil
penelitian ini, maka gambaran sistematika adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode
penelitian, dan sistematika penulisan yang keseluruhan
memberikan gambaran secara garis besar materi yang akan
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Tinjauan teoritis merupakan hasil kajian pustaka yang membahas
tentang definisi nikah menurut fikih Islam, rukun dan syarat
nikah, kafa′ah dalam pernikahan serta masalah wali mujbir dan
hak ijbar.
BAB III HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini, penulis mengkaji permasalahan nikah paksa dari
kedua madzhab. Pembahasan nikah paksa menurut Madzhab
Hanafi yang meliputi permasalahan nikah paksa bagi gadis yang
belum dewasa (masih kecil), gadis yang sudah dewasa, janda
yang belum dewasa (masih kecil) dan janda yang dewasa.
Kemudian penulis membahas nikah paksa menurut Madzhab
Syafi′i, yang meliputi permasalahan nikah paksa bagi gadis yang
belum dewasa (masih kecil), gadis yang sudah dewasa,janda yang
belum dewasa (masih kecil) dan janda yang dewasa. Setelah
kedua madzhab dibahas, penulis memperbandingkan kedua
madzhab tersebut dengan maksud mencari mana yang kuat dalam
hal fikih nikah paksa, dan terakhir membahas tentang korelasi
pendapat Madzhab Hanafi dan Syafi′i dengan hukum positif di
BAB IV PENUTUP
Dalam bab terakhir ini sebagai bab penutup, penulis akan
memberikan kesimpulan dan saran sebagai ringkasan dan
gambaran dari keseluruhan penulisan skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
✁ ✂✄☎✆✄KSA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM FIKIH
(Studi Perbandingan Antara Madzhab Hanafi dan Syafi’i)
SKRIPSI
✝✞ ✟✠ ✡
FERRY PRATAWA TIMUR
NIM.06120026
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
NIKAH PAKSA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM FIKIH
(Studi Perbandingan Antara Madzhab Hanafi dan Syafi′i)
SKRIPSI
☛ ☞✌ ✍ ✎✏✌ ✑✒✓ ✔✌ ✕✌✖✌ ✏ ✎✗ ✘✌ ✙✚ ✛✌ ✜✌✢✙✗ ✌ ✜ ✣ ✑☞✤ ✓✥ ✙☞✘ ✌ ✙✦✎✧✌ ✜✜✌ ✕ ☞★✌ ✧ ✦✌ ✗ ✌ ✑✛ ✣✑✘ ✎✏✦✓ ✑✓✥ ☞ ✜✌✩✌ ✗ ✌✧✩✌✘ ✎✪✓✥ ✙★✌ ✥✌ ✘ ✌ ✑
☛ ✌✗ ✌ ✜✦ ✓✑★ ✓✗ ✓ ✙✌ ☞✏✌ ✑✪✥✫✛✥ ✌ ✜✩✌ ✥✍✌ ✑✌✩✘✥✌ ✘ ✌✩✌✘ ✎✬✩✭✮ ✯
✰✗ ✓✧ ✱
FERRY PRATAWA TIMUR
NIM.06120026
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN SYARI′AH
✲ ✳✴ ✵ ✶✷✸✳ ✷✹✳✺ ✻✼✻ ✶✽
✽✾ ✿✶❀ ✸✶✿✹✶✴ ✳ ✽✻ ✷✻✺✸✳ ✷✹✸✳✿✺✾ ❁❀✻✿✻✴❁✾ ✿✾ ❀
(✹✺✻❂✾✸✳ ✷✵ ✶✽❂✾✽❃✶✽✶✽✺ ✶✷✶✴ ✶❂ZHAB SYAFI’I DAN HANAFI)
SKRIPSI
❄❅❆❇ ❈
FERRY PRATAWA TIMUR
NIM.06120026
❉❊❋❆●❍■ ❍❊❏❅❆❇ ❈
❉❏ ❋❆❑▲❆▼◆ ❊▼◆ ❊❑ ❖
▲❆▼◆ ❊▼◆ ❊❑ ❖P ▲❆▼◆ ❊▼◆ ❊❑ ❖P P
❭ ❪ ❫❴ ❵❛❜ ❪❝❞ ❪❡ ❵❢ ❵❝
❡❣ ❛❤ ❜❡❤
✐❥❦ ❧♠♥♦♣ ♦q r ♦qs❥s ❧❦♦q✐ ❧t ♦q✉❧q✈✇①❥② r♠❥❦ ③❥ ④ ♦r✇⑤♥♦③⑥ ✈♦⑦ ♦⑧③⑤ ♦⑦⑨q❥ ⑩ ❧♠③❥ ♥♦③❶ ✇♣ ♦⑦⑦ ♦s❥ ❷♦ ♣❶ ♦⑤ ♦q ✈
s ♦qs❥ ♥❧♠❥ ⑦ ♦✇q ♥✇ r⑦ ❧⑦❧q✇♣❥❦❧♠③ ❷♦♠♦♥♦q ⑦❧⑦❦ ❧♠❸⑤ ❧♣✈❧⑤ ♦ ♠② ♦♠① ♦q♦❹✇ r✇ ⑦⑧③⑤ ♦⑦❺②❻ ❹❻⑧❼
✉♦s ♦❽ ♦q ✈ ✈♦⑤ ❾❿④ ❧➀ ♠✇ ♦♠❥❿➁ ➂ ➂
➃➄wan Penguji Tanda Tangan
➂❻ ✐ ♠ ♦❻② ✇qr ♦q ♦♣❹♦③ ❷❥ ⑦➅❶❻ ❹✇⑦ ❺ ❼
❿❻ ✐ ♠ ③❻② ❷♦⑦③ ✇⑤ ♠❥➆ ♦⑤➇♦➆❥s➅❶⑥ ❺ ❼
➈❻ ✐ ♠ ③❻❶❸♣❻➉ ✇♠❹♦r❥ ⑦➅❶❻⑥✈ ❺ ❼
➊❻ ⑧s♦✇⑤ ❹♦③♦q♦♣➅②❻⑥ ✈ ❺ ❼
❶ ❧q✈❧③ ♦♣r ♦q➅ ④ ♦r✇⑤ ♥♦③⑥✈♦⑦ ♦⑧③⑤ ♦⑦
⑨q ❥ ⑩❧♠③❥ ♥♦③❶ ✇ ♣♦⑦ ⑦♦s ❥ ❷♦♣❶ ♦⑤ ♦q✈ ✐ ❧r♦q➅
➋➌➍➎➏➐➑ ➍➒➓➎➏ ➎➎➒
➔→➣↔↕➙➛ ➜→➣➝→➜→➣↔→➣➝ ➞ ↕→➟→➠➞➣➞➡
➢→➤→ ➡ ➥➙➛➛ ➦➧➛→➜→➟→➨➞ ➤➩➛
➨➙ ➤➫ →➜➭ ➜→➣↔↔ →➯➯→➠ ➞➛ ➡ ➲ →➣➝ ➩➣↔ ➭➳➵➢➸➫➙ ➤↕➙➛➺➻ ➼ ➽
➢➞ ➤ ➡ ➾ ➚ ➺➳➾➾➳➚
➥→➪➩➯➜→➶ ➡ ➹↔ →➤→➘➶ ➯→➤
➴➩➛ ➩➶ →➣ ➡ ➷➦→➛➞➬ →➠
➮➙➣↔ →➣➞➣➞ ➪ →➤➞➤➙➣➦→➜→➪ →➣↕→➠ ➟→➫➙➣➩➯➞➶ →➣➪ →➛➦→➞➯➤➞→➠➱➶➪➛➞➫ ➶➞ ✃➝ ➙➣↔→➣
❐➩➝ ➩➯ ❒➒❮❰Ï Ð ➐Ï❰ ÑÏ Ò ÓÔurut ➐ÓrspÓ❰❮ Õt Ö❰u×u Ø❮❰❮ Ð (➋Ù❮tu ➐ÓrÚÏ ÔÙ❮ ÔÛÏ Ô
➎ÔÏ ÜÏt Ò ÏÙzÐÏ ÚÖ Ï ÔÏÕ❮ÙÏÔ➋ÝÏÕ❮ ′❮)”, adalah bukan karya tulis ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun seluruhnya, kecuali dalam bentuk kutipan yang
telah saya sebutkan sumbernya dengan benar.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan
apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Malang, 20 Januari 2011
Þ ßààß
áâãä âå æçèç é
Karya ini kupersembahkan kepada:
1. Ayahanda Hendrawan dan Ibunda Sulfa Hanum Nasution
2. Abangku Ceka Ungkas Wijaya dan ketiga adikku, Risti Wipa Hendra,
Nauliana, dan Febby Putri Nurpawanti
êëì ëíî ïð ëïì ëñ
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam yang telah memberikan karunia
serta nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, dengan
judul “NIKAH PAKSA MENURUT PERSFEKTIF HUKUM FIKIH (STUDI
PERBANDINGAN ANTARA MADZHAB HANAFI DAN SYAFI′I”.
Shalawat serta salam moga tetap tercurah pada Nabi akhir zaman dengan
segala ketulusan perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya dinul
Islam.
Dengan tersusunnya skripsi ini tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada:
1. DR. Muhadjir Efendi, M.Ap, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah
Malang yang telah menerima penulis untuk mencari ilmu di lembaga terkait.
2. Bapak Drs. Sunarto, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Agama Islam.
3. Ibu Dra. Sunkanah Hasyim, M.Hum, selaku pembimbing I yang telah banyak
membimbing penulisan skripsi ini sehingga terselesaikan penulisan ini.
4. Bapak Drs. Muhammad Munir, M.A, selaku pembimbing II yang telah
banyak meluangkan waktunya untuk mengecek prosedur penulisan skripsi ini
agar menjadi yang lebih baik.
5. Bapak dan ibu dosen, pengajar mata kuliah kami di Jurusan Syari′ah - UMM.
6. Ayah dan ibuku, yang selalu memberikan segala-galanya kepada penulis,
terima kasih yang tiada henti, berkat do′a, dukungan dan teladan kalian
ananda dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Abangku Ceka Ungkas Wijaya, adik-adikku Risti, Nauliana dan Febby, yang
selalu menyayangi dan memberikan semangat kepadaku, agar cepat lulus dan
lekas mendapatkan pekerjaan yang halal.
8. Semua kawan-kawanku Jurusan Syari′ah angkatan ’06 yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, yang dahulu kita selalu belajar bersama-sama dalam
satu kelas, terima kasih atas segala-galanya dan maaf bila diriku banyak
9. Sahabat-sahabat dekatku Candra Hadi, Muhamad Iqbal, Vira Hadi Sa’ud
Amrullah, Rijalul Haq, dan Julham Efendi. Terima kasih atas persahabatan
yang selalu kita jaga.
10. Ustad Syarif Hidayatullah, yang dahulu telah mengajariku bagaimana cara
browsing internet situs-situs ilmu-ilmu keislaman berbahasa Arab. Karena
Ustad, diriku banyak mengenal kitab-kitab.
11. Adik tingkatku Fika Andriyani, teristimewa di dalam hati ini, yang selalu
memberikan semangat dalam hari-hari belajarku.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa sebagai
manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan keterbatasan khususnya dalam
penulisan skripsi ini, untuk itu saran dan kritik yang membangun dari berbagai
pihak selalu kami harapkan. Dan akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin.
Malang, Januari 2011
Penulis
òóôõ ö ò÷
NIKAH PAKSA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM FIKIH (Studi Perbandingan Antara Madzhab Hanafi dan Syafi’i)
Ferry Pratawa Timur NIM.06120026
Kata kunci:
øùúû üýû úþ û ÿ ùúù üÿý✁✂✄ û ☎✆ù ☎✝û☎✞û ✆ ✟ üû ✄
Penelitian ini bertujuan untuk memperbandingkan konsep fikih terhadap hukum nikah paksa antara Madzhab Hanafi dan Syafi′i. Studi perbandingan antara kedua madzhab ini bertujuan untuk mengetahui berbagai sudut pandang dan dalil-dalil yang mendukungnya. Semua ini guna mengetahui yang manakah di antara pandangan-pandangan tersebut yang benar atau lebih kuat atau lebih sesuai dengan kondisi manusia dewasa ini.
Permasalahan ini diangkat, karena pada zaman sekarang ini dalam hal memilih pasangan hidup ini, masih banyak kita jumpai pemaksaan kehendak orang tua atas anak gadisnya, bahkan tak jarang, orang tua memaksakan kehendak dengan semena-mena terhadap anaknya, yang tanpa disadari hal itu justru mendatangkan madharat atau kesengsaraan bagi sang anak. Kebaikan dan kebahagiaan yang diimpikan orang tua bagi buah hatinya justru tidak terwujud. Hal ini terjadi, karena masih banyaknya pemahaman di kalangan orang tua bahwa anak adalah “hak milik” bagi mereka. Mereka merasa berhak sepenuhnya untuk menentukan kehidupan sang anak, termasuk menentukan calon suami yang hendak menjadi pasangan hidup bagi si anak gadis untuk sepanjang umurnya. Oleh sebab itu, jika seorang anak gadis menolak calon suami pilihan orang tua, seorang ayah merasa berhak memaksakan kehendaknya. Apalagi, para orang tua terkadang merasa pemaksaan yang mereka lakukan adalah demi kebahagian sang putri. Lalu mereka pun menggunakan dalil agama untuk melegitimasi tindakan “nikah paksa” yang mereka lakukan pada anak gadisnya.
✠✡☛☞ ✡✌✍ ✎✍
Lembar Judul...i
Lembar Persetujuan ...ii
Lembar Pengesahan ...iii
Surat Pernyataan...iv
Motto ...v
Persembahan ...vi
Kata Pengantar ...vii
Abstrak ...ix
Daftar Isi...xi
✏✡✏✍ ✑✒ ✓✠✡✔ ✕✖ ✕✡✓ A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Rumusan Masalah ...10
C. Tujuan Penelitian ...10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Definisi Operasional ...11
F. Metode Penelitian ...14
G. Sistematika Penulisan ...16
✗✘ ✗✙✙ ✚ ✙✛✜✘ ✢✘✛✚ ✣✤✥ ✙✚ ✙✦ A. Pernikahan...19
1. Definisi Nikah Menurut Fikih Islam ...19
2. Hukum Nikah ...20
3. Rukun dan Syarat Perkawinan ...25
4. Kafa′ah dalam Pernikahan ...30
B. Batasan Usia Pernikahan...34
✧★ ✧✩✩✩✪★✫✩✬✭✮✯✮✬ ✩✰✩★✯
A. Nikah Paksa Menurut Madzhab Hanafi ... 45
1. Gadis Yang Belum Dewasa (Masih Kecil) ... 45
2. Gadis Yang Sudah Dewasa ... 48
3. Janda Yang Belum Dewasa (Masih Kecil) ... 55
4. Janda Yang Dewasa ... 56
B. Nikah Paksa Menurut Madzhab Syafi′i ... 58
1. Gadis Yang Belum Dewasa (Masih Kecil) ... 58
2. Gadis Yang Sudah Dewasa ... 62
3. Janda Yang Belum Dewasa (Masih Kecil) ... 67
4. Janda Yang Dewasa ... 68
C. Perbandingan Antara Madzhab Hanafi dan Syafi′i Dalam Hal Nikah Paksa ... 71
1. Persamaan Kedua Madzhab ... 73
a. Janda Yang Dewasa ... 73
b. Gadis Yang Belum Dewasa ... 76
2. Perbedaan Kedua Madzhab... 81
a. Janda Yang Belum Dewasa... 81
b. Gadis Yang Dewasa ... 83
B. Korelasi Pendapat Madzhab Hanafi dan Syafi′i Dengan Hukum Positif Di Indonesia Tentang Nikah Paksa ... 90
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 99
A. Kesimpulan... 100
B. Saran... 103
DAFTAR PUSTAKA ... 105
✱✲✳✴ ✲✵✶✷✸✴ ✲✹ ✲
✺l✻Qur’an dan Terjemahannya ✼ ✽✾✿ ❀❁❂✾❃✾ ❄ ❅ ❆❀❃❀ ❇❈❉ ❊✾❃❀❁ ❀❄ ❆❋ ❅● ❍✼ ❊❍ ■❏❀❉
❑❑▲
❅ ▼◆ ❖❁❁ ❀P❃ ❀❄ ❀◗✼ ❘ ❀❙ ■❁ ■❉ al-Fiqhu ‘ala Madzāhibi al-Arba’ah(❚✾ ■❁❖❂❋✽ār al-Fikr , Juz IV, TT.
Abdullah ibn Abdurahman al-Bassam,Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram.
Makkah al-Mukarramah : Maktabat al-Asari, Juz V.
Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini al-Husyna al-Dimasiqi al-Syafi′i, Kifāyatu
al-Akhyār fī Halli Gāyat al-Ikhtisyar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1422
H./2001 M.
Abu Bakar Jabir al-Jaza’ri, Minhajul Muslim, Terj. Musthofa Aini dkk. Jakarta:
Darul Haq, 2007.
Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Isma′il al- Bukhariy.Al-Jami′ al-Shahih (Shahih
al-Bukhariy. Beirut: Dār Thauq al-Najah, Juz VII, 1422 H.
Abu Husayn Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyayriy, Al-Jami′ al-Shahih (Shahih
Muslim). Ar-Riyadh: Dar al-Mughniy li al-Nasyr wa al-Tauzi′, 1419 H/
1998 M.
Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy′as al-Sijistaniy,Sunan Abiy Dawud(Beirut: Dār
Ibn Hazm, Juz II, Cet. II, 1997 M/1418 H.
Sulaiman ibn Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud.Beirut: Dār al-Fikr, Juz III,
TT.
Abdullah Ibn Mahmud ibn Maudūd al-Mushili al-Hanafi, Ikhtiyar lita’lil
al-mukhtar. Beirut: Dār al-Fikr al-′Arabī, Juz III, TT.
Abu ′Abd Allah Muhammad ibn Yazid ibn Majah, Sunan Ibn Majah. Beirut:
Al-Riyadh: Maktabah al-Ma′arif al-Nasyr wa al-Tauzi′, TT.
Abu ′Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al-Nasaiy,Sunan al-Nasā′ī. Al-Riyadh:
Maktabah al-Ma′arif al-Nasyr wa al-Tauzi′, TT.
Abu ′Abd Allah Ahmad Ibn Hanbal,Musnad Ahmad ibn Hanbal. Riyadh: Bait
Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm ushul al-Fiqh. Al-Iskandariyyah: Maktabah
al-Da’wah al-Islamiyyah, 2002 M.
Abī Husain Yahyā ibn Abī al-Khair ibn Sālim al-Imrānī al-Syāfi′i al-Yamani,
Al-Bayān Fi Madzhab al-Imām al-Syāfi′i. Beirut: Dar al-Minhaj, Juz IX, Cet. I,
2000M/1421H.
Abi Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudaimah,Al-Mughni.
Al-Riyadh : Dār ‘Ālam Kutub, Juz IX, 1417 H/1997 M.
Ahmad ibn ibn Hajar al-Asqalānīy, Bulūghu al-Marāmi min Adillati al-Ahkāmi.
Surabaya: Dar al-′Alim, TT.
Ibnu Hajar al-Asqalani,Fath al-Bāri Syarah Shahih al-Bukhari, Terj. Amiruddin.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, 2002.
Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Perss, 1998.
Akram Ridha,Baligh Tanpa Malu.Jakarta: Qisthi Press, 2005.
Ala′uddin Abu Bakar ibn Mas′ud al-Kasani, Bada`i’ Shana`i’ fi Tartib
al-Syara`i. Beirut: Dar al-Kutub al-′Ilmiyah, Juz I, 1406 H/1986 M.
Ala’uddin Muhammad ibn Ali al-Husni al-Haskafi, Ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh
Tanwir al-Absar(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. I, 1423 H./2002M.
Al-Faqih Abul Wahid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibnu Rusyd,
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Terj. Imam Ghazali Said.
Beirut: Dar al-Jill, Cet I, 1409H/1989M.
Alī ibn Abī Bakar al-Marghīnānī,al-Hidāyat Syarh Bidāyat al-Mubtadī.Pakistan:
Idarat al-Qur′an wa ′Ulūm al-Islāmiyyat, Juz III, Cet. I, 1417 H.
Al-Hāfizh al-Kabīr ′Alī ibn ′Umar al-Dāruqthnī, Sunan al-Dāruqthnī. Beirut:
Mu′assasatu al-Risalah, Juz IV, Cet I, 1424 H./2004 M.
′Alāu al-Din Abī Bakr ibn Mas′ūd ibn Ahmad al-Kāsanī, Badā‘i‘ ash-Shanā’i.
Bairūt, Dār al-Kutub al-′Ilmiyah, cetakan kedua, juz III, 1406 H./1986 M.
A.jLatief Wiyata, Carok – Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang
Madura.Yogyakarta: Lkis, 2006.
Burhan Bungin, Drs., M.Si.,Metode Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif
dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Pers, 2001.
Cik Hasan Basri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial,.
Jakarta: Rajawali Pers.
Djaman Nur,Fiqh Munakahat. Semarang: Dimas, 1993.
Ensiklopedi Hadits – Kitab 9 Imam. CD Program yang Diproduksi oleh Lidwa
Pusaka, Jakarta. 2010.
Hasan Ayub, Fiqh al-Usrah al-Muslimah, ter. M. Abdul Ghoffar, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2008.
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan – Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender. Yogyakarta: LkiS, 2001.
H.S. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan. Jakarta: Balai Penerbitan & Perpustakaan
Islam Yayasan Ihya ‘Ulumuddin Indonesia, 1971.
Ibnu Hajar al-Asqalani,Fath al-Bāri Syarah Shahih al-Bukhari, Terj. Amiruddin.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Jama′ah min ′Ulamā al-Hindi, al-Fatāwa al-Hindiyah. Beirut: Dār Kutub
al-′Ilmiyah, Juz I, Cetakan Awal, 1421 H / 2000 M.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: Hidakarya Agung,
1981.
Masdar F. Mas’udi, Islam Dan Hak-Hak Reproduksi: Dialog Fiqih
Pemberdayaan. Bandung: Mizan, 1997.
Miftah Faridl,150 Masalah Nikah & Keluarga. Jakarta: Gema insani, 2004.
Muhammad Nāshiruddīn al-Albāni, Shahīh al-Jāmi′ al-Shaghīr wa Ziyadātih.
Beirut: Maktab al-Islāmī, Cet. III, 1408 H./1988 M.
Muhammad Nāshir , Silsilat al-Ahādīs al-Dha′īfat wa al-Maudhūat (Riyadh:
Maktabat al-Ma′ārif liNasyar wa al-Tauzī, Cet. II, 1425 H.
Muhammad ibn Ismail al-Shan’ani, Subul Salam Maushilati ila Bulugh
Muhammad Ali al-Shabuni,Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Minal Qur’an,
Terj. Saleh Mahfoed. Damsyik: Maktabah al-Ghazali, Cet. II, Juz II, 1397
H./1977 M.
Muhyiddīn Abī Zakariyyā ibn Syarf al-Nawawiy, Minhaj Et Taliibn: A Manual Of
Muhammadan Law. London: William Clowes and Sons, 1914.
Muhammad ibn Idrīs al-Syāfi′i,al-Umm, Tahqiq wa Tarjih Rifa′at Fauzi ′Abd
Muthalib. Al-Manhūrah: Dār Wafā′ lil Thabā′ah wa Nasyr wa
al-Taujih, Cet. I, Juz VI, 2001 M/1422H.
Muhammad ibn ′Abdurrahman al-Dimasyqī, Rahmah Ummah fī Ikhtilāf
al-A′immah, Terj. Abdullah Zaki Alkaf. Jeddah: al-Haramain li ath-Thiba′ah
wa an-Nasya wa at-Tawji′, TT.
M. Syamsul Arifin, Membangun Rumah Tangga Sakinah. Sidogiri: Pustaka
Sidogiri, 1429 H./2008M.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. Mahyiddin Syaf. Bandung: Alma′arif, Cet. X,
Juz VII, TT.
Segaf Hasan Baharun, Bagaimanakah Anda Menikah? Dan Mengatasi
Permasalahnnya. Bangil: Ma′had Darullughah wadda′wah, 1426H.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fikih Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1986.
Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah.
Kuwait, Juz VI, XVIII 1410 H/ 1990 M.
Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah.
Kuwait, Juz IV, 1410 H/ 1990 M.
Yusuf al-Uyairi, Muslimah Berjihad! Peran Wanita Dalam Medan Jihad, Solo:
Media Islamika, Ter. Fajrun Mustaqim, 2007.
Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2004.
Zhafar Ahmad al-′Utsmanī al-Tahānawi, I’la al-Sunan. Bairut: Dār al-Fikr, Cet. I,