• Tidak ada hasil yang ditemukan

Genetic Variation Analysis of Curcuma xanthorrhiza Roxb. by Using Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) Marker

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Genetic Variation Analysis of Curcuma xanthorrhiza Roxb. by Using Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) Marker"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TEMULAWAK (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA

AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (AFLP)

DINI DAMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keragaman Genetik

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Menggunakan Penanda Amplified

Fragment Length Polymorphism (AFLP) adalah karya bersama saya dengan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2012

(3)

ABSTRACT

DINI DAMAYANTI. Genetic Variation Analysis of Curcuma xanthorrhiza Roxb. by Using Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) Marker. Under direction of SUHARSONO and TEUKU TAJUDDIN.

Indonesia is known by its diversities, especially in herb-medicinal plants. Curcuma xanthorrhiza Roxb. is one of the potential medicinal plant belonging to Zingiberaceae family. This study was to determine genetic diversity of 32 accession Curcuma xanthorrhiza Roxb. Total DNA was extracted from leaf using Sodium Dodesyl Sulphate (SDS) modification methode. Amplified fragment length polymorphism (AFLP) was carried out according to the protocol described in AFLPTM plant mapping kit (PE Applied Biosystem) and the final polymerase chain reaction (PCR) products were separated using The Agilent 2100 Bioanalyzer. The number of fragment produced by 12 pairs primer combination of AFLP ranged from 42 to 60 with and average 0f 52. Data obtained was analyzed by the NTSys program. From the AFLP amplification on 32 DNA samples, it was proven that the accession of Curcuma xanthorrhiza Roxb. had a high degree of diversity. Based on analysis of AFLP and unweighted pair group with arithme average (UPGMA) it was shown that the accession of Curcuma xanthorrhiza Roxb. could be grouped into two cluster at relative ecludian distance of 0.10 (10%). Cluster I for accession from Palembang, Pacitan and Ciamis 2. Cluster II for accession from Makale, Pontianak, Kulonprogo, Mataram, Boyolali, Salatiga, Sumberejo, Bali, P. Seram, Sentolo, Purworejo, Samas Bantul, Ciamis1, Blora, Semarang, Poso, Kalsel, Tagari, Merapi Farm, Salakaria, NTB, Menoreh, Karang Anyar, Mangunan, Medan, Toraja, dan Solok.

(4)

RINGKASAN

DINI DAMAYANTI. Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Dengan Menggunakan Penanda Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). Dibimbing oleh SUHARSONO dan TEUKU TAJUDDIN.

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang dikenal sebagai Java tumeric dan secara tradisional digunakan di negara-negara Asia Tenggara untuk makanan dan obat.

Tanaman Temulawak di Indonesia tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Temulawak yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia tersebut, secara morfologi sulit dibedakan. Metode biologi molekuler dapat digunakan untuk analisis keragaman, karena masing-masing individu memiliki urutan DNA yang berbeda (polimorfisme). Informasi urutan DNA dapat digunakan untuk mempelajari perbedaan genetik dan hubungan kekerabatan antara individu dan jenis organisme. Informasi keragaman genetik temulawak ini diperlukan untuk mendukung kegiatan konservasi temulawak.

Ada beberapa metode penanda DNA yang dapat digunakan untuk analisis keragaman genetik, diantaranya adalah AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism). AFLP dapat mendeteksi variasi dan keragaman genetika pada mahluk hidup pada tingkat antar individu, spesies, dan populasi berdasarkan kesamaan atau perbedaan pola pita.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Februari 2012 di Laboratorium Teknologi Gen, Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Serpong. Sampel Temulawak yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Profil pita DNA diterjemahkan kedalam data biner dengan ketentuan nilai 0 untuk tidak ada pita dan 1 untuk adanya pita DNA pada satu posisi yang sama dari aksesi yang dibandingkan. Kesamaan genetik dibuat dalam bentuk matrik dengan similarity for qualitative data (SIMQUAL), kemudian klastering dilakukan dengan sub program SAHN dengan metode Unweigth Pair Group Method with Arithmatic (UPGMA) program NTSYS-pc 2.02.

Pada penelitian ini PCR dengan 12 kombinasi primer menghasilkan rata-rata 52 fragmen DNA tiap kombinasi primer yang berukuran 18bp hingga 350bp. Total jumlah fragmen yang dihasilkan dalam amplifikasi tergantung pada jumlah dan komposisi nukleotida yang digunakan. Jumlah total fragmen teramplifikasi juga tergantung pada kompleksitas genom. Jumlah fragmen yang bersifat polimorfis tergantung pada variasi genetik antar sampel yang dianalisis. Polimorfisme yang dihasilkan tidak hanya dipengaruhi oleh kombinasi pasangan basa yang digunakan dan kompleksitas genom, tetapi juga dipengaruhi oleh penggunaan enzim restriksi.

(5)

Makale, Pontianak, Kulonprogo, Mataram, Boyolali, Salatiga, Sumberejo, Bali, P. Seram, Sentolo, Purworejo, Samas Bantul, Ciamis1, Blora, Semarang, Poso, Kalsel, Tagari, Merapi Farm, Salakaria, NTB, Menoreh, Karang Anyar, Mangunan, Medan, Toraja, dan Solok. Kelompok II yang beranggotan 27 aksesi, terbagi menjadi dua sub kelompok pada koefisien 0.16.

Pengelompokkan 32 aksesi temulawak berdasarkan karakter morfologi berkisar dari 0.17-1.00 atau 17-100%. Pengelompokan pada koefisien kemiripan 0.17 (17%) membentuk dua kelompok. Kelompok I terdiri dari aksesi temulawak asal Solok, Palembang, Purworejo, Sentolo, Medan, Salakaria, Pontianak, Makale, Ciamis 1, Karang Anyar, Boyolali, P. Seram. Kelompok II terdiri dari temulawak asal aksesi Ciamis 2, Kalisanta, Semarang, Blora, Pacitan, Merapi Farm, Sumberejo, Tagari, Salatiga, Samas Bantul, Bali, Kalsel, Argomulyo, NTB, Poso, Toraja, Mataram, Mangunan, Menoreh, dan Kulonprogo.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa klaster yang terbentuk dengan menggunakan data AFLP hasilnya berbeda dengan klaster yang terbentuk dengan menggunakan data morfologi. Penelitian menunjukkan bahwa kemiripan fenotip tidak menunjukkan kemiripan pada tingkat DNA.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian (BB-Biogen)

(7)

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TEMULAWAK (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA

AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (AFLP)

DINI DAMAYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dengan Menggunakan Penanda Amplified Fragment Lenght Polymorphism (AFLP)

Nama : Dini Damayanti

NIM : P051090111

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA. Dr. Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Bioteknologi

Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr.

(10)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah yang Maha Kuasa atas rahmah dan ridho-Nya

sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Karya ilmiah ini mengulas tentang

temulawak dengan judul Analisis keragaman genetik temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) dengan menggunakan penanda Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). Penelitian ini bagian dari Program Insentif Kemenristek dengan judul Identifikasi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) unggulan lokal sebagai tanaman obat asli Indonesia dengan metode sidik jari DNA.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA, dan Dr.

Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc, selaku komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan

membimbing penulis baik dalam proses penelitian maupun penulisan karya ilmiah

ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Sudarsono (Departemen

Agronomi dan Hortikultura IPB) dan Dr. Marlina Ardiyani (LIPI) atas waktu yang

telah diberikan untuk diskusi. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada

seluruh peneliti dan staf Laboratorium Teknologi Gen Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi Serpong (Pak Imam, mas Devit, mba Ana, mba Leha, Ibu

Rahma) atas bantuan dan ilmu yang telah diberikan.

Penulis juga mengucapkan terimakasih untuk keluarga tercinta, Ayah, Ibu,

Kakak dan Adikku tercinta atas kasih sayang, cinta, dukungan, dan doa yang tak

hentinya dicurahkan kepada penulis. Terimakasih kepada keponakan-keponakanku

tersayang atas keceriaannya. Terimakasih kepada teman-teman BTK 2009 atas segala

dukungan dan doanya. Terima kasih kepada sahabat-sahabat tercinta, Biologi UI

2000 yang telah memberikan semangat dan kecerian kepada penulis. Semoga karya

ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2012

(11)
(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang tanggal 24 Februari 1982 dari bapak Edi

Suhandi dan ibu Nani Sumarni. Penulis merupakan anak ketiga dari empat

bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan menengah umum tahun 2000

di SMA Negeri 70 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan

Tinggi (UMPTN) di Universitas Indonesia. Penulis diterima di Jurusan Biologi,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada tahun 2006. Sejak

tahun 2006, penulis mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Penulis mengampu mata kuliah Praktikum sistematika Tumbuhan. Pada tahun 2009

penulis mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) ... 4

Keragaman Genetik Temulawak ... 8

Keragaman Genetik dan Penanda Molekuler ... 9

Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) ... 10

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

Bahan ... 14

Metode ... 15

Isolasi DNA ... 15

Analisis AFLP ... 16

Pengamatan Morfologi ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Morfologi ... 19

Analisis Profil Pita AFLP ... 21

Analisis Klaster Aksesi Temulawak Berdasarkan AFLP ... 26

Analisis Klaster Aksesi Temulawak Berdasarkan Karakter Morfologi ... 28

SIMPULAN ... 31

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi rimpang temulawak ... 7

2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak ... 7

3 Komponen minyak temulawak ... 8

4 Aksesi temulawak yang digunakan ... 14

5 Kombinasi primer yang digunakan pada penelitian ... 15

6 Variasi warna pita ungu ibu tulang daun dan rimpang dari 32 aksesi temulawak ... 19

7 Jumlah pita hasil amplifikasi DNA dari 32 aksesi temulawak pada setiap kombinasi primer AFLP ... 23

8 Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan data AFLP pada koefisien 0.10 ... 26

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman dan bunga temulawak ... 5

2 Rimpang temulawak ... 6

3 Diagram alur AFLP ... 11

4 Variasi warna pita ungu tulang daun temulawak ... 20

5 Variasi warna rimpang temulawak ... 20

6 Profil DNA dari 32 aksesi temulawak hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer EAAC-MCTC ... 24

7 Profil DNA dari 32 aksesi temulawak hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer EAAC-MCAA ... 24

8 Kemiripan genetik antar 32 aksesi temulawak berdasarkan penanda AFLP menggunakan 12 kombinasi primer ... 26

9 Kemiripan genetik antar 32 aksesi temulawak berdasarkan karakter morfologi ... 29

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Alur penelitian ... 15

2 Komposisi ligasi dan digesti ... 17

3 Komposisi PCR untuk preamplifikasi ... 17

4 Komposisi PCR untuk amplifikasi ... 17

5 Aksesi temulawak yang digunakan pada penelitian ... 28

6 Profil DNA dari 32 aksesi temulawak hasil amplifikasi menggunakan pasang primer EAAC-MCTA ……….. 24

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang

dikenal sebagai Java tumeric dan secara tradisional digunakan di negara-negara Asia

Tenggara untuk makanan dan obat. Temulawak memiliki aroma khusus dan sedikit

rasa pahit. Rimpang temulawak ini digunakan sebagai bahan baku utama obat-obatan

karena mengandung minyak atsiri, resin, kurkumin, lemak, kamfer, serat kasar dan

kalsium klorida. Temulawak merupakan salah satu jenis tanaman obat dari famili

Zingiberaceae yang potensial untuk dikembangkan. Disamping memiliki prospek

pasar regional maupun internasional, tanaman ini juga menempati urutan pertama

sebagai tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri

obat tradisional, fitofarmaka, bahan makanan, minuman penyegar dan bahan

kosmetik.

Penelitian temulawak telah banyak dilakukan, baik di Indonesia maupun di

negara lain, mulai dari kandungan senyawa aktif hingga khasiatnya yang telah

terbukti secara empiris dan medis. Manfaat temulawak diantaranya adalah sebagai

sistem imunitas atau pertahanan tubuh (Hargono 1996), sebagai komponen pengatur

haid (Nurendah et al. 1996), untuk mengatasi keputihan, dan sebagai bahan kosmetika (Dzulkarnain & Wahjoedi 1996).

Tanaman Temulawak di Indonesia tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan,

Bali, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Tanaman dengan asal daerah yang

berbeda cenderung memiliki persentase kandungan metabolit (misal kurkumin,

demetoksikurkumin dan xanthorrhizol) yang berbeda pula (Tajuddin et al. 2008). Temulawak yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia tersebut, secara morfologi

sulit dibedakan. Menurut Istafid (2006), temulawak sulit dibedakan secara fenotipik,

sehingga karakterisasi dilakukan secara molekuler. Metode biologi molekuler dapat

digunakan untuk analisis keragaman, karena masing-masing individu memiliki urutan

(17)

mempelajari perbedaan genetik dan hubungan kekerabatan antara individu dan jenis

organisme (Weising et al. 2005).

Informasi keragaman genetik temulawak ini juga diperlukan untuk mendukung

kegiatan konservasi temulawak Indonesia (Poerba & Yuzammi 2008), untuk

melindungi plasma nutfah Indonesia khususnya tanaman obat temulawak. Menurut

Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, temulawak telah

ditentukan sebagai salah satu dari Sembilan tanaman unggulan Indonesia (Sembiring

et al. 2006).

Ada beberapa metode penanda DNA yang dapat digunakan untuk analisis

keragaman genetik, diantaranya adalah AFLP (Amplified Fragment Length

Polymorphism). Teknik AFLP merupakan salah satu teknik untuk membuat sidik jari DNA genom. Menurut Mueller dan Wolfenbarger (1999), AFLP dapat mendeteksi

variasi dan keragaman genetika pada mahluk hidup pada tingkat antar individu,

spesies, dan populasi berdasarkan kesamaan atau perbedaan pola pita. Prinsip dasar

teknik AFLP adalah mengamplifikasi secara selektif fragmen hasil pemotongan

dengan dua enzim restriksi. Polimorfisme dapat dideteksi dari perbedaan letak situs

pemotongan dua enzim restriksi (EcoRI dan MseI) dan komposisi basa pada primer selektif (Invitrogen 2003).

Teknik AFLP sangat efisien untuk identifikasi polimorfisme DNA karena

banyak fragmen restriksi yang dapat terdeteksi (Vos et al. 1995). Hasil AFLP berupa fragmen yang terseleksi, kurang lebih 50-100 fragmen per reaksi. Fragmen tersebut

dihasilkan dari pemotongan enzim restriksi yang diikuti ligasi adaptor dan amplifikasi

dari daerah yang diapit oleh adaptor.

Keunggulan teknik AFLP adalah dapat mendeteksi polimorfisme pada tanaman

tanpa memerlukan informasi urutan basa genom. Selain itu, teknik AFLP memiliki

tingkat reproducible yang tinggi berdasarkan amplifikasi selektif fragmen hasil pemotongan genom, yaitu bila diulang cenderung menghasilkan hasil yang sama

(Mueller & Wolfenbarger 1999). Teknik AFLP mampu menganalisis genom secara

menyeluruh sehingga menghasilkan informasi yang memadai untuk menganalisis

(18)

basa-basa yang diapit oleh primer selektif yang tersebar luas pada seluruh bagian

genom. Hasil pita polimorfis yang didapatkan relatif banyak. Salah satu kelemahan

dari teknik AFLP adalah pita yang didapatkan bukan menunjukkan alel atau lokus

tertentu.

Beberapa penelitian mengenai keragaman genetik temulawak telah dilakukan.

Penelitian Santiana (2010) menunjukkan bahwa berdasarkan sekuen daerah matK dan

intergenic spacer (IGS) trnS-trnfM temulawak yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia mempunyai keragaman genetik. Penelitian mengenai eksplorasi genetik

temulawak dengan metode AFLP juga telah dilakukan oleh Tajuddin et al. (2008). Hasil penelitian ini dapat memperkaya informasi keragaman genetik temulawak di

Indonesia.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keragaman genetik 32

aksesi temulawak yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia dengan

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

Curcuma xanthorrhiza atau temulawak berasal dari bahasa Yunani, xanthos yang berarti kuning dan rhizoa yang berarti umbi akar. Temulawak memiliki sebutan

atau nama lain dari beberapa daerah, antara lain koneng gede (Sunda), temo lobak

(Madura), temulawak (Jawa), dan temulawas (Malaysia). Tanaman temulawak

tersebar di Asia Selatan dan Asia Tenggara, hingga ke Cina. Di Indonesia, tanaman

temulawak ditemukan di Jawa, Ambon dan Bali.

Klasifikasi tanaman temulawak sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Division : Spermatophyta

Subdivision : Angiospermae

Class : Monocotyledonae

Family : Zingiberaceae

Subfamily : Zingiberoideae

Genus : Curcuma

Species : Curcuma xanthorrhiza Roxb.

Secara alami, temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan

terlindung dari sinar matahari. Di habitat alaminya, rumpun tanaman ini tumbuh

subur di bawah naungan pohon bambu dan jati. Meskipun demikian, temulawak juga

dapat tumbuh di tempat yang terik, seperti di tanah tegalan. Tanaman ini memiliki

daya adaptasi yang tinggi pada berbagai cuaca di daerah beriklim tropis (Afifah &

Lentera 2003).

Temulawak merupakan herba tahunan yang tumbuh tegak dengan tinggi lebih

kurang 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Tiap batang mempunyai 2 sampai

dengan 9 helai daun, berbentuk bundar memanjang sampai bangun lanset. Daun

berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap. Daun termasuk tipe daun

sempurna, yang tersusun dari pelepah daun, tangkai daun dan helai daun. Panjang

(20)

Pada bagian midrib daun terdapat warna ungu kehitaman selebar 10 mm, tetapi sering

tidak mencapai pangkal daun.

Gambar 1 Tanaman temulawak (a) dan bunga temulawak (b)

Temulawak memiliki tipe perbungaan lateral, tangkai ramping, berbulu,

diameter tangkai berkisar 10- 37 cm. Sisik berbentuk garis, berbulu halus, panjang

sisik berkisar 4-12 cm dan lebar 2-3 cm. Bentuk bulir bulat memanjang, panjang bulir

berkisar 9-23 cm dan lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak. Panjang daun

pelindung adalah melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bundar

telur sungsang sampai bangun jorong, berwarna merah, ungu atau putih dengan

sebagian dari ujungnya berwarna ungu. Bagian bawah daun pelindung berwarna hijau

muda atau keputihan, panjang 3-8 cm, dan lebar 1.5-3.5 cm. Kelopak bunga berwarna

putih berbulu dan panjang kelopak bunga 8-13 mm. Mahkota bunga berbentuk tabung

dengan panjang keseluruhan 4.5 cm. Tabung berwarna putih atau kekuningan dan

panjang 2-2.5 cm. Helaian bunga berbentuk bundar telur atau bundar memanjang,

berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah. Panjang helaian

bunga 1.25-2 cm dengan lebar 1 cm. Benang sari berwarna kuning muda, panjang

(21)

16 mm, dan lebar 10-15 mm. Panjang tangkai sari 3-4.5 mm dan lebar 2.5-4.5 mm.

Kepala sari berwarna putih, panjang 6 mm, tangkai putik panjang 3-7 mm.

Gambar 2 Rimpang temulawak

Akar rimpang temulawak terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat,

berwarna hijau gelap. Rimpang temulawak terdiri atas rimpang induk (empu) dan

rimpang anakan (cabang). Rimpang induknya berbentuk bulat seperti telur dan

berwarna kuning tua atau coklat kemerahan. Bagian dalamnya berwarna jingga

kecoklatan. Rimpang kedua yang lebih kecil keluar dari rimpang induk. Arah

pertumbuhannya ke samping, berwarna lebih muda dengan bentuk yang

bermacam-macam, jumlahnya sekitar 3-7 buah. Jika dibiarkan tumbuh lebih dari satu tahun,

akan tumbuh banyak rimpang lagi. Rimpang ini aromanya tajam dan rasanya pahit

agak pedas.

Umumnya tanaman temulawak tidak menghasilkan buah atau biji. Hal ini

diduga karena temulawak merupakan tanaman triploid dengan jumlah kromosom

yang besar 3n=63 sehingga menimbulkan banyak gangguan dalam proses meiosis.

Akibatnya terlihat pada ukuran dan bentuk serbuk sari yang sangat beragam.

Sebagian diantaranya adalah serbuk sari abortif yang berdinding sangat tipis dan

sangat mudah pecah dengan kesuburan sangat rendah (0-2%). Hal tersebut

menyebabkan temulawak berkembang biak secara vegetatif melalui pembentukan

tunas yang tumbuh dari mata tunas rimpang (Islam 2004).

Secara tradisional, temulawak telah banyak digunakan masyarakat antara lain

sebagai obat untuk mengatasi batu empedu, batu ginjal, demam, kolesterol tinggi,

(22)

temulawak yang dimanfatkan adalah rimpangnya. Rimpang temulawak mengandung

zat warna kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak. Suwiah (1991) menguraikan

komposisi rimpang kering temulawak dengan kadar air 10% yang ditunjukkan pada

Tabel 1. Kadar minyak atsiri rimpang temulawak dari berbagai sumber pustaka

ditunjukkan pada Tabel 2. Komponen minyak temulawak menurut Liang et al. (1985), Anang (1992), serta Dickes dan Nicholas (1976) dapat dilihat pada tabel 3.

Minyak atsiri yang terkandung dalam rimpang temulawak berpotensi sebagai

senyawa antioksidan, anti hepatotoksik, meningkatkan sekresi empedu,

antihipertensi, melarutkan kolesterol, mengeluarkan air susu (laktagoga), tonik bagi

ibu pasca-melahirkan, peluruh haid, anti bakteri, pewarna makanan dan kain, serta

bahan kosmetik. Xantorizol yang terkandung pada rimpang temulawak juga diketahui

telah digunakan dalam produk makanan dan pasta gigi untuk mencegah penyakit

pada gigi (Hwang 2008), sebagai antikanker dan antiinflamasi, memiliki aktivitas

sebagai anti fungi (Rukayadi 2006), dan sebagai anti depresi (Sidik 2008).

Tabel 1 Kompisisi rimpang temulawak

Komponen Persentase (%)

Pati

Lemak (fixed oil)

Kurkumin

Serat kasar

Abu

Protein

Minyak atsiri

27.62

5.38

1.93

6.89

3.96

6.44

10.96

Sumber: Suwiah (1991)

Tabel 2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak

(23)

Herman 1985

Nurdjanah et al. 1994

Liang et al. 1985

Sirait et al. (1985)

Rimpang temulawak berumur:

8 bulan

10 bulan

12 bulan

15 bulan

6-10

7.3-9.5

7-11

6.6

5.2

5.3

5.11

Tabel 3 Komponen minyak temulawak

(24)

- α-lumulena (25,2%)

- kamfan (21,9%)

- zerumbon (21,2%)

- α-kurkumen (0,8%)

- lumulen epolesi (4,6%)

-kamfor (4,2%) -α-pinena (3,4%) -borneol dan

α-terpineol (0,6%)

-eukaliptol (1,8%) -β-kariofilena (1,6%) -limonene (1,5%) -linaloal (0,9%) -3-karena (0,3%) -Lumulena dioksida

-β-pinena (0,6%)

1. trisiklin

2. α-pinena

3. kamfena

4. β-pinena

5. sabrinena

6. mirsena

7. felandrena

8. limonene

9. 1,8-sineol

10. δ-terpinena

11. β-simen

12. terpionlen

13. δ-elemena

14. kamfor

15. α-bergamolena

16. β-elemena

17. kariofilena

18. allo-aromadendren

19. trans-β-farnesena

20. berneol

21. gerwakrena D

22. zingibirena

23. β-bisabolen

24. β-kurkumena

*seskuiterpen

- β-kurkumena

- α-kurkumena

- 1-sikloisoprenmirsean

-zingibirena -xantorizol

-turunan bisabolen -epolisid-bisakuron -bisakuron A -bisakuron B -bisakuron C

*ketonseskuiterpena

- turmeron

- α-turmeron

- α-atlanton (0,3%)

- germakron

*monoterpena

- sineol

- d-borneol

- d-α-feladrena

(25)

25. β-kadinena

26. β-seekuifelandrena

27. ar-kurkumen

28. isofuranogermasen

29. turmeron

30. turmerol

31. ar-turmeron

32. xantorizol

Keragaman Genetik Temulawak

Tanaman temulawak di Indonesia tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan,

Bali, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Keragaman temulawak antar daerah

terlihat dari kandungan metabolit yang dihasilkan. Tanaman dengan asal daerah yang

berbeda cenderung memiliki persentase kandungan metabolit (kurkumin,

(26)

morfologi, keragaman terlihat pada rimpang temulawak. Karakter yang dapat diamati

meliput warna daging rimpang, berat bobot kering dan bobot basah rimpang, serta

bentuk rimpang induk.

Penelitian Rahayu (2010) terhadap 20 aksesi temulawak dari beberapa daerah

di Indonesia menghasilkan jumlah fragmen DNA yang berbeda untuk setiap daerah

asal temulawak. Rata-rata polimorfisme yang dihasilkan sebesar 95.1%. Besarnya

nilai polimorfisme menunjukkan tingginya keragaman genetik pada suatu jenis.

Keragaman Genetik dan Penanda Molekuler

Menurut Soerjanegara dan Djamhuri (1979), dalam satu populasi terdapat

beberapa keragaman yaitu keragaman geografis, keragaman lokal, dan keragaman

dalam pohon serta keragaman antar pohon. Keragaman tersebut disebabkan oleh dua

faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Keragaman lingkungan biasanya

disebabkan oleh keadaan tempat tumbuh, sifat tanah, atau jarak tanam. Keragaman

genetik disebabkan oleh perubahan pada struktur genetik pada suatu populasi.

Keragaman genetik merupakan perbedaan sekuen nukleotida dari suatu

organism dengan organism lainnya. Keragaman genetik terjadi karena adanya mutasi,

genetic drift, dan genetic flow (Halliburton 2004). Keragaman genetik bertambah ketika turunan suatu individu menerima kombinasi gen yang unik dari induk melalui

rekombinasi gen ketika terjadi reproduksi seksual.

Keragaman genetik dapat dilihat dengan menggunakan penanda molekular.

Deteksi keragaman genetik dapat berdasarkan adanya polimorfisme protein atau

DNA. Polimorfisme adalah perbedaan sekuen DNA pada suatu kromosom atau

individu. Polimorfisme DNA memiliki sekuen unik yang dapat digunakan untuk

mempelajari keragaman genetik dan hubungan kekerabatan antar organisme (Weising

et al. 1995).

Ciri penanda molekuler yang baik adalah memiliki tingkat polimorfisme yang

tinggi, penanda alel jelas, dan marka DNA terdistribusi dalam seluruh genom, dan

(27)

populasi adalah random amplified polymorphic DNA (RAPD), restriction fragment length polymorphism (RFLP), dan amplified fragment length polymorphism (AFLP) (Edward & Mogg 2001).

AmplifiedFragmentLengthPolymorphism (AFLP)

AFLP merupakan suatu teknik untuk membuat fingerprint DNA genom. AFLP merupakan salah satu sistem DNA fingerprinting yang bersifat multilokus dan dapat menghasilkan kapasitas fingerprinting yang besar (Vos et al. 1995). AFLP merupakan penanda ideal untuk mendeteksi adanya keragaman antar individu,

populasi dan jenis (Muller & Wolfenbarger 1999).

Prinsip dasar teknik AFLP adalah mengamplifikasi secara selektif fragmen

hasil pemotongan dengan dua enzim restriksi. Polimorfisme dapat dideteksi dari

perbedaan letak situs pemotongan dengan enzim restriksi (EcoRI dan MseI) dan komposisi basa pada primer selektif (Invitrogen 2003).

Prosedur AFLP terdiri dari beberapa tahap (Gambar 3) yang dimulai dengan

pemotongan DNA genom oleh sepasang enzim restriksi. Enzim restriksi yang

digunakan terdiri dari enzim dengan situs pengenalan jarang (rare cutter) dan situs pengenalan banyak (frequent cutter). Enzim rare cutter adalah enzim EcoRI dengan 6

basa pengenalan (G↓AATTC), sedangkan enzim frequent cutter adalah enzim MseI

dengan 4 basa pengenalan (T↓TAA). Tujuan penggunaan enzim rare cutter adalah

untuk membatasi jumlah fragmen yang akan diamplifikasi karena pemotongan

dengan enzim rare cutter menghasilkan jumlah fragmen yang lebih sedikit daripada

frequent cutter dan fragmen dari pemotongan dengan rare cutter berukuran lebih besar. Kemudian, enzim frequent cutter bertujuan memotong genom dengan ukuran lebih kecil sehingga mudah diamplifikasi dan berada pada kisaran ukuran yang

optimal untuk dijalankan pada elektroforesis gel poliakrilamid. Selain itu, menurut

Vos et al. 1995, organisme eukariot memiliki komposisi basa adenin dan timin yang lebih tinggi daripada basa guanin dan sitosin, sehingga untuk menganalisis genom

(28)

basa adenin dan timin yang lebih banyak agar polimorfisme yang dihasilkan lebih

rinci.

5’ GAATTC TTAA 3’ 3’ CTTAAG AATT 5’

AATTC T G AAT

AATTCN NTAA AATTCN NTAA

AATTCA GTTA TTAAAGT CAAT

AATTCAAC TTGTTA TTAAGTTG AACAAT

PCR

+ EcoRI,

MseI

+ adaptor EcoRI Adaptor MseI

Amplifikasi preselektif dengan primer EcoRI + A primer MseI + A

(29)

Gambar 3 Diagram alur AFLP

Hasil pemotongan dengan enzim restriksi tersebut kemudian diligasi dengan

adaptor yang sesuai hasil pemotongan. Adaptor terdiri dari sekuen inti adaptor dan

sekuen spesifik enzim. Sekuen spesifik enzim akan menggabungkan adaptor dengan

fragmen restriksi sehingga dihasilkan template atau cetakan bagi primer pada proses pre-amplifikasi dengan PCR (Vuylsteke et al. 2007). Reaksi preamplifikasi

menggunakan primer selektif dengan tambahan satu basa pada ujung 3’, sehingga

fragmen yang diamplifikasi hanya fragmen yang memiliki pasangan basa tersebut.

Reaksi selanjutnya adalah amplifikasi selektif dengan prinsip PCR dan menggunakan

primer selektif dengan tambahan tiga basa pada ujung 3’ sehingga fragmen yang

diamplifikasi hanya fragmen yang memiliki pasangan basa-basa tersebut (Invitrogen

2003).

Pada dasarnya proses amplifikasi DNA menggunakan mesin PCR mengikuti

pola sintesis DNA di dalam sel. Proses sintesis DNA diawali dengan pengudaran utas

ganda menjadi utas tunggal yang disebut denaturasi dan dilanjutkan dengan sintesis

utas baru menggunakan utas tunggal sebagai cetakan. Proses sintesis mempunyai arah

5’-3’, berarti polinukleotida baru ditambahkan pada karbon ketiga (C3) yang

mengandung OH pada nukleotida sebelumnya melalui ikatan 5-3 fosfodiester.

Amplifikasi DNA secara invitro menggunakan mesin PCR juga membutuhkan enzim

polymerase DNA, primer, basa nukleotida (dGTP, dCTP, dATP, dan dTTP), MgCl2,

dan buffer sebagai kofaktor enzim serta penambahan H2O bila diperlukan untuk

memperoleh volume total yang diinginkan.

Amplifikasi selektif menggunakan teknik touchdown PCR. Prinsip dasar

teknik touchdown PCR adalah menaikkan suhu annealing ± 3oC dari suhu melting primer pada awal siklus. Suhu annealing kemudian diturunkan 1oC setiap siklus,

kemudian siklus PCR berjalan tanpa penurunan suhu annealing jika sudah mencapai

suhu normal untuk primer yang digunakan. Fungsi touchdown PCR adalah

(30)

primer, dan sekuen target yang akan diamplifikasi tidak diketahui secara pasti

(Sambrook & Russel 2001).

Menurut Muller & Wolfenbarger (1999), AFLP memiliki beberapa kelebihan

antara lain efisien dalam hal waktu, replikasi dan resolusi lebih tinggi bila

dibandingkan dengan penanda lain seperti RAPD, mikrosatelit, dan RFLP. Selain itu,

dengan AFLP jumlah karakter yang diperoleh lebih banyak karena jumlah fragmen

yang dihasilkan lebih banyak, amplifikasi DNA dapat bersifat spesifik dan stabil.

AFLP seringkali digunakan untuk berbagai analisis molekuler seperti sistematika,

genetika populasi, DNA fingerprinting, dan Quantitatif Trait Loci (QTL) (Muller &

Wolfenbarger 1999).

Keeratinijakal et al. (2010) telah menggunakan AFLP untuk mendeteksi perbedaan genetik pada 97 aksesi tanaman Curcuma comosa Roxb. Antar aksesi Curcuma comosa Roxb. tersebut sulit dibedakan secara morfologi, sehingga

digunakan AFLP dengan 9 kombinasi primer untuk membedakan beberapa Curcuma

comosa Roxb. secara genetik. Pada tanaman tomat, marka molekuler yang terpaut dengan gen Cf-9 yaitu gen yang menentukan ketahanan terhadap patogen

(31)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 hingga Februari 2012 di

Laboratorium Teknologi Gen, Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologii (BPPT),

Serpong.

Bahan

Penelitian ini menggunakan bahan tanaman temulawak yang terdiri dari 32

[image:31.612.103.516.291.704.2]

aksesi (Tabel 4).

Tabel 4 Aksesi temulawak yang digunakan

No. Kode Aksesi Lokasi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. A B C D E F G H I J K L M N O Solok Medan Palembang Ciamis1 Ciamis2 Salakaria Kalisanta Karang Anyar Merapi Farm Semarang Salatiga Sumberejo Blora Mangunan Samas Bantul Padang,Sumatera Barat Sumatera Utara Sumatera Selatan

Ciamis, Jawa Barat

Ciamis, Jawa Barat

Ciamis, Jawa Barat

Ciamis, Jawa Barat

Karang Anyar, Jawa Barat

Jogjakarta

Semarang, Jawa Tengah

Salatiga, Jawa tengah

Sumberejo, Jawa Timur

Blora, Jawa Tengah

Jogjakarta

(32)

16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32 P Q R S T U V W X Y Z AA AB AC AD AE AF Tagari Boyolali Purworejo Kulonprogo Menoreh Sentolo Pacitan

Kebun Raya Bali

Kalsel Argomulyo Pontianak NTB Poso Toraja Mataram Makale P. Seram Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jogjakarta Jawa Timur Bali Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Barat

Nusa Tenggara Barat

Sulawesi Tengah

Sulawesi Selatan

Nusa Tenggara Barat

Sulawesi Selatan

Maluku

Primer yang digunakan untuk AFLP disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kombinasi primer yang digunakan pada penelitian

Kombinasi primer Kode

EcoRI+AAC – MseI+CTG EAAC-MCTG

EcoRI+AAC – MseI+CAA EAAC-MCAA

EcoRI+AAC – MseI+CTA EAAC-MCTA

(33)

EcoRI+AAC – MseI+CAG EAAC-MCAG

EcoRI+AAC – MseI+CAC EAAC-MCAC

EcoRI+ACA – MseI+CTG EACA-MCTG

EcoRI+ACA – MseI+CAA EACA-MCAA

EcoRI+ACA – MseI+CTA EACA-MCTA

EcoRI+ACA – MseI+CTC EACA-MCTC

EcoRI+ACA – MseI+CAG EACA-MCAG

EcoRI+ACA – MseI+CAC EACA-MCAC

Metode

Analisis keragaman pada penelitian ini terbagi ke dalam dua bagian yaitu

analisis keragaman berdasarkan AFLP dan analisis keragaman berdasarkan karakter

morfologi. Analisis AFLP dilakukan melalui beberapa tahap yaitu isolasi DNA dan

analisis AFLP. Tahapan analisis AFLP disajikan pada Lampiran 1.

Isolasi DNA

Isolasi DNA genom temulawak dilakukan dengan metode Sodium Dodesil

Sulfat (SDS) (Angeles et al. 2005) yang dimodifikasi. Untuk itu, sampel daun temulawak dicuci dengan ddH2O. Setelah itu, 0.2 g sampel daun dipotong hingga

kecil-kecil. Potongan kecil daun tersebut kemudian ditambahi dengan 0.05 g Poly

Vinyl Poly Pirolidon (PVPP). Campuran tersebut kemudian digerus hingga halus dan

dimasukkan ke dalam tabung. Selanjutnya, 2 ml buffer ekstrak (10% CTAB, 0.5 M EDTA, 1 M Tris-HCl, 5 M NaCl, akuades steril) dan 1% merkaptoetanol

ditambahkan ke dalam suspensi jaringan daun yang sudah digerus, kemudian

campuran tersebut diinkubasi pada suhu 65 oC selama 15 menit. Campuran tersebut

(34)

ditambahkan lagi ke dalam tabung hingga volume keseluruhan menjadi 6 ml. Setelah

itu, campuran tersebut ditambahi dengan SDS 20% sebanyak 6% volume (360 µ l),

kemudian di vortex. Selanjutnya, sampel dalam tabung falcon 15 ml diinkubasi pada

suhu 65 oC selama 1 jam. Sampel kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm

[Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] (selama 15 menit. Larutan yang jernih

(supernatan) diambil (± 2 ml), kemudian dipindahkan ke tabung falcon 15 ml yang baru. Larutan 5 M Kalium Asetat sebanyak 1/3 volume (670 µl) ditambahkan pada

supernatan. Campuran larutan tersebut dikocok dan kemudian diinkubasi selama 15

menit dalam freezer pada suhu -20 oC. Langkah berikutnya, tabung falcon 15 ml yang

mengandung sampel disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 8000 rpm

(Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy), lalu ditambahkan isopropanol sebanyak 2/3

volume sampel. Setelah itu, tabung diinkubasi pada suhu -20oC selama 1 malam.

Kemudian, sampel dalam tabung disentrifugasi kembali pada kecepatan 8000 rpm

[Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] selama 15 menit. Cairan dibuang,

endapannya ditambahi dengan 500 µl TE buffer (10 mM Tris-HCl, 1 mM EDTA).

Kontaminan RNA dalam sampel dihilangkan dengan penambahan enzim

RNAse sebanyak 1/100 volume sampel dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam.

Sampel tersebut kemudian ditambahi dengan larutan kloroform/isoamilalkohol (24:1)

sebanyak volume sampel. Larutan dihomogenkan dengan dibolak-balik secara

perlahan, lalu disentrifugasi pada kecepatan 11 000 rpm (Beckman J2-HS, KUBOTA

& Tommy) selama 10 menit. Cairan yang berada di lapisan atas kemudian

dipindahkan ke tabung Eppendorf 1,5 ml yang baru. Sampel kemudian ditambahi dengan isopropanol sebanyak volume sampel dan selanjutnya diinkubasi selama 1

jam pada suhu -20 oC. Setelah itu, sampel disentrifugasi kembali pada kecepatan 11

000 rpm [Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] selama 10 menit. Endapan

kemudian dikeringkan, lalu ditambahi dengan 25 µl TE buffer (10 mM Tris-HCl, 1 mM EDTA). Hasil isolasi DNA dianalisis kualitasnya dengan elektroforesis di gel

agarosa 0.8% dan disimpan pada suhu -20 oC dan digunakan sebagai bahan untuk

tahap selanjutnya.

(35)

Genom DNA sebanyak 50 ng dipotong dengan sepasang enzim restriksi

(EcoR I dan Mse I). Adaptor EcoR I, Mse I dan 1 unit T4 DNA ligase kemudian

ditambahkan ke dalam reaksi pada suhu 37 oC selama 2 jam dan dilanjutkan dengan

suhu 65 oC selama 20 menit. Komposisi pemotongan dan ligasi DNA disajikan pada

Lampiran 2. Hasil ligasi diencerkan 1:10, kemudian dipakai sebagai cetakan untuk

Pre-Amplifikasi. Reaksi Pre-Amplifikasi terdiri dari 3 µl DNA hasil ligasi, 2.5 µl Taq

buffer, 1 U Taq DNA pol, 25 mM MgCl2, 25 mM dNTPs, 10 pmol primer Mse-C, 10 pmol primer Eco-A dan H2O steril. Komposisi PCR untuk pre-amplifikasi disajikan

pada Lampiran 3. Amplifikasi dilakukan menggunakan thermocycle dengan tahapan

program sebagai berikut: 72 oC selama 2 menit, 94 oC selama 30 detik, 56 oC selama

30 detik, 72 oC selama 2 menit, kembali dari tahap 94 oC selama 29 kali, dan 60 oC

selama 10 menit.

Setelah diamplifikasi, hasil PCR diencerkan 1:10, kemudian diamplikasi

selektif menggunakan 12 kombinasi primer (Tabel 5). Campuran PCR terdiri dari 5

µl hasil preamplifikasi, 2,5 µl Taq buffer (10 x), 0.04 U Ampli Taq gold, 25mM MgCl2, primer selektif masing-masing 10 pmol Mse I dan EcoR I, dan H2O steril

sampai volume 25 µl. Campuran kemudian dicampur secara perlahan dan

disentrifugasi singkat untuk menurunkan seluruh cairan di dalam tabung. Amplifikasi

dilakukan dengan menggunakan PCR. Program yang digunakan adalah sebagai

berikut: denaturasi pra-PCR 94 oC selama 2 menit, diikuti dengan denaturasi pada 94 o

C selama 30 detik, annealing 65 oC selama 30 detik dan extending 72 oC selama 2

menit. Tahap berikutnya adalah suhu annealing diturunkan 0,7 oC selama 12 siklus dan 23 siklus berikutnya PCR dilakukan dengan suhu 94 oC selama 30 detik, suhu 56

o

C selama 30 detik, dan suhu 72 oC selama 60 detik dan diakhiri dengan suhu 4 oC.

Pemisahan pita-pita hasil amplifikasi dilakukan dengan menggunakan alat Agilent

2100 Bionalyzer. Komposisi PCR untuk amplifikasi selektif disajikan pada Lampiran

4.

Profil pita DNA diterjemahkan ke dalam data biner dengan ketentuan nilai 0

untuk tidak ada pita dan 1 untuk adanya pita DNA pada satu posisi yang sama dari

(36)

similarity for qualitative data (SIMQUAL), kemudian klastering dilakukan dengan sub program SAHN dengan metode Unweigth Pair Group Method with Arithmatic (UPGMA) program NTSYS-pc 2.02 (Rohlf 1998), menggunakan koefisien

kemiripan DICE.

Pengamatan Karakter Morfologi

Karakter morfologi yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pita ungu ibu tulang daun

Pengamatan pita ungu pada ibu tulang daun dilakukan pada daun ke-3 dari

atas yang terdiri dari yang sangat jelas jika > 75% ibu tulang daun tertutup pita ungu,

jelas jika antara 50% hingga 75% ibu tulang daun tertutup pita ungu, kurang jelas

jika 25% hingga 50% ibu tulang daun tertutup pita ungu dan tidak jelas jika tidak

terdapat pita ungu pada ibu tulang daun.

2. Warna daging rimpang.

Pengamatan warna daging rimpang dilakukan saat panen dan dilakukan

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakter Morfologi

Hasil pengamatan karakter kualitatif berupa morfologi bentuk daun, bentuk

pangkal daun, bentuk ujung daun dan pertulangan daun pada 32 aksesi tanaman

temulawak yang ditanam pada kebun koleksi BPPT Serpong, menunjukkan tidak

terdapat perbedaan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bentuk daun adalah

oblong lanceolate, bentuk pangkal daun adalah meruncing, bentuk ujung daun adalah

meruncing, dan pertulangan daun adalah menyirip. Perbedaan terletak pada warna

pita ungu tulang daun. Oleh sebab itu pengamatan karakter vegetatif terhadap 32

aksesi temulawak dilakukan terhadap warna pita ungu ibu tulang daun dan warna

rimpang. Hasil pengamatan warna pita ungu tulang daun dan warna rimpang dari 32

aksesi temulawak disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Variasi warna pita ungu ibu tulang daun dan rimpang dari 32 aksesi temulawak

No. Kode Aksesi Warna tulang daun Warna rimpang

[image:37.612.99.521.382.705.2]
(38)

13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32 M N O P Q R S T U V W X Y Z AA AB AC AD AE AF Blora Mangunan Samas Bantul Tagari Boyolali Purworejo Kulonprogo Menoreh Sentolo Pacitan Bali Kalsel Argomulyo Pontianak NTB Poso Toraja Mataram Makale P. Seram Ungu muda Tidak ungu Tidak ungu Ungu muda Ungu tua Tidak ungu Ungu muda Tidak ungu Tidak ungu Ungu muda Tidak ungu Tidak ungu Tidak ungu Tidak ungu Tidak ungu Tidak ungu Tidak ungu Tidak ungu Ungu muda Ungu tua Jingga muda Kuning keputihan Kuning Kuning Jingga Jingga Kuning keputihan Kuning keputihan Jingga Jingga muda Kuning Kuning Kuning Jingga Kuning Kuning Kuning Kuning Jingga Kuning

Pengamatan terhadap karakter morfologi memperlihatkan bahwa dari 32

aksesi tanaman temulawak terdapat tiga variasi warna ungu pita ungu ibu tulang

daun, yaitu sangat jelas, jelas dan kurang jelas (Gambar 4). Pengamatan terhadap

(39)

empat variasi warna rimpang, yaitu jingga tua, jingga, kuning dan kuning keputihan

[image:39.612.241.392.141.348.2]

(Gambar 5).

Gambar 4 Variasi warna pita ungu ibu tulang daun temulawak, (a) sangat jelas, (b) jelas, dan (c) kurang jelas

Gambar 5 Variasi warna rimpang, (a) jingga tua (b) jingga (c) kuning (d) kuning

keputihan

Warna ungu pita ibu tulang daun dan warna rimpang merupakan variasi yang

sering ditemukan dalam temulawak. Perbedaan lingkungan tanam diduga

menimbulkan keragaman alami temulawak, walaupun tanaman ini membiak secara

vegetatif. Petunjuk adanya keragaman semacam itu pertama kali dikemukakan oleh

Prana (1985) yang menyatakan bahwa rasa dan aroma temulawak yang diambil dari

populasi “liar” tidak selalu sama dengan yang bersumber dari populasi budidaya.

d c

a b

(40)

Analisis Profil Pita AFLP

DNA genom dari 32 aksesi temulawak yang berkualitas tinggi sangat

dibutuhkan untuk analisis AFLP (Vos et al. 1995), karena DNA yang utuh dan murni

dapat memudahkan enzim endonuklease restriksi (RE) bekerja memotong DNA

sesuai dengan sisi pengenalannya (Nathans & Smith 1975). Hal ini sangat penting

karena salah satu kriteria analisis menggunakan penanda AFLP ialah persamaan dan

perbedaan situs pengenalan enzim RE yang dapat menghasilkan ukuran fragmen

DNA yang berbeda antara 50-100 pita DNA (Vos et al. 1995). Teknik AFLP dapat mendeteksi polimorfisme pada aksesi temulawak dengan menganalisis seluruh

genom. Menurut Omoto dan Lurquin (2004), polimorfisme pada AFLP dideteksi

dengan adanya perbedaan ukuran fragmen DNA. Polimorfisme yang dihasilkan

menunjukkan adanya perbedaan letak penanda AFLP (urutan basa pengenalan enzim

restriksi EcoRI dan MseI dan primer selektif) sehingga dapat diperoleh informasi perbedaan genetik pada setiap sampel. Perbedaan ukuran fragmen DNA

menghasilkan suatu pola pita DNA tertentu.

Teknik AFLP diawali dengan memotong genom temulawak dengan enzim

EcoRI dan MseI. Enzim EcoRI memiliki pengenalan sekuen 5’-G↓AATTC-3’ dan memotong antara basa Guanin (G) dan Adenin (A). Enzim MseI memiliki pengenalan

sekuen 5’-T↓TAA-3’ dan memotong antara timin (T) dan timin (T). Penggunaan

enzim EcoRI dan MseI bertujuan memperoleh polimorfisme yang lebih rinci, karena

kedua enzim tersebut lebih banyak tersusun atas basa adenin dan timin dibanding

guanin dan sitosin (Vos et al 1995).

Fragmen hasil pemotongan kemudian diligasi dengan adaptor. Adaptor

merupakan DNA untai ganda yang memiliki panjang sekitar 20 bp. Terdapat dua

jenis adaptor yaitu adaptor untuk ujung pemotongan EcoRI dengan kelebihan basa

AATT pada ujung 5’ dan ujung pemotongan MseI dengan kelebihan basa TA pada

ujung 5’. Proses ligasi dilakukan dengan bantuan enzim T4 DNA ligase yaitu membentuk ikatan fosfodiester antara ujung 5’ (ujung fosfat) dan ujung 3’ (ujung

OH) pada untai DNA (Struhl 1993). Adaptor berfungsi menyamakan dua ujung

(41)

amplifikasi selanjutnya. Hasil positif ligasi dapat dilihat pada akhir proses AFLP

karena urutan basa pada adaptor berkomplemen dengan urutan basa pada primer

sehingga bila proses ligasi gagal maka proses amplifikasi tidak akan berjalan.

Fragmen hasil ligasi kemudian diamplifikasi dengan teknik PCR. Amplifikasi

pada AFLP dibagi menjadi dua tahap yaitu preamplifikasi dan amplifikasi selektif.

Preamplifikasi dilakukan dengan primer selektif yang memiliki satu tambahan basa A

pada primer EcoRI (E-A) dan basa C pada primer MseI (M-C). Menurut Vos et al 1995, preamplifikasi bertujuan mengurangi kompleksitas fragmen hasil digesti

sehingga tidak terjadi kesalahan penempelan primer pada amplifikasi selektif.

Amplifikasi selektif dilakukan dengan primer selektif yang memiliki

tambahan 3 basa pada ujung 3’. Primer selektif adalah primer yang berfungsi

menyeleksi fragmen hasil digesti dengan adanya basa-basa selektif pada ujung 3’.

Terdapat 6 jenis primer selektif yang digunakan pada ujung potongan EcoRI dan 6 jenis primer pada ujung potongan MseI. Kombinasi 12 pasang primer selektif dapat dilihat pada Tabel 5.

Kombinasi primer digunakan untuk melihat polimorfisme (pola pita) secara

lengkap. Masing-masing primer memiliki komposisi basa-basa primer selektif.

Basa-basa selektif pada primer melekat pada fragmen hasil digesti yang memiliki Basa-basa-Basa-basa

berkomplemen. Perbedaan basa-basa selektif pada setiap primer mengakibatkan

perbedaan amplifikasi fragmen sehingga menghasilkan perbedaan pita berdasarkan

ukuran pita yang dihasilkan dari masing-masing aksesi. Amplifikasi DNA 32 aksesi

temulawak dengan 12 kombinasi primer menghasilkan jumlah pita yang terlihat pada

Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah pita hasil amplifikasi DNA dari 32 aksesi temulawak paada setiap

kombinasi primer AFLP

Kombinasi primer Rata-rata jumlah pita hasil

amplifikasi

EAAC-MCTG 55

(42)

EAAC-MCTA 51

EAAC-MCTC 53

EAAC-MCAG 55

EAAC-MCAC 60

EACA-MCTG 51

EACA-MCAA 50

EACA-MCTA 42

EACA-MCTC 50

EACA-MCAG 47

EACA-MCAC

Jumlah

54

621

Rata-rata 52

Pada penelitian ini PCR terhadap 32 aksesi temulawak dengan 12 kombinasi

primer menghasilkan rata-rata 52 fragmen DNA tiap kombinasi primer yang

berukuran 18bp hingga 350bp (Tabel 7). Sesuai yang dikemukakan Myburg et al. 2001, bahwa total jumlah fragmen yang dihasilkan dalam amplifikasi tergantung pada

jumlah dan komposisi nukleotida yang digunakan. Jumlah total fragmen

teramplifikasi juga tergantung pada kompleksitas genom. Jumlah fragmen yang

bersifat polimorfis tergantung pada variasi genetik antar sampel yang dianalisis.

Polimorfisme yang dihasilkan tidak hanya dipengaruhi oleh kombinasi pasangan basa

yang digunakan dan kompleksitas genom, tetapi juga dipengaruhi oleh penggunaan

enzim restriksi (Bonin et al. 2005).

Banyaknya fragmen DNA yang terbentuk menunjukkan bahwa primer yang

digunakan bersifat multilokus. Kemampuan suatu primer dalam mengungkap

keragaman genetik, ditunjukkan oleh banyaknya fragmen DNA polimorfis yang

(43)

perbedaan jumlah molekul. Tingkat polimorfisme dipengaruhi oleh substitusi basa,

delesi dan insersi pada situs penempelan primer, situs enzim restriksi atau perubahan

ukuran fragmen restriksi dan hasil amplifikasi (Spooner et al. 2005).

Hasil amplifikasi DNA dengan PCR menggunakan kombinasi primer

EAAC-MCTC dan EAAC-MCTG disajikan pada Gambar 6 dan 7. Pengamatan terhadap pola

pita yang dihasilkan setiap jenis kombinasi primer menghasilkan pita DNA yang

berbeda. Jumlah pita yang dihasilkan sangat bergantung pada komplementasi

terhadap DNA cetakan. Semakin banyak situs penempelan dari primer yang

digunakan, semakin banyak jumlah pita DNA yang dihasilkan. Hasil PCR pada 32

aksesi temulawak dengan primer EAAC-MCAG dan EAAC-MCTA disajikan secara

berturut-turut pada Lampiran 6 dan 7.

Gambar 6 Profil DNA dari 32 aksesi temulawak, hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer EAAC-MCTC. M=Ladder 1kb, A-AF= aksesi temulawak (sesuai dengan kode pada tabel 4)

(bp)

1500 1000 700

500

400

300

200 150

100 50 15

(bp) 1500 1000 700

500

400

300

200

150 100

50 15

[image:43.612.95.539.33.766.2]
(44)

Gambar 7 Profil DNA dari 32 aksesi temulawak, hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer EAAC-MCAA. M=Ladder 1kb, A-AF= aksesi temulawak (sesuai dengan kode pada tabel 4)

Perbedaan komposisi basa pada primer menghasilkan perbedaan fragmen

yang teramplifikasi. Perbedaan fragmen tersebut kemudian dibedakan berdasarkan

ukuran. Berdasarkan hasil pola pita yang diperoleh oleh setiap primer, tidak ada pola

pita yang identik antar aksesi temulawak sehinga setiap primer menghasilkan pola

pita yang unik untuk tiap aksesi. Menurut Loh et al. (2000), setiap pasangan primer

mampu menghasilkan pola pita yang spesifik untuk setiap sampel sehingga

digunakan sebagai identitas sampel. Perbedaan pola pita dapat menggambarkan

perbedaan genetik pada setiap aksesi temulawak.

Analisis Klaster Aksesi Temulawak Berdasarkan AFLP

Berdasarkan profil pita DNA setelah diinterpretasi dan diterjemahkan ke

dalam data biner, analisis klaster terhadap 32 aksesi temulawak yang didasarkan pada

AFLP dengan menggunakan 12 kombinasi primer disajikan pada Gambar 8. Ke 32

aksesi mempunyai kemiripan yang relatif rendah yaitu antara 7-57%. Hal ini

menunjukkan bahwa ke 32 aksesi temulawak memiliki keragaman genetik yang

tinggi yaitu 43-93%. Beberapa studi menunjukkan bahwa dalam satu populasi alami

[image:44.612.113.540.95.294.2]
(45)

genetik. Autosegregasi, mutasi somatik, dan instabilitas genetik diduga berperan

sebagai sumber variasi individu dalam populasi alami.

Pengelompokkan 32 aksesi temulawak pada tingkat kemiripan 0.10 (10%)

membentuk dua kelompok. Kelompok I terdiri dari 5 akesi, yaitu temulawak asal

Palembang, Pacitan, Kalisanta, Argomulyo dan Ciamis2. Kelompok I terbagi lagi

menjadi dua sub kelompok. Kelompok II terdiri dari 27 aksesi, yaitu temulawak asal

Makale, Pontianak, Kulonprogo, Mataram, Boyolali, Salatiga, Sumberejo, Bali, P.

Seram, Sentolo, Purworejo, Samas Bantul, Ciamis1, Blora, Semarang, Poso, Kalsesl,

Tagari, Merapi Farm, Salakaria, NTB, Menoreh, Karang Anyar, Mangunan, Medan,

Toraja, dan Solok. Kelompok II yang beranggotan 27 aksesi, terbagi menjadi dua sub

(46)

koefisien kemiripan DICE

0.07 0.12 0.18 0.23 0.29 0.35 0.40 0.46 0.51 0.57

[image:46.612.106.551.90.530.2]

Solok Toraja Medan Mangunan KarangAnyar Menoreh NTB Salakaria MerapiFarm Tagari Kalsel Poso Semarang Blora Ciamis1 SamasBantul Purworejo Sentolo Pseram Bali Sumberejo Salatiga Boyolali Mataram Kulonprogo Pontianak Makale PLMB Pacitan Cimis2 Kalisanta Argomulyo

Gambar 8 Kemiripan genetik antar 32 aksesi temulawak berdasarkan penanda AFLP menggunakan 12 kombinasi primer.

Tabel 8 Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan data AFLP pada koefisien 0.10 Kelompok Utama Sub Kelompok Aksesi

I A

B

Ciamis2, Kalisanta, Argomulyo

PLMB, Pacitan II I B A C D

0.07 0.12 0.18 0.23 0.29 0.35 0.40 0.46 0.51 0.57 Solok Toraja Medan Mangunan Karang Anyar Menoreh NTB Sakaria Merapi Farm Tagari Kalsel Poso Semarang Blora Ciamis1 Samas Bantul Purworejo Sentolo P. Seram Bali Sumberejo Salatiga Boyolali Mataram Kulonprogo Pontianak Makale PLMB Pacitan Ciamis2 Kalisanta Argomulyo

(47)

II C

D

Makale, Pontianak, Kulonprogo, Mataram, Boyolali, Salatiga, Sumberejo, Bali, P. Seram, Sentolo,

Purworejo, Samas Bantul, Blora, Ciamis1,

Semarang, Poso, Kalsel, Tagari, Merapi Farm,

Salakaria, NTB, Menoreh, Karang Anyar,

Mangunan, Medan

Solok, Toraja

Fenomena yang menarik dari hasil pengelompokkan tersebut adalah

mengelompoknya individu dari lokasi yang berlainan ke dalam satu kelompok.

Seperti halnya yang terlihat pada Kelompok I, kelompok ini memiliki anggota

temulawak yang berasal dari Palembang, Pacitan, Kalisanta, Argomulyo dan Ciamis.

Hal ini kemungkinan terjadi karena temulawak yang ada di Palembang berasal dari

Pulau Jawa. Selain itu, menurut Karuniawan et al. (2008), bahwa populasi dari habitat yang sama belum tentu memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Di habitat

yang sama sering terdapat juga genotip-genotip yang berbeda asalnya. Hal tersebut

dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau adanya interaksi antara genotip dengan

lingkungan.

Rendahnya nilai kemiripan genetik berdasarkan data AFLP, menunjukkan

bahwa pada penelitian ini terdapat variasi genetik yang tinggi diantara aksesi

temulawak yang diamati. Keragaman genetik suatu populasi disebabkan karena

adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen dari satu tempat ke tempat lainnya.

Selain itu, analisis AFLP adalah sangat sensitif sehingga perbedaan kualitas DNA

sangat berpengaruh terhadap pola pita yang dihasilkan. Perbedaan kualitas DNA

dapat disebabkan oleh perbedaan metode isolasi. Untuk menghindari perbedaan pola

pita AFLP yang disebabkan oleh perbedaan kualitas DNA, maka AFLP sebaiknya

dilakukan lebih dari satu kali dengan menggunakan DNA yang diisolasi lebih dari

satu kali sampai mendapatkan pola pita yang konsisten untuk setiap aksesi.

Temulawak umumnya tidak membentuk buah atau biji, karena temulawak

(48)

(2n=3x=63). Hal ini menyebabkan temulawak berkembang biak secara vegetatif

melalui rimpang. Oleh karena persilangan seksual pada temulawak ini sangat jarang

terjadi maka keragaman yang terdapat diantara 32 aksesi kemungkinan disebabkan

oleh mutasi. Keragaman genetik yang disebabkan oleh mutasi dapat terjadi meliputi

substitusi, inversi, translokasi dan delesi. Perubahan pada tingkat DNA tersebut dapat

terdeteksi secara molekuler, sehingga menimbulkan keragaman pada tingkat DNA

(Transkley 1995). Perubahan pada tingkat gen akan menyebabkan terjadinya

perubahan pada kodon-kodon mRNA yang akhirnya menyebabkan perubahan

metabolisme serta fenotipe tanaman. Besarnya perubahan yang terjadi sangat

tergantung pada peranan asam amino yang berubah tersebut dalam menentukan

struktur akhir protein (Jusuf 2001).

Analisis Klaster Aksesi Temulawak Berdasarkan Karakter Morfologi

Berdasarkan karakter morfologi yang teramati pada penelitian ini ke 32 aksesi

temulawak mempunyai kemiripan genetik berkisar dari 0.17-1.00 atau 17-100% atau

keragaman genetik yang relatif rendah yaitu 0-83%. Pengelompokan 32 aksesi

temulawak berdasarkan karakter morfologi yang teramati, pada koefisien kemiripan

0.17 (17%) membentuk dua kelompok (Gambar 9, Tabel 9). Kelompok I terdiri dari

aksesi temulawak asal Solok, Palembang, Purworejo, Sentolo, Medan, Salakaria,

Pontianak, Makale, Ciamis 1, Karang Anyar, Boyolali, P. Seram. Kelompok II terdiri

dari temulawak asal aksesi Ciamis 2, Kalisanta, Semarang, Blora, Pacitan, Merapi

Farm, Sumberejo, Tagari, Salatiga, Samas Bantul, Bali, Kalsel, Argomulyo, NTB,

Poso, Toraja, Mataram, Mangunan, Menoreh, dan Kulonprogo.

Berdasarkan kemiripan 100%, ke 32 aksesi temulawak mengelompok menjadi

10 kelompok. Dari analisis klaster (Gambar 8), terlihat ada beberapa aksesi

temulawak yang memiliki kemiripan sangat dekat (100%). Hal ini menunjukkan

secara morfologi, aksesi temulawak yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai

kemiripan genetik yang tinggi (17-100%). Morfologi beberapa aksesi temulawak

(49)

Tabel 9 Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan karakter morfologi pada koefisien 0.17

Kelompok Utama

Sub Kelompok

Aksesi

I A Solok, Palembang, Purworejo, Sentolo, Medan,

Salakaria, Pontianak, Makale, Ciamis 1, Karang Anyar, Boyolali, P. Seram

II B

C

Ciamis 2, Kalisanta, Semarang, Blora, Pacitan, Merapi Farm, Sumberejo, Tagari, Salatiga, Samas Bantul, Bali, Kalsel, Argomulyo, NTB, Poso, Toraja, Mataram

[image:49.612.92.521.73.756.2]
(50)

koefisien kemiripan DICE

0.17 0.26 0.35 0.44 0.54 0.63 0.72 0.81 0.91 1.00

Solok

PLMB

Purworejo

Sentolo

Medan

Salakaria

Pontianak

Makale

Ciamis1

KarangAnyar

Boyolali

Pseram

Cimis2

Kalisanta

Semarang

Blora

Pacitan

MerapiFarm

Sumberejo

Tagari

Salatiga

SamasBantul

Bali

Kalsel

Argomulyo

NTB

Poso

Toraja

Mataram

Mangunan

Menoreh

Kulonprogo

Gambar 9 Kemiripan genetik antar 32 aksesi temulawak berdasarkan karakter morfologi.

Klaster yang terbentuk dengan menggunakan data AFLP hasilnya berbeda

dengan klaster yang terbentuk dengan menggunakan data morfologi. Analisis

kemiripan berdasarkan AFLP menunjukkan bahwa tidak ada satupun aksesi yang

mempunyai kemiripan 100% dengan aksesi lain, sedangkan berdasarkan karakter

morfologi, beberapa aksesi mempunya kemiripan 100%. Beberapa aksesi yang

mempunyai karakter morfologi warna ungu pita tulang daun dan warna rimpang yang I II A B C Solok PLMB Purworejo Sentolo Medan Salakaria Pontianak Makale Ciamis1 Karang Anyar Boyolali P. Seram Ciamis2 Kalisanta Semarang Blora Pacitan Merapi Farm Sumberejo Tagari Samas Bantul Bali Kalsel Argomulyo NTB Poso Toraja Mataram Mangunan Menoreh Kulonproogo

0.17 0.28 0.35 0.44 0.54 0.63 0.72 0.81 0.91 1.00

[image:50.612.97.559.89.528.2]
(51)

sama mempunyai profil AFLP yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan bahwa

kemiripan fenotip tidak menunjukkan kemiripan pada tingkat DNA.

Perbedaan pengelompokkan dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah karakter

yang diamati. Semakin banyak karakter yang diamati maka hasil pengelompokkannya

menjadi semakin bagus. Pada penelitian ini pengelompokkan yang didasarkan pada

AFLP melibatkan 12 pasang primer yang menghasilkan pola pita yang sangat

beragam antar 32 aksesi. Walaupun menghasilkan keragaman yang tinggi, analisis

AFLP pada penelitian ini mempunyai kelemahan karena hanya dilakukan satu kali

sehingga pola pita yang dihasilkan belum dikonfirmasi.

Pengelompokkan yang didasarkan pada karakter morfologi pada penelitian ini

relatif kasar karena karakter yang diamati masih sangat terbatas, hanya dua karakter,

yaitu warna ungu pita tulang daun dan warna rimpang. Untuk meningkatkan

ketelitian dalam pengelompokkan, maka karakter morfologi yang diamati harus

(52)

SIMPULAN

1. Berdasarkan data AFLP, ke 32 aksesi temulawak mempunyai keragaman yang

tinggi yaitu berkisar 43-93%. Pengelompokan yang berdasarkan pada kemiripan

10% pada AFLP, ke 32 aksesi terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok I terdiri

dari temulawak asal Palembang, Pacitan dan Ciamis dan kelompok II terdiri dari

temulawak asal Makale, Pontianak, Kulonprogo, Mataram, Boyolali, Salatiga,

Sumberejo, Bali, P. Seram, Sentolo, Purworejo, Samas Bantul, Ciamis1, Blora,

Semarang, Poso, Kalsesl, Tagrai, Merapi Farm, Salakaria, NTB, Menoreh,

Karang Anyar, Mangunan, Medan, Toraja, dan Solok.

2. Berdasarkan karakter morfologi ke 32 aksesi temulawak mempunyai keragaman

berkisar 0-83%. Beberapa aksesi temulawak mempunyai karakter morfologi

warna pita ungu ibu tulang daun dan warna rimpang yang sama. Pada koefisien

kemiripan 0.17 (17%) ke 32 aksesi temulawak membentuk dua kelompok.

Kelompok I terdiri dari aksesi temulawak asal Solok, Palembang, Purworejo,

Sentolo, Medan, Salakaria, Pontianak, Makale, Ciamis 1, Karang Anyar,

Boyolali, P. Seram. Kelompok II terdiri dari temulawak asal aksesi Ciamis 2,

Kalisanta, Semarang, Blora, Pacitan, Merapi Farm, Sumberejo, Tagari, Salatiga,

Samas Bantul, Bali, Kalsel, Argomulyo, NTB, Poso, Toraja, Mataram,

Mangunan, Menoreh, dan Kulonprogo.

3. Klaster yang terbentuk dengan menggunakan data AFLP hasilnya berbeda dengan

klaster yang terbentuk dengan menggunakan data morfologi. Penelitian

menunjukkan bahwa kemiripan fenotip tidak menunjukkan kemiripan pada

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, E dan Tim Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak. Rimpang

Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Angeles JGC, Laurena AC, Tecson-Mendoza EM. 2005. Extraction of genomic DNA

from the lipid, polysaccharide, and polyphenol-free sugarcane DNA. Plant Mol

Biol Rep 17: 1-8.

Bonin AF, Pompanon F, Taberlet P. 2005. Use of Amplified Fragment Length

Polymorphism (AFLP) markers in surveys of vertebrata diversity. Methods Enzimol 395:145-161.

Dickes GJ, PV Nicholas. 1976. Gas chromatography in food analysis. London:

Verlay Butterworth.

Dzulkarnain B, Wahjoedi B. 1996. Informasi ilmiah kegunaan kosmetika tradisional.

Cermin Dunia Kedokteran 108: 21-

Gambar

Gambar 1 Tanaman temulawak (a) dan bunga temulawak (b)
Tabel 1. Kadar minyak atsiri rimpang temulawak dari berbagai sumber pustaka
Tabel 4 Aksesi temulawak yang digunakan
Tabel 6 Variasi warna pita ungu ibu tulang daun dan rimpang dari 32 aksesi   temulawak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Pedoman Teknis Penyelenggaraan Angkutan Penumpang Umum di Wilayah Perkotaan Dalam Trayek Tetap dan Teratur, maka Biaya

 Adalah setiap komponen dari solusi yang benar? Telah desain dan kode diperiksa?.. 4) Memeriksa hasil untuk akurasi (pengujian dan

Muhammad Amunuddin, dr., SpJP(K), FIHA, FAsCC selaku Ketua Program Studi saat saya memulai pendidikan dan saat ini selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan

Selain yang telah dijelaskan sebelumnya diduga terdapat faktor lain yang mungkin dapat menyebabkan ikatan semen yang buruk pada sumur Y-1 seperti, alat yang tidak dikalibrasi

Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan Gubernur Nomor 044 Tahun 2015 tentang Unit Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan

Penggunaan kata “ لا ” bermakna “jangan” dalam Al-Qur’an dapat dikategorikan dalam tiga bidang kajian pendidikan Islam, yaitu: (a) Akidah terdapat 102 ayat, di

Birokrasi Nomor 18 Tahun 2017tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2016 tentang Nomenklatur

Ragam hias yang sangat banyak dari suku Melayu Riau biasanya digunakan dalam ukiran dan kerajinan tangan, dalam penulisan ini berkosentrasi pada perancangan dan pengembangan