• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Potency Test of Black Turmeric (Curcuma eroginosa Roxb.) in Broiler were Infected with H5N1 Avian Influenza Virus: Histopathology of Liver and Kidney.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Potency Test of Black Turmeric (Curcuma eroginosa Roxb.) in Broiler were Infected with H5N1 Avian Influenza Virus: Histopathology of Liver and Kidney."

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

UJI POTENSI EKSTRAK TEMU IRENG

( Curcuma aeroginosa Roxb. ) PADA AYAM BROILER YANG

DIINFEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA H5N1:

HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL

SONNI MARTAHADI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Uji Potensi Ekstrak Temu Ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) Pada Ayam Broiler yang Diinfeksi Virus Avian Influenza H5N1: Histopatologi Hati dan Ginjal” adalah benar merupakan hasil karya saya dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2010

Sonni Martahadi

(3)

ABSTRACT

SONNI MARTAHADI. The Potency Test of Black Turmeric (Curcuma eroginosa Roxb.) in Broiler were Infected with H5N1 Avian Influenza Virus:

Histopathology of Liver and Kidney. Under direction of WIWIN WINARSIH and AGUS SETIYONO.

Avian Influenza is one of the zoonotic disease which is very dangerous and not yet to be controlled optimally. The aim of this resarch was to observe the potency of black turmeric (Curcuma aeroginosa Roxb.) extract in preventing the infection of H5N1 virus through liver and kidney histopathologycal discriptions. This research used Cobb strain of Broiler which were devided into 4 groups included K1 (extract treatment), K2 (no extract treatment and no virus infection), P1 (extract treatment and virus infection), and P2 (virus infection). Black turmeric extract was given to Broiler during 3 weeks in postal system cage and then the Broiler were infected by H5N1 virus in Biosafety Laboratory level 3 facilities. The quantitative data obtained by scoring and then were analyzed by Kruskal Wallis and Dunn test. The result revealed that the death of Broiler which were treated with Curcuma aeroginosa Roxb. extract and were infected with H5N1 virus could be obstructed. The histopathological lesions such as hemorrhage, inflammatory focuse, necrose in liver, and also inflammatory focuse and necrose in kidney could be reduced.

(4)

RINGKASAN

SONNI MARTAHADI. Uji Potensi Ekstrak Temu Ireng (Curcuma aeroginosa

Roxb.) pada Ayam Broiler yang Diinfeksi Virus Avian Influenza H5N1: Histopatologi Hati dan Ginjal. Dibimbing oleh WIWIN WINARSIH dan AGUS SETIYONO.

Avian Influenza merupakan salah satu penyakit zoonotik yang sangat berbahaya dan belum dapat diatasi secara optomal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) dalam menanggulangi infeksi virus H5N1 melalui histopatologi hati dan ginjal. Penelitian ini menggunakan ayam Broiler dari strain Cobb. Yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu K1 (diberi ekstrak), K2 ( tanpa perlakuan), P1 (diberi ekstrak dan diinfeksi virus), P2 (diinfeksi virus). Ekstrak temu ireng diberikan pada ayam selama 3 minggu dalam kandang sistem postal dan kemudian ayam diinfeksi virus H5N1 dalam fasilitas Bio Safety Laboratory level 3 (9BSL 3). Data kuantitatif yang diperoleh dari skoring kemudian dianalisa menggunakan Uji Kruskal Wallis dan Uji Dunn. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian ayam yang diberi ekstrak temu ireng dan diinfeksi virus H5N1 dapat dihambat. Selain itu terjadi pengurangan persentasi lesio histopatologi pada hati berupa hemoragi, infiltrasi sel radang, dan fokus nekrotik, serta pada ginjal terjadi pengurangan persentasi lesio histopatologi berupa infiltrasi sel radang dan fokus nekrotik.

(5)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya

untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,

penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah,

dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar

IPB.

(6)

UJI POTENSI EKSTRAK TEMU IRENG

( Curcuma aeroginosa Roxb. ) PADA AYAM BROILER YANG

DIINFEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA H5N1:

HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL

SONNI MARTAHADI

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Skripsi : Uji Potensi Ekstrak Temu Ireng (Curcuma aeroginosa

Roxb.) pada Ayam Broiler yang Diinfeksi Virus Avian Influenza H5N1: Histopatologi Hati dan Ginjal Mahasiswa : Sonni Martahadi

NRP : B04063532

Menyetujui,

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. drh. Wiwin Winarsih, Msi. APVet drh. Agus Setiyono, MS,PhD. APVet NIP. 19630614 199002 2 001 NIP. 19630810 198803 1 004

Mengesahkan,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pacitan, Jawa Timur pada tanggal 11 Oktober 1987. Penulis merupakan putra pertama dari Bapak Miswandi dan Ibu Misiatin.

Riwayat pendidikan penulis yaitu pada tahun 2000 lulus dari SD Negeri 1 Ngadirojo-Pacitan, pada tahun 2003 lulus dari SLTP Negeri 1 Ngadirojo-Pacitan, pada tahun 2006 lulus dari SMU Negeri 1 Madiun dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Kedokteran Hewan.

(9)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi yang berjudul “Uji Potensi Ekstrak Temu Ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) pada Ayam Broiler yang Diinfeksi Virus Avian Influenza H5N1: Histopatologi Hati dan Ginjal” ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Keluarga terkasih (Bapakku dan Ibuku tersayang, Adikku tercinta, Budhe Sum, Mas Totok, Mbak Wida, dan seluruh keluarga besar) yang telah memberikan cinta, do’a, dukungan, dan semangat yang tak tergantikan pada penulis.

2. Dr. drh. Wiwin Winarsih, Msi. APVet dan drh. H. Agus Setiyono, MS. PhD. APVet selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, kesabaran, motivasi, dan waktu yang telah diluangkan hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Dr. drh. Koekoeh Santoso dan Dr. drh. Agustin Indrawati, M.BIOMED selaku dosen penguji atas segala masukan ilmu, serta kritik dan saran yang telah diberikan.

4. Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt. MSc sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi, saran, dan bimbingan, serta kepada Dr. drh. Sri Estuningsih, Msi. APVet sebagai penilai seminar dan Bayu Febram Prasetyo, SSi. Apt. MSc sebagai moderator seminar atas saran dan masukannya terhadap makalah seminar penulis.

5. Risma Adelia, Tommy Nazar, Bakhtiar, dan Icha atas perhatian, rasa kekeluargaan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan.

(10)

7. Pak Endang, Pak Kasnadi, Mas Bangkit, Mbak Kiky, dan Bu Lely atas bantuannya dalam terlaksananya penelitian dan skripsi ini.

8. Teman-teman Wisma Biru (Mas Agus, Mas Nube, Aguy, Mbambit, Rofi, Riza, Iin, Ijal, dan semuanya yang tidak bisa disebutkan) atas motivasi, bantuan, dan rasa kekeluargaan yang telah diberikan.

9. Teman-teman Aesculapius FKH IPB (Bowo, Uut, Iky, Hadi, dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu per satu) serta Mas Wawan atas bantuan dan motovasinya.

10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

Semoga Allah Tuhan Yang Maha Kuasa membalas kebaikan mereka. Penulis berharap supaya tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2010

(11)

DAFTAR ISI

2.1 Keadaan Umum Peternakan Ayam Broiler di Indonesia ... 2.2 Avian Influenza ... 2.3 Hati Ayam ... 2.4 Ginjal Ayam ... 2.5 Tanaman Obat di Indonesia ... 2.5.1 Temu Ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) ...

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 3.1 Waktu dan Tempat ... 3.2 Bahan dan Alat Penelitian ...

3.2.1 Bahan dan Alat di Kandang Hewan Laboratorium ... 3.2.2 Bahan dan Alat di Laboratorium Histopatologi ... 3.3Metode Penelitian ...

(12)

3.3.6 Analisis Data ...

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4.1 Hasil Evaluasi Data Kematian Ayam ... 4.2 Hasil Pengamatan Histopatologi pada Hati ... 4.3 Hasil Pengamatan Histopatologi pada Ginjal ...

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 5.1 Simpulan ... 5.2 Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ...

(13)

DAFTAR TABEL

No. halaman

Teks

1. Pengelompokan hewan berdasarkan perlakuan ... 2. Data kematian ayam pada perlakuan pemberian ekstrak temu ireng

(Curcuma aeroginosa Roxb.) setelah infeksi virus Avian Influenza .... 3. Persentasi kemunculan lesio histopatologi pada organ hati ... 4. Persentasi kemunculan lesio histopatologi pada organ ginjal ...

13

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. halaman

Teks

1. Histologi hati ayam normal ...

2. Histologi ginjal ayam normal ...

3. Temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) ...

4. Lesio histopatologi hati: hemoragi (A), degenerasi sel (B), pada kelompok

ayam yang diberi ektrak temu ireng dan diinfeksi virus H5N1, HE,

perbesaran 40 x 10 ……...

5. Lesio histopatologi hati: kongesti (A), degenerasi sel (B), pada kelompok

ayam yang diberi ekstrak temu ireng dan diinfeksi virus H5N1, HE,

perbesaran 40 x 10. ...

6. Lesio histopatologi hati: infiltrasi sel radang dan fokus nekrotik (A),

degenerasi sel (B), pada kelompok ayam yang diinfeksi virus H5N1, HE,

perbesaran 40 x 10. ...

7. Lesio histopatologi ginjal: hemoragi (A), degenerasi sel (B), pada

kelompok ayam yang diberi ekstrak temu ireng dan diinfeksi virus H5N1,

HE, perbesaran 40 x 10. ...

8. Lesio histopatologi ginjal: infiltrasi sel radang dan fokus nekrotik (A),

degenerasi sel (B), pada kelompok ayam yang diinfeksi virus H5N1, HE,

perbesaran 40 x 10. ...

7

9

10

21

21

22

25

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. halaman

Teks

1. Hasil uji statistika Kruskal Wallis pada hati ... 2. Hasil signifikansi analisis statistika pada organ hati ... 3. Uji statistika (a,b) hasil data pada organ hati ... 4. Hasil uji statistika Kruskal Wallis pada ginjal ... 5. Hasil signifikansi analisis statistika pada organ ginjal ... 6. Uji statistika (a,b) hasil data pada organ ginjal ... 7. Analisa kandungan bahan kimia tanaman obat dengan Metode Gas

Kromatografi Spektrometri Massa (GC-MS) ... 34 34 34 34 34 35

(16)

1

1

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dengan meningkatnya kebutuhan dan kesadaran masyarakat terhadap protein hewani menyebabkan lonjakan permintaan akan produk-produk asal hewan. Dalam usaha peningkatan penyediaan protein hewani maka perhatian terfokus pada usaha di bidang peternakan. Dari beberapa sektor peternakan yang mendapat perhatian banyak dan sangat digemari oleh masyarakat adalah perunggasan. Peternakan sektor perunggasan selain mempunyai prospek usaha yang cerah, juga memiliki waktu produksi yang relatif pendek jika dibandingkan dengan ternak daging yang lainnya (Sutawi 1993). Secara ekonomi harga daging ayam jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga daging sapi atau kambing (Rasyaf 1993).

Penyakit influenza yang didefinisikan sebagai lonjakan global (melintasi batas negara) dari penyakit yang disebabkan oleh virus ini sudah cukup lama dikenal (Webster 2006). Kasus penyakit flu burung (Avian Influenza) sudah menyerang ternak unggas di Indonesia sejak bulan Juli-Agustus 2003 dan secara resmi diumumkan oleh pemerintah pada 25 Januari 2004 melalui Departemen Pertanian. Unggas yang terserang pada umumnya adalah ayam petelur, ayam pedaging, bebek, dan burung puyuh. Pada waktu itu infeksi flu burung telah mengakibatkan lebih dari 5 juta ekor unggas mati, tetapi tidak ada korban manusia akibat terjangkit / tertular penyakit tersebut. Baru pada bulan Juli 2005 dilaporkan pertama kali wabah ini telah menular ke manusia. Tepatnya pada bulan juli 2005 terjadi wabah flu burung yang menginfeksi manusia di Tangerang sehingga menyebabkan kematian. Tabbu (2000) menyebutkan bahwa tingkat kematian akibat infeksi virus ini pada unggas dapat mencapai 100%.

(17)

2

utamanya untuk keperluan obat-obatan, dalam hal ini obat tradisional yang khasiatnya secara phytoterapi juga masih harus diteliti (Hasanah 1992). Tanaman berkhasiat obat tersebut secara turun temurun sudah dipercaya untuk menyembuhkan beberapa penyakit, walaupun kandungan bahan aktif dan khasiat lainya belum terbukti secara klinis dan hanya berdasarkan dari pengalaman saja.

Berdasarkan kenyataan diatas mengenai masalah flu burung dan Indonesia yang kaya dengan tanaman berkhasiat obat maka sangat perlu dan mendesak untuk segera dilakukan penelitian dan pengujian untuk menemukan obat alami untuk flu burung dari tanaman yang berasal dari alam Indonesia. Salah satu tanaman yang berkhasiat obat adalah temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.)

yang secara tradisional telah sering digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk mengobati batuk, iritasi lambung dan usus, rematik, bahkan mampu mengatasi kerusakan sel-sel hati seperti pada penyakit demam berdarah (Winarto 2003).

Adanya benda asing yang ikut beredar bersama aliran darah dalam tubuh akan berhubungan dengan hati dan ginjal. Hati merupakan organ tubuh yang berfungsi untuk mendetoksifikasi zat kimia asing atau racun dalam tubuh. Ginjal berfungsi untuk menyaring darah dan mengerksresikan racun dan zat-zat yang tidak diperlukan oleh tubuh. Nazaruddin (2008) menyatakan bahwa infeksi virus

High Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dapat menyebabkan perubahan lesio histopatologi pada organ hati dan ginjal. Oleh karena itu, dari kedua organ tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran histopatologi yang baik dan jelas guna mengetahui efektivitas dari pemberian ekstrak temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.).

1.2 Tujuan

(18)

3

1.3 Manfaat

(19)

4

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Umum Peternakan Ayam Broiler di Indonesia

Industri ayam broiler Indonesia diperkirakan meningkat hingga 889 juta ekor pada tahun 2007 jika dibandingkan produksi pada tahun 2006 yaitu sekitar 840 juta ekor, dan akan terus meningkat tajam menjadi 889 ekor pada tahun 2008. Konsumsi perkapita dari daging broiler diharapkan dapat mencapai angka 3,7 kg/ kapita/ tahun pada 2009-2010. Walaupun konsumsi per kapita dari daging broiler relatif rendah, sektor peternakan broiler Indonesia tetap diharapkan mampu berkembang. Saat ini beberapa masalah terus-menerus mengancam produksi peternakan seperti penyakit, bahan pakan impor, ketersediaan bibit unggul, dan asuransi pemerintah yang tidak konsisten (Sundu 2005).

Peternakan unggas Indonesia sering mengalami pasang surut dalam hal produksi. Terkait dalam hal ini yang mempengaruhi adalah pemberian pakan dan pengendalian penyakit. Penyakit yang menyerang unggas khususnya ayam bermacam-macam seperti Marek, Infectious Laryngotracheeitis (ILT), dan

Newcastle Disease (ND). Flu burung adalah salah satu penyakit yang menggemparkan dunia perunggasan dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Penting bagi peternak dan pemelihara kesehatan ayam di peternakan untuk mengondisikan keadaan ayam semaksimal mungkin agar tidak terpapar penyakit dengan mudah. Usaha-usaha yang termasuk didalamnya antara lain penambahan ekstrak tanaman obat sebagai campuran dalam pakan unggas. Peternak melakukan hal ini sebagai tindakan antisipasi terpaparnya hewan dengan pengaplikasian tanaman obat manusia untuk hewan.

2.2 Avian Influenza

Avian Influenza merupakan penyakit infeksius dan zoonosis, sehingga penyakit ini dapat menginfeksi hewan dan manusia. Virus ini mempunyai banyak tipe dan hanya virus influenza tipe A yang bersifat zoonosis. Dari 16 subtipe virus

(20)

5

dari unggas ke manusia (Webster 2006). Virus ini dikenal cerdik dan susah diberantas karena sifatnya yang mudah berubah asam intinya. Selain itu, penyebaran melalui udara juga menyebabkan virus ini cepat berpindah. Obat yang ditetapkan Pemerintah Indonesia untuk penderita flu burung adalah

oseltamivir carboxylate (Tamiflu). Obat ini bekerja sebagai inhibitor neuraminidase, yang bahan bakunya berasal dari tanaman Star anise (Illicium verum) yang harus diimpor seluruhnya dari Vietnam atau China dengan biaya relatif mahal. Obat lainnya adalah Amantadine, yang bekerja sebagai ion chanel blocker, namun dilaporkan telah memicu resistensi pada virus. Pada bulan Januari 2006 dilaporkan bahwa 16% dari kasus H5N1 pada manusia mempunyai tipe virus yang resisten terhadap Tamiflu®.

Banyak hal mengapa virus ini mendapat perhatian khusus, diantaranya adalah virus H5N1 sangat patogen dan dapat bermutasi dengan cepat serta tercatat mempunyai kecenderungan untuk memperoleh gen dari virus yang menginfeksi binatang bahkan manusia. Penyakit ini muncul di China sebelum tahun 1997 dan menyerang ternak unggas di seluruh Asia Tenggara, serta secara rutin tidak terduga dapat melintasi batas antar kelas (Perkins 2003). Kemampuannya untuk menyebabkan penyakit yang berat pada manusia diketahui melalui dua cara penularan yaitu dengan peranan inang antara dan penularan langsung. Penyebaran penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus avian infuenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasi telah terjadi di Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, Cina, Indonesia, Pakistan, Irak ,dan Turki. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi.

(21)

6

2.3 Hati Ayam

Hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh yang terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma pada mamalia, sedangkan pada unggas terletak di rongga abdomen. Hati ayam yang baru menetas berwarna coklat kekuning namun warna hati ini akan berubah menjadi coklat kemerahan setelah berumur sekitar dua minggu. Hati ayam dewasa berwarna merah coklat sampai coklat cerah dengan konsistensi yang lunak (Setijanto 1998). Menurut Setijanto (1998) hati ayam terdiri dari dua gelambir (lobus), lobus

hepatis sinister, dan lobus hepatis dexter. Hati tertaut pada diafragma (pada mamalia) dengan bantuan ligamentum coronarium hepatis, legamentum triangulare dextra et sinistra, dan ligamentum falciforme hepatis. Pertautan antara hati dengan ginjal kanan dan caecum dihubungkan oleh ligamentum teres hepatis yang berupa tali jaringan ikat sisa vena umbilicalis (Ressang 1984).

Sebagai suatu kelenjar maka fungsi utama hati adalah sebagai alat ekskresi. Hal ini erat kaitannya dengan peran hati dalam membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino (Anonim 2010). Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut proses

detoksifikasi. Sebagai organ ekskretori, hati menghasilkan empedu yang mencapai setengah liter setiap hari (Husadha 1999). Empedu berasal dari hemoglobin sel darah merah yang telah tua. Empedu merupakan cairan kehijauan dan terasa pahit. Zat ini disimpan di dalam kantong empedu. Empedu mengandung kolesterol, garam mineral, garam empedu, pigmen bilirubin, dan biliverdin. Pigmen bilirubin berguna sebagai indikator kerusakan hati dan saluran empedu yang disekresikan berfungsi untuk mencerna lemak, mengaktifkan lipase, membantu daya absorpsi lemak di usus, dan mengubah zat yang tidak larut dalam air menjadi zat yang larut dalam air dan empedu (Dalimartha 2001).

(22)

hati tersumbat, empe n. Orang yang demikian dikatakan menderita pe

ilkan enzim arginase yang dapat mengubah a Ornintin yang terbentuk dapat mengikat NH3 ton 2008).

n dari hati adalah mengubah zat buangan dan baha empedu dan urin, serta mengubah glukosa ya kogen yang disimpan di sel-sel hati. Glikogen

lukosa oleh enzim amilase dan dilepaskan ke nya kebutuhan energi oleh tubuh (Ganong 1995)

bar 1. Histologi hati ayam normal (Anonim 2010)

upakan organ pada sistem urinaria yang juga m lahnya sepasang, terdapat di dalam rongga pe i kacang buncis dengan hilus renalis yakni te n keluarnya ureter, mempunyai permukaan ya berlobus (Setijanto 1998). Beberapa fungsi gi sisa hasil metabolisme dengan menyaringnya engatur kadar air dan elektrolit tubuh, juga peran dalam hemodinamika dengan menghasil rat hubungannya dengan paru-paru dan volume dan komposisi darah terhadap bebera

(23)

8

Pada darah zat tersebut mempunyai nilai ambang yang konstan, dan bila melebihi nilai ambang, maka zat tersebut dibuang melalui ginjal, paru-paru, maupun kulit.

Pada dasarnya ginjal dibagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medulla. Secara histologis ginjal terdiri dari tiga unsur utama yaitu glomerulus, tubuli, dan interstisium beserta pembuluh darah, limfe, dan syaraf (Ressang 1984). Kortek meliputi daerah antara dasar malphigi piramid yang juga disebut piramid medula hingga ke daerah kapsula ginjal. Daerah kortek diantara piramid tadi membentuk suatu kolum disebut Kolum Bertini Ginjal. Pada potongan ginjal yang masih segar, daerah kortek terlihat bercak merah yang kecil (petikhie) yang sebenarnya merupakan kumpulan vaskuler khusus yang terpotong, kumpulan ini dinamakan renal korpuskle atau badan malphigi. Kortek ginjal terdiri atas nefron pada bagian glomerulus, tubulus konvulatus proksimalis, tubulus konvulatus distalis. Pada daerah medulla akan dijumpai sebagian besar nefron di bagian lengkung Henle dan tubulus kolektivus, baik yang distalis maupun proximalis. Setiap ginjal mempunyai satu sampai empat juta filtrator yang fungsional dengan panjang antara 30-40 mm yang disebut nefron (Anonim 2010). Total darah ke dua ginjal dapat mencapai 1200 cc/menit atau sebesar 1700 liter darah / hari. Semua ini akan difiltrasi oleh glomeruli dimana setiap menit dihasilkan 125 cc filtrat glomeruli atau 170 liter filtrat glomeruli setiap 24 jam pada ke dua ginjal. Dari jumlah ini beberapa bagian di reasorbsi lagi keluar dari tubulus.

Pada tubulus konvultus proksimalis dan distalis terjadi proses reasorbsi dan ekskresi, dimana beberapa bahan seperti : glukosa dan sekitar 50 % natrium klorida dan sejumlah air direabsorpsi oleh sel tubulus melalui absorbsi aktif yang memerlukan energi, sedangkan air berdifusi secara pasif. Selanjutnya filtrat glomeruli yang tidak mengalami resorpsi diteruskan ke distal sampai tubulus kolektivus. Pada daerah ini terjadi pemekatan urin atau pengenceran terakhir tergantung dari keadaan cukup tidaknya anti-diuretik hormon (ADH). Hormon ini berpengaruh terhadap permeabilitas tubulus kolektivus terhadap air.

(24)

sepasang ginjal multi

ultilobuler yang erat hubungannya dengan kolum da bagian kaudal dari paru-paru. Warnanya ak sehingga mudah rusak pada proses pe

2009).

B

A

bar 2. Histologi ginjal ayam normal (Anonim 2010)

bulus ginjal; B: glomerulus

at Di Indonesia

obat adalah tanaman yang penggunaan ut obatan, dalam hal ini obat tradisional yang kh asih harus diteliti. Tanaman obat berkhasia obatan tradisional atau alternatif. Kegunaan ta perluas aplikasinya dalam penanganan kese oduksi hewan ternak. Beberapa diantaranya telah bumbu dalam rumah tangga. Perbiakannya juga pang, tumbuh liar di tempat erbuka seperti kebun,

g tanahnya sedikit lembab, atau ditanam di peka

Curcuma aeroginosa Roxb.)

g atau juga sering disebut temu hitam tum kini Thailand), Indocina, hingga tumbuh di Indon buh dan ditanam di halaman atau pekarangan, tapi

buh liar di hutan jati, padang rumput, dan a 400-750 dpl. Tanaman ini mempunyai tinggi a

(25)

10

berbatang semu dari kumpulan pelepah daun, berwarna hijau atau cokelat gelap, daun tunggal, bertangkai panjang, dan jumlah daun 2-9 helai. Helaian daun bentuknya bundar memanjang sampai lanset, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, warnanya hijau tua dengan sisi kiri - kanan ibu tulang daun terdapat semacam pita memanjang berwarna merah gelap atau lembayung, panjang 31-84 cm, lebar 10-18 cm. Bunganya bertipe majemuk berbentuk bulir yang tandannya keluar langsung dari rimpang, panjang tandan 20-25 cm, bunga mekar secara bergiliran dari kantong-kantong daun pelindung yang besar, pangkal daun pelindung berwarna putih, ujung daun pelindung berwarna ungu kemerahan. Mahkota bunga berwarna kuning. Rimpangnya cukup besar dan merupakan umbi batang. Rimpang juga bercabang-cabang. Jika rimpang tua dibelah, tampak lingkaran berwarna biru kehitaman di bagian luarnya. Rimpang temu hitam mempunyai aroma yang khas. Perbanyakan dengan rimpang yang sudah cukup tua atau pemisahan rumpun.

(26)

11

Klasifikasi tanaman temu ireng: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma aeroginosa Roxb. (Anonim 2010)

Di masyarakat Indonesia istilah temu ireng ( Curcuma aeroginosa Roxb. ) sangat bevariasi tergantung daerah masing-masing, sebenarnya istilah temu ireng lebih sering dipakai oleh masyarakat Jawa dan jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah temu hitam. Beberapa daerah Indonesia mengenal temu ireng dengaan istilah koneng hideung (Sunda), temu lotong (Bugis), temo celeng (Madura). Temu ireng merupakan salah satu tanaman yang telah lama digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional di Indonesia maupun di negara lainnya seperti India dan Filipina.

(27)

12

3.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2008 sampai Februari 2009 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Bagian Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, serta di fasilitas Bio Safety Laboratory level 3 (BSL3) PT. Vaksindo Satwa Nusantara.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

3.2.1 Bahan dan Alat di Kandang Hewan Laboratorium

Bahan yang digunakan di Kandang Hewan Laboratorium antara lain DOC (Day Old Chick), pakan konsentrat, air, litter kandang, ekstrak tanaman obat temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.). Alat yang digunakan antara lain syringe 1 ml, tempat makan dan minum ayam, kandang hewan coba 4 kamar terbuat dari papan kayu, lampu 2 buah, timbangan elektronik, botol ekstrak, lap, spidol, dan stiker label.

3.2.2 Bahan dan Alat di Laboratorium Histopatologi

Bahan yang digunakan di laboratorium antara lain organ hati dan ginjal ayam dengan berbagai label, zat pewarna HE, metanol, dan minyak emersi. Alat yang digunakan antara lain 12 slide dengan cover glass, Auomatic Tissue

Processor (ATP), mikrotom, incubator, mikroskop cahaya, lap flanel, pulpen, dan buku tulis.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Tahapan Persiapan Hewan Coba dan Ekstrak Tanaman 3.3.1.1 Hewan Percobaan

(28)

13

kelompok perlakuan K2, 8 ekor untuk kelompok perlakuan P1, dan 2 ekor untuk kelompok perlakuan P2. Ayam pada kelompok P1 dan K1 digunakan untuk mengetahui persentasi kematian akibat infeksi virus. Sedangkan pada pembuatan preparat histopatologi hanya digunakan 2 ekor ayam pada masing-masing kelompok.

3.3.1.2 Ekstrak Tanaman Temu Ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.)

Ekstrak tanaman obat didapatkan dari BALITRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik) Bogor berupa larutan dalam botol yang berlabelkan nama tanaman obat yang digunakan. Setiap botol ekstrak tanaman temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) mempunyai volume sebanyak 100 ml dengan konsentrasi 10%.

3.3.2 Pengelompokan Hewan

Hewan dikelompokan atas dasar perlakuan yang dilakukan (Tabel 1). Tabel 1. Pengelompokan hewan berdasarkan perlakuan

No Kelompok Perlakuan Keterangan

1. P1 (ekstrak + infeksi) Perlakuan (+); dicekok dengan ekstrak temu ireng dan ditantang dengan virus AI

2

P2 (ekstrak)

Perlakuan (-); dicekok dengan ekstrak temu ireng tetapi

tidak ditantang virus AI

3. K1 (kontrol positif) Kontrol (+); tidak dicekok ekstrak temu ireng dan ditantang virus AI

4. K2 (kontrol negatif) Kontrol (-); tidak dicekok ekstrak temu ireng dan tidak ditantang virus AI

3.3.3 Pemberian Ekstrak Tanaman Temu Ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) dan Infeksi Virus H5N1

(29)

14

3.3.4 Tahapan Pembuatan Histopatologi

Pada saat ayam berumur lima minggu, dua ekor ayam dari masing-masing kelompok dinekropsi, kemudian sampel hati dan ginjal diambil. Setiap sampel organ diiris setebal ± 0,5 cm. Organ tersebut kemudian dimasukkan kedalam

tissue cassette. Kemudian cassette dimasukkan kedalam wadah khusus, lalu diproses dalam automatic tissue processor. Di dalam alat tersebut secara otomatis jaringan akan mengalami dehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat (alkohol 70%, 80%, absolut). Setelah itu jaringan dimasukkan ke dalam xylol untuk melarutkan alkohol yang terdapat dalam jaringan, untuk selanjutnya diinfiltrasi oleh paraffin.

Proses pembuatan preparat selanjutnya adalah embedding, yaitu suatu proses penanaman jaringan ke dalam blok paraffin. Setelah itu disimpan dalam

refrigerator 4-6ºC. Setiap blok paraffin yang berisi jaringan dipotong dengan menggunakan mikrotom dengan tebal irisan 3 m. Potongan jaringan tersebut diletakkan di atas permukaan air hangat agar jaringan tidak berkerut, selanjutnya jaringan diletakkan di atas gelas obyek untuk diinkubasi selama ± 24 jam agar jaringan benar-benar melekat. Keesokan harinya dilakukan proses pewarnaan. Pewarnaan yang dilakukan adalah Hematoxylin-Eosin.

Setelah proses pewarnaan selesai preparat direkatkan dengan cover glass

dengan menggunakan Permount®, lalu diberi label. Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya menggunakan perbesaran 40x.

3. 3.5 Metode Pengamatan

(30)

15

1. 0 = jaringan normal 2. 1 = kongesti

3. 2 = degenerasi sel secara fokal

4. 3 = degenerasi sel secara difuse/menyebar 5. 4 = pendarahan

6. 5 = infiltrasi sel radang

7. 6 = fokus nekrotik ( fokal atau multifokal )

3.3.6 Analisis Data

(31)

16

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Hasil Evaluasi Data Kematian Ayam

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa ayam yang hanya diinfeksi dengan virus tanpa diberi ekstrak temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) mempunyai persentasi kematian yang sangat tinggi, yaitu 100% (Tabel 2). Sedangkan pada ayam yang diinfeksi dengan virus dan diberi ekstrak temu ireng menunjukkan hasil bahwa kematian dapat dihambat dengan persentasi kematian hanya 50% (Tabel 2).

Tabel 2. Data kematian ayam pada kelompok kontrol positif dan pada kelompok perlakuan pemberian ekstrak temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) setelah infeksi virus Avian Influenza H5N1

Kelompok Perlakuan Persentasi

P1: kelompok perlakuan yang diberi ekstrak dan diinfeksi virus.

(32)

17

4. 2 Hasil Evaluasi Histopatologi pada Hati

Gambaran histopatologi yang muncul pada organ hati dalam penelitian ini adalah kongesti, hemoragi, degenerasi sel secara fokal, degenerasi sel secara

difuse, infiltrasi sel radang, dan fokus nekrotik (Tabel 3). Persentasi kemunculan masing-masing lesio pada setiap kelompok juga berbeda bahkan ada beberapa lesio yang sama sekali tidak muncul pada salah satu kelompok perlakuan. Perbedaan kemunculan lesio tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya lesio spesifik akibat infeksi virus H5N1 dimana tidak semua kelompok mendapat perlakuan yang sama dalam hal pemberian infeksi virus tersebut. Adanya lesio spesifik tersebut dapat mempermudah dalam melakukan evaluasi secara kualitatif terhadap perbedaan lesio yang muncul pada masing-masing kelompok perlakuan.

Hati merupakan salah satu organ tubuh yang sangat peka terhadap adanya senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh dan ikut bersirkulasi bersama aliran darah. Uji statistika menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara kelompok K1 dan K2, K1 dan P1, serta K1 dan P2, sedangkan untuk K2 dan P1, K2 dan P2, serta P1 dan P2 tidak berbeda nyata (Tabel 3).

Tabel 3. Persentasi kemunculan lesio histopatologi pada hati

Kelompok

Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata.

0 : normal; 1 : kongesti; 2 : degenerasi sel secara fokal; 3 : degenerasi sel secara difuse; 4 : hemoragi; 5 : infiltrasi sel radang; 6 : fokus nekrotik.

(33)

18

disampaikan oleh Sa’if (2003) yang menyatakan bahwa secara umum hasil pengamatan histopatologi pada ayam yang terinfeksi virus H5N1 adalah ditemukannya fokus nekrotik pada hati.

Infeksi virus H5N1 dapat menyebabkan gangguan permeabilitas endotel pembuluh darah dan menyebabkan degenerasi pada sel-sel hati (hepatosit) serta sel epitel tubuli ginjal (Ressang 1984). Proses degenerasi pada hepatosit dimulai dari adanya peningkatan aktivitas pompa sodium channel yang menyebabkan proses pertukaran air dalam sel menjadi terganggu. Hal ini menyebabkan air dalam sel tidak bisa keluar dan termobilisasi ke Reticulum Endoplasma (RE) yang selanjutnya akan terkumpul dalam vakuol-vakuol kecil dalam sel yang menyebabkan pembesaran ukuran sel, degenerasi sel seperti ini disebut sebagai degenerasi hidropis. Proses degenerasi pada infeksi virus H5N1 disebabkan respon sel terhadap adanya patogen dan pengaruh infeksi virus terhadap permeabilitas membran sel.

Pembesaran hepatosit yang terjadi secara menyebar (difuse) akan menyebabkan penekanan pada pembuluh darah disekitarnya sehingga akan menyebabkan hiperemi dan kongesti. Keadaan kongesti yang cukup lama dapat menyebabkan penurunan supplay oksigen ke dalam sel (ischemia) sehingga dapat menyebabkan sel menjadi kekurangan oksigen (hypoxia) dan menjadi mati (nekrosa) (Radji 2006). Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa virus H5N1 dapat menyebar secara sistemik dan bereplikasi dalam sel hati (hepatosit) sehingga menyebabkan kematian sel (nekrosa). Kongesti yang terjadi cukup lama dan disertai penurunan permeabilitas endotel akibat infeksi virus H5N1 akan menyebabkan terjadinya hemoragi, walaupun tingkat kejadiannya cukup kecil pada hati dan ginjal (Radji 2006). Hemoragi pada kasus infeksi virus H5N1 juga disebabkan adanya replikasi virus pada endotel sehingga kerapatan endotel akan berkurang dan mudah terjadi hemoragi (Tabbu 2000).

(34)

19

dibandingkan dengan hasil gambaran histopatologi pada kelompok K1, pada kelompok K2 didapatkan lebih sedikit lesio histopatologi. Sedangkan melalui metode uji statistika Kruskal Wallis yang dilanjutkan dengan uji Dunn maka akan didapatkan hasil perbandingan yang berbeda nyata antara kedua kelompok tersebut.

Munculnya lesio histopatologi pada kelompok perlakuan K2 dimana ayam tidak mendapat perlakuan apa-apa dapat disebabkan oleh adanya infeksi sekunder oleh patogen selama proses pemeliharaan. Walaupun ayam diberikan vaksin ND (Newcastle Disease) saat ayam berumur 4 hari dan vaksin Gumboro pada saat ayam berumur 10 hari, namun masih terdapat lesio histopatologi yang belum diteliti agen penyebabnya. Pemberian vaksin ini bertujuan untuk meningkatkan kekebalan ayam terhadap infeksi virus ND (Newcastle Disease) dan Gumboro sehingga setelah pemberian infeksi virus H5N1 akan didapatkan lesio histopatologi yang hanya spesifik sebagai akibat virus H5N1 saja.

Pada kelompok perlakuan P2 gambaran histopatologi didominasi oleh kongesti (43,2%), degenerasi difuse (53,1%), infiltrasi sel radang (2,5%) dan degenerasi sel secara fokal muncul dalam jumlah sedikit (1,2%) (Tabel 3). Jika dibandingkan dengan dengan hasil dari gambaran histopatologi pada kelompok K2, kelompok perlakuan P2 mempunyai hasil yang lebih baik, ditandai dengan penurunan infiltrasi sel radang dan kongesti. Penurunan jumlah infiltrasi sel radang yang cukup signifikan diduga merupakan pengaruh dari pemberian ekstrak tanaman obat yang mengandung senyawa kimia curcuminoid yang dapat berperan sebagai antiinflamasi. Sebagai agen antiinflamasi, curcuminoid mampu menghambat metabolisme asam arakhidonat, menghambat aktivitas cytokine (IL) dan nuclear factor κβ (NF-κβ) yang merupakan mediator peradangan (Shakibaei

et al. 2007). Dengan terhambatnya aktivitas dari interleukin (IL) dan nuclear factor κβ maka kemunculan sel-sel radang pada reaksi peradangan akan berkurang dan peradangan menjadi lebih sedikit.

Walaupun demikian, masih terjadi peningkatan degenerasi sel secara

(35)

20

diberikan. Adanya senyawa tersebut akan direspon oleh sel-sel hati (hepatosit) melalui proses degenerasi. Dalam ekstrak temu ireng terdapat sedikit senyawa kimia metil-xantotoksin dan L-limonen yang mampu menyebabkan kerusakan sel, khususnya pada kulit dan saluran pernafasan (Widodo 2010; Pakdela 2001). Namun demikian, mekanisme kerusakan sel pada hati akibat kedua senyawa ini belum diketahui.

Hasil pada kelompok P1 didapatkan banyak gambaran histopatologi yang sangat beragam, mulai dari kongesti (46,5%), degenerasi sel secara difuse

(46,5%), hemoragi (2,3%), infiltrasi sel radang (3,5%), dan bahkan adanya nekrosa jaringan (1,2%) (Tabel 3). Hasil gambaran histopatologi pada kelompok P1 jika dibandingkan dengan kelompok K1 menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai persentasi kemunculan fokus nekrotik , infiltrasi sel radang, dan hemoragi jika dibandingkan dengan kelompok K1. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh adanya senyawa kimia yang ada di dalam ekstrak temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) seperti curcumin yang teruji dapat berfungsi sebagai hepatoprotektor, antiinflamasi, antioksidan, dan antibakteri (Aggarwal 2003; Ammon 1992). Pengaruh fungsi hepatoprotektor pada curcumin dapat menyebabkan peningkatan kekebalan sel akibat adanya infeksi patogen serta didukung oleh efek antioksidan walaupun mekanismenya belum diketahui (Itokawa 2008).

(36)

Gambar 4. Lesio hi kelompok ayam yang perbesaran 40 x 10.

Gambar 5. Lesio hi kelompok ayam yang perbesaran 40 x 10.

B

B

histopatologi hati: hemoragi (A), degenerasi ng diberi ekstrak temu ireng dan diinfeksi vi

histopatologi hati: kongesti (A), degenerasi ng diberi ekstrak temu ireng dan diinfeksi vi

A

A

21

asi sel (B), pada virus H5N1, HE,

(37)

Gambar 6. Lesio hist

histopatologi hati: infiltrasi sel radang dan fokus ), pada kelompok ayam yang diinfeksi vir umin dan hasil menunjukkan bahwa kerusa in merupakan komponen bioaktif yang sanga enghambat peroksidasi lemak pada microsom , dan homogenasi otak (Pulla et al. 1994;Pulla e

urcumin sebagai agen antiinflamasi telah diuji alam pengujiannya, peneliti melaporkan ba ktif pada model inflamasi akut dan juga kronis. bang dengan pheniylbuthazone pada ka uji edema, tetapi hanya setengah yang aktif

an yang menyebutkan bahwa curcumin tela dalam menghambat IL-1β dan TNF-α yang merup

(38)

23

inflamasi (Shakibaei et al. 2007). Selain curcuminoid, terdapat bermacam kandungan senyawa kimia aktif dalam ekstrak temu ireng (Curcuma aeroginosa

Roxb.) yaitu flavonoid (metano-benzensikloheptan dan metil-xantotoksin), saponin, dan L-limonen (Setiyono 2008; Anonim 2010), namun tidak semuanya dapat memberikan terapi yang baik untuk kerusakan sel.

Peningkatan jumlah persentasi lesio histopatologi pada kelompok P1 jika dibandingkan dengan kelompok K1 terjadi pada kongesti, degenerasi sel secara

difuse. Peningkatan persentasi lesio ini dapat dikaji dari adanya senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) yang berpotensi dapat merusak sel dan jaringan. Metil-xantotoksin merupakan senyawa kimia derifat furokumarin dari kelommpok flavonoid yang berperan sebagai agen fotosensitivitas yang dapat menyebabkan kerusakan sel (Widodo 2010). Saponin juga merupakan salah satu senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) yang telah terbukti dapat memberikan efek menurunkan tegangan permukaan sel sehingga dapat merusak membran sel dan menginaktifkan enzim sel serta merusak protein sel (Widodo 2010). Efek tersebut dapat menganalogikan bahwa saponin kemungkinan dapat menurunkan tegangan permukaan endotel sehingga plasma dan benda-benda darah keluar dari pembuluh darah yang dapat menyebaknan udema, kongesti, dan hemoragi. Selain kerusakan sel dapat diakibatkan oleh senyawa aktif dari ekstrak temu ireng, infeksi sekunder selama proses pemeliharaan juga dapat memberikan hasil yang sama terhadap sel. Dari hasil tersebut dapat diterangkan bahwa pemberian ekstrak temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) dapat memberikan pengaruh yang baik dalam menghambat kesrusakan sel akibat infeksi virus H5N1.

4.3 Hasil Pengamatan Histopatologi pada Ginjal

Gambaran histopatologi yang muncul pada organ ginjal dalam penelitian ini adalah kongesti, hemoragi, degenerasi sel secara lokal, degenerasi sel secara

(39)

24

Tabel 4. Persentasi kemunculan lesio histopatologi pada ginjal

Kelompok

Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata.

0 : normal; 1 : kongesti; 2 : degenerasi sel secara fokal; 3 : degerasi sel secara difuse; 4 : hemoragi; 5 : infiltrasi sel radang; 6 : fokus nekrotik.

Hasil pengamatan gambaran histopatologi pada kelompok K1 memberikan gambaran yang menarik dan jelas mengenai lesio infeksi virus H5N1. Degenerasi sel yang bersifat difuse (36,8%) tersebar merata pada seluruh lapang pandang yang diikuti dengan banyaknya ditemukan fokus nekrotik di hampir sebagian besar lapang pandang (34,9%), kongesti (21,7%), infiltrasi sel radang (4,7%), dan hemoragi (3,8%) (Tabel 4). Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Nazaruddin (2008) yang mengatakan bahwa pada infeksi virus H5N1 terjadi perubahan patologi secara mikroskopis yaitu terjadinya degenerasi sel dan nekrosis pada organ hati, dan ginjal. Mekanisme munculnya lesio histopatologi pada ginjal akibat infeksi virus H5N1 hampir sama dengan yang terjadi pada hati (Ressang 1984). Hati dan ginjal mendapatkan infeksi virus H5N1 secara tidak langsung melalui aliran darah yang telah terkontaminasi oleh virus yang sebelumnya telah bereplikasi di paru-paru dan sebagian endotel.

(40)

Gambar 7. Lesio his kelompok ayam yang perbesaran 40 x 10.

Gambar 8. Lesio hist degenerasi sel (B), perbesaran 40 x 10.

B

B

A

histopatologi ginjal: hemoragi (A), degeneras ng diberi ekstrak temu ireng dan diinfeksi vi

histopatologi hati: infiltrasi sel radang dan fokus ), pada kelompok ayam yang diinfeksi vir

A

B

25

rasi sel (B), pada virus H5N1, HE,

(41)

26

Hasil gambaran histopatologi pada kelompok perlakuan P2 didominasi oleh lesio kongesti (44,2%) dan degenerasi sel secara difuse (46,5%) yang tersebar merata pada seluruh lapang pandang, kemudian disertai dengan homoragi (7%) dan degenerasi sel yang bersifat fokal dengan jumlah yang sedikit (2,3%) (Tabel 4). Jika dibandingkan dengan kelompok K2, kelompok perlakuan P2 mempunyai lesio histopatologi yang lebih banyak namun sesuai dengan uji statistika Kruskal Wallis dapat ditunjukkan bahwa keduanya tidak berbeda nyata. Penurunan persentasi degenerasi sel pada kelompok P2 jika dibandingkan dengan kelompok K1 merupakan hasil yang baik terhadap potensi ekstrak temu ireng dalam mengurangi kerusakan sel dan jaringan. Adanya senyawa kimia curcuminoid yang dapat berperan sebagai antiinflamasi, antioksidan, dan antibekteri mampu melindungi sel-sel pada ginjal dari kerusakan sel. Sedangkan peningkatan persentasi kongesti dan hemoragi dapat diakibatkan oleh efek negatif dari senyawa kimia dalam ekstrak temu ireng dan adanya infeksi sekunder selama pemeliharaan, atau bahkan akibat trauma fisik yang dapat menyebabkan pendarahaan.

Hasil pada kelompok perlakuan P1 didominasi oleh lesio histopatologi berupa kongesti (38,8%) dan degenerasi sel secara difuse (39,9%), selanjutnya diikuti oleh adanya fokus nekrotik (13,2%), hemoragi (6,1%), infiltrasi sel radang (1%) dan degenerasi sel secara fokal (Tabel 4). Hasil ini berbeda nyata dengan hasil pada kelompok K1 berdasarkan uji statistika, walaupun masih menunjukkan lesio histopatologi yang spesifik terhadap infeksi virus H5N1. Namun dari tabel persentasi lesio histopatologi dapat dilihat jika terjadi penurunan jumlah persentasi lesio spesifik infeksi virus H5N1, yaitu nekrosa dan infiltrasi sel radang yang juga sebagai lesio yang paling parah sebagai indikator kerusakan jaringan. Meskipun demikian, ada beberapa lesio histopatologi yang mengalami peningkatan, yaitu degenerasi sel secara fokal, kongesti, dan hemoragi.

(42)

27

(43)

28

5.

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) yang diberikan pada ayam Broiler dengan infeksi virus Avian Influenza H5N1 dapat menekan kematian ayam dan mampu mengurangi lesio histopatologi akibat infeksi virus H5N1 berupa fokus nekrotik, infiltrasi sel radang, dan hemoragi pada hati. Sedangkan pada ginjal dapat mengurangi lesio akibat infeksi virus H5N1 berupa fokus nekrotik dan infiltrasi sel radang.

5.2 Saran

(44)

29

DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal BB, Kumar A, Bhartic AC. 2003. Anticancer potential of curcumin: preclinical and clinical studies. Anticancer Res 23:363-398.

Ahsan H, Parveen N, Khan NU, Hadi SM. 1999. Pro-oxidant, anti-oxidant and cleavage activities on DNA of curcumin and its derivatives demethoxycurcumin and bisdemethoxycurcumin; Chem Biol Interact 121:161-175.

Ammon HPT, Anazodo MI, Safaayhi H, Dhawan BN, Srimal RC. 1992. Curcumin: a potent inhibitor of Leukotriene B4 formation in rat peritoneal polymorphonuclear neutrophils (PMNL). Planta Med 58: 26.

Anonim. 2000. Tanaman Obat Indonesia.

http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?mnu=2&id=106 [13 Oktober 2009]

Anonim. 2009. Histologi Ginjal Ayam Normal

http://ajarhistovet.blogspot.com/2009/03/iv-histologi-sistem-urinaria.html. [12 Maret 2010]

Anonim. 2010. Temu ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.) http://www.dayangsumbi.net/toga/temuireng.pdf. [10 Maret 2010]

Cheeke PR. 1971. Arginine, lysine and methionine needs of the growing rabbit.

Nutr. Rep. Int 3:123.

Crowell PL March 1999. "Prevention and therapy of cancer by dietary monoterpenes". J. Nutr 129 (3): 775S–8S.

Dalimartha S. 2005. Tanaman Obat di Lingkungan Sekitar. Jakarta: Puspa Swara.

Darmawan S. 1996. Hati dan Saluran Empedu. Di dalam Himawan, editor. Patologi. Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia.Guyton AC. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. Penerjemah Ken Ariata Tengadi. Terjemahan dari

Textbook of Medical Physiology.

Ferreira LAF, Henriques OB, Andreoni AAS, Vital GRF, Campos MMC, Habermehl BB, Moraes VLG. 1992. Antivenom and biological effects of ar-turmerone isolated from Curcuma longa (Zingiberaceae). Toxicon

30: 1211-1218.

(45)

30

Guyton AC. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Tengadi AK, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari Textbook of Medical Physiology.

Hartono. 1989. Histologi Veteriner. Bogor: IPB.

Hasan. 2010. Ammonia dan Kesehatan Ayam.

http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=artic le&sid=1139 [4 Juli 2010]

Hasanah M, Mustika I, dan Sitepu D. 1992. Persyaratan Bahan Tanaman Bermutu Tanaman Obat. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Hasil Penelitian Plasma Nutfah dan Budidaya Tanaman Obat, Bogor, 2-3 Maret 1992. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, hlm. 69.

Haschek WM and Rousseaux CG. 1998. Foundamentals of Toxicologic Pathology. San Diego : Academic Press.

Hostettmann KA. Marston (1995). Saponins. Cambridge: Cambridge University Press.Husadha Y. 1999. Fisiologi dan Pemeriksaan Biokimia Hati: Dalam Buku Ajas Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal 224 – 226.

H. Pakdela D. Panteaa and C. Roy 2001. "Production of dl-limonene by vacuum pyrolysis of used tires". J Anal Appl Pyrolysis 57 (1): 91–107.

Kikuzaki H. 1998. Ginger for Drug and Spice Purposes dalam Herbs, Botanical, and Teas. G Mazza dan BD Oomah, editor. CRC Perss: Washington.

Liener Irvin E (1980). Toxic constituents fo plant foodstuffs. New York City: Academic Press.

Machlaclan NJ dan Cullen JM. Liver, Biliary System and Exocrine Pancreas. WM Carlton, MD Mc Gravin, editor. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Ed ke-2.California: Mosby St. Louis.

Mulisah F. 1999. Tanaman Obat Keluarga. Jakarta: Swadaya.

Nazaruddin W. 2008. Avian Influenza pada Unggas. http://www.vet-klinik.com/Perunggasan/Avian-Influenza-Pada-Unggas.html.html [ 7 Juli 2008 ].

Nidom CA. 2006. Kilas Balik Flu Burung. Harian Republika: 29 Desember 2006.

Park EJ, Jeon CH, Ko G, Kim J, Sohn DH. 2000. Protective effect of curcumin in rat liver injury induced by carbon tetrachloride. J Pharm Pharmacol

(46)

31

Perkins LE and Swayne DE. 2002. Pathogenicity of a Hong Kong Origin H5N1 Highly Pathogenic Avian Influenza Virus for Emus, Geese, Ducks, and Pigeons. Avian Dis 46: 877 – 885.

Pulla Reddy Ach, Lokesh BR. 1992. Studies on spice principles as antioxidants in the inhibition of lipid peroxidation of rat liver microsomes. Mol Chll Biochem 111: 117-124.

Pulla Reddy Ach, Lokesh BR. 1994. Effect of dietary turmeric (Curcuma longa) on iron-induced lipid peroxidation in the rat liver. Fd Chem Toxic 32: 279-283.

Rao TS, Basu N, Siddiqui HH. 1982. Anti-inflammatory activity of curcumin analogues. Indian J Med Res 75: 574-578.

Rasyaf M. 1993. Beternak Ayam Pedaging. Jakarta: Swadaya.

Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Ed ke-2. Bali: NV pecetakan.

Sa’if YM. 2003 Diseases of Poultry. Iowa : Blackwell Publishing Professional.

Saleh S. 1996. Kelainan Retrogesif dan Progresif. Di dalam Himawan, editor. Patologi. Jakarta: Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Setiyono A, dkk. 2008. Potensi Tanaman Obat untuk Penanggulangan Flu Burung. Laporan Akhir Penelitian. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Shakibaei M, John T, Schulze-Tanzil G. Lehmann I, Mobasheri A. 2007. Supression of NF-κB activation by curcumin to leads to inhibition of expression of cyclo-oxygenase-2 and matrix metalloproteinase-9 in human articular chondrocytes; Implication for the treatment of osteoarthtritis. Biochem Pharmacol 73: 1434-1445.

Sudiono. 2003. Ilmu Patologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Sundu B. 2005. Membangun Dunia Perunggasan yang Tangguh di Indonesia dalam Majalah Poultry Indonesia. http://adsindonesia.or.id/alumni/articleattachment/articleburhanuddinsu ndu01.pdf [12 September 2009]

Sutawi. 1996. Peranan Sektor Perunggasan di Indonesia. Di dalam Poultry Indonesia. Edisi 105. pp 10 -15.

(47)

32

Theml H, Diem H, dan Haferlach T. 2004. Color Atlas of Haematology: Practical Microscopic and Clinical Diagnosis, 2nd edition. New York: Thieme.

Wahyuni R H. 2009. Sintesis Senyawa Analog Kurkumin 3,6-Bis-(4’-Hidroksi-3’,5’-Dimetilbenzilidin)-Piperazin-2’,5’-Dion Dengan Katalis HCl [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Webster RG, Peiris M, Chen H dan Guan Y. 2006.H5N1 Outbreaks and Enzootic Influenza. EmergIfenct Dis 12: 3 – 8.

Widodo W. 2010. Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. http://etd.eprints.ums.ac.id/5133/1/K100050071.pdf [15 Mei 2010].

(48)

33

(49)

34

Lampiran 1. Hasil uji statistika Kruskal-Wallis

Subscript Perlakuan N Mean Rank Selisih Absolut

B K1 93 201,9892473

A K2 89 167,7303371 34,2589

A P1 86 163,9011628 38,0881 3,8292

A P2 81 163,7839506 38,2053 3,9464 0,1172

Lampiran 2. Hasil signifikansi analisis statistika pada organ hati

Pairwise |Ri - Rj| Pembanding Keputusan K1 vs K2 34,26 31,23 Signifikan

Lampiran3. Uji Statistika (a,b) hasil data pada organ hati

Hati

Chi-Square 11,057

Df 3

Asymp. Sig. ,011

Lampiran 4. Hasil uji statistika Kruskal-Wallis pada organ ginjal

Subscript Perlakuan N Mean Rank Selisih Absolut

B K1 106 222,7688679

A K2 59 152,8728814 69,8960

A P1 98 167,9795918 54,7893 15,1067

A P2 86 139,3023256 83,4665 13,5706 28,6773

Lampiran 5. Hasil signifikansi analisis statistika pada organ ginjal

(50)

35

Lampiran6. Uji Statistika (a,b) hasil data pada organ ginjal

Ginjal Chi-Square 43,586

Df 3

Asymp. Sig. ,000

Lampiran 7. Analisa Kandungan Bahan Kimia Tanaman Obat Dengan Metode Gas Kromatografi Spektrometri Massa (GC-MS)

Tanaman Obat

Komponen Kimia Konsentrasi

( ≥ 0,5 % ) Temu Ireng 1.

Metil-xantotoksin

2,09

2.

Metano-benzosiklohepten

1,96

3. Metilena-5-heksenal

0,6

Gambar

gambaran histopatologi. Target akhir dari kegiatan penelitian ini adalah produksi
Gambar  3. Temu Ireng (Curcuma aeroginosa Roxb.)
Tabel 4. Persentasi kemunculan lesio histopatologi pada ginjal

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui pengaruh pemberian pemberian temulawak ( Curcuma xanthoriza Roxb ) dan mineral zink berpengaruh terhadap bobot relatif hati, tiroid , ginjal dan Limpa

Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Kajian Proteksi Formula Empat Tanaman Obat Terhadap Ketahanan Hidup Ayam Broiler Yang Diuji Tantang Dengan Virus Avian