• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determining Minimum and Optimum Viable Population Size of Rusa Deer (Rusa timorensis) Based on Demographic Parameters : Study Case at Pananjung Pangandaran Natural Park / Nature Reserve and Alas Purwo National Park

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Determining Minimum and Optimum Viable Population Size of Rusa Deer (Rusa timorensis) Based on Demographic Parameters : Study Case at Pananjung Pangandaran Natural Park / Nature Reserve and Alas Purwo National Park"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KASUS DI TAMAN WISATA ALAM / CAGAR ALAM

PANANJUNG PANGANDARAN DAN TAMAN NASIONAL

ALAS PURWO

ASTRI YULIAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penentuan Ukuran Populasi Minimum dan Optimum Lestari Rusa Timor (Rusa timorensis) Berdasarkan Parameter Demografi: Studi Kasus di Taman Wisata Alam / Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Taman Nasional Alas Purwo adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2011

(3)

ASTRI YULIAWATI. Determining Minimum and Optimum Viable Population Size of Rusa Deer (Rusa timorensis) Based on Demographic Parameters : Study Case at Pananjung Pangandaran Natural Park / Nature Reserve and Alas Purwo National Park. Under direction of YANTO SANTOSA and ACHMAD MACHMUD THOHARI.

One of the main goals of conservation is to maintain and increase the population size. In order to conserve wildlife population, Minimum Viable Population (MVP) and Optimum Viable Population (OVP) for high utilized wild animal are needs to know. Rusa deer which protected by the conservation law have a great economic value. The aims of this study are to determine MVP and OVP of rusa deer to make do rusa deer benefit without intrude its population stability. Algebra linear equation system from matrix Leslie was used to determine MVP and density dependence Leslie matrix was used to determine the OVP. MVP size for rusa deer population in Pananjung Pangandaran Natural Park / Nature Reserve is 97 individuals and for Alas Purwo National Park is 10.367 individuals. OVP size for rusa deer population in Pananjung Pangandaran Natural Park / Nature Reserve is 751 individuals, and for Alas Purwo National Park is 21.682 individuals.

(4)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(5)

Lestari Rusa Timor (Rusa timorensis) Berdasarkan Parameter Demografi: Studi Kasus di Taman Wisata Alam / Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Taman Nasional Alas Purwo.

Nama : Astri Yuliawati

NRP : E 351090051

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. Dr. Ir. A Machmud Thohari, DEA

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof. Dr. Ir.Ervizal.A.M Zuhud, MS Dr.Ir. Dahrul Syah M.Sc, Agr

(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia yang dilimpahkanNya sehingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar magister sains pada program studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekologi kuantitatif dengan judul Penentuan Ukuran Populasi Minimum dan Optimum Lestari Rusa Timor (Rusa timorensis) Berdasarkan Parameter Demografi : Studi Kasus di Taman Wisata Alam / Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Taman Nasional Alas Purwo. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam upaya konservasi dan sebagai acuan pengelolaan populasi rusa timor.

Bogor, November 2011

(7)

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 30 juli 1985 dari pasangan

Bapak Prof. Dr. H. As’ari Djohar, MPd dan Ibu Dra. Hj. Iwa Pergiwati. Penulis

merupakan anak ke-tiga dari tiga bersaudara. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan studinya di SMU Negeri 11 Bandung dan pada tahun yang sama penulis lulus dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru di jurusan Biologi Universitas Padjadjaran Bandung.

Penulis bergabung dengan klub konservasi pecinta burung yaitu Bird Conservation Society (BICONS) dan banyak berkecimpung dalam kegiatan konservasi burung khususnya Raptor. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan Grant untuk mengikuti Simposium Raptor se-Asia yang diselenggarakan di Tam-Dao Nasional Park Vietnam dan mempresentasikan poster hasil penelitiannya

yang berjudul “Feeding behavior of Javan Hawk-Eagle (Spizaetus Bartelsi) in

Habituation Cage, Panaruban, Subang, West Java”.

(8)
(9)

ii

5.6. Suhu Udara, Kelembaban, dan Curah Hujan ... 52

5.7. Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 53

5.8. Ukuran Populasi Optimum Lestari... 54

(10)

iii

1. Ukuran Parameter Demografi Rusa Timor berdasarkan Beberapa Penelitian

……… 16

2. Kriteria Keausan Gigi Pada Rusa Sebagai Dasar Pendugaan Umur……….. 17

3. Gambar Rusa Timor Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas Umur…...…... 33

4. Ukuran Populasi Rusa Timor………. 41

5. Struktur Umur dan Sex Rasio……… 42

6. Peluang Hidup Rusa Timor……… 47

7. Fekunditas Rusa Timor……….. 48

8. Produktivitas Pakan di TWA dan CA Pananjung Pangandaran……… 50

9. Suhu Udara, Kelembaban, dan Curah Hujan Lokasi Penelitian……… 52

(11)

iv

1. Kerangka Pemikiran Penelitian……….……... 5

2. Peta Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran……… 23

3. Peta Zonasi Taman Nasional Alas Purwo……….. 30

4. Struktur Umur Rusa Timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran……. 43

5. Struktur Umur Rusa Timor di TN Alas Purwo………... 44

6. Kurva Survivorship……… 45

7. Grafik Peluang Hidup Rusa Timor……… 46

8. Penyimpangan Perilaku Makan Rusa Timor………. 47

9. Invasi Semak di Padang Penggembalaan Badeto, Nanggorak dan Cikamal.. 51

10.Grafik Selisih Populasi Rusa Timor Pertahun di TWA dan CA Pananjung Pangandaran………... 54

11.Grafik Selisih Populasi Rusa Timor Pertahun di TN Alas Purwo…………. 55

12.Pertumbuhan Populasi Rusa Timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran………... 56

(12)

v

1. Perhitungan Ukuran Populasi Minimum Lestari……….65 2. Contoh Matriks Leslie Terpaut Kepadatan……….71

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Kerusakan dan hilangnya habitat, perburuan liar, dan bencana alam mengakibatkan berkurangnya populasi satwa liar di alam. Tujuan utama dari konservasi adalah untuk mengurangi dan mencegah pengurangan populasi tersebut agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (Indrawan 2007, Alikodra 1990). Upaya konservasi dapat dilakukan dengan melakukan pengelolaan pada populasi satwa liar, karena kepunahan dan kelestarian ditentukan oleh ukuran populasi (Reed 2002, Soulé 1987). Dalam pengelolaan populasi diperlukan informasi mengenai populasi aktual dan populasi target yang harus dicapai. Ukuran populasi minimum lestari merupakan ukuran populasi yang menjadi target dari upaya konservasi (Shaffer 1981, Gilpin 1986, Soulé 1987). Populasi minimum lestari yang lebih dikenal dengan istilah MVP (Minimum Viable Population) adalah jumlah individu minimum yang dibutuhkan untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang (Soulé 1987). Menurut Shaffer (1981) MVP adalah populasi terkecil yang terisolasi yang mempunyai kemungkinan 99% untuk bertahan hidup atau lestari selama 1000 tahun setelah mendapatkan pengaruh demografi, lingkungan, genetik, dan juga bencana alam. Sedangkan menurut Reed (2000) MVP adalah populasi terkecil dari suatu spesies yang mempunyai kemungkinan 99% untuk tetap ada selama 40 generasi. Selama ini upaya konservasi banyak dilakukan tanpa mengetahui target yang jelas untuk dicapai. Dengan diketahuinya ukuran minimum populasi lestari, diharapkan langkah yang diambil dalam konservasi dapat dilakukan dengan lebih efisien.

(14)

dapat ditentukan dari selisih populasi aktual dengan populasi minimum lestari (Kusmardiastuti 2010).

Selain ukuran populasi minimum lestari, ukuran populasi optimum lestari juga penting untuk dikaji. Populasi optimum lestari merupakan kondisi dimana pada ukuran populasi tersebut laju pertumbuhan populasi akan maksimal. Dengan laju pertumbuhan maksimal, populasi akan bertambah dengan cepat, sehingga pemanenan dapat dilakukan tanpa mengganggu keseimbangan populasi (Knox et al. 2005). Ukuran populasi optimum berada di antara ukuran populasi minimum lestari dengan daya dukung yang ada (Erlich 1994). Informasi mengenai ukuran populasi optimum lestari ini sangat dibutuhkan dalam pengelolaan satwaliar yang dimanfaatkan. Salah satu satwaliar yang berpotensi untuk dimanfaatkan adalah rusa timor (Garsetiasih 2007).

Rusa timor yang memiliki nama ilmiah (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu satwa liar Indonesia yang mempunyai banyak manfaat dan nilai ekonomi yang tinggi. Rusa dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging, kulit dan tanduk. Tanduk muda (velvet) yang sudah dikeringkan harganya dapat mencapai US$ 100 per kg dan harga daging rusa di Malaysia RM 30/kg (Semiadi 2002). Besarnya potensi yang dimiliki rusa tidak dapat begitu saja dimanfaatkan oleh manusia. Sejak zaman penjajahan Belanda rusa timor dilindungi oleh ordonansi dan Undang-Undang Perlindungan Satwa Liar No. 134 dan 266 tahun 1931 (Semiadi 2004). Undang-Undang ini merupakan upaya perlindungan pemerintah untuk mencegah kepunahan jenis-jenis rusa yang ada di Indonesia. Adanya undang undang perlindungan terhadap rusa timor ini tidak serta merta menjamin kelestarian populasi rusa timor di Indonesia. Populasi rusa timor tetap menurun dengan laju penurunan populasi 10% pada setiap generasi (IUCN 2010). Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan populasi bagi rusa timor, agar rusa timor dapat lestari untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan.

(15)

rusa timor dapat dimanfaatkan dengan lestari di masa yang akan datang. Populasi minimum lestari untuk rusa timor belum pernah dikaji sebelumnya. Sama halnya dengan kerabatnya White-tailed deer. Mandujano (2009) menggunakan ukuran populasi minimum lestari untuk White-tailed deer di Mexico yang mengacu pada pernyataan Franklin yaitu 500-5000 individu untuk hewan vertebrata. Angka tersebut terlalu umum, padahal setiap spesies memiliki parameter demografi yang berbeda-beda. Begitu juga dalam satu spesies, setiap kelas umur memiliki peluang hidup yang berbeda-beda sehingga akan memiliki ukuran populasi minimum lestari yang berbeda. Oleh karena itu dalam penelitian ini ukuran populasi minimum lestari dan ukuran populasi optimum lestari akan ditentukan pada setiap kelas umur.

Penentuan Populasi minimum lestari dapat dilakukan dengan dua konsep yaitu konsep genetik dan demografi (Ewens et al. 1995, Lande 1988). Konsep yang digunakan dalam penentuan ukuran populasi minimum dan optimum lestari pada penelitian ini adalah konsep parameter demografi. Parameter demografi pada suatu populasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga pada populasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda kemungkinan memiliki ukuran populasi minimum dan optimum lestari yang berbeda pula. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi dengan tipe iklim yang berbeda, yakni di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran dengan tipe iklim B (Basah), dan di Taman Nasional Alas Purwo dengan tipe iklim C (Agak Basah) dan D (Sedang). Dengan perbedaan tipe iklim di kedua lokasi diharapkan memiliki parameter demografi yang berbeda, sehingga dapat dilihat ada tidaknya perbedaan ukuran populasi minimum dan optimum lestari di kedua lokasi penelitian.

1.2.Tujuan

1. Menentukan ukuran populasi minimum lestari rusa timor pada setiap kelas umur.

(16)

1.3.Kegunaan

Hasil penghitungan ukuran populasi minimum lestari ini diharapkan dapat dijadikan target pengelolaan rusa timor sehingga kelestariannya terjaga. Ukuran populasi optimum yang dihitung diharapkan menjadi target berikutnya dalam pengelolaan rusa timor, agar rusa timor dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan dasar untuk penentuan kuota tangkap dan acuan waktu pemanenan rusa timor di kedua lokasi penelitian.

1.4.Kerangka Pemikiran

Ukuran populasi ditentukan oleh empat parameter populasi yaitu: kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi (Krebs 1994). Populasi minimum lestari merupakan jumlah individu minimum yang dibutuhkan untuk dapat bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang (Soulé 1987). Suatu populasi dikatakan lestari apabila setidaknya ukuran populasi pada jangka waktu tertentu sama dengan ukuran populasi awal. Dengan kata lain jumlah individu yang lahir (kelahiran) sama dengan jumlah individu yang mati.

(17)

Ukuran populasi akan optimum pada saat laju pertumbuhan populasi maksimum. Laju pertumbuhan maksimum didapatkan dari selisih terbesar populasi awal dengan populasi akhir pada jangka waktu yang sama. Hasil simulasi pertumbuhan dengan matriks Leslie terpaut kepadatan disajikan dalam bentuk grafik. Secara garis besar kerangka pemikiran penelitian ini tersaji pada Gambar diagram berikut ini:

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Populasi Minimum Lestari

2.1.1. Pengertian

Ukuran populasi minimum lestari yang lebih dikenal dengan Minimum viable population (MVP) menyatakan ambang batas ukuran populasi suatu spesies dalam satuan individu yang memastikan bahwa populasi tersebut akan terus bertahan hidup sampai jangka waktu tertentu (Rai 2003). Shaffer (1981) mendevinisikan MVP untuk berbagai jenis spesies yang terdapat di setiap habitat sebagai populasi terkecil yang terisolasi yang mempunyai kemungkinan 99% untuk bertahan hidup atau lestari selama 1000 tahun setelah mendapatkan pengaruh demografi, lingkungan, genetik, dan juga bencana alam. Sedangkan menurut Reed (2000) MVP adalah populasi terkecil dari suatu spesies yang mempunyai kemungkinan 99% untuk tetap ada selama 40 generasi.

2.1.2. Sejarah

Konsep MVP (Minimum Viable Population), pertama kali di cetuskan oleh Shaffer pada tahun 1981, MVP telah mendapatkan perhatian yang lebih dalam bidang konservasi biologi. Genetik dan proses evolusi menjadi salah satu panduan untuk memprediksi populasi minimum agar suatu spesies dapat bertahan hidup. Untuk menghindari tekanan inbreeding dalam jangka waktu yang pendek, Franklin (1980) mengajukan bahwa ukuran minimal populasi yang efektif adalah tidak kurang dari 50 individu, berdasarkan teori ukuran minimum inbreeding 1% pada setiap generasi. Ukuran inbreeding ini telah dipertimbangkan dengan toleransi untuk banyak spesies hewan domestik yang dikondisikan pada lingkungan yang tidak berbahaya (Franklin 1980).

(19)

laju inbreeding yang tidak dapat diterima, sedangkan laju populasi efektif 500 diperlukan untuk menjaga keseluruhan varietas genetik dalam jangka waktu yang panjang. Dari pandangan populasi genetik, nilai perkiraan populasi efektif sebanyak 50 individu merupakan pencegahan dari tekanan inbreeding, 12 sampai 1000 untuk menghindari akumulasi mutasi yang dapat menghilangkan beberapa varietas gen, dan 500-5000 untuk menahan potensi evolusioner (Frankham 2002). Berdasarkan rata-rata nilai populasi efektif yang dibagi dengan nilai populasi secara kasar, bernilai sekitar 0,100 atau 10 % maka kita harus mempunyai 500 individu dari 5000 individu yang di sensus (Frankham 2002).

2.1.3. Penentuan Populasi Minimum Lestari

Terdapat dua konsep dalam menentukan ukuran populasi minimum lestari yaitu konsep genetik dan demografi (Ewens et al. 1995 Lande 1988). Konsep genetik menekankan pada laju kehilangan variasi genetik dari suatu populasi termasuk didalamnya penurunan fitness dan genetic drift. Konsep demografi lebih menitik beratkan pada kemungkinan terjadinya kepunahan populasi akibat dari tekanan demografi. Dalam penentuan ukuran populasi minimum lestari, terdapat beberapa metode dan perangkat lunak yang dapat memudahkan penghitungannya, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. STOCHMVP

Salah satu penelitian yang menggunakan perangkat lunak ini adalah penelitian tentang MVP pada kupu-kupu Bay checkerspot yang dilakukan oleh Campbell tahun 2002. Campbell menggunakan program modeling STOCHMVP untuk menentukan nilai MVP kupu-kupu tersebut. Data yang digunakan merupakan data populasi tahunan.

2. VORTEX

(20)

minimum lestari yang telah dilakukan: Brito et al. (2002) menentukan nilai MVP dan status konservasi pada Trinomys eliasi. Penentuan nilai minimum viable population dengan menggunakan program VORTEX juga dilakukan oleh Grimm (2000) dalam penelitiannya mengenai penentuan nilai MVP capercaillie Tetrao urogallus dan Champman (2001) dalam penelitiannya yang berjudul Population viability analyses on a cycling population: a cautionary tale. Bachmayr (2004) menggunakan simulasi model populasi stokastik dengan VORTEX untuk mengidentifikasi variabel kunci yang mempengaruhi nilai ambang batas dalam dinamika populasi, untuk menduga resiko kepunahan, dan untuk mengoptimalisasi manajemen dengan membandingkan parameter model dengan data populasi yang ada.

3. RAMAS

Mandujano (2008) menghitung MVP untuk Mexican mantled howler monkeys Alouatta palliata Mexicana. Analisis menggunakan model populasi stokastik dengan menggunakan software RAMAS/Metapop untuk mengevaluasi peranan parameter demografi dalam pertumbuhan populasi dan untuk mensimulasi tren kelompok dan kemungkinan kepunahan lokal dari Mexican mantled howler monkeys Alouatta palliata mexicana di Los Tuxtlas, Mexico, dalam dua skenario landscape yakni populasi yang terisolasi (IPS) dan populasi yang terfragmentasi atau meta populasi (MPS). Baik pada simulasi IPS maupun MPS peluang kepunahan secara eksponensial tergantung pada ukuran fragmentasi. Perkiraan 60 % kepunahan di perkirakan akan terjadi pada ukuran fragmentasi yang kurang dari 15 ha. Simulasi ini menunjukan kemungkinan perubahan populasi pada MPS lebih rendah dari IPS.

4. Matriks Leslie.

(21)

Data yang digunakan merupakan data set populasi dari penelitian sebelumnya. MVP ditentukan dengan cara mensimulasikan populasi awal. Surya (2010) menggunakan matriks Leslie sebagai dasar dari penentuan ukuran populasi minimum lestari monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Matriks Leslie di jabarkan dengan system aljabar untuk mendapatkan ukuran populasi minimum lestari.

2.2.Bio-ekologi Rusa Timor

2.2.1. Taksonomi dan Morfologi

Rusa termasuk satwa ruminansia dari bangsa Artiodactyla, suku Cervidae, dengan anggota 17 marga, 42 jenis dan 196 anak jenis ( Baillie et al. 1996, Timmins et al. 1998, Whitehead 1993 dalam Semiadi 2006). Rusa Timor diklasifikasikan ke dalam Phylum Chordata, Sub phylum Vertebrata, Class Mamalia, Ordo Artiodactyla, Sub Ordo Ruminansia, Family Cervidae, Genus Rusa, dan Spesies Rusa timorensis de Blainville 1822.

Rusa Timor memiliki ukuran tubuh sekitar 50 – 60 % lebih kecil dibandingkan dengan rusa sambar (Semiadi 2006). Rusa Jantan memiliki tanduk yang bercabang yang disebut rangga, dengan panjang dua kali panjang kepalanya (Schroder 1976 dalam Mukhtar 1996). Rangga rusa jantan dewasa biasanya memiliki tiga buah cabang runcing. Rusa jantan memiliki warna bulu coklat keabu-abuan dan pada jantan sering kali memiliki warna yang lebih gelap (Semiadi 2006). Ekor relatif panjang dengan bulu yang tidak terlalu panjang (Anderson 1984 dalam Semiadi 2006). Perut berwarna lebih terang daripada punggung. Ketiak, pangkal paha, dan bagian dalam dari telinga berwarna putih kekuningan.

2.2.2. Habitat

(22)

rumput merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Cervus timorensis (Garsetiasih 2007). Whitten et al. (1996) dalam Semiadi (2006) menyatakan bahwa habitat utama untuk rusa timor adalah kawasan savana. Di daerah yang sering terkena kebakaran akan dijumpai banyak rusa timor yang “turun gunung” guna merumput tanaman muda dan menjilati abu sisa pembakaran sebagai sumber mineral. Rusa timor dapat dijumpai dengan mudah di daerah hutan terbuka hingga ketinggian 2600 m dpl (Semiadi 2006). Diluar habitat aslinya, Rusa timor dapat hidup hingga daerah bersalju (Inggris), walau hanya dalam jumlah populasi yang terbatas (Whitehead 1993 dalam Semiadi 2006).

2.2.3. Distribusi

Groves dan Grubb (1987) dalam Semiadi (2006) meyakini bahwa rusa timor yang berada di Sulawesi dan Pulau Timor merupakan rusa yang berasal dari Pulau Jawa dan Bali, yang mencapai Pulau tersebut baik dengan adanya campur tangan manusia maupun menyebrang secara berenang, khususnya untuk rusa yang berada di daerah Nusa Tenggara.Van mourik dan Stelmasiak (1986) dalam Semiadi (2006) mempunyai keyakinan bahwa cikal bakal rusa timor dan anak jenisnya dimulai dari daratan Cina. Pada saat perubahan iklim dunia di masa Holocene, terjadilah migrasi pertama yang dimulai ke daerah Kalimantan dan Jawa. Penelitian menunjukan bahwa di awal era Pleistocene di Taiwan pernah hidup jenis rusa timor.

Penyebaran rusa timor diluar habitat asli:

(23)

2006). Pelepasan rusa timor di daerah Taman Nasional Wasur dilakukan pada tahun 1928an dan telah berkembang pesat (Semiadi 2006).

2.2.4. Status

Rusa timor (Rusa timorensis) atau biasa disebut dengan rusa jawa masih umum berada di tempat-tempat asalnya yang terbatas. Tetapi rusa timor di tetapkan sebagai spesies yang masuk dalam kategori Vulnerable (C1) karena pada populasi aslinya total individu dewasa kurang dari 10.000 individu dengan perkiraan penurunan populasi terus bertambah 10% pada setiap generasi akibat dari hilangnya habitat, rusaknya habitat dan perburuan liar. (IUCN 2010).

2.2.5. Populasi

Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies pada suatu waktu tertentu dan menghuni suatu wilyah atau tata ruang tertentu (Tarumingkeng 1994). Alikodra (1990) mengartikan populasi sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individu – individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya.

Ukuran populasi rusa timor telah banyak dikaji di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan penelitian Kangiras 2009 populasi rusa timor di TWA dan CA Panajung Pangandaran tahun 2009 adalah 73 ekor dengan komposisi 8 ekor anak, 11 ekor muda, dan 53 ekor dewasa. Ukuran populasi rusa timor di Taman Nasional Alas Purwo pada tahun 2006 diperkirakan sebanyak 7.992 ekor (Santosa 2008). Menurut penelitian

Masy’ud (2007) ukuran populasi rusa timor di Taman Nasional Bali Barat

(24)

2.2.6. Reproduksi

Dilihat dari segi reproduksi, rusa termasuk satwa liar yang produktif, masa reproduksi rusa dimulai dari umur 1,5 tahun sampai 12 tahun, rusa dapat bertahan hidup antara umur 15-20 tahun (Garsetiasih 2007). Semiadi (2006) menyatakan bahwa rusa timor yang terdapat di Pulau Jawa (Cervus timorensis russa) secara alami memiliki umur sampai dengan 17 tahun. Anak rusa umur 4 bulan dapat mencapai bobot badan 17,35 kg untuk jantan dan 16,15 kg betina. Rusa pada umur satu sampai dua tahun sudah dapat bereproduksi, dengan lama bunting antara 7,5 bulan sampai 8,3 bulan. Bila ditangani secara intensif satu bulan setelah melahirkan rusa sudah dapat bunting lagi, terutama bila dilakukan penyapihan dini pada anak yang dilahirkan, sedangkan umur sapih anak rusa secara alami yaitu 4 bulan. Setiap tahun rusa dapat menghasilkan anak, biasanya anak yang dilahirkan hanya satu ekor (Garsetiasih 2007).

2.2.7. Parameter Demografi

2.2.7.1. Natalitas

(25)

Laju natalitas rusa timor di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Panajung Pangandaran adalah 3,83% (Kangiras 2009). Tidak jauh berbeda dengan laju natalitas rusa timor di Pangandaran, laju natalitas di penangkaran semi intensif HP Darmaga adalah 3,3% (Kwatrina 2009).

2.2.7.2. Mortalitas

Ukuran populasi berkurang karena laju mortalitas. Kematian satwa liar dapat disebabkan oleh keadaan alam, kecelakaan, perekelahian dan aktivitas manusia. Mortalitas merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dinyatakan dalam laju kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dengan jumlah total populasi selama satu periode waktu, dan laju kematian spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu (Alikodra 1990).

Laju Mortalitas rusa timor di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Panajung Pangandaran adalah 2,97% (Kangiras 2009). berbeda dengan laju mortalitas rusa timor di Pangandaran, laju natalitas di penangkaran semi intensif Hutan Penelitian Darmaga adalah 0,15% (Kwatrina 2009). Laju Kematian atau laju mortalitas lebih besar di alam di bandingkan dengan di penangkaran.

2.2.7.3. Struktur Umur dan Sex rasio

Struktur umur berbeda-beda pada setiap populasi, struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangabiakan satwa liar. Menurut Alikodra (1990), struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari setiap populasi. secara garis besar struktur umur pada populasi dapat digolongkan dalam tiga struktur (Tarumingkeng 1994) yaitu :

(26)

paling besar pada kelas umur sedang dan kecil pada kelas umur tua. Perkembangan populasi tersebut terus menurun dan jika keadaan lingkungan tidak berubah, populasi akan punah setelah beberapa waktu.

2. Struktur umur stabil, bentuk piramida sama sisi, dengan sisi-sisi yang kemiringannya mengikuti garis lurus.

3. Struktur umur meningkat dengan populasi yang terus meningkat, merupakan piramida dengan sisi-sisi yang cekung dengan dasar yang lebar.

Sedangkan Van Laviren (1982) dalam Alikodra (1990) menggolongkan struktur umur populasi pada 4 struktur yaitu:

1. Struktur umur dalam keadaan populasi yang seimbang, yaitu natalitas dan mortalitas yang relatif seimbang.

2. Struktur umur dalam keadaan populasi yang mundur yaitu natalitas mengalami penurunan.

3. Struktur umur dalam keadaan populasi yng berkembang, yaitu natalitas mengalami peningkatan.

4. Struktur umur dalam keadaan mengalami gangguan sehingga terjadi kematian yang tinggi pada kelas umur tertentu.

Seks ratio adalah perbandingan jumlah jantan dengan betina dalam satu populasi (Alikodra 1990). Berdasarkan penelitian Kangiras (2009) sex rasio jantan:betina di TWA/CA Pananjung Pangandaran pada setiap kelas umur rusa timor adalah 1:2. Di dalam penangkaran rusa, dianjurkan jumlah betina lebih banyak dibanding jantan karena satu ekor rusa jantan dapat mengawini empat ekor betina (Garsetiasih 2007).

(27)

Tabel 2.1. Ukuran Parameter Demografi Rusa Timor Berdasarkan pola keausan gigi, susunan geligi dan pertumbuhan rangga pada rusa jantan. Namun penentuan umur rusa berdasakan pertumbuhan rangga hanya efektif untuk menduga umur dibawah dua tahun saja, sedangkan susunan geligi hanya dapat dipakai hingga umur 3 tahun saja (Semiadi 2006). Oleh karena itu pengamatan pola keausan gigi lebih sering digunakan dalam mendapatkan pekiraan umur secara kasar. Pengamatan keausan gigi dibagi menjadi beberapa criteria (Tabel 2.2).

(28)

Tabel 2.2. Kriteria keausan gigi pada rusa sebagai dasar pendugaan umur

Sumber: Van Bemmel (1949) dalam Mukhtar (1996) Keterangan: bagian depan hilang atau hampit hilang (0)

00 = dentin yang seperti sabit pada bagian depan dan belakang hilang

000 = permukaan kepala gigi sepenuhnya pemakaiannya turun, datar dan halus.

Perilaku anak pada rusa timor, biasanya selalu mengikuti induknya atau bergerak disekitar induknya, sedangkan pada individu remaja sudah tidak lagi bergabung dengan induk, namun berkelompok dengan rusa remaja lainnya. Individu dewasa biasanya bergabung membentuk kelompok kecil dengan betina dewasa lainnya dan anak anak mereka. Namun ukuran kelompok tidak terlalu besar hanya 2-3 ekor betina dewasa saja. Sedangkan pada individu jantan dewasa, rusa timor cenderung soliter (Semiadi 2006).

2.4. Produktivitas Rumput

Produktivitas rumput tergantung pada beberapa faktor (McIlroy 1976) yakni:

1. Persistensi (daya tahan), yaitu kemampuan bertahan untuk hidup dan berkembang biak secara vegetatif.

2. Daya saing, yaitu kemampuan untuk memenangkan persaingan dengan spesies –spesies lain yang tumbuh bersama.

(29)

4. Sifat tahan kering atau tahan dingin 5. Penyebaran produksi musiman.

6. Kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik atau dapat dikembangbiakan secara vegetatif dengan murah.

7. Kesuburan tanah (terutama kandungan nitrogen) 8. Iklim

Dari produktivitas padang rumput, tidak seluruh hijauan tersedia bagi ternak atau satwa liar. Oleh karena itu harus diperhitungkan faktor proper use yaitu persentase hijauan pakan yang dapat dikonsumsi oleh ternak atau satwa pada keadaan padang rumput dapat digunakan dengan baik (Harlan 1956). Menurut Susetyo (1980) nilai proper use dipengaruhi oleh keadaan lapangan, jenis tanaman, jenis ternak atau satwa liar, tipe iklim dan keadaan musim. Pada dasarnya makin besar kemungkinan terjadinya erosi, faktor proper use semakin kecil. Faktor proper use berdasarkan kemiringan lahan terbagi menjadi tiga yakni, proper use untuk lapangan datar dan bergelombang dengan kemiringan 0%-11% adalah 60%-70%, pada lapangan bergelombang dan berbukit dengan kemiringan 11%- 51% adalah 40%-45% dan pada lapangan berbukit sampai curam dengan kemiringan lebih dari 51% adalah 25%-30% (Susetyo 1980).

2.4.1. Pengukuran Produktivitas Padang Rumput

(30)

Teknik pemotongan umumnya dilakukan terdiri dari pemotongan hijauan dari suatu luasan padang rumput sebagai cuplikan, menimbangnya kemudian dihitung produktivitas per unit luas padang rumput yang bersangkutan. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya gangguan pada pertumbuhan rumput di petak contoh padang yang digembalai, maka digunakan pagar yang terbuat dari kawat besi untuk melindungi petak contoh tersebut (McIlroy 1976).

Menurut Anggorodi (1975) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memotong hijauan pakan, yaitu saat pemotongan, tinggi pemotongan dan frekuensi pemotongan. Terdapat tiga tahap pertumbuhan pada tumbuhan pakan yaitu:

1. Tahap pertumbuhan 1 (germinatif) terjadi pada awal pertumbuhan sampai usia rumput satu minggu. Karakteristik rumput: produksi rendah, kualitas tinggi, pertumbuhan vegetatif lemah, pemotongan pada tahap ini berakibat buruk

pada “regrowth”.

2. Tahap pertumbuhan 2 (vegetatif) terjadi pada awal minggu kedua sampai akhir minggu ke 3. Karakteristik rumput: produksi tinggi, kualitas baik, pertumbuhan vegetatif sudah kuat, pemotongan pada tahap ini tidak

berdampak buruk pada “regrowth

3. Tahap pertumbuhan 3 (generatif) terjadi pada awal minggu keempat dan setelahnya. Karakteristik rumput: produktivitas tinggi, kualitas menurun, masa persiapan pembentukan biji dan bunga. Pemotongan pada tahap ini menghasilkan hijauan yang rendah.

(31)

III. KONDISI UMUM LOKASI

3.1. Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran

3.1.1. Letak, Luas, dan status Kawasan

Sebelum di tetapkan sebagai Cagar Alam (CA) kawasan hutan pangandaran terlebih dahulu ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa, hal ini berdasarkan Gb Tanggal 7-12-1934 Nomor 19 Stbl. 669, dengan luas 497 Ha, (luas yang sebenarnya 530 Ha) dan taman laut luasnya 470 Ha. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya setelah diketemukan bunga Raflesia padma, status Suaka Margasatwa dirubah menjadi Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 34/KMP/1961. Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan rekreasi, maka sebagian kawasan seluas 37,70 Ha dijadikan Hutan Wisata dalam bentuk Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 170/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10-3-1978. TWA dan CA Pangandaran terletak di Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran Kabupaten

Ciamis. Secara astronomis kawasan ini terletak antara 108 derajat 40’ BT dan 7 derajat 43” LS.

3.1.2. Keadaan Fisik Kawasan

3.1.2.1. Topografi

Topografi kawasan TWA/CA Pananjung Pangandaran terdiri dari 70% datar dan 30% berbukit. Dengan ketinggian rata-rata < 50 m dpl. Daerah tertinggi mencapai ± 50 m dpl.

3.1.2.2. Geologi

(32)

laut. Endapan tersebut terdiri dari pasir dan tanah yang kondisinya hampir menutupi seluruh areal pantai TWA/ CA Pananjung Pangandaran.

3.1.2.3. Iklim

Kawasan TWA/CA Pananjung Pangandaran mempunyai curah hujan rata-rata 3.196 mm/tahun dengan suhu berkisar 25° - 30° C dan kelembaban udara antara 80-90 %. Musim basah atau hujan terjadi pada Oktober sampai dengan Maret bersamaan dengan bertiupnya angin barat/barat laut. Musim kering terjadi pada Juli sampai dengan September selama periode musim angin tenggara.

3.1.2.4. Hidrologi

Dalam kawasan TWA/CA Pananjung Pangandaran terdapat dua buah sungai yang panjangnya tidak lebih dari 500m – 2 km. Sungai terbesar adalah sungai Cikamal yang bermuara di pantai barat dan sungai Cirengganis yang bermuara di pantai timur.

3.1.3. Ekosistem

Kawasan TWA dan CA Pananjung Pangandaran memiliki beberapa tipe ekosistem yakni:

a. Ekosistem pantai yang didominasi oleh butun (Baringtonia asiatica), ketapang (Terminalia cattapa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), dan pandan (Pandanus tectorius).

b. Ekosistem hutan dataran rendah, didominasi oleh jenis laban (Vitex pubescens), kondang (Ficus variegata), marog (Cratoxylon formosum), kisegel (Dilenia excelsa).

(33)

3.1.4. Flora

Flora yang terdapat sekitar 80% merupakan vegetasi hutan sekunder tua dan sisanya adalah hutan primer. Pohon-pohon yang dominan antara lain Laban (Vitex pubescens), Kisegel (Dilenia excelsea), dan Marong (Cratoxylon formosum). Selain itu banyak juga terdapat jenis-jenis pohon seperti : Reungas (Buchanania arborencens), Kondang (Ficus variegata), Teureup (Artocarpus elsatica) dan lain-lain. Dari formasi Baringtonia terdiri dari Nyamplung (Callophylum inophylum), Waru laut (Hibiscus tiliaceus), Ketapang (Terminalia cattapa), dan Butun (Baringtonia aistica). Di dataran rendahnya terdapat hutan tanaman yang merupakan tanaman eksotik, yaitu yang terdiri dari tanaman jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Komis (Acacia auriculirformis).

3.1.5. Fauna

Satwa liar yang terdapat diantaranya adalah : Rusa timor (Rusa timorensis), Tando (Cynocephalus variegatus), Kalong (Pteroptus vampyrus), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Lutung (Trcyphithecus auratus), Kangkareng (Anthracoceros convexus), Rangkong (Buceros rhinoceros), dan Ayam hutan (Gallus gallus).

3.1.6. Peta Kawasan TWA/CA Pananjung Pangandaran

(34)

3.2. Taman Nasional Alas Purwo

3.2.1. Letak, Luas, dan Status Kawasan

Secara geografis Kawasan Taman Nasional Alas Purwo terletak ujung Timur Pulau Jawa wilayah pantai Selatan antara 8? 26' 45? - 8? 47' 00? LS dan 114? 20? 16? - 114? 36? 00? BT. Ketinggian tempat bervariasi dari 0 - 322 m dpl. Menurut administrasi wilayah pemerintahan termasuk dalam Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi. Kantor UPT Taman Nasional Alas Purwo berkedudukan di Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi. Taman Nasional Alas Purwo berbatasan dengan Teluk Grajagan, kawasan hutan produksi Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyuwangi Selatan, Desa Grajagan, Desa Purwoagung, Desa Sumberasri, di sebelah Barat. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bali dan Samudera Indonesia, sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Pangpang, Selat Bali, Desa Sumber beras, Desa Kedungrejo, Desa Wringinputih Kecamatan Muncar serta Desa Kedungasri Kecamatan Tegaldlimo dan sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Kawasan Alas Purwo, sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional, semula berstatus Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 6 stbl 456 tanggal 01 September 1939 dengan luas areal 62.000 ha. Kemudian, berdasarkan berita acara pengukuran tanggal 27 Mei 1983 luasan tersebut diubah menjadi 43.420 ha, dan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 283/Kpts-II/1992 tanggal 26 Pebruari 1992, status suaka margasatwa diubah menjadi Taman Nasional Alas Purwo.

Kawasan Taman Nasional Alas Purwo, berdasarkan pembagian zonasi sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 51/Kpts/Dj-IV/1987 tanggal 12 Desember 1987, terbagi atas:

(35)

3.Zona Pemanfaatan, 250 ha, 4.Zona Penyangga, 1.303 ha.

Pada tahun 2005 dilakukan revisi zonasi TNAP terkait dengan usulan zona pemanfaatan dan perubahan eks zona penyangga menjadi zona tradisonal dan zona rehabilitas. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : 26/Kpts/IV-KK/2007 tanggal 19 Pebruari 2007 tentang Revisi Zonasi Taman Nasional Alas Purwo, terbagi atas:

1.Zona Inti, 17.150 ha, 2.Zona Rimba, 24.207 ha, 3.Zona Rehabilitasi, 620 ha, 4.Zona Pemanfaatan, 660 ha. 5.Zona Tradisional, 783 ha.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Pebruari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional, Balai Taman Nasional Alas Purwo terdiri dari 2 (dua) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah yaitu Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Tegaldlimo dan Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Muncar. Taman Nasional Alas Purwo, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu:

1.Perlindungan proses ekologis sistem penyangga kehidupan.

(36)

3.2.2. Keadaan Fisik Kawasan

3.2.2.1. Topografi

Kawasan Taman Nasional Alas Purwo terdiri dari daerah pantai (perairan, daratan dan rawa), daerah daratan hingga daerah perbukitan dan pegunungan, dengan ketinggian mulai dari 0 – 322 m dpl dengan puncak tertinggi Gunung Lingga Manis. Daerah pantai di Taman Nasional Alas Purwo melingkar mulai dari Segoro Anak (Grajagan) sampai daerah Muncar dengan panjang garis pantai sekitar 105 Km. Kelerengan kawasan mulai daerah datar (0-8%) seluas 10.554 ha, landai (8-15%) seluas 19.474 ha, agak curam (15-25%) seluas 11.091 ha, serta curam (25-40%) seluas 2.301 ha.

3.2.2.2. Geologi

Formasi geologi pembentuk kawasan Taman Nasional Alas Purwo berumur Meosen atas, terdiri dari batuan berkapur dan batuan berasam. Pada batuan berkapur terjadi proses karstifikasi yang tidak sempurna, karena faktor iklim yang kurang mendukung (relatif kering), serta batuan kapur yang diperkirakan terintrusi oleh batuan lain. Di kawasan Taman Nasional Alas Purwo terdapat banyak gua, dan menurut hasil inventarisasi, di Taman Nasional Alas Purwo terdapat 44 buah gua. Diantara gua-gua tersebut yang selama ini banyak dikunjungi adalah Gua Istana, Gua Padepokan dan Gua Basori. Jenis tanah di kawasan Taman Nasional Alas Purwo terdiri atas 4 (empat) kelompok, yaitu (1) tanah komplek Mediteran Merah-Litosol seluas 2.106 ha, (2) tanah Regosol Kelabu seluas 6.238 ha, (3) tanah Grumosol Kelabu seluas 379 ha, dan (4) tanah Aluvial Hidromorf seluas 34.697 ha.

3.2.2.3. Iklim

(37)

mencapai 1.079 mm (Tegaldlimo), 1.491 mm (Purwoharjo), 1.554 mm (Muncar) dan 2.147 mm (Glagah), masing-masing dengan hari hujan sebanyak 55 hari, 71 hari, 79 hari, dan 112 hari. Menurut sistem klasifikasi Schmidth dan Ferguson daerah sekitar Taman Nasional Alas Purwo memiliki tipe iklim sekitar D (agak lembab) sampai E (agak kering). Khusus untuk kawasan Kawah Ijen mempunyai tipe iklim C (lembab) dan D (agak lembab). Secara umum, bulan basah terjadi pada bulan Nopember sampai April, dan bulan kering terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Kisaran penyinaran matahari bulanan di Banyuwangi dan sekitarnya adalah 52% (bulan Januari) hingga 89% (bulan September), dengan rata-rata sebesar 75%. Suhu udara maksimum bulanan di Banyuwangi antara 31,2oC – 34,5oC dan suhu udara minimumnya antara 20,7oC – 22,5oC, sedangkan suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,9oC – 28,2oC. Fluktuasi kelembaban udara juga tergolong kecil, yaitu berkisar antara 75% - 81%. Arah angin terbanyak yang bertiup di daerah Banyuwangi adalah arah Selatan dengan kecepatan antara 2,3 – 4,2 knot.

3.2.2.4. Hidrologi

(38)

memiliki lebar lebih dari 500 m di bagian hilirnya dan membentuk daerah berawa. Sungai yang mengalir sepanjang tahun hanya terdapat di bagian Barat Taman Nasional yaitu Sungai Segoro Anak dan Sunglon Ombo. Pada musim penghujan muara sungai sering jebol dan air mengalir jernih, Sungai Pancur mengalir sepanjang tahun yang pada musim kemarau airnya berasa sadah dan pada musim penghujan berasa tawar. Di beberapa tempat air sumber dalam jumlah kecil dapat diperoleh dari sistim rekahan atau celahan dari lapisan lapuk tebal serta endapan aluvium yang tipis. Sumber air semacam ini dapat ditemui di blok hutan Pecari Kuning dan Sadengan. Mata air banyak terdapat di daerah Gunung Kucur, Gunung Kunci, Goa Basori dan Sendang Srengenge.

3.2.3. Ekosistem

Keanekaragaman jenis flora darat di kawasan Taman Nasional Alas Purwo termasuk tinggi. Hasil inventarisasi tumbuhan oleh Taman Nasional Alas Purwo mencatat 158 jenis tumbuhan (59 famili) mulai dari tingkat tumbuhan bawah sampai tumbuhan tingkat pohon dari berbagai tipe/formasi vegetasi (Hutan Pantai-Mangrove-Hutan Dataran Rendah). Menurut Mark Grantham, jenis-jenis vegetasi yang terdapat di Taman Nasional Alas Purwo (semua jenis) lebih dari 300 jenis.

Secara keseluruhan, Taman Nasional Alas Purwo merupakan taman nasional yang memiliki formasi vegetasi yang lengkap, dimana hampir semua tipe formasi vegetasi dapat dijumpai di lokasi Taman Nasional. Formasi vegetasi yang dimiliki mulai dari pantai (hutan pantai) sampai hutan hujan tropika dataran rendah. Beberapa tipe Formasi Vegetasi penyusun Taman Nasional Alas Purwo adalah sebagai berikut:

1. Formasi Vegetasi Hutan Pantai

2. Formasi Vegetasi Hutan Mangrove

(39)

3.2.4. Flora

Keanekaragaman jenis flora darat di kawasan Taman Nasional Alas Purwo termasuk tinggi. Hasil inventarisasi tumbuhan oleh Taman Nasional Alas Purwo mencatat 158 jenis tumbuhan (59 famili) mulai dari tingkat tumbuhan bawah sampai tumbuhan tingkat pohon dari berbagai tipe/formasi vegetasi (Hutan Pantai-Mangrove-Hutan Dataran Rendah). Menurut Mark Grantham, jenis-jenis vegetasi yang terdapat di Taman Nasional Alas Purwo (semua jenis) lebih dari 300 jenis. Secara keseluruhan, Taman Nasional Alas Purwo merupakan Taman Nasional yang memiliki formasi vegetasi yang lengkap, dimana hampir semua tipe formasi vegetasi dapat dijumpai di lokasi Taman Nasional. Formasi vegetasi yang dimiliki mulai dari pantai (hutan pantai) sampai hutan hujan tropika dataran rendah.

3.2.5. Fauna

(40)

3.2.6. Peta Kawasan Taman Nasional Alas Purwo

(41)

IV. METODE PENELITIAN

4.1.Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman Nasional (TN) Alas Purwo. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2011.

4.2.Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Alat tulis, gunting, jam tangan, kamera digital, kompas, label, peta kawasan, pita meter, plastik sampel, tali plastik, tally sheet, teropong binokuler, termohigrometer, timbangan, perangkat lunak Microsoft Excel 2007, dan perangkat lunak ArcGis 9.3.

4.3.Metode Pengumpulan Data

4.3.1. Pengumpulan Data Demografi Rusa

Data demografi rusa yang diperlukan meliputi: ukuran populasi, kelas umur, sex rasio, peluang hidup, fekunditas, dan breeding age. Data yang dikumpulkan dilapangan berupa ukuran populasi, kelas umur dan sex rasio. Peluang hidup dan fekunditas didapatkan dari hasil analisis data lapangan sedangkan breeding age didapatkan dari hasil studi pustaka.

(42)

dan CA rusa timor juga menggunakan padang rumput diluar kawasan sebagai tempat melakukan aktivitas makan. Pemilihan lokasi titik konsentrasi didasari oleh studi pendahuluan dan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kangiras (2009).

Penghitungan dilakukan secara serentak di 6 titik konsentrasi oleh 6 orang pengamat pada pagi (06.00-08.00) dan sore hari (16.00-18.00). Waktu pengamatan ditentukan berdasarkan studi pendahuluan, dimana pada waktu-waktu tersebut rusa timor berkumpul pada titik-titik konsentrasi yang telah ditentukan. Diasumsikan pada waktu yang sama seluruh rusa yang ada di TWA dan CA pananjung pangandaran berada pada titik-titik konsentrasi tersebut. Penghitungan dilakukan selama tiga hari sebagai ulangan.

Data populasi, kelas umur dan sex rasio rusa di TN Alas Purwo didapatkan dari hasil penelitian Santosa (2008) yang menggunakan metode strip transect dengan unit contoh berupa jalur dengan panjang rata-rata 1,5 km dengan lebar 100m. Pengamatan dilakukan dengan berjalan pada kecepatan konstan pada setiap jalur. Intensitas sampling yang digunakan adalah 0,5%.

Data yang dicatat meliputi jumlah individu pada setiap kelas umur dan jenis kelamin. Penentuan umur rusa timor dapat dilakukan dengan pengamatan pola keausan gigi, susunan geligi dan pertumbuhan rangga pada rusa jantan, namun perlakuan tersebut sulit diakukan dilapangan. Oleh karena itu penentuan umur rusa hanya didasarkan pada morfologinya saja lalu dikategorikan menjadi kelas umur anak, remaja dan dewasa. Ciri-ciri morfologi dan perilaku pada setiap kelas umur di sajikan pada Tabel 4.1.

4.3.2. Laju Pertumbuhan

(43)

Tabel 4.1. Gambar Rusa timor Berdasarkan Kelas Umur dan Jenis Kelamin dilihat dari perilakunya yang selalu mengikuti induknya,

(44)

Pemangkasan dilakukan setiap 20 hari sekali karena pada waktu tersebut produksi dan nilai gizi cukup tinggi dan tidak akan mengganggu pertumbuhan berikutnya.

Pengukuran produktivitas tumbuhan pakan dilakukan di 6 padang rumput yang ada di TWA dan CA Pananjung Pangandaran sebanyak 21 plot yakni masing masing 3 plot (1x1 m) di depan Wisma Rengganis, Information Center, dan depan Wisma Ciborok, serta 6 plot di padang penggembalaan Cikamal yakni 3 plot ukuran 1x1 m untuk area terbuka dan 3 plot ukuran 2x2 m untuk area dibawah tegakan, dan masing-masing 3 plot dengan ukuran 2 x 2 m di bekas padang penggembalaan Badeto dan Nanggorak. Data mengenai produktivitas pakan rusa di TN Alas Purwo didapatkan dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Santosa (2008).

Data mengenai luasan padang rumput sangat perlu diketahui untuk menghitung produktivitas pakan rusa timor. Luasan ke enam padang rumput di TWA dan CA Pananjung Pangandaran telah diketahui yakni 0,16 ha untuk padang rumput Rengganis, 0,13 ha untuk Ciborok, 0,173 ha untuk Information centre, 10 ha untuk bekas padang pengembalaan Badeto, 10 ha untuk bekas padang penggembalaan Nanggorak dan 20 ha untuk padang penggembalaan Cikamal. Sebagian padang penggembalaan Cikamal sudah tertutupi oleh semak, untuk menghitung luasan padang rumput yang tersisa dan padang rumput yang telah ditutupi semak, dilakukan penghitungan luasan dengan cara meretifikasi citra padang penggembalaan Cikamal yang didapatkan dari Google Earth dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.3.

4.3.4. Suhu udara, Kelembaban, dan Curah Hujan

(45)

lingkungan didapatkan dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Santosa (2008).

4.4.Analisis Data

4.4.1. Ukuran Populasi

Ukuran Populasi dari hasil sensus dengan metode concentration count adalah jumlah tertinggi dari seluruh pengamatan.

4.4.2. Struktur umur dan Sex rasio

Jumlah individu pada setiap kelas umur disusun dalam piramida populasi. namun untuk mendapatkan Gambaran pola pertumbuhan populasi yang sebenarnya, jumlah individu dalam kelas umur dibagi selang umurnya yakni (0-1) untuk anak, (2-5) untuk remaja, dan (6-17) untuk dewasa di TWA dan CA Pananjung Pangandaran dan (0-2) untuk anak, (3-5) untuk remaja, dan (6-17) untuk dewasa di TN Alas Purwo (Santosa, 2008). Sex rasio didapatkan dari perbandingan jumlah individu jantan dan betina pada tiap kelas umur. Untuk kelas umur anak sex rasio yang digunakan adalah sex rasio kelas umur satu tingkat diatasnya yaitu kelas umur remaja. Sex Rasio dihitung dengan rumus berikut ini:

Dimana: Y = Jumlah Individu Jantan, X = Jumlah Individu Betina

4.4.3. Peluang Hidup

Peluang hidup dihitung pada setiap kelas umur. Data peluang hidup didapatkan dari jumlah individu yang hidup pada kelas umur x+1 dibagi dengan jumlah individu pada kelas umur dibawahnya (x). Sedangkan persentase kematian adalah 1- peluang hidup dikalikan 100%. Peluang hidup dapat dihitung dengan rumus berikut ini:

(46)

Lx = jumlah individu yang hidup pada KUx

4.4.4. Fekunditas dan Breeding age

Fekunditas merupakan jumlah bayi yang mampu dilahirkan oleh seekor induk pada satu tahun. Fekunditas pada setiap kelas umur didapatkan dari pengamatan di lapangan, dengan mengamati berapa bayi atau anak yang dimiliki oleh induk betina pada kelas umur tertentu. Karena kesulitan dilapangan untuk membedakan anak dari induk kelas umur muda atau

dewasa, dalam penelitian ini fekunditas dihitung secara umum. Breeding age atau usia kawin rusa didapatkan dari studi literatur dari berbagai penelitian terdahulu. Fekunditas dapat dihitung dengan rumus berikut ini:

Dimana : F = Fekunditas x = jumlah anak

B = jumlah betina produktif

4.4.5. Produktivitas Pakan

Produktivitas rumput pada setiap padang rumput selama 20 hari dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Produktivitas keseluruhan padang rumput di TWA dan CA Pananjung Pangandaran selama satu tahun adalah:

Dimana:

(Susetyo,1980)

(47)

n = Jumlah plot

P = Produktivitas rumput selama 20 hari L = luas areal

l = luas petak contoh

= rata-rata berat basah rumput

Nilai proper use yang digunakan mengacu kepada Susetyo (1980). Yakni proper use untuk lapangan datar dan bergelombang dengan kemiringan dengan kemiringan 0%-11% adalah 60%-70%, pada lapangan bergelombang dan berbukit dengan kemiringan 11%- 51% adalah 40%-45% dan pada lapangan berbukit sampai curam dengan kemiringan lebih dari 51% adalah 25%-30%.

4.4.6. Daya Dukung

Nilai daya dukung dihitung dengan rumus berikut ini:

4.4.7. Ukuran Populasi Minimum Lestari

Kelestarian dicapai ketika setidaknya populasi akhir sama dengan populasi awal atau mengalami peningkatan dan tidak mengalami penurunan. Dengan kata lain:

N0 = N1 =N2 = Nt

Dimana :

N0 = jumlah individu anak (A0) + jumlah individu remaja (R0) + Jumlah

Individu Dewasa (D0)

N1 = jumlah individu anak (A1) + jumlah individu remaja (R1) + Jumlah

Individu Dewasa (D1)

N2 = jumlah individu anak (A2) + jumlah individu remaja (R2) + Jumlah

Individu Dewasa (D2)

(48)

A1 δA Fm Fd A 0

R1 = p1 δR 0 x R0

D1 0 P2 δD D0

Fx = Fecunditas kelas umur

Px = peluang hidup bagi individu kelas umur x untuk melangsungkan kehidupan pada kelas umur berikutnya (age specific survival) δx = proporsi anggota populasi yang tidak mengalami peningkatan

kelas umur

Dari matriks Leslie tersebut, dibangun persamaan aljabar linear. Ukuran populasi minimum lestari ditentukan dengan metode eliminasi pada persamaan tersebut. Persamaan yang dibangun adalah:

N0 = A + R + D ………..……..(1)

N1 = {(F.R+F.D+(δ + {(A.P1)+(δ )}+ {(1-δ .P2)+ δDD………...(2) N2 = [F. {(A.P1)+(δ )}+F. {(1-δ .P2)+ δDD}+ δ δ ] + [{P1. (F.R+F.D+(δ }+ δR{(A.P1)+(δ R)}] +

[P2. (1-δ {(A.P1)+(δ )}+ δD{(1-δ .P2)+ δDD}]…...(3)

Keterangan : notasi δ didapatkan dari selang umur pada setiap kelas umur.

4.4.8. Ukuran Populasi Optimum Lestari

(49)

Persamaan matrik Leslie terpaut kepadatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Dimana: Fx = Fekunditas setiap kelas umur Px = Peluang hidup

Nt = jumlah populasi pada setiap kelas umur

Q = faktor pembatas pertumbuhan

qt= 1 + α. Nt

α = (λ-1)/ K

λ = er ( laju pertumbuhan finit) (Coughley 1994) r = laju pertumbuhan

K = Daya dukung

(50)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor

Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari 6 kali pengulangan sensus yang dilakukan. Pengukuran populasi rusa di TWA dan CA Pananjung Pangandaran juga pernah dilakukan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, yakni dari tahun 2004 hingga tahun 2009 (Kangiras 2009). Ukuran Populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 tercatat sebanyak 141 ekor dan dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun populasi sudah berkurang lebih dari 50%. Beberapa penyebab menurunnya populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran akan di bahas pada sub bab peluang hidup.

Ukuran populasi TN Alas Purwo didapatkan dari hasil penelitian yang telah dipublikasi yaitu berdasarkan penelitian Santosa (2008). Pendugaan populasi rusa timor di TN Alas Purwo dilakukan dengan teknik sampling. TN. Alas Purwo tidak memiliki data time series. Adapun data populasi rusa timor di TN Alas Purwo pada tahun 2004 dan 2005 hanya pada salah satu daerah yang ada di Taman Nasional tersebut. Rekapitulasi ukuran populasi di kedua lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.1 berikut ini.

Tabel. 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor Tahun TWA dan CA

(51)

5.2. Struktur Umur dan Sex Rasio

Stuktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi (Alikodra 1990). struktur umur suatu populasi dapat digunakan untuk menilai prospek kelestarian populasi satwa tersebut. Menurut Van Lavieren (1982) dalam Alikodra (1990) terdapat 4 jenis struktur umur populasi, yaitu struktur umur seimbang, struktur umur dalam keadaan populasi yang mundur, struktur umur dalam keadaan populasi berkembang dan struktur umur dalam keadaan populasi yang mengalami gangguan. Jumlah individu dalam setiap kelas umur dan jenis kelamin di ketiga lokasi penelitian tersaji pada Tabel berukut ini:

Tabel 5.2. Struktur Umur dan Sex Rasio Rusa Timor

Kelas Umur

TWA dan CA Pananjung

Pangandaran (2011) TN. Alas Purwo (2006)

Jantan Betina Total Jantan Betina Total

Anak 5 11 16 292 1112 1404

Remaja 7 14 21 369 1401 1770

Dewasa 14 17 31 1853 2965 4818

Total 26 42 68 2514 5478 7992

Penggolongan individu dalam populasi kedalam kelas umur tidaklah mudah. Pada rusa timor, penentuan kelas umur secara akurat dapat dilakukan dengan memeriksa susunan geligi. Sedangkan pendugaan umur melalui pertumbuhan rangga hanya akurat pada rusa dibawah umur 2 tahun (Semiadi 2006). Pada penelitian ini penentuan umur rusa dilihat dari morfologinya, yakni ukuran tubuh. Penggolongan kelas umur hanya dibagi menjadi tiga kelas yaitu anak, remaja dan dewasa.

(52)

umurnya. Setelah dibagi dengan selang umurnya struktur umur populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran adalah seperti tersaji pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1 Struktur Umur rusa timor TWA dan CA Pananjung Pangandaran

(53)

Gambar 5.2. Struktur Umur Rusa Timor di TN Alas Purwo

Piramida struktur umur di TN Alas Purwo juga menunjukan keadaan populasi yang berkembang. Kelas umur anak dan remaja memiliki jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan dengan kelas umur di atasnya. Kecuali pada kelas umur jantan remaja. Kelas umur remaja jantan mengalami gangguan populasi. sehingga ukuran populasinya lebih sedikit dibandingkan dengan kelas umur jantan dewasa. Pada kelompok satwa dengan sistem perkawinan mengumpulkan harem seperti rusa timor ini, ukuran tubuh dan kekuatan merupakan faktor yang menentukan dalam hal interaksi jantan dengan jantan (Semiadi 2006), sehingga kemungkinan rusa jantan remaja lebih sering kalah bersaing dengan rusa jantan dewasa dalam mendapatkan sumber daya termasuk pakan dan harem. Hal tersebutlah yang mengakibatkan gangguan pada populasi rusa jantan remaja. Sex rasio jantan dan betina pada populasi rusa timor di TN Alas Purwo juga tergolong normal dimana jantan lebih banyak dari betina dengan perbandingan 1:4 pada kelas umur remaja dan 1:2 pada kelas umur dewasa.

(54)

5.3 Peluang Hidup

Peluang hidup merupakan kemampuan individu kelas umur tertentu untuk hidup pada kelas umur diatasnya. Dalam kajian ekologi peluang hidup biasa di sebut survivorship. Setiap makhluk hidup memiliki tipe kurva survivorship yang berbeda-beda.

Secara umum tipe survivorship dibedakan menjadi 3 tipe seperti tergambar pada kurva survivorship berikut ini:

Gambar 5.3. Kurva survivorship (Caughley, 1977)

Kurva tipe 1 merupakan gambaran populasi yang setelah kelahiran tidak mengalami penurunan, akan tetapi menjelang periode umur tertentu mengalami penurunan yang drastis. Bebrapa populasi vertebrata besar dan manusia termasuk kedalam kurva tipe 1 (Alikodra 1990). Kurva tipe 2 menggambarkan angka kematian yang relatif tetap untuk setiap kelas umur dari suatu populasi, kurva tersebut membentuk garis diagonal. Kurva tipe ini merupakan ciri dari kurva survivorship pada binatang pengerat, beberapa jenis burung dan populasi invertebrata (Anderson 1985 dalam Alikodra 1990). Kurva tipe 3 menyatakan suatu keadaan laju kematian sangat tinggi pada awal hidupnya, seperti yang terjadi pada ikan, kemudian berangsur-angsur menurun sampai tahap akhir dari satu periode hidup. Berdasarkan penghitungan peluang hidup rusa timor di lokasi penelitian dapat disimpulkan bahwa tipe kurva survivorship untuk rusa adalah tipe 1. Gambar 5.4 menunjukan grafik

Tipe 3

Tipe 2

Tipe 1 Peluang

Hidup

(55)

peluang hidup rusa timor di kedua lokasi penelitian. Keduanya mendekati bentuk kurva tipe1. Walaupun ada kematian di awal kelahiran (pada kelas umur anak) namun cenderung bertahan sampai kelas umur dewasa hingga akhirnya menurun drastis.

Gambar 5.4. Grafik Peluang hidup Rusa Timor

(56)

manusia. Selain itu juga sifat anti predator rusa – rusa tersebut juga berkurang. Gambar berikut ini merupakan salah satu contoh ketergantungan rusa timor terhadap manusia.

Gambar 5.5. Penyimpangan Perilaku Makan Rusa

Peluang hidup rusa timor di TN Alas Purwo jauh lebih besar dibandingkan dengan peluang hidup di TWA dan CA Pananjung Pangandaran, hal ini terjadi karena kondisi populasi rusa timor di TN Alas Purwo tidak banyak berinteraksi dengan manusia sehingga perilakunya masih alami, termasuk perilaku anti predator sehingga rusa timor di TN Alas Purwo lebih dapat mempertahankan hidupnya. Berkebalikan dengan kondisi di TWA dan CA Pananjung Pangandaran, tingginya peluang hidup pada kelas umur anak ke remaja disebabkan karena dalam satu kelompok anak berada dalam pengawasan induknya, berbeda dengan kelas umur remaja yang cenderung memisahkan diri dari kelompok dan membentuk kelompok sosial baru, sehingga anak lebih terhindar dari predator (Santosa 2008).

Tabel 5.3. Peluang Hidup Rusa Timor

TWA dan CA Pananjung Pangandaran

TN. Alas Purwo

(57)

5.4.Fekunditas

Fekunditas atau keperidian merupakan kemampuan betina untuk melahirkan anak dalam satu periode kelahiran. Fekunditas pada mamalia besar biasanya dihitung untuk jangka waktu satu tahun (Alikodra 1990). Dalam penelitian ini fekunditas dihitung dengan cara membagi jumlah individu anak dengan jumlah individu betina produktif. Umur betina produktif yang digunakan yaitu umur 1,5 -12 tahun (Garsetiasih 2007). Karena kesulitan dilapangan untuk membedakan anak dari induk kelas umur muda atau dewasa, dalam penelitian ini fekunditas dihitung secara general. Fekunditas rusa timor di kedua lokasi penelitian tersaji pada Tabel berikut ini:

Tabel 5.4. Fekunditas Rusa Timor di Lokasi Penelitian Pananjung

Pangandaran

Alas purwo

Muda 0,6 0,45

Dewasa 0,6 0,45

(58)

dengan interval kelahiran 271-372 hari. Setelah melahirkan rusa betina akan menyusui anaknya selama 4 bulan.

5.5. Produktivitas Pakan dan Daya Dukung

Berdasarkan penghitungan produktivitas pakan rusa yang dilakukan, keenam padang rumput yang berada di TWA dan CA Pananjung Pangandaran menghasilkan rumput sebanyak 308.345,5 kg pertahunnya. Angka produktivitas tersebut merupakan akumulasi dari produktivitas rumput musim hujan dan musim kemarau. Penelitian dilakukan pada saat musim kemarau. Data produktivitas pada musim hujan didapatkan dari penggandaan angka produktivitas pada musim kemarau, karena produktivitas pada musim hujan adalah dua kali lipat dari produktivitas pakan di musim kemarau (Susetyo 1980).

Tidak semua area dari masing-masing padang rumput digunakan atau dimanfaatkan sebagai sumber pakan oleh rusa timor. Susetyo (1980) membagi proper use menjadi tiga yakni, proper use untuk lapangan datar dan bergelombang dengan kemiringan 0%-11% adalah 60%-70%, pada lapangan bergelombang dan berbukit dengan kemiringan 11%- 51% adalah 40%-45% dan pada lapangan berbukit sampai curam dengan kemiringan lebih dari 51% adalah 25%-30%.

Padang Penggembalaan Cikamal, Nanggorak dan Badeto memiliki kelerengan 11%-51 % sehingga nilai proper use yang digunakan adalah 40%-45%. Sedangkan padang rumput di kawasan TWA memiliki kelerengan yang cukup datar sehingga nilai proper use yang digunakan adalah 60%-70%. Produktivitas pakan rusa di TWA dan CA Pananjung Pangandaran yang tersaji pada Tabel 5.5.

(59)

yang memenuhi padang-padang rumput tersebut diantaranya adalah kirinyuh (Eupatorium odoratum), harendong (Melastoma malabatrikum) dan sembung (Blumea balsamifera). Penghitungan tutupan semak dilakukan dengan meretifikasi citra yang didapatkan dari Google Earth, dengan menggunakan software ArcGis 9,3. Kumpulan- kumpulan semak dicari titik koordinatnya lalu dihitung luasannya.

Tabel 5.5. Produktivitas Pakan Rusa di TWA dan CA Pananjung Pangandaran

Lokasi Rengganis 2.610,7 1.305,4 3.916,1

Ciborok 1.389,6 694,8 2.084,4 Cikamal 176.995,0 88.497,5 265.492,5 Info Center 1.427,8 713,9 2.141,7 Badeto 7.256,3 3.628,1 10.884,4 Nanggorak 20.182,5 10.091,3 30.273,8

Total 314.792,3

Produktivitas pakan di TN Alas Purwo didapatkan dari hasil penelitian Santosa (2008) yakni 62.667.025 kg/tahun. Produktivitas di TN Alas Purwo secara keseluruhan paling tinggi dibandingkan dengan TWA dan CA Pananjung Pangandaran. Namun apabila dibagi dengan luasan padang penggembalaan yang tedapat di kedua lokasi produktivitas pakan di TWA dan CA Pananjung Pangandaran jauh lebih besar dibandingkan dengan TN Alas Purwo. Padang Penggembalaan di TWA dan CA Pananjung Pangandaran menghasilkan 7.620,05 kg rumput/ha/tahun. Sedangkan TN Alas Purwo hanya menghasilkan 1.536,48 kg rumput/ha/tahun. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang berbeda di kedua lokasi penelitian.

(60)

a b

c

Gambar 5.6. Invasi semak di Padang Penggembalaan Badeto (a) dan Nanggorak (b) dan Cikamal (c).

Daya Dukung

(61)

ekor/tahun. Berdasarkan data tersebut, daya dukung bukanlah faktor penghambat pertumbuhan populasi.

Sesuai dengan produktivitas pakannya, daya dukung TN Alas Purwo lebih kecil dibandingkan dengan daya dukung TWA dan CA Pananjung Pangandaran apabila dibagi luasan masing- masing lokasi penelitian. Satu hektar di TWA dan CA Pananjung Pangandaran mampu menampung 3 ekor rusa sedangkan di TN Alas purwo hanya 1 ekor saja.

5.6. Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan

Iklim mikro seperti suhu udara, kelembaban dan curah hujan secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan satwa liar termasuk reproduksinya. Pada herbivora, suhu, kelembaban dan curah hujan lebih banyak berpengaruh terhadap produktivitas pakan nya yang berupa tumbuhan. Ketersediaan pakan yang dipengaruhi oleh iklim mikro tersebutlah yang menyebabkan adanya musim kawin pada satwa (Lincoln 1985). Data mengenai suhu udara, kelembaban udara, dan curah hujan di masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.8 berikut ini:

Tabel 5.8. Suhu Udara, Kelembaban udara dan curah hujan Lokasi Penelitian

Suhu udara di kedua lokasi penelitian tidak jauh berbeda. Suhu yang tinggi berpengaruh terhadap percepatan metabolisme tanaman, selain itu suhu yang tinggi juga berpengaruh terhadap tanah. Pada suhu yang tinggi pelapukan tanah mineral dan dekomposisi bahan organik tanah akan tinggi (Sumarsono 2009). Dalam pertumbuhan rumput, pada lokasi dengan temperatur yang lebih tinggi produktivitas rumput lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas di lokasi yang temperatur nya lebih

Faktor

Gambar

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penentuan Ukuran Populasi Minimum Lestari
Gambar 3.1. Peta Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran.
Gambar 3.2.  Peta Zonasi Taman Nasional Alas Purwo.
Gambar 5.1 Struktur Umur rusa timor TWA dan CA Pananjung Pangandaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ketinggalan, ujian metabolit sekunder seperti tanin dan sebatian polifenol, antrakuinon serta gula deoksi dan glikosida kardium turut dijalankan.... penghasilan keladi

Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Balim (2009) yang menyimpulkan bahwa model pembelajaran discovery learning dapat meningkatkan keberhasilan belajar

Perencanaan sistem drainase sebagai pengendalian banjir kota Medan bertitik fokus pada pengelolaan sungai Deli karena sungai Deli yang merupakan sungai utama yang

Memberikan kontribusi praktis bagi perusahaan-perusahaan dalam rangka pengambilan keputusan sehubungan dengan penggunaan dan pemanfaatan sisem informasi akuntansi berbasis

hirta, Saraca declinata, Ficus hispida, Artocarpus elastica, Glohidion lubrum, Pleomele elliptica dan lain-lain. Pola sebaran kelas diameter batang pada pohon dan

Puji syukur kehadirat Allah Swt karena laporan pra tugas akhir dengan judul Perancangan Pusat Budidaya Terumbu Karang di Kabupaten Lamongan ini dapat terselesaikan dengan

Tulis secara ringkas mengenai kegagalan cerun batuan yang biasa berlaku dengan bantuan lakaran cerun dan unjuran stereografik untuk setiap kegagalan... [a] In pumping out test

Pengobatan Leukemia B-LLA Kanker adalah penyakit penyebab utama kematian kalangan anak-anak, dan leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan kanker pada anak yang paling