• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh konsentrasi Crude Gliserol (limbah biodiesel) terhadap pertumbuhan Lysinibacillus sphaericus strain HytAP-B60 dan indeks emulsifikasi biosurfaktan yang dihasilkannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh konsentrasi Crude Gliserol (limbah biodiesel) terhadap pertumbuhan Lysinibacillus sphaericus strain HytAP-B60 dan indeks emulsifikasi biosurfaktan yang dihasilkannya"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONSENTRASI

CRUDE GLISEROL (LIMBAH BIODIESEL)

TERHADAP PERTUMBUHAN Lysinibacillus sphaericus strain HytAP-B60 DAN INDEKS EMULSIFIKASI BIOSURFAKTAN

YANG DIHASILKANNYA

FATHIN HAMIDA

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

PENGARUH KONSENTRASI

CRUDE GLISEROL (LIMBAH BIODIESEL)

TERHADAP PERTUMBUHAN Lysinibacillus sphaericus strain HytAP-B60 DAN INDEKS EMULSIFIKASI BIOSURFAKTAN

YANG DIHASILKANNYA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

FATHIN HAMIDA 105095003125

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

Pengesahan Ujian

Skripsi ini berjudul “PENGARUH KONSENTRASI CRUDE GLISEROL (LIMBAH BIODIESEL) TERHADAP PERTUMBUHAN Lysinibacillus

sphaericus strain HytAP-B60 DAN INDEKS EMULSIFIKASI

BIOSURFAKTAN YANG DIHASILKANNYA” telah diuji dan dinyatakan lulus dalam ujian sidang munaqasyah pada tanggal 1 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi.

1 Maret 2010

Menyetujui,

Penguji 1,

DR. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. NIP. 150 375 182

DR. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis. NIP. 196801172001121001

Ketua Program Studi Biologi

(4)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Jakarta, 1 Maret 2010

(5)

ABSTRAK

Fathin Hamida. Pengaruh Konsentrasi Crude Gliserol (Limbah Biodiesel) terhadap Pertumbuhan Lysinibacillus sphaericus strain HytAp-B60 dan Indeks Emulsifikasi Biosurfaktan yang Dihasilkannya. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Biosurfaktan, merupakan senyawa produk metabolit mikroba yang dapat mengemulsi minyak dalam air dan dapat dijadikan sebagai pengganti surfaktan sintetik untuk meningkatkan degradasi hidrokarbon dalam proses bioremediasi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi “crude gliserol biodiesel” terhadap pertumbuhan sel dan indeks emulsi yang dihasilkan oleh isolat bakteri L. sphaericus dari Cepu. Variasi konsentrasi “crude gliserol biodiesel” yang digunakan adalah 2%, 4%, dan 6% v/v. Penelitian dilakukan dalam kultur kocok yang berisi medium Bushnell-Haas pada pH 7, jumlah inokulum 5% v/v, suhu inkubasi 28oC dengan agitasi 120 rpm. Analisis data menggunakan analisis varian yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata diantara konsentrasi 2%, 4%, dan 6% crude gliserol terhadap pertumbuhan L. sphaericus dan indeks emulsifikasi biosurfaktan yang dihasilkannya. Konsentrasi crude gliserol 2% merupakan konsentrasi optimal untuk pertumbuhan L. sphaericus dan indeks emulsifikasi. Dimana dihasilkan crude biosurfaktan sebanyak 6,7 g/l yang diekstraksi menggunakan kombinasi pelarut kloroform dan methanol (2:1 v/v).

(6)

ABSTRACT

Fathin Hamida. Effect of Crude Gycerol (Biodiesel waste) Concentration of

Lysinibacillus sphaericus Strain HytAp-B60 Growth and Biosurfactant

Production on Index of Emulsification. Minithesis. Departemen of Biology. Faculty of Science and Technology. Islamic State University. Jakarta

Biosurfactant, microbial metabolite whose properties like surfactant, can emulsify oil phase in water, suggested to replace chemically synthesized surfactant to increase degradation of hydrocarbon in order to enhance bioremediation. This research was done to the examine effect of crude biodiesel glycerol concentrations on growth of L. sphaericus and on emulsification index of the produced biosurfactant. Concentration of “crude glycerol biodiesel” were 2%, 4%, and 6% v/v. Experiment was carried out in Bushnell-Haas medium on pH 7, inoculum concentration 5% v/v, temp 28oC and agitation 120 rpm. Data obtained were analyzed by analysis of variance then continued with Duncan analysis. Results showed that glycerol concentration of 2%, 4%, and 6% were not significantly different for growth of L. sphaericus and index of emulsification. Glycerol concentration of 2% was optimal for growth of L. sphaericus and index of emulsification. Crude biosurfactant obtained was 6.7 g/l which extracted by mixed solvents of chloroform and methanol (2:1 v/v).

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT, Rabb kehidupan yang telah

memberikan nikmat yang tiada ternilai, atas rahmat, hidayah dan kekuatan-Nya

yang diberikan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini

dengan lancar. Juga tak lupa shalawat beserta salam semoga selalu tercurah-

limpahkan kepada suri tauladan umat manusia di jagad raya Rasulullah

Muhammad SAW.

Alhamdullilah banyak ilmu dan pengalaman berharga yang telah Penulis

peroleh selama proses penelitian yang berjudul “PENGARUH KONSENTRASI

CRUDE GLISEROL (LIMBAH BIODIESEL) TERHADAP PERTUMBUHAN

Lysinibacillus sphaericus strain HytAP-B60 DAN INDEKS EMULSIFIKASI

BIOSURFAKTAN YANG DIHASILKANNYA”. Tak lupa Penulis sampaikan

banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian

ini. Penulis ucapkan terimakasih yang setinggi – tingginya kepada:

1. Mamah dan Papah, uni Izah, Uni Ami, ke-3 adikku dan seluruh keluargaku

tercinta yang selalu memberi dukungan moril maupun materiil yang tiada

ternilai serta menjadi motivator utama bagi penulis.

2. Dr.-Ing. M. Abdul Khaliq, M.Sc. sebagai pembimbing 1, dan Megga

Ratnasari Pikoli, M.Si. selaku pembimbing 2. Penulis haturkan banyak

terimakasih atas segala bentuk dukungan moril, ilmu, bimbingan, dan

(8)

3. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud. selaku ketua Program Studi

Biologi, sebagai pembimbing akademik, dan sebagai dosen penguji dalam

sidang skripsi Penulis.

4. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis. selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. DR. Ir. Ikbal, M.Eng. selaku Kepala Balai Teknologi Lingkungan

BPPT-Serpong, yang telah memberikan perizinan kepada Penulis untuk

penelitian.

6. Seluruh staff Balai Teknologi & Lingkungan BPPT-Serpong terutama staff

Laboratorium Mikrobiologi, Staff Kultur Jaringan (Lab. Flora) dan staff

Laboratorium Kimia Analitik yang telah memberikan dukungan baik moril

maupun materil.

7. Irawan Sugoro, M.Si. dan Hermanto, M.Si. selaku dosen penguji dalam

seminar proposal dan seminar hasil penelitian. Priyanti, M.Si. selaku

dosen penguji dalam sidang skripsi, terimakasih Penulis haturkan atas

segala saran dan masukannya.

8. Dosen-dosen Prodi Biologi yang selalu memberikan ilmu, arahan, dan

nasehatnya tanpa pamrih kepada Penulis agar menjadi saintis sejati.

9. Fahri Fahrudin yang selalu memberi dukungan moril kepada penulis.

10.Diah Suprapti, S.Si, Dwi Sandri, M.Si., Ibu Fuji Astuti Febria, M.Si. yang

selalu hadir dalam suka dan duka selama penelitian dengan segala

(9)

11.Keluarga besar di Ciputat Bpk. Azmir dan keluarga atas dukungan moril

dan materil kepada Penulis.

12.Keluarga besar BIOMA (Biologi 2005) yang selalu hadir memberi nuansa

hangat.

13.Dan semua pihak yang telah terlibat dalam proses penelitian ini.

Akhir kata, Penulis sangat menyadari bahwa tak ada gading yang tak

retak, begitu pula dengan skripsi ini. Oleh karena itu usul serta saran yang bersifat

konstruktif sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini.

Jakarta, Maret 2010

(10)
(11)

2.6.2. Biosintesis Biosurfaktan... 13

2.6.3. Produksi Biosurfaktan ... 14

2.6.3. Tipe Produksi Biosurfaktan ... 14

2.6.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Produksi Biosurfaktan... 15

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Bakteri Lysinibacillus spaerichus... 30

4.2. Aktifitas Emulsifikasi ... 34

4.3. Hubungan Produksi Biosurfaktan dengan Pertumbuhan Sel ... 37

4.4. Ekstraksi Biosurfaktan... 38

(12)

5.2. Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN ... 47

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Pertumbuhan Bakteri L. sphaericus pada Medium Perlakuan

Crude Gliserol 2%, 4%, 6%, dan Kontrol... 30 Gambar 2. Kondisi pH Kultur Medium Perlakuan Selama Masa Inkubasi ... 34 Gambar 3. Indeks Emulsifikasi (IE24%) L. spaerichus pada Medium

Perlakuan Crude Gliserol 2%, 4%, 6%, dan Kontrol... 35 Gambar 4. Pola Pertumbuhan Sel dan IE24% pada Medium Crude Gliserol ... 37 Gambar 5. Kurva Korelasi Hubungan antara Pertumbuhan L. sphaericus

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data Kontrol ... 49

Tabel 2. Data Crude Gliserol 2% ... 49

Tabel 3. Data Crude Gliserol 4% ... 50

Tabel 4. Data Crude Gliserol 6% ... 50

Tabel 5. Data Ulangan Jumlah Sel ... 51

Tabel 6. Kuadrat Ulangan Jumlah Sel ... 51

Tabel 7. Total Jumlah Sel ... 52

Tabel 8. Kuadrat Total Jumlah Sel ... 52

Tabel 9. Analisis Sidik Ragam Jumlah Sel ... 52

Tabel 10. Jarak Duncan Jumlah Sel... 53

Tabel 11. Analisis Duncan Jumlah Sel ... 53

Tabel 12. Jarak Duncan Jumlah Sel... 55

Tabel 13.Analisis Duncan Jumlah Sel ... 55

Tabel 14. Notasi Interaksi Jumlah Sel ... 56

Tabel 15. Ringkasan Interaksi Jumlah Sel ... 56

Tabel 16. Tabel Ulangan Indeks Emulsi... 57

Tabel 17. Total Indeks Emulsi ... 57

Tabel 18. Analisis Sidik Ragam Indeks Emulsifikasi ... 58

Tabel 19. Jarak Duncan Indeks Emulsi ... 58

Tabel 20. Analisis Duncan Indeks Emulsi ... 58

Tabel 21. Jarak Duncan Indeks Emulsi... 60

(14)
(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Bagan Alir Penelitian ... 47

Lampiran 2. Kurva Standar ... 48

Lampiran 3. Tabel Data Hasil Penelitian ... 49

Lampiran 4. Tabel Analisis Statisitk Jumlah Sel dan Indeks Emulsi ... 51

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Limbah hidrokarbon merupakan polutan terbesar dalam pencemaran

lingkungan baik di darat maupun di perairan, hal ini menjadi masalah cukup

serius bagi lingkungan. Penanganan limbah hidrokarbon di lingkungan selama ini

telah dilakukan baik secara fisika maupun kimiawi. Penanganan secara fisika

misalnya dengan menggunakan adsorben dan secara kimiawi dengan

menggunakan bahan kimia tambahan, namun cara tersebut seringkali tidak

sempurna dan sering menimbulkan permasalahan baru, terutama oleh

penambahan bahan kimia. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan

tersebut kini sedang dikembangkan penanganan limbah atau cemaran hidrokarbon

secara biologis yang diharapkan dapat menjadikan hidrokarbon terdegradasi dan

aman bagi lingkungan yaitu dengan menggunakan biosurfaktan (Aditiawati, et

al., 2001).

Biosurfaktan merupakan senyawa produk metabolit mikroba yang

mengemulsi minyak dalam air dan dapat mengurangi tegangan permukaan,

sehingga dapat dijadikan sebagai pengganti surfaktan dalam meningkatkan

degradasi hidrokarbon dalam proses bioremediasi. Keunggulan biosurfaktan

dibandingkan dengan surfaktan sintetik yaitu sebagai emulsifier yang sifatnya

cenderung lebih stabil daripada surfaktan sintetik sehingga lebih optimal dalam

(17)

Hasil eksplorasi bakteri dari tanah tercemar minyak bumi di Cepu, Jawa

Tengah yang telah dilakukan oleh Balai Teknologi Lingkungan-BPPT Serpong

berhasil diisolasi 23 isolat bakteri hidrokarbonoklastik. Berdasarkan hasil skrining

dari 23 isolat tersebut berhasil diperoleh satu isolat bakteri (Lysinibacillus

spaerichus) yang paling berpotensi menghasilkan biosurfaktan. Dari penelitian

sebelumnya (Sandri, 2009) diketahui bahwa L. sphaericus mampu tumbuh dengan

IE24% terbaik ketika ditumbuhkan pada medium dengan penambahan 2% crude

gliserol (limbah produksi biodiesel) dibandingkan dengan sumber karbon lainnya.

Oleh karena itu dalam hal ini perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh

konsentrasi crude gliserol terhadap pertumbuhan L. sphaericus dan IE24% yang

dihasilkannya. Variasi konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

konsentrasi 2%, 4%, dan 6%.

Crude gliserol yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah crude

gliserol yang merupakan produk samping dari produksi biodiesel. Pemanfaatan

crude gliserol dari limbah biodiesel merupakan salah satu alternatif dalam

penanganan limbah untuk menghindari timbulnya masalah lingkungan akibat

buangan gliserol, disamping itu juga dapat meningkatkan efisiensi industri

biodiesel.

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah terdapat perbedaan pertumbuhan sel L. sphaericus diantara

(18)

2. Apakah terdapat perbedaan indeks emulsifikasi biosurfaktan dari L.

sphaericus diantara ketiga konsentrasi crude gliserol 2%, 4%, 6%

dengan kontrol.

1.3. Hipotesis

1. Terdapat perbedaan pertumbuhan sel L. sphaericus diantara ketiga

konsentrasi crude gliserol 2%, 4%, 6% dengan kontrol.

2. Terdapat perbedaan indeks emulsifikasi biosurfaktan dari L.

sphaericus diantara ketiga konsentrasi crude gliserol 2%, 4%, 6%

dengan kontrol.

1.4. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh konsentrasi

gliserol sebagai sumber karbon terhadap pertumbuhan isolat bakteri L. sphaericus

dan indeks emulsifikasi biosurfaktan yang dihasilkannya.

1.5. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memproduksi biosurfaktan yang nantinya

dapat diaplikasikan untuk bioremediasi, disamping itu juga diharapkan menjadi

alternatif dalam pemanfaatan limbah biodiesel sehingga menjadi produk yang

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komposisi Minyak Bumi

Minyak bumi adalah senyawa kompleks yang terdiri dari komponen

hidrokarbon dan non-hidrokarbon. Hidrokarbon merupakan senyawa dominan

yang terkandung dalam minyak bumi terdiri dari unsur karbon (C) dan hidrogen

(H). Secara umum hidrokarbon dalam minyak bumi terdiri dari 3 komponen

besar, yaitu: alkana (paraffin), sikloalkana (naphten), dan aromatik. Alkana atau

parafin (CnH2n+2) merupakan hidrokarbon jenuh yang memiliki rantai lurus dan

bercabang. Sikloalkana atau naphten (CnH2n) merupakan hidrokarbon jenuh

dengan satu atau lebih struktur cincin. Aromatik (CnH2n-6)merupakanhidrokarbon

yang mengandung satu atau lebih struktur cincin aromatik dengan beberapa ikatan

rangkap pada rantai karbonnya (Akbar, 2004). Aromatik hanya terdapat dalam

jumlah kecil, tetapi sangat diperlukan dalam bensin. Proporsi dari ketiga tipe

hidrokarbon sangat tergantung pada sumber minyak bumi (Zuhra, 2003).

Kandungan senyawa non-hidrokarbon dalam minyak bumi relatif kecil,

terdiri dari sulfur, oksigen, nitrogen, dan logam. Sulfur merupakan komponen

non-hidrokarbon terbesar di dalam minyak bumi. Oksigen dan nitrogen terdapat

dalam konsentrasi rendah dan sangat sedikit di dalam minyak bumi. Logam yang

terkandung dalam minyak bumi umumnya berupa unsur vanadil (Va) Nikel (Ni),

besi (Fe), dan kobalt (Co) membentuk garam anorganik dan senyawa kompleks

(20)

2.2. Bakteri Hidrokarbonoklastik

Bakteri dalam aktivitas hidupnya memerlukan molekul karbon sebagai

salah satu sumber nutrisi dan energi untuk melakukan metabolisme dan

pertumbuhannya. Bakteri yang memiliki kemampuan mendegradasi senyawa

hidrokarbon untuk kebutuhan metabolisme dan pertumbuhannya

disebut bakteri hidrokarbonoklastik (Atlas & Bartha, 1985 dalam Nugroho,

2006a). Mikroorganisme hidrokarbonoklastik secara alami memiliki potensi

genetik untuk mengikat, mengemulsi, mentranspor, dan mendegradasi

hidrokarbon, yaitu dengan menghasilkan enzim oksigenase yang terikat membran

sitoplasma dan memiliki mekanisme untuk mengoptimumkan kontak antara

permukaan sel mikroorganisme dengan hidrokarbon yang tidak larut dalam air

(Rosenberg et al., 1992). Sintesis enzim tersebut dikode dalam kromosom atau

plasmid, tergantung pada jenis bakterinya (Ashok et al., 1995).

Berdasarkan penelitian sebelumnya telah banyak diketahui bakteri

hidrokarbonoklastik yang mempunyai kemampuan mendegradasi hidrokarbon,

diantaranya yaitu Pseudomonas aeoroginosa, Pseudomonas sp., P. fluorescens,

Bacillus licheniformis, Serratia marcessens, Azotobacter chroococcum,

Mycobacterium sp., Rhodococcus erithropolis, Bacillus subtilis, Thiobacillus,

Bravibacterium, Corynebacterium kutscheri (Desai & Banat, 1997; Al-Araji et

al., 2007; Zhang et al., 2005; Samadi et al., 2007; Rismani et al., 2006; Sandri,

(21)

2.3. Lysinibacillus spaerichus

Golongan Lysinibacillus dapat tumbuh pada kisaran suhu 16 – 45 oC dan

pada kisaran nlai pH 6,0 – 9,5 (Ahmed et al., 2007). Lysinibacillus spaerichus

merupakan bakteri basil gram negatif. Sandri (2009) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa .L. sphaericus dapat tumbuh optimum dalam medium

Bushnell–Haas dengan urea sebagai sumber nitrogen dan crude gliserol sebagai

sumber karbon pada pH 6. Supernatant L sphaericus yang mengandung

biosurfaktan memiliki kemampuan yang hampir sama dengan LAS. Biosurfaktan

yang dihasilkan bersifat termostabil dari suhu 28 sampai dengan suhu 121oC,

tetap stabil pada kisaran pH 1 – 11. Biosurfaktan yang dihasilkannya dapat

mengemulsi jenis hidrokarbon crude oil dan oli motor bekas.

Lysinibacillus spaerichus didalam database Kyoto Encyclopedia of Genes

and Genomes Pathway diketahui dapat melakukan metabolisme dalam

pertumbuhannya yaitu diantaranya glikolisis, siklus asam sitrat, biosintesis asam

lemak, metabolisme asam lemak, metabolisme gliserolipid, metabolism

gliseropospolipid, biosintesis peptidoglikan, dan sebagainya

(http://www.genome.jp/kegg/.).

2.4. Biodegradasi Hidrokarbon

Secara umum biodegradasi merupakan penguraian suatu senyawa organik

kompleks menjadi senyawa sederhana dengan bantuan mikroorganisme (Udiharto,

1999). Dalam proses biodegradasi senyawa organik diubah menjadi CO2,

(22)

berlangsung secara aerob. Oleh karena itu proses biodegradasi sangat tergantung

pada oksigen yang tersedia. Dua hal penting bagi mikroba sebagai syarat awal

dalam mengoksidasi hidrokarbon, yaitu sintesis enzim oksidase dan kontak antara

mikroba dengan air dan hidrokarbon yang tidak larut air dengan bantuan

biosurfaktan yang dihasilkan oleh mikroba tersebut (Rosenberg et al., 1993 dalam

Akbar, 2004).

Tahap pertama degradasi hidrokarbon oleh mikroba adalah reaksi antara

molekul oksigen dan hidrokarbon dengan bantuan enzim oksigenase. Tahap

berikutnya yaitu dengan dua mekanisme pengambilan substrat oleh bakteri.

Pertama, pengambilan substrat dilakukan pada saat hidrokarbon telah mengalami

emulsifikasi oleh biosurfaktan yang dihasilkannya; kedua, pengambilan substrat

dilakukan setelah sel mengalami kontak langsung dengan hidrokarbon melalui

mekanisme adhesi fisik. Kontak ini terjadi ketika mikroba mengeksresi

biosurfaktan akibat respon dari keberadaan hidrokarbon (Rosenberg et al., 1993

dalam Akbar, 2004; Kinbal, 1994 dalam Zam, 2006).

Biosurfaktan yang dihasilkan oleh mikroba dapat menurunkan tegangan

permukaan dan meningkatkan luas daerah kontak antara hidrokarbon dan

mikroorganisme melalui pembentukan misel, pelarutan dan emulsifikasi

hidrokarbon serta pembebasan tetesan minyak. Misel yang terbentuk berfungsi

sebagai paket transport hidrokarbon dan mempermudah mikroba dalam

memperoleh nutrisi bagi pertumbuhannya sehingga pertumbuhan sel menjadi

lebih baik. Misel adalah agregat molekul aktif permukaan yang membentuk fase

(23)

1994 dalam Zam, 2006; Barnet et al 1974 dalam Noviana 1998). Mikroorganisme

yang memiliki afinitas tinggi terhadap hidrokarbon dapat menggunakan minyak

baik dalam bentuk tetesan besar (droplet) maupun dalam bentuk tetesan sangat

kecil (submikron). Sedangkan mikroorganisme yang memiliki afinitas rendah

terhadap hidrokarbon lebih efektif mendegradasi hidrokarbon dalam bentuk

submikron daripada bentuk droplet (Buhler & Schindler, 1984 dalam Pikoli,

2000).

Proses biodegradasi pada setiap hidrokarbon tidak sama, karena setiap

hidrokarbon memiliki tingkat kesulitan yang berbeda untuk dapat didegradasi oleh

mikroba (Udiharto dan Sudaryono, 1999). Senyawa hidrokarbon alifatik lebih

mudah didegradasi dibandingkan senyawa hidrokarbon aromatik dan naftalen.

Hidrokarbon jenuh lebih mudah didegradasi dibandingkan hidrokarbon tidak

jenuh, dan hidrokarbon alifatik rantai lurus lebih mudah didegradasi

dibandingkan hidrokarbon alifatik rantai bercabang (Akbar, 2004; Udiharto,1999).

2.5. Crude Gliserol (Limbah Biodiesel)

Biodiesel (ester metil) merupakan bahan bakar alternatif yang dibuat dari

minyak nabati. Dalam proses pembuatan biodiesel menghasilkan biodiesel juga

menghasilkan produk samping (air limbah). Kandungan dalam air limbah

biodiesel merupakan campuran dari metanol, asam lemak, minyak dan ester metil

yang terlarut. Air limbah yang dihasilkan memiliki kandungan organik yang

cukup tinggi. Proses pembuatan biodiesel yang lazim dilakukan adalah melalui

(24)

menghasilkan ester metil dan gliserol. Dalam proses transesterifikasi dihasilkan

80% ester metal dan 20% crude gliserol sebagai produk samping. Crude Gliserol

terdiri dari gliserol, air, methanol, residu katalis dan sabun (Syafilla et al., 2007;

Syah, 2006).

Gliserol termasuk dalam golongan derivat lipid. Derivat lipid yaitu

senyawa lipid yang dihasilkan dari proses hidrolisis lipid. Gliserol merupakan

suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Jadi, tiap atom karbon

mempunyai gugus –OH. Satu molekul gliserol dapat mengikat satu, dua atau tiga

molekul asam lemak dalam bentuk ester, yang disebut monogliserid, digliserid

atau trigliserid. Gliserol larut baik dalam air dan tidak larut dalam eter. Gliserol

merupakan senyawa yang tidak berwarna, tidak berbau dan berbentuk cairan

kental yang terasa manis. Rumus kimia gliserol yaitu: C3H8O3. Gliserol

merupakan derivat lipid yang dapat larut dalam air (water-soluble) (Poedjiadi,

1994).

Biosurfaktan tipe rhamnolipid oleh genus Pseudomonas dapat diproduksi

dengan substrat gliserol, glukosa, manitol, dan etanol sebagai sumber karbon

(Desai & Banat, 1997). Sebagian besar penelitian diketahui bahwa sintesis

biosurfaktan oleh mikroorganisme selain dapat ditumbuhkan pada hidrokarbon

tidak larut air, tetapi beberapa juga dapat diproduksi dalam substrat larut air

seperti glukosa, gliserol dan etanol (Abu-Ruwaida et al., 1991). Berdasarkan

hasil penelitian Rismani et al (2006) diketahui bahwa pada konsentrasi 0,5%

(25)

terbaik bagi pertumbuhan Bacillus licheniformis dan produksi biosurfaktan

dengan penurunan tegangan permukaan (surface tension) yang terbaik.

Zhang et al (2005) menyebutkan bahwa P. aeroginosa mampu

memproduksi rhamnolipid lebih banyak ketika ditumbuhkan pada substrat gliserol

dengan konsentrasi 3% sebagai sumber karbon dibandingkan dengan substrat

yang lain (glukosa, minyak nabati, dan paraffin cair). Samadi et al (2007) dalam

penelitiannya menyebutkan bahwa Bravibacterium mampu tumbuh maksimum

dan memproduksi glikolipid dengan penurunan tegangan permukaan terbaik

ketika ditumbuhkan pada susbtrat gliserol dengan konsentrasi 5%.

2.6. Biosurfaktan

2.6.1. Definisi, Sifat, dan Klasifikasi

Biosurfaktan adalah produk metabolit yang diproduksi oleh bakteri, ragi,

dan jamur sebagai produksi ekstraseluler atau bagian dari dinding sel.

Biosurfaktan meruapakan senyawa aktif permukaan dalam bentuk senyawa

amphipatik terdiri dari bagian hidrofilik dan hidrofobik. Bagian hidrofilik

merupakan molekul polar dapat berupa karbohidrat, asam amino, atau kelompok

fosfat. Bagian hidrofobik umumnya merupakan karbon rantai panjang atau rantai

hidrokarbon dari asam lemak. Oleh karena itu biosurfaktan mampu mengikat

molekul hidrokarbon, menurunkan tegangan permukaan pada ruang antar air dan

minyak dan membentuk mikroemulsi sehingga membantu degradasi hidrokarbon.

(Al-Araji, et al., 2007; Van dyke, 1991 dalam Budiarti, 2001; Vater, et al., 2002

(26)

Biosurfaktan mempunyai kapasitas sebagai enzim seluler yang dapat

melarutkan, sebagai reseptor, dan protein (Kitamoto, 1993). Biosurfaktan

memiliki beberapa perbedaan dibandingkan dengan surfaktan sintetik seperti

toksisitas rendah, kemampuan biodegradasi yang tinggi, memiliki sifat emulsifier

yang lebih stabil dibandingkan dengan surfaktan sintetik sehingga proses

degradasi lebih optimal, lebih ramah lingkungan, buih yang banyak, mempunyai

gugus molekul yang spesifik terhadap suatu reaksi dan aktifitas yang spesifik pada

kondisi lingkungan yang ekstrim (temperatur, pH, dan salinitas) (Desai & Banat,

1997; Rahman & Gakpe, 2008).

Biosurfaktan dapat diproduksi dari bahan baku yang murah yang

dihasilkan dalam jumlah besar, dapat menggunkan sumber karbon yang berasal

dari hidrokarbon, karbohidrat, dan atau lipid yang digunakan terpisah atau

dikombinasikan dengan yang lain, bernilai ekonomis karena biosurfaktan juga

dapat diproduksi dari limbah industri, dapat berfungsi sebagai pengontrol

lingkungan – digunakan untuk menangani emulsi industri, kontrol tumpahan

minyak, dan bioremediasi pada tanah tercemar (Kosaric, 2001; Makkar &

Cameotra, 1999).

Desai & Banat (1997) mengklasifikasikan biosurfaktan menjadi 5

kelompok berdasarkan komponen kimianya yaitu: glikolipid, lipopeptida dan

lipoprotein (lipid biosurfaktan yang mengandung asam amino), fosfolipid dan

asam lemak, surfaktan polimerik, dan surfaktan partikulat. Glikolipid merupakan

karbohidrat dengan rantai alifatik panjang atau asam hidroksialifatik. Diantara

(27)

dan sophorolipid. Rhamnolipid merupakan satu atau dua molekul rhamnose

dihubungkan pada satu atau dua molekul asam -hidroxidekanoik. Trehalolipid

kebanyakan diperoleh dari genus Mycobacterium disebabkan ester trehalolipid

berada pada permukaan sel. Trehalolipid mengandung disakarida trehalose yang

dihubungkan pada C-6 dan C-6’ pada asam mikolik. Asam mikolik merupakan

rantai panjang asam lemak - -hidroksi. Sophorolipid terdiri dari sebuah gula

sophorose dan sebuah asam lemak hidroksil yang dihubungkan dengan sebuah

ikatan -glikosidik. (Asselineau & Asselineau, 1978 dalam Rahman & Gakpe,

2008; Desai & Banat, 1997; Rahman & Gakpe, 2008; Karanth et al, 2005; ).

Lipopeptida disebut juga surfaktin, terdiri dari tujuh asam amino yang

diikat pada sebuah gugus karboksil dan hidroksil pada 14 asam karbon.

Biosurfaktan asam lemak terdiri dari gugus OH dan cabang alkil. Emulsan,

liposan, mannoprotein, dan komplek polisakarida-protein merupakan

biosurfaktan polimerik. Emulsan yaitu bioemulsifier polianionik amphipatik

heteropolisakarida. Liposan merupakan emulsifier ekstraseluler yang larut dalam

air. Liposan terdiri dari 83% karbohidrat dan 17 % protein dengan bagian

karbohidrat merupakan heteropolisakarida yang terdiri dari glukosa, galaktosa,

galaktosamin, dan asam galaktoronik. Jenis polimerik lainnya antara lain

biodispersan, bioemulsifier makanan, komplek protein, dan insektida emulsifier.

Biosurfaktan polimerik disusun oleh protein, phospolipid, dan lipopolisakarida

(Desai & Banat, 1997; Rahman & Gakpe, 2008). Disamping itu Ron dan

Rosenberg (2001) juga mengelompokkan biosurfaktan menjadi 2 kelompok

(28)

1. Biosurfaktan dengan berat molekul (BM) rendah, yaitu glikolipid, seperti

soforolipid, trehalosa lipida, fosfolipid, dan asam lemak, yang semuanya

memiliki bagian hidrofilik dan hidrofobik. Berfungsi dalam menurunkan

tegangan permukaan dan antar muka.

2. Biosurfaktan dengan berat molekul (BM) tinggi, yaitu lipoprotein,

lipopolisakarida dan polisakarida amphipatik, tidak memiliki bagian

hidrofilik dan hidrofobik serta lebih efektif pada stabilisasi minyak dalam

emulsi air.

2.6.2. Biosintesis Biosurfaktan

Hidrokarbon masuk melalui membran dengan mekanisme difusi pada sisi

pelekatan selnya dengan minyak dan terjadi oksidasi hidrokarbon untuk

membentuk asam lemak dalam sitoplasma. Pelekatan minyak pada sel yang

terjadi karena adanya struktur tertentu pada dinding sel seperti saluran, pori-pori,

vesikel membran, dan kompleks membran yang melipat ke dalam. Struktur ini

diketahui terdapat pada berbagai mikroorganisme yang tumbuh pada substrat

hidrokarbon (Buhler & Schindler, 1984 dalam Pikoli, 2000; Homel & Ratledge,

1993 dalam Akbar, 2004).

Pada tahap degradasi, volume hidrokarbon dalam medium sangat banyak

dibandingkan jumlah sel bakteri pendegradasi, hal ini menyebabkan

terakumulasinya asam lemak dalam sitoplasma. Sel melakukan dua mekanisme

untuk menjaga keseimbangan konsentrasi asam lemak didalam sel, yaitu sebagian

(29)

– asam lemak berlebih yang terdapat di dalam sel akan disintesis untuk

pembentukan glukosa. Keduanya merupakan komponen surfaktan yang potensial

(Homel & Ratledge, 1993 dalam Akbar, 2004).

2.6.3. Tipe Produksi Biosurfaktan

Produksi biosurfaktan dikelompokkan menjadi beberapa tipe, yaitu (Desai

& Banat, 1997) :

1. Produksi pertumbuhan gabungan (Growth-Associated Production), yaitu

terjadi hubungan yang paralel antara pertumbuhan, pemanfaatan substrat,

dan produksi biosurfaktan. Produksi biosurfaktan meningkat dengan

meningkatnya pertumbuhan sel.

2. Produksi di bawah kondisi pertumbuhan terbatas (production under

growth-limiting conditions), yaitu kenaikan biosurfaktan merupakan hasil

dari keterbatasan satu atau lebih komponen medium.

3. Produksi dengan resting atau immobilized sel, yaitu produksi biosurfaktan

terjadi tanpa diikuti dengan pembelahan sel.

4. Produksi dengan memberi suplemen prekursor, yaitu produksi

biosurfaktan dilakukan dengan penambahan prekursor biosurfaktan pada

medium pertumbuhan dengan tujuan pada perubahan kualitatif dan

(30)

2.6.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Produksi Biosurfaktan

Secara umum faktor – faktor yang mempengaruhi komposisi dan

terakumulasinya biosurfaktan di dalam suatu media pertumbuhan antara lain

substrat pertumbuhan, umur kultur, dan kondisi lingkungan (pH dan salinitas,

temperatur, agitasi, dan ketersediaan oksigen) (Akbar, 2004; Budiarti, 2000).

1. Substrat Pertumbuhan a. Sumber Karbon

Pemilihan sumber karbon mempunyai peran penting terhadap hasil dan

struktur biosurfaktan. Sumber karbon yang telah diketahui dapat digunakan untuk

produksi biosurfaktan yaitu karbohidrat, hidrokarbon, dan minyak nabati.

Beberapa mikroorganisme memproduksi biosurfaktan hanya pada substrat

karbohidrat, beberapa hanya pada substrat hidrokarbon, dan beberapa

mikroorganisme ada yang mampu memproduksi biosurfaktan pada substrat

dengan beberapa sumber karbon yang digabungkan atau terpisah. Tipe, kualitas,

dan kuantitas biosurfaktan yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh sifat sumber

karbon (Desai & Banat, 1997).

Perbedaan sumber karbon dapat mempengaruhi komposisi dan bagaimana

biosurfaktan itu diproduksi. Arthrobacter hanya memproduksi 75% biosurfaktan

ekstraseluler ketika ditumbuhkan pada asetat atau etanol, namun dapat mencapai

100% biosurfaktan ekstraseluler ketika ditumbuhkan pada substrat hidrokarbon

(Mulligan & Gibbs, 1993). Panjang rantai substrat hidokarbon sering berakibat

(31)

Kemampuan bakteri menggunakan karbon dari substrat pertumbuhannya

akan menentukan kualitas dan kuantitas biosurfaktan yang dihasilkan sehingga

memberikan aktivitas emulsifikasi yang berlainan, serta perbedaan kemampuan

dalam menurunkan tegangan permukaan kultur (Desai & Desai, 1993 dalam

Fathimah, 2007). Sumber karbon seperti mannitol, gliserol, dan ethanol mampu

digunakan oleh Pseudomonas sp. untuk memproduksi rhamnolipid, namun

produksinya masih lebih rendah dari substrat tidak larut air seperti n-alkana dan

olive oil (Desai & Banat, 1997).

Bravibacterium mampu tumbuh pada sumber karbon glukosa, gliserol,

molasse, gasolin, Canola oil, dan limbah minyak, akan tetapi biosurfaktan tipe

gllikolipid hanya dapat diproduksi pada substrat dengan sumber karbon glukosa,

gliserol, dan Canola oil. Penurunan tegangan permukaan terbaik didapat pada

substrat gliserol (Samadi et al., 2007). Sandri (2009) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa Lysinibacillus sphaericus mampu tumbuh pada sumber

karbon yang berbeda dan memproduksi biosurfaktan dengan indeks emulsifikasi

biosurfaktan yang berbeda pula.

Crude gliserol, oli bekas, dan crude oil merupakan sumber karbon yang dapat

digunakan oleh L. spaerichus dalam pertumbuhannya dan produksi biosurfaktan.

Oli bekas dan crude oil mengandung senyawa yang heterogen, hal ini

menyebabkan lambatnya pertumbuhan sel bakteri dan mempengaruhi

biosurfaktan yang dihasilkan (Sandri, 2009). Gliserol mudah dimanfaatkan oleh

bakteri karena bersifat larut air dan asam lemak bebas yang terkandung dapat

(32)

Moussa et al (2006) dalam penelitiannya diketahui bahwa pada produksi

biosurfaktan oleh Nocardia amarae dengan peningkatan konsentrasi olive oil

hingga mencapai konsentrasi 3%(v/v) menyebabkan kenaikan jumlah

biosurfaktan namun pada konsentrasi >3%(v/v) jumlah biosurfaktan menurun.

Rashedi et al., (2005b) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa gliserol

menunjukkan merupakan substrat yang paling baik untuk produksi rhamnolipid

oleh strain P. aeruginosa CFTR-6 dibandingkan dengan substrat gasolin, paraffin

oil, dan whey. Pada konsentrasi 5% gliserol diperoleh biomassa tertinggi dan

produksi rhamnolipid terbanyak. Namun, pada gliserol dengan konsentrasi lebih

dari 5% gliserol terjadi penghambatan pada pertumbuhan bakteri dan produksi

biosurfaktan. Penghambatan ini diduga berkaitan dengan solubilitas gliserol dan

kesulitan bakteri untuk memperoleh nutrisi dalam medium kultur.

Nugroho (2006b) dalam penelitiannya telah memperoleh penurunan

tegangan permukaan yang cenderung meningkat secara teratur sesuai dengan

peningkatan konsentrasi paraffin dalam media kultur. Semakin tinggi konsentrasi

parafin dalam media maka semakin tinggi pula penurunan tegangan permukaan

yang dihasilkan. Suryatmana (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa

semakin tinggi konsentrasi glukosa yang digunakan dalam pertumbuhan

Azotobacter chroococcum untuk produksi biosurfaktan maka semakin tinggi pula

produksi biosurfaktan yang dihasilkan.

Begitu pula dengan Rashedi et al (2005a) dalam penelitiannya diketahui

bahwa produksi biosurfaktan oleh Pseudomonas aeruginosa meningkat seiring

(33)

Sedangkan Ruzniza (2005) pada penelitiannya menyebutkan bahwa terjadi

perbedaan signifikan pada biomassa sel isolat ETL-CR1 antara penambahan 1

mM glukosa dengan 3 mM – 10mM glukosa. Dan tidak terjadi perbedaan

signifikan biomassa sel pada medium dengan penambahan 3 mM – 10 mM

glukosa.

b.Sumber Nitrogen

Nitrogen merupakan unsur lain yang dibutuhkan dalam medium

pertumbuhan yang dibutuhkan mikroba untuk produksi biosurfaktan. Sumber

nitrogen dalam medium juga memberikan hasil yang baik dalam produksi

biosurfaktan. Sumber nitrogen juga berperan sebagai pengontrol pH dalam

medium. Garam ammonium dan urea memberikan hasil yang lebih baik untuk

produksi biosurfaktan oleh A. paraffineus. Disamping itu nitrat mendukung

produksi biosurfaktan lebih banyak oleh P. aeroginosa (Desai & Banat, 1997).

Sandri (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pertumbuhan L.

spaerichus lebih tinggi ketika ditumbuhkan dalam medium dengan ammonium

nitrat dibandingkan dengan urea sebagai sumber nitrogen, namun produksi

biosurfaktan pada medium dengan ammonium nitrat lebih rendah dibandingkan

dengan urea. Makkar & Cameotra (2002) menyebutkan bahwa sodium nitrat,

potassium nitrat, dan urea merupakan sumber nitrogen yang paling baik untuk

pertumbuhan Bacillus subtilis dibandingkan dengan sumber nitrogen lain yang

dicobakan (peptone, yeast ekstrak, beef ekstrak, tripton, ammonium nitrat, dan

(34)

Syldatk (1985) dalam Desai & Banat (1997) menyebutkan bahwa

ketersediaan nitrogen yang terbatas tidak hanya menyebabkan produksi

biosurfaktan yang berlebih namun juga mengubah komposisi dan biosurfaktan

yang dihasilkan. Budiarti (2001) menyebutkan bahwa pertumbuhan bakteri B4

pada medium urea sebagai sumber nitrogen lebih baik dibandingkan dengan

media yeast ekstrak. Konsentrasi nitrogen yang terlalu tinggi dalam suatu medium

pertumbuhan dengan hidrokarbon sebagai satu-satunya sumber karbon dapat

menyebabkan keracunan pada bakteri.

2. Umur Kultur

Umur kultur merupakan faktor yang penting untuk memproduksi

biosurfaktan dalam kultur batch. Semakin tua umur kultur, maka semakin banyak

nutrisi yang digunakan oleh mikroorganisme, sehingga nutrien dalam medium

kultur batch semakin terbatas. Hal tersebut dapat mengakibatkan akumulasi

produk sisa metaboilisme yang menyebabkan perubahan pada metabolisme sel

dan produksi biosurfaktan. Bertambahnya umur kultur dapat berhubungan pula

dengan pembentukan permukaan sel mikroba yang hidrofobik untuk digunakan

dalam deemulsifikasi emulsi minyak dalam air ( Kosaric, 1987 dalam Budiarti,

2000). Produksi biosurfaktan secara signifikan meningkat pada saat memasuki

fase stasioner sampai fase kematian bakteri (Mulligan & Gibs, 1993).

3. Kondisi Lingkungan

Faktor – faktor lingkungan yang berpengaruh dalam produksi biosurfaktan

adalah pH dan salinitas, temperatur, agitasi, dan ketersediaan oksigen. Faktor –

(35)

pertumbuhan dan aktifitas sel. Sebagian besar biodegradasi oleh bakteri terjadi

pada pH netral. Sandri (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa

pertumbuhan L. spaerichus dan aktivitas emulsi yang baik diperoleh pada pH 6.

Salinitas dapat berfungsi dalam membantu keseimbangan konsentrasi mineral

dalam sel. Apabila salinitas terganggu, maka akan mempengaruhi pertumbuhan

sel dalam produksi biosurfaktan (Budiarti, 2000). Abu Ruwaida et al (1991)

dalam Al-Araji et al (2007) menyebutkan bahwa pengaruh salinitas terhadap

produksi biosurfaktan tergantung pada efek aktivitas seluler.

Kenaikan dan penurunan temperatur kemungkinan berperan dalam

mengubah metabolisme mikroba. Pada kultur batch isolat AB-Cr1 dan ETL-Cr1

dengan variasi suhu 30ºC sampai 55º, diperoleh temperatur yang optimum pada

suhu 37ºC untuk produksi biosurfaktan terbanyak (Ruzniza, 2005). Kenaikan

kecepatan agitasi menghasilkan penurunan produksi biosurfaktan oleh Nocardia

erythropolis (Desai & Banat, 1997). Pada penelitian yang lain, produksi

biosurfaktan meningkat ketika agitasi dan aerasi ditingkatkan (Desai & Banat,

1997).

2.6.5. Ekstraksi Biosurfaktan

Biosurfaktan adalah lipid yang mengandung molekul amphipatik dan

dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut organik. Ekstraksi (recovery)

biosurfaktan bergantung pada pertukaran ion, kelarutan terhadap air, dan lokasi

produk biosurfaktannya (intraseluler, ekstraseluler, atau berikatan dengan sel).

(36)

metode ekstraksi dengan pelarut kloroform-metanol, diklorometan-metanol,

butanol, etil asetat, pentana, hexana, asam asetat, eter, dan lain-lain. Sebagian

besar biosurfaktan dikeluarkan dalam medium dan diisolasi dari kultur filtrat atau

supernatan (Desai & Banat, 1997; Gautam dan Tyagi, 2006).

Glikolipid dari P. aeroginosa dan U. zeae diekstraksi dengan presipitasi

asam pada suhu rendah. Glikolipid yang lain berasal dari populasi mikroba dan

rhamnolipid berasal dari kedua bakteri P. aeroginosa dan C. lipolitica berhasil

diekstraksi dengan pelarut kloroform-metanol (Desai & Banat, 1997). Diantara ketiga pelarut (kloroform-metanol, etil asetat pada kondisi asam (pH 2), dan

diklorometan dengan ultrasonik, pelarut kloroform-metanol (1:1 v/v) merupakan

pelarut yang efisien dalam ekstraksi bioemulsi yang melekat pada sel dari

suspensi sel Myroides sp (Maneerat & Dikit, 2007).

Biosurfaktan merupakan molekul amphipatik yang bisa diekstraksi

menggunakan pelarut organik. Variasi tiap pelarut organik bisa digunakan baik

secara tunggal maupun kombinasi. Daud et al (2007) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa dengan menggunakan pelarut kombinasi kloroform:methanol

(2:1) diperoleh crude biosurfaktan sebanyak 7 g/l dan hasil ini memberikan hasil

yang lebih banyak dibandingkan dengan crude biosirfaktan yang diperoleh

menggunakan pelarut MTBE:kloroform.

2.7. Indeks Emulsifikasi (IE24%)

Indeks Emulsifikasi (IE24%) merupakan aktifitas emulsifikasi yang terjadi

(37)

(mm) dibagi dengan total tinggi dari cairan kolom (Kumar et al., 2008).

Emulsifikasi minyak oleh biosurfaktan terjadi karena adanya ikatan antara gugus

hidrofobik dari tetes minyak dengan gugus hidrofilik dari biosurfaktan dengan

membentuk struktur misel yang berukuran mikron sehingga menyebabkan minyak

terdispersi dalam larutan dan terjadi emulsifikasi antara minyak-biosurfaktan dan

air (Suryatmana et al., 2006). Menurut Barnet et al (1974) dalam Noviana (1998)

misel adalah agregat molekul aktif permukaan yang membentuk fase non-polar

dalam larutan air yang akan mengikat konsentrasi molekul hidrokarbon yang lebih

besar daripada fase air itu sendiri, sehingga misel dapat dikatakan bekerja sebagai

paket transport bagi hidrokarbon.

Fathimah (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa biosurfaktan

yang dihasilkan oleh Pseudomonas sp. dalam kultur dengan substrat glukosa

memiliki aktivitas emulsifikasi yang lebih baik dibandingkan dengan biosurfaktan

yang dihasilkan dengan substrat yang lain. Biosurfaktan yang dihasilkan memiliki

kemampuan dalam mengemulsi beberapa jenis hidrokarbon uji yaitu solar,

minyak pelumas, dan heksadekan. Besarnya kemampuan biosurfaktan dalam

mengemulsi hidrokarbon bergantung pada jenis biosurfaktan dan minyak uji yang

(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juni – November 2009 di

Laboratorium Mikrobiologi Balai Teknologi Lingkungan – BPPT, Serpong.

3.2. Alat dan Bahan

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laminar air flow

cabinet (Panasonic), rotary shaker (Multi Shaker PSU 20 Boeco), inkubator

(Memmert), sentrifuge (Sorvall®RMC 14), spektrofotometer UV-Vis (V-530

Jasco), pH meter (WTW 82362 Weilheim), Vortex (Yellow Line), timbangan

analitik (Sartorius – CP224 S), autoklaf (All American Model No. 25 X), hot plate

(Cimarec®2), rotary evaporator (Heidolph), labu distilasi (Iwaki Pyrex), corong

pisah (Iwaki Pyrex), oven (Memmert), Microwave (Panasonic), Mikropipet,

erlenmeyer (Iwaki Pyrex) 500 ml dan 250 ml, cawan petri (Iwaki Pyrex), tabung

reaksi (Iwaki Pyrex), botol Schott Duran, glass beker (Iwaki Pyrex), mikrotip,

mikrotube, ose lup, bunsen, penggaris (cm), dan kamera digital.

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat bakteri

Lysinibacillus spaerichus, medium Bushnell-Haas (per liter akuades) (Atlas,

1994): 0,2 gram MgSO4.7H2O; 1 gram K2HPO4; 1 gram KH2PO4; 0,05 gram

FeCl3; 1 gram NH4NO3; 0,02 gram CaCl2.2H2O; dan ditambahkan 1,2 gram yeast

(39)

karbon, akuades, NaCl fisiologis 0,85%, kloroform:metanol, HCl, dan

hidrokarbon uji (bensin).

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Penguapan Gliserol

Gliserol sebelum disterilisasi diuapkan terlebih dahulu diatas hot plate

dengan suhu 80 – 100 0C selama ±1 jam, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk

memurnikan gliserol dengan memisahkan metanol.

3.3.2. Pembuatan Medium Bushnell-Haas

Sebanyak 0,2 gram MgSO4.7H2O; 1 gram K2HPO4; 1 gram KH2PO4; 0,05

gram FeCl3; 1 gram NH4NO3; 0,02 gram CaCl2.2H2O; dan 1,2 gram yeast ekstrak

dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 1L, ditambahkan crude gliserol (limbah

biodiesel) sebagai sumber karbon sebanyak 2%, 4%, da 6% v/v, seluruh

komponen dilarutkan dengan akuades hingga mencapai 1L dan diaduk hingga

larut. pH medium diatur pada pH 7 selanjutnya disterilisasi dalam autoklaf pada

suhu 121 0C selama 15 menit. Untuk pembuatan Bushnell-Haas Agar,

dimasukkan semua komponen diatas (tanpa crude gliserol) dan ditambahkan 15

(40)

3.3.3. Peremajaan Kultur Stok

Satu ose isolat dari kultur stok diinokulasikan ke dalam agar miring

Bushnell-Haas dengan cara gores. Kemudian diinkubasi selama 24 – 48 jam pada

suhu 28 0C.

3.3.4. Pembuatan Kurva Standar

Kultur stok ditambahkan sebanyak 10 ml medium cair Bushnell-Haas, lalu

dikocok menggunakan vortex dengan kecepatan maksimum. Dilakukan

pengenceran dengan akuades menggunakan rasio perbandingan konsentrasi

pengenceran 0,5%, 1%, 1,5%, 2%, dan 2,5%, dan dari tiap pengenceran dilakukan

pengukuran kekeruhan dengan menggunakan spektrofotometri pada panjang

gelombang 600nm dan jumlah sel dengan total plate count (TPC). Data dari TPC

dan kekeruhan diplotkan dalam bentuk kurva sebagai kurva standar. Data yang

diperoleh dijadikan sebagai acuan untuk pengukuran jumlah sel pada tahap

selanjutnya.

Total plate count (TPC) dilakukan dengan menggunakan medium

Bushnell-Haas Agar dan pengenceran berseri. Pengenceran berseri dilakukan

dengan cara sebagai berikut: 1 ml kultur dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan

ditambahkan 9 ml larutan NaCl fisiologis 0,85% steril ke dalamnya, lalu kocok

dengan vortex; suspensi yang terbentuk disebut pengenceran 1:10 atau 10-1.

Kemudian diambil 1 ml suspensi dari pengenceran 10-1 dan dimasukkan ke dalam

tabung reaksi berisi 9 ml larutan NaCl fisiologis 0,85% steril, lalu kocok dengan

(41)

lakukan cara yang serupa untuk pengenceran 10-3 10-4 10-5 sampai dengan

pengenceran 10-10 (jumlah pengenceran dalam satu seri tergantung pada

kekeruhan kultur).

Dari tiga pengenceran terakhir (10-8 10-9 dan 10-10 ) masing-masing diambil

0,1 ml dengan menggunakan pipet steril yang berbeda, kemudian dilakukan

inokulasi pada tiga plat agar berbeda yang telah berisi medium Bushnell-Haas

Agar. Suspensi disebarkan pada permukaan plate agar dengan menggunakan

batang glass drygalski hingga merata secara aseptis. Selanjutnya Plat agar

diinkubasi pada suhu 280C selama 24 - 48 jam. Kemudian dilakukan

penghitungan jumlah koloni yang tumbuh pada setiap plate agar. Jumlah yang

dapat dihitung adalah 30-300 koloni. Jumlah sel dinyatakan dengan rumus:

3.3.5. Pembuatan Prekultur

Sebanyak tiga ose isolat dari slant agar diinokulasi ke dalam erlenmeyer

ukuran 250 ml yang berisi 80 ml medium Bushnell-Haas+crude gliserol 2%

(sebagai sumber karbon), kemudian diinkubasi dalam rotary shaker dengan

kecepatan agitasi 120 rpm pada suhu ruang selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan

pengukuran kekeruhan dari kultur dengan menggunakan spektrofotometri pada koloni x n + koloni x n + koloni x n

10-1 10-1 10-1

3

Ket:

(42)

panjang gelombang 600nm. Inokulum prekultur digunakan sebagai inokulum

untuk pembuatan kultur kurva pertumbuhan dan optimasi produksi biosurfaktan.

3.3.6. Pembuatan Kurva Pertumbuhan dan Optimasi Produksi Biosufaktan Inokulumdibuat dalam erlenmeyer 250 ml berisi 80 ml medium

Bushnell-Haas+crude gliserol 2%, 4%, dan 6% (v/v) yang ditambahkan 5% (v/v) inokulum

yang berasal dari prekultur, kemudian diinkubasi pada rotary shaker dengan

agitasi 120 rpm pada suhu ruang. Pada jam ke-0 dan tiap 24 jam berikutnya

dilakukan pengukuran kekeruhan dengan menggunakan spektrofotometri pada

panjang gelombang 600nm dan indeks emulsi (IE24%) sebagai uji aktifitas

emulsifikasi biosurfaktan.

3.3.7. Uji Aktifitas Emulsifikasi

Uji aktifitas emulsifikasi dilakukan menggunakan metode Cooper dan

Goldenberg (1987). Sebanyak 5 ml kultur (3.3.6) disentrifugasi dengan agitasi

5000 rpm selama 30 menit pada suhu 40C dengan tujuan untuk melisiskan sel.

Supernatan yang didapat selanjutnya diambil sebanyak 2 ml ditambahkan dengan

3 ml hidrokarbon uji (bensin) dan divortex dengan kecepatan maksimum selama 2

menit. Campuran tersebut kemudian didiamkan selama 24 jam yang selanjutnya

diukur dengan perhitungan sebagai berikut :

tinggi lapisan emulsi

(43)

3.3.8. Ekstraksi Biosurfaktan

Ekstraksi biosurfaktan dilakukan terhadap kultur dengan nilai IE24%

terbaik. Dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi dengan menggunakan pelarut

kloroform:methanol. Hal ini dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan

sebelumnya (Maneerat & Phetrong, 2007).

Tiga puluh ml kultur (3.3.6) disentrifugasi (5000 rpm selama 30 menit

pada suhu 40C) dengan tujuan untuk melisiskan sel. Supernatan yang didapat

kemudian diasamkan dengan HCl sampai pH 2. Selanjutnya didiamkan satu

malam pada suhu 40C. Setelah itu, supernatan diekstraksi dengan

kloroform:methanol (2:1) selama 10 menit dan dipekatkan dengan menggunakan

rotary evaporator. Pelet yang diperoleh dari hasil ekstraksi berwarna kekuning –

kuningan kemudian dikeringkan pada suhu 600C, selanjutnya ditimbang sampai

diperoleh berat konstan. Berat ekstrak tersebut merupakan crude biosurfaktan.

3.4. Analisis Data

Untuk memilih konsentrasi gliserol yang memberikan pertumbuhan

optimum bagi L. sphaericus digunakan analisis sidik ragam dengan rancang acak

lengkap pada taraf uji 0,05%. Variabel yang dianalisis adalah jumlah sel dan

Indeks Emulsi (IE24%) sebagai parameter yang diuji. Pengambilan keputusan

dilakukan berdasarkan nilai hitung dan tabel, yaitu jika jika hitung <

F-tabel maka Ho diterima, dan jika nilai F-hitung > F-F-tabel maka Ho ditolak. Jika

hasil berbeda nyata atau sangat nyata pada taraf signifikansi 95%, maka dilakukan

(44)

antara jumlah sel dengan Indeks Emulsi (IE24%) digunakan uji Korelasi Pearson

dengan menggunakan SPSS 12. Penentuan keeratan hubungan yang ditunjukkan

oleh nilai koefisien korelasi mengikuti kriteria berikut ini (Nugroho, 2005):

1. 0,00 – 0,2 : Hubungan sangat lemah

2. 0,21 – 0,4 : Hubungan lemah

3. 0,41 – 0,7 : Hubungan kuat

4. 0,7 – 0,9 : hubungan sangat kuat

5. 0,91 – 0,99 : Hubungan sangat kuat sekali

(45)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pertumbuhan Bakteri L. sphaericus

Pola pertumbuhan bakteri L. sphaericus pada medium perlakuan crude

gliserol 2%, 4%, 6%, dan kontrol menunjukkan pola yang hampir sama (Gambar

1), yaitu tidak menunjukkan adanya fase adaptasi atau pertumbuhan langsung

memasuki fase eksponensial. Hal ini terjadi karena bakteri L. sphaericus

ditumbuhkan dalam medium utama pertumbuhan yang sama dengan medium

perlakuan, yaitu pada medium Bushnell-Haas+yeast ekstrak dengan penambahan

crude gliserol 2%, sehingga sel sudah siap tumbuh dalam medium yang baru

tanpa melalui fase adaptasi. Seperti yang dijelaskan oleh Purwoko (2007) bahwa

sel tidak memerlukan fase adaptasi ketika ditumbuhkan dalam medium dan

(46)

Gambar 1. Pertumbuhan Bakteri L. sphaericus pada Medium Perlakuan Crude Gliserol 2%, 4%, 6%, Dan Kontrol.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (tabel 9 dalam lampiran 4)

diketahui bahwa pertumbuhan sel dalam medium dengan penambahan crude

gliserol lebih besar secara nyata dibandingkan dengan pertumbuhan sel dalam

medium kontrol. Hal ini artinya pertumbuhan sel dalam medium dengan

penambahan crude gliserol lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sel

dalam medium kontrol. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa crude

gliserol sebagai sumber karbon dapat memacu pertumbuhan L. sphaericus.

Samadi et al (2007) menyebutkan bahwa gliserol merupakan hidrokarbon larut air

yang mudah diurai. Oleh karena itu crude gliserol dapat dengan mudah digunakan

oleh L. sphaericus sebagai sumber karbon dan pembentukan energi bagi

pertumbuhannya sehingga pertumbuhan sel dalam medium dengan penambahan

crude gliserol lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sel dalam medium

kontrol.

Pertumbuhan L. sphaericus dalam medium kontrol tampak mengalami

kenaikan pada hari ke-1 kultivasi. Dalam hal ini sel memanfaatkan yeast ekstrak

yang terkandung dalam medium kontrol sebagai sumber karbon bagi

pertumbuhannya dan pembentukan energi. Budiarti (2001) menyebutkan bahwa

yeast ekstrak selain berperan sebagai sumber nitrogen juga dapat digunakan

sebagai sumber karbon dalam pembentukan energi bagi pertumbuhan bakteri.

Populasi sel pada medium kontrol sesudah hari ke-1 kultivasi mulai terjadi

(47)

disebabkan oleh berkurangnya sumber karbon atau sumber nutrisi lain yang

terkandung dalam medium.

Namun, hal ini tidak terjadi pada pertumbuhan L. sphaericus dalam

medium yang ditambahkan dengan crude gliserol. Pertumbuhan L. sphaericus

pada medium perlakuan yang ditambahkan dengan crude gliserol sesudah hari

ke-1 kultivasi masih menunjukkan kenaikan hingga mencapai puncaknya. Dalam hal

ini L. sphaericus menggunakan crude gliserol sebagai sumber karbon bagi

pertumbuhannya secara langsung setelah suplai yeast ekstrak dalam medium

sudah habis tanpa melalui fase adaptasi. Hal ini ditandai dengan terjadinya

penurunan populasi sel dalam medium kontrol sesudah hari ke-1 kultivasi

sedangkan populasi sel dalam medium dengan penambahan crude gliserol masih

naik.

Pertumbuhan L. sphaericus dalam medium yang ditambahkan dengan

crude gliserol tampak berada pada fase eksponensial sesudah hari ke-0 sampai

hari ke-3 kultivasi. Pada fase eksponensial sel melakukan konsumsi nutrien dan

proses fisiologis lainnya. Pertumbuhan L. sphaericus dalam medium dengan

penambahan crude gliserol tampak memasuki fase stasioner sesudah hari ke-3

hingga hari ke-7 kultivasi, hal ini ditandai dengan jumlah populasi sel yang tetap.

Hal ini terjadi dapat disebabkan oleh suplai nutrisi dalam medium sudah habis.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap

metabolisme L. sphaericus diketahui bahwa L. sphaericus dapat melakukan

metabolisme diantaranya yaitu glikolisis, siklus krebs, biosintesis asam lemak,

(48)

gliseropospolipid (http://www.genome.jp/kegg/.). Dalam hal ini gliserol

dimanfaatkan oleh L. sphaericus sebagaisumber karbon dan energi dalam proses

metabolismenya, antara lain sintesis biomassa, sintesis produk ekstraseluler, dan

energi pertumbuhan. L. sphaericus memanfaatkan gliserol sebagai sumber energi

dalam proses metabolismenya dan memproduksi berbagai jenis biosurfaktan yang

kemungkinan dapat dihasilkannya.

Disamping faktor nutrisi, pertumbuhan sel juga dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan seperti pH, suhu dan ketersediaan oksigen yang mendukung

pertumbuhan (Purwoko, 2007). pH medium pertumbuhan pada awal inkubasi

berada pada pH 7, suhu medium pertumbuhan berada pada suhu kamar, dan suplai

oksigen dalam medium diperoleh dari pengocokan (rotary shaker) kultur selama

inkubasi dengan kecepatan konstan. Sandri (2009) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa L. sphaerichus mampu tumbuh pada kisaran pH 8 sampai 6

dan tumbuh optimum pada pH 6. Menurut Ahmed et al (2007) golongan

Lysinibacillus tumbuh pada kisaran nilai pH 9,5 – 5,5.

Kondisi pH kultur medium kontrol dan medium yang ditambahkan crude

gliserol selama inkubasi memiliki pola yang hampir sama (Gambar 2). pH

medium selama inkubasi berada pada kisaran pH 7,3 - 5,6. Penurunan pH yang

terjadi selama proses degradasi disebabkan sumber karbon yang terkandung

dalam medium merupakan sumber karbon yang sederhana. Seperti yang

dijelaskan oleh Nugroho (2006b) bahwa sumber karbon sederhana yang

terkandung dalam medium kultur dapat langsung digunakan oleh bakteri untuk

(49)

sisa dari metabolismenya dan hal ini cenderung menyebabkan pH medium

menurun.

Gambar 2. Kondisi pH Kultur Medium Perlakuan Selama Masa Inkubasi. Berdasarkan hasil analisis duncan (tabel 15 dalam lampiran 4) diketahui

bahwa pertumbuhan sel pada medium dengan penambahan crude gliserol 2%, 4%,

dan 6% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa

penambahan crude gliserol pada konsentrasi 2% - 6% sebagai sumber karbon

tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan L. sphaericus. Hal

ini terjadi karena sebagian crude gliserol pada konsentrasi 4% dan 6% dalam

medium kultur tidak terpakai untuk pertumbuhan sel. Dalam hal ini dapat

diketahui bahwa konsentrasi crude gliserol yang optimal bagi pertumbuhan L.

sphaericus yaitu pada konsentrasi 2%. Dengan demikian dapat disarankan untuk

penelitian mendatang perlu dilakukan pengujian dengan menurunkan konsentrasi

crude gliserol dibawah 2% guna mengetahui sejak konsentrasi berapa

(50)

4.2. Aktifitas Emulsifikasi

Aktifitas emulsifikasi mulai tampak sejak hari pertama pertumbuhan sel

(Gambar 3). Dalam hal ini aktifitas emulsifikasi yang terjadi menunjukkan bahwa

biosurfaktan yang diproduksi oleh isolat bakteri L. sphaericus mampu

mengemulsi bensin. Emulsifikasi minyak bensin oleh biosurfaktan tersebut terjadi

karena adanya ikatan antara gugus hidrofobik dari tetes minyak dengan gugus

hidrofilik dari biosurfaktan dengan membentuk struktur misel yang berukuran

mikron, dan menyebabkan minyak terdispersi dalam larutan. Sehingga terjadi

emulsifikasi antara minyak-biosurfaktan dan air.

Gambar 3. Indeks Emulsifikasi (IE24%) L. sphaericus pada Medium

Perlakuan Crude Gliserol 2%, 4%, 6%, Dan Kontrol.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (tabel 18 dalam lampiran 4)

diketahui bahwa IE24% dari biosurfaktan medium yang ditambahkan dengan

crude gliserol tampak lebih besar secara nyata dengan IE24% biosurfaktan

medium kontrol. Artinya bahwa IE24% biosurfaktan dari medium yang

ditambahkan crude gliserol lebih tinggi dibandingkan dengan IE24% biosurfaktan

(51)

sebagai sumber karbon mampu meningkatkan produksi biosurfaktan. Seperti yang

disebutkan oleh Bidlan et al (2007) bahwa gliserol mudah dimanfaatkan oleh

bakteri karena asam lemak bebas yang terkandung dapat merangsang bakteri

untuk memproduksi biosurfaktan dengan cepat.

Dalam penelitian ini sumber karbon pada medium kontrol hanya diperoleh

dari yeast ekstrak. Apabila dibandingkan IE24% dari biosurfaktan medium kontrol

pada hari ke-4 kultivasi (IE24% tertinggi) dengan IE24% dari biosurfaktan medium

crude gliserol 6% pada hari yang sama terdapat 18% perbedaannya. Artinya

dengan penambahan crude gliserol 6% sebagai sumber karbon dihasilkan

biosurfaktan 18% lebih banyak dari biosurfaktan yang dihasilkan dalam medium

kontrol.

Berdasarkan hasil analisis duncan (tabel 24 dalam lampiran 4) diketahui

bahwa IE24% yang berasal dari biosurfaktan kultur medium dengan penambahan

crude gliserol 2%, 4%, dan 6% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini

menunjukkan bahwa penambahan crude gliserol pada konsentrasi 2% sampai

dengan 6% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap indeks emulsifikasi

biosurfaktan yang dihasilkan oleh L. sphaericus. Hal ini terjadi karena sebagian

crude gliserol pada konsentrasi 4% dan 6% dalam medium kultur tidak terpakai

untuk pertumbuhan sel dan uji emulsifikasi. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa

konsentrasi crude gliserol yang optimal untuk indeks emulsi biosurfaktan yang

dihasilkan oleh L. spaerichus yaitu pada konsentrasi 2%. Dengan demikian dapat

disarankan untuk penelitian mendatang perlu dilakukan pengujian dengan

(52)

konsentrasi berapa indeks emulsifikasi biosurfaktan yang dihasilkan oleh L.

spaerichus mulai mengalami kenaikan.

4.3. Hubungan Produksi Biosurfaktan dengan Pertumbuhan Sel

Nilai IE24% biosurfaktan tertinggi dari medium dengan penambahan crude

gliserol diperoleh pada akhir fase eksponensial yaitu pada hari ke-3 kultivasi,

sedangkan nilai IE24% biosurfaktan cenderung konstan selama fase stasioner

(Gambar 4). Artinya biosurfaktan lebih banyak dihasilkan pada akhir fase

eksponensial, hal ini menunjukkan bahwa biosurfaktan yang dihasilkan oleh L.

sphaericus merupakan metabolit primer. Seperti yang disebutkan oleh Tabatabaee

et al (2005) dan Abouseod et al (2008) bahwa biosurfaktan yang diproduksi lebih

banyak selama fase eksponensial menunjukkan bahwa biosurfaktan tersebut

merupakan produk metabolit primer.

Gambar 4. Pola Pertumbuhan Sel dan IE24% pada Medium Crude Gliserol Berdasarkan analisis korelasi hubungan antara pertumbuhan sel dengan

produksi biosurfaktan menunjukkan hubungan yang kuat (r = 0,993) (Gambar 5).

Hal ini menunjukkan bahwa produksi biosurfaktan sejalan dengan pertumbuhan

sel. Dalam hal ini pola produksi biosurfaktan dari L sphaericus termasuk dalam

(53)

produksi biosurfaktan meningkat sejalan dengan kenaikan pertumbuhan sel.

Seperti yang disebutkan oleh Desai & Banat (1997) bahwa pada produksi

pertumbuhan gabungan terjadi hubungan yang berbanding lurus antara

pertumbuhan sel dan produksi biosurfaktan.

Gambar 5. Kurva Korelasi Hubungan antara Pertumbuhan L. sphaericus dengan Indeks Emulsifikasi Biosurfaktan yang dihasilkannya.

4.4. Ekstraksi Biosurfaktan

Biosurfaktan merupakan molekul amphipatik yang terdiri dari bagian

hidrofilik yang bersifat polar dan bagian hidrofobik yang bersifat non-polar

(Al-Araji et al., 2007). Biosurfaktan dapat diekstraksi menggunakan sistem pelarut

organik baik dengan pelarut tunggal maupun kombinasi pelarut (mix solvent).

Kombinasi pelarut (mix solvent) umumnya digunakan untuk memudahkan

Gambar

Gambar 1.   Pertumbuhan Bakteri  L. sphaericus pada Medium Perlakuan
Tabel 24.  Ringkasan Interaksi Indeks Emulsi  ...............................................
tabel maka Ho diterima,  dan jika nilai F-hitung > F-tabel maka Ho ditolak. Jika
Gambar 2. Kondisi pH Kultur Medium Perlakuan Selama Masa Inkubasi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Indikasi ini memperkuat kesimpulan sebelumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem akuifer karst Mataair Ngeleng memiliki karakter respon debit yang cepat terhadap curah

kali akan naik ojek dari sana, tidak mudah membedakan mana tukang ojek yang ramah dan mana yang suka marah sebab wajah mereka sama dinginnya.. Karena sudah larut petang, kendaraan

Kreativitas yang digunakan oleh informan selaku guru kelas VIII mata pelajaran aqidah akhlak yaitu berupa vidio animasi terkait materi pelajaran dan juga musik yang

Memiliki tugas dan kewenangan yang memadai, termasuk untuk: melacak, mengamankan dan merampas aset sejak proses penyidikan, mendata dan menyelesaikan tunggakan pekerjaan masa

Merangkai rangkaian sesuai dengan gambar (III.13). dimana pada gambar ini rangkaian clipping.. Menghubungkan signal generator dan osiloskop chanel 1 pada input

Berikut ini perhitungan Workload untuk mesin pada packaging primer (Groover, 2001). Apakah perusahaan akan menggunakan 1 mesin atau menambah jumlah mesin menjadi 2

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa untuk semua besaran amplitudo landasan yang diaplikasikan (5 sd. 20mm), respons percepatan level atas lebih besar sekitar 0.01 g

Adapun kemampuan menghafal dalam penelitian ini yaitu nilai-nilai yang didapat siswa kelas VIII MTs Paradigma Palembang dengan diterapkannya metode muroja’ah pada mata