Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMAD HAYAFIZUL BIN MD. AHAYAR NIM: 107044103856
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 16 September 2011 M
KATA PENGANTAR………..………………... i
DAFTAR ISI………...……… iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...………... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………..………… 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 6
D. Kajian Studi Terdahulu………...………… 7
E. Metode Penelitian……… 8
F. Sistematika Penulisan……….. 11
BAB II RIWAYAT HIDUP IMAM SYAFI’I A. Sekilas Tentang Imam Syafi’i……….. 12
B. Kondisi Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Imam Syafi’i… 14 C. Karya-Karya Imam Syafi’i………..……….. 22
D. Pengaruh Pemikiran Hukum Imam Syafi’i……… 25
BAB III HUKUM ZINA MENURUT KONTEKS ALIRAN FIKIH MAZHAB SYAFI’I A. Pengertian Zina………...………..… 28
B. Bukti dan Saksi untuk Menetapkan Kesalahan Pelaku Zina……….………..… 30
BAB IV PELAKSANAAN HUKUM ZINA PADA MAHKAMAH SYARIAH NEGERI SELANGOR
A. Latar Belakang Pendiriannya Sistem dan Sejarah Makamah
Syari’ah Negeri Selangor……….... 40
B. Pengertian Zina Menurut Enakmen Jinayah Syariah Negeri
Selangor……….………..… 44
C. Alat Bukti Untuk Menetapkan Kesalahan Pelaku Zina Menurut
Enakmen Jinayah Syariah Negeri Selangor……….…..…. 46
D. Hukuman Bagi Pelaku Zina Menurut Undang-Undang Jinayah
Negeri Selangor……….……….. 48
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……….. 51
B. Saran………..………….. 53
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi Tuhan
Semesta Alam, Yang Maha Esa, Yang Maha Kaya, Yang Maha Pencipta, Yang Maha
Mengetahui Segala Sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang nyata maupun yang
tersembunyi baik dalam terang benderang maupun gelap gelita, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Shalawat dan salam kepada Junjungan Besar kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga serta para sahabat dan pengikut-pengikutnya yang menyeru dengan
seruannya, berpedomankan petunjuk-petunjuk Allah SWT serta berpegang teguh
dengan tali-Nya (hablullah) sampai akhir zaman.
Alhamdulillah berkat rahmat-Nya, penulisan skripsi ini telah dapat
diselesaikan dengan baik walaupun masih banyak kekurangan. Penulis menyadari
bahwa selesainya skripsi ini tak luput dari dorongan dan bantuan semua pihak.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Prof. Dr. H Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;
2. Drs. Basiq Djalil, SH dan Hj. Rosdiana, MA, masing-masing selaku ketua dan
sekretarias jurusan Ahwal Syakhshiyah yang telah banyak memberikan
ii
3. Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi. Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang
dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran, sehingga skripsi
ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah bapak ajarkan
mendapat balasan dari Allah SWT;
4. Seluruh staf pengajar (dosen) jurusan Akhwal Syakhsyiah Fakultas Syariah
dan Hukum,serta kepada karyawan dan staff perpustakaan yang telah
memfasiliti penulis menyelesaikan skripsi ini.
5. Ayahanda dan Ibunda yang sangat aku cinatai serta sayangi Hj Md Ahayar,
Hjh Hamidah binti Menut yang senantiasa menyayangi, merawat, mengasuh,
membesarkan, mendidik dan memberikan motivasi di setiap gerak langkah
penulis.
6. Adik-adikku Norhayaerma, Norramziha, Muhammad Rahmat, Muhamad
Amin dan Norfahauni yang sangat aku sayangi sekalian.
7. Kerajaan Malaysia yang memberikan diriku ruang untuk beribadah dan
berpartisipasi di dunia ini, dalam hal ini Kedutaan Besar Malaysia di
Indonesia atas pengawasan dan kebajikan yang diberikan;
8. Teman-teman seperjuangan Tarmizi, Ba’yah, Ameer, Razman, Ukasyah,
Sabri, Saifuddin, Zalani, Muaz, Hilman, Saiful Daulah, Najib, Zahid, Tuan
Izzuddin, Fakhri, Yunus, Sufian, Fawwaz, Baha, dan juga teman yang berada
di Asrama Putri UIN dan kost kosan, tidak lupa juga teman yang dicintai yang
iii
dan sumbangan yang telah diberikan oleh Ridzuan, Faiz Awang, Aziz dan
Tuan Izuddin Abu Bakar. Tidak lupa juga sahabat-sahabat dari IPA,
Ramadhan, Ustadz Azhari, Munir, Syukri, Hanzalah, Riduan Hamid,
Nasrullah, Syamil, Farid, Khalil dan Najmi yang telah bersama kecimpung
dalam menegakkan kalimat Allah.
9. Teman-teman Indonesiaku juga yang telah banyak membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini khususnya saudara Abi, Dinol, Wasilah, dan
beberapa teman-teman lain yang membantu penulis untuk memahami dan
sharing mengenai ketatanegaraan Islam, khususnya negara Indonesia.
10.Kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu hingga
terselesainya skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih banyak semoga
segala bantuan tersebut diterima sebagai amal shaleh di sisi Allah SWT dan
memperoleh balasan pahala yang ganda. Amin.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan semua ini. Semoga apa
yang penulis usahakan ini kiranya dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Amin.
Ciputat, 7JUNI 2011
1
A. Latar Belakang Masalah
Dalam ajaran Islam, ada dua tata hubungan yang harus dipelihara oleh
setiap manusia, yaitu hubungan antara manusia dengan Allah SWT dan
hubungan antara manusia sesama manusia. Hubuangan manusia sesama
manusia meliputi juga hubungan manusia dengan lingkungannya, termasuk
dirinya sendiri. Kedua-dua hubungan ini harus berjalan bersamaan, untuk
menuju kearah keselarasan dan kemantapan seseorang muslim. Di dalam
menjalankan hubungan tersebut terdapat berbagai wasilah (perantaran)
antaranya adalah hukum undang-undang yang perlu diikuti oleh manusia.1
Hukum Islam merupakan satu hukum yang telah diturunkan oleh
Allah SWT kepada manusia melalui al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Ia mencakup semua bentuk sistem pranata kehidupan manusia, baik yang
berkaitan dengan sosial budaya, politik, hukum dan lain-lain.2
Pada pandangan undang-undang yang tidak berasaskan hukum Islam
tidak boleh digunakan atau dilaksanakan dalam mengatur kehidupan manusia.
Selain itu undang-undang dan hukum yang dibuat manusia adalah tidak dapat
memberikan prinsip keadilan dalam berbagai demensi kehidupan manusia.
Keadilan tidak dapat dicapai oleh manusia itu sendiri. Hanya undang-undang
1
Muhammad Muslehuddin, (terj) Asiah Idris, Jenayah dan Doktrin Islam dalam tindakan pencegahan, (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1992) h. 37
2
dan hukum Allah SWT yang mampu memberikan keadilan dalam kehidupan
manusia hukum Islam dalam setiap aspek kehidupanya. Dengan demikian
pada prinsipnya setiap muslim diwajibkan untuk mengimplementasikan
ancaman bagi orang yang tidak memberlakukan hukum Islam.3
Hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai rasul
terakhir telah tersebar ke seluruh persada, termasuk ke daerah semenanjung
Malaysia. Kedatangan Islam ke Malaysia berhubung erat dengan kedatangan
Islam ke pulauan Melayu, Dengan masuknya Islam kewilayah ini maka
undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat baik menyangkut
ibadah maupun muamalah dalam arti luas yakni adalah hukum Islam yang
digunakan, hal ini sekaligus menolak anggapan penulis Barat dan hakim
Inggris yang menyatakan bahwa Malaysia sebelum intervensi Inggris tidak
mempunyai undang-undang tertulis dan tidak melaksanakan undang-undang
Islam.4 Padahal sejarah menunjukan bahwa undang-undang Islam sudah
wujud dan pernah menjadi undang-undang pokok serta dilaksanakan di
negeri-negeri Melayu, diantaranya adalah undang-undang perkawinan,
undang-undang harta pusaka dan lain-lain.5
Pemberlakuan hukum Islam di daerah Semenanjug Malaysia saat
diformulasikan dalam qanun atau enakmen di masing-masing negeri tidak
3
Mahfodz Mohamed (t.t), Satu Kajian Ilmiah mengenai Hukuman Hudud, Nurin Enterprise, Kuala Lumpur), hlm. 30
4
Ibid, hlm.39
5
terkecuali Negeri Selangor. salah satu enakmen Negeri Selangor adalah
enakmen jinayah Negeri Selangor, yang diatur dalam enakmen ini adalah
masalah zina (persetubuhan haram).
Zina adalah satu perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT,
perbuatan itu amat dikutuk oleh Agama Islam dan agama samawi lainnya. Ini
karena perbuatan zina menyebabkan berlakunya banyak kerusakan pada
manusia itu sendiri. Allah SWT menjadikan manusia itu berpasangan laki-laki
dan wanita dan Allah juga telah menurunkan norma-norma hukum yang wajib
diikuti oleh semua manusia di dalam alam ini. Untuk menghalalkan ikatan
antara laki-laki dan wanita Islam telah mensyariatkan ikatan perkawinan yang
akan berlaku hingga ke akhir hayat. Ikatan ini mempunyai tanggung jawab
yang perlu dilaksanakan oleh kedua-kedua pasangan tersebut.6
Pebuatan zina akan mengakibatkan kekacauan dalam sistem
perhubungan antara manusia, anak yang lahir hasil dari zina menyebabkan
kekacauan dalam hal pernasaban anak, harta pusaka dan yang paling utama
keruntuhan akhlak di kalangan manusia itu sendiri. Maka perbuatan zina ini
amat di haramkam, dibenci oleh Allah SWT, dan dilarang untuk
mendekatinya. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam al-Qur’an;
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S.
Al-Isra’: (17) : 32)
Berkenaan dengan hukum yang berhubungn dengan jinayah hudud
zina, di samping dijelaskan di dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah
SAW, kemudian dikembangkan melalui ijthad para ulama’ fiqh dan mujtahid
yang dituangkan dalam kitab-kitab fiqh. Salah seorang mujtahid yang
meluaskan fiqhnya dianut oleh masyarakat muslim di kepulauan nusantara
adalah Imam Syafi’i dengan kitab Al-Umm, kemudian dikembangkan oleh
murid-murid dan pengikutnya yang dituangkan dalam kitab-kitab fiqh syafi’i.7
Dalam masalah hukum yang berhubungan dengan jinayah zina dalam
fiqh syafi’i dijelaskan secara lebih rinci diantaranya meliputi ; kategori zina
dan hukuman bagi setiap kategori, syarat-syarat pelaksanaan hukuman,
terhadap perbuatan yang menyerupai zina, menyetubuhi hewan dan lain-lain.
Sebagaimana yang dituangkan dalam kitab fiqh Al- Manhajy „ala Mazahib
Al-Imam Al-Syafi’i yang di tulis oleh Musthafa al- Khin dan Ali al-Syarbaji.8
Hukum Islam yang dilembagakan dalam undang-undang Negara
Malaysia dalam bentuk enakmen seperti enakmen jinayah Negeri Selangor
juga mengatur aturan hukum tentang zina. Dalam ayat 25 disebutkan:
7
Mahfodz Mohamed (t.t), Satu Kajian Ilmiah mengenai Hukuman Hudud, Nurin Enterprise, Kuala Lumpur), hlm.80
8
“Mana-mana orang laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan orang perempuan yang bukan istrinya yang sah adalah melakukan suatu kesalahan dan apabila disabitkan kesalahan boleh didenda tidak melebihi lima ribu ringgit atau dipenjarakan selama tempoh tidak melebihi tiga tahun atau disebat tidak melebihi enam sebatan atau dihukum dengan mana-mana
kombinasi hukuman itu”9
Dari penjelasan ayat 25 tersebut di atas, terlihat bahwa hukum bagi
pelaku perzinaan dapat dikategorikan kepada tiga kategori yaitu hukuman
denda (sanksi), penjara atau keduanya, dan sebatan (cambuk). Jika
dibandingkan dengan ketentuan hukum fiqh apa yang tertuang dalam
enakmen ini terdapat perbedaan dalam perlaksanaan penetapan hukum bagi
pelaku perzinaan. Dalam fiqh, hukuman bagi pelaku zina adalah rajam bagi
pezina muhshan dan jilid (cambuk) bagi pezina ghair muhshan. Sanksi
jinayah zina yang diatur dalam enakmen jinayah Negeri Selangor
memasukkan jenis hukuman ta’zir dalam bentuk hukum penjara.10
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas penulis merasa tertarik
untuk membahas masalah tersebut dalam suatu kajian ilmiah dalam bentuk
penulisan skripsi yang berjudul: “Hukuman Bagi Pezina Menurut Fiqh
Syafi’i dan Enakmen (Undang-Undang) Jinayah Syariah Negeri
Selangor”.
9
Jabatan Agama Islam Negeri Selangor, Enakmen Jenayah Syariah Negeri Selangor 1995,Enactment No. 9 Tahun 1995.
10
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan skripsi ini adalah berhubungan dengan hukum zina
dalam kitab fiqh dan enakmen undang-undang jinayah syariah negeri
Selangor. Karena itu untuk lebih terfokusnya pembahasan ini perlu adanya
pembatasan masalah yaitu hanya membahas hukum zina menurut ruang
lingkup fiqh Syafi’i dan enakmen jinayah Syariah Negeri Selangor.
2. Perumusan Masalah
Hasil penelitian di Mahakmah Syariah Negeri Selangor terdapat
penerarapan sanksi hukum, yakni hukum ta’zir kepada pezina tersebut. Akan
tetapi pada kenyataanya di Mahkamah Syariah Negeri Selangor tidak
menerapakan Hukuman ta’zir kepada pezina. Dengan itu Permasalahan diatas
dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana katagori zina, dan pelaksanaan
hukumanya dan proses peradilan di mahkamah syariah di negeri Selangor.”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
tentang pelaksanaan hukum zina dalam perspektif fiqh khususnya fiqh Syafi’i
dan bagaimana pelaksanaan hukum zina menurut enakmen jinayah Syariah
Negeri Selangor. Secara lebih spesifik tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui kategori zina menurut fiqh Syafi’i dan enakmen
2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan hukum zina menurut fiqh
Syafi’i dan enakmen jinayah Syariah Negeri Selangor.
3. Untuk mengetahui bagaimana proses peradilan kasus zina di Mahkamah
Syariah Negeri Selangor.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagi berikut:
1. Sebagai sumbangan pemikiran positif, khususnya bagi memahami dan
mempelajari tentang undang-undang Islam terutama tentang zina baik
menurut fiqh maupun menurut enakmen jinayah Syariah Negeri Selangor.
2. Untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan serta merupakan
sebuah kontribusi pemikiran dalam menyelesaikan problematika yang ada
yang ada didalam masyarakat dan lembaga tertentu.
3. Sebagai prasyarat dalam menyelesaikan program Ijazah Sarjana Hukum
Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Kajian Studi Terdahulu
Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang Hukum Zina telah
dilakukan, baik mengkaji secara spesifik topik tersebut ataupun yang
mengkajinya secara umum yang sejalan dengan bahasan penelitian ini.
Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya
penelitian tersebut baik yang berupa buku maupun skripsi, di antaranya:
Penelitian yang ditulis oleh Mohd Faizal bin Yunus yang berjudul
Perlembagaan Malaysia.”11 Penelitian ini membahas tentang hukuman zina
dalam hukum pidana negeri Terengganu dan Perlemabagaan Malaysia, serta
menguraikan kendala-kendala yang berlaku dalam penerapan sanksi pidana
zina di Mahkamah Syariah Negeri Terengganu.
Penelitian yang ditulis oleh Saini Hanafi yang berjudul “Hukum
Pengasingan Bagi Pelaku Zina Menurut Ulama Empat Mazhab.”12 Penelitian
ini diantaranya membahaskan tentang maksud zina dan pengertiannya
menurut Islam yang kemudian membahaskan tentang perbedaan dan
persamaan pendapat ulama empat mazhab terhadap penetapan had zina,
kemudian penulis cuba menganalisis terhadap pendapat ulama empat mazhab
tentang hukum pengasingan bagi pelaku zina.
Selain skripsi di atas, sejumlah penelitian dengan bahasan tentang
masalah zina menurut fiqh Syafi’i dan enakmen jinayah syariah Negeri
Selangor telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik topik tersebut
maupun yang bersinggungan secara umum dengan bahasan penelitian. Berikut
ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian
tersebut: Buku pertama, “Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2,
Muamalat, Munakahat, Jinayat,”karya H. Ibnu Mas’ud, H. Zainal Abidin S.13
11
Mohd Faizal Bin Yunus Implementasi Sanksi Jinayah Zina Dalam Undang-Undang Terengganu dan Perlembagaan Malaysia, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008)
12
Saini Hanafi, Hukum Pengasingan Bagi Pelaku Zina Menurut Ulama Empat Mazhab, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006)
13
Abidin S., H. Ibnu Mas’ud, H. Zainal, Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2,
Buku ini menjelaskan tentang masalah-masalah fiqih yang terkait dengan hal
munakahat, jinayat dan muamalat. Buku itu juga termuat didalamnya
dalil-dalil dari al-Qur’an dan al-Hadis yang kemudian dengan
pandangan-pandangan Imam Syafi’i tentang masalah tersebut.
Buku kedua, “Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil” karya Asyhari
Abd Ghofar.14 Buku ini menjelaskan seputar tentang masalah zina yang
memuatkan dengan pengertian dan segala macam yang terkait dengan
masalah zina, kemudian buku ini juga membahaskan tentang masalah
perkawinan sesudah hamil yang didalamnya termuat dengan
pandangan-pandangan ulama yang terkemuka.
Seterusnya, penulis membuat inditifikasi permasalahan zina terhadap
telaah atau kajian dari segala buku-buku, dokumen dan segala sumber data di
atas, yaitu titik perbedaan antara sumber atau buku di atas adalah antaranya,
menambah pendapat ulama kontemporer, karena kebanyakan karya terdahulu
tidak membicarakan hal-hal yang berlaku saat ini. seterusnya titik perbedaan
mendasar adalah penulis membuat kajian dari sudut komparatif (perbadingan)
dengan hukum positif yaitu kedududkan enekmen jenayah Selangor dengan
segala buku-buku di atas.
14
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh hasil yang maksimal di sebuah karangan atau
penulisan, maka metode pengumpulan data memainkan peran yang
penting.hal ini sangat mempengaruhi tujuan penulisan yang ingin di tuju.
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian yang bercorak
kepustakan (Library Research) yaitu dengan cara mengumpul, membaca,
mengkaji buku-buku, kitab-kitab, penelitian kepustakaan yang berhubungan
dengan penulisan skripsi ini, serta penulis melihat langsung di lapangan kantor
Pengandilan Negeri Selangor.
2. Subyek dan Obyek penelitian.
Yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah hukum Islam yang
terdapat didalam kitab-kitab fiqh khususnya fiqh Syafi’i dan enakmen jinayah
Syariah Negeri Selangor. Sedangkan yang menjadi objek dari penelitian ini adalah
masalah hukum zina baik dalam konsepsi fiqh Syafi’i maupun dalam enakmen
jinayah Syariah Negeri Selangor serta bagaimana pelaksaan hukum zina menurut
mahkamah Syariah Negeri Selangor.
3. Sumber Data.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data skunder. Adapun yang menjadi primer adalah kitab fiqh Syafi’i seperti
Al-Umm dan kitab-kitab fiqh Syafi’i yang lain serta enakmen jinayah Syariah Negeri
Selangor dan enakmen tatacara jinayah Syariah Negeri Selangor. Adapun data
seperti enakmen pentadbiran Negeri Selangor dan putusan mahkamah Syariah
Negeri Selangor.
4. Teknik Analisis Data
Metode yang dipergunakan dalam menganalisis data-data dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif analitis terhadap data-data yang di peroleh melalui
data primer dan skunder. Adapun data-data yang berhubungan dengan dokumen
dianalisis dengan content analysis. Content Analysis merupakan analisis ilmiah
yang berhubungan dengan aksi dan pesan-pesan komunikasi.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran tentang isi dari penelitian ini, penulis
membuat sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I, Merupakan bab pendahuluan yang meliputi, latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, dalam bab ini penulis menjelaskan riwayat hidup Imam Syafi’i
yang meliputi, sekilas tentang Imam Syafi’i, kondisi sosial dan latar belakang
pemikiran Imam Syafi’I, Karya-karya Imam Syafi’I, pengaruh pemikiran hukum
Imam Syafi’i.
Bab III, pada bab ini akan dibahas Hukum Zina Menurut Konteks Aliran
Fiqih Mazhab Syafi’I yang termuat dalam bahasan sub-sub bab tersebut adalah
Pengertian Zina Menurut Fiqh Syafi’I, Bukti Dan Saksi Untuk Menetapkan
Kesalahan Pelaku Zina dan Hukuman Bagi Pelaku Zina Menurut Fiqh Syafi’i.
Pelaksanaan Hukum Zina Pada Mahkamah Syariah Negeri Selangor, seterusnya
memuatkan perbahasan Latar Belakang Pendiriannya Sistem dan Sejarah
Makamah Syari’ah Negeri Selangor, Pengertian Zina, Alat Bukti Untuk
Menetapkan Kesalahan Pelaku Zina dan terahkir adalah Hukuman Bagi Pelaku
Zina Menurut Undang-Undang Jinayah Negeri Selangor
Bab V, Bab ini merupakan penutup dari pembahasan yang berisikan
kesimpulan dari seluruh pembahasan, sebagai jawaban permasalahan beserta
12
A. Sekilas Tentang Imam Syafi’i
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As
Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari
keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga jauh rasulullah SAW.1 dari
ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga rasulullah)
dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. Semasa dalam
kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju Palestina,
setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian
beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan
serba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke Mekkah dan
di kota inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara
lebih intensif.2
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Qur’an dengan
lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Qur’an dalam perjalanannya dari
Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan Imam
Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam
Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun Badui Bani Hundail
1
Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, ( Jakarta, PT Bulan Bintang: 2005), cet XI, hlm. 20
2
selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari
seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam
Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya dalam
usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah, namun
demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam
beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau mengerti,
sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i begitu banyak jumlahnya
sama dengan banyaknya para muridnya.3
Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun
beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya
terfokus pada dua cabang ilmu tersebut, pembelaannya yang besar terhadap
sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi).
Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi,
malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan
kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum
Islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah
pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari
pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan
3
Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga
menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam.4
B. Kondisi Sosial dan Latar Belakang Pemikiran Imam Syafi’i
Kondisi sosial dan latar belakang pemikiran adalah bermula fokus terhadap
kehidupan dan pelajaran Imam Syafi’i dibagi dalam tiga dekade waktu tumbuh
dan berkembang dengan paman-paman beliau di Mekah. Sejak kecil sudah
terlihat kejeniusan beliau. Pada umur 7 tahun hafal Quran 30 juz. Hafal
al-Muwatha’ Imam Malik dalam usia 10 tahun kemudian mempelajari Fiqh lewat
Syeikh Muslim bin Kholid aZZanjiyi. Selain itu, beliau juga banyak sekali hafal
syair-syair Arab. Pada periode pertama ini berakhir pada saat beliau berumur 15
tahun. Pada marhalah ini beliau pindah ke Madinah untuk mendalami
al-Muwatha’ pada Imam Malik bin Anas sampai beliau menguasainya.5
Dari sini terlihat bakat-bakat beliau dalam masalah-masalah Fiqh. Beliau
terus mengikuti Imam Malik sampai Imam Malik meniggal dunia tahun 179 H.
Periode ini beliau pindah ke Irak untuk mempelajari Fiqh Hanafi tahun 184 H.
Dengan berpindahnya beliau ini, berarti telah selesai pengembaraan beliau dalam
menuntut ilmu dari Mekah, Madinah dan Irak, kemudian aktif berfatwa dan
mengajar di Masjid al-Haram. Dari ketiga dekade waktu diatas, dari mulai
menuntut ilmu sampai memberikan fatwa, itu semua merupakan permulaan dari
4
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam,(Jakarta:PT raja Grafindo persada 2008) c. I h, 145.
5
tumbuh dan berkembangnya Madzhab Syafi’i. Dengan lahirnya madzhab baru ini
merupakan keberhasilan ijtihad pada abad ke-2 H.6
Madzhab ini semakin berkembang pesat terutama pada saat Imam Syafi’i
menulis karyanya terbesar dalam ilmu Ushul Fiqh. Tatkala beliau datang ke Irak
untuk kedua kalinya tahun 195 H, orang-orang berbondong-bondong datang
kepadanya untuk berguru, mulailah Imam Syafi’i menyiarkan madzhabnya.
Dalam pengajaran-pengajarannya terlihat bahwa ijtihad-ijtihad beliau berbeda
dengan Imam Abu Hanifah maupun Imam Malik. Semuanya itu terus berlanjut
sampai beliau menuangkan ijtihad-ijtihad lamanya ke dalam sebuah buku “al
-Kitab al-Baghdadi”. Karena ijtihad-ijtihadnya tidak sepenuhnya sesuai dengan
kondisi masyarakat yang ada ketika itu, beliau kemudian berfikir untuk
melakukan perjalanan ke negara lain. Tahun 199 H, Kairo menjadi tujuan
perjalanan beliau dalam usaha mendirikan sekolah yang menitik-beratkan pada
masalah-masalah yang berhubungan dengan Fiqh. Dan mengajarkan madzhab
„baru’ beliau. 7
Dikatakan baru (jadid), karena banyak mengganti ijtihad-ijtihad lama
(qadim) yang beliau sampaikan waktu di Irak. Hal tersebut disesuaikan dengan
kondisi masyarakat yang ada (Mesir). Kemudian beliau mengumumkan bahwa
6
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,(Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001) cet, I,hlm. 50
7
yang barupun termasuk dalam madzhab beliau yaitu Madzhab Syafi’i. Imam
Syafi’i dan Perumusan Hadits Yang pertama kali muncul sebagai sistem
pemikiran tentang hukum Islam adalah aliran al-ra’y. Aliran ini berkembang di
lembah Mesopotamia yang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban Islam
pada saat itu yaitu Baghdad. Aliran ini diwakili oleh Abu Hanifah pendiri
madzhab Hanafi yang oleh sebagian kalangan –sarjana-sarjana Hijaz- diklaim
tidak memperdulikan Hadits, ternyata tanpa dasar. Karena diketahui Abu Hanifah
sendiri mempunyai koleksi Hadits, namun secara umum dapat dikatakan bahwa
madzhab Hanafi menggunakan metode pemahaman hukum yang lebih
rasionalistik, sehingga banyak yang memasukkannya ke dalam kelompok al-ra’y.
Tapi hampir bersamaan dengan itu, perhatian besar terhadap al-Sunnah
ditunjukkan oleh penduduk Madinah lewat seorang sarjana Madinah sendiri
-Malik bin Anas meskipun banyak bersandar pada hadits, ternyata Imam -Malik
sendiri pernah berguru pada Rabi’ah bin Farukh yang menganut aliran al-ra’y.
Namun Malik bin Anas lebih banyak mengambil ilmu yang berkenaan dengan
hadits, bukan aliran ra’yunya. Imam Syafi’i seolah-olah tampil diantara keduanya,
Hanafi dan Maliki. Beliau pernah berguru kepada Imam Malik-pendiri Madzhab
Maliki- dan pernah juga menuntut ilmu pada Imam as-Syaibani-penganut
Madzhab Hanafi.8
8
Pengalaman berguru itu memberikan warna tersendiri dalam perkembangan
madzhab beliau selanjutnya. Dari Imam Malik, Imam Syafi’i mengambil ilmu
tentang sunnah, akan tetapi justru Imam Syafi’i-lah yang memberi perumusan
sistematik dan tegas bahwa tidak semua bentuk sunnah yang harus dipegang, akan
tetapi yang benar-benar dari Nabi saw. Konsekwensinya ialah bahwa kritik
terhadap sunnah dalam bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi
terdahulu harus dilakukan, dengan penyaringan mana yang benar-benar dari Nabi
dan mana yang bukan. Semua laporan mengenai hadits harus dikenakan pengujian
secara teliti menurut standar ilmiah tertentu yang pada akhirnya akan melahirkan
disiplin ilmu baru yaitu Musthalah Hadits yang juga disebut ilmu Dirayah
al-Hadits.9
Dalam bidang kajian ilmiah mengenai hadits tersebut Imam Syafi’i
sebenarnya berperan lebih banyak sebagai peletak dasar. Berbagai pandangan dan
teori beliau tentang hadits memerlukan waktu sekitar setengah abad untuk bisa
terlaksana dengan baik. Pelaksaan penelitian terhadap hadits tersebut memperoleh
bentuknya setelah munculnya sarjana hadits dari Bukhara yaitu Imam Bukhari
yang pada fase selanjutnya dilanjutkan oleh murid beliau keturunan Nisaphur
yaitu Imam Muslim. Tapi hasil karya kedua sarjana hadits tersebut masih jauh
meliputi keseluruhan dari khabar sunnah nabawiyah. Hal ini mendorong beberapa
ahli untuk meneruskan kajian dan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi saw.
9
Dari hasil penelitian tersebut terkumpul enam buah buku hadits yang di kalangan
kaum sunni dianggap standar meskipun dalam otoritas yang berbeda-beda selain
Shahihain, yaitu Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzi dan
Sunan Nasa’i. Jadi kini setidaknya secara tertulis umat Islam (baca: kaum sunni)
dalam upaya memahami agamanya harus berpegang terhadap Quran dan
kumpulan hadits “al-Kutub al-Sittah”.10
Dengan kesimpulan diatas, makanya tahapan Imam Syafie dalam mencari
ilmu adalah;
Pertama; di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin
Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih
berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah
dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh
dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’
fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu
berkedudukan sebagai mufti Makkah. 11
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga
belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga
menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah
10
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,(Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001) cet, I,hlm. 50
11
Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl
dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang
fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para
Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Kedua: di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik
bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya
dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah,
Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Di majelis
beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang
kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam
Malik amat mengaguminya.12
Sementara itu As-Syafi`i sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi
Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Beliau
menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang
terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin
Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih
lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu
majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan
dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada
12
kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .”
Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali
mesti bertambah pemahamanku.”13
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang
paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin
Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu
dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin
Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal
ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang
disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki
pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman
kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda
Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`i, khususnya di akhir
hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini
dalam berbagai periwayatan ilmu.14
Ketiga: Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana.
Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti:
Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya.
13
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-syafii.html diakses pada 20/05/2011 jam 12:14WIB
14
Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di
kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang
ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah
dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Keempat: Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu
dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki pengalaman tukar pikiran yang
menjadikan Khalifah Ar Rasyid.15
Kelima: Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H
dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i
menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya.
Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim).
Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru
(madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul i’lm di akhir bulan
Rajab 204 H.16
C. Karya-Karya Imam Syafi’i
Karya tulisan Imam Syafi’I dapat di kategorikan sebagai berikut, pertama;
Ar-Risalah Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang
ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam
15
Ibid, hlm. 55
16
Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu
memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang
Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As
Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu)
melainkan Allah memberinya di „leher’ Syafi’i,”.17
Thasy Kubri mengatakan di
Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin
ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), „adalah
(kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya
yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan
hidupnya saja masih kurang lengkap.
Kedua: Al-Hujjah Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama
diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani,
Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Ketiga: Al-Umm Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru
Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi,
Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika
sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah
madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok.18
17
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,(Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001) cet, I,hlm. 30
18
Kesimpulan dari hasil teknik karya-karya adalah dapat dikatakan beliau
merupakan Perintis Ushul Fiqh; Al-Quran dan al-Sunnah adalah pegangan
tekstual umat Islam yang obyektif. Namun keobyektifan dalil tersebut tidak
menutup sama sekali kemungkinan adanya kesubyektifan dalam pemahaman dan
pandangan. Oleh karena itu diperlukan ketentuan-ketentuan yang tegas,
bagaimana bukti-bukti tekstual tersebut dipahami, lebih dari itu jika pesan itu
terlaksana dalam kehidupan nyata yang senantiasa berubah dan berkembang ini,
maka usaha memahaminya haruslah didekati dengan suatu metodologi penalaran
tertentu.19
Metode penalaran tersebut sebagaimana telah dikenal dalam disiplin ilmu
tentang hukum Islam adalah qiyas (qiyas tamtsili). Sebagaimana ijma’ ide
mengenai pemakaian metode qiyas dalam memahami nash –khususnya dari segi
legalnya bukanlah tanpa persoalan dan kontroversi, karena adanya unsur
intelektualism dalam qiyas tersebut. Maka tak heran jika ia qiyas dicurigai
sebagai bentuk lain dari aliran ra’y. Sekalipun begitu, metode qiyas tersebut
diambil oleh Imam Syafi’i, lebih penting lagi, beliau juga memberikan kerangka
teoritis dan metodologi yang canggih dalam bentuk kaidah-kaidah rasional,
namun tetap praktis yang selanjutnya lebih dikenal dengan ilmu Ushul Fiqh.20
19
http://uinsuka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=61&Itemid=28d iakses pada 20/05/2011 jam 12:14WIB
20
Kesimpulan dapat disimpulkan dari inti tinjauan dasar-dasar pemikiran
Imam Syafi’I sehingga muncul karya-karya dengan mentode atau teknik adalah
dasar-dasar konseptual tentang hadits, ilmu Ushul Fiqh juga merupakan
sumbangan beliu yang besar dan penting dalam sejarah intelektual Islam. Dengan
al-Al Qur-an, sunnah Nabi dan teori Imam Syafi’i tentang Ushul Fiqh, penjabaran
hukum Islam dapat diawasi keotentikannya. Karena rumusan teoritisnya tentang
hadits dan jasanya dalam merintis Ushul Fiqh, maka Imam Syafi’i diakui sebagai
peletak utama dasar metodologi pemahaman hukum dalam Islam. Sebab teori dan
rumusannya tidak saja diikuti oleh kita-pengikut madzhab Syafi’I namun juga
diikuti oleh madzhab lain. Sementara dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas.21
Beliau tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu
masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan
penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan
istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad
mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah(pembela sunnah),”22
D. Pengaruh Pemikiran Hukum Imam Syafi’i
Syafi’i memainkan peran utama dalam perkembangan jurisprudensi Islam
awal ini, dia mencoba mendamaikan ketegangan antara para ahli hukum dengan
para ahli hadis dengan membuat standarisasi landasan hukum. Landasan hukum
21
Ibid, hlm. 77
22
digiring pada al-Qur’an dan hadis Nabi. Pengertian sunnah tidak lagi dipahami
sebagai tradisi hidup komunitas muslim, tetapi dikembalikan kepada masa sunnah
Nabi. Sebagai arsitek jurisprudensi Islam, syafi’i terkadang menggunakan logika
Aristotelian.23
Upayanya merupakan tonggak kemenangan di kalangan ahli hadis, dan
selanjutnya melahirkan aliran hukum yang dipelori Ahmad ibn Hanbal sebagai
figur utamanya. Sementara Syafi’i mengartikulasikan rumusan metodologi hukum
dalam karya al-Risalah. Kontinuitas teori Syafi’i bekembang ke arah pembakuan
dalam setiap mengambil keputusan yang tidak sebatas aspek hukum dan dijakan
standar bagi generasi berikutnya.24
Standarisasi metodologi hukum yang dibangun oleh Syafi’i berdampak pada
terhentinya dinamika dan kreativitas perkembangan fiqh awal, karena ijtihad
individu telah digantikan oleh ijitihad-kolektif (ijma’). Formulasi hukum telah
dibakukan dan dianggap final oleh para pengikut masing-masing aliran, sehingga
proses inovatif dan inisiatif (ijtihad) menjadi stagnan, meskipun terdapat
upaya-upaya membangun pemikiran baru tetapi tidak mengalami perubahan substansial.
Imam Syafi’i (w. 204 H). Dia telah mengadakan pengembaraan ke berbagai
wilayah untuk belajar hadis serta mengadakan diskusi panjang dengan
23
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’I,(Bandung, PT Remaja Rosdakarya: 2001) cet, I,hlm. 80
24
orang Iraq dan Madinah. Dari pengalamannya ini, Syafi’i mulai meletakkan dasar
pemikirannya tentang hukum Islam. Dia lebih menekankan otoritas hadis sebagai
sandaran hukum dari pada praktek yang disepakati oleh komunitas muslim di
suatu wilayah. Untuk mengatasi kesenjangan antara idenya dengan realitas yang
berkembang, dia merumuskan formulasi qiyas sebagai jalan alternatif dalam
menentukan hukum. Upaya Syafi’i ini merupakan fase titik balik yang
mengantarkan kemenangan prara ahli hadis. Secara berangsur para ahli hadis
menggantikan dominasi ahli hukum.25
Kesimpulannya, metodologisasi hukum Syafii mampu menggiring para
ulama ke dalam kerangka metodologinya. Aktivitas mereka tidak lagi mengarah
pada pemikiran bebas atas problem hukum, tetapi mereka disibukkan pada
karya-karya sebelumnya. Setelah hadis-hadis terkodifikasi dalam bentuk kitab-kitab
standar, para ahli hadis disibukkan dengan memberi komentar dan
penjelasan-penjelasan syarh terhadap karya-karya yang ada.
25
27
Zina bisa dipilah menjadi dua macam pengertian, yaitu pengertian zina yang
bersifat khusus dan yang dalam pengertian yang bersifat umum.
Pengertian yang bersifat umum meliputi yang berkonsekuensi dihukum hudud dan
yang tidak. Yaitu hubungan seksual antara laki-laki dan wanita yang bukan haknya
pada kemaluannya. Dan dalam pengertian khusus adalah yang semata mata
mengandung konsekuensi hukum hudud.1
Zina Dalam Pengertian Khusus hanyalah yang berkonsekuensi pelaksanaan
hukum hudud. Yaitu zina yang melahirkan konsekuensi hukum hudud, baik rajam
atau cambuk.2 Bentuknya adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang
mukallaf yang dilakukan dengan keinginannya pada wanita yang bukan haknya di
wilayah negeri berhukum Islam. Untuk itu konsekuensi hukumya adalah cambuk 100
kali sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Quran.
1
http://fiqihislam-vicky.blogspot.com/2010/01/pengertian-zina.html diakses pada 20/05/2011 jam 12:34 WIB
2
Artinya: Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing
mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari
menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan
hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang beriman. (QS. An-Nuur:24/2)
A. Pengertian Zina Menurut Fikih Syafi’I dan Ulama’ yang lain.
As-syafi'iyyah mendefiniskan bahwa zina adalah masuknya kemaluan
laki-laki atau bagiannya ke dalam kemaluan wanita yang bukan mahram dengan
dilakukan dengan keinginannya di luar hal yang syubhat.3
Sedangkan Al-Malikiyah mendefinisikan bahwa zina itu adalah hubungan
seksual yang dilakukan oleh seorang mukallaf muslim pada kemaluan wanita
yang bukan haknya (bukan istri atau budak) tanpa syubhat atau disengaja.
Al-Hanabilah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan fahisyah
(hubungan seksual di luar nikah) yang dilakukan pada kemaluan atau
dubur.Namun untuk menjalankan hukum zina seperti ini, maka ada beberapa
syarat penting yang harus dipenuhi antara lain :1. Pelakunya adalah seorang
3
Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhamad bin Idris; Imron Rosadi, S.Ag Ringkasan kitab Al
mukallaf , yaitu aqil dan baligh.4
Perbahasan yang terkait masalah zina adalah;5
pertama: Apabila seorang anak kecil atau orang gila melakukan hubungan
seksual di luar nikah maka tidak termasuk dalam kategori zina secara syar`i yang
wajib dikenakan sangsi yang sudah baku. Begitu juga bila dilakukan oleh seorang
idiot yang para medis mengakui kekuranganya itu.
Kedua; Pasangan zinanya itu adalah seorang manusia baik laki-laki ataupun
seorang wanita. Sehingga bila seorang laki-laki berhubungan seksual dengan
binatang seperti anjing, sapi dan lain-lain tidak termasuk dalam kategori zina,
namun punya hukum tersendiri.
Ketiga: Dilakukan dengan manusia yang masih hidup. Sedangkan bila
seseorang menyetubuhi seorang mayat yang telah mati, juga tidak termasuk dalam
kategori zina yang dimaksud dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri.
Keempat: Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zina itu hanyalah bila
dilakukan dengan memasukkan kemaluan lak-laki ke dalam kemaluan wanita .
Jadi bila dimasukkan ke dalam dubur (anus), tidak termasuk kategori zina yang
dimaksud dan memiliki hukum tersendiri. Namun Imam Asy-Syafi`i dan Imam
Malik dan Imam Ahmad tetap menyatakan bahwa hal itu termasuk zina yang
dimaksud.
4
Syed Ahmad Syed Husin, Konsep Curi Mengikut Pandangan Fuqaha`, (Malaysia: al-Rahmaniah, 1988, cet 1), h. 7
5
Kelima; Perbuatan itu dilakukan bukan dalam keadaan terpaksa baik oleh
pihak laki-laki maupun wanita.
Keenam; Perbuatan itu dilakukan di negeri yang secara resmi berdiri tegak
hukum Islam secara formal , yaitu di negeri yang 'adil' atau darul-Islam.
Sedangkan bila dilakukan di negeri yang tidak berlaku hukum Islam, maka
pelakunya tidak bisa dihukum sesuai dengan ayat hudud.
B. Bukti dan Saksi untuk Menetapkan Kesalahan Pelaku Zina Menurut Menurut Fiqh Syafi’i
Perbuatan zina sebagai perbuatan haram yang terlarang, ia memerlukan
pembuktian yang kongkrit dalam proses penetapan hukum. Jumhur
Ulama’mempertahankan pembuktian yang utama itu adalah kesaksian atau
pengakuan dari pelaku zina itu yang datang dari kesadaran yang bersangkutan
bukan dengan paksaan dari pehak pengadilan. Imam Syafi’I dan Maliki,
menetapkan pengakuan cukup diucapkan satu kali dan tidak perlu dengan kedua
kali dan seterusnya.dengan satu kali pengakuan sudah dapat dipertimbangkan
untuk memastikan kasus zina tersebut.6
Untuk menentukan ada tidaknya perbuatan zina atau untuk menentukan
apakah seseorang itu telah melakuakan zina dapat dia lakukan dengan ikrar
6
sumpah atau pengakuan dapat di tetapkan bahwa apabila memenuhi persyaratan
berikut:
a. Pengakuan akan dibuat dihadapan pemerintah(imam) atau wakilnya. tidak
memadai dengan pengakuan dibuat di hadapan yang lain dari itu.
b. Orang yang berakal. Jika pengakuan ini datangnya dari orang yang tidak
siuman maka tidak diterima pengakuannya,akan tetapi terkadang gila dan
terkadang waras fikirannya. Jadi kalau dalam masa sehatnya dia benar
mengaku bahwa telah berbuat zina maka ketika itu diterima pengakuannya
dan bolehlah dijatuh kan hukuman had keatasnya.
c. Orang yang baligh. Pengakuan zina dari anak-anak yang belum baligh tidak
sah disebabkan hukuman hudud hanya diwajibkan keatas perbuatan jenayah,
sedangkan perbuatan yang dilakukan oleh kanak-kanak tidak dianggap
sebagai jinayah, maka sebab itu pengakuan dari anak-anak yang belum baligh
tidak diterima.
d. Dengan mulut dan perkataan. Menurut mazhab Hanafi pengakuan itu mestilah
dibuat dengan mulut dan perkataan tidak memadai dengan tulisan atau isyarat
sahaja. Manakala mazhab Maliki dan Syafi’I menyatakan, bahwa pengakuan
orang bisu boleh diterima baik dengan tulisan atupun isyarat yang dapat
difahami.
e. Pengakuan itu diberikan dengan cukup terang dan jelas tentang perbuatan zina
Ulama’ berselisih pendapat mengenai berapa kali pengakuan yang harus di
buat supaya dapat diterima pengakuan orang yang berzina. Imam Abu Hanifah
dan Imam Ahmad menyatakan bahwa pengakuan itu mestilah dibuat sebanyak
empat kali. Imam Malik dan Syafi’I berpendapat memadai dengan sekali
pengakuan sahaja tidak perlu memberi tahu dengan berulang kali, hal ini
berdasrkan Hadis : “Asaif yang mana Rasulullah s.a.w bersabda, yang berarti
“pergilah wahai Anis kepada perempuan itu kalau dia mengaku direjamlah
dia”. Dengan Hadis di atas jelas bahwa bahwa hukuman rajam dikaitkan
walaupun dengan sekali pengakuan.7 Imam Syafi’I berkata: demikian pendapat
yang kami pegang teguh, bahwa hukuman rajam dapat dilaksanakan terhadap
seseorang yang mengaku berzina meski pengakuan itu hanya diucapkan satu
kali, selama pezina itu telah pasti ia lakukan. Pezina yang pernah menikah
dijatuhi hukuman rajam dan tidak didera.8
Melalui perkara-perkara yang berkaitan dengan zina dapat
diperhitungkan ialah dengan kehamilan pada perempuan yang tidak bersuami
atau tidak diketahui perempuan itu bersuami. Perkara-perkara yang berkaitan
dengan hamil sebagai dalil berlakunya zina ialah perkataan dan perbuatan para
sahabat, Sayyidina Umar berkata bahwa rajam itu di wajibkan keatas tiap-tiap
orang yang berzina baik laki-laki ataupun perempuan, bukti yang
7
http://www.unitagamakmb.com/zina.htm diakses pada tanggal 20 Maret 2010 jam 12: 32 am WIB
8 Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhamad bin Idris; penerjemah, Imron Rosadi, S.Ag
menunjukkannya ialah melalui kehamilan atau pengakuan. Menurut jumhur
ulama’ bahwa mengandung itu tidak boleh dijadikan bukti sebagai perempuan
itu berzina. Bahkan boleh terjadinya daripada perempuan hamil itu berjima’
dengan karna paksaan atau sebagainya.9 Seorang mendakwa bahwa seorang
perempuan melakukan zina tanpa mendatangkan empat orang saksi laki-laki,
maka dakwaan tersebut dianggap sebagai kuzip, yaitu menuduh seseorang
berzina secara sungguh-sungguh dan wajib dikenakan hukuman hudud (disebat
sebanyak 80 kali sebatan) firman Allah SWT:
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”(QS.
An-Nuur:24/4)
Selain pengakuan, kehadiran saksi juga sangat penting untuk mengetahui
kasus perzinaan tersebut, keterangan saksi hendaklah didasarkan akan
penglihatannya sendiri, bukan dari keterangan orang lain. dengan keterangan
yang salah dapat menjatuhkan martabat seseorang,yang menyebabkan orang
9
yang tertuduh tanpa kehadiran saksi, itu dapat menghilangkan harga diri.
Sebaliknya orang yang tidak mempunyai bukti yang lengkap tentang kasus
perzinaan itu dapat dinyatakan sebagai penuduh yang memberikan pengaruh
yang buruk terhadap orang yang tertuduh beserta dengan keluarga dan
keturunannya. Itulah sebabnya syariat Islam meletakkan syarat yang ketat untuk
diterima atau ditolaknya tuduhan berzina itu, dan persyaratan itu antara lain ialah
kesaksian. Dalam hal ini orang yang menyaksikan perbuatan zina haruslah
dengan empat orang saksi,seperti yang dinyatakan ayat al-Quran surat
An-Nisa’ayat
Artinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya).
Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai
Allah memberi jalan lain kepadanya”(Q.S: an-Nisa’/4 :15)
Dalam ayat diatas dinyatakan bahwa setiap perzinaan yang dilakukan
hedaklah didatangkan empat orang saksi dan bertujuan memperkuat tuduhan
yang ditetapkan kepada pelaku tersebut. Kehadiran saksi tersebut sangat penting
tidak dapat divonis bersalalah kecuali dihadirkan empat orang saksi yang adil”.
Imam memerintahkan mereka untuk menperjelaskan persaksian hingga mereka
menetapkan telah melihat alat kelamin si laki-laki masuk kedalam kelamin si
wanita, sebagimana masuknya benang di lubang jarum. Jika mereka mengatakan
demikian, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman vonis kepada laki-laki dan
wanita yang berzina agar menjalani hukaman. Seorang pezina dapat pula di
vonis bersalah berdasrkan pengakuan dari pelaku sendiri,meski hanya satu kali.
Adapun bila si laki-laki mengaku sementara wanita mengingkari atau sebaliknya,
pada kondisi demikian hukuman dilaksanakan atas pengakuan orang yang
mengaku dan tidak dilaksanakan terhadap orang yang mengingkari.10
C. Hukuman Bagi Pelaku Zina Menurut Fiqh Syafi’i
Pezina terdorong melakukan perbuatan zina yang keji ini baik kekeliruan
(sybhah) yang bisa dimaafkan atau pun semata-mata kebodohan kehendak
nafsunya. Dan keadaan ini mungkin melibatkan orang yang muhsan (sudah
menikah) ataupun ghairu muhsan (belum menikah). Hukuman yang ditetapkan
atas diri seseorang yang berzina dapat dilaksankan dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
a. orang yang berzina itu adalah orang yang berakal waras.
b. orang yang berzina itu sudah cukup umur (baligh).
c. Zina itu dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa. Tetapi atas kemauannya
dapat di bagi-bagi dan tidak demikian halnya pada hukuman rajam.”12 Dera dalam
rangka melaksanakan hukuman tidak sampai pada menumpahkan darah.13 Budak
laki-laki dan wanita diasingkan selama setengah tahun.14 Adapun pengasingan
dalam As-Sunnah ada dua macam; salah satunya dinukil langsung dari Rasulullah
S.A.W Yang demikian itu adalah mengasingkan pezina yang belum pernah
menikah, dimana ia di cambuk 100 kali lalu diasingkan selama satu tahun. Telah
diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwasanya beliau bersabda;
Artinya:“sesungguhnya aku akan memutuskan di antara kalian
berdasarkan kitab Allah Azza wajalla”.
Kemudian beliau SAW memutuskan untuk mengasingkan dan mendera
pezina yang belum menikah. Pengasingan yang kedua dalam As-Sunnah telah
diriwayatkan dari Nabi SAW melalui jalur mursal bahwa beliau mengasingkan
dua orang banci yang ada di Madinah, salah satu dari keduanya bernama Hait dan
yang satunya bernama Maati.’15
Bagi orang yang berzina dengan kemahuannya
sendiri hukumannya adalah bergantung kepada statusnya baik muhsan atau bukan
muhsan. Bagi yang Muhsan ialah mempunyai ciri-ciri tersebut:
a. Muakallaf, yaitu baligh dan berakal. Kanak-kanak maupun yang telah
mumaiyiz,dan juga orang gila, maupun orang gila yang terkena sawan. Jika
dia berzina ketika waktu dia normal ia juga dianggap mukallaf dan
dikatagorikan sebagai muhsan.
b. Merdeka, jikalau hamba dikenanakan separuh hukuman cambuk baik muhsan
maupun bukan muhsan.
c. Pernah melakukan persetubuhan. Melalui pernikahan yang sah. Bagi yang
tidak pernah melakukan persetubuhan dengan cara yang sah tidak di katagori
kan sebagai muhsan.
Bagi pezina bukan muhsan ialah yang tidak memenuhi ciri yang di atas,
Dan hukuman bagi pezina muhsan ialah yaitu; direjam dengan batu sehingga
mati. Hukuman ini di sahkan melalui ucapan dan tindakan Rasulullah s.a.w
15 Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhamad bin Idris; penerjemah, Imron Rosadi, S.Ag Ringkasan kitab Al Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. 2, h. 783
berdasarkan hadis yang diriwayatkan daripada Imron bin Husoin r.a. katanya;
Suatu ketika seorang wanita Bani Juhainah datang menemui Nabi s.a.w. dalam
keadaan hamil kerana zina. Wanita ini berkata: “Wahai Nabi Allah saya telah
melakukan kesalahan, jatuhkanlah hukuman terhadap saya.” Lalu Rasulullah
s.a.w memanggil penjaga wanita ini dan bersabda: “layanilah dia dengan baik.
Setelah dia melahirkan anaknya bawalah dia kepada saya.” Perintah baginda ini
dilaksanakan dan kemudian Baginda memerintahkan agar pakaian wanita ini
diikatkan (supaya tidak terselak semasa direjam). Lalu Baginda memerintahkan
agar wanita ini direjam. Wanita itu pun direjam. Setelah itu Baginda
menyembahyangkannya. Umar berkata: “Wahai Nabi Allah, adakah engkau
menyembahyangkan wanita yang telah berzina ini?” Baginda bersabda: “Wanita
ini telah bertaubat. Sekiranya taubatnya dibahagikan kepada 70 orang penduduk
Madinah, nescaya mencukupi mereka. Adakah ada yang lebih baik daripada
seseorang yang mengorbankan dirinya kerana Allah?
Hukuman bagi pezina bukan muhsan ialah 100 kali cambukan dan di buang
keluar negeri selama satu tahun, hukuman ini telah di dasarkan di dalm al-Quran
melalui firman Allah Taala.
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nuur
:2/24)
Terakhir, sementara kaedah rejam bagi pezina wanita digalakkan untuk di
gali lubang, jika kesalahannya dikuatkan dengan bukti. Sekiranya kesalahannya di
kuatkan dengan pengakuan, lubang tidak perlu digali. Ini bertujuan bagi
membolehkan dia melarikan diri sekiranya dia mahu menarik balik
pengakuannya. Bagi pezina laki-laki tidak perlu ditanam, seluruh tubuhnya adalah
bagian untuk dirajam baik bagian yang boleh mematikan atau tidak, dan lebih
baik bagian harus di elakkan. Rajam hendaklah dilakukan dengan tanah keras atau
batu yan berukuran sederhana, jaraknya juga tidak terlalu jauh dan juga tidak
telalu dekat. Siapa saja yang turut hadir haruslah turut serta merajam, sekiranya
pezina tersebut dikuatkan dengan keterangan dan bukti. Jika pezina disabitkan
dengan pengakuan maka tidak harus mengikut serta untuk merajam.16
40
NEGERI SELANGOR
A. Latar Belakang Pendiriannya Sistem dan Sejarah Makamah Syari’ah Negeri Selangor
Agama Islam di negeri Selangor telah muncul seawal kurun ke 15 yang
telah datang melalui Melaka. Ini kerana pada awal itu Selangor berada di bawah
jajahan Melaka. Pada zaman pemerintahan Melaka, telah muncul jawatan hakim.
Sejarah munculnya mahkamah syariah di negeri Selangor pula telah muncul pada
kurun ke-17. Pada tahun 1884, Majlis Mesyuarat Negeri Selangor telah
mengiktiraf jawatan hakim dan imam, seterusnya mengambil keputusan untuk
melantik seorang hakim untuk menyelesaikan segala masalah hukum-hukum
agama Islam dan juga adat istiadat Melayu. Pada waktu itu juga Duli Yang Maha
Mulia (DYMM) Sultan Selangor telah melantik seorang hakim disebut sebagai
“hakim Selangor” dengan memberi gaji sebanyak RM 900 pertahun dan periode
ini hanya berlaku sehingga tahun 1982 dan kemudiannya jawatan tersebut diganti
namanya kepada “Chief Hakim”.1
Undang-undang mencengah zina tahun 1894 (Prevenatation of Adultry
Regulation 1894) adalah undang-undang yang pertama yang dikanunkan di negeri
1
Selangor pada 26 September 1894 dan undang-undang ini hanya berlaku untuk
orang Islam sahaja. Mengikut undang-undang ini seorang lelaki yang melakukan
hubungan kelamin dengan perempuan yang telah bersuami adalah bersalah dan
boleh dihukum 2 tahun penjara bagi lelaki dan 1 tahun penjara bagi wanita dan
mugkin dikenakan denda.2 Dalam masalah ini mahkamah akan bertindak ke atas
laporan yang dibuat oleh suami perempuan itu atau orang lain yang
bertanggungjawab atas perempuan itu dimana sekiranya suaminya tiada.3
Pada tahun 1900 pula, Majlis Mesyuarat Negeri telah meluluskan
undang-undang Pendaftaran Nikah Kahwin dan Cerai Orang-Orang Islam 1900
(Muhammadan Marriage and Divorce Registration Enactment 1900) yaitu
undang-undang berhubung dengan nikah kahwin dan cerai orang-orang Islam di
negeri Selangor. Undang-undang ini berlaku bagi suami atau wali hendaklah
melaporkan perkawinan kepada hakim atau wakil hakim daerah dalam waktu
tujuh hari selepas akad nikah atau wakilnya hendaklah mendaftarkan dan
mengeluarkan surat perkahwinan. Begitu juga dengan penceraian, hendaklah
dilaporkan kepada hakim dalam tempoh tujuh hari sesudah bercerai dan surat
cerai akan dikeluarkan kepada mereka yang bersangkutan. Sekiranya ini tidak
dipatuhi, tindakan boleh diambil dengan dikenakan sanksi tidak melebihi daripada
2
Muhammad Muslehuddin, (terj) Asiah Idris, Jenayah dan Doktrin Islam dalam tindakan pencegahan, (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1992) h. 37
3