KAJIAN TINGKAT KEMATANGAN PETIK TERHADAP
PERUBAHAN MUTU BUAH PEPAYA (Carica papaya L.)
IPB-1 dan IPB-2 SELAMA PENYIMPANAN
SLAMET BEJO SANTOSO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
SLAMET BEJO SANTOSO. Kajian Tingkat Kematangan Petik Terhadap
Perubahan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.) IPB-1 dan IPB-2 Selama
Penyimpanan. Dibimbing oleh LILIK PUJANTORO EKO NUGROHO dan SRIANI SUJIPRIHATI
Pepaya (Carica pepaya L.) merupakan salah satu buah yang penting karena mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, berpotensi sebagai sumber pendapatan serta pemenuhan akan ketersediaan zat gizi yang dibutuhkan manusia. Di Indonesia pepaya termasuk dalam lima besar jenis buah-buahan yang berpotensi produksi lebih dari 300 ribu ton per tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat mutu pepaya adalah tingkat kematangan buah saat dipetik. Buah yang belum matang bila dipetik akan menghasilkan mutu yang kurang baik dan proses pematangannya yang kurang sempurna. Begitu juga sebaliknya dengan penundaan waktu petik buah akan meningkatkan kepekaan pada kerusakan sehingga mutu dan nilai jual akan rendah. Kerusakan yang terjadi pada buah dapat menjadi tempat masuknya mikro organisme ke dalam buah, akan meningkatkan laju respirasi dan mengakibatkan rendahnya daya simpan.
Waktu pemanenan yang tepat masih belum cukup bila sekedar untuk mendapatkan buah yang bermutu tinggi, namun masih perlu adanya penanganan pasca panen terhadap pepaya untuk memperpanjang umur simpan yaitu penyimpanan pada suhu dingin. Penyimpanan suhu dingin pada umumnya bertujuan untuk mengendalikan laju respirasi, transpirasi, infeksi penyakit dan mempertahankan produk yang paling berguna bagi konsumen. Penyimpanan buah-buahan segar apabila dilakukan secara tepat dapat memperpanjang daya guna dan mempertahankan mutunya.
Tujuan spesifik yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk Menentukan saat pemetikan yang tepat berdasarkan tingkat semburat dan mengetahui suhu yang optimal selama penyimpanan dan Membandingkan 2 genotipe pepaya yang berbeda untuk menentukan mutu melalui uji objektif dan subyektif .
© Hak cipta milik Slamet Bejo Santoso, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
KAJIAN TINGKAT KEMATANGAN PETIK TERHADAP
PERUBAHAN MUTU BUAH PEPAYA (C
arica papaya
L.)
IPB-1 DAN IPB-2 SELAMA PENYIMPANAN
SLAMET BEJO SANTOSO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kajian Tingkat Kematangan Petik Terhadap Perubahan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.) IPB-1 dan IPB-2 Selama Penyimpanan
Nama : Slamet Bejo Santoso
NRP : F051020101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lilik Pujantoro Eko Nugroho, M.Agr Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Pasca Panen
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Bukanlah Kami telah melapangkan untukmu dadamu, dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu; yang memberatkan punggungmu;Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu; Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan; Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sunggu-sungguh (urusan) yang lain; dan hanya Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Alam Nasyroh : 1-8)
Buah Karya Ini Penulis Persembahkan Untuk : Istriku tercinta Ratna Nugrahaningsih dan Buah Hatiku Tersayang
Praditya Galant Yudhistira dan Deftrian Dwi Wicaksono Terima kasih atas Do,anya, Pengorbanannya, Dukungannya dan Kasih Sayangnya
PRAKATA
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT dan kasih sayang yang selalu dilimpahkan dimana kadang ada keprihatinan yang harus penulis lalui dan rasakan namun akhirnya atas ijinNya penulisan tesis dengan judul “ Kajian Tingkat Kematangan Petik Terhadap Perubahan Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.) IPB-1 dan IPB-2 Selama Penyimpanan “ akhirnya dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tulus kepada Bapak Dr. Ir. Lilik Pujantoro Eko Nugroho, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, dimana atas pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran yang selalu penulis dapatkan selama dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga pada Bapak Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si sebagai penguji luar Komisi yang telah banyak memberikan wawasan dan pengetahuannya dan kepada Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Departemen Pertanian atas beasiswa yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor, Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) dalam Program Riset Unggulan Strategi Nasional Pengembangan Buah-buahan Unggulan Indonesia atas bantuan pendanaan sehingga penelitian ini dapat berlangsung, serta semua pihak yang telah memberikan semangat terutama teman-teman satu angkatan di Program Studi Teknologi Pasca Panen khususnya Muflihani Yanis beserta keluarganya dan Wiyana Levi Santi Siregar yang dengan tulus dan ikhlas meluangkan waktu untuk memberikan semangat pada penulis.
Ucapan terima kasih tak terhingga juga penulis sampaikan pada Istri tercinta Ratna Nugrahaningsih dan dua putraku tersayang Praditya Galant Yudhistira dan Deftrian Dwi Wicaksono, tanpa do’a dan pengertiannya mustahil penyusunan tesis ini dapat terselesaikan.
Akhir kata penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaannya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terrutama yang memerlukannya.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cilacap – Jawa Tengah pada tanggal 22 Pebruari 1972, dari Ayah H. Wasin Hardi Prayitno dan Ibu Sudiyati (almarhumah). Penulis merupakan anak ke lima dari lima bersaudara.
Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Malang, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1998 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Badan Agribisnis, Departemen Pertanian, Jakarta. Seiring dengan perjalanan waktu nama Badan Agribisnis berubah nama hingga beberapa kali yang pada akhirnya hingga sekarang menjadi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN ……… 1
Latar Belakang ………. 1
Tujuan Penelitian ………. 2
Manfaat Penelitian ………... 2
TINJAUAN PUSTAKA ……….. 4
Botani Tanaman Pepaya ………... 4
Syarat Tumbuh ………. 4
Panen ……… 5
Perkembangan Fisiologi dan Pemasakan Buah Pepaya ………... 5
Kandungan Total Padatan Terlarut (TPT) ………. 6
Perubahan Tekstur dan Tingkat Kelunakan ………... 6
Perubahan Rasa ………. 6
Perubahan Warna Kulit dan Daging Buah ……….... 7
Kadar Air ………... 7
Perubahan Selama Proses Pematangan ……… 7
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyimpanan ... 8
Pra-Penyimpanan ……….. 8
Selama Penyimpanan ……… 8
Penyimpanan Suhu Dingin ………... 9
BAHAN DAN METODE ……… 11
Tempat dan Waktu ……….. 11
Bahan dan Alat ………. 11
Metode Penelitian ……… 11
Pengamatan dan Pengukuran ...……….. 12
Laju Respirasi ……… 12
Kekerasan ……….. 12
Warna ……… 13
Total Padatan Terlarut (TPT) ……… 13
Uji Organoleptik ……… 14
Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik ... 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 16
Respirasi ………... 16
Kadar Air Daging Buah ………... 19
Total Padatan Terlarut (TPT) ………... 22
Kekerasan Daging Buah ………... 25
Warna ………... 27
Uji Organoleptik ……….. 32
KESIMPULAN DAN SARAN ………... 35
Kesimpulan ……….. 35
Saran ………. 35
DAFTAR PUSTAKA ……….. 36
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Pengaruh perlakuan semburat dan suhu penyimpanan terhadap kadar air (%)
buah pepaya genotype IPB-1 dan IPB-2 ... 20
2. Pengaruh perlakuan semburat dan suhu penyimpanan terhadap TPT buah pepaya genotype IPB-1 dan IPB-2 ... 23
3. Pengaruh perlakuan semburat dan suhu penyimpanan terhadap kekerasan buah pepaya genotype IPB-1 dan IPB-2 ... 25
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Laju respirasi buah pepaya selama penyimpanan ………... 17
2. Perubahan kadar air buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 pada berbagai
tingkat semburat selama penyimpanan ………. 21
3. Pola perubahan kadar air buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama
pengamatan ……… 21
4. Perubahan TPT buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 pada berbagai tingkat
semburat selama penyimpanan ………. 23
5. Pola perubahan TPT buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama
pengamatan ……… 24
6. Perubahan kekerasan buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 pada berbagai
tingkat semburat selama penyimpanan ………. 26
7. Pola perubahan kadar air buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama
pengamatan ……… 27
8. Perubahan warna a (hijau) buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 pada
berbagai tingkat semburat selama penyimpanan ……….. 29
9. Pola perubahan warna a (hijau) buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama
pengamatan ……… 29
10 Perubahan warna b (kuning) buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 pada
berbagai tingkat semburat selama penyimpanan ……….. 30
11. Pola perubahan warna b (kuning) buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Deskripsi pepaya genotipe IPB-1 ... 41
2. Deskripsi pepaya genotipe IPB-1 ... 42
3. Pepaya genotype IPB-1 pada tingkat semburat 0%, 10% dan 5% ... 43
4. Pepaya genotype IPB-2 pada tingkat semburat 0%, 10% dan 25% ... 44
5. Laju produksi CO2 pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama penyimpanan suhu ruang ... 45
6. Laju produksi CO2 pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama penyimpanan suhu 15 0C ... 46
7. Laju produksi CO2 pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama penyimpanan suhu 10 0C ... 47
8. Analisis ragam pengaruh perlakuan semburat dan suhu terhadap kadar air buah pepaya Genotipe IPB-1 selama penyimpanan ………... . 48 9. Analisis ragam pengaruh perlakuan semburat dan suhu terhadap kadar air buah pepaya genotipe IPB-2 selama penyimpanan ……… 48
10. Analisis ragam pengaruh perlakuan semburat dan suhu terhadap TPT buah pepaya genotype IPB-1 selama penyimpanan ……… 49
11. Analisis ragam pengaruh perlakuan semburat dan suhu terhadap TPT buah pepaya genotipe IPB-2 selama penyimpanan ………. 49
12. Analisis ragam pengaruh perlakuan semburat dan suhu terhadap kekerasan buah pepaya genotipe IPB-1 selama penyimpanan ……… 50
13. Analisis ragam pengaruh perlakuan semburat dan suhu terhadap kekerasan buah pepaya genotipe IPB-2 selama penyimpanan ……… 50
14. Analisis ragam pengaruh perlakuan semburat dan suhu terhadap warna a (hijau) buah pepaya genotipe IPB-1 selama penyimpanan ………... 51
15. Analisis ragam pengaruh perlakuan semburat dan suhu terhadap warna a (hijau) buah pepaya genotipe IPB-2 selama penyimpanan ... 51
17. Analisis ragam pengaruh perlakuan semburat dan suhu terhadap warna b (kuning) buah pepaya genotipe IPB-2 selama penyimpanan ... 52
18. Uji non parametrik kruskal wallis untuk perlakuan semburat dan suhu terhadap kesegaran pepaya genotipe IPB-1 selama penyimpanan ………. 53
19. Uji non parametrik kruskal wallis untuk perlakuan semburat dan suhu terhadap kesegaran pepaya genotipe IPB-2 selama penyimpanan ………. 53
20. Uji non parametrik kruskal wallis untuk perlakuan semburat dan suhu terhadap kekerasan pepaya genotipe IPB-1 selama penyimpanan ………. 54
21. Uji non parametrik kruskal wallis untuk perlakuan semburat dan suhu terhadap kekerasan pepaya genotipe IPB-2 selama penyimpanan ………. 54
22. Uji non parametrik kruskal wallis untuk perlakuan semburat dan suhu terhadap rasa pepaya genotipe IPB-1 selama penyimpanan ……….. 55
23. Uji non parametrik kruskal wallis untuk perlakuan semburat dan suhu terhadap rasa pepaya genotipe IPB-2 selama penyimpanan ……….. 55
24. Uji non parametrik kruskal wallis untuk perlakuan semburat dan suhu terhadap warna pepaya genotipe IPB-1 selama penyimpanan ………... 56
25 Uji non parametrik kruskal wallis untuk perlakuan semburat dan suhu terhadap warna pepaya genotipe IPB-2 selama penyimpanan ... 56
26. Uji non parametrik kruskal wallis untuk perlakuan semburat dan suhu terhadap penerimaan pepaya genotipe IPB-1 selama penyimpanan ………….. 57
27. Uji non parametrik kruskal wallis untuk perlakuan semburat dan suhu terhadap rasa pepaya genotipe IPB-2 selama penyimpanan ……….. 57
28. Hasil uji pengaruh hari terhadap perlakuan semburat dan suhu pada berbagai jenis pengamatan selama penyimpanan pada pepaya genotype IPB-1 ……….. 58
29. Hasil uji pengaruh hari terhadap perlakuan semburat dan suhu pada berbagai jenis pengamatan selama penyimpanan pada pepaya genotype IPB-2 ……….. 58
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pepaya (Carica pepaya L.) merupakan salah satu buah yang penting terutama di
negara-negara tropis. Pepaya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, berpotensi
sebagai sumber pendapatan dan mempunyai peran penting terhadap ketersediaan zat gizi
yang dibutuhkan manusia, terutama vitamin, gula dan mineral-mineral seperti Ca, Mg, P
dan Fe (Yon, 1994).
Di Indonesia tanaman pepaya dapat tumbuh di semua daerah. Produksi pepaya
mencapai 732.611 ton dengan luas panen 9.134 ha (Ditjen Bina PPHP, 2002). Menurut
Broto et al (1991), di Indonesia pepaya termasuk dalam lima besar jenis buah-buahan
yang berpotensi produksi lebih dari 300 ribu ton per tahun. Pepaya merupakan buah yang
penting untuk pasar lokal dan merupakan bisnis yang sangat menguntungkan baik bagi
petani maupun para pedagang.
Permintaan konsumen terhadap buah dipengaruhi oleh salah satu faktor yang
penting yaitu kualitas buah. Kualitas buah ditentukan oleh beberapa komponen yaitu
penampilan, tekstur, flavour, nilai nutrisi dan keamanannya (Kader, 1985; Santoso dan
Purwoko, 1995). Buah yang disukai konsumen adalah buah yang segar, manis, daging
buah tebal, penampakan buah menarik, buah tidak terlalu besar dan warna daging
menarik.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat mutu pepaya adalah tingkat
kematangan buah saat dipetik. Buah yang belum matang bila dipetik akan menghasilkan
mutu yang kurang baik dan proses pematangannya yang kurang sempurna. Soesarsono
(1976), mengatakan bahwa buah yang dipetik terlalu muda akan mudah berkeriput pada
penyimpanan dan buah yang terlalu tua akan cepat menjadi lunak. Begitu juga sebaliknya
dengan penundaan waktu petik buah akan meningkatkan kepekaan pada kerusakan
sehingga mutu dan nilai jual akan rendah. Menurut Peleg (1985), buah pepaya termasuk
komoditi hortikultura yang mudah rusak karena kulitnya yang tipis dan daging buahnya
yang lunak. Kerusakan yang terjadi pada buah dapat menjadi tempat masuknya
mikroorganisme ke dalam buah, akan meningkatkan laju respirasi dan mengakibatkan
Waktu pemanenan yang tepat belum cukup untuk mendapatkan buah yang
bermutu tinggi, sehingga perlu adanya penanganan pasca panen terhadap pepaya untuk
memperpanjang umur simpan yaitu dengan penyimpanan pada suhu dingin. Penyimpanan
suhu dingin pada umumnya bertujuan untuk mengendalikan laju respirasi, transpirasi,
infeksi penyakit dan mempertahankan produk yang paling berguna bagi konsumen.
Penyimpanan buah-buahan segar apabila dilakukan secara tepat dapat memperpanjang
daya guna dan mempertahankan mutunya. Tepat kiranya perlu ada suatu usaha selain
meningkatkan produksi juga usaha menghasilkan buah pepaya yang bermutu tinggi yang
tersedia dipasaran yaitu pengkajian tentang tingkat kematangan petik sehingga dapat
diperoleh buah pepaya yang benar-benar dapat memuaskan konsumen.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat kematangan petik dan
suhu terhadap perubahan fisiologi buah pepaya selama penyimpanan.
Tujuan spesifik yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Menentukan saat pemetikan yang tepat berdasarkan tingkat semburat dan
mengetahui suhu yang optimal selama penyimpanan.
2. Membandingkan 2 genotipe pepaya yang berbeda untuk menentukan mutu
melalui uji objektif dan subyektif .
Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan bermanfaat bagi 3 (tiga) stakeholder usaha pertanian,
diantaranya :
1) Bagi petani
Petani akan dengan mudah menentukan saat petik yang sesuai penawaran, tetapi tidak
merugikan konsumen.
2) Bagi pedagang
Dapat diperoleh buah pepaya yang selama pemasaran tidak banyak mengalami
kerusakan atau penurunan mutu
3) Bagi konsumen
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Pepaya
Tanaman pepaya berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan ke dalam :
Devisio : Spermatophyta
Klas : Angiospermae
Sub Klas : Dicotiledoneae
Ordo : Caricales
Famili : Caricaceae
Genus : Carica
Species : Carica pepaya L.
Menurut Villegas (1997) buah pepaya termasuk buah buni, kulit luar tipis, daging
buah tebal dengan rongga besar di tengah berasal dari bakal buah yang menumpang serta
biji yang menempel pada daging. Berdasarkan bunganya, tanaman pepaya dapat
digolongkan atas tiga tipe utama, yaitu : tanaman yang berbunga jantan, berbunga betina
dan berbunga hermaprodit (sempurna). Buah pepaya mempunyai bentuk dan ukuran yang
bermacam-macam tergantung dari tipe bunga dan varietasnya. Buah pepaya yang berasal
dari bunga betina berbentuk agak bulat dan bertangkai pendek, buah yang berasal dari
buah hermaprodit berbentuk agak lonjong (bulat panjang), dan kadang-kadang ada yang
beralur, bentuk buah yang demikian akan lebih menarik dan sangat diminati oleh
konsumen sehingga harganya lebih tinggi.
Syarat Tumbuh
Pepaya akan tumbuh dengan baik pada tanah latosol dan tanah-tanah ringan yang
subur, gembur, mudah dikeringkan dan kaya akan bahan organik, dengan pH tanah
berkisar 6,0-6,5 (Villegas, 1997). Tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah
sampai ketinggian 700 meter dari permukaan laut. Suhu optimum pertumbuhan pepaya
berkisar antara 22-26oC dan suhu minimum 15oC dengan curah hujan 1500-2000 mm per
tahun (Kalie, 1996).
Panen
Mutu yang baik akan diperoleh jika pemanenan dilakukan pada tingkat
mutu yang jelek dan proses pematangan yang salah. Untuk menjaga kualitas buah yang
akan dikirim ketempat pemasaran yang letaknya jauh, pemanenan harus dilakukan pada
keadaan sudah matang tapi belum masak. Menurut Pantastico (1989), untuk menentukan
waktu panen dapat dilakukan standar dengan beberapa cara :
a. Secara visual, dengan melihat warna kulit dan ukuran buah, adanya sisa tangkai
putik, mengeringnya tepi daun tua dan mengeringnya tubuh tanaman.
b. Secara fisik, dilihat dari mudah tidaknya buah terlepas dari tangkai dan berat
jenisnya.
c. Secara analisis kimia, kandungan zat padat, zat asam, perbandingan zat padat
dengan asam dan kandungan zat pati.
d. Secara perhitungan, jumlah hari setelah bunga mekar dan hubungannya dengan
tanggal berbunga dan unit panas.
e. Secara fisiologi, dengan melihat respirasi.
Tabel 1. Skor warna kulit buah pepaya
Skor Warna Warna Kulit Buah
1 0% Kuning
2 1% Kuning
3 25% Kuning
4 50% Kuning
5 75% Kuning
6 100% Kuning
7 Kuning pekat (lewat masak)
8 Kulit buah mulai berbecak coklat
Sumber : Laboratorium PSPT, Faperta, IPB
Perkembangan Fisiologi Dan Pemasakan Buah Pepaya
Tahapan perkembangan buah meliputi pembelahan sel, pembesaran sel,
pendewasaan sel (maturation), pemasakan (ripening), penuaan (senescence) dan
kemunduran (deterioration). Menurut Kader (1992), buah dan sayuran yang telah
dipanen akan tetap hidup karena masih meneruskan reaksi-reaksi metabolisme dan masih
mempertahankan sistem fisiologi sebagaimana saat masih melekat pada pohon induknya.
Perkembangan dan pematangan buah sebagian besar selesai pada saat buah masih
menempel pada pohonnya, sedangkan proses pematangan dan senescence akan berlanjut
hingga buah telah dipetik dari pohonnya (Santoso dan Purwoko, 1995)
Saat terjadinya pemasakan proses metabolisme tetap terjadi yaitu respirasi dan
transpirasi. Proses ini menyebabkan hilangnya cadangan makanan dan kadar air buah
karena digunakan dalam reaksi metabolisme. Selama proses pemasakan terjadi
perubahan-perubahan secara fisik dan kimia yang mempengaruhi kualitas buah.
Perubahan-perubahan yang terjadi diantaranya yaitu :
Kandungan Total Padatan Terlarut (TPT)
Total Padatan Terlarut terdiri atas larutan gula dan asam organik. Selama
pemasakan kandungan TPT cenderung meningkat karena adanya metabolisme
polisakarida dalam dinding sel. Pada buah yang mengandung pati, hidrolisis pati
memberikan kontribusi pada peningkatan kandungan gula. Kadar TPT nektar pepaya
cenderung meningkat selama delapan minggu penyimpanan, meskipun meningkatnya
kurang dari 1%. Peningkatan kadar TPT tersebut sebagai akibat pemecahan karbohidrat
yang masih ada oleh aktivitas enzim yang tidak rusak selama penyimpanan (Broto et al.,
1991).
Perubahan Tekstur dan Tingkat Kelunakan
Pematangan buah ditandai dengan terjadinya tekstur buah yang semakin lunak.
Lunaknya tekstur buah disebabkan oleh perombakan protopektin yang tidak larut menjadi
pektin yang larut. Jumlah zat-zat pektin selama perkembangan buah akan meningkat,
namun selama pematangan buah, kandungan pektin dan pektinat yang larut akan
meningkat sehingga ketegaran buah akan berkurang (Mattoo et al., 1989).
Perubahan Rasa
Buah yang matang akan mengalami perubahan rasa. Perubahan rasa masam atau
sepat menjadi manis menunjukkan adanya proses pematangan buah pepaya. Rasa manis
senyawa-senyawa fenolik (Mattoo et al., 1989). Selama proses pematangan kandungan pati akan
berubah menjadi gula sehingga menimbulkan rasa manis.
Perubahan Warna Kulit dan Daging Buah.
Setelah panen dan selama pematangan atau penyimpanan zat warna buah pepaya
akan berubah. Pada saat pemasakan pigmen klorofil terdegradasi sehingga kehilangan
warna hijau dan terjadi peningkatan pigmen karoten yang menyebabkan munculnya
warna kuning pada kulit buah. Pantastico (1986), menyatakan bahwa untuk kebanyakan
buah tanda kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau. Kandungan klorofil buah
yang sedang masak lambat laun akan berkurang.
Kadar Air
Buah mengalami proses metabolisme seperti respirasi dan transpirasi yang dapat
mengakibatkan berkurangnya kadar air yang terkandung dalam buah. Kehilangan air
dalam penyimpanan menyebabkan penurunan mutu. Pencegahan kehilangan air dapat
dilakukan dengan mengatur suhu dan kelembaban secara cepat (Pantastico, 1986).
Perubahan Selama Proses Pematangan
Menurut Winarno dan Aman (1981) tahap-tahap pertumbuhan atau proses
kehidupan buah dan sayuran meliputi pembelahan sel, pembesaran sel, pendewasaan sel
(maturation), pematangan (ripening), kelayuan (senescence) dan pembusukan
(deterioration).
Maturation merupakan tingkat perkembangan yang menuju pencapaian
kematangan fisiologi dan merupakan tingkat akhir dari perkembangan buah sebelum
dimulainya periode pematangan buah. Matang fisiologi adalah tingkat dimana sel-sel
buah tumbuh dan berkembang sempurna sehingga bila buah tersebut dipanen minimal
kualitas akan diperoleh konsumen.
Pematangan buah atau ripening adalah periode buah membentuk rasa, tekstur dan
aroma. Pada periode ini terjadi perubahan warna dari hijau menjadi kuning atau merah,
buah akan terasa lebih manis akibat perubahan pati menjadi gula, tekstur buah akan
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyimpanan.
Pra-Penyimpanan
Dalam rangka memperpanjang masa simpan suatu komoditi, terdapat berbagai
cara dan perlakuan-perlakuan tertentu. Namun perlu diketahui bahwa faktor-faktor
pra-panen seperti kondisi iklim, waktu pra-panen, varietas, cara bercocok tanam, pemanenan dan
penanganan hasil turut menentukan keberhasilan selama penyimpanan (Pantastico, 1986).
Buah yang jatuh dari ketinggian hanya beberapa inchi saja dapat mengakibatkan
meningkatnya produksi CO2 yang mungkin tidak dapat diimbangi dengan suhu dingin
pada penyimpanan. Kememaran, tusukan, lecet-lecet dan luka-luka mekanik lainnya
dapat diperkirakan akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.
Buah pepaya yang dipanen sebelum waktunya akan memiliki kematangan yang
tidak memuaskan meskipun mungkin dapat disimpan lebih lama. Tingkat perkembangan
ini mempunyai pengaruh terhadap laju respirasi dan lamanya umur simpan. Perbedaan
varietas memperlihatkan adanya variasi umur simpan yang nyata (Pantastico, 1986)
Selama Penyimpanan
Tujuan utama penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi
penyakit dan mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen
(Pantastico, 1986). Sejalan dengan ini Syaifullah (1973) mengemukakan bahwa tujuan
penyimpanan hasil-hasil hortikultura adalah untuk memperpanjang umur kesegarannya,
menjamin persediaan bahan mentah di pabrik-pabrik pengolahan serta dapat memasarkan
hasil-hasil tersebut ketempat-tempat yang jauh letaknya. Adanya aktivitas fisiologi dari
buah atau sayuran akan memudahkan serangan oleh mikroba penyebab kerusakan. Hal
inilah yang membuat banyak masalah pada penyimpanan buah dan sayuran dibandingkan
dnegan bahan makanan lainnya (Winarno, 1986).
Kegiatan pernafasan (respirasi), transpirasi, kegiatan enzim, suhu, kelembaban,
komposisi gas yang berhubungan dengan pernafasan merupakan sebagai faktor yang
berpengaruh dalam penyimpanan.
Pepaya termasuk buah dengan pola respirasi klimakterik, dimana buah akan
mendekati masa penuaan secara mendadak terjadi kenaikan produksi CO2 dan kemudian
produksinya menurun kembali (Pantastico, 1989).
Laju aktivitas metabolisme akan semakin cepat dengan meningkatnya laju
respirasi sehingga respirasi sering digunakan sebagai petunjuk mengenai potensi daya
simpan buah setelah dipanen. Laju respirasi yang tinggi biasanya disertai dengan umur
simpan yang pendek. Menurut Winarno dan Aman (1989), klimakterik merupakan
petunjuk berakhirnya secara alami suatu masa sintesa dan permulaan terjadinya penuaan
yang sesungguhnya pada buah.
Adanya enzim memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi biokimia dengan lebih
cepat dan dapat mengakibatkan bermacam-macam perubahan pada komposisi bahan.
Buah-buahan selama penyimpanan melakukan kegiatan pernafasan untuk menghasilkan
energi demi kelangsungan hidupnya. Energi yang dihasilkan mengakibatkan
meningkatnya suhu dilingkungan produk sehingga mempercepat metabolisme buah dan
akan menurunkan daya simpannya (Winarno, 1986). Selama periode pra klimakterik laju
respirasi meningkat dengan cepat sampai maksimum, pasca klimakterik laju respirasi
mulai menurun kembali. Disaat itu, proses biosintesa praktis terhenti dan
proses-proses dekomposisi menjadi sangat efektif yang membuat buah menjadi rusak (Metlitskii
et al., 1972). Disamping itu kenaikan suhu disekitar lingkungan penyimpanan akan
mempercepat laju transpirasi dan respirasi (Will et al., 1981).
Kandungan O2 dan CO2 berpengaruh pada proses pernafasan buah. Pada
umumnya kandungan CO2 yang semakin tinggi akan memperlambat proses pernafasan
dan pematangan buah, sehingga dapat memperpanjang daya simpan (Smock, 1986).
Namun kandungan CO2 yang terlalu tinggi dapat merusak jaringan serta dapat
menimbulkan rasa dan bau yang tidak dikehendaki, tergantung pada sifat-sifat fisiologi
buah.
Penyimpanan Suhu Dingin
Suhu penyimpanan merupakan dasar dari penyebab kebusukan. Untuk
mempertahankan mutu, tidak akan berhasil dengan baik tanpa disertai pendinginan
kisaran suhu 10-38oC, akan mempercepat reaksi enzimatik maupun non enzimatik dan
proses terjadinya pembusukan sebanyak dua kali lebih cepat.
Pendinginan atau penggunaan suhu rendah pada buah juga sudah banyak
digunakan dan banyak diketahui manfaatnya. Perlakuan suhu dingin merupakan cara
yang paling umum dan ekonomis untuk memeprpanjang masa simpan produk
hortikultura (Pantastico, 1986). Pendinginan merupakan salah satu alternatif untuk
menekan kerusakan buah tanpa menyebabkan pematangan abnormal atau perubahan
mutu yang berarti sehingga mampu mempertahankan buah segar dalam kondisi baik.
Pendinginan juga berpotensi menjaga penampilan buah dan mencegah pertumbuhan
pathogen yang menyebabkan kerusakan buah, kebusukan dan menghambat penurunan
kualitas selama terjadi perubahan fisik dan kimia buah (Stewart, Maynard dan Amerine,
1973). Penyimpanan dingin adalah penyimpanan di bawah suhu 15oC dan di atas titik
beku bahan. Pendinginan akan mengurangi kelayuan karena kehilangan air, menurunnya
laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba pada bahan yang disimpan (Watkins,
1971).
Penyimpanan dingin pada buah-buahan dan sayuran segar dapat memperpanjang
daya gunanya. Dalam keadaan tertentu bisa memperbaiki mutu, dan dapat mengurangu
supply produk yang berlebihan di pasar, sehingga memberi kesempatan yang luas pada
konsumen untuk memilih buah-buahan dan sayuran sepanjang tahun. Disamping itu akan
membantu pemasaran yang teratur, meningkatkan keuntungan produsen dan
mempertahankan mutu produk yang segar (Pantastico, 1986).
Pada suhu rendah aktivitas metabolisme pasca panen menjadi berkurang dan
perubahan kimia berlangsung lambat (Borgstorm, 1968). Penyimpanan pada suhu dingin
pada prinsipnya bertujuan untuk menekan kecepatan respirasi dan transpirasi sehingga
proses ini berjalan lambat dan sebagai akibatnya katahanan simpannya cukup panjang
dengan susut bobot minimal, mutu masih baik dan pasaran tetap tinggi (Soedibyo, 1979).
Agar keawetan buah yang disimpan pada suhu dingin maksimum, maka perlu diusahakan
agar respirasi aerobik berlangsung pada laju yang rendah, sehingga proses-proses yang
berhubungan dengan pemeliharaan kehidupan sel dapat terus berlangsung. Demikian juga
suhu rendah yang cocok diusahakan tetap terjaga sehingga reaksi-reaksi penyebab
BAHAN DAN METODE
Tempat Dan Waktu
Percobaan ini dilakukan di laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil
Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB, dan di Laboratorium Pusat Studi
Pemuliaan Tanaman (PSPT), Fakultas Pertanian, Faperta IPB. Waktu percobaan
dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Agustus 2004.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 (Lampiran
1 dan 2) dengan tingkat semburat (warna kuning pada permukaan kulit buah) 0, 10 dan
25%. Buah diperoleh dari tanaman pepaya antara umur 1-3 tahun di kebun percobaan
Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) di daerah Tajur dan Cinagara. Adapun alat
yang digunakan adalah lemari pendingin, Cosmotector O2, CO2 dan N2,
Hand-Refractometer, Chromameter, toples, timbangan serta bahan dan alat lain yang
mendukung dalam penelitian ini.
Metode Penelitian
Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dua faktor dengan pengamatan berulang. Faktor perlakuan yang pertama adalah tingkat
kematangan petik dengan ditandai adanya semburat warna kuning pada permukaan kulit
buah yang terdiri dari tiga taraf perlakuan yaitu : S1 : 0%, S2 : 10% dan S3 : 25%
(Lampiran 1), sedangkan faktor perlakuan yang kedua adalah suhu penyimpanan yaitu :
T1 : 10oC, T2 : 15oC dan T3 : Suhu Ruang. Adapun Jumlah satuan percobaan adalah
18 ulangan 2
3
3× × = . Masing-masing kombinasi perlakuan dicobakan kepada dua
genotipe pepaya yang berbeda yaitu genotipe IPB-1 dan genotipe IPB-2. Model linearnya
dapat dituliskan sebagai berikut :
Keterangan :
ijkl
Y = Nilai respon pada pepaya yang memiliki semburat ke-i, disimpan pada suhu
ke-j dan diukur pada hari pengamatan ke-k ulangan ke-l
ω = Pengaruh aditif dari waktu pengamatan ke-k
ik
αω = Pengaruh interaksi antara semburat ke- i dengan waktu pengamatan ke-k
jk
Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Pengujian dilakukan pada
pengaruh utama yaitu semburat dan suhu. Jika terdapat interaksi pada pengaruh utama
maka dilakukan uji lanjut Duncan, sedangkan apabila tidak terjadi interaksi pada
pengaruh utama maka akan tetap dilakukan uji lanjut Duncan namun uji dilakukan
terhadap pengaruh hari pengamatan, kemudian dimodelkan dengan pendekatan analisis
regresi berganda untuk mendapatkan trend pengaruh hari pengamatan.
Pelaksanaan
a. Persiapan Bahan
Buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 dipanen pada kondisi kematangan yang
berbeda yaitu pada kelompok semburat 0, 10 dan 25%. Buah dicuci bersih dengan
kemudian dikeringanginkan. Untuk mencegah kerusakan buah oleh penyakit,
semua buah dicelupkan kedalam larutan Benlate 500 ppm selama 1 menit.
b. Perlakuan
Buah pepaya yang telah dipanen sesuai dengan kelompok semburat selanjutnya
disimpan pada lemari penyimpanan dengan suhu 10oC, 15oC dan suhu ruang,
kemudian dilakukan pengamatan dengan interval 4 hari sekali, sedangkan yang
disimpan pada suhu ruang, pegamatan dilakukan setiap hari sekali.
Pengamatan dan Pengukuran
Parameter yang diamati adalah laju respirasi dan beberapa parameter mutu seperti
kekerasan, warna, kadar air, TPT dan uji organoleptik terhadap kesegaran, kekerasan,
rasa, warna dan penerimaan.
1. Laju Respirasi
Laju respirasi diukur berdasarkan gas CO2 yang dihasilkan buah pepaya dengan
menggunakan alat gas analyzer Shimadzu yang dinyatakan dalam ml CO2/kg bahan.jam.
Laju respirasi dihitung dengan menggunakan rumus yang dikutip dari Mannaperuma dan
Singh (1987) sebagai berikut:
dt
Kekerasan buah pepaya diukur dengan menggunakan Rheometer yang diset
penurunan beban 60mm/m dan diameter prob 4 mm. Pengukuran dilakukan di tiga
tempat pada bagian buah yaitu bagian pangkal, tengah dan ujung yang dilakukan
sebanyak dua kali ulangan pada setiap pengamatan.
3. Warna (Pomeranz et al., 1978)
Perubahan warna diukur dengan menggunakan chromameter Minolta CR-310
yaitu alat analisa tritimulus (dalam 3 dimensi). Setiap sampel diukur bagian ujung, tengah
dan pangkal kemudian dirata-ratakan. Data hasil pengukuran dapat dilihat langsung pada
alat yang menunjukkan nilai a dan b . Nilai a merupakan derajat warna hijau dan nilai b
merupakan derajat warna kuning.
4. Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1990)
Cawan petri yang akan digunakan dikeringkan dengan oven pada suhu 105 0C
selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A) g, kemudian
ditimbang sebanyak 5 (B) g sample yang telah dihomogenkan. Selanjutnya dimasukkan
dalam oven pada suhu 100-105 0C sampai beratnya konstan lalu didinginkan dalam
desikator dan ditimbang (C) g. Kadar air dihitung dengan rumus :
%
B : berat cawan + bahan sebelum dikeringkan (g)
C : berat cawan + bahan setelah dikeringkan (g)
5. Total Padatan Terlarut (TPT), Metode Refraktometer (AOAC, 1990)
Total Padatan Terlarut diukur dengan menggunakan Hand Refraktometer skala
ukuran 0 – 32 oBrix. Contoh yang akan dianalisa diperas dan cairan yang diperoleh
diteteskan pada prisma pengukur refraktometer. Kandungan TPT dapat dibaca pada skala
6. Uji Organoleptik, Metode Uji Hedonik (Soekarto, 1985)
Uji organoleptik yang dilakukan berupa uji kesukaan atau uji hedonik. Sifat mutu
yang diuji adalah : rasa, kesegaran, warna, kekerasan dan penerimaan. Skala hedonik
yang digunakan mempunyai rentang skor berkisar dari 1 hingga 7 yaitu : 7 (amat sangat
suka), 6 (sangat suka), 5 (suka), 4 (agak suka), 3 (agak tidak suka), 2 (tidak suka), dan 1
(sangat tidak suka).
Alat analisis yang digunakan untuk uji organoleptik ini adalah uji non parametrik,
dalam hal ini adalah uji Kruskal-Wallis. Statistik yang digunakan adalah nilai Z (skor
HASIL DAN PEMBAHASAN
Laju Respirasi
Respirasi adalah merupakan proses pembongkaran, dimana energi yang tersimpan
kembali digunakan untuk menyelenggarakan proses-proses kehidupan. Laju respirasi
pepaya selama penyimpanan diukur berdasarkan produksi CO2. Perubahan laju respirasi
setiap genotipe pepaya selama penyimpanan bervariasi setiap tingkat penyimpanan suhu.
Secara umum selama penyimpanan, laju respirasi pepaya genotipe IPB-1 menunjukkan
nilai laju respirasi lebih tinggi dibanding pepaya genotipe IPB-2. Laju respirasi buah
pepaya yang didasarkan pada laju produksi CO2 tampak bervariasi akibat perlakuan yang
berbeda yaitu suhu penyimpanan dan genotipe pepaya yang berbeda (Gambar 1 dan
Lampiran 5,6 dan 7).
LAJU RESPIRASI PEPAYA GENOTIPE IPB-1 DAN IPB-2 PADA BERBAGAI PERLAKUAN SUHU PENYIMPANAN
0
Perlakuan G1TR Perlakuan G2TR Perlakuan GIT10
Perlakuan G2T10 Perlakuan GIT15 Perlakuan G2T15
Keterangan : G: Genotipe T: Suhu R: Ruang
Laju respirasi berdasarkan produksi CO2 pada pepaya genotipe IPB-1 yang
disimpan pada suhu ruang adalah sebesar 18.61 ml CO2/kg-jam, sedangakan pada pepaya
genotipe IPB-2 adalah sebesar 15.50 ml CO2/kg-jam (Lampiran 5). Pada penyimpanan
suhu 15 0C untuk pepaya genotipe IPB-1 adalah sebesar 12.45 ml CO2/kg-jam,
sedangkan pada genotipe IPB-2 sebesar 10.67 ml CO2/kg-jam (Lampiran 6). Lain halnya
pada pepaya yang disimpan pada suhu 10 0C produksi CO2 sangat kecil, dimana pada
pepaya IPB-1 adalah sebesar 7,58 ml CO2/kg-jam, sedangkan pada pepaya IPB-2 adalah
sebesar 3,82 ml CO2/kg-jam (Lampiran 7). Pada penyimpanan suhu 10 0C ternyata
memberikan nilai laju respirasi terendah dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu
15 0C dan suhu ruang. Muchtadi dan Sugiyono (1989), menyatakan bahwa suhu yang
rendah menghambat proses respirasi, aktivitas mikroorganisme dan enzim. Semakin
tinggi suhu maka respirasi semakin cepat hingga mencapai suhu optimum dan kecepatan
respirasi menurun kembali bila batas optimum telah dilewati. Kader (1985)
mengemukakan bahwa suhu penyimpanan mempengaruhi laju respirasi. Penurunan suhu
dapat menurunkan laju respirasi. Penyimpanan suhu rendah dapat menekan laju respirasi
dan transpirasi sehingga proses ini berjalan lambat.
Penyimpanan pepaya genotype IPB-1 pada suhu ruang dan suhu 150C cenderung
memberikan nilai laju respirasi lebih tinggi dan waktunya (jam) lebih singkat
dibandingkan perlakuan suhu 100C. Peningkatan laju respirasi juga diduga adanya
degradasi bahan organik oleh mikroba yang tumbuh pada kulit buah dimana patogen ada
kemungkinan besar terbawa pada waktu panen dan kondisi bahan sudah mulai melunak.
Pada saat buah masih berada dipohon, patogen berada dalam kondisi laten dan akan
bertahan dalam kondisi dorman. Patogen akan berkembang setelah buah menjadi matang
atau mencapai fase klimakterik (Broto et al. 1993). Infeksi buah pepaya yang disebabkan
oleh cendawan Colletotrichum gleosporioides terjadi 3-4 hari setelah inokulasi, sedang
gejala penyakit akan muncul setelah inokulasi (Sankat & Maharaj 1997)
Faktor yang mempengaruhi laju respirasi antara lain : kondisi protoplasma, suhu,
substrat untuk respirasi, konsentrasi O2 dan CO2, luka, sinar, efek mekanis serta
komponen kimia tertentu (Meyer dan Anderson 1960). Selanjutnya Pantastico (1989)
mangatakan bahwa factor internak dan eksternal akan mempengaruhu laju respirasi.
ukuran produk, pelapis alami dan jenis jaringan. Sedang faktor eksternal mencakup suhu,
kerbondioksida, oksigen, zat pengatur tumbuh dan kerusakan buah.
Berdasarkan pola respirasinya pepaya termasuk buah klimakterik. Pada tipe buah
ini terjadi peningkatan laju respirasi dan produksi etilen secara cepat terjadi bersamaan
dengan pemasakan (Pantastico 1989). Produksi etilen erat hubungannya dengan aktifitas
respirasi, yaitu benyaknya penggunaan oksigen pada prosesnya, karena itu apabila
produksi etilen banyak maka biasanya aktifitas respirasi itu meningkat dengan ditandai
oleh meningkatnya penyerapan oksigen. Dengan adanya etilen, proses respirasi akan
berlangsung segera dan ikut dalam proses reaksi pemasakan. Hal ini dikarenakan etilen
bersifat autokatalitik, yang mempercepat proses respirasi dan sekaligus pembentukan
etilen. Namun perbandingan respirasi dengan produksi etilen tidak tetap, yaitu semakin
matang buah produksi etilen akan semakin menurun (Pantastico 1989). Winarno dan
Aman (1981) menyatakan bahwa peningkatan laju respirasi dan produksi etilen pada
masa klimakterik menunjukkan permulaan pemasakan. Selama proses respirasi beberapa
perubahan fisik, kimia dan biologi terjadi misalnya proses pematangan, pembentukan
aroma dan kemanisan, berkurangnya keasaman, melunaknya buah-buahan akibat
degradasi pektin pada kulit buah, serta berkurangnya bobot karena kehilangan air. Bila
proses respirasi berlanjut terus, maka buah-buahan akan mengalami pelayuan dan
akhirnya akan terjadi pembusukan yang ditandai hilangnya nilai gizi dan faktor mutu
buah-buahan tersebut.
Hasil laju respirasi selama penyimpanan terjadi perubahan pola respirasi yang
mendadak hingga batas optimum tertentu dan pola respirasinya kembali menurun
(Gambar 1). Pantastico (1989) menyatakan bahwa adanya kenaikan mendadak dari
prododuksi CO2 dan setelah itu menurun menunjukkan bahwa telah terjadi respirasi
klimakterik. Wills et al. (1989) menerangkan bahwa penurunan produksi CO2 selama
penyimpanan terjadi karena menurunnya konsentrasi adenosin difosfat (ADP) yang
bertindak sebagai aseptor fosfat dan rusaknya mitokondria sehingga konsentrasi adenosin
trifosfat (ATP) sebagai suplai energi dalam reaksi metabolik juga menurun. Disamping
itu juga karena berkurangnya jumlah glukosa yang berperan sebagai substrat utama
berkurangnya jumlah ATP yang berperan sebagai sumber energi untuk melangsungkan
reaksi metabolik (respirasi).
Puncak klimakterik terjadi bervariasi tergantung pada tiap perlakuan dan
dipengaruhi oleh produksi CO2 buah pepaya selama penyimpanan. Pada perlakuan suhu
ruang untuk pepaya genotipe IPB-1 terjadi peningkatan laju respirasi pada saat pra
klimakterik hingga mencapai puncak klimakterik selama penyimpanan pada suhu ruang
melonjak dari 18.39-30.60 ml CO2/kg-jam ini terjadi pada jam ke 60-72, kemudian
respirasi cenderung menurun sampai akhir penyimpanan, sedangkan pada pepaya
genotipe IPB-2 sama yaitu terjadi pada jam ke 60-72 namun produksi CO2 lebih kecil
yaitu 17.59-25.25 ml CO2/kg-jam. Pada perlakuan suhu 150C puncak klimakterik terjadi
pada jam ke 156-168 yaitu sebesar 14.82-19.58 ml CO2/kg-jam dan pada pepaya
genotipe IPB-2 produksi CO2 terjadi pada jam ke 168-180 yaitu sebesar 11.36-16.90 ml
CO2/kg-jam. Pada suhu penyimpanan yang lebih rendah yaitu pada suhu 10 0C terlihat
sama sekali tidak terjadi lonjakan, diduga pada perlakuan suhu ini mampu menekan laju
respirasi dengan baik. Ini membenarkan sekaligus membuktikan bahwa apa yang
dikatakan oleh Muchtadi dan Sugiyono (1989) bahwa suhu yang rendah menghambat
proses respirasi, oleh karena itu sering dianggap sebagai potensi daya simpan buah
setelah panen. Laju respirasi yang rendah biasanya disertai umur simpan yang panjang.
Gambar 1 memperlihatkan laju respirasi pada suhu ruang terlihat lebih tinggi sehingga
puncak klimakteriknya lebih nampak bila dibanding dengan perlakuan suhu 15 dan 10
0C.
Kadar Air Daging Buah
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara
pengaruh perlakuan semburat dan suhu terhadap kadar air pepaya genotipe IPB-1 dan
IPB-2 (Lampiran 8 dan 9).
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air pepaya genotipe IPB-1 terhadap
tingkat semburat 0% yang disimpan pada suhu 10°C yaitu sebesar 89.00 beda nyata
dengan semburat 10 dan 25%. Penyimpanan pepaya dengan semburat 0% pada suhu
terhadap semburat 0% yang disimpan pada suhu 10°C beda nyata dengan semburat 10
dan 25% dan beda nyata pula dengan perlakuan suhu lainnya. Pepaya disimpan pada suhu
10°C dengan semburat 25% beda nyata dengan suhu ruang dan 15°C.
Tabel 2 Pengaruh perlakuan semburat dan suhu penyimpanan terhadap kadar air (%) buah pepaya genotype IPB-1 (a) dan IPB-2 (b)
(a) (b)
Semburat Suhu Penyimpanan Semburat Suhu Penyimpanan
(%) Ruang 15°C 10°C (%) Ruang 15°C 10°C
0 88.69bc 89.46a 89.00ab 0 90.59bcd 90.75bc 91.86a
10 88.83b 88.69bc 88.23cd 10 90.73bc 90.36de 90.50cd
25 88.49bcd 88.08d 88.08d 25 90.06e 90.07e 90.91b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Gambar 2 menunjukkan bahwa selama penyimpanan, kadar air daging buah pada
semua perlakuan mengalami perubahan yang tidak tetap, namun secara umum kadar air
daging buah cenderung meningkat. Adanya peningkatan kadar air disebabkan adanya
proses penuaan dan diduga terjadi karena selama penyimpanan tingkat kandungan air dari
hasil proses respirasi lebih besar dari laju kehilangan air. Tingginya laju respirasi akan
menyebabkan semakin banyaknya air yang dihasilkan dari proses respirasi tersebut.
87
Suhu Ruang Suhu 15°C Suhu 10°C
87
Suhu Ruang Suhu 15°C Suhu 10°C
Winarno et al. (1980) menyatakan bahwa kandungan air merupakan hal yang
sering diperhatikan dalam penyimpanan terutama pada penyimpanan buah segar, karena
kadar air akan berpengaruh pada konsistensi bahan pangan dan berpengaruh terhadap
keawetan bahan tersebut, serta RH di dalam ruang penyimpanan secara langsung
mempengaruhi mutu bahan (Muchtadi, 1992).
Pengaruh lamanya penyimpanan terhadap kadar air menunjukkan pola berbentuk
kuadratik (Gambar 3). Pada pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 kadar air terendah dicapai
pada awal penyimpaan yaitu rata-rata sebesar 87.95 dan 89.52, sementara itu pada hari ke
12 adalah merupakan kadar air tertinggi selama penyimpanan yaitu rata-rata sebesar
90.07 dan 91.44 (Lampiran 28 dan 29)
Gambar 3. Pola perubahan kadar air buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama pengamatan
Dari data analisis dapat dibandingkan bahwa secara umum kadar air pepaya
genotipe IPB-2 lebih tinggi dibanding pepaya genotipe IPB-1, namun kadar air tertinggi
berdasarkan hari pengamatan dicapai pada hari yang sama yaitu pada hari ke 12 setelah
penyimpanan, kemudian akan menurun.
Total Padatan Terlarut (TPT)
Pengukuran TPT dilakukan dengan menggunakan Refraktometer. Nilai hasil
adalah gula, sehingga TPT bisa dijadikan parameter perubahan yang terjadi pada
kandungan gula buah pepaya. Gula yang banyak terdapat pada buah pepaya adalah
sukrosa, glukosa dan fruktosa (Villegas 1997; Seymour et al. 1993).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara pengaruh
perlakuan semburat dan suhu terhadap TPT pepaya genotipe IPB-1dan IPB-2 seperti
ditunjukkan pada Lampiran 10 dan 11.
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa TPT pada pepaya genotipe IPB-1 dengan
tingkat semburat 25% yang disimpan pada suhu 10°C beda nyata dengan semburat 0%
dan 10%. Nilai TPT pepaya genotipe IPB-2 pada semburat 0% yang disimpan pada suhu
ruang beda nyata dengan semburat 10 dan 25%. Semburat 0% yang disimpan pada suhu
15°C dan 10°C beda nyata dengan semburat 10 dan 25%.
Tabel 3 Pengaruh perlakuan semburat dan suhu penyimpanan terhadap TPT buah pepaya genotype IPB-1 (a) dan IPB-2 (b)
(a) (b)
Semburat Suhu Penyimpanan Semburat Suhu Penyimpanan
(%)
Ruang 15°C 10°C (%) Ruang 15°C 10°C
0 10.92cd 11.21bcd 10.19d 0 8.42d 9.03c 8.12d
10 11.80bc 12.29ab 11.19bcd 10 9.77a 9.63a 9.53ab
25 12.02abc 12.31ab 13.06a 25 9.18bc 9.84a 9.72a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Tinggi rendahnya TPT juga dipengaruhi oleh tingkat semburat. Semakin tinggi
tingkat semburat maka akan semakin tinggi pula nilai TPT nya (Gambar 4). Hal ini
dimungkinkan bahwa pada prosentase semburat yang tinggi telah terjadinya pemecahan
oksidatif dari bahan-bahan yang komplek seperti karbohidrat, protein dan lemak dalam
6
Suhu Ruang Suhu 15°C Suhu 10°C
6
Suhu Ruang Suhu 15°C Suhu 10°C
Gambar 4 Perubahan TPT buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 pada berbagai tingkat semburat selama penyimpanan
Selama penyimpanan kandungan TPT mengalami perubahan yang tidak menentu.
Pada awal penyimpanan TPT cenderung meningkat dan kemudian mengalami penurunan
sampai akhir penyimpanan. Pola perubahan yang demikian hampir mendekati pola laju
respirasi buah. Indikasi adanya peningkatan TPT dengan kandungan utama gula
sederhana pada waktu tertentu selama penyimpanan disebabkan oleh laju respirasi yang
meningkat, sehingga terjadi pemecahan oksidatif dari bahan-bahan yang komplek seperti
karbohidrat, protein dan lemak. Hal ini menyebabkan kandungan pati pada buah
menurun dan sukrosa yang terbentuk akan terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa
selama penyimpanan. Sedangkan adanya penurunan nilai TPT selama penyimpanan
disebabkan karena kadar gula-gula sederhana yang telah ada akan mengalami perubahan
menjadi alkohol, aldehida dan asam (Winarno dan Aman, 1981).
y = -0.0138x2 + 0.3009x + 10.721
Gambar 5 menunjukkan pengaruh lamanya penyimpanan berbentuk kuadratik.
Pada pepeya genotipe IPB-1 TPT terendah dicapai pada penyimpaan hari ke 4 yaitu
rata-rata sebesar 10.99, kemudian pada hari ke 8 adalah merupakan TPT tertinggi selama
penyimpanan yaitu rata-rata sebesar 12.66, sedangkan pada pepaya genotipe IPB-2 TPT
terendah dicapai pada pengamatan hari ke 4 yaitu rata-rata sebesar 8,71, kemudian pada
hari ke 16 adalah merupakan TPT tertinggi selama penyimpanan yaitu rata-rata sebesar
9.99.
Dari data analisis dapat dibandingkan bahwa secara umum TPT pada pepaya
genotipe IPB-1 lebih tinggi yaitu sebesar 12.66 bila dibanding pepaya genotipe IPB-2
sebesar 9.99. Kondisi ini menunjukkan bahwa kandungan pati yang ada dalam pepaya
genotipe IPB-1 kandungannya lebih banyak kemudian akan terhidrolisa menjadi glukosa
sehingga kadar gula dalam buah akan meningkat. Muchtadi dan Sugiyono (1992)
menyatakan bahwa bila pati terhidrolisa maka akan terbentuk glukosa sehingga kadar
gula dalam buah akan meningkat. Pencapaian nilai TPT tertinggi untuk genotipe IPB-1
adalah pada harike 8 setelah penyimpanan, kondisi ini sedikit lebih cepat dibandingkan
pepaya genotipe IPB-2 yaitu pada hari ke 16 setelah penyimpanan (Lampiran 28 dan 29).
Kekerasan Daging Buah
Hasil analisis ragam (Lampiran 12 dan 13) menunjukkan bahwa terdapat interaksi
antara pengaruh perlakuan semburat dan suhu terhadap kekerasan pepaya genotipe IPB-1
dan IPB-2.
Tabel 4 Pengaruh perlakuan semburat dan suhu penyimpanan terhadap kekerasan buah pepaya genotype IPB-1 (a) dan IPB-2 (b)
(a) (b)
Semburat Suhu Penyimpanan Semburat Suhu Penyimpanan
(%) Ruang 15°C 10°C (%) Ruang 15°C 10°C
0 2.10e 2.43d 4.13a 0 1.64f 2.44d 4.21a
10 1.80f 2.20e 3.42b 10 1.63f 2.21de 3.57b
25 1.63g 1.82f 2.79c 25 1.55f 2.06e 3.26c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda
Pada tabel 4 menunjukkan bahwa kekerasan buah pada pepaya genotipe IPB-1
dengan semburat 0% yang disimpan pada suhu ruang dan suhu penyimpanan lainnya
beda nyata dengan semburat 10% dan 25%.
Pada pepaya genotipe IPB-2 dengan semburat 0% yang disimpan pada suhu 10°C
beda nyata dengan semburat 10 dan 25%. Pepaya yang disimpan pada suhu ruang dengan
tingkat semburat 25% beda nyata dengan suhu 15°C dan 10°C.
Pengaruh lamanya penyimpanan terhadap kekerasan pada pepaya genotipe IPB-1
dan IPB-2 dapat dilihat pada gambar 6. Kekerasan tertinggi umumnya dicapai pada awal
penyimpaan. Dari data analisis dapat dibandingkan bahwa nilai kekerasan pepaya
genotipe IPB-1 lebih tinggi bila dibanding pepaya genotipe IPB-2. Nilai kekerasan
pepaya genotipe IPB-1 pada awal penyimpanan sebesar 4,59 dan 1,67 pada akhir
penyimpanan. Sedangkan untuk IPB-2 kekerasan tertinggi pada awal penyimpanan
adalah sebesar 3,82 dan pada akhir penyimpanan sebesar 1,82 (Lampiran 28 dan 29).
0.0
Suhu Ruang Suhu 15°C Suhu 10°C
0.0
Suhu Ruang Suhu 15°C Suhu 10°C
Gambar 6 Perubahan kekerasan buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 pada berbagai tingkat semburat selama penyimpanan
Selama penyimpanan nilai kekerasan daging buah mengalami penurunan
(Gambar 7). Penurunan kekerasan ini menunjukkan bahwa buah semakin lunak.
Menurunnya kekerasan selama penyimpanan disebabkan oleh hilangnya tekanan turgor,
perombakan pati menjadi glukosa dan degradasi dinding sel. Tekstur menjadi lunak
selama penyimpanan disebabkan pecahnya pektin dan hemiselulosa sehingga kekerasan
buah menurun. Selama penyimpanan buah terjadi pemecahan pektin, disebabkan oleh
larut diubah menjadi pektin yang larut. Akibatnya daya kohesi didnding sel yang satu
dengan yang lainnya menurun (Winarno dan aman, 1981).
y = -0.1242x + 3.7175
Gambar 7 Pola perubahan kadar air buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama pengamatan
Penurunan kekerasan daging buah yang disimpan pada suhu 10°C relatif lebih
lambat. Hal ini diduga terjadi karena pada suhu rendah, proses metabolisme dalam buah
berlangsung lambat, sehingga proses penuaan dan aktivitas enzim dalam proses
pemecahan pektin dan hemiselulosa juga menjadi lambat. Hasil ini menunjukkan bahwa
suhu rendah dapat mempertahankan tekstur daging buah. Muchtadi dan Sugiyono (1989)
mengemukakan bahwa penanganan pasca panen dengan cara penyimpanan dingin dapat
mengurangi proses penuaan karena adanya proses pematangan, pelunakan dan perubahan
tekstur.
Selama penyimpanan pepaya mengalami perubahan kematangan sehingga tingkat
kekerasan daging buah menurun. Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa perubahan
turgor sel disebabkan karena komposisi dinding sel berubah, dan perubahan tersebut
mempengaruhi kekerasan buah, yang biasanya menjadi lunak apabila telah matang.
Selama proses pematangan dan penyimpanan, sebagian protopektin yang tidak larut
dalam air berubah menjadi pektin yang larut dalam air, sehingga menurunkan daya
kohesi dinding sel yang satu dengan sel yang lain. Penurunan daya kohesi ini selanjutnya
Warna
Nilai a ( derajat warna hijau )
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara pengaruh
perlakuan semburat dan suhu terhadap warna hijau pada pepaya genotipe IPB-1dan IPB-2
(Lampiran 14 dan 15).
Pada tabel 5 menunjukkan bahwa warna hijau pepaya genotipe IPB-1 terhadap
semburat 10% disimpan pada suhu ruang beda nyata dengan semburat 0%, namun tidak
beda nyata dengan semburat 25%. Pepaya dengan semburat 0, 10 dan 25%
masing-masing beda nyata pada penyimpanan suhu 15°C. Semburat 25% pada suhu 10°C beda
nyata dengan semburat lainnya namun tidak beda nyata dengan suhu penyimpanan
lainnya.
Warna hijau pada pepaya genotipe IPB-2 dengan semburat 0% disimpan pada
suhu 10°C beda nyata dengan semburat 25% namun tidak beda nyata dengan semburat
10%. Penyimpanan pada suhu 10°C dengan tingkat semburat 25% tidak beda nyata
dengan suhu penyimpanan lainnya.
Tabel 5 Pengaruh perlakuan semburat dan suhu penyimpanan terhadap nilai a (warna hijau) buah pepaya genotype IPB-1 (a) dan IPB-2 (b)
(a) (b)
Semburat Suhu Penyimpanan Semburat Suhu Penyimpanan
(%) Ruang 15°C 10°C (%) Ruang 15°C 10°C
0 14.78ab 12.83bc 17.11a 0 9.89bc 12.44ab 14.14a
10 10.96cd 15.68a 14.85ab 10 12.17ab 6.73c 13.01ab
25 9.23de 7.60e 9.21de 25 9.38bc 9.21bc 9.38bc
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa warna hijau pada buah pepaya pada
genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama penyimpanan semakin menurun (Gambar 8).
Kecenderungan tersebut terjadi diduga disebabkan oleh adanya degradasi pigmen klorofil
selama penyimpanan mengalami perubahan, data menunjukkan pada penyimpanan hari
ke 12 mencapai 90.07 dan akan mulai menurun pada hari ke 20 (akhir penyimpanan)
mencapai 88.69
Suhu Ruang Suhu 15°C Suhu 10°C
0
Suhu Ruang Suhu 15°C Suhu 10°C
Gambar 8 Perubahan warna a (hijau) buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 pada berbagai tingkat semburat selama penyimpanan
Pada penyimpanan sampai hari ke 8, warna hijau mencapai nilai tertinggi dan
berbeda nyata dengan hari-hari yang lain. Warna hijau terendah dicapai pada
penyimpanan hari ke 16 yaitu rata-rata sebesar 10.94, kemudian pada hari ke 8 adalah
merupakan warna hijau tertinggi selama penyimpanan yaitu rata-rata sebesar 16.10.
y = -0.0141x2 + 0.1678x + 12.765
Gambar 9 Pola perubahan warna a (hijau) buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama pengamatan
Dari data analisis dapat dibandingkan bahwa secara umum pepaya genotipe IPB-1
Selama penyimpanan derajat warna hijau cenderung menurun hal ini hal ini diduga
karena adanya degradasi pigmen klorofil dan adanya perubahan kandungan air di dalam
pepaya (Gambar 9).
Warna a selama penyimpanan untuk pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 secara
umum masih bisa dipertahankan sampai pada hari ke 8 kemudian lambat laun akan mulai
menurun, seperti halnya ditunjukkan pada Lampiran 28 dan 29.
Nilai b ( derajat warna kuning )
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengujian terhadap derajat warna
kuning untuk pepaya genotipe IPB-1 tidak terjadi interaksi antara semburat dan suhu,
sehingga pengujian dilakukan pada pengaruh utama semburat, suhu dan hari.
30
Suhu Ruang Suhu 15°C Suhu 10°C
30
Suhu Ruang Suhu 15°C Suhu 10°C
Gambar 10 Perubahan warna b (kuning) buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 pada berbagai tingkat semburat selama penyimpanan
Hasil uji pada pepaya genotipe IPB-1 terhadap pengaruh semburat didapatkan
bahwa semburat 25% memiliki derajat warna kuning yang paling tinggi yaitu rata-rata
56.14 kemudian semburat 10% rata-rata sebesar 51.49 dan semburat 0% rata-rata sebesar
46.80. Terjadi peningkatan derajat warna kuning sampai hari ke-8 karena pengaruh
lamaanya penyimpanan kemudian menurun pada hari-hari berikutnya (Gambar 10 dan
11). Tingkat warna kuning pada hari ke-8 ini berbeda nyata dengan hari pengamatan yang
Pengujian terhadap pepaya genotipe IPB-2 didapatkan bahwa tidak ada pengaruh
semburat dan suhu terhadap warna kuning (Lampiran 29). Jadi warna kuning pada
semburat 0, 10 dan 25% yang disimpan pada suhu ruang, 15 dan 10°C memiliki tingkat
warna kuning yang relatif sama.
y = -0.0348x2 + 0.6783x + 49.646
Gambar 11 Pola perubahan warna b (kuning) buah pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 selama pengamatan
Hasil pengujian terhadap pengaruh semburat menyatakan bahwa semburat 25%
memberikan tingkat warna kuning yang paling tinggi dan berbeda nyata dengan semburat
10% dan semburat 0%. Kecenderungan tersebut terjadi diduga karena semburat 25%
terjadinya degradasi klorofil dan sisntesa karotenoid didalam buah prosentasenya lebih
besar. Dwidjoseputro (1990) melaporkan warna kuning dan merah pada bahan hasil
pertanian disebabkan oleh adanya pigmen karotenoid. Sintesa senyawa karotenoid ini
kemungkinan mempunyai kesamaan seperti pada pembentukan karoten maupun fitol,
dimana senyawa-senyawa yang dilepaskan pada proses degradasi klorofil akan digunakan
untuk sistesa karotenoid.
Pada umumnya jumlah karotenoid yang terbentuk pada proses degradasi klorofil
lebih besar dibanding dengan jumlah klorofil yang dibongkar (Pantastico 1989; Marriott
et al. 1981). Selanjutnya apandi (1984) menyatakan bahwa degradasi klorofil
menyebabkan pigmen karotenoid yang sebelumnya sudah ada di dalam jaringan
mendominasi pembentukan warna baru yaitu kuning. Kandungan karotenoid, geraniol
bebas dan asam mevalonat bebas yang merupakan prekusor terbentuknya karoten,
Uji Organoleptik
Kesegaran
Berdasarkan uji non parametrik kruskal wallis untuk nilai kesegaran pepaya
genotipe IPB-1 yang sangat disukai oleh para panelis adalah dari perlakuan S10Tr, S0T10,
S10T10, dan S25T10, sedangkan pada taraf disukai adalah pepaya dari perlakuan S0Tr, dan
S25Tr kemudian pepaya yang tidak disukai adalah dari perlakuan S0T15, S10T15, dan
S25T15 (Lampiran 18).
Pada pepaya genotipe IPB-2 kesegaran yang sangat disukai adalah dari pepaya dengan perlakuan S10T10, S25T10, sedangkan pada taraf disukai adalah pada pepaya
dengan perlakuan S25Tr dan S25T15. dan pepaya yang tidak disukai adalah dari perlakuan
S0Tr, S10Tr, dan S0T15, S10T15 danS0T10 (Lampiran 19).
Tingkat semburat dan suhu penyimpanan akan mempengaruhi terhadap kesegaran
pepaya yang disimpan. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
semburat dan semakin rendah suhu penyimpanan maka akan semakin memberikan
kesegaran pada pepaya yang disimpan sehingga akan lebih disukai oleh para panelis.
Kekerasan
Pengujian organoleptik untuk kekerasan pada pepaya genotipe IPB-1 dapat
dinyatakan bahwa pepaya perlakuan S10Tr, S25Tr, dan S25T15 sangat disukai oleh
panelis. Pada pepaya perlakuan S0Tr, S0T15, S10T15 dan S25T10 adalah kelompok pepaya
yang disukai, sedangkan pepaya dari perlakuan S0T10 dan S10T10 cenderung tidak
disukai(Lampiran 20).
Pepaya genotipe IPB-2 untuk perlakuan S25Tr, S10T15, S25T15 adalah kelompok
perlakuan yang sangat disukai oleh para panelis, sedangkan kelompok pepaya yang
disukai adalah dari perlakuan S10Tr, S0T15, S10T10 dan S25T10., dan pepaya yang tidak
disukai adalah dari perlakuan S0Tr danS0 T10 (Lampiran 21).
Semakin tinggi tingkat semburat maka akan menunjukkan semakin rendah tingkat
Rasa
Penilaian rasa pada pepaya genotipe IPB-1 yang sangat disukai adalah dari perlakuan S25Tr , S10T10 , S25T10. sedangkan kelompok pepaya yang disukai adalah dari
perlakuan S10Tr, S25T15 dan pepaya yang tidak disukai adalah dari kelompok perlakuan
S0Tr , S0T15 , S10T15 , S0T10 (Lampiran 22).
Pepaya genotipe IPB-2 yang sangat disukai berdasarkan uji rasa adalah pepaya dari perlakuan S25Tr, S25T15, S10T10 dan S25T10. Kelompok yang kategorinya disukai
adalah dengan perlakuan S10Tr dan S10T15, sedangkan pepaya yang tidak disukai
berdasarkan rasa adalah dari perlakuan S0Tr, S0T15 dan S0T10.(Lampiran 23).
Para panelis akan memberikan penilaian pada taraf sangat disukai untuk skor rasa
rata-rata adalah dari kelompok pepaya yang mempunyai tingkat sembuat 25% kemudian
disimpan pada suhu 10oC. Penilaian ini berbanding lurus dengan uji secara obyektif
dimana pada semburat 25% nilai TPT semakin tinggi karena berdasarkan penilaian rasa
akan lebih manis.
Warna
Uji non parametrik kruskal wallis untuk pepaya genotipe IPB-1 yang sangat disukai berdasarkan warna adalah dari perlakuan S10Tr, S25Tr, dan S25T10. sedangkan
pada taraf disukai adalah dari perlakuan S25T15 dan S10T10. Kelompok yang tidak disukai
dengan perlakuan S0Tr, S0T15, dan S0T10 (Lampiran 24).
Pepaya genotipe IPB-2 warna yang sangat disukai adalah pepaya dengan perlakuan S25Tr, S25T15 dan S25T10, sedangkan pada taraf disukai pada perlakuan S10Tr,
S10Tr dan S10T10 dan untuk perlakuan S0Tr, S10T15, dan S0T10 adalah kelompok
perlakuan yang tidak disukai (Lampiran 25).
Penerimaan
Skor penerimaan pada kategori sangat disukai untuk pepaya genotipe IPB-1 adalah perlakuan S10Tr, S25Tr, S10T10 dan S25T10, sedangkan taraf disukai adalah S0Tr,
S25T15 dan untuk pepaya yang tidak disukai adalah dari perlakuan S0T15 dan S10T15 dan
Pada pepaya genotipe IPB-2 berdasarkan skor penerimaan untuk tingkat sangat disukai adalah perlakuan S25Tr, S25T15, S10T10 dan S25T10. Kategori disukai adalah
perlakuan S10Tr, S0T15, dan S10T15, sedangkan untuk tidak disukai dari perlakuan S0Tr
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Terjadi interaksi antara semburat dan suhu terhadap kadar air, TPT, kekerasan dan
warna hijau.
2. Pemetikan pepaya genotipe IPB-1 dan IPB-2 dengan semburat 25% menunjukkan
hasil yang terbaik dengan disertai penyimpanan pada suhu 100C akan
memberikan nilai kesukaan lebih tinggi dari para konsumen. Pemetikan dengan
semburat 10% secara mutu masih diterima oleh konsumen namun akan lebih baik
disimpan pada suhu ruang, sedangkan pemetikan dengan tingkat semburat 0%
mutu masih belum diterima oleh sebagian besar konsumen, kecuali pada genotipe
IPB-1.
3. Penyimpanan pada suhu 100C dinilai lebih baik karena dapat mempertahankan
mutu pepaya sampai 32 hari penyimpanan, disamping itu akan memberikan rasa
yang lebih segar pada pepaya yang disimpan. Penyimpanan pepaya pada suhu
150C akan memberikan mutu yang kurang disukai oleh sebagian besar konsumen,
sedangkan penyimpanan pada suhu ruang akan tepat diterapkan pada semua
pepaya khususnya yang mempunyai tingkat semburat 25 dan 10% namun mutu
tidak dapat dipertahankan lebih lama hanya bertahan sampai 8 hari.
4. Berdasarkan uji subyektif (Organoleptik) bahwa pepaya genotipe IPB-1
cenderung lebih disukai oleh para panelis karena rasanya lebih manis bila
dibanding pepaya genotipe IPB-2, hal ini didukung oleh hasil uji obyektif (alat)
bahwa kandungan TPT IPB-1 berkisar antara 11,01 – 12,66, sedangkan untuk
IPB-2 kandungan TPT berkisar antara 8,71 – 9,99
Saran
Perlu dilakukan uji mikroba agar lebih memberikan informasi penyebab utama