• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fluks CO2 dari Andosol pada Penggunaan Lahan Kebun Sayur dan Hutan di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fluks CO2 dari Andosol pada Penggunaan Lahan Kebun Sayur dan Hutan di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

FLUKS CO

2

DARI ANDOSOL PADA PENGGUNAAN LAHAN

KEBUN SAYUR DAN HUTAN

DI KECAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR

TAUFAN SALEH

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Fluks CO2 dari

Andosol pada Penggunaan Lahan Kebun Sayur dan Hutan di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor adalah benar karya saya yang merupakan penelitian kerjasama dengan Jon Hendri, SP. (mahasiswa Pascasarjana IPB PS Agroteknologi Tanah, angkatan 2011, NRP A152110021) dimana saya ikut terlibat membantu dalam sebagian tahap penelitian tersebut dengan arahan dari komisi pembimbing. Keseluruhan karya tulis ini belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

TAUFAN SALEH. Fluks CO2 dari Andosol pada Penggunaan Lahan Kebun

Sayur dan Hutan di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DARMAWAN dan BASUKI SUMAWINATA.

Akhir-akhir ini, kegiatan pertanian dianggap sebagai salah satu sumber emisi gas rumah kaca (GRK). Penelitian mengenai emisi GRK (CO2) dari lahan

pertanian banyak dilakukan terutama pada tanah gambut, sedangkan pada tanah mineral masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan fluks CO2 dari Andosol pada penggunaan lahan kebun sayur,

hutan, dan tanah bera, serta membandingkan fluks CO2 yang dihasilkan dari tanah

gambut dengan tanah mineral. Penelitian dilakukan di areal perkebunan teh PT Sumber Sari Bumi Pakuan, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor (kawasan Puncak). Pengambilan contoh gas dilakukan menggunakan metode sungkup dan pengukuran CO2 menggunakan CO2 Analyzer. Selain itu,

beberapa sifat tanah juga dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap fluks CO2. Hasil pengukuran fluks CO2 pada kebun sayur dan hutan menunjukkan nilai

yang hampir sama yaitu berurut-turut sekitar 4.26 g C-CO2/m2/hari dan 4.28 g

C-CO2/m2/hari, sedangkan dari tanah bera lebih kecil yaitu sebesar 2.01 g

C-CO2/m2/hari. Hasil analisis respirasi tanah juga menunjukkan hal yang sama yaitu

CO2 yang dihasilkan dari tanah kebun sayur dan hutan lebih tinggi dibandingkan

tanah bera. Hasil tersebut diikuti dengan hasil analisis populasi mikrob pada tanah kebun sayur dan hutan yang lebih tinggi dibandingkan tanah bera. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya fluks CO2 ditentukan oleh aktivitas respirasi yang

tergantung pada kondisi tanaman dan aktivitas mikrob. Fluks CO2 dari Andosol

pada ketiga penggunaan lahan berada pada kisaran 1.00-6.00 g C-CO2/m2/hari

(3.65-21.90 ton C-CO2/ha/tahun). Besarnya fluks CO2 pada kisaran tersebut

hampir sama dengan fluks CO2 dari tanah gambut. Fluks CO2 dari Andosol (tanah

berbahan organik tinggi) pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan Latosol (tanah berbahan organik rendah). Hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan organik tanah tidak secara langsung mempengaruhi fluks CO2 dari tanah.

Perbedaan kondisi tanah dan lingkungan yang mempengaruhi respirasi tanaman dan mikrob tanah di lokasi penelitian diduga menjadi faktor utama dalam mempengaruhi perbedaan fluks CO2.

(5)

ABSTRACT

TAUFAN SALEH. CO2 Flux from Andosol on Landuse Vegetabel Garden and

Forest in Cisarua District Bogor Regency. Supervised by DARMAWAN and BASUKI SUMAWINATA.

Recently, agricultural activities are considered as one source of greenhouse gas emissions (GHG). Researchs on GHG emission from agricultural land are mostly done on peat soils, while researchs on mineral soil are still limited. This research was aimed to find out and to compare CO2 flux from vegetable garden,

forest, and bare land on Andosol, and to compare CO2 flux from peat soils with

these of mineral soils. This research was carried out at tea plantation area of PT Sumber Sari Bumi Pakuan, Tugu Utara Village, Cisarua District, Bogor Regency (Puncak area). Gas samples were taken using a chamber method and CO2

measurement was done using a CO2 Analyzer. The results of CO2 flux

measurement of each of the land uses on Andosol indicate that CO2 flux from

vegetable garden and forest were almost similar, about 4.26 g C-CO2/m2/d and

4.28 g C-CO2/m2/d, while that of bare land showed smaller results, about 2.0 g

C-CO2/m2/d. The results of analysis of soil respiration showed the same thing that is

CO2 produced from soil of vegetable garden and forest is higher than that of bare

land. These results are resembled by the results of the analysis of microbial populations in the soils of vegetable garden and forest that were higher than that of the bare land. That facts indicate that the amount of CO2 flux are more

originated from respiration activity that depends on the plants condition and the microbes activity. CO2 flux from three landuses of Andosol ranging from 1.00 to

6.00 g C-CO2/m2/d (3.65-21.90 tons C-CO2/ha/y). The amount of CO2 flux on this

range is comparable with that of the CO2 flux from peat soil. CO2 flux from

Andosol (high organic matter soil) in this research was lower than that from Latosol (low organic matter soil), indicating that the soil organic matter not directly influence the CO2 flux from the soil. Differences of soil and

environmental conditions that affects of plant respiration and soil microbial at the study site are supposed to be a major factor in influencing the difference of CO2

flux.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

FLUKS CO

2

DARI ANDOSOL PADA PENGGUNAAN LAHAN

KEBUN SAYUR DAN HUTAN

DI KECAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR

TAUFAN SALEH

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Fluks CO2 dari Andosol pada Penggunaan Lahan Kebun Sayur

dan Hutan di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor Nama : Taufan Saleh

NIM : A14080072

Disetujui oleh

Dr Ir Darmawan, MSc. Pembimbing I

Dr Ir Basuki Sumawinata, MAgr. Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, MSc.

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

(10)
(11)

PRAKATA

Alhmdulillahirobil’alamiin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah fluks CO2, dengan judul

Fluks CO2 dari Andosol pada Penggunaan Lahan Kebun Sayur dan Hutan di

Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor.

Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan semua pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada: 1. Dr Ir Darmawan, MSc. selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing

skripsi I yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran, dan semangat kepada penulis selama menempuh pendidikan dan penyelesaian skripsi; 2. Dr Ir Basuki Sumawinata, MAgr. selaku pembimbing skripsi II yang telah

memberi arahan, saran, bimbingan, dan bantuannya selama penulisan skripsi; 3. Dr Ir Suwardi, MAgr. selaku penguji dalam sidang skripsi yang telah

memberikan masukan dan saran;

4. Anita Widyarini, SP. sebagai Operasional Umum dan Euis Marlina, SP. sebagai Marketing di PT Sumber Sari Bumi Pakuan yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi penelitian;

5. Bapak Sukmaja, Bapak Lalan, Bapak Marjoko, Ibu Uyum, dan semua staf serta warga di lingkungan kebun teh PT Sumber Sari Bumi Pakuan yang telah memberikan bantuan dan informasi kepada penulis selama penelitian di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor;

6. Ibu tercinta Nonoh yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan kasih sayang yang sangat besar serta do’a yang tak pernah henti untuk keberhasilan penulis;

7. Kakak tercinta Tayun Wahyudin ST. dan Ina Walyina ST. serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan semangatnya;

8. Sahabat dan teman-teman program studi Manajemen Sumberdaya Lahan angkatan 45 yang banyak membantu dan memberikan dukungan membangun kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

METODE PENELITIAN ... 2

Waktu dan Tempat Penelitian ... 2

Bahan dan Alat ... 3

Metode ... 3

Pengambilan Contoh Gas ... 3

Pengukuran Contoh Gas dan Perhitungan Fluks CO2 ... 6

Analisis Tanah ... 6

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7

Fluks CO2 ... 7

Respirasi Tanah ... 10

Perbandingan Fluks CO2 dari Tanah Gambut dan Tanah Mineral ... 11

KESIMPULAN DAN SARAN ... 13

Kesimpulan ... 13

Saran ... 13

DAFTAR PUSTAKA ... 14

(13)

DAFTAR TABEL

1 Titik koordinat lokasi penelitian ... 3

2 Analisis tanah di laboratorium ... 7

3 Rata-rata fluks CO2 dari tiga penggunaan lahan pada tanah Andosol ... 8

4 pH tanah, C-organik, respirasi tanah, dan populasi mikrob pada penggunaan lahan kebun sayur, hutan, dan tanah bera ... 11

5 Fluks CO2 dari tanah gambut (Sumawinata et al. 2012) dan tanah mineral (Hazama 2012) ... 12

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian pada citra (Digital Globe tahun 2013) ... 2

2 Titik pemasangan chamber base di lokasi kebun sayur ... 4

3 Titik pemasangan chamber base di lokasi hutan ... 4

4 Titik pemasangan chamber base di lokasi tanah bera ... 5

5 Chamber dan chamber base yang digunakan dalam metode ruang tertutup (Toma dan Hatano 2007) ... 5

6 Model Regresi Linier penambahan konsentrasi CO2 ... 6

7 Grafik fluks CO2 dari tanah kebun sayur, hutan, dan tanah bera ... 8

8 Fluks CO2 dan suhu tanah di ketiga lokasi penelitian ... 9

DAFTAR LAMPIRAN

1 Fluks CO2, suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, dan kadar air tanah di lokasi kebun sayur ... 15

2 Fluks CO2, suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, dan kadar air tanah di lokasi hutan ... 16

3 Fluks CO2, suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, dan kadar air tanah di lokasi tanah bera ... 17

4 Respon bakteri mesopilik terhadap perbedaan suhu (Tate 2000) ... 18

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Akhir-akhir ini, pemanasan global muncul sebagai isu lingkungan di seluruh dunia. Penyebab pemanasan global diduga karena meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK), terutama diantaranya yang paling penting adalah gas karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan dari hasil kegiatan manusia seperti penggunaan

bahan bakar fosil untuk industri, transportasi, dan rumah tangga. Selain sumber utama tersebut, akhir-akhir ini kegiatan pertanian pun dianggap sebagai sumber emisi GRK ke atmosfer. Terkait dengan hal ini, IPCC (2007) menyebutkan bahwa 14% emisi GRK di tahun 2004 dihasilkan dari kegiatan pertanian.

Seiring dengan adanya anggapan tersebut, banyak penelitian dan publikasi yang memberikan informasi mengenai emisi GRK khususnya emisi CO2 dari

lahan pertanian dan berbagai penggunaan lahan lainnya termasuk di Indonesia. Penelitian mengenai emisi CO2 atau fluks CO2 dari berbagai penggunaan lahan di

Indonesia saat ini lebih banyak dilakukan pada lahan gambut. Hasil penelitian pada lahan gambut pada umumnya menyebutkan bahwa lahan gambut mengemisikan CO2 sangat besar, seperti hasil penelitian Hooijer et al. (2012).

Namun penelitian Hooijer et al. (2012) tersebut bukan berasal dari pengukuran emisi CO2 secara langsung pada tanah gambut, melainkan dengan menghitung

ketebalan gambut yang hilang yang dianggap sebagai kehilangan karbon pada tanah gambut sebagai hasil oksidasi. Jumlah CO2 yang diemisikan kemudian

dihubungkan dengan laju subsidensi dan penurunan muka air tanah. Penelitian Hooijer et al. (2012) tersebut menyebutkan bahwa terdapat hubungan linear antara emisi CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut dengan laju subsidensi gambut dan

penurunan muka air tanah gambut.

Penelitian emisi CO2 atau fluks CO2 dari tanah mineral di Indonesia masih

jarang dilakukan. Banyak anggapan bahwa fluks CO2 yang dihasilkan dari tanah

gambut jauh lebih besar dari tanah mineral karena kandungan karbon tanah gambut jauh lebih tinggi dibandingkan tanah mineral. Kadar karbon yang tinggi di lahan gambut dianggap sebagai sumber potensial emisi CO2 ke atmosfer sebagai

hasil proses dekomposisi. Namun, hasil penelitian Sumawinata et al. (2012) menunjukkan bahwa CO2 yang diemisikan dari tanah gambut pada area terbuka

(tanpa vegetasi) dengan pengukuran selama satu tahun ialah sebesar 11.06 ton C-CO2/ha/tahun tidak jauh berbeda dengan yang diemisikan dari tanah mineral

berbahan organik rendah tanpa tanaman dan serasah yaitu sebesar 144.90 mg C-CO2/m2/jam setara 12.69 ton C-CO2/ha/tahun (Hazama 2012). Hal ini

menunjukkan bahwa tanah gambut tidak mesti menghasilkan fluks CO2 yang

lebih tinggi dari tanah mineral.

Jenis tanah mineral yang ada di Indonesia memiliki karekteristik yang berbeda dan sangat beragam. Oleh karena itu penelitian mengenai besarnya fluks CO2 dari berbagai tanah mineral khususnya yang memiliki kadar bahan organik

(15)

2

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, tujuan penelitian ini ialah: 1. Mengetahui dan membandingkan fluks CO2 yang dihasilkan dari Andosol

pada penggunaan lahan kebun sayur, hutan, dan tanah bera.

2. Membandingkan fluks CO2 yang dihasilkan dari tanah mineral dengan tanah

gambut.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Pengukuran fluks CO2 dilakukan dari bulan September 2012 sampai dengan

Mei 2013. Pengambilan contoh dilakukan pada tiga lokasi yang bertempat di areal perkebunan teh PT Sumber Sari Bumi Pakuan, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor (kawasan Puncak) pada ketinggian ±1450 mdpl, pada kebun sayur, hutan, dan tanah bera. Lokasi penelitian secara rinci dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1. Pengukuran konsentrasi CO2 dan analisis beberapa

sifat tanah dilakukan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(16)

3

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan terdiri dari contoh gas untuk pengukuran fluks CO2

dan contoh tanah untuk analisis pH, C-organik, respirasi tanah, dan populasi mikrob. Contoh gas dan tanah diambil dari masing-masing penggunaan lahan. Sementara itu, alat-alat yang digunakan terdiri dari alat pengambilan contoh gas di lapangan meliputi sungkup (chamber), chamber base, tedlar bag, pressure bag, stopcock, sampling tube, dan syringe; alat pengukur contoh gas berupa CO2

analyzer yaitu Infra Red Gas Analyzer (IRGA) tipe ZEP9 dari Fuji Electric Systems; alat pengambilan contoh tanah, dan alat-alat yang digunakan untuk analisis contoh tanah di laboratorium.

Metode

Kegiatan penelitian meliputi beberapa tahapan yaitu survei dan pemilihan lokasi penelitian, persiapan peralatan pengukuran di lapangan dan laboratorium, pelaksanaan penelitian lapang, dan analisis di laboratorium. Metode pengambilan contoh gas di lapangan, pengukuran contoh gas, dan analisis tanah diuraikan berikut ini.

Pengambilan Contoh Gas

Pengambilan contoh gas untuk pengukuran fluks CO2 dilakukan dengan

metode ruang tertutup menggunakan chamber. Pengambilan contoh gas diawali dengan pemasangan chamber base di setiap lokasi pengamatan pada tiga titik yang mewakili lokasi pengamatan. Pemasangan chamber base pada lokasi kebun sayur terdiri dari 2 chamber base di guludan yaitu di baris tanam dan di antara baris tanam dan 1 chamber base pada parit di antara guludan. Pemasangan yang berbeda dilakukan agar memberikan hasil yang dapat mewakili kondisi sebenarnya. Hal yang sama juga dilakukan pada lokasi hutan dan tanah bera dengan memasang chamber base pada tiga titik yang mewakili masing-masing kondisi. Titik pemasangan chamber base di lokasi kebun sayur, hutan, dan tanah bera masing-masing dapat dilihat pada Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4.

Tabel 1 Titik koordinat lokasi penelitian

Lokasi Titik Koordinat Keterangan

Kebun Sayur 06o41’20.6” S 106o59’35.5” E

(17)

4

(Titik 1) (Titik 2)

(Titik 3)

Gambar 3 Titik pemasangan chamber base di lokasi hutan

(Titik 1) (Titik 2)

(Titik 3)

(18)

5

Pengambilan contoh gas dilakukan sehari setelah pemasangan chamber base. Teknik pengambilan contoh gas dilakukan dengan menggunakan chamber berdiameter alas 20 cm dan tinggi 25 cm yang disungkupkan pada chamber base yang pada sisinya diisi dengan air untuk mencegah kebocoran gas. Sungkup dilengkapi dengan penutup yang terbuat dari akrilik yang memiliki tiga port dimana port pertama untuk kantung kedap udara (terdlar bag) pengambilan gas menit ke-3, port kedua untuk tedlar bag menit ke-6, dan port ketiga untuk pressure bag penyeimbang tekanan udara ruang chamber dengan tekanan udara atmosfer (lihat Gambar 5). Pengambilan contoh gas di masing-masing lokasi dilakukan pada pagi (pukul 06.00-10.00 WIB) dan siang hari (pukul 12.00-15.00 WIB) pada setiap minggunya selama kurun waktu 25 minggu. Pada tiap waktu tersebut, pengambilan contoh gas dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu 3 menit yaitu pada menit ke-0, menit ke-3, dan menit ke-6. Pengambilan contoh gas pada menit ke-0 dilakukan pada saat chamber belum terpasang pada chamber base. Pengambilan contoh gas untuk menit ke-3 dan menit ke-6 masing-masing dilakukan setelah chamber disungkupkan pada chamber base selama 3 dan 6 menit. Jumlah gas yang diambil ke dalam tedlar bag yaitu sebanyak 250 ml dengan menggunakan jarum suntik (syringe) 25 ml. Pada saat pengambilan contoh gas dilakukan juga pengukuran suhu udara dan suhu tanah pada lokasi pengambilan contoh.

Gambar 4 Titik pemasangan chamber base di lokasi tanah bera

(19)

6

Pengukuran Contoh Gas dan Perhitungan Fluks CO2

Contoh gas yang telah diambil di lapang diukur konsentrasinya di laboratorium pada hari yang sama menggunakan CO2 analyzer. Pengukuran

dilakukan setelah alat dikalibrasi sebanyak dua kali yaitu kalibrasi pertama merupakan zero kalibrasi dengan menggunakan soda lime yang menghasilkan gas bebas CO2 dan kalibrasi kedua mengunakan gas standar CO2 yang telah diketahui

kadarnya.

Angka konsentrasi yang diperoleh dari hasil pengukuran kemudian digunakan untuk menghitung fluks CO2 dari tanah pada setiap penggunaan lahan.

Angka tersebut digunakan untuk memperoleh nilai

dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

F = Fluks CO2 (mg C-CO2/m2/jam) = Variasi konsentrasi CO2 (m3/m3)

Beberapa sifat tanah dianalisis di laboratorium untuk mengetahui pengaruhnya terhadap fluks CO2. Sifat tanah yang dianalisis yaitu terdiri dari pH,

C-organik, respirasi tanah, dan populasi mikrob. Contoh tanah yang dianalisis diambil secara komposit dari lokasi pengamatan pada kedalaman 0-5 cm, 5-10 cm, 10-20 cm, dan 20-30 cm. Jenis analisis tanah dan metode yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Gambar 6 Model Regresi Linier penambahan konsentrasi CO2

(20)

7

Pengukuran respirasi contoh tanah yang diambil dari ketiga lokasi penelitian dilakukan dengan metode inkubasi. Pengukuran respirasi tanah merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menetapkan tingkat aktivitas mibrob tanah (Anas 1988). Pengukuran respirasi diawali dengan memasukan contoh tanah ke dalam wadah kedap udara yang sudah dilengkapi dengan larutan KOH dan air destilasi (H2O). Penetapan respirasi didasarkan pada jumlah CO2 yang dihasilkan oleh

mikroorganisme tanah selama masa inkubasi. Karbon dioksida yang dihasilkan diketahui dengan melakukan titrasi larutan KOH sebagai pengikat CO2 yang

dihasilkan saat inkubasi dengan menggunakan HCl yang telah diketahui konsentrasinya. Selain penetapan respirasi, dilakukan juga penetapan populasi mikrob dengan menggunakan metode agar cawan. Cara ini dimulai dengan pembuatan larutan tanah atau bahan lain yang mengandung sel mikrob, spora, atau potongan miselin yang mempunyai kemungkinan untuk tumbuh dan berkembang cukup baik bila keadaan lingkungan memungkinkan (Anas 1988). Penetapan populasi mikrob dilakukan dengan menghitung jumlah koloni yang tumbuh pada media yang digunakan yaitu Martine Agar (untuk analisis total fungi) dan Nutrient Agar (untuk analisis total mikrob).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fluks CO2

Hasil pengukuran fluks CO2 dari Andosol dengan penggunaan lahan kebun

sayur, hutan, dan tanah bera disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 7. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa rata-rata hasil fluks CO2 dari kebun sayur sebesar 4.26 g

C-CO2/m2/hari dengan fluks tertinggi 7.50 g C-CO2/m2/hari dan terendah 2.08 g

C-CO2/m2/hari. Besar fluks tersebut hampir sama dengan yang dihasilkan dari

tanah hutan yaitu sebesar 4.28 g C-CO2/m2/hari dengan fluks tertinggi 8.07 g

C-CO2/m2/hari dan terendah 1.58 g C-CO2/m2/hari. Pada tanah bera fluks CO2 yang

dihasilkan lebih rendah yaitu sebesar 2.01 g C-CO2/m2/hari dengan fluks tertinggi

3.68 g C-CO2/m2/hari dan terendah 0.60 g C-CO2/m2/hari. Hasil pengukuran fluks

CO2 tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung fluks CO2 pertahun dengan

asumsi kebun sayur, hutan, dan tanah bera merupakan penggunaan lahan yang sama pada setiap tahunnya. Fluks CO2 yang dihasilkan selama satu tahun pada

penggunaan lahan kebun sayur, hutan, dan tanah bera secara berturut-turut yaitu 15.56 ton C-CO2/ha/tahun, 15.62 ton C-CO2/ha/tahun, dan 7.32 ton

C-CO2/ha/tahun. Hasil tersebut merupakan prediksi fluks CO2 pertahun terlepas dari

(21)

8

perbedaan musim dan waktu penanaman pada kebun sayur. Secara umum terlihat bahwa fluks CO2 yang dihasilkan dari Andosol pada penggunaan lahan kebun

sayur, hutan, dan tanah bera berada pada kisaran 1.00-6.00 g C-CO2/m2/hari

(3.65-21.90 ton C-CO2/ha/tahun).

Pada Gambar 7 terlihat bahwa fluks CO2 yang dihasilkan dari ketiga

penggunaan lahan berfluktuasi pada setiap minggunya. Fluktuasi yang tinggi terutama dihasilkan dari tanah hutan yang ditunjukkan pada minggu 19 dan ke-23. Fluktuasi tersebut kemungkinan terjadi karena perubahan sesaat dari kondisi tanah dan lingkungan yang mempengaruhi aktivitas mikrob dan respirasi tanaman seperti kondisi cuaca. Fluks CO2 yang berbeda-beda pada setiap pengukuran

menunjukkan bahwa pengukuran fluks CO2 tidak dapat dilakukan hanya dengan

beberapa kali pengukuran saja. Hal tersebut dapat menimbulkan prediksi jumlah fluks CO2 yang dihasilkan dari suatu lahan menjadi kurang tepat.

Pada Gambar 7 juga terlihat bahwa fluks CO2 yang dihasilkan dari tanah

bera selalu lebih kecil dibandingkan kebun sayur dan hutan. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya fluks CO2 dipengaruhi oleh aktivitas respirasi tanaman pada

lahan tersebut, sebagaimana dijelaskan antara lain oleh Sumawinata et al. (2012) yang menyebutkan bahwa fluks CO2 yang dihasilkan pada suatu lahan sebagian

besar merupakan gas yang dilepaskan dari respirasi akar dan eksudat akar. Selain itu Hazama (2012) berpendapat bahwa fluks CO2 yang dihasilkan pada suatu

lahan tergantung dari tanaman yang terdapat pada lahan tersebut.

Tabel 3Rata-rata fluks CO2 dari tiga penggunaan lahan pada tanah Andosol Penggunaan Lahan Rata-rata Fluks CO2

Gambar 7 Grafik fluks CO2 dari tanah kebun sayur, hutan, dan tanah bera 0

(22)

9 Hal lain yang ditunjukkan pada Gambar 7 yaitu fluks CO2 kebun sayur pada

awal pengukuran lebih rendah dibandingkan tanah hutan, sedangkan pada minggu ke-9 dan seterusnya cenderung sama bahkan lebih tinggi. Hal ini dimungkinkan karena pada minggu ke-8 di kebun sayur dilakukan pengolahan tanah dengan mencampurkan bahan organik (menimbun sisa tanaman sawi dan kubis yang sudah dipanen) pada guludan. Pengaruh tersebut diperlihatkan dengan adanya peningkatan fluks CO2 yang terjadi pada minggu ke-9. Adanya bahan organik

segar memungkinkan terjadinya proses dekomposisi yang meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktivitas mikrob tanah sehingga fluks CO2 pada

minggu tersebut meningkat. Fluks CO2 yang dihasilkan dari tanah kebun sayur

selanjutnya mengalami penurunan pada minggu ke-10 dan seterusnya. Penurunan fluks CO2 tersebut diduga karena adanya penurunan jumlah dan aktivitas mikrob

di dalam tanah. Penurunan jumlah dan aktivitas mikrob diduga karena jumlah senyawa sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh mikrob berkurang sehingga fluks CO2 yang dihasilkan juga berkurang.

Respirasi tanah yang kompleks dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya memungkinkan fluks CO2 yang dihasilkan bervariasi. Faktor

lingkungan seperti suhu tanah dan kelembaban diduga merupakan faktor utama yang mempengaruhi fluks CO2 yang dihasilkan dari tanah. Gambar 8

menunjukkan hubungan antara kisaran suhu tanah pada ketiga lokasi pengamatan dengan kisaran fluks CO2 yang terukur pada masing-masing penggunaan lahan.

Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada kisaran suhu tanah yang sama ternyata besarnya fluks CO2 yang terjadi sangat berbeda. Variasi fluks CO2 yang terjadi

pada rentang suhu yang sama diduga karena adanya perbedaan kepekaan mikrob tanah sebagai salah satu sumber respirasi dalam tanah terhadap kondisi lingkungan dan tanah. Tingkat pertumbuhan mikrob meningkat sampai suhu maksimal dengan kondisi ekologi minimum dan maksimum yang mewakili batas toleransi mikrob terhadap suhu (Tate 2000). Seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 4 bahwa aktivitas mikrob yang digambarkan sebagai tingkat respirasi meningkat dengan peningkatan suhu sampai keadaaan maksimal pada suhu 25 oC

Gambar 8 Fluks CO2 dan suhu tanah di ketiga lokasi penelitian

(23)

10

sampai 30 oC yang kemudian mengalami penurunan pada suhu lebih dari 30 oC. Selain itu, perbedaan kelembaban tanah diduga sebagai faktor lain yang mempengaruhi perbedaan fluks CO2 yang dihasilkan, seperti pendapat Flanagan

et al. (2005) yang menyebutkan bahwa kelembaban tanah merupakan faktor lingkungan yang dominan dalam mengendalikan respirasi ketika suhu dalam keadaan konstan, seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 5 yang memperlihatkan grafik pemodelan semiperspektif tingkat respirasi pada perbedaan suhu dan kelembaban. Pada suhu yang sama terlihat tingkat respirasi akan berbeda dengan perbedaan kelembaban. Sehingga dapat diduga bahwa interaksi antara suhu dan kelembaban di lokasi penelitian mempengaruhi variasi fluks CO2 yang dihasilkan.

Hal ini menggambarkan bahwa fluks CO2 yang dihasilkan dari tanah tidak dapat

dihubungan dengan salah satu faktor saja.

Selain mempengaruhi aktivitas mikrob, suhu tanah dan kelembaban tanah juga diduga mempengaruhi aktivitas tanaman dalam kegiatan respirasi. Seperti pendapat Koide et al. (2006) yang menyebutkan bahwa respirasi akar meningkat dengan dipengaruhi peningkatan suhu tanah dan respirasi mikrob meningkat sebagian besar dipengaruhi oleh kelembaban tanah. Selain itu Flanagan et al. (2005) menyebutkan bahwa kelembaban tanah dapat berpengaruh langsung terhadap kegiatan tanaman. Kelembaban tanah secara tidak langsung berpengaruh pada jumlah subtrat tersedia dari eksudat akar dan kualitas input bahan organik terhadap komunitas mikrob yang dapat mempengaruhi jumlah CO2 yang

dihasilkan dari tanah. Sehingga diduga perbedaan kepekaan aktivitas tanaman dan mikrob menyebabkan jumlah fluks CO2 yang dihasilkan bervariasi.

Respirasi Tanah

Tabel 4 menunjukkan hasil pengukuran respirasi tanah di laboratorium dari contoh tanah yang diambil di lapangan. Hasil pengukuran respirasi tanah menunjukkan jumlah CO2 yang dihasilkan dari tanah kebun sayur dan hutan lebih

tinggi dibandingkan tanah bera. Hasil tersebut sesuai dengan hasil pengukuran fluks CO2 di lapangan pada kebun sayur dan hutan yang juga lebih tinggi

dibandingkan tanah bera.

Jumlah CO2 tinggi yang dihasilkan dari tanah kebun sayur dan hutan diikuti

dengan hasil analisis total mikrob yang juga tinggi. Hasil tersebut semakin memperkuat anggapan bahwa CO2 dari tanah selain dihasilkan dari respirasi

tanaman juga dihasilkan dari aktivitas dan populasi mikrob di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hogberg et al. (2009) yaitu bahwa sebagian besar fluks kembali ke atmosfer melalui respirasi tanah yang memiliki dua sumber utama, yaitu respirasi heterotropik (organisme pengurai bahan organik) dan respirasi autrotopik (akar, jamur mikoriza, dan mikrob akar). Selain itu, Luo dan Zhou (2006) menyebutkan bahwa respirasi tanah mengeluarkan molekul CO2 yang

(24)

11

Tingginya total mikrob dari tanah kebun sayur dan hutan juga dipengaruhi oleh kadar C-organik yang tinggi pada tanah tersebut. Pada Tabel 6 terlihat bahwa kadar C-organik pada tanah kebun sayur dan hutan lebih tinggi dibandingkan tanah bera. Kadar C-organik yang tinggi tersebut diduga dapat menyebabkan aktivitas mikrob yang tinggi di dalam tanah. Jumlah dan aktivitas mikrob yang tinggi di dalam tanah memungkinkan CO2 yang dihasilkan dari tanah juga tinggi

sebagai hasil dari aktivitas respirasi mikrob yang aktif mengambil O2 dari udara

dan mengeluarkan CO2. Namun, total C-organik yang tinggi pada suatu lahan

tidak dapat menunjukkan bahwa fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan tersebut

juga tinggi. Kadar karbon yang terkandung di dalam tanah tidak semuanya dapat berubah menjadi CO2 yang kemudian dilepaskan dari tanah ke atmosfer. Hal ini

terlihat dari kandungan karbon (C-organik) yang masih tinggi terdapat pada tanah Andosol walaupun terjadi pelepasan CO2 yang cukup tinggi ke atmosfer. Hal ini

semakin memperkuat anggapan bahwa pelepasan karbon dalam bentuk CO2 dari

tanah tidak semata-mata dihasilkan dari perombakan bahan organik tanah melainkan dipengaruhi oleh aktivitas tanaman dan populasi mikrob tanah.

Perbandingan Fluks CO2 dari Tanah Gambut dan Tanah Mineral

Hasil penelitian ini menghasilkan fakta yang menarik, yaitu bahwa fluks CO2 dari tanah mineral berbahan organik tinggi tidak berbeda jauh jika

dibandingkan dengan fluks CO2 dari tanah mineral berbahan organik rendah dan

tanah gambut (lihat perbandingan antara Tabel 3 dan Tabel 5). Tabel 5 menyajikan fluks CO2 dari tanah gambut (Sumawinata et al. 2012) dan dari tanah

Tabel 4 pH tanah, C-organik, respirasi tanah, dan populasi mikrob pada penggunaan lahan kebun sayur, hutan, dan tanah bera

(25)

12

mineral Latosol (Hazama 2012). Fluks CO2 dari tanah gambut pada areal terbuka

tanpa vegetasi hasil penelitian Sumawinata et al. (2012) yaitu sebesar 11.06 ton C-CO2/ha/tahun. Besarnya fluks tersebut hampir sama dengan hasil penelitian

Hazama (2012) dari Latosol pada tanah bera dengan bahan organik rendah yaitu sekitar 144.9 mg C-CO2/m2/jam (12.69 ton C-CO2/ha/tahun). Hal ini memberikan

gambaran bahwa kandungan karbon yang terdapat di dalam tanah tidak dapat menentukan jumlah CO2 yang dihasilkan dari tanah. Karbon yang terkandung di

dalam tanah tidak selamanya dapat berubah melalui proses dekomposisi menjadi karbon dalam bentuk CO2 yang dilepaskan ke atmosfer.

Fakta tersebut juga diperkuat dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa fluks CO2 dari Andosol lebih rendah dibandingkan Latosol pada penelitian

Hazama (2012). Padahal kadar C-organik pada tanah mineral Andosol lebih tinggi dibandingkan dengan Latosol. Hasil pengukuran fluks CO2 dari tanah Andosol

kondisi bera pada penelitian ini yaitu sebesar 7.32 ton C-CO2/ha/tahun (lihat

Tabel 3). Hasil ini semakin memperkuat anggapan bahwa total C-organik pada tanah tidak dapat menentukan jumlah fluks CO2 yang dilepaskan dari tanah.

C-organik yang terdapat di dalam tanah dapat terikat kuat oleh tanah, sehingga tidak mudah berubah menjadi karbon dalam bentuk CO2 yang terlepas ke atmosfer.

Sementara itu, dapat dikatakan bahwa tanah gambut, Latosol, dan Andosol dapat menghasilkan nilai fluks CO2 yang hampir sama walaupun jumlah fluks

CO2 yang terukur dari Andosol lebih rendah. Adapun fluks CO2 yang lebih rendah

pada penelitian ini ialah karena terkait dengan perbedaan kondisi tanah dan lingkungan yang mempengaruhi respirasi, seperti suhu tanah atau kelembaban. Interaksi beberapa faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban tanah diduga berpengaruh terhadap penurunan tingkat respirasi tanah dengan adanya perbedaan ketinggian. Perbedaan ketinggian dari permukaan laut dapat mempengaruhi tingkat respirasi (Luo dan Zhuo 2006). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kondisi tanah dan lingkungan mempengaruhi fluks CO2 dari tanah seperti Lessard

et al. (1994) yang menyatakan bahwa kelembaban dan suhu tanah sangat berpengaruh terhadap CO2, dan peningkatan suhu akan meningkatkan fluks CO2.

Tabel 5 Fluks CO2 dari tanah gambut (Sumawinata et al. 2012) dan tanah

mineral (Hazama 2012)

Jenis Tanah Penggunaan Lahan Fluks CO2

(ton C-CO2/ha/tahun) Tanah gambuta A. crassicarpa 3 tahun 34.31

A. crassicarpa 3 tahun (tanpa akar dan serasah) Lahan Terbuka (tanpa vegetasi) 11.06

Latosolb Kebun Kacang Tanah 10.84

(26)

13 Selain itu, Kuswandora (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa suhu yang tinggi dapat meningkatkan CO2 yang dipancarkan dari tanah. Suhu tanah di

lokasi tanah gambut (Sumawinata et al. 2012) dan Latosol (Hazama 2012) menunjukkan rata-rata yang tinggi yaitu 26.8 oC. Sedangkan suhu tanah di lokasi Andosol menunjukkan rata-rata yang lebih rendah yaitu 19.5 oC. Perbedaan kondisi lingkungan seperti yang diperlihatkan dengan suhu yang lebih rendah di lokasi Andosol diduga mempengaruhi jumlah fluks CO2 yang dihasilkan dari

Andosol lebih rendah.

Hal lain yang juga ditunjukkan dari hasil pengukuran fluks CO2 dari tanah

gambut (Sumawinata et al. 2012) dan Latosol (Hazama 2012) yaitu fluks CO2 dari

tanah bera (tanpa vegetasi dan serasah) selalu lebih rendah dibandingkan pada lahan dengan tanaman (lahan pertanian dan hutan) seperti halnya hasil penelitian fluks dari Andosol. Hal ini menegaskan bahwa CO2 dilepaskan dari tanah

sebagian besar dihasilkan dari respirasi akar dan eksudat akar serta aktivitas mikrob di dalam tanah dan lapisan serasah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Fluks CO2 yang dihasilkan dari Andosol pada penggunaan lahan kebun sayur

dan hutan menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu masing-masing sebesar 4.26 g C-CO2/m2/hari dan 4.28 g C-CO2/m2/hari, sedangkan dari tanah bera

lebih kecil yaitu sebesar 2.01 g C-CO2/m2/hari. Fluks CO2 pertahun

berdasarkan hasil pengukuran dari penggunaan lahan kebun sayur, hutan, dan tanah bera secara berturut-turat yaitu sebesar 15.56 ton C-CO2/ha/tahun, 15.62

ton C-CO2/ha/tahun, dan 7.32 ton C-CO2/ha/tahun.

2. Fluks CO2 dari tanah mineral hampir sama dengan fluks CO2 dari tanah

gambut. Hal ini menggambarkan bahwa kandungan karbon di dalam tanah tidak secara langsung mempengaruhi fluks CO2 yang dihasilkan dari tanah.

Selain itu, fluks CO2 dari tanah mineral Andosol (tanah berbahan organik

tinggi) pada penelitian ini menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan tanah mineral Latosol (tanah berbahan organik rendah). Perbedaan kondisi tanah dan lingkungan yang mempengaruhi respirasi tanaman dan mikrob tanah di lokasi penelitian diduga merupakan faktor utama dalam mempengaruhi perbedaan jumlah fluks CO2.

Saran

Perlu dilakukan penelitian mengenai kontribusi masing-masing faktor yang mempengaruhi jumlah CO2 yang dihasilkan pada suatu lahan seperti respirasi akar

(27)

14

DAFTAR PUSTAKA

Anas I. 1988. Biologi Tanah dalam Praktikum. Bogor (ID). Fakultas pertanian: Institut Pertanian Bogor.

Bunnell FL, Tait DEN. 1974. Mathematical simulation models of decomposition processes. Di dalam: Paul EA, dan Clark FE editor. Soil Microbiology and Biochemistry. California (US): Academic Press, Inc.

Flanagan LB, Johnson BG. 2005. Interacting effect of temperature, soil moisture, and plant biomass production on ecosystem respiration in northern temperate grassland. Agricultural and Forest Meteorology 130: 237–253. Hazama F. 2012. Comparison of Greenhouse Gases Emissions from Agricultural

Land in Tropical and Cool Temperate Area [tesis]. Jepang (JP): Hokaido University.

Hogberg P, Bhupinderpal-Singh, Lofvenius MO, Nordgren A. 2009. Partitioning of soil respiration into its autotrophic and heterotrophic components by means of tree-girdling in old boreal spruce forest. Forest Ecology and Management 257.

Hooijer A, Page S, Jauhiainen J, Lee WA, Lu XX, Idris A, Anshari G. 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. Biogeosciences. 9: 1053–1071.

IPCC. 2007. Summary for Policymakers. Di dalam: Solomon S, Qin D, Manning M, Chen Z, Marquis M, Averyt KB, Tignor M, Miller HL, editor. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge, United Kingdom and New York (US): Cambridge University Press.

Koide T, Hatano R, Maximov TC. 2006. Impact of Soil Temperature and Soil Moisture on GHG Fluxes from an Eastern Siberian Taiga Soil at Yakutsk, Rusia. Jepang (JP): Hokaido University Press.

Kuswandora VD. 2012. Emisi Gas CO2 dan Neraca Karbon pada Lahan Jagung, Kacang Tanah dan Singkong di Kecamatan Ranca Bungur, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Lessard R, Rochette P, Topp E, Pattey E, Desjardins RL, Beaumont G. 1994. Methane and Carbon Dioxide Fluxes from Poorly Drained Adjacent Cultivated and Forest Sites. Can. J. Soil Sci. 74: 139-146.

Luo Y, Zhou X. 2006. Soil Respiration and the Environment. California (US): Elsevier.

Sumawinata B et al. 2012. Neraca Karbon Hutan Tanaman Industri pada Rawa Gambut Tropika (Carbon Budget in Forest Plantation on Tropical Peat Swamp). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tate RL. 2000. Soil Microbiology. United States of America (US): John Wiley & Sons, Inc.

Toma Y, Hatano R. 2007. Effect of Crop Residue C:N ratio on N2O emissions from

(28)

15

LAMPIRAN

Lampiran 1 Fluks CO2, suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, dan kadar air tanah

(29)

16

Lampiran 2 Fluks CO2, suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, dan kadar air

(30)

17 Lampiran 3 Fluks CO2, suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, dan kadar air

(31)

18

Lampiran 4 Respon bakteri mesopilik terhadap perbedaan suhu (Tate 2000)

(32)

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 27 Juli 1989 yang merupakan anak ketiga dari pasangan Bapak Ade Sutardi (Alm) dan Ibu Nonoh. Penulis memiliki satu orang kakak laki-laki bernama Tayun Wahyudin dan kakak perempuan bernama Ina Walyina.

Penulis mengawali dunia pendidikan dengan masuk SD Negeri Girimukti pada tahun 1996 dan diselesaikan pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Banjaran dan selesai pada tahun 2005 yang kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Banjaran yang diselesaikan pada tahun 2008. Pada tahun 2008 juga penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai salah satu mahasiwa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian.

Gambar

Gambar 1 Lokasi penelitian pada citra (Digital Globe tahun 2013)
Gambar 3 Titik pemasangan chamber base di lokasi hutan
Gambar 5 Chamber dan chamber base yang digunakan dalam metode ruang
Tabel 2 Analisis tanah di laboratorium
+5

Referensi

Dokumen terkait

pelaksanakan dalam penelitian ini yang terbagi menjadi tiga, yaitu: Tahap Persiapan yaitu Penulis meminta izin terlebih dahulu kepada atasan penulis apakah

bawah yaitu pertiwi(padat), apah(cair), agni (api/ panas), bayu (udara) yang bersifat gas dan paling atas akasa (kosong). Oleh karena itu, semakin ke bawah tubuh manusia,

Infeksi dari pusat catheter seperti central line paling umumnya disebabkan oleh kolonisasi bakteri di kulit dan mukosa .Invasi bakteri atau mikroorganisme menyebabkan terjadinya

Jamalludin dan Zaidatun (2002) menyatakan bahawa pautan atau links membolehkan suatu navigasi tidak linear berbentuk hypermedia dapat dihasilkan. Ini dapat

Gambar 9(a) memperlihatkan sinyal keluaran radio penerima FM dalam kondisi baik jika masukannya tidak melebihi masukan maksimum modul pemancar, sedangkan Gambar 9(b)

uraian diatas maka penulis dalam dalam penelitian ini mengambil judul: “ Studi Komparasi Strategi Think Pair Share dengan Problem Based Introduction terhadap Hasil

Adapun sasaran PPK ini adalah Rumah Tangga Miskin (RTM) atau keluarga yang tergolong ke dalam keluarga pra sejahtera (Pra-KS) atau keluarga yang mengalami ketertinggalan sehingga

Berdasarkan hasil penelitian tingkat pengetahuan ibu nifas tentang perawatan perineum Di BPS Husnul Hotimah A.Md.Keb Kabupaten Bondowoso Tahun 2015 yang telah dilakukan terhadap 11