• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Pelestarian Lanskap Sejarah Periode Kerajaan Terhadap Kesiapan Bogor Sebagai Kota Pusaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Pelestarian Lanskap Sejarah Periode Kerajaan Terhadap Kesiapan Bogor Sebagai Kota Pusaka"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH PERIODE

KERAJAAN TERHADAP KESIAPAN BOGOR

SEBAGAI KOTA PUSAKA

ASTRIE SYAHRINA RAMADHANTI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Evaluasi Pelestarian Lanskap Sejarah Periode Kerajaan Terhadap Kesiapan Bogor Sebagai Kota Pusaka” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

ASTRIE SYAHRINA RAMADHANTI. Evaluasi Pelestarian Lanskap Sejarah Periode Kerajaan Terhadap Kesiapan Bogor Sebagai Kota Pusaka. Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR.

Kota Bogor memiliki banyak pusaka berupa artefak sejarah yang mengindikasikan keberadaan Kerajaan Pajajaran. Kota Pakuan sebagai ibukota kerajaan dahulu wilayahnya mencakup bagian selatan Kota Bogor dan memiliki berbagai peninggalan yang harus dilestarikan. Penetapan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka perlu didukung oleh kajian menyeluruh terhadap kawasan pusaka Periode Kerajaan sebagai suatu evaluasi kesiapan kota. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi wilayah Kota Pakuan dan memetakan artefak peninggalannya baik berupa benda maupun nonbenda, mengidentifikasi nilai signifikansi lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor, dan menyusun rekomendasi tindakan pelestarian lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor. Metode penelitian yang dilakukan adalah survei lapang, wawancara kepada masyarakat dan ahli sejarah, metode cultural mapping, dan teknik analisis isi dengan pendekatan statistika nonparametrik yaitu teknik penskalaan Likert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 5 benda cagar budaya, 1 benda potensi cagar budaya, dan 5 batas fisik lanskap pada lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor. Dilakukan pemetaan terhadap elemen-elemen tersebut ke dalam suatu cultural map dengan memetakan pula artefak nonbenda berupa basis pengrajin lokal sebanyak 5 basis. Hasil analisis karakteristik lanskap sejarah menunjukkan bahwa perilaku masyarakat, kontribusi pemerintah, dan nilai signifikansi sejarah menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan lanskap. Analisis ini menghasilkan tindakan pelestarian dengan pendekatan preservasi terhadap lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor. Perlu dilakukan pendataan ulang dan kajian menyeluruh terhadap semua elemen lanskap sejarah agar tidak ada lagi elemen yang terbengkalai dan mencegah kondisi fisik yang semakin lama semakin menurun akibat laju pembangunan kota. Terkait hal tersebut maka kerjasama antara masyarakat dan pihak pemerintah Kota Bogor diperlukan, juga dengan penyebaran cultural map Periode Kerajaan di Kota Bogor dalam upaya mendukung kesiapan Bogor sebagai Kota Pusaka.

Kata kunci: analisis isi, artefak sejarah, kota pusaka, lanskap sejarah, pemetaan budaya

ABSTRACT

ASTRIE SYAHRINA RAMADHANTI. The Evaluation of Historical Landscape Preservation of the Kingdom Era to Support Bogor as the City of Heritage. Supervised by ARIS MUNANDAR.

(6)

This study aims to identificate Pakuan’s territory and compile a map containing the heritage assets either in the form of objects or non-objects, identificate the historical landscape’s significance value, and to establish the preservation plan of historical landscape of Kingdom Era in Bogor City. The methods that used in this research were field survey, interviews with the community and historians, cultural mapping method, and content analysis technique with Likert scaling technique as non-parametric statistical approach. The results shows there were 5 heritage objects, 1 object potential to be a heritage object, and 5 landscape physical boundaries. The cultural mapping process contained all of the artifacts and 5 local craftsmen quarters as non-object heritage assets. The historical landscape’s characteristic analysis shows that community’s behavior, government’s contribution, and historical significance values contributed into making the factors that affects the sustainability of the landscape. The analysis processes were resulting in protecting the historical landscape of Kingdom Era in Bogor City with preservation apporach in order to overcome the issue of unrecorded elements and to prevent the decreasing physical situation of the elements because of mass urban development. In relation to that, an integrated collaboration between the community and the government is needed, which will be supported with the distribution of cultural map of Kingdom Era in Bogor City on order to support the city’s readiness as a City of Heritage.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur Lanskap

pada

Departemen Arsitektur Lanskap

EVALUASI PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH PERIODE

KERAJAAN TERHADAP KESIAPAN BOGOR

SEBAGAI KOTA PUSAKA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disetujui oleh

Dr. Ir. Aris MS Pembimbing

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wataala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah pelestarian lanskap sejarah dengan judul “Evaluasi Pelestarian Lanskap Sejarah Periode Kerajaan Terhadap Kesiapan Bogor Sebagai Kota Pusaka”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang terlibat dan turut memberikan kontribusi dalam proses penelitian dimulai dari tahap awal hingga tahap penyelesaian penulisan karya ilmiah ini, yaitu kepada:

1. Dr. Ir. Aris Munandar, MS selaku dosen pembimbing penelitian atas bimbingan, perhatian, arahan, dan masukannya selama penelitian.

2. Ayah, Ibu, kedua kakak, dan seluruh keluarga besar atas kasih sayang, doa, perhatian, dan dukungan yang tak terhingga untuk penulis.

3. Ibu Dewi Rezalini Anwar, SP, MAdes. selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan, perhatian, dan arahannya selama penulis menjalani kegiatan akademik.

4. Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, MS dan Dr. Ir Setia Hadi, MS selaku dosen penguji atas saran, kritik, dan masukan yang sangat membangun pada pelaksanaan sidang skripsi.

5. Bapak Yuhana Saputra, Ibu Endang Wahyuningsih, dan seluruh pegawai kantor Kelurahan Batutulis atas informasi yang diberikan selama kegiatan penelitian berlangsung.

6. Mr. Herwig Zahorka, MSc. selaku narasumber sejarah.

7. Bapak Yayat, Ibu Ikah, Ibu Lia, Bapak Agus, dan Ibu Siti Zariyah selaku ketua Rukun Warga di Kelurahan Batutulis, serta seluruh warga Kelurahan Batutulis yang telah berkontribusi dalam proses wawancara penelitian. 8. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor, dan Dinas

Kebudayaan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Kota Bogor atas informasi yang diberikan selama kegiatan penelitian berlangsung.

9. Prajana Paramita Sari Puspita, Rakhmi Fitriani, Menisa Putri Savira, Aliifah Ghassanii, Elisa Noviyani, dan Aditya Pratama atas semangat dan motivasi yang selalu diberikan untuk penulis.

10.Muhammad Fauzi Hadi dan Widia Yuli Sevtiani selaku teman seperjuangan satu bimbingan atas kerjasamanya.

11.Seluruh teman-teman Departemen Arsitektur Lanskap angkatan 48/2011 atas segala dukungan dan kebersamaannya selama penulis melaksanakan studi dan menyelesaikan penelitian.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor.

Bogor, September 2015

(12)

DAFTAR ISI

Perkembangan Kebudayaan Sunda 4 Kerajaan Sunda 4 Lanskap Sejarah 5 Benda Cagar Budaya 5 Nilai Signifikansi dalam Piagam Burra 6 Kota Pusaka 7 Pelestarian Lanskap Sejarah 7 Cultural Mapping 9 Tiga Pilar Berkelanjutan 10 Analisis Isi 11 2. Tahap Inventarisasi Data 14 3. Tahap Analisis Data 15 4. Tahap Penyusunan Tindakan Pelestarian Lanskap Sejarah 22 HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Sejarah Perkembangan Kota Bogor 22

1. Keberadaan Kerajaan Pajajaran di Tanah Sunda 23 2. Bogor Sebagai Pusat Kerajaan Pakuan Pajajaran 24 3. Pakuan Ibukota Kerajaan Pajajaran 25 4. Sistem Perekonomian 25 5. Kegiatan Pertanian 25 6. Kegiatan Perdagangan dan Industri Rumah 27 7. Kehidupan Berbudaya dan Etika Masyarakat Sunda 28 Delineasi Kawasan Bersejarah Kota Bogor 29

Kondisi Umum Kawasan 29

1. Kota Bogor 30

(13)

Analisis Karakteristik Lanskap Sejarah Periode Kerajaan 31

Elemen Lanskap Sejarah 31

1. Batas Fisik Lanskap Sejarah 32

1.1 Gerbang Menuju Keraton 33 1.2 Tempat Penobatan Raja 34 1.3 Jalan Masuk Menuju Pakuan 34 1.4 Bekas Parit 35 1.5 Sisa Benteng Pakuan 36 Delineasi Batas Fisik Lanskap Sejarah 38 2. Objek Lanskap Sejarah 43

Situs Cagar Budaya 43 2.1 Situs Prasasti Batutulis 43 2.2 Situs Arca Purwagalih 45 2.3 Situs Batu Congkrang 46 2.4 Situs Kupalandak 46 2.5 Situs Ranggapati 47 Potensi Benda Cagar Budaya 49 Persebaran Objek Lanskap Sejarah 49 Analisis Nilai Signifikansi Lanskap Sejarah 50

Cultural Map 52 Basis Pengrajin Lokal 52

1. Pengrajin Wayang Golek ‘Marcapada’ 52

2. Pengrajin Wayang Bambu ‘Wayang Puppet’ 52

3. Pengrajin Alat Kesenian Bambu ‘Gapura Sangkia Purasaba’ 53

4. Pengrajin Alat Kesenian Gong ‘Gong Factory’ 53

5. Pengrajin Senjata Kujang ‘Paneupaan Kujang Pajajaran’ 54

Cultural Map 54 Analisis Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat 56

Rekomendasi Tindakan Pelestarian Lanskap Sejarah 65 Pendataan Ulang dan Kajian Menyeluruh 65

Peningkatan Kerjasama Antara Masyarakat dan Pemerintah 66

Distribusi Cultural Map 66

SIMPULAN DAN SARAN 66

Simpulan 67 Saran 67 DAFTAR PUSTAKA 67 LAMPIRAN

(14)

DAFTAR TABEL

1 Tindakan pelestarian kawasan sejarah 8

2 Lima langkah utama Cultural Mapping 10

3 Tahapan teknik analisis isi 11

4 Alat dan bahan yang digunakan 13

5 Jenis data yang diperlukan 14

6 Perbandingan frasa-frasa yang muncul dalam pustaka 15

7 Deskripsi basis pengrajin lokal 16

8 Perbandingan frasa-frasa berdasarkan pustaka Ekadjati 17 9 Sepuluh kriteria Outstanding Universal Value of World Heritage 17

10 Kriteria penilaian kualitas lanskap 18

11 Skor penilaian komponen persepsi masyarakat terhadap aspek (...) 20 12 Skor ideal penilaian persepsi masyarakat terhadap aspek (...) 21 13 Rating Scale penilaian persepsi masyarakat terhadap aspek (...) 21 14 Indeks jawaban penilaian persepsi masyarakat terhadap aspek (...) 21

15 Deskripsi penilaian Derajat Kepentingan 22

16 Tindakan pelestarian terhadap elemen pada lanskap sejarah 22 17 Komoditi pertanian masyarakat Sunda jaman Pajajaran 26 18 Keberadaan batas fisik lanskap sejarah peninggalan Pakuan 41 19 Penilaian keaslian, keunikan, kondisi fisik dan lingkungan 51 20 Nilai signifikansi lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor 52

21 Deskrisi basis pengrajin lokal 55

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 3

2 Korelasi tiga pilar berkelanjutan 11

3 Lokasi penelitian 12

4 Naskah Carita Parahiyangan 23

5 Peta wilayah Kerajaan Sunda (Pajajaran) 24

6 Masyarakat Sunda 26

7 Senjata pada budaya Sunda 28

8 Pelabuhan Sunda Kelapa 28

9 Penggilingan padi dalam lumbung 29

10 Peta delineasi kawasan bersejarah Kota Bogor 29

11 Peta wilayah Batutulis 31

12 Wilayah Kelurahan Batutulis menghadap Gunung Salak 32

13 Sungai Cisadane 32

14 Kondisi gerbang menuju keraton 33

15 Kondisi tempat penobatan raja 34

16 Kondisi jalan masuk menuju Pakuan 34

17 Kondisi Tanjakan Bondongan 35

18 Tebing Cipaku 35

19 Rel kereta Layungsari 36

20 Rel kereta Batutulis 36

21 Bentangan rel kereta api di Jalan Batakal 36

22 Sisa benteng Pakuan 37

23 Kondisi sisa benteng Pakuan 37

24 Sisa benteng Pakuan tertutup pagar 37

25 Kondisi sisa benteng Pakuan di Bondongan 38

26 Kondisi sisa benteng Pakuan di Sukasari-Tajur 38

27 Perkiraan delineasi pusat Kerajaan Pajajaran 39

28 Perkiraan delineasi benteng Pakuan 39

29 Delineasi sisa benteng Pakuan 40

30 Papan informasi Situs Batutulis 44

31 Cungkup Situs Batutulis 44

32 Objek di dalam Situs Batutulis 44

33 Kondisi di dalam Situs Arca Purwagalih 45

34 Kegiatan sesajen dalam Situs Arca Purwagalih 46

35 Kondisi Situs Batu Congkrang 46

36 Papan informasi Situs Kupalandak 47

37 Kondisi makam Situs Kupalandak 47

38 Papan informasi Situs Ranggapati 48

39 Potensi Benda Cagar Budaya 48

40 Pasangan menhir dan stone slab Gang Amil 48

41 Jalan masuk Gang Amil 49

42 Persebaran objek-objek lanskap sejarah 50

43 Produk wayang tradisional Marcapada 53

44 Produk wayang bambu Wayang Puppet 53

45 Bangunan Gong Factory 54

(16)

47 Grafik penilaian persepsi masyarakat terhadap Kota Pusaka 60 48 Grafik penilaian persepsi masyarakat terhadap Aset Kota Pusaka 61 49 Grafik penilaian persepsi masyarakat terhadap penguatan karakter lanskap 62 50 Grafik penilaian persepsi masyarakat terhadap pelestarian lanskap sejarah 63 51 Grafik penilaian persepsi masyarakat terhadap pengembangan usaha lokal 64 52 Grafik penilaian persepsi masyarakat terhadap keberadaan fasilitas 65

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuisioner pengetahuan dan persepsi masyarakat 2 Data umum responden

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dalam perkembangannya telah melewati berbagai periode sejarah, salah satunya Periode Kerajaan Hindu-Buddha. Menurut Al-Anshori (2007), peristiwa masuk dan berkembangnya agama Hindu dan Buddha yang dibawa oleh pedagang India menyebabkan dimulainya Periode Kerajaan Hindu-Buddha. Periode ini kemudian dianggap menjadi titik bagi perkembangan bangsa Indonesia.

Peristiwa runtuhnya Kerajaan Tarumanagara sebagai kerajaan tertua bercorak Hindu-Buddha di Pulau Jawa menyebabkan kemunculan dua kerajaan baru, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Wilayah Kerajaan Sunda berlokasi di bagian barat Pulau Jawa, sementara wilayah Kerajaan Galuh berada di bagian timur. Kedua wilayah tersebut dikenal dengan sebutan Tatar Sunda atau Tanah Sunda. Dewasa ini, meskipun kebudayaan Sunda telah mengalami proses akulturasi antara budaya Islam dengan budaya Barat pada perkembangannya, masyarakat Sunda tetap menganggap bahwa kebudayaan Sunda murni terbentuk dan berkembang pada masa Kerajaan Sunda. Mereka juga menganggap Kerajaan Sunda sebagai negara ideal warisan leluhur yang mencerminkan masa kejayaan, kemerdekaan, dan kemakmuran di Tanah Sunda (Ekadjati 2009).

Setelah Kerajaan Sunda runtuh, masyarakat Sunda menyebut kerajaan ini sebagai Kerajaan Pajajaran. Hal ini merujuk pada kebiasaan penggunaan nama ibukota dan keraton kerajaan yang digunakan pula untuk menamai kerajaan. Nama ibukota Kerajaan Pajajaran disebutkan dalam naskah-naskah Sunda kuno, yaitu Pakuan atau Pakuan Pajajaran (Danasasmita et al. 1983). Terdapat pula laporan dan catatan perjalanan, salah satunya milik Tomè Pires berjudul Suma Oriental yang menceritakan perjalanannya ke ibukota Kerajaan Pajajaran, yaitu Dayo atau Dayeuh. Dayo merujuk pada nama Pakuan dan pada saat ini wilayahnya berada di Kota Bogor (Zahorka 2007).

Peninggalan Kerajaan Sunda terdapat dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak. Keberadaan benda-benda tersebut dideskripsikan pada batu prasasti dan naskah kuno. Kedua sumber tersebut berperan sebagai sumber sejarah primer yang memiliki nilai tinggi karena disusun pada saat kerajaan masih ada. Salah satu benda peninggalan tidak bergerak yang terdapat di bagian selatan Kota Bogor adalah Situs Prasasti Batutulis dan Gerbang Pakuan Pajajaran (Danasasmita 1979). Terdapat situs-situs lainnya di sekitar Situs Prasasti Batutulis yang menyimpan berbagai artefak bersejarah seperti tugu batu tunggal (menhir), tugu penobatan (lingga), meja batu berundak (punden berundak), hingga patung arca. Selain itu terdapat pula sisa-sisa batas Pakuan seperti gerbang kota, alun-alun, jalan masuk keraton, hingga sisa benteng kerajaan yang diapit parit (Danasasmita 2014).

(18)

2

mengenai sejarah dan kebudayaan Sunda mengakibatkan ketidakpahaman masyarakat terhadap asal-usul leluhur mereka. Hal ini haruslah menjadi perhatian tidak hanya bagi masyarakat Sunda di Kota Bogor saja tetapi juga Pemerintah Kota untuk melakukan kajian lebih lanjut terhadap elemen-elemen peninggalan dalam lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor kemudian menerapkan tindakan pelestarian yang tepat, sesuai dengan pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, Piagam Burra, dan Konvensi Warisan Dunia UNESCO.

Pelestarian cagar budaya bertumpu pada dua aspek utama, yaitu pelestarian terhadap nilai budaya dan pelestarian terhadap bukti bendawi (artefak). Menurut Schiffer dan Gummerman (1997), pelestarian ini menjamin nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya sehingga dapat diapresiasi oleh masyarakat. Nilai-nilai tersebut direpresentasikan oleh bukti fisik yang harus dijaga kondisinya dari aspek keaslian dan keutuhan. Pengembangan konsep pelestarian benda cagar budaya yang baik dapat dilakukan dengan pendekatan Tiga Pilar Berkelanjutan. Menurut Elkington (1998), agar suatu kegiatan berkelanjutan, instansi yang terlibat dalam kegiatan tersebut tidak boleh hanya mengejar keuntungan saja, tetapi juga memperhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat serta berkontribusi dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Keberadaan elemen-elemen lanskap sejarah peninggalan Pakuan di Kota Bogor merupakan hal yang patut dibanggakan oleh masyarakat, karena peninggalan tersebut merupakan aset bersejarah yang memberikan keunikan tersendiri. Pelestarian yang tepat dapat membangkitkan semangat patriotisme masyarakat untuk menjadikan Kota Bogor sebagai kota terdepan di wilayah Tatar Sunda.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dimana batas wilayah kekuasaan Pakuan yang terdapat di Kota Bogor? 2. Apa sajakah bentuk artefak bersejarah peninggalan Pakuan yang

tersebar di wilayah kekuasaannya?

3. Seberapa jauh masyarakat yang tinggal di bekas wilayah kekuasaan Pakuan mengenal, mengetahui, dan mengapresiasi artefak bersejarah peninggalan Pakuan sebagai suatu benda cagar budaya?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk:

1. mengidentifikasi wilayah kekuasaan Pakuan di Kota Bogor dan memetakan artefak bersejarah peninggalannya,

2. menganalisis nilai signifikansi lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor, dan

3. menyusun rekomendasi konsep pelestarian lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor.

(19)

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi:

1. masyarakat Kota Bogor dalam mempelajari lebih lanjut lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor sebagai salah satu kawasan pusaka, 2. pemerintah Kota Bogor dalam upaya peninjauan kembali sejarah Kota

Bogor pada Periode Kerajaan, dan

3. perkembangan kawasan pusakan Periode Kerajaan terkait kesiapan Kota Bogor sebagai Kota Pusaka.

Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian dilakukan dengan dasar pemikiran bahwa Kota Bogor bagian selatan merupakan bekas wilayah kekuasaan Pakuan. Artefak bersejarah hasil peninggalan Pakuan saling memiliki keterkaitan nilai sejarah dan menjadi suatu penciri khas bagi masyarakat Sunda. Pengetahuan dan apresiasi mengenai hal tersebut dapat membantu terlaksananya pengembangan pelestarian lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor (Gambar 1).

(20)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah Sunda

Berdasarkan proses pembentukan dan bentuk fisiografisnya, Tanah Sunda terdiri dari 4 jalur fisiografi yang arahnya dari barat menuju ke timur, yaitu 1) zona Pegunungan Selatan, 2) zona Bandung, 3) zona Bogor, dan 4) zona Jakarta. Zona-zona tersebut kemudian didatangi kelompok manusia dan fauna yang bermigrasi dari berbagai daerah di daratan benua Asia (Ekadjati 2009). Kelompok-kelompok manusia di Tanah Sunda kemudian membangun pemukiman. Umumnya pemukiman mereka berlokasi di daerah yang dekat sumber air seperti danau, mata air, dan sungai. Pemilihan lokasi pemukiman tidak hanya dilihat dari fungsi kebutuhan pangan saja, namun juga fungsi pelindung dari gangguan binatang buas dan serangan musuh yaitu dengan membangun benteng dan parit. Hal ini dapat dilihat dari pemukiman yang dikelilingi daerah perbukitan. Pemukiman yang pernah ada di Tanah Sunda diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu pemukiman di daerah pesisir dan di daerah muara aliran sungai.

Masyarakat Sunda masa kini mengenal Tanah Sunda dengan sebutan lain seperti Tatar Sunda dan Priangan atau Parahyangan. Wilayah yang tercakup di dalamnya yaitu Bogor, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Cimahi, Sumedang, Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya. Lanskap Tanah Sunda yang dibentuk oleh dataran rendah, perbukitan, rangkaian gunung, dan aliran sungai menjadikan Tanah Sunda sebagai wilayah agraris yang subur (Hardjasaputra 2004).

Perkembangan Kebudayaan Sunda

Kebudayaan Sunda telah mengalami beberapa perubahan besar ditinjau dari sudut pengaruh kebudayaan luar. Secara kronologis, kebudayaan-kebudayaan yang mempengaruhi karakteristik kebudayaan Sunda yaitu 1) kebudayaan Hindu-Buddha, 2) kebudayaan Islam, 3) kebudayaan Jawa, 4) kebudayaan Barat, dan 5) kebudayaan Nasional. Globalisasi yang terjadi dewasa ini juga turut mempengaruhi proses akulturasi kebudayaan Sunda. Namun bagi masyarakat Sunda, kebudayaan Sunda murni sebagai warisan leluhur dianggap berada pada masa kejayaan Kerajaan Sunda. Mereka juga berpendapat bahwa Kerajaan Sunda adalah negara ideal yang mencerminkan masa kejayaan, kemerdekaan, dan kemakmuran Tanah Sunda sehingga penghormatan terhadapnya masih dilakukan hingga saat ini (Ekadjati 2009).

Kerajaan Sunda

(21)

berita-berita mengenai Tanah Sunda selama berabad-abad. Pemerintahan mereka berjalan beriringan dan seringkali Raja Sunda memerintah Kerajaan Galuh dan sebaliknya. Pemerintahan ibukota kerajaan juga sering berpindah-pindah antara Pakuan (Kerajaan Sunda) dan Kawali (Kerajaan Galuh). Bagi bangsa-bangsa asing yang pernah mengunjungi Tanah Sunda dan menceritakannya dalam laporan perjalanan, kedua kerajaan tersebut hanya dikenal dengan nama Kerajaan Sunda dan wilayahnya mencakup seluruh Tanah Sunda (Cortesao 1944). Begitu pula dari penjelasan dalam Kitab Pararaton (Brandes 1920) dan Kidung Sundayana (Berg 1928) sehingga untuk masa-masa selanjutnya, kedua kerajaan tersebut umum disebut sebagai Kerajaan Sunda yang memerintah Tanah Sunda.

Lanskap Sejarah

Lanskap adalah suatu bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya melalui seluruh indera yang dimiliki manusia (Simonds dan Starke 2006). Lanskap sejarah merupakan bagian dari peninggalan kebudayaan dalam periode waktu tertentu. Manusia menciptakan pola fisik sebagai hasil kebudayaan yang diekspresikan melalui nilai dan sikap dalam bentuk peninggalan artefak. Bentuk peninggalan ini menjadi suatu bukti yang membantu memahami suatu motif kesejarahan (Lennon dan Matthews 1996).

Lanskap sejarah memiliki karakteristik penciri yang membantu identifikasi keberadaan elemen dan batas dari suatu lanskap sejarah. Karakteristik penciri tersebut dapat berupa pola vegetasi, topografi, bentukan air, jalanan, jalur, pijakan, dinding, bangunan, gerbang, hingga patung. Jenis lanskap sejarah yang berbeda akan memiliki karakteristik penciri yang berbeda pula (PHMC 2015). Secara sederhana menurut Harris dan Dines (1988), lanskap sejarah dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu dan merupakan bentuk fisik dari keberadaan manusia di atas bumi.

Benda Cagar Budaya

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (2014), bahwa pada butir:

a. Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya, sehingga perlu dilestarikan dan dikelola melalui upaya perlindungan.

b. Cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dengan meningkatkan peran serta masyarakat. c. Diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan

ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemudian lebih lanjut pada Pasal 1, bahwa pada butir ke:

2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian lainnya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

(22)

6

Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada maa lalu.

Sementara itu, konsep benda cagar budaya juga perlu dilihat pada Konvensi Warisan Dunia UNESCO (2015) pasal 1B, bahwa butir ke-4 menyatakan:

“Pusaka budaya dan alam adalah pusaka yang tidak ternilai dan merupakan aset yang tidak tergantikan; tidak hanya dari masing-masing negara tetapi dari aspek kemanusiaan secara utuh. Kerugian, baik dari kerusakan atau kehilangan, dari setiap aset pusaka merupakan suatu bentuk kemiskinan pusaka semua bangsa di dunia. Kualitas pusaka dapat dianggap memiliki “Outstanding Universal Value” dan layak mendapatkan perlindungan khusus terhadap semua bahaya yang mengancam”.

Nilai Signifikansi dalam Piagam Burra

Susanto dan Tarekat (1999) menerjemahkan Piagam Burra, yaitu Piagam ICOMOS (International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites) sebagai panduan untuk konservasi dan pengelolaan tempat-tempat bersignifikansi budaya (tempat-tempat-tempat-tempat pusaka budaya) dan disusun berdasarkan pada pengetahuan dan pengalaman para anggota ICOMOS. Piagam ini dapat diterapkan pada semua jenis tempat yang mempunyai signifikansi budaya termasuk tempat-tempat alam (natural), asli (indigenous), dan tempat-tempat bersejarah yang memiliki nilai budaya. Pada pasal 1, disebutkan bahwa pada butir ke:

1. Tempat artinya situs, area, lahan, lanskap, bangunan atau konstruksi sejenis, kelompok bangunan atau konstruksi sejenis, dan dapat juga termasuk komponen, isi, ruang, dan pemandangan.

2. Signifikansi budaya artinya nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial, atau spiritual untuk generasi dahulu, kini atau masa datang.

Signifikansi budaya tersirat dalam 9 variabel, yaitu: 1. Tempat itu sendiri (place)

2. Bahan-bahan (fabric) 3. Tata letak (setting) 4. Fungsi (use)

5. Asosiasi (associations) 6. Makna (meanings) 7. Rekaman (records)

8. Tempat-tempat terkait (related places) 9. Obyek-obyek terkait (related objects)

Tempat-tempat bersignifikansi budaya yang memperkaya kehidupan manusia seringkali memberikan ikatan rasa romantisme tempat yang mendalam dan inspirasional kepada masyarakat dan lanskapnya. Tempat-tempat tersebut adalah rekaman sejarah yang penting dijadikan sebagai ekspresi nyata identitas suatu tempat. Signifikansi budaya tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait, dan obyek-obyek terkait. Signifikansi budaya dapat berubah sebagai akibat dari kontinuitas sejarah sebuah tempat.

(23)

“melakukan tindakan sebanyak yang diperlukan untuk memelihara tempat tersebut dan membuatnya bermanfaat, tetapi sebaliknya rubahlah sesedikit mungkin sehingga signifikansi budayanya terjaga”.

Kota Pusaka

Secara geografis, kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomi yang heterogen dan bercorak materialistis (Bintarto 1998). Lebih lanjut Bintarto menjelaskan bahwa kota dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non-alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar. Kata ‘pusaka’ secara terminologis merupakan terjemahan dari bahasa Inggris heritage. Penyebutan kata ‘pusaka’ memiliki tujuan yaitu untuk melindungi kebudayaan baik benda maupun nonbenda, agar dapat memantapkan jati diri bangsa (Syahadat 2014).

Kota Pusaka dalam konteks penataan ruang merupakan rumusan dan langkah strategi penataan ruang kota dalam sinergi kegiatan pelestarian yang tepat. Tidak hanya melibatkan kebijakan atau keputusan dan berbagai bentuk advokasi maupun mitigasi terkini, namun penting untuk mempertimbangkan kota dalam peradabannya di masa lampau.

Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang besar yang terwujud dan berisikan keragaman pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak ragawi, serta saujana. Telah dilansir pula dari Jaringan Kota Pusaka Indonesia (2015) bahwa maksud dicanangkannya Kota Pusaka yakni untuk mewujudkan reformasi di bidang perencanaan dari tataran perencanaan RTRW ke arah aksi implementasi konkrit yang berbasis kekuatan ruang kota dengan nilai-nilai pusaka yang di dalamnya sebagai tema utama. Program ini juga dimaksudkan untuk mendorong diakuinya Kota Pusaka Indonesia sebagai Kota Pusaka Dunia oleh UNESCO. Istilah Kota Pusaka saat ini dipakai untuk mendefinisikan sebuah bentuk kota yang menempatkan penerapan kegiatan pelestarian pusaka (heritage) sebagai strategi utama pengembangan kotanya (Adishakti 2008).

Malaon (2015) mengungkapkan bahwa pelestarian Kota Pusaka bukan semata-mata proyek revitalisasi bangunan ataupun kawasan, melainkan sebuah upaya mempertahankan atau mengembalikan identitas maupun ciri khas secara berkelanjutan. Agar efektif dalam pelaksanaannya, diperlukan upaya komprehensif yang menyentuh aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan serta melibatkan seluas mungkin ragam pemangku kepentingan, seperti komunitas peduli pusaka, pengusaha, akademisi, dan pemerintah.

Pelestarian Lanskap Sejarah

(24)

8

kultural atau budaya, ideologikal, dan etnikal suatu kelompok masyarakat. Lanskap sejarah ini juga dapat dinyatakan sebagai suatu kawasan geografis yang merupakan obyek atau susunan atas suatu kejadian atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia. Umumnya lanskap ini dibentuk melalui perpaduan antara unsur alam dan unsur budaya dengan skala dan cakupan area tertentu seperti area perkotaan dan area pedesaan.

Dalam konteks lanskap sejarah, lanskap menurut Goodchild (1990) merupakan area yang memiliki karakteristik-karakteristik tertentu atau berupa komposisi beberapa feature atau bentukan yang menjadikan area tersebut dapat dikenali sebagai tipe-tipe lanskap sejarah yang telah diakui. Menurutnya, suatu lanskap dikatakan memiliki daya tarik historis apabila di dalamnya memuat satu atau beberapa kondisi lanskap berikut ini:

1. merupakan contoh yang menarik dari sebuah tipe lanskap sejarah, 2. memuat bukti yang menarik untuk mempelajari sejarah tentang tata

guna lahan, lanskap dan taman, atau sikap budaya terhadap lanskap dan taman,

3. memiliki keterkaitan dengan seseorang, masyarakat, atau peristiwa penting dalam sejarah, dan

4. memiliki nilai-nilai sejarah dengan bangunan atau monumen bersejarah. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 1 butir 22 (2014), pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Pemanfaatan disini apabila dilansir dari pasal yang sama butir 33 bahwa pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.

Sementara itu tindakan dari kegiatan pelestarian adalah berbagai upaya atau proses penerapan cara-cara untuk dapat mempertahankan, mendukung keutuhan bentuk dan karakter dari suatu daerah, tapak, dan termasuk juga elemen pembentuknya. Harris dan Dines (1988) mengemukakan beberapa bentuk tindakan pelestarian lanskap sejarah yang umum dilakukan (Tabel 1).

Tabel 1 Tindakan Pelestarian Kawasan Sejarah

No Pendekatan Definisi Implikasi

1 Preservasi Mempertahankan tapak seperti kondisi awal tanpa melakukan penambahan maupun merusaknya.

* Intervensi (campur tangan) rendah, melindungi lanskap sejarah tanpa perusakan.

* Tanpa membedakan perkembangan tapak.

2 Konservasi Mencegah bertambahnya kerusakan pada tapak atau elemen tapak.

* Melindungi lanskap bersejarah, terkadang melibatkan sedikit penambahan atau penggantian. * Pemakaian teknologi dan adanya pengujian secara keilmuan.

3 Rehabilitasi Meningkatkan standar moderen dengan tetap memperkenalkan dan

(25)

Tabel 1 Tindakan Pelestarian Kawasan Sejarah (lanjutan)

No Pendekatan Definisi Implikasi

3 Rehabilitasi (...) mempertahankan karakter sejarah.

* Adanya kesatuan antara elemen sejarah dan moderen.

* Melibatkan tingginya tingkat intervensi, sehingga semakin menghilangkan lanskap sejarah. 4 Restorasi Mengembalikan seperti

kondisi awal (tempo dulu) sebisa mungkin.

* Mengembangkan penelitian kesejarahan secara luas dan tepat. * Pada umumnya melibatkan tingkat intervensi yang tinggi.

* Penggantian konstruksi dan desain.

5 Rekonstruksi Menciptakan kembali seperti kondisi awal, dimana tapak

6 Rekonstitusi Menempatkan atau mengembalikan periode

Sumber: Harris dan Dines (1988)

Cultural Mapping

Moore dan Borrup (2006) menjelaskan bahwa cultural mapping tidak hanya merupakan metode katalogisasi aset-aset budaya terhadap suatu komunitas, tetapi juga merupakan sebuah alat yang berfungsi untuk keterlibatan masyarakat di dalamnya. Cultural mapping adalah proses identifikasi semua aset budaya dalam satu area geografis tertentu dan kemudian menyatakannya dalam bentuk data tertulis maupun data visual. Culture atau budaya yang dimaksud termasuk diantaranya seni, pusaka, kepercayaan, dan lingkungan yang memberikan identitas bagi masyarakat. Aset dapat berupa fasilitas, organisasi, orang, ide, adat istiadat, dan hubungan yang berkontribusi terhadap cara hidup di tempat tertentu. Sementara komunitas atau community yang dimaksud mengacu pada sekelompok masyarakat dalam suatu wilayah geografis tertentu, misalnya bagian negara, wilayah, kota, dan ketetanggan (neighborhoods).

(26)

10

Tabel 2 Lima Langkah Utama Cultural Mapping

No Langkah Deskripsi

1 Planning

(Perencanaan) * Proses pemetaan budaya harus dimulai dengan kapasitas internal dan penilaian keterhubungan masyarakat. Dalam hal ini, pemeriksaan internal diperlukan untuk memastikan bahwa semua ide, sumber daya, dan kemitraan yang dibangun dapat terorganisir.

* Mengajak masyarakat untuk terlibat dalam proses ini dapat membangun rasa kepemilikan. Peta budaya disini berfungsi menguatkan rasa kepemilikan dari masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggal mereka (sense of place).

2 Mapping Design (Mendesain Pemetaan)

* Peta budaya dapat berupa bentuk, misalnya data tertulis, peta GIS (Geographic Information System), atau peta yang digambar manual. Desain yang dipilih tidak hanya bergantung pada teknologi dan pendanaan yang ada, tetapi juga pada kualitas lingkungan komunitas.

3 Community Support & Insight (Wawasan & Dukungan Masyarakat)

* Mengumumkan proyek pemetaan budaya kepada komunitas, mengajak masyarakat untuk ikut serta, dan mengadakan berbagai pertemuan dan forum kelompok atau focus groups.

* Pengumuman ini adalah sebagai cara untuk menemukan identitas atau karakter unik dari masyarakat atau untuk mempelajari secara lebih mendetil mengenai aset-aset budaya yang dimiliki.

4 Creating the Map

(Membuat Peta) * Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan peta budaya krusial untuk dipertahankan, bahkan hingga proses implementasi kedepannya.

* Transparasi dibutuhkan untuk membangun kepercayaan di antara organisasi yang menyusun peta dan masyarakat yang terlibat.

5 Finalizing the Map (Finalisasi Peta)

* Peta budaya diperkenalkan ke masyarakat umum untuk membuat mereka antusias meningkatkan keterlibatan masyarakat secara lebih luas.

Sumber: Moore dan Borrup (2006)

Pemetaan budaya yang kolaboratif memberikan kontribusi bagi pemahaman isu-isu sosial dan lingkungan. Masyarakat pada suatu tempat diberikan kesempatan untuk mengintegrasikan pengetahuan mereka mengenai wilayah mereka dengan meningkatkan dan mempertahankan pengetahuan tersebut melalui berbagai aksi yang melibatkan mereka sendiri, sesuai dengan konteks sosial dan kepentingan bersama. Apabila suatu komunitas masyarakat dapat mengutarakan pemikiran dan merepresentasikan pengetahuan akan wilayah tempat tinggalnya, komunitas masyarakat itu akan menciptakan media yang dibutuhkan untuk menetapkan kebijakan, mengelola sistem produksi, menerapkan konsep pelestarian, dan meningkatkan kualitas hidup (ACT Brazil 2008).

Tiga Pilar Berkelanjutan

(27)

Gambar 2 Korelasi Tiga Pilar Berkelanjutan Analisis Isi

Teknik Analisis Isi atau Content Analysis adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi (kesimpulan) yang dapat ditiru (replicable) dan sahih (valid) data dengan memperhatikan konteksnya. Teknik ini mencerna makna dari suatu data terdokumentasi secara mendalam. Analisis Isi tidak hanya bertujuan untuk mengetahui konteks suatu teks berita, namun juga bagaimana pesan itu disampaikan sehingga makna yang tersembunyi dalam teks tersebut dapat terlihat. Pesan dapat berupa frasa atau kata. Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang fenomena yang diteliti (Krippendorff 2004). Krippendorff lebih lanjut menjelaskan bahwa teknik Analisis Isi mengacu mengacu pada tiga sifat yang melekat, yaitu objektif, sistematis, dan generalitas. Sifat objektif menyiratkan adanya kesamaan hasil yang akan diperoleh apabila penelitian ini dilakukan oleh orang lain. Sistematis merupakan sifat yang menandai bahwa kategorisasi yang ada dalam penelitian mengikuti aturan yang telah ditetapkan secara konsisten. Persyaratan semacam ini menjamin penyeleksian dan pengkodingan data tidak mengalami bias. Sedangkan sifat generalitas mengarahkan bahwa hasil temuan dalam penelitian harus memiliki relevansi teoritis. Penelitian dengan menggunakan teknik Analisis Isi dapat dilakukan dengan tahapan berikut (Tabel 3).

Tabel 3 Tahapan Teknik Analisis Isi

No Tahapan Deskripsi

1 Perumusan Masalah Menyusun perumusan masalah dapat digunakan sebagai pembuka kegiatan penelitian, sehingga memungkinkan peneliti secara leluasa melihat permasalahan yang terjadi. Perumusan masalah dapat berupa daftar pertanyaan-pertanyaan. Terdapat 3 komponen yang perlu ditampilkan, yaitu:

1.Sesuatu hal yang dikaji dan terdokumentasi 2. Pada media tertentu

3. Berada pada periode tertentu

(28)

12

Tabel 3 Tahapan Teknik Analisis Isi (lanjutan)

No Tahapan Deskripsi

relevan. Penentuan periode waktu dan jumlah media yang diteliti (sampel) penting untuk ditentukan pada tahap ini.

3 Definisi Operasional Definisi operasional berkaitan dengan unit analisis. Penentuan unit analisis dilakukan berdasarkan topik atau masalah riset penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

4 Penyusunan Kode dan Mengecek Reliabilitas

Penyusunan kode dilakukan untuk mengenali ciri-ciri utama dari suatu kategori. Apabila terdapat dua atau lebih kode, penelitian dilakukan secara terpisah dan reliabilitasnya dicek dengan cara membandingkan satu demi satu kategori (cross-checking).

5 Analisis Data dan Penyusunan Laporan

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dan disusun dalam bentuk laporan penelitian dengan format sesuai kaidah akademis.

Sumber: Krippendorff (2004)

METODE

Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian ini dilakukan di wilayah bekas Kota Pakuan di Kota Bogor bagian selatan. Kota Bogor memiliki batas administratif sebelah utara dengan Kelurahan Sukaraja, Bojong Gede, dan Kemang, timur dengan Kelurahan Sukaraja dan Ciawi, barat dengan Kelurahan Cijeruk dan Caringin, dan selatan dengan Kelurahan Kemang, Ciomas, dan Dramaga.

Gambar 3 Kota Bogor (a), wilayah Kota Bogor bagian selatan (b) Sumber: Bappeda Kota Bogor (2014), Google Map & Google Earth (2015)

Waktu penelitian dilaksanakan selama 6 bulan. Pengumpulan data lapang mulai dilakukan pada bulan Januari 2015, dilanjutkan dengan pengolahan data dan penyusunan hasil studi hingga bulan Juni 2015. Jadwal penelitian meliputi kegiatan prasurvei, perizinan lokasi, pengumpulan data melalui kegiatan survei lapang, analisis dan pengolahan data, dan penyusunan laporan akhir.

(29)

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Alat yang digunakan pada pengumpulan data yaitu GPS (Global Positioning System), kamera digital, dan alat tulis. Alat yang digunakan pada pengolahan data yaitu komputer dan perangkat lunak berupa ArcGIS 9.3, MapSource, Microsoft Word, Microsoft Excel, dan Adobe Photoshop CS3. Bahan yang digunakan pada pengolahan data berupa peta dasar, visual tapak, data sosial, administrasi, dan aspek sosial (Tabel 4).

Tabel 4 Alat dan bahan yang digunakan

Alat dan Bahan Fungsi

Alat

Kamera Digital Melakukan survei pengambilan gambar Komputer

GPS (Global Positioning System) Mengoperasikan berbagai perangkat lunak Melakukan pemastian titik lokasi elemen (groundcheck)

Bahan

Peta dasar Menunjang data spasial

Peta tata wilayah Menunjang data spasial Kuesioner

Dokumentasi Media KITLV Mendapatkan data responden Sebagai bahan perbandingan kondisi lanskap dan elemen di dalamnya dengan kondisi saat ini

Perangkat lunak pendukung

Membuat tabel, pengolahan angka, data statistik Mengolah data spasial

Mengolah data spasial Pengolahan grafis

Metode Penelitian

Penelitian meliputi empat tahapan kegiatan yaitu 1) persiapan, 2) inventarisasi data, 3) analisis data, dan 4) penyusunan tindakan pelestarian lanskap sejarah. Tahapan analisis data terdiri dari empat bagian, yaitu 1) metode Analisis Isi, 2) metode Cultural Mapping, 3) penilaian karakteristik lanskap sejarah, dan 4) penilaian pengetahuan dan persepsi masyarakat. Hasil peta pada proses mapping dan hasil analisis penilaian karakteristik lanskap sejarah digunakan dalam penyusunan rekomendasi pelestarian lanskap sejarah secara keseluruhan, termasuk di dalamnya tindakan pelestarian lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor. Sementara hasil analisis pengetahuan dan persepi masyarakat digunakan untuk mengetahui sikap, perilaku, serta opini masyarakat terhadap kesiapan Bogor sebagai Kota Pusaka. Hasil tersebut lebih lanjut digunakan untuk mendukung tindakan pelestarian yang telah ditentukan.

1. Tahap Persiapan

(30)

14

Pakuan memusat pada bagian selatan Kota Bogor, terutama pada pada wilayah Kelurahan Batutulis.

2. Tahap Inventarisasi Data

Kegiatan yang dilakukan pada tahap inventarisasi data yaitu pengumpulan data mengenai kondisi kawasan pada saat ini. Jenis data yang dikumpulkan sebagaimana dirinci pada Tabel 5 adalah sebagai berikut:

a. Aspek fisik lanskap meliputi peta dasar dan rencana tata ruang wilayah. b. Aspek kesejarahan wilayah meliputi sejarah perkembangan kota, perkembangan kebudayaan asli (native) wilayah, dan perkembangan tata guna lahan dari masa Kerajaan Pajajaran dengan masa kini.

c. Aspek sosial budaya meliputi demografi penduduk (jumlah, kepadatan, tingkat pendidikan, perekonomian), pola pikir masyarakat, nilai-nilai kebudayaan khususnya pada masyarakat Sunda, dan basis pengrajin yang memproduksi menggunakan bahan-bahan lokal.

d. Aspek pendukung keberadaan lanskap sejarah meliputi fasilitas, kualitas fisik dan lingkungan, dan kebijakan pemerintah.

Data ini dikumpulkan secara langsung di lapang melalui observasi lapang, cross-checking dengan data pustaka, wawancara, dan pengisian kuesioner. Wawancara dan pengisian kuisioner dilakukan terhadap dua pihak, yaitu 1) pihak yang terkait langsung dengan wilayah lanskap sejarah (pengelola situs sejarah, juru kunci situs, ahli sejarah, pemerintah kelurahan, dan penduduk lokal), 2) pihak yang terkait dengan pemerintahan kota dan penentu kebijakan (Bappeda dan Disbudparektif Kota Bogor). Dikumpulkan pula data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka, meliputi buku acuan, laporan-laporan penelitian, dan referensi pustaka lainnya).

Tabel 5 Jenis data yang diperlukan

Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Kegunaan Analisis

Aspek fisik lanskap

Lokasi (letak dan luas) dan kondisi geografis

Deskriptif dan spasial

Bappeda Posisi wilayah

Peta dasar Deskriptif dan

tabular Bappeda Posisi wilayah, batas administratif, cultural mapping

Rencana tata ruang

wilayah Spasial Bappeda Karakter lanskap sejarah

Tata guna lahan Deskriptif dan

spasial Bappeda dan survei Karakter lanskap sejarah

Aspek kesejarahan wilayah

Sejarah perkembangan

kota Deskriptif P3KP dan pustaka Karakter lanskap sejarah Perkembangan kebudayaan

asli daerah Deskriptif Pustaka, survei, dan wawancara Karakter lanskap sejarah Perkembangan tata guna

lahan Deskriptif Pustaka, survei, dan wawancara Karakter lanskap sejarah

(31)

Tabel 5 Jenis data yang diperlukan (lanjutan)

Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Kegunaan Analisis

Aspek sosial budaya

Demografi:

d. Mata pencaharian Deskriptif Kelurahan Kesiapan masyarakat

Pola pikir masyarakat Deskriptif Survei dan wawancara

Kesiapan masyarakat

Nilai kebudayaan Deskriptif Pustaka, survei,

wawancara Kesiapan masyarakat Basis pengrajin lokal Deskriptif Dekranasda dan

Survei

Cultural mapping, Kesiapan masyarakat

Aspek pendukung lanskap sejarah

Aksesibilitas Tabular Survei dan kelurahan

Pendukung pelestarian

Fasilitas Pendukung Deskriptif Survei dan

wawancara Pendukung pelestarian Kebijakan pemerintah Deskriptif Bappeda dan

Disbudparektif

Pendukung pelestarian

Kualitas fisik dan

lingkungan Deskriptif Survei Pendukung pelestarian

3. Tahap Analisis Data

Kegiatan pada tahap analisis data dengan metode 1) Analisis Isi (Krippendorff 2004) dilakukan mengikuti tahapan teknik Analisis Isi, yaitu Perumusan Masalah, Pemilihan Media, Definisi Operasional, Penyusunan Kode dan Pengecekan Reliabilitas, Analisis Data dan Penyusunan Laporan. Data analisis didapatkan dari hasil perbandingan tiga pustaka bacaan yang dipilih sesuai dengan kebutuhan penelitian. Ketiga pustaka tersebut adalah pustaka Tim Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) pada tahun 2013, Zahorka pada tahun 2007, dan Danasasmita pada tahun 1980. Hasil perbandingan pustaka dicek reliabilitasnya dengan melakukan cross-checking data dengan survei lapang, kemudian disaring pesan-pesan berupa frasa atau kata guna mengambil kesimpulan manakah pustaka yang memiliki relevansi tinggi dengan kebutuhan penelitian. Hasil akhir disusun dalam suatu tabel perbandingan (Tabel 6).

Tabel 6 Perbandingan frasa-frasa yang muncul dalam pustaka

(32)

16

Tahap analisis data dengan metode 2) Cultural Mapping dilakukan

mengikuti tahapan proses mapping, yaitu Perencanaan, Mendesain Pemetaan, Wawasan dan Dukungan Masyarakat, Menyusun Peta, dan Finalisasi Peta. Data analisis didapatkan dari hasil telaah pustaka, survei lapang, dan wawancara mengenai basis pengrajin lokal. Pada survei lapang, dikumpulkan data mengenai keberadaan elemen-elemen apa sajakah yang berada dalam lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor kemudian dilakukan cross-checking dengan hasil telaah pustaka dan pendataan yang dilakukan pihak Disbudparektif Kota Bogor.

Selain itu dilakukan pengecekan delineasi hasil pemetaan dari pustaka yang digunakan dan dengan delineasi hasil survei lapang. Delineasi yang dimaksud adalah delineasi bekas wilayah kekuasaan Pakuan ibukota Kerajaan Pajajaran, dan apakah terdapat sisa-sisa peninggalannya baik dalam bentuk artefak benda maupun nonbenda. Pada wawancara mengenai basis pengrajin lokal, dikumpulkan data mengenai pengrajin-pengrajin produk lokal apa sajakah yang terdapat di lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor. Produk kerajinan yang ada adalah yang menggunakan bahan-bahan lokal yang dapat ditemukan pula pada masa Kerajaan Pajajaran. Basis pengrajin lokal yang berada di luar batas lanskap sejarah namun masih memiliki keterikatan akan dijadikan sebagai outlier atau komponen asing.

Hasil proses mapping yang didapat selanjutnya disusun ke dalam suatu peta. Tahapan sistematisnya merujuk pada dokumen Borobudur Cultural Mapping Report and Artisan Baseline Survey yang dikeluarkan oleh UNESCO (2014) dengan beberapa perubahan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Masing-masing basis pengrajin yang telah didata kemudian disusun ke dalam suatu tabel (Tabel 7) untuk mengetahui identitas pengrajin, jenis produk, bahan yang digunakan, lokasi pemasaran produk, dan moda transportasi yang digunakan mengantar produk untuk dijual. Selain itu disertakan deskripsi berupa paragraf mengenai alasan mengapa basis pengrajin tersebut dipilih untuk menguatkan ciri khas lanskap sejarah Kota Bogor Periode Kerajaan dan identitas masyarakatnya. Kemudian dilakukan analisis menggunakan metode Analisis Isi (Tabel 8), dimana pesan-pesan berupa frasa atau kata yang muncul adalah bahan atau material lokal yang ditemukan pula pada masa Kerajaan Pajajaran, berdasarkan pustaka Ekadjati (2009).

Tabel 7 Deskripsi basis pengrajin lokal

No Identitas Lokasi Produk Jenis Bahan yang Digunakan Pemasaran Produk Transportasi Moda Pemasaran

(33)

Tabel 8 Perbandingan frasa-frasa yang muncul dalam pustaka

Tahap analisis data dengan metode 3) penilaian karakteristik lanskap sejarah dilakukan menggunakan penilaian kualitas lanskap menurut Harris dan Dines (1988) terhadap tiga aspek, yaitu a) keaslian (originality), b) keunikan (uniqueness), dan c) kondisi fisik dan lingkungan. Ketiga aspek tersebut dipilih sesuai dengan kebutuhan penelitian. Penilaian kualitas lanskap dilakukan untuk menyatakan derajat dari ketiga aspek tersebut, dan untuk memperdalam penilaian signifikansi maka dilakukan penelusuran sejarah. Hasil penilaian signifikansi juga ditinjau berdasarkan sepuluh kriteria Outstanding Universal Value terhadap penetapan Kota Pusaka(Tabel 9).

Tabel 9 Sepuluh kriteria Outstanding Universal Value of World Heritage

Kriteria Deskripsi

(i) Mewakili sebuah karya jenius kreatif manusia.

(ii) Menunjukkan pentingnya pertukaran nilai-nilai kemanusiaan, selama rentang waktu atau dalam wilayah budaya dunia, pada perkembangan arsitektur atau teknologi, seni yang monumental, perencanaan kota, atau desain lanskap.

(iii) Menanggung kesaksian yang unik atau setidaknya luar biasa untuk tradisi budaya atau peradaban yang hidup atau yang telah hilang.

(iv) Menjadi sebuah contoh luar biasa dari jenis bangunan, ensemble atau lanskap yang menggambarkan signifikansi dalam sejarah manusia arsitektur atau teknologi.

(v) Menjadi sebuah contoh luar biasa dari pemukiman tradisional manusia, penggunaan lahan, atau laut yang merupakan perwakilan dari budaya, atau interaksi manusia dengan lingkungan terutama ketika telah menjadi rentan di bawah dampak perubahan yang tidak dapat pulih.

(vi) Akan secara langsung atau nyata terkait dengan peristiwa atau tradisi yang hidup, ide-ide, keyakinan, karya seni, dan sastra yang memiliki signifikansi universal yang luar biasa. (Komite menganggap bahwa kriteria ini sebaiknya digunakan dalam hubungannya dengan kriteria lain)

(vii) Mengandung fenomena alam superlatif atau daerah keindahan alam yang luar biasa dan estetis.

(34)

18

Tabel 9 Sepuluh kriteria Outstanding Universal Value of World Heritage (lanjutan)

Kriteria Deskripsi

(ix) Menjadi contoh luar biasa yang mewakili berlangsungnya proses ekologi dan biologi yang signifikan dalam evolusi dan pengembangan darat, air tawar, ekosistem dan komunitas tumbuhan, serta hewan pesisir dan laut.

(x) Mengandung nilai penting dan signifikan terhadap habitat alami untuk konservasi in-situ keanekaragaman hayati, termasuk spesies yang terancam mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau konservasi.

Sumber: UNESCO World Heritage Convention (2014)

Data analisis didapatkan dari hasil survei lapang, pendataan kondisi Benda Cagar Budaya oleh pihak Disbudparektif, wawancara dengan pihak pemegang kebijakan yaitu Bappeda, pihak Disbudparektif, dan narasumber sejarah. Kriteria penilaian kualitas lanskap dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Kriteria penilaian kualitas lanskap

No Kriteria Skor

dan sirkulasi Jaringan jalan mengalami penambahan ruas

kesejarahan Lanskap/elemen tidak memiliki hubungan

2 Integritas Karakter, struktur, dan fungsi elemen

Karakter, struktur, dan fungsi elemen

(35)

Tabel 10 Kriteria penilaian kualitas lanskap (lanjutan)

3 Kelangkaan Karakter dan struktur elemen

Estetik Karakter dan struktur elemen tidak memiliki

Lingkungan Lingkungan sekitar tidak mendukung

Sumber: Harris dan Dines; dengan perubahan (1988)

Penilaian terhadap ketiga aspek tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan metode skoring yang dikemukakan oleh Selamet (Selamet 1983 dalam Elviandri 2014) dengan rumus interval kelas sebagai berikut:

Interval Kelas IK =Skor Maksimum SMa − Skor Minimum SMiJumlah Kategori

* Keterangan:

(36)

20

* Keterangan (lanjutan):

Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2(IK)) Rendah = SMi sampai SMi + IK

Selanjutnya skor penilaian dijumlahkan, kemudian hasil penilaian ketiga aspek tersebut menghasilkan sifat dari elemen-elemen lanskap sejarah yang menampilkan skor dengan skala sebagai berikut (Goodchild 1990):

a. Skor 1 = tingkat keaslian/keunikan/kondisi fisik dan lingkungan rendah, lanskap sejarah mengalami banyak perubahan

b. Skor 2 = tingkat keaslian/keunikan/kondisi fisik dan lingkungan sedang, lanskap sejarah mengalami sedikit perubahan

c. Skor 3 = tingkat keaslian/keunikan/kondisi fisik dan lingkungan tinggi, lanskap sejarah tidak mengalami perubahan

Tahap analisis data terakhir yaitu 4) penilaian pengetahuan dan persepsi masyarakat dilakukan untuk menilai apakah masyarakat mengetahui mengenai lanskap sejarah Periode Kerajaan yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka dan keterkaitannya dengan Kota Pusaka. Penilaian persepsi masyarakat dilakukan terhadap 6 aspek penilaian yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, yaitu aspek a) Kota Pusaka, b) Situs Bersejarah Sebagai Aset Kota Pusaka, c) Penguatan Karakter Lanskap Sejarah Periode Kerajaan, d) Pelestarian Lanskap Sejarah Periode Kerajaan, e) Pengembangan Basis Pengrajin Lokal, f) Fasilitas Pendukung Keberadaan Lanskap Sejarah Periode Kerajaan.

Wawancara dan penyebaran kuisioner dilakukan terhadap masyarakat yang tinggal di Kelurahan Batutulis. Sampel responden diambil sebanyak 30 responden sesuai ketentuan minimal penelitian. Untuk metode penghitungan kuisioner digunakan teknik penskalaan oleh Likert. Skala Likert adalah skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau kelompok orang tentang fenomena atau gejala sosial. Skala ini dapat pula digunakan untuk mendapatkan tingkat kesepakatan atau sikap responden terhadap suatu objek tertentu (Sugiyono 2010 dalam Asokawati 2015).

Jumlah Skala Likert yang digunakan ialah sebanyak 5 skala dan memberikan nilai pada masing-masing jawaban pertanyaan. Skor pada skala tertinggi ialah 5 hingga skor terendah ialah 1 (Tabel 11).

Tabel 11 Skor penilaian komponen persepsi masyarakat terhadap aspek (...)

Skala Jawaban Skor

Sangat Setuju/Bagus/Penting (SP) 5

Setuju/Bagus/Penting (P) 4

Cukup Setuju/Bagus/Penting (CP) 3

Kurang Setuju/Bagus/Penting (KP) 2 Sangat Tidak Setuju/Bagus/Penting (STP) 1

(37)

Skor ideal merupakan skor yang digunakan untuk menghitung skor yang dipakai dalam menentukan rating scale dan jumlah seluruh jawaban. Untuk menghitung jumlah skor ideal dari seluruh item, digunakan rumus sebagai berikut:

Skor Kriteria = Nilai skala × Jumlah responden

Responden yang mengisi kuisioner adalah sebanyak 30 orang. Skor tertinggi adalah 5 dan skor terendah adalah 1, kemudian masing-masing skor dikalikan dengan jumlah responden (Tabel 12).

Tabel 12 Skor ideal penilaian persepsi masyarakat terhadap aspek (...)

Rumus Skala

5 x 30 responden = 150 Sangat Penting (SP) 4 x 30 responden = 120 Penting (P)

3 x 30 responden = 90 Cukup Penting (CP) 2 x 30 responden = 60 Kurang Penting (KP) 1 x 30 responden = 30 Sangat Kurang Penting (SKP)

Sumber: Sugiyono (2010)

Nilai yang didapatkan kemudian dimasukkan ke dalam rating scale untuk mengetahui hasil data kuisioner dan wawancara secara umum dan keseluruhan yang didapat dari penilaian (Tabel 13).

Tabel 13 Rating Scale penilaian persepsi masyarakat terhadap aspek (...)

Nilai Jawaban Skala

121 - 150 Sangat Penting (SP)

91 - 120 Penting (P)

61 - 90 Cukup Penting (CP)

31 - 60 Kurang Penting (KP)

0 - 30 Sangat Kurang Penting (SKP)

Sumber: Sugiyono (2010)

Hasil penilaian rating scale pada Tabel 13 masih perlu dikonversi menjadi indeks menilaian dan menghasilkan suatu rating yang baru (Tabel 14) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Indeks = Σ nilai masing − masing kategoriΣ nilai maksimum kategori 5

Tabel 14 Indeks jawaban penilaian persepsi masyarakat terhadap aspek (...)

Indeks Jawaban Skala

0,81 – 1,00 Sangat Penting (SP)

0,61 – 0,80 Penting (P)

0,41 – 0,60 Cukup Penting (CP) 0,21 – 0,40 Kurang Penting (KP) 0,00 – 0,20 Sangat Kurang Penting (SKP)

(38)

22

Setelah mengetahui hasil persepsi masyarakat menggunakan teknik penskalaan Likert, maka dapat diketahui nilai kepentingan masing-masing aspek. Contoh tabel yang akan digunakan dapat dilihat pada bagian Lampiran. Setelah mendapatkan nilai persepsi masyarakat, ditentukan derajat kepentingan dari masing-masing aspek terhadap keberlanjutan lanskap sejarah (Tabel 15).

Tabel 15 Deskripsi penilaian Derajat Kepentingan

Kategori Penilaian Responden Persepsi Responden

Sangat Penting (SP) Aspek sangat tinggi mempengaruhi

keberlanjutan lanskap sejarah Penting (P) Aspek tinggi mempengaruhi

keberlanjutan lanskap sejarah Cukup Penting (CP) Aspek sedang mempengaruhi

keberlanjutan lanskap sejarah Kurang Penting (KP) Aspek rendah mempengaruhi

keberlanjutan lanskap sejarah

Sangat Kurang Penting (SKP) Aspek sangat rendah mempengaruhi

keberlanjutan lanskap sejarah

Sumber: Sugiyono (2010)

4. Tahap Penyusunan Tindakan Pelestarian Lanskap Sejarah

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu penarikan kesimpulan dari analisis-analisis yang telah dilakukan. Kesimpulan tersebut kemudian digunakan untuk menyusun formulasi yang berupa tindakan pelestarian dengan pendekatan tertentu dan usulan-usulan pelestarian dalam mengevaluasi dan menindaklanjuti keberadaan lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor. Usulan-usulan tersebut dijadikan rekomendasi atau bahan rujukan bagi pemerintah Kota Bogor dalam mengelola lanskap sejarah Periode Kerajaan di Kota Bogor, upaya mendukung Bogor sebagai Kota Pusaka di wilayah Tatar Sunda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Perkembangan Kota Bogor

Kota Bogor dalam perkembangannya telah melewati berbagai periode sejarah yang dibagi berdasarkan adanya peristiwa-peristiwa sejarah. Peristiwa-peristiwa ini membawa pengaruh penting bagi perkembangan kota terutama perkembangan secara fisik. Berdasarkan kajian sejarah yang telah dilakukan oleh tim Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (2013), Kota Bogor dibagi menjadi 5 periodisasi, yaitu

1. Bogor Sebagai Pusat Kerajaan Pakuan-Pajajaran, 2. Bogor Pada Masa Kolonial I,

(39)

1. Keberadaan Kerajaan Pajajaran di Tanah Sunda

Sebagai pusat Kerajaan Pakuan-Pajajaran, sejarah Kota Bogor pada periode tersebut tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Pajajaran. Keberadaan Kerajaan Pajajaran di wilayah bagian barat Pulau Jawa tercatat pada naskah-naskah Sunda kuno, catatan perjalanan bangsa asing yang berkunjung, dan dari benda peninggalan kerajaan itu sendiri. Benda peninggalan yang dimaksud adalah batu yang berukir tulisan atau prasasti. Prasasti sendiri menurut Sumarlina (2009) adalah sebuah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Pada peninggalan berupa naskah-naskah kuno, media naskah adalah daun tanaman (Ekadjati 2009). Daun yang dipakai diambil dari tanaman jenis palem-paleman (Arecaceae), seperti pohon lontar (Borassus flabellifer), pohon enau (Arenga pinnata), pohon nipah (Nypa fruticans), dan pohon kelapa (Cocos nucifera). Penulisan pada naskah dilakukan menggunakan pisau (Sunda: pèso pangot) dengan cara digoreskan di permukaan. Digunakan pula pena yang terbuat dari batang lidi pohon paku-pakuan (Pteridophyta), tanaman bambu (Bambuceae) pohon enau, dan pohon kelapa (Kumar dan McGlynn 1996).

Reliabilitas informasi sejarah yang terdapat dalam kedua sumber tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Teks pada naskah jauh lebih panjang isinya dibanding dengan isi pada prasasti. Teks naskah yang panjang memungkinkan masuknya unsur subyektifitas penyusun atau penulis. Hal ini berdampak pada nilai informasi yang berkurang namun memperkaya informasi makna budaya di dalamnya. Menurut Ekadjati (2009), terdapat beberapa buah naskah yang telah dipelajari dan memiliki sumber informasi sejarah yang relevan, yaitu naskah Carita Parahiyangan, Fragmen Carita Parahiyangan, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Amanat Galunggung, Sèwaka Darma, Serat Dèwa Buda, Kawih Paningkes, Carita Ratu Pakuan, Carita Waruga Guru, Sanghiyang Hayu, Serat Catur Bumi dan Sanghiyang Raga Dèwata, Bujangga Manik, Sri Ajnyana, dan naskah Ramayana.

Apabila ditinjau dari sudut metode sejarah, sumber informasi sejarah dari prasasti dan dari naskah kuno memiliki kedudukan sebagai sumber sejarah primer yang mengandung nilai tinggi karena disusun pada jaman kerajaan masih berdiri. Namun apabila dilakukan perbandingan lebih mendetil, informasi yang berasal dari prasasti lebih tinggi nilai sejarahnya karena penulisan informasi disaksikan oleh pembuat prasasti.

Gambar 4 Carita Parahiyangan (a), Sanghyang Siksakandang Karesian (b), naskah Bujangga Manik (c)

Sumber: Ayatrohaèdi (2005), Hamdani (2012), Susanti (2013)

Informasi sejarah yang berasal dari catatan perjalanan yaitu catatan-catatan dari Portugis dan dari Belanda. Catatan perjalanan dari Portugis terdapat sebanyak

(40)

24

tiga catatan (Djajadiningrat 1984), yaitu milik Tome Pirès, Henrique den Leme, dan De Baros. Catatan yang paling terkenal adalah Suma Oriental milik Pirès, yang menceritakan perjalanannya ke ibukota Kerajaan Pajajaran yaitu Dayo (Dayeuh atau Dayuh). Berdasarkan laporan Pirès, Dayeuh atau Dayuh adalah kata dalam bahasa Sunda yang memiliki arti ‘kota besar’ atau ‘ibukota’. Hal ini kemudian merujuk pada nama Pakuan atau Pakuan Pajajaran yang sekarang dikenal dengan nama Kota Bogor (Zahorka 2007).

Pada saat yang sama dengan kedatangan Tomè Pires, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi memulai pemerintahannya sebagai raja di Kerajaan Pajajaran. Tanggal penobatan Prabu Siliwangi menjadi Maharaja kemudian ditandai sebagai tanggal lahir Kota Bogor yaitu 3 Juni 1482. Masa kehancuran Kerajaan Pajajaran ditandai dengan terjadinya penyerangan yang dilakukan pihak penguasa Banten sehingga rantai sejarah keberadaan wilayah ini hilang. Setelah tahun 1579, tidak terdapat keterangan tertulis mengenai peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut (missing link) hingga masa munculnya ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh Scipio pada tahun 1687, Adolf Winkler pada tahun 1690, dan Abraham van Riebeeck pada tahun 1703, 1704, dan 1709. Berdasarkan laporan dalam ekspedisi-ekspedisi tersebut, diketahui keberadaan berbagai situs sejarah, benteng, sisa parit, batas, dan letak gerbang masuk Kerajaan Pajajaran, hingga batu-batu artefak bercorak megalitik (P3KP 2013).

2. Bogor Sebagai Pusat Kerajaan Pakuan Pajajaran

Kerajaan Sunda, atau setelah masa kehancurannya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran, didirikan oleh Tarusbawa di wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Tarumanagara. Wilayah Kerajaan Pajajaran berada di bagian barat Pulau Jawa, dengan batas wilayah sebelah barat adalah Selat Sunda, sebelah timur adalah Sungai Citarum, sebelah selatan adalah Sungai Cisarayu, dan sebelah utara adalah dengan Sungai Cipamali. Ibukota Kerajaan Pajajaran yaitu Kota Pakuan berada di pedalaman, yaitu terletak sekitar 70 kilometer dari pesisir utara maupun pesisir selatan. Lokasi topografis Kerajaan Pajajaran yang dikelilingi dataran tinggi dan perbukitan menyebabkan kerajaan tersebut berkebudayaan agraris (Ekadjati 2009).

(41)

3. Pakuan Ibukota Kerajaan Pajajaran

Kerajaan Sunda, atau setelah masa kehancurannya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran, didirikan oleh Tarusbawa di wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Tarumanagara. Wilayah Kerajaan Pajajaran berada di bagian barat Pulau Jawa, dengan batas wilayah sebelah barat adalah Selat Sunda, sebelah timur adalah Sungai Citarum, sebelah selatan adalah Sungai Cisarayu, dan sebelah utara adalah Sungai Cipamali. Pascakehancuran Kerajaan Tarumanagara, terdapat masalah terkait nama dua kerajaan yang muncul di Tanah Sunda, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Berdasarkan sastra lisan (folklor, cerita rakyat, dan pantun), nama yang selalu disebut adalah ‘Pajajaran’. Sementara berdasarkan sumber kontemporer (naskah kuno, prasasti, catatan perjalanan), nama yang selalu muncul adalah ‘Sunda’.

Menurut Danasasmita (1983), terdapat suatu kebiasaan mengenai pemakaian nama keraton dan nama ibukota yang dipakai pula menamai kerajaan. Istilah ‘Pajajaran’ sebagai nama kerajaan diambil dari nama ibukota Kerajaan Sunda, yaitu Pakwan Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Penyebutan istilah ini mulai muncul pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi dan setelah kehancuran kerajaan. Kata pakwan sendiri memiliki arti ‘tempat tinggal’ (keraton untuk raja), yang berakar dari kata kuwu kemudian ditambahkan imbuhan. Menurut Poerbatjaraka (1921) kata pakuanberasal dari bahasa Jawa kuno ‘pakwwan’ yang dieja ‘pakwan’ dan apabila diucapkan dengan lidah orang Sunda menjadi ‘pakuan’. Kata ‘pakwan’ berarti kemah atau istana. Poerbatjaraka melanjutkan bahwa kata ‘Pakuan Pajajaran’ berarti istana yang berjajar.

4. Sistem Perekonomian

Ekadjati (2009) menjelaskan bahwa dalam naskah Carita Parahiyangan, terdapat petunjuk mengenai kegiatan perekonomian masyarakat Sunda pada masa Kerajaan Pajajaran, yaitu melalui Pancaputera (Lima Orang Putera). Pancaputera dipandang sebagai penjelmaan dewa-dewa pelindung. Masyarakat Sunda pada masa itu beranggapan Pancaputera sebagai cikal-bakal masyarakat Sunda secara keseluruhan, yaitu leluhur atau moyang berbagai kelompok masyarakat berdasarkan klasifikasi sumber penghidupan mereka. Profesi anggota Pancaputera tersebut yaitu sebagai petani (panghuma), pemburu (panggerek), penyadap (panyadap), pedagang (padagang), dan raja. Profesi-profesi ini menggambarkan secara simbolik jenis-jenis mata pencaharian masyarakat Sunda pada saat itu, yaitu pada bidang pertanian, peternakan, industri, perdagangan, dan pemerintahan.

Kelima bidang tersebut memiliki kedudukan yang setara dan menjadi suatu kesatuan yang dibutuhkan dalam kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kerajaan Pajajaran apabila ditinjau dari kegiatan perekonomiannya tergolong sebagai kerajaan agraris, dimana bagian terbesar kehidupan ekonomi masyarakat dan negaranya tergantung pada pertanian terutama pertanian lahan kering (huma/ladang).

5. Kegiatan Pertanian

Gambar

Tabel 5 Jenis data yang diperlukan
Tabel 5 Jenis data yang diperlukan (lanjutan)
Tabel 10 Kriteria penilaian kualitas lanskap
Tabel 10 Kriteria penilaian kualitas lanskap (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait