• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi SIG dalam Penentuan Lokasi Hutan Kota Sebagai Mitigasi Bencana Angin Puting Beliung di Kabupaten Bondowoso

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi SIG dalam Penentuan Lokasi Hutan Kota Sebagai Mitigasi Bencana Angin Puting Beliung di Kabupaten Bondowoso"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI SIG DALAM PENENTUAN LOKASI HUTAN KOTA

SEBAGAI MITIGASI BENCANA ANGIN PUTING BELIUNG

DI KABUPATEN BONDOWOSO

INDRA PURNAMA BAHRI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi SIG dalam Penentuan Lokasi Hutan Kota Sebagai Mitigasi Bencana Angin Puting Beliung di Kabupaten Bondowoso, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014 Indra Purnama Bahri

(4)

ABSTRAK

INDRA PURNAMA BAHRI. Aplikasi SIG dalam Penentuan Lokasi Hutan Kota Sebagai Mitigasi Bencana Angin Puting Beliung di Kabupaten Bondowoso. Dibimbing oleh ENDES N DACHLAN dan LILIK BUDI PRASETYO.

Bencana angin puting beliung yang terjadi di Kabupaten Bondowoso merupakan bencana alam tahunan yang telah menimbulkan banyak kerugian. dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2009 - 2013), 95 kejadian bencana angin puting beliung telah melanda 75 desa di Kabupaten Bondowoso. Pembangunan hutan kota diharapkan dapat menjadi solusi yang tepat dalam mengatasi atau mencegah terjadinya bencana angin puting beliung. Karakteristik desa yang paling sering mengalami bencana angin puting beliung antara lain merupakan daerah dataran rendah yang berada di ketinggian di bawah 500 mdpl, merupakan daerah yang datar, memiliki kelerengan 0-8% seluas 1045,07 ha atau sebesar 89,21%, memiliki suhu permukaan antara 30˚-35˚C seluas 909,45 ha atau sebesar 77,63%, dan merupakan tempat yang didominasi oleh jenis tutupan lahan yang cukup terbuka berupa persawahan seluas 853,45 ha atau sebesar 72,85%. Daerah dengan bobot nilai tertinggi yang perlu untuk dibangun hutan kota yang berfungsi sebagai mitigasi bencana angin puting beliung yang tersebar di 201 desa dengan luas 32420,35 ha atau sebesar 20,83% dari luas keseluruhan Kabupaten Bondowoso yang diperoleh dari hasil skoring dan overlay empat karakteristik tersebut.

Kata kunci: angin puting beliung, Bondowoso, hutan kota, mitigasi

ABSTRACT

Cyclones disaster in Bondowoso regency is an annual natural disaster caused a lot of losses. Within the last 5 years (2009-2013), 95 incidences of cyclone have hit 75 villages in Bondowoso regency. Development of urban forest is expected to be the best solution to overcome or prevent the occurrence of cyclones disaster. Characteristics of the villages with most frequent cyclones disaster is a low area at an altitude below 500 meters above sea level, is a flat area with 0-8 % slope as big as 1045.07 ha or 89.21 %, had a temperature surface

between 30˚ - 35˚C as big as 909.45 ha or 77.63 %, and is a place dominated by the type of land cover in the form of a fairly open area as big as 853.45 ha of rice fields or by 72.85 %. Area with the highest weight value that needs to be built urban forest that serves as a disaster mitigation cyclones scattered in 201 villages with an area of 32420.35 ha or 20.83 % of the total area of Bondowoso regency obtained from the scoring and overlay the four characteristics.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

APLIKASI SIG DALAM PENENTUAN LOKASI HUTAN KOTA

SEBAGAI MITIGASI BENCANA ANGIN PUTING BELIUNG

DI KABUPATEN BONDOWOSO

INDRA PURNAMA BAHRI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Aplikasi SIG dalam Penentuan Lokasi Hutan Kota Sebagai Mitigasi Bencana Angin Puting Beliung di Kabupaten Bondowoso

Nama : Indra Purnama Bahri NIM : E34080080

Disetujui oleh

Dr Ir Endes N. Dachlan, MS Pembimbing I

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc. Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah serta rahmat-Nya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Aplikasi SIG dalam Penentuan Lokasi Hutan Kota Sebagai Mitigasi Bencana Angin Puting Beliung di Kabupaten Bondowoso”. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr Ir Endes N. Dachlan, MS dan Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan serta bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini menggambarkan penerapan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam penentuan lokasi hutan kota sebagai upaya mitigasi bencana angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso.

Selama penyusunan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi. Berkat kemurahan-Nya serta bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat diselesaikan. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang berkepentingan dengan karya ini. Akhirnya dengan segala kemampuan dan kekurangan, penulis berharap semoga karya ini dapat memberi manfaat dan kebaikan bagi semua pihak.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Lokasi 2

Bahan dan Alat 3

Prosedur Analisis Data 3

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Karakteristik Wilayah Rawan Puting Beliung 7 Daerah Rawan Puting Beliung dan Lokasi Pembangunan Hutan Kota 15

SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 18

(10)

DAFTAR TABEL

1 Bahan dan Alat penelitian 3

2 Pembobotan parameter hutan kota untuk mitigasi puting beliung 7 3 Luas ketinggian tempat di empat desa dengan kejadian tertinggi 9 4 Luas kelerengan tempat di empat desa dengan kejadian tertinggi 10 5 Luas sebaran suhu permukaan tempat di empat desa 11 6 Luas tutupan lahan di empat desa dengan kejadian tertinggi 13

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 2

2 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra Landsat 8 OLI TIRS 4 3 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra ASTER GDEM 4 4 Bagan alur tahapan pembuatan peta kemiringan lereng 5 5 Bagan alur tahapan pembuatan peta tutupan lahan 6

6 Peta frekuensi kejadian puting beliung 8

7 Peta ketinggian Kabupaten Bondowoso 9

8 Peta kelerengan Kabupaten Bondowoso 11

9 Peta sebaran suhu permukaan Kabupaten Bondowoso 12 10 Jenis tutupan lahan persawahan di Desa Tapen 13

11 Peta tutupan lahan Kabupaten Bondowoso 14

12 Peta kerawanan tinggi angin puting beliung Kabupaten Bondowoso 15

13 Peta RTRW Kabupaten Bondowoso 16

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kota atau kabupaten merupakan pusat kegiatan manusia antara lain sebagai tempat tinggal, belajar, bekerja, ekonomi dan pusat pemerintahan di daerah. Pertambahan penduduk memberi dampak terhadap peningkatan penggunaan ruang dan lahan pada kota untuk mendukung kegiatan masyarakat. Dahlan (1992) menyatakan dengan meningkatnya pembangunan berbagai kegiatan seperti pembangunan jalan, kegiatan transportasi, industri, pemukiman dan kegiatan lainnya sering mengakibatkan luasan ruang terbuka hijau menurun dan sering juga disertai dengan menurunnya mutu lingkungan hidup. Kualitas hidup masyarakat kota dapat menurun karena keseimbangan lingkungan perkotaan telah terganggu akibat proses pembangunan yang kurang berwawasan lingkungan.

Kabupaten Bondowoso memiliki permasalahan lingkungan tersendiri yang perlu mendapat perhatian yaitu bencana angin puting beliung. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2009 - 2013), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bondowoso mencatat, sebanyak 95 kali bencana angin puting beliung terjadi 75 desa di Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2011, Kabupaten Bondowoso memiliki kelas rawan bencana yang tinggi dalam indeks rawan bencana angin topan.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi yaitu peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan upaya untuk mengurangi resiko dampak yang terjadi akibat bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu pembangunan yang dilakukan pemerintah harus beriringan dengan usaha melindungi kenyamanan dan bentuk alami suatu kota.

Guna mengatasi permasalahan tersebut, pembangunan hutan kota sebagai mitigasi bencana puting beliung dalam perencanaan tata ruang kota merupakan cara yang efektif dan efisien dalam penerapan konsep pembangunan berwawasan lingkungan untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang ada atau diperkirakan akan terjadi di masa yang akan datang. Bencana tidak pernah diketahui kapan akan melanda suatu daerah, untuk itu dibutuhkan kesiapan maupun pencegahan akan terjadinya bencana, terutama di daerah rawan bencana.

(12)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menentukan karakteristik desa yang mengalami bencana angin puting beliung, serta menentukan lokasi prioritas dalam pembangunan hutan kota yang berfungsi sebagai mitigasi bencana angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan tata ruang wilayah agar tetap memperhatikan aspek lingkungan dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menentukan lokasi pembangunan hutan kota yang sesuai sebagai mitigasi bencana angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso.

METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan di Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2013 sampai Februari 2014. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.

(13)

3 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian beserta fungsinya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Bahan dan Alat penelitian

Bahan dan Alat Fungsi

2.Citra ASTER GDEM Bahan untuk mendapatkan data kelerengan lahan dan data kontur di lokasi penelitian 3.Citra Landsat 8 OLI TIRS

Bahan untuk estimasi suhu permukaan bumi, bahan untuk membuat peta penutupan lahan

B. Alat

1.Alat tulis Mencatat data dan hasil penelitian 2.GPS (Global Positioning

System)

Untuk menandai dan mengambil posisi koordinat geografi lapangan

3.Kamera Mengambil gambar di lokasi penelitian 4.Komputer Menjalankan software yang digunakan

dalam penelitian 5.Perangkat lunak ArcGIS 9.3 Mengolah data spasial 6.Perangkat lunak ERDAS 9.1 Mengolah data spasial

Prosedur Analisis Data Pengumpulan Data

Penentuan karakteristik daerah rawan bencana puting beliung di Kabupaten Bondowoso berdasarkan data kejadian bencana puting beliung dari tahun 2009 sampai tahun 2013 yang diperoleh dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bondowoso. Untuk data spasial, ada dua cara dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu dengan cara pengukuran/pengamatan lapang dan interpretasi pada peta. Data yang dikumpulkan dengan pengamatan lapang (groundcheck) bertujuan untuk meningkatkan keakuratan data tutupan lahan. Data yang yang dikumpulkan dengan cara interpretasi pada peta adalah data ketinggian, kelerengan, suhu, dan tutupan lahan.

Pengolahan Data

(14)

4

a. Import data

Import data merupakan kegiatan menyesuaikan format data yang dimiliki sehingga data tersebut dapat diolah dengan perangkat lunak yang akan digunakan.

b. Layer stacking

Layer stacking merupakan proses penggabungan band pada citra satelit. Layer stacking dilakukan karena citra satelit memiliki lebih dari satu band. c. Koreksi geometrik

Koreksi geometrik atau rektifikasi merupakan kegiatan memperbaiki pergeseran, rotasi dan perspektif citra sehingga orientasi, proyeksi dan anotasinya sesuai dengan peta batas penelitian.

d. Pemotongan citra satelit

Pemotongan peta dilakukan dengan tujuan untuk memperjelas batasan wilayah penelitian (wilayah studi). Hasil dari pemotongan peta adalah peta kerja.

Alur tahapan dalam pengolahan awal Citra Lansat 8 OLI TIRS dan Citra ASTER GDEM dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

Citra Landsat 8

Gambar 2 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra Landsat 8 OLI TIRS

(15)

5 Analisis Data

Pembuatan Peta Ketinggian dan Kemiringan Lereng

Peta ketinggian dan kemiringan lereng di Kecamatan Bondowoso diperoleh melalui proses analisis Citra ASTER GDEM mengunakan software ArcGIS 9.3 (Gambar 4). Data spasial lereng merupakan data yang memberi infomasi kemiringan suatu lahan yang mempunyai nilai satuan persen (%) berdasarkan derajat sudut kemiringan derajat (°). Lereng dengan nilai 100 % = 45° sudut kemiringan. Data spasial kemiringan lereng dibangun dengan melakukan proses analisis lereng pada data DEM (Digital Elevation Modeling), kemudian data tersebut dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kecuraman suatu kawasan (klasifikasi lereng).

Analisis Penutupan Lahan

Data tutupan lahan diperoleh dari hasil analisis interprestasi citra satelit (Citra Landsat 8 OLI TIRS) dengan mengunakan software ERDAS Imagine 9.1. Penentuan dan pembuatan kelas penutupan lahan didasarkan atas interpretasi warna pixel – pixel Citra Landsat 8 OLI TIRS. Hasil interpretasi tersebut kemudian dicocokkan dengan data survey lapangan untuk menentukan tingkat akurasi pembuatan kelas tutupan lahan tersebut. Analisis penutupan lahan tersebut bertujuan untuk mengetahui lokasi-lokasi yang memiliki prioritas untuk pembangunan hutan kota sebagai mitigasi bencana angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso. Tahapan dalam pembuatan peta tutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 5.

Peta Kelerengan

Slope Surface Citra

ASTER GDEM

Peta Ketinggian

(16)

6

Pengolahan Band 10 untuk Estimasi Suhu Permukaan

Peta distribusi suhu permukaan diolah menggunakan bahan berupa band 10 pada Citra Landsat 8 OLI TIRS. Estimasi nilai suhu permukaan dilakukan dengan mengunakan software ERDAS imagine 9.1, proses dilakukan dengan membuat model pada menu Model Maker ERDAS imagine 9.1 yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada Landsat 8 OLI TIRS band 10. DN (Digital Number) merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan konversi menjadi nilai radiansi. Konversi nilai digital number menjadi nilai radiansi dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

Qcal = Quatized and calibrated standard product pixel values (Digital Number)

Suhu permukaan didapatkan setelah dilakukan proses konversi Radian Spektral (Spectral Radiance) menjadi temperatur. Citra band thermal (band 10) dapat dikonversi menjadi peubah fisik dengan asumsi bahwa emisinya adalah satu. Persamaan konversi radian spektral menjadi temperatur adalah sebagai berikut:

Τ= Κ2

ln Κ1

� + 1

Keterangan :

T : Suhu dalam satuan Kelvin K2 : Konstanta Kalibrasi 2 (1321.08) K1 : Konstanta Kalibrasi 1 (774.89)

L� :Radiance spectral TOA (watts/cm3 srad m)

(17)

7 Penentuan Daerah Kerawanan Puting Beliung dan Lokasi Hutan Kota

Penentuan daerah rawan bencana angin puting beliung dilakukan dengan cara skoring. Setiap kriteria yang digunakan (peta suhu permukaan, peta kelerengan, peta ketinggian, dan peta tutupan lahan) di klasifikasikan kemudian diberi nilai yang berbeda-beda berdasarkan pengaruhnya terhadap terjadinya angin puting beliung, Kemudian setiap parameter dikalikan 0,25 seperti pada rumus berikut:

0,25 (Suhu Permukaan) + 0,25 (Tutupan lahan ) + 0,25 (Ketinggian) + 0,25 (Kelerengan)

Skor total merupakan penjumlahan nilai dari peta suhu permukaan, peta tutupan lahan, peta ketinggian, dan peta kelerengan. Kombinasi penjumlahan dari kelima kriteria tersebut akan menghasilkan nilai maksimal (5). Nilai maksimal tersebut yang menjadi daerah dengan tingkat kerawanan angin puting beliung yang tinggi. Berdasarkan daerah kerawanan tinggi tersebut ditentukan lokasi hutan kota yang disesuaikan dengan RTRW Kabupaten Bondowoso. Pembobotan parameter hutan kota untuk mitigasi puting beliung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Pembobotan parameter hutan kota untuk mitigasi puting beliung No

.

Tutupan Lahan Suhu (˚C) Ketinggian Tempat (mdpl)

(18)

8

Peta lokasi hutan kota untuk mitigasi bencana angin puting beliung diperoleh dari penggabungan/tumpang tindih (overlay) dari empat peta. Peta-peta tersebut terdiri dari Peta Ketinggian, Kelerengan, Sebaran Suhu Permukaan, dan Peta Tutupan Lahan. Berdasarkan data kejadian dari tahun 2009 – 2013 yang diperoleh dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bondowoso, telah terjadi 95 kejadian bencana angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso. Dari 95 kejadian bencana yang terjadi, terdapat 4 Desa yang memiliki frekuensi kejadian paling tinggi, yaitu sebanyak tiga kali dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Desa-desa tersebut yaitu Desa Cidongo, Desa Jurangsapi, Desa Mangli, dan Desa Tapen.

Gambar 6 Peta Frekuensi Kejadian Puting Beliung

Peta Ketinggian

Peta Ketinggian diperoleh dari hasil analisis citra satelit ASTER GDEM dengan menggunakan software ArcGis. Klasifikasi ketinggian yang dibuat adalah 7 kelas menggunakan cara pembagian rata (equal interval), yaitu < 500, 500-1000, 1000-1500, 1500-2000, 2000-2500, 2500-3000, dan 3000-3287 mdpl.

(19)

9 tekanan udara di tempat tersebut. Berdasarkan Komite Koordinasi Penyadaran

Publik Untuk Pengurangan Resiko Bencana Provinsi Aceh (2011), “Secara

meteorologis angin puting beliung dapat terjadi dimana saja terutama di dataran

rendah dan daerah yang terbuka”. Ketinggian untuk masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Luas ketinggian tempat di empat desa dengan kejadian tertinggi

Desa

Ketinggian (mdpl)

< 500 500 – 1000

1000 – 1500

1500 – 2000

2000 – 2500

2500 – 3000

3000 – 3287

Desa Cindogo 332.04 - - - -

Desa Jurangsapi 295.81 - - - -

Desa Mangli 152.03 - - - -

Desa Tapen 391.58 - - - -

Total 1171.46

Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa keempat desa yang memiliki frekuensi bencana putting beliung tertinggi seluruhnya berada pada ketinggian dibawah 500 mdpl. Hal ini sesuai dengan pernyataan diatas bahwa semakin rendah suatu lokasi, maka akan semakin besar potensi terjadinya bencana angin puting beliung. Sebaran ketinggian tempat di Kabupaten Bondowoso dapat dilihat pada Gambar 7.

(20)

10

Peta Kelerengan

Kelerangan dapat diketahui sama halnya dengan ketinggian, yaitu berdasarkan hasil analisis citra satelit ASTER GDEM dengan menggunakan software ArcGis. Pembagian kelas lereng didasarkan pada SK. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1981 menjadi 5 kelas kelerengan, yaitu 0-8 % (datar), 8-15% (landai), 15-25% (agak curam), 25-40% (curam), dan > 40% (sangat curam).

Menurut Zakir (2009), “angin puting beliung terjadi pada siang atau sore hari, malam jarang terjadi. Terjadi pada tanah lapang yang vegetasinya kurang.

Jarang terjadi pada daerah perbukitan atau hutan yang lebat”. Nurjani (2012) menyatakan “pergerakan angin dipengaruhi oleh kondisi kekasaran permukaan suatu wilayah terkait dengan gaya gesekan. Gaya gesekan yang besar menyebabkan pergerakan angin melemah. Pada daerah yang permukaannya datar dan halus memiliki gaya gesek lemah, maka kecepatan angin akan besar. Oleh karena itu angin kencang sering terjadi pada daerah dataran dan pesisir”.

Pengaruh kelerengan terhadap bencana puting beliung yaitu semakin landai suatu tempat, maka makin besar kemungkinan angin puting beliung terjadi, begitu pula sebaliknya sehingga angin puting beliung jarang terjadi daerah berbukit yang memiliki kelerengan yang curam. Pada daerah yang landai, angin akan bebas bergerak karena tidak ada penghalang sehingga angin dengan mudah berakumulasi dengan angin yang berasal dari tempat lain.

Akibat akumulasi angin yang berasal dari daerah lain mengakibatkan terjadinya pergolakan angin pada daerah datar yang luas, terlebih apabila pada daerah datar tersebut tidak memiliki tutupan lahan atau vegetasi yang baik seperti lahan terbuka dan persawahan, sehingga dapat meningkatkan potensi terjadinya angin puting beliung karena tidak ada penghalang seperti tegakan pohon yang dapat menahan, membelokkan, dan mengurangi kecepatan angin yang datang menuju daerah yang datar tersebut. Klasifikasi kelerengan lahan untuk masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Luas kelerengan tempat di empat desa dengan kejadian tertinggi

Kelerengan

Desa 0 - 8 % 8 - 15 % 15 - 25 % 25 - 40 % > 40 %

Desa Cindogo 282.37 42.45 7.03 0.19 -

Desa Jurangsapi 282.18 13.47 0.15 - -

Desa Mangli 129.41 21.83 0.80 - -

Desa Tapen 351.12 37.18 3.29 - -

Total 1045.07 114.94 11.27 0.19

(21)

11

Gambar 8 Peta Kelerengan Kabupaten Bondowoso

Peta Sebaran Suhu Permukaan

Peta Sebaran Suhu Permukaan didapat dari hasil analisis citra satelit LANDSAT 8 dengan menggunakan software ArcGis. Klasifikasi suhu yang dibuat adalah 7 kelas dengan cara pembagian rata (equal interval) yaitu < 15º, 15º-20º, 20º-25º, 25º-30º, 30º-35º, 35º-40º, dan >40º C.

Pengaruh suhu terhadap bencana angin puting beliung yaitu semakin tinggi suhu permukaan suatu tempat maka semakin tinggi kemungkinan angin puting beliung terjadi, begitu pula sebaliknya. Menurut June (1994) “Gaya primer yang menyebabkan terjadinya aliran udara horizontal (angin) adalah gaya gradien tekanan. Gaya ini timbul karena adanya perbedaan tekanan yang disebabkan oleh

perbedaan suhu”. Peta suhu untuk masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Luas Sebaran Suhu Permukaan tempat di empat desa

Suhu (˚C)

DESA < 15 15 - 20 20 - 25 25 - 30 30 - 35 35 - 40 > 40

Desa Cindogo - - - 77.62 254.15 0.27 -

Desa Jurangsapi - - - 17.65 277.98 0.18 -

Desa Mangli - - - 60.50 91.53 - -

Desa Tapen - - - 103.54 285.79 2.25 -

(22)

12

Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa sebaran suhu permukaan pada empat desa yang memiliki frekuensi bencana puting tertinggi berada pada suhu 30º-35º C seluas 909,45 Ha atau sebesar 77,63%. Udara pada daerah yang bersuhu tinggi akan mengembang dan bergerak keatas sehingga tekanannya menjadi lebih rendah dari sekitarnya. Perbedaan tekanan ini menimbulkan gradien tekanan yang memicu terjadinya angin. Udara bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah dan semakin tinggi perbedaan tekanan akan semakin cepat udara bergerak.

Hal ini sesuai dengan pernyataan diatas bahwa semaki tinggi suhu di suatu lokasi, maka akan semakin tinggi pula potensi terjadinya bencana angin puting beliung. Sebaran suhu permukaan di Kabupaten Bondowoso dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Peta Sebaran Suhu Permukaan Kabupaten Bondowoso

Peta Tutupan Lahan

Peta Tutupan Lahan didapat dari hasil analisis citra satelit LANDSAT 8 dengan menggunakan software ArcGis. Klasifikasi tutupan lahan yang dibuat adalah 11 kelas, yaitu badan air, hutan alam, hutan tanaman, kebun, kebun campuran, lahan terbangun, lahan terbuka, sawah, semak belukar, tegalan, dan tidak ada data.

(23)

13 Tabel 6 Luas Tutupan Lahan di empat desa dengan kejadian tertinggi

Tutupan Lahan

Desa BA HA

L

HT M

KB

N KBC LTG LTK SWH SBK TGL

Cindongo 2.18 - - 2.54 13.03 26.96 22.05 219.07 10.60 35.59 Jurangsapi - - - 0.86 5.73 32.23 4.83 222.23 0.09 29.83 Mangli - - 0.35 1.05 6.78 15.10 2.06 109.31 0.35 17.04 Tapen 8.12 0.36 2.29 0.49 27.05 39.91 4.76 302.84 0.81 4.95

Total 10.30 0.36 2.64 4.95 52.60 114.20 33.71 853.45 11.85 87.41

BA= Badan Air; HAL= Hutan Alam; HTM= Hutan Tanaman; KBN; Perkebunan; KBC= Kebun Campuran; LTG= Lahan Terbangun; LTK= Lahan Terbuka; SWH= Sawah; SBK= Semak Belukar; TGL= Tegalan

Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa tutupan lahan berupa sawah merupakan luasan tutupan lahan paling luas atau dominan di keempat desa dengan tingkat kejadian bencana puting beliung tertinggi yakni seluas 853,45 Ha atau sebesar 72,85%. Hal ini sesuai dengan pernyataan diatas bahwa semakin jarang tutupan vegetasi di suatu tempat maka akan semakin tinggi potensi terjadinya bencana angin puting beliung. Dalam hubungan ini, permukaan bumi menerima energi radiasi matahari tetapi laju pemanasannya berbeda – beda dari suatu tempat ke tempat lainnya yang diakibatkan perbedaan jenis tutupan vegetasi. Perbedaan pemanasan ini tercermin dari suhu udara yang berada langsung diatas permukaan yang terpanasi, ketidak seimbangan suhu udara ini menimbulkan perbedaan tekanan yang akan menimbulkan angin. Salah satu contoh daerah persawahan luas yang terdapat di Desa Tapen dapat dilihat pada Gambar 10.

(24)

14

Setiawati (2012) menyatakan kualitas RTH berkaitan dengan jumlah pepohonan yang rindang. Semakin banyak jumlah pohon yang rindang di perkotaan, maka radiasi matahari tidak langsung sampai ke bumi tetapi tertahan oleh tajuk pohon sehingga suhu udara disekitarnya menjadi menurun atau rendah yang memberikan kenyamanan kepada masyarakat di sekitarnya.

Hubungan lain antara bencana puting beliung dengan tutupan lahan yakni dengan adanya tutupan vegetasi yang baik seperti hutan kota, dapat menurunkan suhu udara disekitarnya, sehingga mengurangi terjadinya perbedaan suhu udara yang nantinya akan menciptakan gradien tekanan udara yang tinggi antara suatu tempat dengan tempat yang lain. Beda tekanan inilah yang mengakibatkan terjadinya pergerakan udara dari tempat bertekanan udara tinggi menuju tempat bertekanan rendah yang disebut dengan angin. Sebaran tutupan lahan di Kabupaten Bondowoso dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Peta Tutupan Lahan Kabupaten Bondowoso

(25)

15 Daerah Rawan Puting Beliung dan Lokasi Pembangunan Hutan Kota

Dari hasil penelitian, kawasan prioritas Hutan Kota sebagai mitigasi bencana angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso diketahui seluas 32420.35 ha yang meliputi 201 desa, penelitian ini mengasumsikan bahwa di daerah tersebut belum terdapat hutan kota sehingga perlu diketahui di daerah mana saja yang perlu di bangun hutan kota khususnya yang berfungsi sebagai mitigasi untuk bencana angin puting beliung berdasarkan kerawanan daerah tersebut terhadap potensi terjadinya angin puting beliung. Sebaran daerah kerawanan tinggi angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso dapat dilihat pada Gambar 12.

(26)

16

Gambar 13 Peta RTRW Kabupaten Bondowoso

Hutan Kota memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah menstabilkan suhu udara karena hutan kota memiliki suhu udara yang lebih rendah dari pada tutupan lahan lainnya seperti lahan terbangun dan lahan pertanian yang memiliki kerapatan vegetasi yang lebih rendah dari pada hutan kota. Asumsi penentuan lokasi tersebut diharapkan Hutan Kota dapat menstabilkan suhu udara di Kabupaten Bondowoso sehingga nantinya akan mengurangi gradien tekanan udara yang terlalu besar yang dapat menciptakan gerakan angin yang terlalu kencang yang dapat menciptakan angin puting beliung. Prioritas pembangunan

hutan kota diutamakan pada daerah yang memiliki suhu udara antara 30˚C sampai 35˚C.

Kriteria ketinggian tempat untuk penetuan lokasi hutan kota sebagai mitigasi bencana angin puting beliung didasarkan bahwa suatu tempat yang berada di ketinggian rendah (dataran rendah) memiliki suhu udara yang tinggi dibandingkan dengan tempat yang lebih tinggi (dataran tinggi). Sehingga prioritas penentuan lokasi pembangunan hutan kota diutamakan pada daerah yang memiliki ketinggian rendah yakni dibawah 500 mdpl.

Kriteria kelerengan tempat untuk penetuan lokasi hutan kota sebagai mitigasi bencana angin puting beliung didasarkan bahwa angin bergerak dengan bebas di atas daerah yang landai/datar terlebih apabila daerah tersebut tidak terdapat penghalang seperti perbukitan atau vegetasi berupa tegakan pohon yang dapat memecah angin. Prioritas penentuan lokasi pembangunan hutan kota diutamakan pada daerah yang memiliki kelerengan datar antara 0 hingga 8%.

(27)

17 lahan yang jarang atau terbuka dapat lebih cepat memanaskan udara diatasnya, sehingga dapat menciptakan sistem tekanan udara rendah. Tekanan udara rendah inilah yang dapat memicu terjadinya angin puting beliung. Sehingga pada daerah tersebut diutamakan dibangun hutan kota. Penentuan lokasi hutan kota diutamakan pada tutupan lahan berupa lahan yang belum terbangun.

Setiawati (2012) menyatakan struktur pohon merupakan struktur dengan kemampuan mereduksi suhu udara yang paling tinggi dibandingkan struktur RTH lainnya. hal tersebut karena pohon memiliki tajuk lebih tinggi dan lebih padat sehingga memiliki kemampuan yang baik untuk menaungi dan menyerap radiasi matahari oleh karena itu dapat mereduksi suhu udara dengan baik.

Berdasarkan penyesuaian dengan RTRW Kabupaten Bondowoso, didapatkan daerah yang dapat dibangun hutan kota yakni tersebar di 28 desa dengan luas 2878,42 ha atau sebesar 1,84% dari luas keseluruhan Kabupaten Bondowoso. Sebaran daerah yang dapat direkomendasikan untuk dibangun hutan kota yang berfungsi sebagai mitigasi bencana angin puting beliung yang disesuaikan berdasarkan penunjukan lokasi pembangunan hutan dalam RTRW Kabupaten Bondowoso dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Peta Rekomendasi Pembangunan Hutan Kota

(28)

18

Gambar 15 Lahan yang dapat dioptimalkan untuk ditanami pohon penahan angin

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Karakteristik desa yang paling sering mengalami bencana angin puting beliung antara lain merupakan daerah dataran rendah yang berada di ketinggian di bawah 500 mdpl, merupakan daerah yang datar, memiliki kelerengan 0-8% seluas 1045,07 ha atau sebesar 89,21%, memiliki suhu permukaan antara 30˚-35˚C seluas 909,45 ha atau sebesar 77,63%, dan merupakan tempat yang didominasi oleh jenis tutupan lahan yang cukup terbuka berupa persawahan seluas 853,45 ha atau sebesar 72,85%.

Lokasi prioritas pembangunan hutan kota yang berfungsi sebagai mitigasi bencana puting beliung didasarkan pada empat kriteria yang telah diberi nilai pembobotan sebelumnya yang berpengaruh terhadap potensi terjadinya angin puting beliung antara lain: ketinggian tempat, kelerengan, suhu permukaan, dan jenis tutupan lahan. Didapatkan luasan dengan bobot nilai tertinggi yang perlu untuk dibangunan hutan kota yang tersebar di 28 desa dengan luas 2878,42 ha atau sebesar 1,84% dari luas keseluruhan Kabupaten Bondowoso yang diperoleh dari hasil skoring dan overlay empat kriteria tersebut.

Saran

1. Perlu dilakukan pengumpulan data yang lebih akurat berupa data titik koordinat geografis dan arah pergerakan angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor tambahan yang dapat mempengaruhi terjadinya angin puting beliung antara lain musim dan jenis tanah.

(29)

19 4. Perlu dilakukan penelitian dengan area yang lebih luas mencakup kabupaten lain yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bondowoso untuk mengetahui adakah keterkaitan keadaan alam di kabupaten lainnya yang dapat mempengaruhi terjadinya angin puting beliung di Kabupaten Bondowoso. 5. Perlu dibangun hutan kota dengan fungsi pemecah dan penahan angin dengan

jenis tanaman yang memiliki kriteria: dahan yang kuat dan lentur, evergreen, daunnya tidak mudah gugur, perakaran yang kuat, dan terdiri dari beberapa strata. Beberapa jenis yang dapat digunakan dan sering dimanfaatkan masyarakat di Kabupaten Bondowoso antara lain : Asam Jawa, Bungur, Melinjo, Turi, dan Pala.

DAFTAR PUSTAKA

[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2012. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bondowoso. Bondowoso (ID): Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2007. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta (ID): Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Jakarta (ID): Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Dahlan EN. 1992. Hutan Kota (Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup). Jakarta (ID): Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.

Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan Kota. Bogor (ID): IPB Press.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. Jakarta (ID):

Departemen Kehutanan.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.

Djaenudin D, Sulaeman Y, Abdurachman A. 2002. Pendekatan Pewilayahan Komoditas Pertanian Menurut Pedo-Agroklimat di Kawasan Timur Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Grey WG, Deneke FJ. 1978. Urban Forestry. New York (US): J Wiley.

Sudibyakto, Daryono. 2008. Waspadai Puting Beliung. Yogyakarta (ID): Fakultas Geografi dan Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada.

[USGS] United States Geological Survey. 2002. Landsat 7 Science Data Users Handbook [terhubung berkala]. Waktu pembaharuan[13 Agustus 2010]. Tersedia pada : http://landsathandbook. gscf.nasa. gov/handbook /handbook htmls /chapter11/html.

(30)

20

June T. 1994. Klimatologi Dasar (Landasan pemahaman fisika atmosfer dan unsur-unsur iklim). Handoko, editor. Bogor (ID): Pustaka Jaya.

[KKPPPRB] Komite Koordinasi Penyadaran Publik Untuk Pengurangan Resiko Bencana. 2011. Angin Puting Beliung. Aceh (ID): Komite Koordinasi Penyadaran Publik Untuk Pengurangan Resiko Bencana Provinsi Aceh.

Lillesand TM, Kiefer RW. 1997. Pengindraan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri, Suharsono, Hartono, Surhayadi, penerjemah; Sustanto, editor. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan Terjemahan. Jakarta (ID): Penerbit Universitas Indonesia.

Prahasta E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung (ID): Informatika Bandung.

Setiawati P. 2012. Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Iklim Mikro (Studi Kasus Kebun Raya Cibodas, Cianjur) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Bandung (ID): Penerbit ITB.

Wardhani DE. 2006. Pengkajian suhu udara dan indeks kenyamanan dalam hubungan dengan ruang terbuka hijau: studi kasus Kota Semarang [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

(31)

21

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bondowoso pada tanggal 10 Desember 1989 dari ayah bernama Syamsul Bahri dan ibu Susmiani. Penulis merupakan anak tunggal. Penulis menempuh pendidikan di TK Kartika Chandra Wijaya Kusuma, dilanjutkan ke SD Dabasah 1 Bondowoso. Penulis kemudian melanjutkan jenjang pendidikan ke SMPN 2 Bondowoso lalu ke SMAN 2 Bondowoso. Melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis berhasil masuk ke Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE), Fakultas Kehutanan IPB.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi IFSA LC-IPB

(International Forestry Students’ Association Local Committee-IPB) pada periode 2009-2011. Penulis juga mengikuti organisasi kemahasiswaan yaitu Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) sebagai anggota Kelompok Pemerhati Fotografi Konservasi (FOKA)-Himakova, staf dari Biro INFOKOM pada tahun 2010/2011. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Analisis Spasial Lingkungan (2013).

Penulis melaksanakan praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Gunung Papandayan dan Sancang pada tahun 2010, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2011, dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri pada tahun 2012. Penulis pernah mengikuti Pelatihan Dasar Kemiliteran Kodam Siliwangi di Gunung Bunder pada tahun 2009.

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Gambar 2 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra Landsat 8 OLI TIRS
Gambar 4 Bagan alur tahapan pembuatan peta kemiringan lereng
Gambar 5 Bagan alur tahapan pembuatan peta tutupan lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Social history; Peranakan; Dutch East Indies; philately; postal history; Tio Tek Hong; Chinese Red Cross; Yang Seng Ie Red Cross; Palang Merah Tiong Hoa.. This article deals with

sebaran (2) Terdapat perbedaan jumlah fasilitas kesehatan pada setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Barat Tahun 2015 (3) Diketahui bahwa 10

1) Menentukan ramalan jumlah permintaan bahan baku stainless pada periode Juli- Desember 2016. 2) Mengembangkan sebuah model matematika untuk menentukan ukuran pemesanan

Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara kandungan natrium pada western fast food yang dikonsumsi dengan tekanan darah sistolik

Penulisan hukum ini dimaksudkan sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas

Atas izin-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan tesis yang disusun sebagai salah satu syarat untuk penyelesaian studi pada IAIN Antasari Banjarmasin Program

Sedangkan faktor yang berasal dari da- lam negeri bisa datang dari nilai tukar atau kurs di suatu negara terhadap negara lain, tingkat suku bunga dan inflasi yang

Bentuk kebutuhan yang mereka bawa bisa berupa se- carik kertas yang berisi catatan/ daftar barang yang akan/ ingin di- beli, bisa juga berupa contoh barang yang sudah dipakai (hanya