• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Risiko Kualitatif Pemasukan Rabies Dari Pulau Sumatera Ke Provinsi Kepulauan Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penilaian Risiko Kualitatif Pemasukan Rabies Dari Pulau Sumatera Ke Provinsi Kepulauan Riau"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PENILAIAN RISIKO KUALITATIF PEMASUKAN RABIES

DARI PULAU SUMATERA KE PROVINSI

KEPULAUAN RIAU

HANIF FARCHANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penilaian Risiko Kualitatif Pemasukan Rabies dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Hanif Farchani

(4)

RINGKASAN

HANIF FARCHANI. Penilaian Risiko Kualitatif Pemasukan Rabies dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan MIRNAWATI SUDARWANTO.

Rabies adalah penyakit zoonosa (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia) yang disebabkan oleh virus. Terjadi di lebih dari 150 negara di dunia. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada hewan dan manusia. Provinsi Kepulauan Riau adalah daerah bebas rabies yang sangat mungkin dapat tertular rabies dari Pulau Sumatera. Pulau Sumatera merupakan wilayah endemis rabies. Provinsi Kepulauan Riau melarang pemasukan Hewan Penular Rabies (HPR) ke wilayahnya sejak terjadinya wabah rabies di Bali tahun 2008.

Penilaian risiko kualitatif pemasukan rabies dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau dilakukan untuk menilai kemungkinan masuk dan tersebarnya rabies khususnya di Pulau Bintan melalui pemasukan anjing. Tujuan penilaian risiko ini adalah untuk mengestimasi risiko pemasukan rabies. Penilaian risiko dilakukan dengan mengikuti standar analisis risiko impor dari OIE (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia), mengacu pada metode Biosecurity Australia,

sedangkan penilaian ketidakpastian (uncertainty) mengacu pada European Food safety Authority (EFSA). Penelitian dimulai dari bulan Agustus sampai dengan November 2014 di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan pengamatan langsung dan wawancara mendalam dengan pakar (expert opinion) serta key informants (petugas karantina, dokter hewan praktik, dinas terkait, pemilik anjing, petugas keamanan, kapten kapal, buruh bagasi). Data sekunder yang digunakan adalah laporan penelitian ilmiah baik yang dipublikasi maupun yang tidak dipublikasi, hasil surveilans, hasil uji laboratoriun dan laporan.

Pada penilaian pelepasan, berdasar hasil survei dan wawancara diketahui bahwa tujuan dari pemasukan anjing adalah untuk dipelihara (anjing kesayangan) dan untuk berburu babi hutan (anjing pemburu). Jalur pemasukan yang digunakan adalah melalui jalur laut, sehingga alur tapak risiko pada penilaian pelepasan ini adalah sama. Nilai dari kemungkinan penilaian pelepasan adalah tinggi. Hal ini disebabkan banyak faktor diantaranya adalah status endemis rabies di Pulau Sumatera, banyaknya laporan kasus gigitan, cakupan vaksinasi yang masih kurang dari yang direkomendasikan dan kurangnya kesadaran masyarakat khususnya pemilik anjing terhadap vaksinasi rabies. Penilaian pelepasan ini memiliki ketidakpastian rendah.

(5)

tempat terbuka, manajemen kesehatan kurang diperhatikan. Pada saat berburu, kemungkinan interaksi dengan manusia yaitu pemilik anjing pemburu, banyaknya populasi hewan liar atau anjing pemburu lain serta seringnya aktifitas berburu berpengaruh pada kemungkinan penyebaran rabies. Tingkat ketidakpastian pada penilaian pendedahan ini adalah rendah.

Penilaian dampak dibagi menjadi dampak langsung dan tidak langsung. Penilaian dampak akibat rabies adalah sangat tinggi. Hal ini karena, secara langsung menyebabkan kematian pada hewan dan manusia. Secara tidak langsung biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian dan pemberantasan rabies tidak sedikit. Selain itu berpengaruh pada perdagangan internasional, penurunan wisatawan dan terganggunya kenyamanan masyarakat akibat rabies.

Perkiraan risiko pemasukan rabies dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau adalah sangat tinggi, perkiraan ini sebagai hasil dari kemungkinan pelepasan, kemungkinan pendedahan dan kemungkinan dampak yang kemungkinan terjadi. Tingkat ketidakpastiannya adalah rendah. Dalam rangka mengurangi perkiraan risiko yang sangat tinggi tersebut, perlu dilakukan tindakan manajemen risiko. Manajemen risiko dapat dilakukan dengan membuka ijin pemasukan anjing (HPR) ke Provinsi Kepulauan Riau dengan syarat bahwa anjing yang dimasukkan berasal dari daerah bebas rabies, dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter hewan berwenang yang dibuktikan dengan surat keterangan kesehatan hewan. Anjing harus telah divaksin rabies. Perlu adanya pengawasan oleh dokter hewan di Kepulauan Riau pada saat berburu dan peningkatan kesadaran masyarakat melalui komunikasi, informasi dan edukasi mengenai rabies melalui penyuluhan baik menggunakan media cetak maupun elektronik.

(6)

SUMMARY

HANIF FARCHANI. Qualitative Risk Assessment on Introduction of Rabies from Sumatera Island to Kepulauan Riau Province. Supervised by ETIH SUDARNIKA and MIRNAWATI SUDARWANTO.

Rabies is a zoonotic disease caused by virus which could be transmitted from animals to humans. It occurs in more than 150 countries in the world. Rabies is potential to cause death in animals and humans. Kepulauan Riau Province is a rabies-free areas. Nevertheless, this province has a threat to be infected with rabies fom Sumatera Island. Kepulauan Riau Province prohibits the entrance of animal transmitting rabies since Bali had rabies outbreak in 2008.

Qualitative risk assessment on introduction of rabies from Sumatra Island to the Kepulauan Riau Province was conducted to assess the likelihood of entry and spread of rabies, especially in Bintan Island through dogs. The aim of this study was to estimate the likelihood of introduction risk of rabies. The risk assessment was done by following the import risk analysis standards of the OIE (World Organization for Animal Health). The method of risk assessement was refered to Biosecurity Australia. Uncertainty was refered to the European Food Safety Authority (EFSA). The primary data were obtained by direct observation and in-depth interviews with experts (expert opinion) and key informants (quarantine officers, veterinarians, related institutions, dog owners, security officers, the ship captains, and baggage workers). Published or unpublished scientific reports, surveillance results, laboratory test results were used as secondary data.

In the release assessment, it was found that the purpose of dogs entering the island was mostly to be used as pet animals and hunter dogs. The dogs entered the Bintan Island through port point (sea point). The likelihood of release assessment was high. This high likelihood of release assessment involved mainly endemic rabies status of Sumatera Island, a lot of number bite cases‟ reports, low of vaccination coverage, and low of public awarenesss. This release assessment had low uncertainty.

In the exposure assessment, the likelihood of exposure was divided into two ways, i.e., through pet dogs and hunter dogs. The likelihood of exposure in the pet dogs was very low because the dogs were kept restricted in houses or fenced areas and the implementation of dog health management was good. These caused very low contacts (exposures) to humans, susceptible animals, and other dogs. Nevertheless, the likelihood of exposure in hunter dogs was high because of the contacts between the hunter dogs and humans, susceptible animals, and other dogs were high. The hunter dogs were not kept restricted and their health management was less concerned. At the time of hunting, the possibility of interaction or exposures of hunter dogs to humans, other hunter dogs, and wild animals was high. The frequence of hunting increased the spread of rabies.

(7)

The risk estimate on the introduction of rabies from Sumatera Island to Kepulauan Riau Province was very high which was the results of release assessment, exposure assessment, and consequence assessment. The uncertainty level was low. In order to reduce the high risk, it was necessary to implement the risk management. The risk management included the issue of entry permit of dogs or rabies transmiting animals into Kepulauan Riau Province which stated that the animals come from free rabies area with the presentation of veterinary health certificate and have been vaccinated against rabies, control of hunting activities by veterinary officers, and increase of public awereness through communication, information, and education on rabies using printed and electronic media.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

PENILAIAN RISIKO KUALITATIF PEMASUKAN RABIES

DARI PULAU SUMATERA KE PROVINSI

KEPULAUAN RIAU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini tentang analisis risiko, dengan judul penilaian risiko kualitatif pemasukan rabies dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Etih Sudarnika, MSi dan Ibu Prof Dr med vet Drh Mirnawati Sudarwanto selaku pembimbing, Bapak Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB dan kepada segenap staf pengajar Program Studi Kesmavet. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada :

1. Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa

2. Ibu Ir Banun Harpini MSc selaku kepala Badan, Drh Mulyanto, MM selaku Sekretaris Badan dan Drh Sujarwanto, MM selaku kepala Pusat Karantina Hewan Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program beasiswa

3. Bapak Drh Fadjar Agus S selaku kepala Balai Karantina Pertanian Kelas II Tanjungpinang yang telah memberikan ijin penulis untuk melanjutkan studi 4. Staf pegawai Balai Karantina Pertanian Kelas II Tanjungpinang yang telah

membantu dalam pengumpulan data dan informasi pada penelitian ini

5. Bapak Drh Honismandri dari Dinas Pertanian Kehutanan Peternakan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau, Drh Setyo Rahardjo dan Drh Iwan Berri Prima dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bintan

6. Seluruh responden yang telah memberikan data dan informasi 7. Teman-teman seperjuangan KMV 2013

8. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, isteri tercinta Sirat Rizhqi Purnawati SS, Anak-anakku Aqil, Farih dan Akram serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi pihak yang berkepentingan.

Bogor, Februari 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Analisis Risiko 3

Karakteristik Rabies 4

Permasalahan Lalu Lintas Anjing 5

3 METODE 6

Waktu dan Tempat Penelitian 6

Kerangka Konsep Penelitian 6

Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data 6

Metode Penilaian Risiko Kualitatif 7

Penilaian Pelepasan (Release Assessment) 7

Penilaian Pendedahan (Exposure Assessment) 8

Penilaian Dampak (Consequence Assessment) 9

Perkiraan Risiko (Risk Estimation) 10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Alur Tapak Risiko Pelepasan Rabies 11

Penilaian Pelepasan (Release Assessment) 12

Kemungkinan Anjing di Pulau Sumatera Terinfeksi Rabies (L1) 13 Kemungkinan Anjing Terinfeksi Rabies Tidak Terdeteksi (L2) 13 Kemungkinan Anjing Terinfeksi Rabies Tidak Terdeteksi

Selama Transportasi (L3) 14

Kemungkinan Pelepasan Rabies dari Pulau Sumatera ke Pulau Bintan

Provinsi Kepulauan Riau (L4) 15

Penilaian Pendedahan (Exposure Assessment) 16 Penilaian Pendedahan Melalui Anjing Kesayangan 16

Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan

Manusia (L1) 17

Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan

Hewan Rentan Lain (L2) 18

Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan

(14)

Penilaian Pendedahan Melalui Anjing Pemburu 19 Penilaian Pendedahan Melalui Anjing Pemburu pada Saat Dipelihara

di Rumah 20

Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan

Manusia (L1) 20

Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan

Hewan Rentan Lain (L2) 21

Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan

Anjing Lain (L3) 21

Penilaian Pendedahan Melalui Anjing Pemburu Pada Saat Berburu 22 Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan

Manusia (L4) 22

Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan

Hewan Rentan Lain (L5) 22

Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan

Anjing Lain (L6) 22

Ringkasan Penilaian Pendedahan 23

Penilaian Dampak (Consequence Assessment) 24

Dampak Langsung 25

Dampak Tidak Langsung 26

Perkiraan Risiko (Risk Estimation) 27

Manajemen Risiko 27

5 SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29

(15)

DAFTAR TABEL

1 Penetapan responden 7

2 Kategori kemungkinan kualitatif dan penafsirannya 7

3 Matrik kombinasi penilaian pelepasan 8

4 Penilaian pendedahan ganda 8

5 Penilaian dampak langsung dan tidak langsung 9

6 Matrik perkiraan risiko impor 10

7 Kategori ketidakpastian kualitatif 10

8 Nilai likelihood setiap node pada penilaian pelepasan 12 9 Nilai likelihood setiap node pada penilaian pendedahan melalui anjing

kesayangan 17

10 Nilai likelihood setiap node pada penilaian pendedahan melalui anjing

pemburu 20

11 Ringkasan penilaian pendedahan rabies 23

12 Gambaran dan nilai dampak langsung akibat rabies 25

13 Perkiraan risiko pemasukan rabies 27

DAFTAR GAMBAR

1 Komponen analisis risiko 3

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rabies adalah penyakit zoonosa (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia) yang disebabkan oleh virus. Terjadi di lebih dari 150 negara dan di semua benua, kecuali benua Antartika. Lebih dari 60 000 orang per tahun diperkirakan meninggal akibat rabies. Di India, rabies dilaporkan paling tinggi insidensinya yaitu 20 565 kasus kematian per tahun, tidak jauh beda kejadian di Afrika yaitu 23 700 orang meninggal per tahun (WHO 2013).

Kejadian wabah rabies di Pulau Bali tahun 2008, membuat wilayah lain di Indonesia meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit rabies. Lalu lintas hewan khususnya Hewan Penular Rabies (HPR) antar area diperketat untuk mencegah tersebarnya penyakit rabies. Beberapa provinsi melarang pemasukan HPR ke wilayahnya terkait penyakit ini. Provinsi Kepulauan Riau adalah salah satunya, melalui Surat Edaran Gubernur No.0257.b/Kdh.Kepri.524/04.09 tahun 2009.

Provinsi Kepulauan Riau adalah wilayah kepulauan yang status penyakitnya dinyatakan bebas terhadap penyakit rabies. Wilayahnya berdekatan dengan Pulau Sumatera sehingga wilayah Provinsi Kepulauan Riau adalah wilayah yang sangat rawan terhadap pemasukan rabies. Perbedaan status inilah yang membuat kajian analisis risiko terhadap pemasukan rabies sangat diperlukan.

Provinsi Kepulauan Riau terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 merupakan Provinsi ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Lingga. Secara keseluruhan wilayah Kepulauan Riau terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota, 42 kecamatan serta 256 kelurahan/desa dengan jumlah 2 408 pulau besar dan kecil dimana 40% belum berpenduduk. Adapun luas wilayahnya sebesar 252 601 km2, di mana 95% - nya merupakan lautan dan hanya 5% merupakan wilayah darat. Pulau Bintan terdapat 2 wilayah admninstrasi pemerintahan, yaitu Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan.

Status penyakit rabies di Provinsi Kepulauan Riau saat ini masih dinyatakan bebas secara historis. Wilayah Kepulauan Riau yang terdiri dari ribuan pulau adalah faktor risiko terhadap masuknya penyakit rabies ke Provinsi Kepulauan Riau. Tempat pemasukan dan pengeluaran lalu lintas hewan yang tidak terawasi, menyebabkan pengawasan lalu lintas hewan, khususnya HPR menjadi sangat perlu diperhatikan. Seluruh wilayah Sumatera merupakan daerah endemis rabies. Data bulan Januari sampai Desember 2013 menyebutkan bahwa di Pulau Sumatera terjadi sedikitnya 158 kasus anjing positif rabies (DPKH 2014). Banyaknya lalu lintas kapal dari wilayah Sumatera ke wilayah Kepulauan Riau menjadikan risiko pemasukan rabies ke wilayah Kepulauan Riau menjadi lebih terbuka.

(18)

2

Perumusan Masalah

Pemasukan HPR secara tidak resmi menjadikan pengawasan lalulintas HPR mejadi sulit. Sulitnya pengawasan ini berisiko tinggi terhadap pemasukan virus rabies di Kepulauan Riau. Untuk keperluan tindakan pencegahan dan pengendalian, maka diperlukan informasi mengenai besarnya risiko pada setiap tahap pemasukan anjing dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau, sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan pengendalian yang tepat.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi besarnya risiko pemasukan virus rabies ke Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau dari Pulau Sumatera secara kualitatif.

Manfaat Penelitian

Hasil penilaian risiko ini bermanfaat untuk memberikan masukan dalam penyusunan peraturan, petunjuk teknis dan kebijakan lainnya pada setiap tahap alur tapak risiko pemasukan anjing dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau sehingga dapat mempertahankan status Kepulauan Riau bebas rabies.

Ruang Lingkup Penelitian

(19)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Risiko

Analisis risiko adalah alat yang menggunakan data, informasi dan pendapat ahli dari berbagai disiplin ilmu dan keterampilan, termasuk patologi, mikrobiologi, epidemiologi, statistika, kemungkinan permodelan dan ekonomi (Murray et al.

2005). Tujuan dari langkah analisis risiko adalah untuk memperoleh pemahaman risiko atau peluang untuk mengevaluasi informasi dan keputusan terhadap respon yang dibutuhkan.

Badan Kesehatan Hewan Dunia/Office International des Epizooties (OIE) mengadopsi Model Covello-Merkhofer untuk desain analisa risiko. Desain tersebut meliputi identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Penilaian risiko adalah proses mengevaluasi kemungkinan dan konsekuensi biologis dan ekonomi terhadap masuknya, keberadaannya dan menyebarnya bahaya kedalam wilayah negara pengimpor. Penilaian risiko terdiri dari 4 komponen yaitu penilaian pelepasan, penilaian pendedahan, penilaian dampak, dan estimasi risiko (Sugiara dan Murray 2011).

Penilaian risiko dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Penilaian risiko kualitatif tidak memerlukan keterampilan pemodelan matematis untuk pelaksanaannya dan penilaian ini lebih sering digunakan untuk pengambilan keputusan secara rutin (OIE 2013). Penilaian risiko kualitatif menyajikan data dengan alur yang logis dan membantu untuk menyimpulkan risiko menggunakan istilah seperti dapat diabaikan, rendah, sedang atau tinggi tanpa memberikan nilai dalam bentuk angka peluang dan biaya ataupun konsekuensi (EFSA 2006a).

3 4 5

Gambar 1 Komponen Analisis risiko (Sugiara dan Murray 2011) Penilaian Risiko

- Penilaian Pelepasan - Penilaian Pendedahan - Penilaian Dampak - Perkiraan Risiko Identifikasi

Bahaya

Manajemen Risiko

(20)

4

Karakteristik Rabies

Rabies adalah penyakit zoonosa (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia) yang disebabkan oleh virus. Rabies disebabkan oleh virus yang tidak bersegmen dari grup V (RNA virus), golongan Mononegavirales, famili

Rhabdoviridae, genus Lyssavirus, species Rabies virus. Genus Lyssavirus yang lain selain rabies meliputi virus kelelawar lagos, virus Makola, virus Duvenhage, virus kelelawar Eropa 1 dan 2 serta virus kelelawar Australia (Johnson et al. 2010).

Virus rabies ditularkan dari air liur hewan yang terinfeksi ke hewan lain melalui gigitan. Masa inkubasi dari virus ini bervariasi. Umumnya 3-12 minggu, tetapi dapat terjadi pada beberapa hari sampai beberapa bulan, jarang terjadi melebihi 6 bulan. Bukti dan sejarah kejadian rabies menunjukkan bahwa anjing, kucing, dan musang terjangkit virus beberapa hari sebelum onset klinis dan selama sakit (CDC 2011).

Cara yang paling umum penularan rabies pada manusia adalah melalui air liur pada luka gigitan anjing yang terinfeksi. Rabies adalah infeksi akut yang menyerang susunan saraf pusat (SSP) yang kejadiannya selalu fatal. Setelah virus masuk melalui gigitan, virus akan bereplikasi pada jaringan penghubung dan masuk ke saraf perifer melalui jaringan saraf otot (neuromuskuler) dan kemudian menyebar ke susunanan saraf pusat dalam sel Schwan pada endoneurium (Yousaf

et al. 2012).

Gejala klinis pada manusia akibat infeksi rabies, biasanya menunjukkan gejala umum seperti; sakit kepala, nyeri otot, mual atau batuk. Gejala paling awal karena infeksi rabies adalah mati rasa dan/atau kesemutan di lokasi luka disekitar gigitan, diikuti oleh fase agitasi dan kebingungan, diikuti koma, kegagalan pernafasan dan kematian (DEFRA 2011).

Menurut Yousaf et al. (2012) Gejala klinis rabies pada manusia dibagi atas tiga tahap; prodromal, furious dan kelumpuhan (paralytic/dumb). Semua tahapan ini tidak dapat diamati pada satu individu. Gejala klinis yang pertama adalah nyeri neuropatik (neuropatic pain) di tempat infeksi atau luka akibat replikasi virus. Selanjutnya, setelah fase prodromal diikuti fase furious dan paralytic yang dapat teramati pada hewan tertentu. Hal tersebut pernah dilaporkan bahwa pada kucing yang lebih menonjol adalah fase furious dan fase paralytic/dumb daripada pada anjing. Pada beberapa kasus, gejala klinis kadang tidak teramati dan virus rabies diidentifikasi pada hewan yang tiba-tiba mati. Diagnosis laboratorium dilakukan pada sistem saraf pusat, jaringan yang diambil dari kepala. Uji juga dilakukan pada sampel air liur, serum, dan biopsi folikel rambut pada kulit di leher.

Infeksi rabies alami pada hewan menyebabkan penyakit neurologis akut di hampir semua spesies mamalia. Tanda-tanda awal rabies pada hewan tidak spesifik seperti pada manusia, tetapi kedua bentuk klinis rabies dapat diamati pada hewan yang terinfeksi. Pada tipe furious, agresif dan hiperaktif sering teramati pada karnivora dengan terjadinya ensefalitis. Ensefalitis ini juga menyebabkan linglung, halusinasi dan agitasi.

(21)

5 Kedua bentuk klinis diatas dapat terjadi secara bergantian pada hewan yang terinfeksi. Perubahan dramatis dalam perilaku, seperti hewan menjadi lebih liar, hilangnya rasa takut pada manusia, merupakan indikasi dari infeksi rabies. Kematian umumnya terjadi dalam waktu dua minggu dari mulai timbulnya gejala. Namun, pada hewan yang tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) dan bisa bertahan hidup dapat ditemukan pada berbagai spesies, setelah deteksi antibodi rabies atau virus RNA pada hewan yang tampak sehat. Hewan tersebut adalah luwak, musang, sigung, rakun, anjing, rubah, hiena, serigala, kelelawar pemakan serangga dan pemakan buah (Dacheux et al. 2011).

Permasalahan Lalu Lintas Anjing

Lalu lintas perdagangan yang padat menjadi perhatian dalam penyebaran penyakit manusia dan hewan. Tidak terkecuali untuk penyakit rabies. Hal ini menjadi salah satu permasalahan yang menjadi kendala dalam pengendalian rabies. Pada tahun 2008, kasus kejadian wabah rabies di Bali menjadi perhatian dunia. Wabah rabies di Bali berawal dari Sulawesi menyebar ke Pulau Flores melalui nelayan (Windiyaningsih et al. 2004) dan kemudian menyebar ke pulau-pulau disekitar Bali hingga sampai ke Pulau Bali (Putra et al. 2013).

(22)

6

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai Agustus sampai November 2014. Penelitian dilakukan di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas II Tanjungpinang. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Epidemiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2 Kerangka konsep penilaian risiko pemasukan rabies dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau (Pulau Bintan)

Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Sumber data pada setiap tahapan penilaian risiko akan berbeda seperti yang diuraikan dalam tabel deskripsi skenario masing-masing tahapan penilaian risiko. Sumber data ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diambil menggunakan metode pengumpulan pendapat pakar (expert opinion), kuesioner, wawancara mendalam (in-depth interview) serta pengamatan langsung dilapangan. Data sekunder didapatkan melalui penelusuran publikasi ilmiah dan hasil surveilans, data tulisan yang tidak dipublikasi baik berupa laporan, maupun dokumen dari instansi yang berwenang. Responden dalam pengumpulan data primer tersaji pada Tabel 1.

Pemasukan anjing ilegal

Identifikasi Bahaya Penilaian Risiko Kualitatif :

 Penilaian pelepasan  Penilaian pendedahan  Penilaian dampak  Estimasi risiko

Output  Estimasi risiko Sumber data

(23)

7 Tabel 1 Penetapan responden

No Responden Sumber data

1 Pakar/ahli dalam bidang penanganan rabies Wawancara mendalam

2 Petugas karantina Wawancara mendalam

3 Dinas terkait Wawancara mendalam

4 Pemilik anjing/komunitas berburu Kuesioner dan Wawancara mendalam

5 Key informants (dokter hewan praktik/petugas

keamanan/kapten kapal/ABK/buruh bagasi)

Wawancara mendalam

Metode Penilaian Risiko Kualitatif

Penilaian risiko pemasukan rabies ke Provinsi Kepulauan Riau melalui jalur laut dari Pulau Sumatera dilakukan dengan menggunakan standar analisis risiko impor OIE dalam Terrestrial Animal Health code (OIE 2013), pedoman analisis risiko impor hewan dan produk hewan serta metodologi penilaian risiko kualitatif berdasar pakar secara ilmiah (Dufour et al. 2011).

Kemungkinan risiko pemasukan rabies dan terjadinya infeksi pada hewan dinilai untuk setiap alur menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menilai risiko pemasukan virus rabies melalui jalur laut yang ilegal atau penyelundupan hewan penular rabies dari Pulau Sumatera dan difokuskan pada pemasukan anjing.

Penilaian Pelepasan (Release Assessment)

Kemungkinan risiko pelepasan rabies dan terjadinya infeksi pada hewan dinilai untuk setiap alur menggunakan pendekatan kualitatif. Penilaian dilakukan dengan menggunakan enam kategori kemungkinan (likelihood) yang mengacu kepada Biosecurity Australia (2001). Penilaian pelepasan didasarkan pada kemungkinan terjadinya infeksi pada hewan di negara asal. Kategori kemungkinan kualitatif dan penafsirannya tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Kategori kemungkinan kualitatif dan penafsirannya

Kategori kemungkinan Penafsiran

Tinggi Kejadiannya sangat mungkin terjadi

Sedang Kejadiannya kemungkinan terjadi

Rendah Kejadiannya kemungkinan tidak terjadi

Sangat rendah Kejadiannya sangat mungkin tidak terjadi Amat sangat rendah Kejadiannya amat sangat tidak mungkin terjadi Dapat diabaikan Kejadiannya hampir tidak pernah terjadi

(24)

8

bahwa seluruh skenario akan terjadi. Matrik kombinasi dalam menentukan nilai dalam penilaian pelepasan, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Matrik kombinasi penilaian pelepasan

Likelihood Tinggi Sedang Rendah Sangat

Rendah

Penilaian Pendedahan (Exposure Assessment)

Penilaian pendedahan didasarkan pada kemungkinan terjadinya kontak melalui gigitan sehingga menyebabkan terjadinya infeksi rabies. Tahap ini penting digunakan dalam manajemen risiko terhadap tindakan yang seharusnya dilakukan didaerah asal. Pada penilaian pendedahan juga menggunakan pendekatan kualitatif dengan enam kategori kemungkinan yang tersaji pada Tabel 2.

Risiko pemasukan anjing asal daerah tertular rabies ditentukan oleh kemungkinan kejadian bahaya yang merupakan hasil penggabungan kemungkinan pemasukan (entry) dan kemungkinan pendedahan (exposure). Penggabungan kemungkinan pemasukan dan kemungkinan pendedahan dilakukan seperti pada kombinasi penilaian pelepasan yang tersaji pada Tabel 3.

Penilaian pendedahan ganda terjadi apabila titik akhir pendedahan pada hewan rentan atau manusia yang terinfeksi berasal dari dua jalur atau lebih pada alur tapak yang berbeda. Penilaian pendedahan ganda tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Penilaian pendedahan ganda

Jika nilai Risiko keseluruhan

Salah satu risiko parsial tinggi Tinggi

Lebih dari satu risiko parsial sedang Tinggi

Salah satu risiko parsial sedang dan risiko parsial yang lainnya adalah rendah Tinggi Ada satu risiko parsial sedang dan risiko parsial yang lainnya tidak sedang Sedang

Semua risiko parsial rendah Sedang

Satu atau lebih risiko parsial rendah Rendah

Semua risiko parsial sangat rendah Rendah

Satu atau lebih risiko parsial sangat rendah Sangat rendah

Semua risiko parsial ekstrim rendah Sangat rendah

Satu atau lebih risiko parsial amat sangat rendah Amat sangat rendah

(25)

9 Penilaian Dampak (Consequence Assessment)

Penilaian dampak dilakukan dengan mempertimbangkan dampak yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung yang diakibatkan oleh masuknya agen penyakit dalam hal ini rabies ke negara/daerah pengimpor. Penilaian dampak berdasar pendapat pakar (expert opinion) dan studi literatur. Pendapat pakar diperoleh dengan cara wawancara yang mendalam mengenai dampak akibat rabies. Penilaian dampak dalam penelitian ini mengacu pada metode penilaian konsekuensi Biosecurity Australia (2001). Penilaian dampak dilakukan pada setiap cakupan wilayah yaitu tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota dan lokal (peternakan/desa). Pada setiap cakupan wilayah dinilai ukuran dampaknya yang dibagi dalam empat kategori yaitu sangat signifikan, signifikan, kurang signifikan dan tidak signifikan. Dampak keseluruhan secara nasional dihubungkan dengan dampak langsung dan tidak langsung yang diperkirakan pada skala kualitatif. Skala kualitatif penilaian konsekuensi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Penilaian dampak langsung dan tidak langsung

Kategori

nilai Deskripsi

G Dampak bersifat sangat signifikan di tingkat nasional F Dampak bersifat signifikan di tingkat nasional

E Dampak bersifat kurang signifikan (minor) di tingkat nasional

D Dampak bersifat kurang signifikan (minor) di tingkat negara bagian/propinsi C Dampak bersifat kurang signifikan (minor) di tingkat kabupaten/kota/distrik B Dampak bersifat kurang signifikan (minor) di lokal (peternakan/desa) A Dampak bersifat tidak signifikan di lokal (peternakan/desa)

Tahap selanjutnya setelah dilakukan penilaian dampak dalam skala kualitatif yaitu melakukan penilaian dampak/konsekuensi secara keseluruhan. Biosecurity Australia (2001) membagi penilaian dampak/konsekuensi secara keseluruhan dalam beberapa kemungkinan yaitu :

a. Ada dampak langsung atau tidak langsung termasuk kategori „G‟ adalah sangat tinggi.

b. Lebih dari satu dampak termasuk kategori „F‟ adalah sangat tinggi.

c. Ada satu dampak kategori „F‟ sedangkan dampak lainnya termasuk kategori „E‟ adalah sangat tinggi.

d. Ada satu dampak kategori „F‟ dan dampak lainnya tidak seluruhnya termasuk kategori „E‟ adalah tinggi.

e. Semua dampak termasuk kategori „E‟ adalah tinggi.

f. Satu atau lebih dampak termasuk kategori „E‟ adalah sedang. g. Semua dampak termasuk kategori „D‟ adalah sedang.

h. Satu atau lebih dampak termasuk kategori „D‟ adalah rendah. i. Semua dampak termasuk kategori „C‟ adalah rendah.

j. Satu atau lebih dampak termasuk kategori „C‟ adalah sangat rendah. k. Semua dampak termasuk kategori „B‟ adalah sangat rendah.

(26)

10

Perkiraan Risiko (Risk Estimation)

Salah satu komponen penting dalam penilaian risiko adalah perkiraan risiko. Perkiraan risiko merupakan tahap terakhir dari proses penilaian risiko. Perkiraan risiko adalah integrasi hasil dari penilaian pelepasan, pendedahan dan penilaian konsekuensi untuk menghasilkan ukuran keseluruhan risiko yang terkait dengan bahaya yang diidentifikasi di awal. Perkiraan risiko dilakukan dengan mengacu kepada Biosecurity Australia (2001). Tujuan dari tahapan perkiraan risiko adalah untuk membuat ringkasan terhadap temuan pada setiap tahapan penilaian sebelumnya yaitu tahap penilaian pelepasan, penilaian pendedahan dan penilaian dampak/konsekuensi. Matrik perkiraan risiko untuk penilaian risiko pemasukan rabies tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Matrik perkiraan risiko impor Likelihood

rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat

Dalam penelitian risiko kualitatif, sangat penting diketahui tingkat ketidakpastian. Ketidakpastian menunjukkan adanya sebaran nilai dari variabel yang disebabkan sedikitnya pengetahuan/informasi mengenai nilai-nilai kemungkinan. Dalam penilaian risiko kualitatif, ketidakpastian dinyatakan secara kualitatif. Kategori ketidakpastian kualitatif dibagi menjadi tiga kategori (EFSA 2006b). Secara detail kategori ketidakpastian kualitatif tersaji dalam Tabel 7.

Tabel 7 Kategori ketidakpastian kualitatif Kategori

Ketidakpastian Penafsiran

Rendah Data lengkap, bukti kuat disajikan oleh berbagai referensi, berbagai penulis memiliki kesimpulan yang sama, dilakukan pengamatan dilapangan

Sedang Ada beberapa data yang tidak lengkap, bukti disajikan pada referensi yang terbatas, kesimpulan penulis bervariasi satu sama lain

(27)

11

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Alur Tapak Risiko Pemasukan Rabies

Informasi alur tapak risiko pemasukan rabies dari Pulau Sumatera ke Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau diperoleh dengan cara wawancara mendalam pada dokter hewan praktik, petugas karantina dan nahkoda kapal. Berdasarkan hasil wawancara tersebut dan survei dilapangan, tujuan dari pemasukan anjing ke Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau hanya ada 2, yaitu untuk dipelihara (anjing kesayangan) dan untuk berburu babi hutan (anjing pemburu). Tujuan pemasukan anjing yang lain, seperti untuk dikonsumsi dan dijual kembali tidak ada.

Jalur pemasukan anjing kesayangan dan anjing pemburu adalah melalui jalur laut. Jalur pemasukan yang sama ini, menjadikan alur tapak risiko pemasukannya adalah sama. Alur tapak risiko pemasukan rabies dari Pulau Sumatera tersaji pada Gambar 3.

Kemungkinan anjing terinfeksi rabies tidak terdeteksi

Kemungkinan anjing terinfeksi rabies masuk ke Pulau Bintan

Provinsi Kepulauan Riau

Kemungkinan anjing di Pulau Sumatera

terinfeksi rabies Likelihood (L1)

Likelihood (L2)

Likelihood (L3)

Likelihood (L4) L4=L1xL2xL3 Kemungkinan anjing terinfeksi rabies

tidak terdeteksi selama transportasi

(28)

12

Penilaian Pelepasan (Release Assessment)

Penilaian pelepasan meliputi penilaian terhadap kemungkinan keluarnya rabies dari Pulau Sumatera ke Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau melalui anjing dan menduga kemungkinan munculnya penyakit tersebut di Pulau Bintan. Penilaian risiko juga digunakan untuk melihat seberapa besar risiko pelepasan melalui alur tapak risiko yang sudah ditentukan. Alur tapak risiko yang sama menyebabkan nilai kemungkinan (likelihood) yang diperoleh juga sama. Penilaian pelepasan juga tidak dipisahkan antara anjing kesayangan dengan anjing pemburu. Ringkasan penilaian pelepasan rabies dari Pulau Sumatera ke Provinsi Kepulauan Riau, yang secara ringkas disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Nilai likelihood setiap node pada penilaian pelepasan

Node Deskripsi Likelihood Sumber data

Kemungkinan

Laporan kasus tahun 2013 sebanyak 158 Sumatera Barat 49 kasus

DPKH (2014)

Cakupan vaksinasi belum mencukupi Diperkirakan 11.89 %

Cakupan vaksinasi 24.9 % (Kota Padang Panjang)

Rata-rata anjing dikandangkan Tinggi (L2) Octriana (2011)

Jumlah SDM (dokter hewan kurang) Octriana (2011)

Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap vaksin rabies pada anjing

Khairani (2011)

Perjalanan kapal antara 7 jam - 4 hari Tinggi (L3 dan L4)

Wawancara

Tidak ada pemeriksaan sebelum dan sesudah dilalulintaskan

Wawancara

Masa inkubasi rabies 2 minggu- 6 bulan Sudharsan et al.

(29)

13 Kemungkinan Anjing di Pulau Sumatera Terinfeksi Rabies (L1)

Rabies telah menjadi endemis di sebagian besar wilayah indonesia kecuali Provinsi Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat (KNPZ 2014). Pulau Sumatera merupakan daerah endemis rabies. Rabies hampir terjadi di seluruh wilayahnya. Tercatat kejadian pada tahun 2013, kasus rabies tidak kurang dari 158 kasus positif rabies. Kejadian tersebut di Sumatera barat: 49 kasus, NAD: 1 kasus, Bengkulu: 1 kasus, Lampung: 9 kasus, Sumatera Selatan: 6 kasus, Sumatera Utara: 91 kasus, Jambi: 1 kasus (DPKH 2014).

Pada tahun 2012 dan 2013 Balai Veteriner Lampung telah mengidentifikasi rabies pada beberapa HPR. Pada tahun 2012 memeriksa sebanyak 24 spesimen dengan Uji FAT rabies didapatkan hasil 20 spesimen positif rabies, prevalensi 83.3 %. Pada 2013 memeriksa 33 spesimen didapatkan 6 spesimen positif rabies, prevalensi 18.2% (Alawiyah dan Evarozani 2014).

Cakupan vaksinasi adalah penting dalam pengendalian rabies. Menurut Dispet Sumbar (2011) data statistik peternakan 2011, populasi anjing di Provinsi Sumatera Barat tahun 2010 tercatat 236 544 ekor, sedangkan dalam laporan tahunan Dispet Sumbar (2010) realisasi vaksinasi yang sudah terlaksana sebanyak 28 135 dosis, artinya diperkirakan cakupan vaksinasinya 11.89%. Kota Padang Panjang pada tahun 2014 ini menargetkan bebas rabies, namun cakupan vaksinasi yang dicapai hanya 24.9% (UPTD Puskeswan Padang Panjang 2012).

Program vaksinasi pada anjing adalah untuk menghasilkan kekebalan kelompok yang berguna untuk pemberantasan rabies pada manusia dan hewan. Namun, rata-rata cakupan vaksinasi negara di Asia belum mencapai 70% dari total populasi yang dibutuhkan dan kekebalan kelompok gagal terbentuk. Salah satu faktor kegagalan dalam pembentukan kekebalan kelompok adalah gagalnya vaksinasi pada anjing liar (Ceballos et al. 2014).

Salah satu kejadian rabies tertinggi di Sumatera adalah di Provinsi Sumatera Barat. Provinsi Sumatera Barat pertama kali terjadi pada tahun 1953. Ajang perburuan digunakan untuk memberantas hama babi yang mangganggu tanaman masyarakat, juga menjadi ajang silaturahmi masyarakat Sumatera Barat dan sekitarnya khususnya antar pemburu (Octriana 2011). Kebiasaan berburu ini yang ditengarai bisa menyebarkan rabies.

Berdasarkan data yang ada maka kemungkinan anjing terinfeksi di Pulau Sumatera dinilai tinggi, dengan tingkat ketidakpastian (uncertaninty) rendah. Kemungkinan Anjing Terinfeksi Rabies Tidak Terdeteksi (L2)

Memelihara anjing sudah menjadi bagian dari gaya hidup, kebiasaan bahkan menjadi budaya sebagian masyarakat indonesia. Pola pemeliharaan HPR khususnya anjing menjadi perhatian tersendiri terkait penyebaran rabies. Di salah satu kelurahan di kota medan anjing pada umumnya masyarakat disana tidak menyetujui kalau anjing yang dipelihara diikat dengan alasan bahwa hewan butuh kebebasan seperti manusia (Malahayati 2009).

(30)

14

pemburu, cara pemeliharaan anjing yang paling banyak adalah dengan cara diliarkan dengan jumlah 67 ekor (53.2%) dari 126 ekor anjing. Berbeda dengan kelompok masyarakat pemelihara anjing pemburu, pada kelompok masyarakat pemelihara anjing bukan pemburu hanya terdapat 15 ekor (11.9%) anjing yang dipelihara dengan cara dikandangkan. Namun, adanya anjing liar disekitar pemukiman menjadi sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya kontak sehingga risko penyebaran rabies sangat tinggi. Kejadian wabah rabies di Bali tahun 2008, hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kejadian rabies tertinggi pada kelompok anjing lepasan (81%), disusul kelompok anak anjing (17%) dan terendah pada anjing rumahan (2%), dari total anjing rabies yang dikonfirmasi secara laboratorium (Putra 2011).

Hasil penelitian Khairani (2011) menyebutkan bahwa dari 150 responden pemilik anjing pemburu di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 76 responden (50.7%) menyatakan telah divaksin rabies. Dari 50.7% tersebut hanya 50% yang anjingnya divaksin sesuai jadwal. Hasil ini menggambarkan bahwa kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat pemilik anjing pemburu untuk mencegah rabies.

Program vaksinasi rabies di daerah mengalami berbagai kendala. Kendala yang dihadapi dalam vaksinasi di Kabupaten Pasaman Sumatera Barat adalah kurangnya sumber daya dokter hewan sehingga pada umumnya vaksinasi dilakukan oleh petugas yang tidak memiliki dasar pendidikan kedokteran hewan (Octriani 2011).

Vaksinasi ini digunakan untuk pencegahan dan pengendalian rabies. Namun hasil rapat koordinasi terpadu rabies se-Sumatera mengungkapkan bahwa cakupan vaksinasi di wilayah tertular rabies di Sumatera belum mencukupi dikarenakan kurangnya jumlah vaksin yang tersedia, kurangnya dana operasional dan sumber daya manusia. Selain itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya vaksinasi masih kurang. Kamil et al. (2003) menyatakan bahwa pemilik anjing di Sumatera Barat khususnya pemilik anjing pemburu pada umumnya tidak mau melakukan vaksinasi terhadap anjing karena adanya anggapan bahwa anjing akan menjadi lemah setelah divaksinasi. Hal ini menjadi hal yang penting, karena menurut Cleaveland et al. (2006), vaksinasi rabies pada anjing terbukti mengurangi jumlah kasus pada anjing, kasus gigitan pada manusia terutama pada anak-anak.

Berdasarkan data diatas maka kemungkinan anjing terinfeksi rabies tidak terdeteksi adalah tinggi, dengan tingkat ketidakpastian (uncertaninty) rendah. Kemungkinan Anjing Terinfeksi Rabies Tidak Terdeteksi Selama

Transportasi (L3)

(31)

15 (Kuala Tungkal) berlayar kira kira 14 jam dengan muatan hewan ternak (sapi dan kambing), berlayar 2-3 kali dalam satu bulan.

Rute Kapal ferry adalah Dumai-Tanjung Balai Karimun-Batam-Tanjungpinang dengan lama perjalanan kuranglebih 7 jam, melakukan pelayaran 1 kali per hari. Kapal roro tujuan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau berasal dari Tanjung Balai Karimun dan biasanya merupakan kapal yang membawa kendaraan pengangkut dari Sumatera. Kapal roro dalam seminggu 2 kali berlayar. Dari hasil wawancara dengan nahkoda/ABK kapal, modus anjing yang dilalulintaskan adalah dititip kepada ABK kapal kemudian diambil di pelabuhan tujuan. Balai Karantina Pertanian Kelas II Tanjungpinang pada bulan November 2013 telah melakukan pemusnahan 1 ekor anjing yang dititipkan kepada supir angkutan dari sumatera barat menggunakan kapal roro. Diketahui tujuan anjing tersebut dilalulintaskan adalah untuk berburu. Hasil wawancara yang lain diketahui bahwa pernah ada 5 ekor anjing berburu yang mau dititipkan ke Nahkoda walaupun dalam pengakuannya tidak jadi dilalulintaskan. Hal ini berisiko terhadap pemasukan rabies di Pulau Bintan mengingat sebelum dilalulintaskan tidak ada pemeriksaan terhadap rabies,baik pemeriksaan titer serum maupun pemeriksaan kesehatan secara fisik. Jika melihat waktu lama perjalanan kapal adalah 7 jam - 4 hari, maka apabila anjing terjangkit rabies kemungkinan belum bisa terdeteksi. Karena waktu timbulnya gejala klinis setelah gigitan antara beberapa hari hingga tahunan. Masa inkubasi rabies pada anjing umumnya 9-182 hari, kebanyakan kasus menunjukkan gejala klinis dalam 21-56 hari (FDH 2014). Sudarshan et al. (2007), menyebutkan juga bahwa masa inkubasi rabies antara 2 minggu hingga 6 bulan. Sehingga kemungkinan risiko pemasukan rabies tetap tinggi. Pada tahap ini mempunyai ketidakpastian (uncertainty) yang rendah.

Berdasarkan data yang ada maka kemungkinan rabies tidak terdeteksi selama transportasi dinilai tinggi dengan tingkat ketidakpastian (uncertaninty) rendah

Kemungkinan Pelepasan Rabies dari Pulau Sumatera ke Pulau Bintan Kepulauan Riau (L4)

Risiko pelepasan rabies diperolah dari berbagai kemungkinan (likelihood), yaitu kemungkinan anjing terinfeksi rabies di Sumatera (L1), kemungkinan anjing terinfeksi rabies tidak terdeteksi (L2), kemungkinan anjing terinfeksi rabies tidak terdeteksi selama transportasi (L3). Merujuk pada aturan matrik kombinasi pada Tabel 3, maka risiko pelepasan rabies dari Pulau Sumatera ke Pulau Bintan Kepulaun Riau (L4) adalah tinggi dengan tingkat ketidakpastian (uncertainty) yang rendah.

(32)

16

Anjing kesayangan dari Sumatera adalah anjing dengan cara pemeliharaan dikandangkan atau didalam rumah sehingga jarang kontak dengan anjing lain. Perawatan anjing dan manajemen kesehatan termasuk vaksinasi rabies pada anjing kesayangan biasanya juga diperhatikan oleh pemiliknya. Masih banyaknya kasus rabies di Pulau Sumatera menandakan bahwa pengendalian dan pemberantasan rabies masih perlu ditingkatkan kembali. Pihak yang berwenang di masing-masing daerah seyogyanya lebih bersungguh sungguh menangani berbagai kendala yang di hadapi dalam penanganan dan pemberantasan rabies.

Penilaian Pendedahan (Exposure Assessment)

Penilaian pendedahan meliputi penilaian kemungkinan anjing terinfeksi oleh virus rabies pada anjing kesayangan dan anjing pemburu serta penularannya pada manusia dan hewan rentan lainnya. Penilaian pendedahan sebagai akibat dari pemasukan anjing terinfeksi rabies ke Provinsi Kepulauan Riau.

Informasi penilaian pendedahan rabies diperoleh dengan melalui wawancara pada dokter hewan dan komunitas berburu. Selain itu, penyebaran kuesioner kepada pemilik anjing dan pengamatan langsung di Pulau Bintan Kepulauan Riau.

Penilaian Pendedahan Rabies Melalui Anjing Kesayangan

Berdasarkan hasil pengamatan langsung, wawancara dengan dokter hewan dinas dan praktik, komunitas berburu dan kuesioner yang diisi oleh pemilik anjing, maka dapat diambil hasil alur tapak risiko. Alur tapak risiko pendedahan rabies melalui anjing kesayangan tersaji pada Gambar 4.

Berdasarkan data yang diperoleh, maka didapat ringkasan penilaian pendedahan rabies melalui anjing pemburu di Provinsi Kepulauan Riau, yang secara ringkas disajikan pada Tabel 9.

Anjing kesayangan

Kemungkinan anjing kesayangan terdedah rabies kontak dengan

manusia

Kemungkinan anjing kesayangan terdedah rabies kontak dengan

anjing lain Kemungkinan anjing

kesayangan terdedah rabies kontak dengan

hewan lain

Likelihood (L2) Likelihood (L3)

Likelihood (L1)

(33)

17 Tabel 9 Nilai Likelihood setiap node pada penilaian pendedahan rabies melalui

anjing kesayangan

Node Deskripsi Likelihood Sumber data

Kemungkinan anjing

Manajemen kesehatan hewan bagus Wawancara,

kuesioner

Kontak bisa melalui celah lubang pagar pada anjing yang dipelihara didalam

Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan Manusia (L1)

Hasil wawancara pada dokter hewan praktik diperoleh informasi bahwa pernah ada 1 ekor anjing kesayangan yang diperiksakan kesehatannya berasal dari medan, Sumatera Utara. Anjing kesayangan tersebut dipelihara di dalam rumah dan sangat kecil sekali kontak dengan anjing di luar rumah. Status kesehatan dari anjing juga bagus, termasuk status vaksinasinya. Hal ini tentu mengurangi risiko terhadap penyebaran rabies.

Prosedur pemeliharaan yang baik dan diperhatikan adalah sangat penting dalam mengurangi risiko gigitan. Sesuai dengan Kardiwinata et al. (2012) yang menyatakan bahwa anjing peliharaan yang merupakan salah satu HPR merupakan faktor yang berperan dalam kasus gigitan, hal ini dapat terjadi bila HPR yang dipelihara tidak sesuai dengan prosedur pemeliharaan.

Anjing kesayangan biasanya dipelihara didalam rumah. Orang yang biasa kontak dengan anjing tersebut terbatas. Selain pemilik, orang yang kemungkinan kontak dengan anjing kesayangan adalah kerabat dekat pemilik, tetangga dan dokter hewan pada saat pemilik memeriksakan kesehatan anjing kesayangan tersebut.

Pemilik anjing kesayangan ini biasanya memeriksakan kesehatan anjingnya secara rutin ke dokter hewan praktik. Pemilik anjing kesayangan mengerti dan sadar terhadap adanya bahaya penyakit pada hewan termasuk rabies. Hal ini sesuai dengan Knobel et al. (2008) yang menyatakan pengetahuan pemilik tentang rabies akan diimplementasikan dalam bentuk kesadaran untuk tertib memvaksin anjingnya dan mencegah kontak dengan anjing liar.

(34)

18

manusia khususnya untuk dokter hewan. Selain itu, Tioho (2009) menyatakan bahwa yang memegang peranan penting terkait dengan tingginya kasus gigitan HPR pada manusia adalah adalah kepemilikan, cara pemeliharaan, dan status vaksinasi HPR yang kurang baik. Kesadaran pemilik ini membuat pengawasan rabies pada anjing kesayangan oleh dokter hewan juga menjadi lebih mudah.

Anjing yang didatangkan adalah anjing ras yang harganya cukup mahal. Pada tahapan ini likelihood adalah sangat rendah dengan tingkat ketidakpastian yang rendah.

Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan Hewan Rentan Lain (L2)

Orang yang memelihara anjing kesayangan adalah orang yang mengetahui dan sadar tentang penyakit hewan. Anjing kesayangan biasanya berupa anjing ras yang dipelihara dengan manajemen kesehatan yang bagus, vaksinasi yang terjadwal dan pola makan yang teratur serta dipelihara didalam rumah. Sehingga untuk kontak melalui gigitan pada hewan lain sangat jarang.

Anjing kesayangan dipelihara didalam rumah dan jarang kontak dengan hewan lain. Kecuali, apabila pemilik memelihara hewan kesayangan lain seperti kucing. Namun, hal ini jarang dilakukan oleh pemilik/pecinta hewan kesayangan. Hasil pengamatan dilapangan hewan selain anjing yang berkeliaran bebas disekitar rumah adalah kucing, ayam, kambing dan domba.

Tahapan ini penulis memberikan penilaian likelihood yang sangat rendah, dengan tingkat ketidakpastian (uncertainty) yang rendah.

Kemungkinan Anjing Kesayangan Terdedah Rabies Kontak dengan Anjing Lain (L3)

Hasil pengamatan dilapangan, banyak populasi anjing liar dan yang dipelihara dengan dilepasliarkan. Cara pemeliharaan ini sangat rentan terhadap penyebaran rabies karena kontak dengan anjing/hewan liar sangat terbuka. Anjing dengan sistem pemeliharaan yang dilepasliarkan biasanya kurang begitu terurus kesehatannya. Cara ini memberikan kontribusi pada kejadian rabies sebesar 81% (Putra 2011).

Anjing kesayangan diperkirakan kontak dengan anjing lain apabila pemilik mengajaknya jalan-jalan diluar rumah. Kontaknya pun biasanya sesama anjing kesayangan. Sehingga ini meminimalisir kemungkinan penularan rabies. Kemungkinan kontak terjadi pada cara pemeliharaan anjing kesayangan yang dilepas didalam pagar rumah yang terdapat celah lubang, memungkinkan kontak dengan anjing lain melalui lubang-lubang pagar.

(35)

19 Kemungkinan anjing kesayangan terdedah rabies kontak dengan anjing lain adalah sangat rendah. Kategori ketidakpastian rendah.

Penilaian Pendedahan Rabies Melalui Anjing Pemburu

Alur tapak risiko kemungkinan pendedahan rabies melalui anjing pemburu didapatkan berdasarkan hasil wawancara pada komunitas berburu dan dokter hewan praktik serta wawancara dilakukan pada pakar yang mengetahui kemungkinan pendedahan rabies di Pulau Bintan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi dilapangan. Alur tapak risiko pendedahan rabies melalui anjing pemburu di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau tersaji pada Gambar 5.

Penilaian pendedahan ini dibagi menjadi 2, yaitu pada saat anjing dipelihara di rumah dan pada saat anjing berburu babi hutan. Ringkasan penilaian pendedahan melalui anjing pemburu secara ringkas disajikan pada Tabel 10.

Gambar 5 Alur tapak risiko pendedahan rabies melalui anjing pemburu

(36)

20

Tabel 10 Nilai Likelihood setiap node pada penilaian pendedahan rabies melalui anjing pemburu

Node Deskripsi Likelihood Sumber

data

Pemeliharaan di rumah kemungkinan anjing pemburu terdedah rabies kontak dengan manusia

Cara pemeliharaan diikat ditempat terbuka Tinggi (L1)

Banyak kucing liar, ditemukan juga kambing yang dipelihara dengan diliarkan

Banyak anjing lain yang dipelihara dengan dilepasliarkan

Kontak dengan manusia selain pemilik yaitu dengan pemilik anjing pemburu yang lain dan masyarakat sekitar hutan

Masih banyak populasi hewan liar seperti: kucing, pelanduk, musang dan kera.

Tinggi

Anjing pemburu bisa saling gigit apabila berebut hasil buruan

Tinggi (L6)

Wawancara

Masih terdapat banyak anjing liar di hutan Observasi

Penilaian Pendedahan Rabies Melalui Anjing Pemburu pada Saat Dipelihara di Rumah

Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak Dengan Manusia (L1)

(37)

2008-21 Februari 2011 adalah 122 orang. Dari jumlah total korban terjadi pada anak-anak dengan sebaran umur 0-10 tahun sebanyak 18 (14.7%) orang (Iffandi et al. 2013).

Kemungkinan anjing pemburu terdedah rabies kontak dengan manusia (L1) adalah tinggi. Kategori ketidakpastian rendah.

Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan Hewan Rentan Lain (L2)

Cara pemeliharaan anjing tersebut adalah dengan cara diikat ditempat terbuka dan dimasukkan ke dalam rumah saat hujan/malam, sehingga kontak dengan hewan liar lain sangat mungkin terjadi.

Hewan yang memungkinkan kontak selain anjing adalah kucing, musang dan kera. Karena hasil observasi lapangan dan wawancara diketahui bahwa kera, musang dan kucing masih berkeliaran di sekitar pemukiman penduduk. Apalagi pada daerah pemukiman yang masih dekat dengan hutan. Sehingga kontak dengan anjing pemburu yang diikat mungkin terjadi.

Nilai kemungkinan kemungkinan anjing pemburu terdedah rabies kontak dengan hewan lain adalah tinggi. Kategori ketidakpastian rendah.

Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan Anjing Lain (L3)

Cara pemeliharaan anjing pemburu yang diikat ditempat terbuka memungkinkan kontak dengan anjing lain, terutama yang dipelihara dengan dilepasliarkan. Selain itu, tidak adanya pengamanan dalam mencegah gigitan seperti penggunaan brongsong/tali sebagai pengikat mulut anjing juga bisa menyebabkan kontak. Anjing peliharaan yang dipelihara dengan melepasliarkan adalah cukup banyak, sehingga kemungkinan kontaknya tinggi.

Pernah ada laporan bahwa anjing pemburu sakit. Setelah diperiksa oleh dokter hewan, anjing tersebut menunjukkan gejala kejang-kejang dan demam tinggi. Akhirnya setelah beberapa hari anjing tersebut mengalami kematian, walaupun sudah dilakukan penanganan. Kemudian anjing tersebut dilakukan pembedahan untuk diambil sampel otak dan dikirim ke Laboratorim Balai Veteriner Bukittinggi untuk di lakukan Uji FAT. Hasil uji otak anjing menunjukkan negatif rabies

Pada tahun 2010, Balai Karantina Pertanian Kelas II Tanjungpinang melakukan pemantuan terhadap penyakit rabies bekerjasama dengan dinas terkait. Pemantauan dilakukan di Pulau Bintan dengan mengambil sampel serum darah dan otak anjing rabies. Sampel dikirim ke Balai Vateriner Bukittinggi dan Laboratorium Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian Jakarta. Dari 50 sampel otak yang diperiksa, semuanya menunjukkan hasil negatif rabies. Sedangkan sampel serum, dari 300 sampel serum yang diperiksa 21 sampel menunjukkan hasil seropositif terhadap rabies. Tidak diketahui seropositif hasil infeksi alam atau hasil vaksinasi.

(38)

22

Penilaian Pendedahan Rabies Melalui Anjing Pemburu Pada Saat Berburu

Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan Manusia (L4)

Hasil wawancara diperoleh bahwa anjing untuk berburu babi hutan yang masuk dari Pulau Sumatera cukup banyak. Hubungan anjing dan manusia sudah terjalin cukup lama sejak ratusan tahun silam. Manusia primitif bahkan memanfaatkan anjing untuk teman berburu (Hatmosrojo dan Nyuwan 2003).

Anjing-anjing pemburu tersebut didatangkan dari Sumatera Barat. Anjing dilatih untuk berburu di Sumatera, setelah siap untuk berburu kemudian dilalulintaskan ke Kepulauan Riau. Anjing ini digunakan berburu oleh anggota komunitas berburu Persatuan Olahraga Buru Babi Indonesia (PORBI).

Kontak anjing pemburu dengan manusia pada saat berburu hanya dengan sesama pemilik anjing pemburu. Apalagi anjing pemburu yang digunakan jelas tidak memakai brongsong/tali pengaman untuk mencegah terjadinya gigitan. Hasil wawancara dengan dokter hewan yang pernah diajak untuk berburu, pemilik anjing pemburu yang ikut pada saat itu adalah 80-90 orang. sehingga kemungkinan kontak dengan anjing pemburu yang terdedah rabies dengan manusia adalah tinggi.

Berdasarkan data-data yang ada maka risiko pendedahan melalui anjing pemburu adalah tinggi dengan tingkat ketidakpastian (uncertaninty) rendah. Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan Hewan Rentan Lain (L5)

Hewan lain di daerah Pulau Bintan cukup banyak. Hewan hewan tersebut juga masih liar. Hewan liar yang ada antara lain: pelanduk, kera, musang. Data populasi HPR yang dihimpun pada tahun 2014 sampai bulan agustus jumlah populasi di Kabupaten Bintan terdiri dari kucing: 2650, kera: 3550 ekor, di Kota Tanjungpinang, kucing: 1254 ekor, kera: 65 ekor (DPKPP 2014). Dari jumlah tersebut diperkirakan masih banyak yang belum terdata dan kemungkinan terjadinya kasus rabies pada hewan hewan tersebut sangat terbuka. Karena kasus rabies pada hewan kera dan musang pernah dilaporkan oleh (Sidharta et al. 1996).

Kemungkinan hewan rentan lain kontak dengan anjing pemburu sehingga menyebabkan infeksi rabies (L5), nilainya adalah tinggi dengan kategori ketidakpastian rendah.

Kemungkinan Anjing Pemburu Terdedah Rabies Kontak dengan Anjing Lain (L6)

Anjing lain yang kemungkinan kontak pada saat berburu adalah sesama anjing pemburu. Selain itu, anjing liar yang hidup di hutan kemungkinan untuk kontak dengan anjing pemburu sangat mungkin. Hasil pengamatan dilapangan diketahui bahwa anjing liar masih banyak di Pulau Bintan. Data Populasi anjing di Pulau Bintan yang dihimpun Dinas pertanian Kehutanan Peternakan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2014 per agustus didapat, Kabupaten Bintan sebanyak 1659 ekor dan Kota Tanjungpinang sebanyak 600 ekor (DPKPP 2014). Dari jumlah tersebut diperkirakan masih banyak yang belum terdata.

(39)

23 sekitar 80-90 orang yang masing-masing orang membawa 2-3 ekor anjing. Status kesehatan untuk anjing pemburu kurang diketahui kejelasannya. Komunitas berburu ini mempunyai dokter hewan sebagai tim medis saat berburu,walaupun hanya pernah diikutkan satu kali dalam perburuan. Tujuan dari diajaknya dokter hewan tersebut adalah dalam rangka penanganan anjing yang terluka akibat berkelahi sesama anjing maupun dengan babi hutan. Frekuensi perburuan yang cukup tinggi dalam satu bulan dan pengawasan terhadap kesehatan anjing pemburu yang kurang, tentu akan menjadikan kemungkinan anjing lain terdedah rabies kontak dengan anjing lain adalah tinggi.

Nilai kemungkinan anjing lain kontak hingga terinfeksi rabies melalui anjing pemburu (L6), didapatkan nilai tinggi dengan kategori ketidakpastian rendah.

Ringkasan Penilaian Pendedahan

Penilaian pendedahan diperoleh dengan melihat dari evaluasi kemungkinan manusia kontak dan terinfeksi rabies, kemungkinan hewan rentan lain kontak dan terinfeksi rabies dan kemungkinan anjing lain kontak dan terinfeksi rabies. Penilaian ini dilakukan baik pada anjing kesayangan maupun anjing pemburu. Ringkasan penilaian pendedahan pada anjing kesayangan dan pemburu tersaji pada Tabel 11.

Tabel 11 Ringkasan penilaian pendedahan rabies

Kemungkinan pendedahan

Kemungkinankontak Kemungkinan

risiko pendedahan

Manusia Hewan

rentan lain Anjing lain Anjing kesayangan Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah

Tinggi Anjing pemburu

Saat dipelihara di

rumah Tinggi Tinggi Tinggi

Pada saat berburu Tinggi Tinggi Tinggi

(40)

24

Penilaian Dampak (Consequence Assessment)

Penilaian menggambarkan dampak/konsekuensi yang diperoleh dari pendedahan agen penyakit dan kemungkinan dampak yang akan terjadi. Pendedahan akibat agen rabies menimbulkan konsekuensi pada kesehatan ataupun lingkungan yang berpengaruh pada konsekuensi sosio-ekonomi. Konsekuensi yang ada dapat berupa dampak langsung dan tidak langsung.

Dampak langsung dari pemasukan rabies akibat lalulintas anjing dari Pulau Sumatera di Pulau Bintan meliputi dampak langsung yaitu adanya kejadian rabies terhadap kesehatan hewan baik hewan domestik maupun satwa liar. Dampak kesehatan tersebut berupa mortalitas dan morbiditas pada manusia. Dampak langsung dengan adanya kejadian rabies terhadap kesehatan manusia serta dampak langsung terhadap lingkungan.

Dampak tidak langsung meliputi dampak ekonomi untuk biaya penanganan penyakit pada hewan yaitu pengendalian, surveilans, eradikasi. Pada manusia dampak tidak langsung berupa biaya penanganan kesehatan manusia, dampak pada perdagangan hewan kesayangan khususnya anjing. Dampak tidak langsung terhadap lingkungan meliputi keragaman hayati berkurang, rusaknya ekosistem, dan dampak terhadap kehilangan wisatawan/turis dan kehilangan kenyamanan sosial.

Penilaian dampak dilakukan melalui pendapat pakar (expert opinion). Penilaian dampak dilakukan pada beberapa tingkat wilayah mulai dari lokal (peternakan/desa), kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Secara ringkas dampak yang ditimbulkan secara langsung disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Gambaran dan nilai dampak langsung akibat rabies

No Nama Deskripsi Nilai Perkiraan

dampak

DAMPAK LANGSUNG 1 Populasi hewan

dan satwa liar

- Case fatality rate sangat tinggi

- Banyak populasi hewan liar (pelanduk, kera,

-Penyakit zoonotik yang menyebabkan kematian pada manusia.

G

3 Dampak terhadap lingkungan

- Secara fisik kurang begitu berpengaruh - Kurangnya keanekaragaman hayati

C

DAMPAK TIDAK LANGSUNG

4 Ekonomi - Biaya pengendalian dan pemberantasan tinggi (vaksinasi, eradikasi, kontrol populasi HPR) - Biaya pemantauan dan surveilans tinggi - Kompensasi bagi pemilik anjing - Pengaruh terhadap perdagangan

G

5 Lingkungan - Penurunan pariwisata - Masyarakat tidak nyaman

(41)

25 Dampak Langsung

Dampak langsung yang diakibatkan pada hewan adalah kematian. Virus rabies menyerang sistem saraf pusat pada mamalia dan mempunyai case fatality rate yang sangat tinggi. Hampir semua hewan mamalia peka terhadap rabies, tapi hanya spesies tertentu yang merupakan reservoir. Spesies tersebut seperti pada famili canidae (anjing, serigala, anjing hutan, rubah, anjing, rakun), mustelidae

(sigung), viverridae (musang, luwak), procyonidae (rakun) dan kelelawar. Walaupun kucing dapat terinfeksi rabies, namun kucing dianggap dapat beradapatasi dengan cara yang tidak diketahui (CFSPH 2012). Dengan banyaknya hewan liar di Pulau Bintan, yang merupakan salah satu reservoir maupun hewan rentan maka jika terjadi wabah rabies akan menimbulkan dampak yang kurang signifikan pada tingkat kabupaten/kota. Mengingat rabies terjadi hanya di Pulau Bintan yang terdiri di-2 wilayah administrasi pemerintahan, yaitu Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan.

Dampak langsung akibat rabies terhadap kesehatan manusia ditingkat nasional adalah sangat signifikan. Rabies merupakan penyakit zoonotik yang terjadi di hampir 150 negara didunia dan hampir seluruh wilayah Indonesia. Dampak yang ditimbulkan apabila manusia tergigit anjing positif rabies bisa menyebabkan kematian. Rabies merupakan penyakit zoonosa yang bersifat mematikan dan ditransmisikan kepada manusia melalui gigitan anjing (Dodet et al. 2008). Menimbulkan kematian hampir 55 000 orang per tahun (Yousaf et al. 2012).

Terlebih lagi, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau belum mempunyai pengalaman dalam menangani rabies pada manusia serta belum adanya fasilitas/sarana untuk hal tersebut. Karena Kepulauan Riau sampai saat ini masih dinyatakan belum ada kasus rabies pada manusia dan hewan. Pada kelompok orang yang sering kontak dengan anjing seperti dokter hewan dan orang berburu sangat berisiko terjadinya gigitan anjing rabies. Hal ini memberikan dampak sangat signifikan di tingkat nasional, apabila menimbulkan korban pada manusia.

Untuk dampak lingkungan secara langsung akibat rabies, secara fisik kurang signifikan. Berkurangnya keanekaragaman hayati, yaitu populasi anjing di Pulau Bintan berpengaruh pada ketersediaan daging anjing untuk konsumsi. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan pendatang khususnya dari suku Batak di Pulau Bintan yang terbiasa mengkonsumsi daging anjing.

Dampak Tidak Langsung

Dampak tidak langsung dari konsekuensi ekonomi adalah untuk penanganan penyakit pada hewan, meliputi;pengendalian, surveilan, kontrol polulasi dan eradikasi dan penanganan kesehatan pada manusia adalah sangat signifikan. KNPZ (2014), melaporkan bahwa anggaran secara nasional melalui kementerian pertanian yang dikeluarkan untuk penanggulangan zoonosis prioritas pada tahun 2013 sebesar 219.2 milyar dan untuk kementerian kesehatan sebesar 90.7 milyar. Pengendalian secara nasional sangat signifikan mengingat rabies sampai saat ini adalah penyakit eksotik di Provinsi Kepulauan riau dan akan membutuhkan biaya yang besar jika terjadi wabah rabies.

Gambar

Gambar 1  Komponen Analisis risiko (Sugiara dan Murray 2011)
Tabel 2  Kategori kemungkinan kualitatif dan penafsirannya
Tabel 4  Penilaian pendedahan ganda
Gambar 3  Alur tapak risiko pemasukan rabies dari Pulau Sumatera
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kandungan logam berat timbal (Pb) dalam sedimen di Perairan Pulau Bunguran, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau masih sangat kecil bila dibandingkan dengan

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2017 yang berlokasi di Pulau Buluh Kelurahan Pulau Buluh Kecamatan Bulang Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Penelitian

kondisi status quo Pulau Berhala. Tanpa memperdulikan status quo yang disampaikan Menteri Dalam Negeri, Provinsi Kepulauan Riau terus melakukan aktifitas pembangunan

DAN POWDER DARI TERIPANG EMAS (Stychopus hermanii) DI KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU..

 Komisi VI DPR RI meminta kepada Gubernur Kepulauan Riau beserta BP Batam, Bintan, dan Karimun untuk menyampaikan seluruh permasalahan terkait dengan pembangunan

104 Analisis Risiko Kualitatif Masuknya Avian Influenza Melalui Pemasukan Doc Layer Dari Jawa Timur Ke Ambon Melalui Bandar Udara Pattimura Ambon Nur Rahmahtri Rahayu1*, Vicho