BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan meningkatnya aktivitas perekonomian di Indonesia, hal ini memberikan fakta
akan bahwa ekonomi kita adalah ekonomi pasar. Salah satu Hukum Ekonomi Pasar adalah
bahwa perekonomian akan berjalan baik dengan mengambil sebanyak-banyaknya, atau untuk
menang dalam persaingan.1 Bagi dunia usaha, persaingan harus dipandang sebagai hal positif.
Persaingan diasumsikan sebagai solusi yang baik dalam perekonomian. Adam Smith
mengemukakan bahwa prinsip dasar utama untuk keunggulan ekonomi pasar adalah kemauan
untuk mengejar keuntungan dan kebahagian terbesar bagi setiap individu yang dapat
direlaisasikan melalui proses persaingan.2 Persaingan disebut sebagai suatu elemen yang esensial
dalam perekonomian modern. Pelaku usaha menyadari bahwa dalam dunia bisnis adalah wajar
untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, tetapi sebaiknya dilakukan melalui persaingan
usaha yang jujur.3 Persaingan memberikan keuntungan pada para pelaku usaha itu sendiri dan
juga kepada konsumen. Dengan adanya persaingan, pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk
terus memperbaiki produk ataupun jasa yang dihasilkan, terus-menerus melakukan inovasi dan
berupaya keras memberikan produk untuk jasa yang terbaik bagi konsumen. Persaingan akan
berdampak pada semakin efesiennya pelaku usaha dalam menghasilkan produk atau jasanya. Di
sisi lain, dengan adanya persaingan, maka konsumen sangat diuntungkan karena mereka
mempunyai pilihan dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah dan
1Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.15.
2Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Selanjutnya disebut Ningrum Natasya Sirait 1, (Medan:Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm.53.
kualitas yang baik.4 Oleh sebab itu walaupun proses persaingan akan menghasilkan adanya
bagian masyarakat yang kalah dalam bersaing, tetapi persaingan dianggap sebagai cara yang
paling tepat dalam ekonomi untuk mencapai kesejahteraan secara keseluruhan melalui alokasi
sumber daya yang maksimum.
Dewasa ini perekonomian yang sedemikian maju telah membawa dampak pada
meningkatnya kegiatan antara para pelaku usaha dengan kewarganegaraan yang berbeda-beda
yang telah menyingkirkan keberadaan batas-batas negara. Arus modal asing masuk melalui
penanaman modal langsung (foreign direct investment), maupun melalui skema portofolio
saham, baik pasar modal atau diluar pasar modal. Fakta tersebut membuktikan bahwa pasar
domestik semakin terintegrasi dengan pasar global.5
Masuknya modal asing tidak selamanya membawa dampak baik bagi bangsa Indonesia.
Dengan demikian meskipun modal asing dapat masuk ke negara Indonesia, akan tetapi
pemerintah Indonesia harus tetap memegang kendali untuk dapat menetapkan atau mengatur
tentang sektor ekonomi yang terbuka bagi modal asing dan besar jumlah kepemilikan saham oleh
penanam modal asing tersebut. Negara Indonesia mengharapkan segala bentuk perusahaan yang
dijalankan di Indonesia dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Setiap usaha harus ada
dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan
kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.
Pesatnya perkembangan dunia usaha adakalanya tidak diimbangi dengan penciptaan
rambu-rambu pengawas. Dunia Usaha yang berkembang terlalu pesat sehingga meninggalkan
rambu-rambu, yang ada jelas tidak akan menguntungkan pada akhirnya.6 Salah satu peraturan
4Hikmahanto Juwana, “Sekilas Tentang Hukum Persaingan dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999”, Jurnal Magister Hukum, Vol 1 No. 1, September 1999, hlm.31.
5Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Jakarta:Book Terrace & Library, 2007), hlm.28.
yang penting untuk mengatur kegiatan dunia usaha adalah yang mengatur bagaimana para pelaku
usaha melakukan persaingan yang sehat antar sesamanya. Persaingan usaha yang sehat adalah
faktor pendukung dari perekonomian yang dinamis dan akan menghasilkan produk dengan
kualitas yang baik dengan harga yang wajar bagi konsumen.7 Untuk itu diperlukan sebuah
regulasi yang menjadi rambu-rambu bagi pengusaha untuk menciptakan persaingan yang sehat,
sehingga terbentuk Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 yang mengatur tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat (selanjutnya disebut Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1999).
Salah satu permasalahan yang tegas akan kita dapati ketika berbicara iklim perekonomian
adalah adanya tindakan persaingan usaha yang tidak sehat. Pada dasarnya dunia usaha
mementingkan atau mendambakan keuntungan yang besar pada sektor usahanya sehingga para
pelaku usaha mengupayakan hal-hal yang kadang dilarang oleh Undang-Undang. Salah satu
tindakan dari persaingan usaha tidak sehat itu adalah adanya kepemilikan silang (Cross
Ownership).
Kepemilikan silang merupakan kegiatan posisi dominan yang dilarang dalam
Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Posisi Dominan sendiri menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang-Undang-Undang
No.5 Tahun 1999 adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di
pasar bersangkutan dalam kaitannya dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitam dengan
kemampuan keungan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Kepemilikan silang (Cross
Ownership) dilakukan sebagai salah satu bentuk dari upaya perusahaan dalam beritegrasi untuk
meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan sendiri dan untuk meningkatkan daya saing
terhadap perusahaan lainnya. Didalam kepemilikan silang (Cross Ownership), dua (2) atau lebih
perusahaan yang berintegrasi akan berada dibawah satu kepemilikan yang sama. Karenanya
walaupun terdapat beberapa perusahaan, namun kebijakan yang dijalankan sebenarnya adalah
kebijakaan satu perusahaan saja. Dan struktur seperti ini menyebabkan perubahaan daya saing
perusahaan, dimana perusahaan yang melakukan Kepemilikan Silang (Cross Ownership) akan
menjadi lebih kuat, karena berkurangnya perusahaan pesaing dalam pasar.
Industri Telekomunikasi di Indonesia adalah salah satu bidang usaha yang terpenting bagi
negara Indonesia dan menguasai hajat hidup orang banyak. Semakin merosotnya perekonomian
sehingga membuat bidang usaha tersebut sebagian besar sahamnya telah dikuasai oleh investor
asing karena seolah-olah mereka lebih berkuasa daripada pemerintah Indonesia.
Perusahaan-perusahaan telekomunikasi yang didirikan di Indonesia berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas (PT). Perusahan yang berbadan hukum PT adalah perusahaan yang memiliki modal dari
para penanam modal yang terbagi atas saham-saham. Kata ”Perseroan” menunjukkan pada
modalnya yang terdiri atas saham (sero), sedangkan kata ”Terbatas” menunjuk kepada tanggung
jawab pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang diambil bagian yang
dimilikinya.8 Perusahaan-perusahaan tersebut tentunya membutuhkan modal yang sangat besar
untuk menjalankan kegiatan usahanya. Modal yang sangat besar tersebut didapatkan dari
investasi para penanam modal. Investasi dapat berasal dari investasi dalam negeri ataupun
berasal dari investasi asing. Perusahaan yang berbadan hukum PT memungkinkan terjadinya
kepemilikan saham silang (share cross ownership). Pemilik modal yang menanamkan modalnya
di suatu perusahaan dapat menanamkan modalnya di perusahaan lain baik yang berdiri sendiri
atau tergabung di dalam group.
Setelah tadinya pemerintah memberikan izin investasi asing di sektor telekomunikasi
hingga 95% (sembilanpuluh lima persen), namun sekarang jatah tersebut akan dipangkas
menjadi tinggal 49% (empatpuluh persen) saja. Aturan tersebut sudah ada dalam draf final Daftar
Negatif Investasi (DNI) yang disusun oleh Departemen Perdagangan yang isinya membatasi
pemodal asing di bidang telekomunikas tidak boleh lebih dari 49% (empat puluh sembilan
persen). Pengusaha asing menguasai yang 50% (limapuluh persen)lebih di sektor ini harus
menguranginya secara bertahap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) juga telah sepakat untuk menerima pembatasan kepemilikan asing di perusahaan
telekomunikasi hingga 35%. Kesepakatan negara ASEAN juga hanya 40%.9 Pembatasan
investasi asing dilakukan untuk mencegah adanya monopoli dari pihak asing dan untuk
menumbuhkan industri lokal, selain itu apabila kepemilikan asing tidak dibatasi juga akan
menimbulkan kepemilikan saham silang. Adanya kepemilikan saham silang dilarang dalam
dunia usaha.
Pada kisaran bulan April Tahun 2007, terjadi sebuah kasus yang cukup memberikan
pengaruh pada industri telekomunikasi di Indonesia khususnya pengguna jasa telepon seluler.
Sebuah perusahaan Holding Company berasal dari Singapura yaitu Temasek Holdings Pte. Ltd.
yang mengelola dana investasi sebesar US$ 108 Miliar atau sekitar Seribu triliun rupiah diduga
melakukan struktur kepemilikan silang atas saham dua perusahaan jasa seluler Indonesia yaitu
Telkomsel dan Indosat. Dugaan tersebut telah berlangsung mulai dari tahun 2002 dan baru
diangkat ke sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU) pada tahun
2006.
Temasek Holding Private Limited (Pte). Limited By Shares (Ltd)., atau lebih dikenal
dengan nama Temasek merupakan perusahaan besar yang berbadan hukum pemerintah
Singapura yang berdiri pada tahun 1974 yang menanamkan modalnya di Indonesia salah satunya
pada bidang usaha telekomunikasi. Temasek melalui dua anak perusahaannya yaitu Singapore
Telecommunications Ltd (SingTel) dan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT)
memiliki saham pada dua perusahaan yaitu Singtel Ltd. pada PT. Telkomsel dan STT Pte. Ltd.,
pada PT. Indosat, keduanya merupakan anak perusahaan dari PT. Telkom dan bergerak pada
bidang usaha yang sama yaitu penyelenggaraan layanan jaringan telekomunikasi.
Dalam perkembangannya di akhir tahun 2001, saham PT.Telekomunikasi Selular
(PT.Telkomsel) yang dimiliki oleh PT.Telecom BV of Netherland sebesar 17,28% (tujuh belas
koma duapuluh delapan persen) dan yang dimiliki oleh PT.Sedtco Megacell Asia sebesar 5%
(lima persen) dialihkan seluruhnya kepada Singapore Telecom Mobile Pte.Ltd. dan diikuti
dengan penjualan saham Telkomsel yang dimiliki oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (PT
Telkom Tbk.) kepada Singapore Telecom Mobile Pte.Ltd. di PT Telekomunikasi Selular
(PT.Telkomsel) menjadi sebesar 35% (tigapuluh lima persen). Temasek Holdings Pte. Ltd.,
dalam hal ini merupakan pemegang 54,1% (limapuluh empat koma satu persen) saham di
Singapore Telecomunication Ltd.10 Pada bulan Mei 2002 Pemerintah RI melepaskan kepemilikan
saham sebesar 8.1% (delapan koma satu persen) atas Indosat melalui tender global. Selanjutnya
pada 15 Desember 2002 saham milik Pemerintah RI pada PT. Indosat sebesar 41,9%
(empatpuluh satu koma sembilan persen) didivestasikan melalui tender yang dimenangkan oleh
Singapore Technologies Telemedia (”STT”) dan kemudian dimiliki oleh anak perusahaannya
yang didirikan di Mauritius yaitu Indonesian Communication Limited (”ICL”). Dengan demikian
struktur kepemilikan Indosat menjadi Pemerintah RI sebesar 14,44% (empatbelas koma
empatpuluh empat persen), ICL sebesar 41,9% (empatpuluh satu koma sembilan persen) dan
Publik sebesar 45,19% (empatpuluh lima koma sembilanbelas persen).11
KPPU menyatakan bahwa Temasek Holdings telah melanggar Pasal 27 huruf a
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu mengatur mengenai kepemilikan saham mayoritas pada
beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar
bersangkutan yang sama dimana satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar. Adanya larangan kepemilikan saham silang
dalam perusahaan agar tercipta pluralitas dalam kepemilikan (prularity of ownership). Pluralitas
kepemilikan merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya praktek monopoli yang
hanya dikuasai oleh sekelompok orang tertentu saja, sehingga dapat menimbulkan persaingan
usaha yang tidak sehat.
Kepemilikan Saham Silang yang telah dilakukan oleh Temasek Holdings yang
mengakibatkan penguasaan pasar industri telekomunikasi di Indonesia akan dibahas didalam
karya ilmiah ini dan kasus ini juga akan di analisa berdasarkan putusan KPPU No.
07/KPPU-L/2007.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka pembahasan permasalahan akan
dititikberatkan bagaimana kepemilikan silang (Cross Ownership) yang mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat atas kasus kepemilikan silang (Cross Ownership) yang dilakukan
oleh Temasek Holding. Atas dasar itulah penulis membatasi ruang lingkup kajian permasalahan
yang ada sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kepemilikan silang (cross ownership) menurut Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999?
2. Bagaimana kepemilikan silang (cross ownership) yang dilakukan oleh Temasek Holdings