• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Mortalitas 30 Hari Pasien Perdarahan Spontan Basal Ganglia Pada Kelompok Terapi Bedah Dan Konservatif Berdasarkan Penilaian Mich Score

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Mortalitas 30 Hari Pasien Perdarahan Spontan Basal Ganglia Pada Kelompok Terapi Bedah Dan Konservatif Berdasarkan Penilaian Mich Score"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS MORTALITAS 30 HARI

PASIEN PERDARAHAN SPONTAN BASAL GANGLIA

PADA KELOMPOK TERAPI BEDAH DAN KONSERVATIF

BERDASARKAN PENILAIAN MICH

SCORE

TESIS

Oleh:

Ahmad Brata Rosa NIM: 097116003

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur yang tak terhingga senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhana Wata'ala, atas karunia, petunjuk, kekuatan dan kemudahan sehingga penulis

dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dari semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua

pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya

penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan dan Ketua TKP PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan.

3. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar

-besarnya kepada Prof. dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, Sp.BS, Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, Sp.BS selaku pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya karya tulis ini.

Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan.

(4)

dr. Adril Arsyad Hakim, Sp.S, Sp.BS, Dr. dr. RR. Suzy Indharty, Sp.BS, serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatiannya senantiasa membimbing penulis selama mengikuti pendidikan. Penulis

haturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga.

5. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, MKes selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam penyusunan

tesis ini.

6. Para senior, teman-teman sejawat penulis yang memberikan bantuan dalam penulisan tesis in, khususnya dr. Abdurrahman Mouza, dr. Marsal Risfandi, dr. Teuku Yose dan dr. Alvin Abrar.

7. Seluruh perawat/paramedis di berbagai tempat di mana penulis bertugas, terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang baik selama ini.

8. Para pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.

Kepada istriku tercinta Dr. Sumi Ramadani, Sp.PD, terima kasih atas kesabaran dan dukungan yang telah diberikan selama ini. Semoga cita-cita kita berdua dapat segera tercapai.

Terima kasih saya yang setinggi-tingginya dan setulusnya penulis tujukan kepada ayahanda tercinta Said Astachri Koto dan ibunda Rosmawati Lubis yang telah mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya pada anak-anaknya sehingga cita-cita kami dapat

(5)

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan pula terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama pendidikan maupun dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita dan masyarakat.

Medan, April 2014

(6)

DAFTAR ISI

2.2. PERDARAHAN INTRASEREBRAL SPONTAN ... 6

2.3. EDEMA PERIHEMATOMA ... 8

2.4. MANIFESTASI KLINIS PIS ... 9

2.5. FAKTOR RISIKO PIS ... 11

2.6. ETIOLOGI ... 12

2.7. MORBIDITAS DAN MORTALITAS ... 18

2.8. DIAGNOSIS ... 20

2.9. PENATALAKSANAAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL SPONTAN ... 22

2.10. MODIFIED INTRACEREBRAL HEMORRHAGE SCORE ... 27

2.11. KERANGKA TEORI ... 28

BAB III: KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. KERANGKA PENELITIAN ... 31

3.2. VARIABEL PENELITIAN ... 31

(7)

BAB IV: METODE PENELITIAN

4.1. RANCANGAN PENELITIAN ... 34

4.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ... 34

4.3. SUBYEK PENELITIAN ... 34

4.4. KRITERIA PENELITIAN ... 34

4.5. POPULASI DAN SAMPEL ... 35

4.6. ALUR PENELITIAN ... 36

4.7. KERANGKA KERJA ... 37

4.8. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ... 37

4.9. INFORMED CONCENT ATAU ETHICAL CLEARENCE ... 37

BAB V: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. HASIL PENELITIAN ... 38

5.2. PEMBAHASAN ... 41

BAB VI: SIMPULAN DAN SARAN 6.1. SIMPULAN ... 45

6.2. SARAN ... 45

(8)

DAFTAR SINGKATAN

ACA Anterior Cerebral Artery AVM Artery Venous Malformation CAA Cerebral Amyloid Angiopathy

CBF Cerebral Blood Flow

CSF Cerebro Spinal Fluid

CT SCAN Computed Tomography Scan EVD External Ventriculo Drainage

GCS Glasgow Coma Scale

ICP Intra Cranial Pressure MCA Middle Cerebral Artery

MICH Modified Intracerebral Hemorrhage MRI Magnetic Resonance Imaging PCA Posterior Cerebral Artery

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. MICH Score ... 28

Tabel 3.1. MICH Score ... 32

Tabel 3.2. Glasgow Coma Scale ... 33

Tabel 5.1. Data Karakteristik Demografi Dasar Subjek Penelitian ... 38

Tabel 5.2. Data Karakteristik Penyakit Dasar Subjek Penelitian. ... 39

Tabe15.3. Persentase Mortalitas Pasien Terapi Konservatif Berdasarkan MICH Score. ... 39

Tabel 5.4. Persentase Mortalitas Pasien Terapi Operatif Berdasarkan MICH Score ... 39

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ... 5

Gambar 2.2 ... 6

Gambar 2.3 ... 8

Gambar 2.4 ... 9

Gambar 2.5 ... 12

Gambar 2.6 ... 14

Gambar 2.7 ... 28

Gambar 2.8 ... 28

Gambar 3.1 ... 29

Gambar 4.1 ... 35

(11)

ABSTRAK

ANALISIS MORTALITAS 30 HARI PASIEN PERDARAHAN SPONTAN BASAL GANGLIA

PADA KELOMPOK TERAPI BEDAH DAN KONSERVATIF BERDASARKAN PENILAIAN MICH SCORE

Ahmad Brata Rosa, Abdul Gofar Sastrodningrat, Iskandar Japardi Departemen Ilmu Bedah Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Salah satu skor yang digunakan untuk menentukan pilihan terapi terhadap perdarahan intraserebral spontan (PIS) adalah Modified Intracerebral Hemorrhage Score (MICH score). MICH score ini merupakan akumulasi dari nilai suatu kelainan yang terjadi pada perdarahan PIS spontan, meliputi volume perdarahan, GCS, dan ada atau tidaknya perdarahan intraventrikular (PIV). Rentang nilai mulai 0 hingga 5. Tujuan penelitian ini ialah untuk membandingkan mortalitas penderita PIS yang mendapat terapi bedah dengan terapi konservatif pada rentang MICH score 2-4. Penelitian ini bersifat Cohort Prospektif, yang dilakukan terhadap 40 pasien yang mengalami PIS di RS H. Adam Malik Medan. Setelah ditentukan MICH score, pasien dikelompokkan kedalam kategori mendapat terapi bedah atau konservatif, kemudian diikuti mortalitasnya selama 30 hari dan dibandingkan kedua kelompok tersebut. MICH score 2 menunjukkan angka mortalitas 55,56% pada terapi konservatif dan 42% pada terapi operatif. MICH score 3 menunjukkan angka mortalitas 80% pada terapi konservatif dan 50% pada terapi operatif. MICH score 4 menunjukkan angka mortalitas 100% pada terapi konservatif, dan 81% pada terapi operatif. Angka mortalitas setelah follow-up 30 hari bagi subjek dengan terapi konservatif sebesar 75%, dan subjek dengan terapi operatif sebesar 65%. Tidak dijumpai perbedaan kejadian mortalitas 30 hari antara kelompok konservatif dan operatif dalam penelitian ini (p=0,490).

(12)

ABSTRAK

ANALISIS MORTALITAS 30 HARI PASIEN PERDARAHAN SPONTAN BASAL GANGLIA

PADA KELOMPOK TERAPI BEDAH DAN KONSERVATIF BERDASARKAN PENILAIAN MICH SCORE

Ahmad Brata Rosa, Abdul Gofar Sastrodningrat, Iskandar Japardi Departemen Ilmu Bedah Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Salah satu skor yang digunakan untuk menentukan pilihan terapi terhadap perdarahan intraserebral spontan (PIS) adalah Modified Intracerebral Hemorrhage Score (MICH score). MICH score ini merupakan akumulasi dari nilai suatu kelainan yang terjadi pada perdarahan PIS spontan, meliputi volume perdarahan, GCS, dan ada atau tidaknya perdarahan intraventrikular (PIV). Rentang nilai mulai 0 hingga 5. Tujuan penelitian ini ialah untuk membandingkan mortalitas penderita PIS yang mendapat terapi bedah dengan terapi konservatif pada rentang MICH score 2-4. Penelitian ini bersifat Cohort Prospektif, yang dilakukan terhadap 40 pasien yang mengalami PIS di RS H. Adam Malik Medan. Setelah ditentukan MICH score, pasien dikelompokkan kedalam kategori mendapat terapi bedah atau konservatif, kemudian diikuti mortalitasnya selama 30 hari dan dibandingkan kedua kelompok tersebut. MICH score 2 menunjukkan angka mortalitas 55,56% pada terapi konservatif dan 42% pada terapi operatif. MICH score 3 menunjukkan angka mortalitas 80% pada terapi konservatif dan 50% pada terapi operatif. MICH score 4 menunjukkan angka mortalitas 100% pada terapi konservatif, dan 81% pada terapi operatif. Angka mortalitas setelah follow-up 30 hari bagi subjek dengan terapi konservatif sebesar 75%, dan subjek dengan terapi operatif sebesar 65%. Tidak dijumpai perbedaan kejadian mortalitas 30 hari antara kelompok konservatif dan operatif dalam penelitian ini (p=0,490).

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdarahan Intraserebral Spontan (PIS), atau yang biasa disebut stroke hemoragik, merupakan gangguan vaskular yang cukup sering terjadi di Indonesia. Stroke merupakan

salah satu penyakit tidak menular yang mempunyai prevalensi tinggi di dunia. Stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung koroner dan kanker, bahkan di Indonesia stroke menempati urutan teratas penyebab kematian di Indonesia diiringi

oleh tuberculosis (TBC) dan hipertensi. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2006, jumlah pasien stroke yang rawat inap di seluruh rumah sakit Indonesia sebanyak 44.365 orang

dan yang meninggal mencapai 8.878 dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 20,01% (Riset Kesehatan Dasar tahun 2007). Pentingnya penatalaksanaan yang akurat dan tepat terhadap penyakit ini. Beberapa sentra kesehatan melakukan beberapa penelitian batasan antara terapi

konservatif dan operatif pada penatalaksanaan stroke hemoragik. Tetapi belum ada ketetapan yang jelas batasan kapan dilakukan terapi konservatif atau operatif terhadap pasien stroke

(Hemphill, 2001). Intracerebral Hemorrhage Score (ICH score) telah dipakai di beberapa sentra bedah saraf untuk menentukan prognosis dari pasien PIS dengan sensitivitas dan spesifisitas yang sangat tinggi. Tetapi ICH score tidaklah dapat menjadi ketetapan dalam

pemilihan terapi dalam penatalaksanaan PIS.

Pada institusi ini, operasi dilakukan dengan melihat besarnya volume hematoma dan

(14)

memperhitungkan GCS awal. Pada penelitian STICH didapatkan bahwa pasien dengan PIS lobar dengan GCS 9 – 12 akan menghasilkan outcome yang lebih baik jika dilakukan tindakan operasi. Dan pasien GCS ≤ 8 akan memberikan outcome yang lebih buruk jika dilakukan

tindakan operasi dibandingkan dengan tindakan konservatif. Karena itu diperlukan sistem penilaian yang menggabungkan berbagai komponen yang dapat mempengaruhi outcome pasien PIS untuk menentukan batasan antara terapi konservatif dan operatif pada PIS.

Salah satu skor yang digunakan untuk menentukan pilihan terapi terhadap PIS adalah Modified Intracerebral Hemorrhage Score (MICH score) (Cho, 2008). Cho meneliti 226

pasien PIS yang dilakukan tindakan operatif dan konservatif. Penelitian ini terbatas hanya pada pasien-pasien dengan perdarahan intraserebral pada basal ganglia, dikarenakan tingginya insiden terjadinya PIS pada basal ganglia. Meliputi 50-70% dari seluruh kasus PIS.

Perdarahan intraserebral spontan pada lokasi lain, seperti: lobar, serebelum ataupun batang otak, dieksklusikan.

MICH score merupakan akumulasi dari nilai suatu kelainan yang terjadi pada perdarahan PIS, meliputi volume perdarahan, GCS, dan ada atau tidaknya Perdarahan Intraventrikular (PIV). Rentang nilai mulai 0 hingga 5. Hasilnya menunjukkan terapi

konservatif direkomendasikan untuk perdarahan basal ganglia pada pasien dengan MICH score yang rendah (0-1) untuk mempertahankan fungsi neurologis. Pembedahan dianjurkan

pada pasien dengan MICH score pada level tengah untuk menghasilkan outcome fungsional yang lebih baik (MICH 2) dan untuk menurunkan angka mortalitas (pada MICH score 3 atau 4). Pada MICH score 5, tidak ada lagi indikasi tindakan bedah.

Dalam penelitian sebelumnya pasien-pasien dengan skor MICH 0 dan 1 memiliki indeks Barthel dan Glasgow Outcome Scale (GOS) yang lebih baik dibanding dengan terapi

(15)

dan 1 dieksklusikan dari penelitian ini, dikarenakan pembedahan tidak memberikan perbaikan hasil akhir klinis dan menurunkan angka mortalitas (Cho, 2008). Pada pasien dengan skor MICH 5, semua pasien yang diterapi konservatif maupun operatif meninggal. Sehingga

pasien dengan MICH score 5 dieksklusikan. Mortalitas yang lebih tinggi pada pasien dengan. PIS basal ganglia yang mendapat terapi bedah terhadap pasien yang mendapat terapi konservatif ditunjukkan pada MICH score 2, 3 dan 4. Sebagai contoh, pada nilai 3 mortalitas

terapi konservatif 97% dan terapi bedah 35%. Atas dasar ini maka peneliti membatasi skor hanya pada 2-4. Sistem penilaian ini sangat sederhana, karena sistem penilaian ini hanya

melihat GCS awal, volume perdarahan dan ada atau tidaknya PIV atau hidrosefalus. Penelitian yang menggunakan MICH score ini belum pernah dilakukan di Indonesia, sehingga peneliti ingin mengetahui bagaimana jika penelitian ini dilakukan pada pasien-pasien di

Indonesia pada umumnya, dan khususnya di R. S. Adam malik.

Pada penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap pasien-pasien dengan nilai MICH

score 2-4, dengan tujuan untuk melihat apakah pada terapi pembedahan lebih bermanfaat

dibandingkan dengan konservatif pada rentang MICH score 2-4.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah analisis mortalitas 30 hari pasien perdarahan spontan di basal ganglia pada kelompok terapi operatif dan kelompok terapi konservatif pada rentang MICH score 2-

4?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum:

(16)

1.3.2. Tujuan Khusus:

a. Mengetahui mortalitas penderita perdarahan spontan basal ganglia yang mendapat

terapi bedah pada perawatan 30 hari.

b. Mengetahui mortalitas penderita perdarahan spontan basal ganglia yang mendapat

terapi konservatif pada perawatan 30 hari.

1.4. Manfaat Penelitian

Menjadikan MICH score sebagai salah satu patokan bagi dokter bedah saraf untuk

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Basal Ganglia

Basal Ganglia terdiri dari striatum (nukleus kaudatus dan putamen), globus palidus

(eksterna dan interna), substansia nigra dan nukleus sub-thalamik. Nukleus pedunkulopontin tidak termasuk bagian dari basal ganglia, meskipun dia memiliki koneksi yang signifikan dengan basal ganglia. Korpus striatum terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan globus

palidus. Striatum dibentuk oleh nuldeus kaudatus dan putamen. Nukleus lentiformis dibentuk oleh putamen dan kedua segmen dari globus palidius. Tetapi letak anatomis perdarahan basal

ganglia yang dibahas disini hanya meliputi nukleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula interna terletak diantara nuleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula intema adalah tempat relay dari traktus motorik volunter, sehingga jika ada lesi pada lokasi ini akan

menyebabkan gangguan motorik seperti hemiparesis ataupun gangguan motorik lain (Tortora, 2009).

Vaskularisasi yang mendarahi basal ganglia adalah cabang-cabang arteri yang berasal

dari arteri serebri anterior (ACA), serebri media (MCA), choroidal anterior, posterior communicans (P-commA), serebri posterior (PCA) dan serebelar superior. Cabang dari MCA,

yang disebut Lenticulostriata lateral, adalah yang terbanyak mendarahi striatum dan lateral dari pallidum. Perdarahan pada basal ganglia yang tersering adalah dikarenakan ruptur arteri lenticulostriata media. Arteri Heubner, disebut juga arteri striata media, berasal dari A2, yaitu

segmen dari ACA, memperdarahi putamen dan kepala dari nukleus caudatus. Arteri choroidalis anterior memperdarahi sebagian dari globus palidus dan putamen, juga ekor dari

(18)

adalah yang terbanyak memperdarahi substansia nigra dan sebagian dan STN. Cabang dari SCA memperdarahi bagian lateral dari substatia nigra (Moore, 2005).

Gambar 2.1. Potongan axial dari serebrum. Basal ganglia adalah yang ditunjukkan oleh lingkaran berwarna merah.

2.2 Perdarahan Intraserebral Spontan

Perdarahan Intraserebral Spontan adalah perdarahan pada jaringan otak yang bukan

disebabkan oleh trauma kepala ataupun patologi lain seperti tumor, aneurisma, malformasi arteri vena, kavernoma dan sebagainya. Perdarahan intraserebral spontan penyebab stroke

kedua tersering setelah stroke iskemik (Mohr, 1978; Broderick, 1993). Estimasi insidensi pada stroke perdarahan berkisar antara 16 sampai 33 kasus per 100.000 kasus stroke (Sacco, 2009).

(19)

15%), pons (5 hingga 12%), nukleus kaudatus (7%), dan serebelum (5%) (Fisher, 1959; Freytag, 1968; Furlan, 1979).

Arteri yang sering ruptur pada perdarahan intrsebral spontan adalah arteri

lentikulostriata yang merupakan cabang langsung dan arteri serebri media. Ruptur dan arteri ini akan mengakibatkan perdarahan pada basal ganglia, tepatnya putamen. Arteri Thalamo-perforata yang merupakan percabangan dan arteri serebri anterior dan media juga merupakan

sumber terjadinya PIS. Ruptur arteri ini akan mengakibatkan perdarahan thalamus. Arteri lain yang terlibat pada PIS adalah cabang paramedian dari arteri basilaris, yang mana akan

menyebabkan perdarahan dan pons dan serebelum (Manish, 2012).

Perdarahan intraventrikular (PIV) juga sering terjadi menyertai PIS pada kasus-kasus stroke hemoragik. Menjangkiti 12%-45% dengan pasien yang mengalami PIS. Tetapi PIV

juga dapat terjadi tanpa disertai dengan PIS (Hallevi, 2008; Leira, 2004; Tuhrim, 1999).

(20)

2.3 Edema Perihematoma

Edema perihematoma ditandai dengan hipodensitas disekeliling hematoma intraserebral pada CT scan. Edema perihematoma ini menjadi perhatian oleh beberapa

praktisi untuk dijadikan sebagai target terapi. Pembentukan edema setelah terjadi perdarahan intraserebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intracranial, herniasi otak, dan

kematian.

Wagner (1996) memasukan komponen whole blood ke intraserebal untuk sebagai percobaan dan edema perihematoma terjadi 1 jam setelah pemberian whole blood. Ketika

diberikan hanya komponen sel darah merah saja, edema tidak terjadi bahkan pada 72 jam pasca pemberian. Hal ini menandakan bahwa edema yang terjadi pada fase awal disebabkan

oleh faktor-faktor yang terdapat dalam serum dan bukan yang terkandung dalam sel darah merah, atau terjadi kebocoran cairan akibat cedera pada sawar darah otak (blood brain barrier). Edema yang terjadi setelah 72 jam diakibatkan oleh lisis sel darah merah atau

kerusakan sawar darah otak.

Penelitian berikutnya melaporkan bahwa edema perihematoma dapat terjadi dengan menggunakan faktor pembekuan. Elemen kaskade pembekuan yang dapat menimbulkan

edema adalah thrombin dan fibrinogen (Lee, 1996). Fenomena ini telah dikonfirmasi oleh kelompok peneliti yang berbeda yang melaporkan bahwa darah yang telah diberikan heparin

yang disuntikkan kedalam otak, menimbulkan edema perihematoma yang minimal dibandingkan dengan darah yang tidak diberikan heparin. Dikarenakan pada otak yang tidak disuntikkan heparin, edema terbentuk sangat cepat (Xi, 1998).

Pada penelitian yang dilakukan dengan subyek manusia, Gebel (1998) melaporkan bahwa kebanyakan perdarahan yang disebabkan oleh terapi trombolitik memiliki karakteristik

(21)

dengan temuan bahwa aktivitas faktor pembekuan berhubungan dengan pembentukan edema perihematoma pada fase awal.

Gambar 2.3. Potongan axial dan gambaran MRI Brain yang menggunakan teknik FLAIR yang diambil pada penderita perdarahan intraserebral spontan 48 jam dan onset serangan (A

dan B) dan pada hari ke 7 (C). Tampak perdarahan putaminal dengan edema perihematoma (Venkatasubramanian, 2011).

Sebagai kesimpulan, aktivasi kaskade pembekuan darah merupakan hal penting dalam fase awal pembentukan edema perihematoma. Perdarahan intraserebral yang disebabkan oleh

terapi trombolitik atau koagulopati memiliki edema perihematoma yang lebih sedikit dibandingkan dengan perdarahan intraserebral spontan.

2.4 Manifestasi Klinis PIS

Beberapa inisial gejala klinis pada PIS meliputi nyeri kepala, hemiparesis, perubahan status mental, dan juga penurunan kesadaran. Juga disertai dengan simtom susulan seperti

mual, muntah, gangguan visus, dan diplopia. Beberapa simtom berbeda pada PIS, tergantung dari lokasi lesi. Pada perdarahan supra tentorial terutama pada perdarahan basal ganglia akan menampilkan hemiparesis pada kontralateral lesi. Pada perdarahan infra tentorial akan

(22)

Gambar 2.4. Gambaran anatomis pembuluh darah basal ganglia. A) Lenticulo striata merupakan cabang dan Ml yang memperdarahi basal ganglia dan kapsula interna. B) Ruptur arteri Lenticulo Striata menyebabkan infark pada kapsula interna yang menyebabkan hemiparesis.

Muntah terjadi pada perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid (51% dan 47%) dibandingkan pada stroke iskemik (4%-10% kasus). Tujuh puluh delapan persen penderita dengan perdarahan subarachnoid mengalami nyeri kepala pada onset serangan,

sedangkan pada sepertiga pasien yang mengalami perdarahan intraserebral spontan mengalami nyeri kepala, dibandingkan dengan hanya 3% hingga 12% pasien stroke iskemik

yang mengalami nyeri kepala. 24% pasien perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral spontan mengalami koma, dibandingkan hanya 5% saja pada penderita stroke iskemik. Onset serangan yang gradual terjadi pada 63% penderita perdarahan intraserebral

spontan dan hanya 34% pasien yang mengalami onset yang mendadak. Sedangkan pada stroke iskemik hanya 5% sampai 20% pasien saja yang mengalami onset yang gradual,

(23)

2.5 Faktor Risiko PIS

Hipertensi merupakan faktor predisposisi tersering pada PIS. Baik tekanan sistolik maupun diastolik merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Hipertensi merupakan presentasi

klinis tersering pada kasus stroke terutama pada PIS. Pada pasien dengan perdarahan intraserebral spontan memiliki tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan atau tekanan darah

diastolik > 100mHg meliputi 91% pada saat terjadinya stroke dan 72% memiliki riwayat hipertensi sebelumnya (Mohr, 1990).

Merokok juga merupakan faktor risiko terjadinya stroke, dengan nilai risiko relatif

1,5-2,2 (Abbort, 1986; Colditz, 1988; Shinteon, 1989). Faktor risiko yang lain adalah kadar kolesterol darah, rendahnya kadar kolesterol darah merupakan faktor risiko dan terjadinya perdarahan intraserebral spontan. Iso (1989) menyatakan dalam penelitiannya bahwa risiko

terjadinya PIS tiga kali lipat lebih tinggi pada pasien dengan kadar kolesterol rendah dibandingkan yang tinggi. Tetapi hiperkolesterolemia berhubungan dengan stroke non

hemoragik.

Salah satu mekanisme terjadinya stroke akibat rendahnya kadar kolesterol darah adalah dikarenakan kadar kolesterol darah berhubungan dengan konsentrasi asam arakidonat

pada membran sel. Asam arakidonat adalah komponen struktural yang penting dan membran sel pada endotel pembuluh darah. Dan metabolit dari asam arakidonat berperan dalam tonus

pembuluh darah dan perbaikan dan dinding endotel pembuluh darah. Maka kekurangan kolesterol akan meningkatkan risiko terjadinya stroke (Golfetto, 2001).

Tingginya konsumsi alkohol juga merupakan faktor risiko terjadinya PIS. Meskipun

demikian konsumsi alkohol yang sedang tidak memberikan efek dan bahkan dapat mencegah terjadinya PIS (Biller, 1998).

(24)

warfarin sering menyebabkan terjadinya PIS dengan hematoma yang besar. Meskipun demikian pemakaian antiplatelet pada kadar tertentu dapat menurunkan risiko stroke, tetapi dosis optimal belum diketahui. Dosis aspirin yang dapat diterima adalah 30-1300 mg/hari, dan

dosis yang direkomendasikan 325 mg/hari (American Heart Association: Guidelines for the management of transient ischemic attacks, 1994).

2.6 Etiologi

Beberapa etiologi telah dikemukakan dalam beberapa penelitian, seperti hipertensi, Cerebral Amyloid Angiopathy (CAA), pemakaian anti koagulan, pemakaian beberapa obat

dan alkohol, aneurisma, dan AVM. Tetapi secara garis besar etiologi terjadinya PIS terbagi menjadi primer dan sekunder. PIS primer disebabkan oleh karena gangguan pada pembuluh

darah yang disebabkan hipertensi kronis atau CAA, ini merupakan penyebab tersering dari PIS, meliputi 80% dan seluruh kasus PIS. PIS sekunder berhubungan dengan malformasi vaskular, tumor atau gangguan koagulasi.

2.6.1 Hipertensi

Hipertensi diduga kuat merupakan penyebab utama terjadinya PIS. Hipertensi kronis menyebabkan degenerasi dan dinding pembuluh darah kecil yang berasal dan arteri serebri

anterior, media dan posterior. Perubahan ini dapat mengurangi compliance, sehingga pembuluh darah mudah ruptur. Tekanan darah normal adalah 120 mmHg untuk sistolik dan

80 mmHg untuk diastolik. Hipertensi terbagi kedalam empat tingkat, yaitu: prehipertensi untuk tekanan darah sistolik/diastolik 120-139/80-89 mmHg, hipertensi tingkat 1 untuk tekanan darah 140-159/90-99 mmHg, tingkat 2 untuk tekanan 160-179/100-109 mmHg, dan

tingkat 3 untuk tekanan darah >190/>110 mmHg. Risiko terjadinya PIS bervariasi pada beberapa penelitian tentang hubungan tingginya risiko PIS dengan tingkat hipertensi. Tingkat

(25)

pemakaian obat-obatan anti hipertensi secara teratur (Furlan, 1979).

2.6.2 Cerebral amyloid angiopathy (CAA)

CAA merupakan penyebab utama perdarahan lobar pada kelompok lanjut usia

(Okazaki, 1983; Vinters, 1987). Gambaran patologi dari CAA ini berupa deposisi protein amiloid pada tunika media dan tunika adventisia dari arteri leptomeningeal, arteriol, kapiler,

dan yang jarang terjadi, pada vena (Vonsattel, 1991; Mandybur, 1978; Maruyama, 1990). Destruksi elemen pembuluh darah yang normal oleh deposisi amiloid pada tunika media dan adventisia dapat menyebabkan perdarahan intraserebral. Pembuluh darah yang sudah

mengalami gangguan ini rentan untuk mengalami ruptur oleh trauma ataupun perubahan tekanan darah yang mendadak (Ueda, 1988). CAA juga berperan pada kelainan transient neurologic symptoms dan demensia akibat leukoencephalopathy (Greenberg, 1993).

Gambar 2.5. Gambaran skematis manifestasi iskemik dan hemoragik yang diakibatkan oteh sporadic CAA yang tampak pada MRI. (Charidimou, 2012)

(26)

sampai 58% pada individu yang berusia diatas 90 tahun. Deposisi ini lebih sering dijumpai di daerah parietal dan occipital, dan jarang terjadi di daerah basal ganglia, batang otak, atau serebelum.

Okazaki dan Whisnant (1983) melaporkan bahwa amyloid angiopathy terjadi pada 5 dari 17 individu yang berusia 65 tahun ke atas yang mengalami perdarahan intraserebral, dan Drudy dan kawan-kawan melaporkan bahwa separuh dari perdarahan intraserebral yang

dialami oleh individu yang berusia 65 tahun ke atas memiliki perdarahan lobar. Sifat rekurensi dan multifokal yang dimiliki oleh CAA ini menjadi ciri khusus yang membedakan

jenis perdarahan ini dengan perdarahan yang disebabkan oleh hipertensi, yang jarang sekali terjadi berulang. Hill (2000) melaporkan pasien dengan perdarahan lobar memiliki 4 kali mengalami perdarahan berulang di lokasi lobar.

2.6.3 Apolipoprotein E dan CAA

Beberapa penelitian menyebutkan peranan genotip apolipoprotein Eε2 (ApoE2)

(setidaknya satu alel ApoE2) dan genotip apolipoprotein Eε4 (ApoE4) pada perdarahan intraserebral yang berkaitan dengan CAA. Greenberg melaporkan bahwa dan 45 kasus perdarahan lobar yang dikumpulkan di Massachusetts dibandingkan dengan 1899 population

based controls dari Iowa, kasus perdarahan lobar memiliki prevalensi dua kali lipat memiliki ApoE4 dibandingkan kontrol tersebut. Individu yang memiliki carrier alel ApoE4 memiliki

kecenderungan untuk mengalami serangan perdarahan pertama kali 5 tahun lebih awal dibandingkan individu yang non-carrier. Nicoll et al melaporkan bahwa diantara 36 pasien yang telah dikonfirmasi atau probable memiliki CAA secara patologi, ApoE4 memiliki faktor

(27)

memiliki ale ApoE2. Skema patofisiologi peranan genotip apolipoprotein E yang berkaitan dengan CAA menyebabkan terjadinya PIS, dapat dilihat pada gambar 2.6.

(28)

Berdasarkan diagram diatas ditemukan bahwa sumber utama dari Aβ berasal dart sel neuron. Produksi Aβ diawali dengan pelepasan protein prekursor amiloid (APP) oleh sekretase β- dan γ sesuai dengan proporsi aktivitas neuron. Aβ dieliminasi oleh otak melalui

Empat jalur utama: (a) degradasi proteolitik oleh endopeptidase (seperti neprilysin dan insulin degrading enzyme (IDE)); (b) pembersihan yang dimediasi oleh reseptor di sel pada parenkim otak (microglia, astrosit dan sebagian kecil oleh neuron); (c) transport aktif kedalam

darah melalui sawar darah otak; (d) eliminasi di sepanjang jalur perivaskuler dimana cairan interstisial mengalir ke otak. Carrier khusus (seperti ApoE) dan/ atau mekanisme transport

reseptor (seperti low density lipoprotein receptor (LDLR) dan LDLR related protein (LRP1)) terlibat pada seluruh jalur pembersihan selular utama. Deposisi vaskular difasilitasi oleh faktor-faktor yang meningkatkan rasio Aβ40:Aβ42 (peningkatan Aβ42 menyebabkan

oligomerisasi dan pembentukan plak amiloid). Apabila proses pembersihan ini gagal karena misalnya faktor usia, Aβ akan terjebak dan tidak terdrainase di jalur perivaskuler ke dalam

membrane basalis kapiler atau arteriol otak yang menyebabkan terjadinya CM. Alel ApoE memiliki efek yang berbeda pada proses selular dan molecular pembentukan AO. (8) Peranan dari alel ApoE yang berbeda pada berbagai jalur di otak yang berperan pada pathogenesis

terjadinya CM (Charidimou A, 2012).

2.6.4 Koagulopati dan perdarahan intraserebral pasta terapi trombolitik

Koagulopati baik disebabkan oleh kelainan kongenital maupun akibat efek samping pengobatan, berhubungan dengan terjadinya perdarahan intraserebral. Penggunaan

antikoagulan Coumadin memiliki peningkatan risiko 6 hingga 11 kali lipat terjadinya perdarahan intraserebral spontan. Petty et al melaporkan bahwa risiko terjadinya perdarahan

(29)

3 tahun pengobatan. Meskipun dosis obat yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan risiko perdarahan, kebanyakan kasus perdarahan terjadi pada rentang dosis standar. Riwayat stroke atau trauma kepala sebelumnya tidak jelas berhubungan dengan perdarahan akibat

koagulopati.

Perdarahan intraserebral akibat terapi trombolitik 20% terjadi di luar distribusi vaskular yang terlibat stroke iskemik. Gebel melaporkan bahwa 77% perdarahan intraserebral

akibat terapi trombilitik terjadi di daerah lobar. Perdarahan akibat terapi trombolitik terjadi soliter pada 66% kasus, konfluens pada 80% kasus, dan menunjukan gambaran blood-fluid

level pada 82% kasus. Pfleger (1994) melaporkan bahwa gambaran blood-fluid level 98% spesifik untuk adanya PT atau APTT yang tidak normal.

2.6.5 Perdarahan akibat infark serebri

Infark serebri memiliki risiko terjadi perdarahan intraserebral sebesar 5 hingga 22 kali lipat. Hubungan yang erat antara infark dengan perdarahan intraserebral tidak mengherankan,

karena kedua kelainan ini memiliki faktor risiko yang sama, yakni hipertensi. Pada penelitian di Greater Cinninati, 15% pasien yang mengalami perdarahan intraserebral memiliki riwayat stroke sebelumnya. Woo (2002) juga melaporkan bahwa 13% dari seluruh perdarahan

intraserebral disertai faktor risiko stroke iskemik.

2.6.6 Hipokolesterolemia

Hipokolesterolemia merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan intraserebral dibandingkan individu yang memiliki kadar kolesterol yang normal. Analisis multivariat yang dilaporkan oleh (Giroud, 1995) di Dijon, Perancis, faktor risiko yang signifikan pada

perdarahan intraserebral adalah hipertensi dan kadar kolesterol yang rendah. (Okumura, 1999) juga melaporkan bahwa kadar kolesterol yang rendah juga merupakan faktor risiko yang

(30)

melaporkan bahwa 47% kasus perdarahan intraserebral yang letaknya dalam memiliki kadar kolesterol yang rendah dibandingkan dengan 27% pada kasus perdarahan lobar.

2.6.7 Konsumsi alkohol

Beberapa penelitian melaporkan bahwa konsumsi alkohol yang berlebihan merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya perdarahan intraserebral (Caicoya, 1999)

melaporkan bahwa mengkonsumsi alkohol lebih dari 140g per hari memiliki OR 6.2 (CI:1.3-24.0) terhadap terjadinya perdarahan intraserebral. Monforte melaporkan hubungan ini paling signifikan terjadi pada perdarahan lobar. Pada penelitian Greater Cincinnati, multivariate OR

untuk konsumsi alkohol yang berlebihan (>2 gelas per hari) terhadap terjadinya perdarahan lobar adalah 5.3 (CI: 1.4-20). Woo et al melaporkan bahwa 8% seluruh perdarahan lobar

disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan.

2.7 Morbiditas dan Mortalitas

Beberapa penelitian terakhir menunjukkan angka mortalitas yang lebih rendah dari

penelitian sebelumnya, yaitu dengan mortalitas 30 hari sebesar 18%. Pada penelitian sebelumnya berkisar antara 23%-58% (Wijdicks, 2004; Qureshi, 2001; Lisk, 1994; Broderick, 1993; Mayer, 2008; Naidech, 2009; Becker, 2001). PIS score adalah skala yang valid dalam

menentukan prognosis dari suatu PIS. Dikarenakan skala ini menggabungkan antara besar hematoma, GCS, ada atau tidak PIV dan usia pasien. Becker mengatakan bahwa variabel

terpenting untuk menentukan outcome dan suatu PIS adalah tingkat dari dukungan medis yang disediakan. Persepsi dari kegagalan terapi agresif mengarah pada pemberhentian awal dukungan medis, yang mana PIS nya sedikit menyerupai PIS pada pasien yang ditangani

secara pembedahan (Becker, 2001), Ini mungkin menjadi penelitian yang bernilai apabila PIS pasien mempunyai hasil akhir yang lebih baik pada volume tinggi yang sering kali diterapi

(31)

pembedahan aneurisma yang belum pecah (Barker, 2003). Dilaporkan mortalitas 30 hari tertinggi pada PIS adalah yang berlokasi pada basal ganglia, yaitu sekitar 50%. Kemudian disusul oleh perdarahan thalamus sekitar 23%. Perdarahan serebellum 16% dan perdarahan

lobar dan pons adalah PIS yang memiliki angka mortalitas terendah yaitu 13%, dan outcome jangka panjang yang baik (Cheung, 2003) (Salvati, 2001).

Salah satu yang diperdebatkan dalam manajemen post PIS jangka panjang ialah

mengenai penggunaan antikoagulan. Pada suatu penelitian, data epidemiologis dari literatur medis digunakan untuk mendapatkan model Markov-state transition decision. Keberhasilan

terapi diukur dengan kualitas angka harapan hidup (Eckman, 2003). Peneliti menemukan bahwa pada pasien dengan lobar PIS sebelumnya menunda penggunaan antikoagulan akan menghasilkan outcome lebih baik bagi kualitas angka harapan hidup sebanyak 1,9 kali.

Sebaliknya, pada pasien dengan deep interhemispheric PIS, dikarenakan rendahnya risiko recurrent PlS akibat ketiadaan amyloid angiopathy, sebaiknya tidak diberikan antikoagulan

untuk keadaan fibrilasi atrium non katup, namun antikoagulan disertai aspirin tetap diberikan apabila terdapat risiko moderat-tinggi kejadian trombo-emboli dan ditambah coumadin bila risiko tersebut sangat tinggi. ASA Stroke Council (Broderick, 2007) dan EUSI guidelines

(Steiner, 2006) merekomendasikan antikoagulan warfarin bagi pasien yang memiliki katup jantung buatan selama 7-14 hari setelah onset PIS (Butler, 1998). Angka rekurensi PIS

diperkirakan 2,4% per tahun, dan 3,8 kali lipat lebih tinggi setelah lobar PlS cerebral amyloid angiopathy dibandingkan dengan hypertensive deep PIS (Hill, 2000). Faktor yang berperan

sebagai prediktor positif perdarahan berulang yaitu usia diatas 65 tahun dan jenis kelamin pria

(Vermeer, 2002).

Volume perdarahan juga memegang peranan terhadap prognosis pasien dengan PIS

(32)

lebih tidak dapat menolerir adanya perdarahan yang luas. Hematoma dibagi menjadi perdarahan kecil (≤30cm3), sedang (30-60 cm3), dan luas (≥ 60 cm3). Mortalitas 30 hari pada hematoma yang kecil, sedang dan luas adalah 23%, 60%, dan 71% untuk perdarahan lobar,

dibandingkan dengan 7%, 64%, dan 93% untuk hematoma pada daerah otak yang dalam (Broderick, 1993). Secara keseluruhan mortalitas 30 hari untuk lobar hematoma adalah 39% dan 48% untuk hematoma yang dalam. Volume perdarahan juga berhubungan dengan

terjadinya perdarahan ulang. Pada salah satu penelitian retrospektif menyebutkan bahwa perdarahan ulang pada PIS dengan volume <25 cm3adalah 39% dibandingkan dengan volume

perdarahan >25 cm3

2.8 Diagnosis

yaitu 23% (Kazui S, 1997).

Meskipun diagnosis dari stroke dapat ditentukan dengan berdasarkan gejala klinis dan faktor risiko, diagnosis pasti haruslah melalui radio imejing. Dengan radio imejing dapat ditentukan ada tidaknya perdarahan, luas perdarahan dan lokasi perdarahan, dan bahkan dapat

memprediksikan penyebab terjadinya perdarahan. CT scan adalah modalitas pertama untuk diagnostik dari PIS. Dikarenakan CT dapat mudah diulangi dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Pada CT scan akan ditemukan PIS berupa lesi hiperdense (putih) pada

intrakranial jika perdarahan masih pada fase akut. Seiring waktu clot akan lisis dan akan memberikan gambaran yang lebih gelap dari fase akut. Pada fase kronis perdarahan akan

memberikan gambaran hipodense yang mirip seperti CSF. Selain untuk melihat perdarahan intraserebral CT juga dapat menampilkan perdarahan intraventrikular dan ada atau tidaknya hidrosefalus. Jika terdapat lesi lain, tindakan bedah akan menjadi berbeda.

Beberapa teknik dapat digunakan untuk mengukur volume dari hematom. Salah satunya dengan metode computed planimetric measurement. Yaitu dengan menggunakan alat

(33)

diubah formatnya dengan menggunakan software khusus untuk perencanaan navigasi (Iplan® Cranial software). Hematoma didelineasi pada setiap potongan dengan menggunakan software yang dapat melakukan brush atau smart brush. Kemudian volume perdarahan akan

dikalkulasi oleh software tersebut dan disajikan dalam cm3

Volume perdarahan juga dapat diukur dengan menggunakan rumus volume elipsoid

yang dimodifikasi, yaitu (A x B x C)/2. A dan B adalah merupakan diameter hematoma terbesar yang saling tegak lurus, dan C adalah jumlah dari slice yang terdapat hematoma

dikalikan dengan ketebalan slice (Kothari, 1996). Pada penelitian Kothari didapati bahwa volume PIS dapat diestimasi dengan menggunakan rumus (AxBxC)/2 secara akurat, dengan mengkorelasikannya terhadap computed planimetric measurement. Penting untuk mengetahui

volume perdarahan, dikarenakan volume perdarahan berhubungan dengan prognosis dari suatu PIS seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

. Tetapi pada keadaan emergensi, hal ini sulit untuk dilakukan.

Perdarahan intraventrikular dapat terlihat dengan adanya gambaran hiperdens di dalam sistem ventrikel. Perdarahan ini bisa meliputi salah satu ventrikel ataupun seluruh sistem ventrikel. Jika ventrikel tidak terisi penuh oleh darah, dapat dilihat gambaran fluid level dari

hematom. Hal ini penting diperhatikan untuk membedakan perdarahan dari kalsifikasi plexus choroid, dikarenakan keduanya menampilkan gambaran hiperdens pada intraventrikular.

Hidrosefalus dapat dilihat dari CT scan dengan menampilkan gambaran dilatasi dari sistem ventrikel (ventrikulomegali). Ventrikulomegali ditentukan dengan menggunakan ratio evans. Ratio evans adalah perbandingan jarak kedua frontal horn ventrikel lateral dengan

jarak biparietal terjauh. Dikatakan ventrikulomegali jika ratio evans lebih dari 30%.

MRI lebih sensitif dari CT untuk melihat keadaan intrakranial, tetapi memerlukan

(34)

dianjurkan untuk tindakan screening. Dan juga biayanya relatif lebih mahal dan CT scan. Tetapi dengan MRI dapat melihat etiologi yang menyebabkan terjadinya PIS. Seperti ditemukannya gambaran tumor, malformasi serebrovaskular dan aneurisma. Tetapi MRI tetap

merupakan pilihan diagnostik sekunder setelah CT.

Serebral angiogarafi diperlukan untuk lesi yang disangkakan akibat gangguan vascular, seperti AVM atau aneurisma. Dengan ditemukannya CT-angiografi dan MRA,

penemuan lesi vaskular tanpa terpapar risiko angiografi dapat dihindari. Dan MRA maupun CTA dapat dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi lesi bilamana diperlukan operasi

emergensi.

2.9 Penatalaksanaan Perdarahan Intraserebral Spontan

2.9.1 Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan terbaik untuk perdarahan intraserebral spontan masih menjadi perdebatan. Terapi medikamentosa, tindakan bedah ataupun kombinasi dari keduanya masing masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tetapi inti penatalaksanaan PIS adalah untuk

memperbaiki fungsi neurologis, dengan menyelamatkan penumbra di sekitar PIS. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa penumbra yang mengelilingi suatu hematoma mengandung sel saraf yang hampir rusak dan kadang masih reversibel. Pada PIS jaringan otak

akan ditekan oleh hematoma yang keluar dari pembuluh darah. Pada penelitian Bullock dkk. (1984) terhadap hewan percobaan menyebutkan penekanan tersebut akan menyebabkan

terjadinya edema, iskemik, dan nekrosis pada batas dari clot. Bahkan volume dan penumbra ini dapat melebihi dan volume perdarahan. Sehingga kemungkinan defisit neurologis yang disebabkan oleh adanya penumbra akan bersifat reversibel jika penumbra berhasil

(35)

Seluruh pasien PIS dirawat di ICU neurologi. Infus terpasang dan tekanan darah sistolis dipertahankan antara 100-140 mmHg menggunakan obat antihipertensi intra vena Selain itu, pasien juga diberikan manitol dan obat antiepileptik, pemasangan EVD, serta untuk

proteksi penumbra dilakukan kontrol gula darah, suhu, dan pemberian obat hemostatik untuk mencegah perdarahan ulang.

Dikarenakan beberapa kasus kegagalan manitol menurunkan ICP dan efek rebound,

maka dikembangkan agen osmolar baru berupa larutan garam hipertonis 23,4% , yang dapat diberikan secara bolus 30 cc. Efek penurunan ICP bertahan hingga 15 jam. Studi random

masih diperlukan untuk obat altematif ini.

EVD dipasang pada kasus PIS yang disertai dengan PIV yang berujung pada hidrosefalus obstruktif. Untuk mencegah clot diberikan 5 mg tPA 2 kali/hari i.v sesuai dengan

penelitian sebelumnya (Goh, 1998). Setelahnya EVD ditutup selama 30 menit jika ICP tidak naik, untuk mencegah tPA keluar dan ventrikel.

PIS sering diikuti oleh kejang, sekitar 5-10% pada perdarahan supratentorial (Passero,2002). Dikarenakan kejang dapat meningkatkan tekanan intrkranial, maka pemberian obat antiepileptik profilaksis dianjurkan (Broderick , 1999).Demam sering terjadi pada PIS,

ditemukan 90% pada perdarahan supratentorial. Dan semakin sering dan parah pada perdarahan intrventrikular. Demam dapat menyababkan outcome jangka panjang yang buruk.

Untuk itu, demam harus diturunkan secara agresif dengan menggunakan asetaminofen ataupun kompres dingin hingga temperatur ≤ 37,50C (Schwarz, 2000).

Pada perdarahan intraserebral dapat terjadi hiperglikemia baik pada pasien nondiabetik

maupun dengan penyakit diabetes. Dan hiperglikemia juga merupakan predictor outcome yang buruk bagi pasien diabetik maupun nondiabetik (Passero, 2003). Untuk mengontrol

(36)

gula darah dipertahankan 80-110 mg/d1. Pada penelitian Van den Berghe G dkk. (2006) mengemukakan bahwa dengan pengontrolan kadar gula darah yang ketat dapat mengurangi angka mortalitas terutama yang disebabkan sepsis dan kegagalan beberapa organ.

Terapi hemostasis dapat diberikan untuk mencegah terjadinya pertambahan perdarahan ataupun perdarahan ulang beberapa jam setelah serangan. Pada pasien dengan koagulopati diberikan FFP, prothrombin complex concentrate dan faktor IX. Terapi pengganti

faktor VIII dan IX diberikan pada pasien dengan hemofilia A dan B. Cryoprecipitate diberikan pada pasien dengan hipofibrinogenemia. Dan Desmopressin Diacetate Arginine

Vasopressin (ddAVP) diberikan pada pasien gangguan trombosit.

Pada PIS juga dapat diberikan neuroprotektor, yang berguna untuk melindungi

penumbra disekitar hematoma. Neuroprotektor yang telah terbukti secara klinis adalah GABA antagonist muscimol dan NMDA receptor antagonists MK801 dan D-(E)-4-(3-

phodphonoprop- 2-enyl)-piperazine-2-carboxylic acid (D-CPP-ene). Obat-obatan ini telah

terbukti mengurangi edema dan melindungi white matter pada hewan percobaan (Mendelow, 1993).

2.9.2 Tindakan Pembedahan pada Perdarahan Intraserebral Spontan

Terdapat beberapa bukti eksperimental yang menyatakan bahwa evakuasi hematoma yang dilakukan segera dapat memperbaiki cerebral blood flow (CBF), perubahan histologis,

edema serebri, iskemia, dan outcome. Lia kematian pada perdarahan intraserebral terjadidalam 48 jam setelah onset dan pertambahan volume atau rebleeding terjadi maksimal dalam 3 hingga 4 jam dan terus berlangsung hingga 24 jam setelahnya. Oleh sebab itu,

tindakan operasi dapat meningkatkan outcome. Beberapa bukti klinis juga mendukung tindakan operasi yang segera. Salah satu cabang dan arteri lentikulostriata yang ruptur dalam

(37)

koagulasi pada pembuluh darah tersebut yang dilakukan dengan segera dapat menguntungkan. Eksaserbasi terjadi tiba-tiba dan kebanyakan terjadi pada 4 hingga 6 jam setelah onset perdarahan, evakuasi sebelum periode waktu tersebut dapat mencegah terjadinya perburukan

klinis. Oleh karena perubahan sekunder seperti edema otak terjadi dalam 7 hingga 8 jam setelah perdarahan, maka tindakan evakuasi sebelum periode waktu tersebut dapat mencegah terjadinya perubahan sekunder tersebut.

Kaneko dan kawan-kawan melakukan pengamatan pada 100 perdarahan putaminal yang dilakukan operasi dalam 7 jam setelah onset. Seluruh pasien mengalami hemiplegia,

dengan skor GCS berkisar antara 6 hingga 12 dan volume hematoma diatas 20 hingga 30 cm3. Mortalitas mencapai 7% dan useful recovery dalam 6 bulan mencapai 83%. Dua pasien meninggal akibat eksaserbasi yang terjadi sangat cepat sebelum tindakan operasi dilakukan,

dan dua pasien yang lain meninggal akibat reakumulasi hematoma. Hasil penelitian ini menunjukan hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan kasus serial yang

dilaporkan oleh Yukawa dan Kanaya, yang tidak menekankan tindakan operasi segera pada perdarahan intraserebral (28.6% angka mortalitas dan 62.8% angka useful recovery). Pasien-pasien dalam kelompok penelitian Kaneko dan kawan-kawan menunjukan nilai neurologis

preoperatif yang lebih baik, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan operasi yang segera ini dapat menghentikan proses perburukan lebih lanjut. Dalam penelitian tersebut tidak

dimasukkan pasien-pasien dengan skor GCS 13 dan volume hematoma antara 20 cm3 hingga 30 cm3

Hasil penelitian tersebut diatas juga didukung oleh analisis retrospektif pada kelompok

pasien dengan hematoma putaminal yang berukuran sedang. Pada penelitian prospektif yang dilakukan oleh Juvela dan kawan-kawan, 52 pasien dengan skor GCS antara 7 hingga 10 tidak

memperoleh keuntungan dari tindakan operasi yang dilakukan setelah 24 jam. Tindakan operasi dapat memperbaiki angka mortalitas apabila dilakukan dalam 13 jam.

(38)

Medical Research Council dan Stroke Association mendanai proyek penelitian

Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage (STPIS) yang dilakukan pada tahun 1998.

Penelitian tersebut merupakan penelitian prospektif dan randomized yang membandingkan

tindakan operatif yang segera dengan pengobatan konservatif pada penderita perdarahan intraserebral spontan. Tindakan operasi yang dilakukan dalam 24 jam dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Analisis didasari oleh intention-to-treat basis. Pada 6 bulan, 468

pasien diacak untuk dilakukan tindakan operasi segera, dan 122 (26%) menunjukkan favorable outcome dibandingkan dengan 118 (24%) dari 496 pasien yang diacak memperoleh

pengobatan konservatif (OR, 0.89 [95% CI, 0.66 hingga 1.19]; p= ,414). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa tidak dijumpai overall benefit dari tindakan operasi yang dilakukan segera dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Tetapi setelah dilakukan

analisis yang seksama pada CT scan kelompok pasien yang dimasukan dalam penelitian STPIS ini, ada 42% pasien yang memiliki perdarahan intraventrikular. Telah diketahui bahwa

pasien yang memiliki perdarahan intraventrikel baik mengalami hidrosefalus atau tidak, memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang hanya memiliki perdarahan intraserebral saja. Apabila kelompok pasien ini dikeluarkan dari penelitian ini dan

menambahkan kelompok pasien dengan hematoma yang letaknya di superfisial menunjukan manfaat yang lebih baik pada tindakan operasi. Apabila penilaian prognosis yang digunakan

adalah Rankin score pada subgroup pasien tersebut, maka menunjukkan hasil yang lebih baik pada kelompok yang memperoleh tindakan operasi (p=013). Analisis yang dilakukan lebih lanjut oleh Auer dan kawan-kawan dan Teemstra dan kawan-kawan mendukung hipotesis

bahwa subgroup pasien dengan perdarahan lobar memperoleh manfaat yang lebih baik apabila dilakukan tindakan operatif yang segera.

(39)

cepat menyebabkan perburukan neurologis atau kematian karena letaknya dekat dengan batang otak. Pada penderita dengan GCS 13 atau kurang dengan perdarahan 4 ml atau lebih perlu dilakukan evakuasi. Beberapa penulis lain lebih menekankan beberapa sindroma

serebelar dan saraf kranial sebagai dasar untuk pengambilan keputusan operasi di samping kriteria radiologis diatas.

2.9.3 Teknik operasi pada perdarahan intraserebral spontan

Meskipun Chushing merupakan manusia yang sukses pertama kali melakukan craniotomy untuk mengevakuasi hematoma intraserebral, beberapa ahli bedah setelahnya

secara sporadis juga berhasil dalam operasi intraserebral hematoma, bahkan meliputi perdarahan intrakranial akibat trauma maupun spontan (Penfield,1933) (Bagley,1932)

(Doughty, 1938). Pada tahun 1932, Bagley pertama kali mendeskripsikan indikasi evakuasi berdasarkan lokasi hematoma.

Pada tahun 1961, McKissock dan kawan-kawan mempublikasikan sikap pesimistik

terhadap tindakan operasi pada perdarahan intraserebral spontan. Mereka melaporkan angka mortalitas sebesar 51% pada 244 pasien yang dilakukan operasi dan mortalitas 100% pada pasien yang koma. Mortalitas setelah tindakan operasi dilaporkan bervariasi pada

penelitian-penelitian berikutnya berkisar antara 20% hingga 90% pada penderita koma dengan perdarahan ganglionik dan thalamik yang lokasinya dalam. Berdasarkan hasil penelitian yang

saling kontroversial tersebut, kemudian muncul beberapa teknik minimal invasive seperti tindakan aspirasi sederhana, aspirasi menggunakan stereotaktik, pengobatan menggunakan fibrinolitik, aspirasi mekanik, dan endoskopi.

(40)

terhadap pasien dengan basal ganglia yang dilakukan hemikraniektomi dekompresi tanpa evakuasi clot dan didapati mortalitas 6 bulan sebesar 20%. (Simon G. 2013)

Secara keseluruhan teknik operasi yang dipakai pada penatalaksanaan tindakan bedah

pada perdarahan spontan basal ganglia meliputi: evakuasi clot dengan open surgery dan endoscopy atau hanya kraniektomi dekompresi tanpa evakuasi clot.

2.10 Modified Intracerebral Hemorrhage Score

Modified Intracerebral Hemorrhage Score (MICH Score) merupakan skala modifikasi

dari ICH score hemphill yang dibuat oleh Cho dkk. (2008). MICH score ini dipakai sebagai

skala pengambilan keputusan tindakan untuk perdarahan spontan basal ganglia, apakah perlu dilakukan tindakan operasi atau hanya terapi konservatif. MICH score ini berbeda dengan ICH score, dikarenakan ICH score hanya untuk menentukan prognosis tetapi tidak untuk

pilihan terapi.

MICH score terdiri dari beberapa komponen, meliputi GCS, volume perdarahan dan

ada atau tidak terdapat PIV atau hidrosefalus. Setiap komponen akan diberikan nilai. Akumulasi dari seluruh nilai komponen inilah yang disebut MICH score.

Komponen GCS pada MICH score terbagi kedalam 3 kelompok nilai. GCS 15 - 13

bernilai 0, GCS 12 - 5 bernilai 1, dan GCS 4 - 3 bernilai 2. Pembagian kelompok GCS ini dibuat berdasarkan keriteria GCS PIS score hemphill.

Volume perdarahan dibagi kedalam 3 kelompok, yaitu kelompok dengan volume perdarahan 20 ml, volume perdarahan 21 - 50 ml, dan volume perdarahan ≥ 51 ml. Kelompok ini juga dibuat berdasarkan penelitian Hemphill. Volume perdarahan dihitung dengan

(41)

kelompok secara berurutan adalah: volume perdarahan ≥ 20 ml bernilai 0, volume perdarahan 21 - 50 ml bernilai 1,dan volume perdarahan ≥ 51 ml bernilai 2.

Komponen terahir adalah ada atau tidaknya PIV atau hidrosefalus. Jika terdapat PIV

atau hidrosefalus bernilai 1, dan jika tidak terdapat PIV atau hidrosefalus bernilai 0.

Tabel 2.1 MICH score.

Cho dkk. meneliti 226 pasien dengan perdarahan basal ganglia. Kemudian pasien dibagi kedalam 2 kelompok, kelompok yang diterapi dengan terapi bedah dan kelompok yang

diterapi dengan konservatif. Mereka meneliti hasil akhir klinis pada kedua kelompok dengan melihat GOS dan Barthel index selama satu tahun. Penelitian ini dianalisis dengan chi-square

test dan Student's t-tests. Cut-off MICH score dikalkulasi dengan menggunakan youden index.

Hasil penelitian menunjukkan terapi konservatif menunjukkan angka barthel index yang lebih baik pada MICH score 0 dan 1 dibandingkan dengan terapi bedah. Pada MICH

score 2 tindakan bedah menunjukkan hasil akhir klinis yang lebih baik dari tindakan

konservatif. Dan pada MICH score 3 dan 4 menunjukkan bahwa terapi bedah menurunkan

(42)

Gambar 2.7. Grafik mortalitas pasien kelompok konservatif dibandingkan dengan kelompok pembedahan (Chou, 2008).

2.11 KERANGKA TEORI

Gambar 2.8. Diagram Kerangka Teori

Perdarahan Intraserebral Spontan (PIS) Perdarahan intraventrikular (PIV)

Edema Perihematoma

Peningkatan TIK

Herniasi Otak

Mortalitas

MICH Score Vol darah

Hipertensi Merokok Hiperkolesterolemia

Konsumsi alkohol Pemakaian Anti Koagulan

Operatif

Konservatif GCS Hidrosefalus

Komorbid:

• Usia

• DM

• Koagulopati

• Uremia

(43)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 3.1. Kerangka konsep

3.2 Variabel Penelitian

Adadua variabel pada penelitian ini, yaitu variabel terikat dan variabel bebas. Definisi operasional kedua variabel tersebut ialah:

3.2.1 Variabel Terikat

Mortalitas 30 hari

Mortalitas 30 hari adalah tingkat kematian pasien yang dipantau dalam waktu 30 hari

dan waktu terjadinya tanda dan gejala dan perdarahan intrakranial, baik pada kelompok terapi bedah maupun kelompok terapi konservatif.

3.2.2 Variabel Bebas 1. Terapi Konservatif

Terapi konservatif adalah terapi non-bedah yang meliputi pengontrolan jalan napas,

(44)

2. Terapi Bedah

Terapi bedah merupakan tindakan operasi yang dilakukan terhadap pasien meliputi dekompresi maupun pengangkatan hematom. Pada kelompok ini, terapi konservatif seperti

diatas tetap diberikan setelah dilakukan operasi.

3. MICH Score

MICH score (Modified Intracerebral Hemorrhage score) adalah skala yang dipakai

dalam menentukan pilihan terapi pada perdarahan basal ganglia. Skala ini merupakan akumulasi dari beberapa nilai dari abnormalitas yang terjadi pada perdarahan basal ganglia,

meliputi GCS, volume perdarahan, dan ada atau tidaknya PlV/ hidrosefalus.

Tabel 3.1. MICH Score.

a. Glasgow Coma Scale (GCS)

GCS adalah skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran penderita yang mengalami perdarahan intraserebral spontan dengan komponen sebagai berikut; Eye (1-4),

Motorik (1-6), Verbal (1-5) dengan nilai terendah adalah GCS 3 dan nilai tertinggi adalah GCS 15. GCS 3-8 dikategorikan sebagai koma. GCS yang dimaksud pada penelitian ini

(45)

Tabel 3.2. Glasgow Coma Scale.

Kategori Respons Nilai

EYE (respons mata) • Membuka spontan

• Membuka dengan rangsangan suara

• Membuka dengan rangsangan nyeri

• Tidak ada respons

4 3 2 1

MOTOR ( respons motorik) • Menuruti perintah

• Melokalisir nyeri

VERBAL ( respons verbal) • Berbicara dan mengerti dengan jelas

• Berbicara ngawur, disorientasi

• Mengeluarkan kata yang tidak berarti

• Suara yang tidak jelas, mengerang

• Tidak ada respons

Hidrosefalus adalah dilatasi sistem ventrikel yang terbukti dari CT scan kepala akibat gangguan dinamika cairan serebrospinalis yang menyebabkan gejala peningkatan tekanan

intrakranial.

c. Perdarahan Intra Ventrikel

Perdarahan Intra Ventrikel ialah adanya perdarahan di dalam sistem ventrikel.

3.3 Hipotesis

Ada perbedaan kejadian mortalitas 30 hari pasien dengan perdarahan basal ganglia

(46)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah cohort prospektif. Pasien dengan perdarahan basal ganglia akan dihitung MICH score. Lalu dilihat mortalitas 30 hari pasien

yang mendapat terapi konservatif maupun terapi operatif

4.2 Tempat dan Waktu penelitian

4.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

4.2.2 Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan mulai Januari 2012 hingga November 2013

4.3 Subyek Penelitian

Subyek penlitian adalah seluruh anggota populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi.

4.4 Kriteria Penelitian

4.4.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien dengan perdarahan spontan pada basal ganglia dengan MICH score 2-4

2. Onset serangan dibawah 48 jam

(47)

4.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Pasien dengan hematome yang sangat kecil ( < 10 ml) dan dengan hematome yang

sangat besar (>100 ml)

2. Pasien dengan PIS yang disebabkan oleh ruptur aneurisma, AVM, perdarahan tumor,

dan trauma kepala

3. Koagulopati atau riwayat penggunaan antikoagulan

4. Pasien dengan gagal ginjal

4.5 Populasi dan Sampel

4.5.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan pada basal ganglia dengan MICH score 2-4 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

4.5.2 Besar Sampel

Besar sampel dihitung menurut rumus uji hipotesis dua kelompok data independen. Besar sampel ditentukan berdasarkan consecutive sample sesuai dengan urutan datang pasien

yang mendapat tindakan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi selama periode penelitian. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini:

Rumus : n1=n2 = n = ��∝�2�̅

(1−�̅)+��1(1−�1)+�2(1−�2)2

(�1−�2)2

Z : tingkat kepercayaan 95% = 1,96

Z :kekuatan uji 80e7

P1 : probabilitas kematian pada terapi konservatif = 0,95 (Cho 2008) /0 = 0,841

P2 : probabilitas kematian pada terapi bedah = 0,5

��: �1 +�2 2

(48)

4.6 Alur Penelitian

Pasien yang diterima di IGD adalah seluruh pasien dengan penurunan kesadaran secara tiba-tiba, kemudian pasien akan dilakukan resusitasi dan kemudian diukur GCS.

Seluruh pasien akan diperiksakan kadar darah rutin, hemostasis, faal ginjal dan faal hati, AGDA, juga head CT scan nonkontras. Pasien dengan onset serangan lebih dari 48 jam,

dengan pemakaian antikoagulan, sirosis hati dan perdarahan yang kurang dari 10 cc atau lebih dari 100 cc akan dieksklusikan. Dilakukan penghitungan score MICH. Pasien dengan MICH score 0, 1 dan 5 dieksklusikan. Selanjutnya seluruh pasien dengan score MICH 2, 3, 4 itu

akan ditawarkan untuk dilakukan tindakan operasi. Pasien yang menolak tindakan operasi akan ditindaki secara konservatif, yang nantinya menjadi acuan untuk tindakan konservatif

pada score MICH 2-4. Pasien yang diterapi secara bedah akan dilakukan tindakan craniectomy decompresi dan evakuasi PIS. Pasien akan dirawat di ICU paska operasi.

Sementara pasien konservatif diberikan terapi untuk menurunkan tekanan intrakranial seperti

elevasi kepala 30°, terapi manitol, phenitoin, manajemen tekanan darah dan pernafasan. Pasien akan diberikan anti hipertensi dan dijaga agar TD sistolik tidak melebihi 140 mmHg. Pernapasan dibantu dengan pemberian oksigen dengan nasal kanul ataupun masker. Seluruh

pasien dengan saturasi kecil dari 96% akan diintubasi dan dibantu dengan ventilator jika perlu. Akan dibandingkan mortalitas pasien yang mendapat terapi bedah dan konservatif

(49)

4.7 Kerangka Kerja

Gambar 4.1. Kerangka kerja

4.8 Pengolahan dan Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan menggunakan software statisik komputer, hasil data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Analisis data menggunakan chi-square.

4.9 Ethical Clearance dan Informed Consent

Ethical Clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Informed consent meliputi penjelasan patologi penyakit, tindakan dan komplikasi terhadap pasien atau keluarga pasien. Penelitian dilaksanakan bila pasien ataupun keluarga pasien setuju.

Perdarahan Basal Ganglia

•GCS

•Volume PIS

•Ada atau tidak PIV/HCP

MICH Score

Konservatif Operatif

(50)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Bedah Saraf RSUP H. Adam Malik

Medan, selama periode Januari 2012 hingga November 2013, dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 40 orang.

Subjek berjenis kelamin pria 17 orang (9 orang mendapat terapi konservatif dan 8 orang mendapat terapi bedah). Subjek berjenis kelamin perempuan sebanyak 23 orang (11

orang mendapat terapi konservatif dan 12 orang mendapat terapi bedah). Rata-rata usia subjek penelitian yang mendapatkan terapi konservatif yaitu 56,10 ± 10,30 SD dan terapi bedah yaitu 51,3 ± 9,42 SD (Tabe15.1). Mean score GCS awal masuk pada subjek yang diterapi

konservatif adalah 8,5 ± 1,9 SD dan 7,9 ± 2,07 SD pada subjek yang diterapi pembedahan. Volume perdarahan pada subjek tindakan konservatif sebanyak 41,5 cc ± 34,27 SD sedangkan pada subjek tindakan operatif sebanyak 54,95 cc ± 19,95 SD. Kejadian PIV/hidrosefalus di

awal penelitian pada subjek dengan tindakan konservatif yaitu 17 kasus dari 20 kasus (85%) dan subjek dengan tindakan operatif yaitu 11 kasus dari 20 kasus (55%). Rerata MICH score

untuk subjek terapi konservatif adalah 2,85 ± 0,88 dan subjek terapi operatif adalah 3,15 ± 1,53. Angka mortalitas setelah follow-up 30 hari bagi subjek dengan terapi konservatif sebesar 15/20 (75%) dan subjek dengan terapi operatif sebesar 13/20 (65%) (Tabel 5.2).

Tabel 5.1. Data Karakteristik Demografi Dasar Subjek Penelitian

Variabel Konservatif Operatif

Usia 56,10 ± 10,30 51,3 ± 9,42

Jenis kelamin

Laki-laki 9 (45%) 8 (40%)

(51)

Tabel 5.2. Data Karakteristik Penyakit Dasar Subjek Penelitian

Variabel Konservatif Operatif

GCS 9,7 ± 2,36 7,9 ± 2,07

Volume perdarahan 48,47 ± 34,12 54,95 ± 19.95

PIV / Hidrosefalus 17 (85%) 11 (55%)

MICH Score 2,85 ± 0,88 3,15 ± 1;53

Mortalitas 15 (75%) 13 (65%)

Mortalitas pada MICH score yang berbeda didapati meliputi: MICH score 2

menunjukkan angka mortalitas 55,56% pada terapi konservatif dan 42% pada terapi operatif. MICH score 3 menunjukkan angka mortalitas 80% pada terapi konservatif dan 50% pada

terapi operatif. MICH score 4 menunjukkan angka mortalitas 100% pada terapi konservatif dan 81% pada terapi operatif.

Tabel 5.3. Persentase mortalitas pasien terapi konservatif berdasarkan MICH score.

MICH Score

Konservatif

Mati Hidup Total % Mortalitas

MICH Score 2 5 4 9 55,6

MICH Score 3 4 1 5 80

MICH Score 4 6 0 6 100

Tabel 5.4. Persentase mortalitas pasien terapi operatif berdasarkan MICH score.

MICH Score

Operatif

Mati Hidup Total %Mortalitas

MICH Score 2 3 4 7 42

MICH Score 3 1 1 2 50

(52)

Gambar 5.1. Persentase mortalitas pasien perdarahan basal ganglia yang mendapat terapi bedah dan konservatif menurut MICH score.

Dengan tabulasi silang dibandingkan kedua pilihan terapi sesuai dengan MICH score,

didapatkan mortalitas sebagai outcome yang lebih banyak terjadi pada kedua jenis terapi (28 kasus). Mortalitas pada terapi konservatif sebanyak 15 kasus dan 13 kasus pada terapi operatif

(label 5.5).

Tabel 5.5.Analisis Mortalitas 30 Hari Terapi Konservatif dan Operatif Outcome (n=40)

Mati (n=28) Hidup (n=12) Terapi

Konservatif

15 5 20

Terapi Operatif

13 7 20

Total 28 12 40

Chi-Square p = 0,49 ,

Setelah dilakukan uji analisis statistik hubungan mortalitas dan jenis terapi diperoleh nilai p=0,490, sementara p value yang digunakan untuk menunjukkan bahwa terdapat

(53)

Selain itu dari penelitian ini juga didapatkan hubungan yang signifikan antara volume PIS dengan skala GCS pasien (p= -0,299), hal ini menunjukkan bahwa semakin besar volume PIS pasien semakin rendah tingkat GCS pasien. Akan tetapi tidak didapat hubungan yang

signifikan antara mortalitas dengan ada atau tidaknya PIV (p=0.252) begitu juga antara volume PIS dengan tingkat mortalitas pasien (p=0.262).

5.2 Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan angka mortalitas pasien perdarahan basal ganglia pada rentang MlCH score 2-4 yang mendapat terapi bedah dan terapi

konservatif. Pada penelitian sebelumnya (Cho, 2008) disebutkan bahwa angka mortalitas konservatif lebih tinggi dibandingkan dengan terapi bedah untuk rentang MICH score 2-4.

Pada penelitian ini memperlihatkan tidak ada hubungan bermakna antara terapi konservatif dan terapi bedah pada kasus ini. Seluruh terapi memperlihatkan angka mortalitas diatas 50%. Tetapi dari data yang didapat memperlihatkan angka mortalitas terapi bedah (65%) masih

dibawah terapi konservatif (75%).

Perbedaan signifikan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya (Cho, 2008) terletak pada pasien yang mendapat terapi operatif. Pada penelitian sebelumnya persentase

mortalitas pada seluruh nilai MICH score (kecuali score 0 dan 5) pada terapi operatif adalah kurang dari 50%, pada penelitian ini didapat nilai mortalitas 65% dengan persentase tertinggi

adalah pada score 4 (81%). Hal ini diperkirakan disebabkan adanya beberapa hal yang berbeda meliputi perbedaan teknik operasi, sumber daya manusia, juga perbedaan timing operasi, dan perawatan pasca operasi.

Teknik operasi yang digunakan pada penelitian sebelumnya ialah dengan menggunakan endoskopi yang bersifat minimal invasif. Dikarenakan keterbatasan fasilitas,

Gambar

Gambar 2.1 ..................................................................................................................
Gambar 2.1. Potongan axial dari serebrum. Basal ganglia adalah yang ditunjukkan
Gambar 2.2. Lokasi dan perdarahan yang dapat terjadi pada PIS
Gambar 2.3. Potongan axial dan gambaran MRI Brain yang menggunakan teknik FLAIR
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi ini adalah dengan memberikan penyuluhan / ceramah tentang penyebab, cara penularan, gejala-gejala yang ditimbulkan

Description: A1 = conducting the training of management and creativity of production; A2 = determining the planting pattern; A3 = determining the plant varieties; A4

Rancangan penelitian ini digunakan untuk mencapai tujuan penilitian yaitu untuk memahami perancangan Kwala Bekala Convention Hall di kawasan TOD yang dapat digunakan

Bersama ini kami sampaikan jadwal assessment dan wawancara bagi para Peserta yang telah lulus administrasi Seleksi Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Badan

Sepanjang pengetahuan penulis, tingkat bunga bank kerap diaplikasikan sebagai discount rate dalam banyak studi atau kajian analisis dan aplikasi ini berlaku untuk semua

Aisyiyah dan Muslimat berbasis Islam, sedangkan Kanisius ialah organisasi pendidikan berbasis

[r]