• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

2.9. PENATALAKSANAAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL

Penatalaksanaan terbaik untuk perdarahan intraserebral spontan masih menjadi perdebatan. Terapi medikamentosa, tindakan bedah ataupun kombinasi dari keduanya masing masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tetapi inti penatalaksanaan PIS adalah untuk memperbaiki fungsi neurologis, dengan menyelamatkan penumbra di sekitar PIS. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa penumbra yang mengelilingi suatu hematoma mengandung sel saraf yang hampir rusak dan kadang masih reversibel. Pada PIS jaringan otak akan ditekan oleh hematoma yang keluar dari pembuluh darah. Pada penelitian Bullock dkk. (1984) terhadap hewan percobaan menyebutkan penekanan tersebut akan menyebabkan terjadinya edema, iskemik, dan nekrosis pada batas dari clot. Bahkan volume dan penumbra ini dapat melebihi dan volume perdarahan. Sehingga kemungkinan defisit neurologis yang disebabkan oleh adanya penumbra akan bersifat reversibel jika penumbra berhasil diselamatkan. Studi SPECT dapat menampilkan gambaran jaringan penumbra menunjukkan iskemia reversibel.

Seluruh pasien PIS dirawat di ICU neurologi. Infus terpasang dan tekanan darah sistolis dipertahankan antara 100-140 mmHg menggunakan obat antihipertensi intra vena Selain itu, pasien juga diberikan manitol dan obat antiepileptik, pemasangan EVD, serta untuk proteksi penumbra dilakukan kontrol gula darah, suhu, dan pemberian obat hemostatik untuk mencegah perdarahan ulang.

Dikarenakan beberapa kasus kegagalan manitol menurunkan ICP dan efek rebound, maka dikembangkan agen osmolar baru berupa larutan garam hipertonis 23,4% , yang dapat diberikan secara bolus 30 cc. Efek penurunan ICP bertahan hingga 15 jam. Studi random masih diperlukan untuk obat altematif ini.

EVD dipasang pada kasus PIS yang disertai dengan PIV yang berujung pada hidrosefalus obstruktif. Untuk mencegah clot diberikan 5 mg tPA 2 kali/hari i.v sesuai dengan penelitian sebelumnya (Goh, 1998). Setelahnya EVD ditutup selama 30 menit jika ICP tidak naik, untuk mencegah tPA keluar dan ventrikel.

PIS sering diikuti oleh kejang, sekitar 5-10% pada perdarahan supratentorial (Passero,2002). Dikarenakan kejang dapat meningkatkan tekanan intrkranial, maka pemberian obat antiepileptik profilaksis dianjurkan (Broderick , 1999).Demam sering terjadi pada PIS, ditemukan 90% pada perdarahan supratentorial. Dan semakin sering dan parah pada perdarahan intrventrikular. Demam dapat menyababkan outcome jangka panjang yang buruk. Untuk itu, demam harus diturunkan secara agresif dengan menggunakan asetaminofen ataupun kompres dingin hingga temperatur ≤ 37,50C (Schwarz, 2000).

Pada perdarahan intraserebral dapat terjadi hiperglikemia baik pada pasien nondiabetik maupun dengan penyakit diabetes. Dan hiperglikemia juga merupakan predictor outcome yang buruk bagi pasien diabetik maupun nondiabetik (Passero, 2003). Untuk mengontrol kadar gula darah diberikan insulin intravena dengan menggunakan syringe pump hingga kadar

gula darah dipertahankan 80-110 mg/d1. Pada penelitian Van den Berghe G dkk. (2006) mengemukakan bahwa dengan pengontrolan kadar gula darah yang ketat dapat mengurangi angka mortalitas terutama yang disebabkan sepsis dan kegagalan beberapa organ.

Terapi hemostasis dapat diberikan untuk mencegah terjadinya pertambahan perdarahan ataupun perdarahan ulang beberapa jam setelah serangan. Pada pasien dengan koagulopati diberikan FFP, prothrombin complex concentrate dan faktor IX. Terapi pengganti faktor VIII dan IX diberikan pada pasien dengan hemofilia A dan B. Cryoprecipitate diberikan pada pasien dengan hipofibrinogenemia. Dan Desmopressin Diacetate Arginine Vasopressin (ddAVP) diberikan pada pasien gangguan trombosit.

Pada PIS juga dapat diberikan neuroprotektor, yang berguna untuk melindungi penumbra disekitar hematoma. Neuroprotektor yang telah terbukti secara klinis adalah GABA antagonist muscimol dan NMDA receptor antagonists MK801 dan D-(E)-4-(3- phodphonoprop- 2-enyl)-piperazine-2-carboxylic acid (D-CPP-ene). Obat-obatan ini telah terbukti mengurangi edema dan melindungi white matter pada hewan percobaan (Mendelow, 1993).

2.9.2 Tindakan Pembedahan pada Perdarahan Intraserebral Spontan Terdapat beberapa bukti eksperimental yang menyatakan bahwa evakuasi hematoma yang dilakukan segera dapat memperbaiki cerebral blood flow (CBF), perubahan histologis, edema serebri, iskemia, dan outcome. Lia kematian pada perdarahan intraserebral terjadidalam 48 jam setelah onset dan pertambahan volume atau rebleeding terjadi maksimal dalam 3 hingga 4 jam dan terus berlangsung hingga 24 jam setelahnya. Oleh sebab itu, tindakan operasi dapat meningkatkan outcome. Beberapa bukti klinis juga mendukung tindakan operasi yang segera. Salah satu cabang dan arteri lentikulostriata yang ruptur dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan hematoma hipertensif yang bermakna. Tindakan

koagulasi pada pembuluh darah tersebut yang dilakukan dengan segera dapat menguntungkan. Eksaserbasi terjadi tiba-tiba dan kebanyakan terjadi pada 4 hingga 6 jam setelah onset perdarahan, evakuasi sebelum periode waktu tersebut dapat mencegah terjadinya perburukan klinis. Oleh karena perubahan sekunder seperti edema otak terjadi dalam 7 hingga 8 jam setelah perdarahan, maka tindakan evakuasi sebelum periode waktu tersebut dapat mencegah terjadinya perubahan sekunder tersebut.

Kaneko dan kawan-kawan melakukan pengamatan pada 100 perdarahan putaminal yang dilakukan operasi dalam 7 jam setelah onset. Seluruh pasien mengalami hemiplegia, dengan skor GCS berkisar antara 6 hingga 12 dan volume hematoma diatas 20 hingga 30 cm3. Mortalitas mencapai 7% dan useful recovery dalam 6 bulan mencapai 83%. Dua pasien meninggal akibat eksaserbasi yang terjadi sangat cepat sebelum tindakan operasi dilakukan, dan dua pasien yang lain meninggal akibat reakumulasi hematoma. Hasil penelitian ini menunjukan hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan kasus serial yang dilaporkan oleh Yukawa dan Kanaya, yang tidak menekankan tindakan operasi segera pada perdarahan intraserebral (28.6% angka mortalitas dan 62.8% angka useful recovery). Pasien-pasien dalam kelompok penelitian Kaneko dan kawan-kawan menunjukan nilai neurologis preoperatif yang lebih baik, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan operasi yang segera ini dapat menghentikan proses perburukan lebih lanjut. Dalam penelitian tersebut tidak dimasukkan pasien-pasien dengan skor GCS 13 dan volume hematoma antara 20 cm3 hingga 30 cm3

Hasil penelitian tersebut diatas juga didukung oleh analisis retrospektif pada kelompok pasien dengan hematoma putaminal yang berukuran sedang. Pada penelitian prospektif yang dilakukan oleh Juvela dan kawan-kawan, 52 pasien dengan skor GCS antara 7 hingga 10 tidak memperoleh keuntungan dari tindakan operasi yang dilakukan setelah 24 jam. Tindakan operasi dapat memperbaiki angka mortalitas apabila dilakukan dalam 13 jam.

Medical Research Council dan Stroke Association mendanai proyek penelitian Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage (STPIS) yang dilakukan pada tahun 1998. Penelitian tersebut merupakan penelitian prospektif dan randomized yang membandingkan tindakan operatif yang segera dengan pengobatan konservatif pada penderita perdarahan intraserebral spontan. Tindakan operasi yang dilakukan dalam 24 jam dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Analisis didasari oleh intention-to-treat basis. Pada 6 bulan, 468 pasien diacak untuk dilakukan tindakan operasi segera, dan 122 (26%) menunjukkan favorable outcome dibandingkan dengan 118 (24%) dari 496 pasien yang diacak memperoleh pengobatan konservatif (OR, 0.89 [95% CI, 0.66 hingga 1.19]; p= ,414). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa tidak dijumpai overall benefit dari tindakan operasi yang dilakukan segera dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Tetapi setelah dilakukan analisis yang seksama pada CT scan kelompok pasien yang dimasukan dalam penelitian STPIS ini, ada 42% pasien yang memiliki perdarahan intraventrikular. Telah diketahui bahwa pasien yang memiliki perdarahan intraventrikel baik mengalami hidrosefalus atau tidak, memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang hanya memiliki perdarahan intraserebral saja. Apabila kelompok pasien ini dikeluarkan dari penelitian ini dan menambahkan kelompok pasien dengan hematoma yang letaknya di superfisial menunjukan manfaat yang lebih baik pada tindakan operasi. Apabila penilaian prognosis yang digunakan adalah Rankin score pada subgroup pasien tersebut, maka menunjukkan hasil yang lebih baik pada kelompok yang memperoleh tindakan operasi (p=013). Analisis yang dilakukan lebih lanjut oleh Auer dan kawan-kawan dan Teemstra dan kawan-kawan mendukung hipotesis bahwa subgroup pasien dengan perdarahan lobar memperoleh manfaat yang lebih baik apabila dilakukan tindakan operatif yang segera.

Perdarahan yang terjadi di serebelum atau di dekat batang otak, dianjurkan untuk dievakuasi apabila diameternya diatas 3 cm. Perdarahan serebelum cenderung berkembang

cepat menyebabkan perburukan neurologis atau kematian karena letaknya dekat dengan batang otak. Pada penderita dengan GCS 13 atau kurang dengan perdarahan 4 ml atau lebih perlu dilakukan evakuasi. Beberapa penulis lain lebih menekankan beberapa sindroma serebelar dan saraf kranial sebagai dasar untuk pengambilan keputusan operasi di samping kriteria radiologis diatas.

2.9.3 Teknik operasi pada perdarahan intraserebral spontan

Meskipun Chushing merupakan manusia yang sukses pertama kali melakukan craniotomy untuk mengevakuasi hematoma intraserebral, beberapa ahli bedah setelahnya secara sporadis juga berhasil dalam operasi intraserebral hematoma, bahkan meliputi perdarahan intrakranial akibat trauma maupun spontan (Penfield,1933) (Bagley,1932) (Doughty, 1938). Pada tahun 1932, Bagley pertama kali mendeskripsikan indikasi evakuasi berdasarkan lokasi hematoma.

Pada tahun 1961, McKissock dan kawan-kawan mempublikasikan sikap pesimistik terhadap tindakan operasi pada perdarahan intraserebral spontan. Mereka melaporkan angka mortalitas sebesar 51% pada 244 pasien yang dilakukan operasi dan mortalitas 100% pada pasien yang koma. Mortalitas setelah tindakan operasi dilaporkan bervariasi pada penelitian-penelitian berikutnya berkisar antara 20% hingga 90% pada penderita koma dengan perdarahan ganglionik dan thalamik yang lokasinya dalam. Berdasarkan hasil penelitian yang saling kontroversial tersebut, kemudian muncul beberapa teknik minimal invasive seperti tindakan aspirasi sederhana, aspirasi menggunakan stereotaktik, pengobatan menggunakan fibrinolitik, aspirasi mekanik, dan endoskopi.

Kraniektomi dekompresi tanpa melakukan evakuasi clot juga dapat memberikan hasil klinis yang baik pada perdarahan basal ganglia. Heuts dkk. (2013) melakukan penelitian

terhadap pasien dengan basal ganglia yang dilakukan hemikraniektomi dekompresi tanpa evakuasi clot dan didapati mortalitas 6 bulan sebesar 20%. (Simon G. 2013)

Secara keseluruhan teknik operasi yang dipakai pada penatalaksanaan tindakan bedah pada perdarahan spontan basal ganglia meliputi: evakuasi clot dengan open surgery dan endoscopy atau hanya kraniektomi dekompresi tanpa evakuasi clot.

Dokumen terkait