• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN PERKARA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEADILAN RESTORATIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENYELESAIAN PERKARA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEADILAN RESTORATIF"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENYELESAIAN PERKARA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEADILAN RESTORATIF

Oleh

ISMAIL ADI NEGARA

Penangkapan dan penahanan Deli Suhandi umur 14 tahun di Rutan Pondok Bambu oleh Polsek Johar sejak tanggal 15 Maret 2011 menimbulkan reaksi keras terhadap pelaksanaan peradilan pidana anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disingkat UU No.3 Tahun 1997), karena dianggap telah mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Berangkat dari ketidakpuasan terhadap praktik peradilan anak ini, timbul gagasan untuk menerapkan konsep keadilan restoratif (restorative justice) dalam menangani perkara anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan yang menitikberatkan pada kepentingan terbaik bagi anak, tanpa mengabaikan kepentingan korban dan kepentingan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas konsep keadilan restoratif melalui penulisan skripsi yang berjudul “Penyelesaian Perkara Anak dalam Perspektif Keadilan Restoratif” dengan mengajukan dua permasalahan, yaitu: (a) Bagaimanakah penyelesaian perkara anak dalam perspektif keadilan restoratif? (b) Apakah faktor penghambat penggunaan konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Penentuan sampel menggunakan metode purposive sampling, Setelah data terkumpul, maka diolah dengan cara editing dan sistematisasi. Selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Selanjutnya disimpulkan berdasarkan metode induktif.

(2)

terutama keluarga korban masih menghendaki pelaku tindak pidana termasuk pelaku anak dikenakan hukuman berat.

(3)

A. Latar Belakang

Penangkapan dan penahanan Deli Suhandi umur 14 tahun di Rutan Pondok Bambu oleh Kepolisian Sektor (selanjutnya disingkat Polsek) Metro Johar Baru sejak tanggal 15 Maret 2011 memicu kembali pertanyaan lama terhadap model sistem peradilan anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disingkat UU No.3 Tahun 1997), karena hal ini bertentangan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tahun 2009 tentang Penyelesaian Hukum Perkara yang Melibatkan Anak yang ditandatangani oleh enam Lembaga Tinggi Negara termasuk Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung, yang antara lain menentukan “Kasus-kasus yang melibatkan anak harus mengedepankan restorative justice

atau asas kekeluargaan”.

Sehubungan dengan penangkapan dan penahanan Deli Suhandi yang masih berumur 14 tahun oleh Polsek Metro Johar Baru, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat Kamnas PA), Arist Merdeka Sirait menyatakan, “Polisi sudah melanggar hak anak dan

merampas kemerdekaaannya. Kasus ini harus dihentikan demi hukum”. Sebab, menurut Arist, “selain SKB Enam Lembaga Tinggi Negara Tahun 2009 tentang Penyelesaian Hukum Perkara

yang Melibatkan Anak, pada tahun 2009 Bareskrim Mabes Polri juga pernah mengirim surat tentang Pedoman Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum kepada seluruh Polsek di Indonesia, surat tersebut bernomor:B/2160/IX/ 2009/Bareskrim. “Seharusnya polisi

menggunakan kewenangan diskresi itu dan bukan menjebloskannya ke tahanan”.(Tribunnews.com-Kamis,7 April 2011,22:02 WIB).

(4)

Di negara-negara Eropa terdapat 5 (lima) macam pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu :

1) Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak. 2) Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum.

3) Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan pidana semata. 4) Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman.

5) Pendekatan hukuman yang murni bersifat retributif

Bertolak dari pendekatan di atas, Ruben Achmad (2005: 6) menyatakan, “tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya”. Oleh karea itu tepatlah jika Convention On the Rights of The Child 1989 (Konvensi tentang Hak-hak Anak, yang selanjutnya disingkat KHA) yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 menentukan sebagai berikut :

1. Pasal 3 menentukan sebagai berikut :

(1) Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama.

(2) Negara-negara Pihak berusaha menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain yang secara sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat.

(3) Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan tentang anak, harus menyesuaikan diri dengan standar-standar yang ditentukan oleh para penguasa yang berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang berwenang.

2. Pasal 37 menentukan sebagai berikut :

(5)

i. Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun;

ii. Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat;

iii. Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya. Terutama, setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan kontak dengan keluarga melalui surat-menyurat dan kunjungan, kecuali bila dalam keadaan-keadaan luar biasa.

iv. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk menyangkal keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, mandiri dan adil, dan atas putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu.

3. Pasal 39 menentukan sebagai berikut :

Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan penyembuahan fisik dan psikologis dan integrasi kembali sosial seorang anak yang menjadi korban bentuk penelantarana apa pun, eksploitasi atau penyalahgunaan, penganiayaan atau bentuk perlakuan kejam yang lain apa pun, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan, atau konflik bersenjata. Penyembuhan dan integrasi kembali tersebut harus berlangsung dalam suatu lingkungan yang meningkatkan kesehatan, harga diri dan martabat si anak.

4. Pasal 40 menentukan sebagai berikut :

(1) Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif dalam masyarakat.

(2) Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen internasional yang relevan, maka Negara-negara Pihak, terutama, harus menjamin bahwa:

(6)

b) Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum pidana, paling sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut:

i. Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum;

ii. Diberi informasi denga segera dan langsung mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali hukumnya, dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat dalam mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya;

iii. Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang berwenang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu pemeriksaan yang adil menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam kepentingan terbaik si anak, terutama, dengan memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya;

iv. Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah; untuk memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-syarat keadilan;

v. Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka putusan ini dan setiap upaya yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali oleh penguasa lebih tinggi yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan pengadilan menurut hukum;

vi. Mendapat bantuan seorang penerjemah dengan cuma-cuma kalau anak itu tidak dapat mengerti atau berbicara dengan bahasa yang digunakan;

vii. Kerahasiaannya dihormati dengan sepenuhnya pada semua tingkat persidangan. (3) Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang,

prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana, terutama: a) Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap tidak

mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana;

b) Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya; (4) Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan pengawasan, perintah,

penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan dengan keadaan-keadaan mereka maupun pelanggaran itu.

(7)

(sebagaimana diatur dalam Pasal 3) dan pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum (sebagaimana diatur dalam Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40).

Kutipan di atas menyiratkan, bahwa pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak, pada hakikatnya tidak memperkenankan penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan terhadap anak, kecuali jika tindakan-tindakan tersebut merupakan jalan terakhir. Artinya, KHA menghendaki pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak harus berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak(protection child and fullfilment child rights based approuch).

Sejalan dengan pelaksanaan system peradilan Pidana Anak yang dikehendaki oleh KHA, Nandang Sambas (2010: 74) menyatakan, “Pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan”.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas permasalahan pelaksanaan sistem peradilan pidana anak demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak melalui penulisan skripsi yang berjudul “Penyelesaian Perkara Anak dalam Perspektif Keadilan Restoratif”.

B. Permasalahan dan Ruang lingkup

1. Permasalahan

(8)

a. Bagaimanakah penyelesaian perkara anak dalam perspektif keadilan restoratif?

b. Apakah faktor penghambat penggunaan konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak?

2. Ruang lingkup

Dilihat dari sisi wilayah penelitian, maka ruang lingkup penelitian skripsi ini dibatasi pada wilayah Provinsi Lampung, sedangkan ruang lingkup substansi dibatasi pada norma-norma hukum positif yang memungkinkan atau memberi peluang dilakukannya penyelesaian perkara anak melalui model keadilan restoratif.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui penyelesaian perkara anak dalam perspektif keadilan restoratif.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat penggunaan konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis, skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan kebijakan terhadap penyelesaian perkara anak melalui pendekatan keadilan restoratif.

(9)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1990: 124). Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, maka dalam rangka membahas permasalahan tersebut penulis menggunakan dua teori atau konsep, yaitu:

a. KonsepRestoratif Justiceuntuk membahas masalah pertama.

Menurut Muhammad Musa (2008, 13):

Dalam model restoratif, perilaku delinkuensi anak adalah perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan peradilan restoratif terhadap delinkuensi terarah pada perbaikan kerugian itu dan penyembuhan luka masyarakat, tidak bersifat punitif, tujuan utamanya adalah perbaikan luka yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diakibatkan oleh perbuatannya dan konsiliasi serta rekonsiliasi dikalangan korban, pelaku dan masyarakat.

Selanjutnya dinyatakan oleh Muhammad Musa (2008: 20), bahwa :

(10)

b. Teori tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum untuk membahas masalah kedua.

Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah (1980: 14) :

Agar suatu kaedah hukum atau peraturan tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada paling sedikit empat faktor, yaitu:

1. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri.

2. Petugas yang menegakkan atau yang menerapkan.

3. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaedah hukum.

4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambar hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif maupun empiris, biasanya telah dirumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah menjalankan lebih lanjut dari konsep tertentu (Soerjono Soekanto, 1984: 19). Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap istilah dalam skripsi ini, maka peneliti menentukan beberapa konsep untuk menjelaskan istilah-istilah yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami dan mengerti skripsi ini, yaitu :

a. Persepektif adalah suatu media yang dimiliki seorang pribadi dan melalui media itu dia memandang satu obyek (http://id.answers.yahoo.comdiakses tanggal 23 April 2011).

(11)

pekerja hukum (Eva Achjani Zulfa, dalam http://evacentre.blogspot.com/ 2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html(diakses yanggal 23 April 2011).

c. Penyelesian adalah proses, cara, perbuatan, menyelesaikan (dlm berbagai arti spt pemberesan, pemecahan) (W.J.S, Poerwadarminta, 1993: 224).

d. Perkara adalah masalah; persoalan: urusan (yg perlu diselesaikan atau dibereskan) (dalam http://www.artikata.com/arti-344840-perkara.html, diakses tanggal 9 April 2011).

e. Anak adalah adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umu 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan para pembaca memahami skripsi ini , maka penulisan skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pendahuluan merupakan bagian yang memuat latar belakang masalah, kemudian permasalahan dan ruang lingkup, selanjutnya juga memuat tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual sebagai acuan dalam membahas skripsi serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini menguraikan pengertian anak, kebijakan penanggulangan tindak pidana, tinjauan umum sistem peradilan pidana, dan konsep keadilan restoratif sebagai suatu alternatif konsep peradilan anak Indonesia.

(12)

Bagian ini merupakan bagian yang menguraikan tentang langkah-langkah yang akan ditempuh oleh penulis dalam melaksanakan penelitian, yang mencakup pendekatan masalah, sumber data, jenis data, cara pengumpulan, pengolahan dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Uraian dalam bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasannya yang terdiri dari dua subbagian. yaitu subbagian penyelesaian perkara anak dalam perspektif keadilan restoratif dan subbagian faktor penghambat penggunaan model keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak.

IV. PENUTUP

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Ruben, 2005, Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik Dengan Hukum di Kota Palembang, Palembang, Simbur Cahaya No. 27 Tahun X. Januari 2005.

Musa, Muhammad, 2008, Peradilan Restoratif Suatu Pemikiran Alternatif System Peradilan Anak Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Riau.

Poerwadarminta, W.J.S, 1993,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. Soekanto, Soerjono, 1984,Metode Penelitian Hukum,Jakarta, UI Press.

---dan Mustafa Abdullah, 1980,Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,Jakarta, CV. Rajawali. Soekanto, Soerjono, 1990,Sosiologi Suatu Pengantar,Jakarta, Rajawali Press.

Sambas, Nandang, 2010, Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak. http://www.artikata.com/arti-344840-perkara.html, (diakses tanggal 9 April 2011)

http://evacentre.blogspot.com/ 2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html (diakses Tanggal 23 April 2011)

(14)

A. Pengertian Anak

Anak merupakan makhluk sosial sama halnya dengan orang dewasa, anak juga membutuhkan orang lain untuk bisa membantu mengembangkan kemampuannya, karena pada dasarnya anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal.

Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Convention on the Right of the Child (CRC) atau Konvensi Hak Anak PBB menetapkan definisi anak : “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18

tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”.

Menurut Pasal 34 UUD 1945, “Anak adalah subjek hukum dari sistem hukum nasional, yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak”. Pengertian anak menurut UUD 1945, oleh Irma Setyowati Soemitro, dijabarkan sebagai berikut “Ketentuan UUD 1945, ditegaskan pengaturan dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak” yang berarti makna anak (pengertian tentang anak), yaitu seseorang anak harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjaminpertumbuhan danperkembangandengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah, maupun social (2009: 49). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPdt.) mengartikan anak berdasarkan status. Pasal 330 Ayat (1) menentukan, “Anak adalahmereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin….dst”. Pasal 330 Ayat (3) mendudukkan anak sebagai berikut. “seseorang yang belum dewasa yang tidak berada di bawah

(15)

berdasarkan KUHPdt. adalah“belum dewasa” dan mereka yang berada dalam pengasuhan orang tua dan perwalian”.

Pengertian Anak Menurut Hukum Pidana. Pengertian kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negative. Dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana (strafbar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukannya sebagai seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seorang yang mempunyai hak khusus dan perlu untuk mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Menurut UU No.3 Tahun 1997 “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur delapan tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin”, sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Berdasarkan beberapa definisi seorang anak di atas, maka batasan anak yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah orang baik laki-laki maupun perempuan yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur delapan tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin.

(16)

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Hoefnagels (dalam Barda Nawawi Arief, 2007: 14) menggambarkan ruang lingkup criminal policydengan skema sebagai berikut :

---

---

---Criminal Policy Law Enforcement Policy Social Policy

---

-- ---

---_____________________ __________________ ________________ Criminal Law Prevention Without Influencing views

Aplication Punishment of Society on Crime

(Practical Criminology) and Punishment

(media massa) - Administration of crime - Social Policy

Justice in narrow sense: - Community planning - Crim. legislation; mental health

- Crim. yurisprudence; - Natural mental health - Crim. process in wide social work,child

sense; welfare.

- sentencing. –administrative & civil law.

- Forensic psychiatry and Psychology - Forensic social work

- Crime, sentence execution and policy statistic.

Dari skema di atas terlihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan : 1. Penetapan hukum pidana (criminal law application).

2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan

(17)

Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua yaitu jalur, yakni sarana penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan/diluar hukum pidana). Dalam pembagian Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non-penal.

Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penindasan/ pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur nonpenal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai preventif dalam arti luas (Barda Nawawi Arief, 1994).

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur nonpenal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara makro, upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminial.

(18)

Menurut Muladi (dalam Benny K. Harman dan Hendardi (ed), Tanpa tahun: 36) :

Model yang cocok untuk sistem peradilan pidana Indonesia adalah yang mengacu kepada daad-dader strafrechtyang disebutnya sebagai model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistis yaitu yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilingkupi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.

C. Tinjauan Umum Sistem Peradilan Pidana

Istilah sistem peradilan pidana (criminal justice system) telah menjadi istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin (dalam Romli Atmasasmita, 1996: 70) mengemukakan, “Criminal justice systemsebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Adapun peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial”.

Selanjutnya Remington dan Ohlin mengemukakan (dalam Romli Atmasasmita, 1996: 71) :

Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

(19)

Sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan terpidana, dengan tujuan antaranya mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.

Berkaitan dengan anak yang melakukan perbuatan pidana sehingga harus diajukan ke sidang pengadilan anak, perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak-anak adalah sejenis dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Perbedaannya adalah pelakunya anak-anak. Pengetahuan ini sangat penting untuk diketahui oleh pejabat-pejabat yang bersangkutan dengan anak-anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum atau melakukan tindak pidana.

Nandang Sambas, 2007: 92) menyatakan, “Tujuan diberikannya perlindungan hukum bagi pelaku kejahatan adalah untuk menghormati hak asasi si pelaku agar nasibnya tidak terkatung-katung, adanya kepastian hukum bagi pelaku serta menghindari perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar”.

Konsepsi perlindungan anak menurut Wagiati Soetodjo (2006: 89)“meliputi ruang lingkup yang luas, tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa dan raga anak, tetapi juga perlindungan atas semua hak serta kepentingannya yang dapat menjamin prtumbuhan secara wajar, baik rohani, jasmani maupun sosialnya sehingga diharapkan dapat menjadi orang dewasa yang mampu berkarya”.

(20)

1. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; 2. penyediaan sarana dan prasarana khusus;

3. penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini ;

4. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;

5. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan

6. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

Menurut Barda Nawawi Arief (2007: 134), “Ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden No. 36

tahun 1990 telah membuka lembaran baru dalam penerapan instrumen internasional dalam peradilan anak di Indonesia”.

Ketentuan dalam KHA sebagai standar perlindungan ataupun perlakuan terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum (standards regarding children in conflict with the law) dapat dilihat dalam Artikel 37 dan Artikel 40.

Prinsip-prinsip perlindungan anak dalam Artikel 37, yaitu:

Negara-negara Peserta akan menjamin bahwa:

1. Seorang anak tidak akan dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat;

2. Pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh pelepasan / pembebasan (without possibility of release) tidak akan dikenakan kepada anak berusia di bawah 18 tahun;

3. Tidak seorang anakpun dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum atau sewenang- wenang;

4. Penangkapan, penahanan dan pidana penjara hanya akan digunakan sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat/ pendek;

5. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai manusia;

6. Anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisah dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan / kontak dengan keluarganya;

(21)

pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dan tidak memihak serta berhak untuk mendapat keputusan yang cepat / tepat atas tindakan terhadap dirinya itu

Artikel 40 memuat prinsip–prinsip perlakuan terhadap anak yang tersangkut dalam peradilan anak antara lain sebagai berikut :

1. Negara-negara Peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh, atau diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana untuk diperlakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan peningkatan martabat dan nilai anak , yang memperkuat penghargaan anak pada hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar dari orang lain dengan memperhatikan usia anak dan hasrat untuk meningkkatkan penyatuan kembali/reintegrasi anak dan peningkatan peran yang konstruktif dari anak dalam masyarakat.

2. Untuk tujuan ini, dan memperhatikan ketentuan-ketentuan dari perangkat internasional yang relevan, Negara-negara Peserta, khususnya menjamin bahwa: a. Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh, atau diakui telah melanggar

hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada waktu perbuatan-perbuatan itu dilakukan; b. Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum pidana,

paling sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut:

i. Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum;

ii. Diberi informasi denga segera dan langsung mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali hukumnya, dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat dalam mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya;

iii. Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang berwenang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu pemeriksaan yang adil menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam kepentingan terbaik si anak, terutama, dengan memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya;

iv. Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah; untuk memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-syarat keadilan; v. Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka putusan ini dan setiap

upaya yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali oleh penguasa lebih tinggi yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan pengadilan menurut hukum;

vi. Mendapat bantuan seorang penerjemah dengan cuma-cuma kalau anak itu tidak dapat mengerti atau berbicara dengan bahasa yang digunakan;

(22)

3. Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana, terutama:

a. Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana;

b. Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya;

4. Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan pengawasan, perintah, penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan dengan keadaan-keadaan mereka maupun pelanggaran itu.

Saat ini proses peradilan pidana terhadap anak menunjukkan kecenderungan bersifat merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang dengan adanya stigmatisasi. Kecenderungan yang bersifat merugikan dari sarana penal ini, antara lain disebabkan lemahnya pengaturan substansial dalam UU No. 3 Tahun 1997.

Kurang profesionalnya aparat penegak hukum dalam penanganan anak dan kurang memadainya sarana pendukung bagi penempatan anak-anak delinkuen sewaktu proses pemeriksaan maupun proses adjudikasi juga menjadi fakor penyebab lainnya. Dengan demikian, sanksi pidana tak memberi garansi bahwa seseorang akan tetap taat pada norma hukum setelah selesai menjalani pidana. Oleh karena itu, perlu untuk dicari alternatif lain dalam rangka perbaikan bagi pelaku tindak pidana, terutama untuk pelaku anak.

(23)

dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

D. Konsep Restorative Justice Suatu Alternatif Konsep Peradilan Anak Indonesia

Konsep peradilan restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak, tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar pada model peradilan restoratif ini bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan system peradilan anak.

Gordon Bazomore (dalam Paulus Hadisuprapto, 2006: 10) memperkenalkan tiga corak atau model peradilan anak, yaitu:

1. model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model); 2. model retributive (retributive model);

3. model restorative (restorative model).

(24)

Menurut Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, 2003: 25), “Model pembinaan pelaku perorangan di negara-negara Eropa dikenal sebagai “model kesejahteraan anak”, berangkat dari satu cara pandang bahwa kejahatan atau delinkuensi anak tidak dipertimbangkan atau diharapkan pada perangkat nilai-nilai, melainkan lebih dilihat sebagai tanda tidak fungsionalnya sosialisasi”. Oleh karena itu menurut Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini

Tinduk, 2003: 30),“Intervensi adalah sarana untuk mencoba meralat perilaku penyimpangan sosial lewat pemberian sanksi terhadap masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak pelakudelinkuen”.

Model pembinaan pelaku perorangan dirasakan kelemahannya terutama tidak terjaminnya timbul stigmatisasi, paternalistic, mahal, tidak memadai, dan jaminan hukumnya lemah serta diragukan intensitasnya. Di samping itu, model ini masih belum berhasil mengarahkan secara formal kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas sanksi terhadap anak pelaku delinkuen dan gagal memainkan peran peradilan anak dalam kerangka penyelamatan publik. Keputusan bersifat ambivalen dan tak taat asas (inconsistent) serta cenderung menyembunyikan maksud pemidanaan dengan mengatasnamakan keselamatan publik.

Menurut Muhammad Musa (2008, 21):

Dalam model restoratif, perilaku delinkuensi anak adalah perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan peradilan restoratif terhadap delinkuensi terarah pada perbaikan kerugian itu dan penyembuhan luka masyarakat, tidak bersifat punitif, tujuan utamanya adalah perbaikan luka yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diakibatkan oleh perbuatannya dan konsiliasi serta rekonsiliasi dikalangan korban, pelaku dan masyarakat.

(25)

pelaku anak pada pertanggungjawaban atas perilakunya, korban yang biasanya dihalangi ikut berperan serta dalam proses peradilan kini diberi kesempatan untuk berperan serta di dalam proses”.

Menurut Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, 2003: 29), “Konsep restorative justicetelah muncul lebih dari 20 tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak. Restorative justice didefinisikan sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang”.

Dari uraian di atas jelaslah, bahwa proses peradilan yang diharapkan adalah proses yang dapat memulihkan. Artinya, perkara betul-betul ditangani aparat penegak hukum yang mempunyai minat, pehatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan restorative justice, serta penahanan dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dari Konvensi Hak-hak Anak yang telah diadopsi ke dalam UU Perlindungan Anak. Apabila anak terpaksa harus ditahan, penahanan tersebut harus di Rumah Tahanan Negara khusus anak, dan apabila terpaksa harus dihukum penjara, anak harus ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Baik di Rumah Tahanan Negara maupun di Lembaga Pemasyarakatan, anak tetap harus bersekolah dan mendapatkan hak asasinya sesuai dengan The Beijing Rules (Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak) agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah, karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan negara.

(26)

dengan harapan anak sebagai asset bangsa walaupun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagai anak nakal diharapkan tidak menimnbulkan pengaruh negatif pada jiwa anak. Namun secara normatif kekurangan dari Undang-Undang Pengadilan Anak ini pengaturan untuk perlindungan terhadap anak dirasakan lebih dipersempit jika dibandingkan pada ketentuan hukum yang berlaku sebelumnya. Implementasi ketentuan UU No.3 Tahun 1997 ini setelah berusia 14 tahun banyak menimbulkan permasalahan sebagai sarana hukum perlindungan terhadap anak, disebabkan tidak diadakannya pintu klep pengaman dalam proses penegakan hukum terhadap anak nakal.

Diversi sebagai bentuk diskresi yang dikenal dalam proses hukum, merupakan salah satu prinsip pengecualian yang perlu dipikirkan sebagai konsep proses peradilan anak pada tataran ius constituendum. Model restorative justiceadalah salah satu model peradilan anak, dalam rangka melindungi anak agar terhindar dari trauma psikis dan lebel/cap bekas penjahat. Dalam ketentuan UU No.37 Tahun 1997 tidak memberikan ruang bagi aparat hukum untuk melakukan diskresi legal dalam menerapkan proses peradilan anak.

Restorative Justice adalah bentuk yang paling disarankan dalam melakukan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan konseprestorative justicemelibatkan berbagai pihak untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall mengatakan: “Restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan”

(27)

Penjelasan terhadap definisi restorative justice yang dikemukakan oleh Toni Marshal di atas dikembangkan oleh Susan Sharpe yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu (dalam Marlina, 2007: 83) :

1. Restorative Justicemengandung partisipasi penuh dan konsensus;

2. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;

3. Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari pelaku secara utuh;

4. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan kriminal;

5. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.

Pandangan Michael Tonry, melalui penelitiannya tahun 1999 terhadap kebijakan pemidanaan di

Amerika, bahwa restorative justice mempunyai pengaruh besar karena kemampuan konsep tersebut

memberikan manfaat kepada semua tahapan proses peradilan dan menempatkan pelaku dengan tepat

dalam proses peradilan.

Menurutnya Michael Tonry (dalam Marlina, 2007: 89) ada 3 (t) konsep pemidanaan, yaitu:

1. Structured sentencing(pemidanaan terstruktur);

2. Indeterminate(pemidanaan yang tidak menentukan); dan

3. Restorative/community justice(pemulihan/keadilan masyarakat).

Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan proses pradilan konvensional. Peradilan konvensional merupakan pengadilan yang menentukan kesalahan dan mengurus kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara yang dilangsungkan oleh aturan yang sistemik.

(28)

Restorative justice adalah: melihat suatu proses peradilan dengan pandangan yang berbeda, yakni kriminal adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang kepada orang lain. Restorative justice dilakukan untuk memulihkan sesuatu menjadi baik kembali seperti semula dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi yang mengutamakan perbaikan, rekonsiliasi dan perlindungan kembali.

Howard Zehr (dalam Mahmul Siregar dkk, 2007: 89-90), menyebutkan lima perbandingan antara“retributive justice”dan“restorative justice” sebagai berikut:

1. Retributive Justice memfokuskan pada perlawanan terhadap hukum dan negara, sedangkan restorative justice pada pengrusakan atau kekerasan terhadap manusia yang berhubungan dengannya.

2. Retributive Justice berusaha mempertahankan hukum dengan menetapkan kesalahan dan mengatur penghukuman, sedangkanRestorative Justice mempertahankan korban dengan memperhatikan perasaan sakitnya dan membuat kewajiban pertanggungjawaban pelaku kepada korban dan masyarakat yang dirugikan sehingga semuanya mendapatkan hak masing-masing.

3. Retributive Justice melibatkan negara dan pelaku dalam proses peradilan formal, sedangkan restorative justice melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam suasana dialog untuk mencari penyelesaian.

4. Dalam retributive justice korban hanya merupakan bagian pelengkap, sedangkan dalamRestorative Justicekorban adalah posisi sentral.

5. Dalam retributive justice posisi masyarakat diwakili oleh Negara, sedangkan restorative justicemasyarakat berpartisipasi aktif.

Marlina (2009: 195) mengatakan, “Bentuk restorative justice yang dikenal dalam penanganan perkara anak adalahreparative board/youth panelyaitu suatu penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator, aparat penegak hukum yang berwenang secara bersama merumuskan sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau masyarakat”.

(29)

sistem peradilan pidana dan memberikan kesempatan pelaku menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara.

DAFTAR PUSTAKA

(30)

Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perseptif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung, Bina Cipta.

Marlina, 2007,Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan

terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Medan, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA).

Musa, Muhammad, 2008, Peradilan Restoratif Suatu Pemikiran Alternatif System Peradilan Anak Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Riau.

Sambas, Nandang, 2010,Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia,Yogyakarta, Graha Ilmu.

Hadisuprapto, Paulus, Makalah Dengan Judul “ Prospek Hukum Pidana Anak di Indonesia”, Semarang, 15-17 April 2006.

Harman, Benny K. dan Hendardi (ed), Tanpa Tahun, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Hak Asasi manusia,Jakarta, JIM Friedrich Naumann Stiftung Jakarta–Yayasan LBHI.

Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, Jakarta, UNICEF, Indonesia.

Reksodiputro, Mardjono, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan Buku Ketiga),Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengambdian Hukum UI. Siregar, Mahmul, dkk, 2007, Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi

Emergensi dan Bencana Alam, Medan, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA).

Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, 1980, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta, CV. Rajawali.

Soetodjo, Wagiati,2006,Hukum Pidana Anak, Bandung, Refika Aditama.

Soemitro, Irma Setyowati, 2009,Hukum Kesejahteraan Anak,Bandung, Citra Aditya Bakti. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

(31)
(32)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu: (1) pendekatan yuridis normatif digunakan untuk menelaah hal-hal yang bersifat teoritis yaitu asas-asas, konsepsi-konsepsi, doktrin-doktrin, dan norma-norma hukum. (2) Pendekatan yuridis empiris digunakan untuk memperoleh pendapat praktisi dan akademisi hukum tentang perspektif keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak.

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini meliputi data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer diperoleh secara langsung dari tempat penelitian yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni dilakukan wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan terhadap literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan seterusnya, yang meliputi:

(33)

(3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi Konvensi Hak Anak PBB 1989 mulai berlaku 1990.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain literatur ilmu hukum, kamus dan ensiklopedia.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Masri Singarimbun, 1989: 152). Dalam penelitian ini populasi adalah Akademisi dan praktisi hukum di Kota Bandar Lampung.

Penentuan sampel menggunakan metode purposive sampling, yaitu mengambil sample melalui proses penunjukan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Adapun respondennya adalah :

1. Penyidik Anak dari Kepolisian Resor KotaBandar Lampung……...: 1 Orang 2. Penuntut Umum Anak dari Kejaksaan NegeriBandar Lampung…….: 1 Orang 3. Hakim Anak dari Pengadilan Negeri Tanjungkarang………...…: 1 Orang

4. Petugas Balai Pemasyarakatan Kelas II Bandar Lampung…………...: 1 Orang 5. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung……….: 1 Orang

Jumlah...: 5 Orang

(34)

1. Prosedur Pengumpulan Data

Data sekunder, dikumpulkan dengan cara membaca, menelaah, mencatat dan menganalisis literatur dan dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian, kemudian membuat pernyataan-pernyataan.

Data primer, dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan para responden.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari studi kepustakaan, studi dokumentasi maupun studi lapangan, diolah dengan cara sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapannya, kejelasannya, dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis.

E. Analisis Data

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono, 1984,Metode Penelitian Hukum, Jakarta,UI Press.

(36)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Penyelesaian perkara anak dalam perspektif keadilan restoratif tetap dilakukan secara formal melalui mekanisme sistem peradilan pidana anak, namun pelaksanaannya menitikberatkan pada kepentingan terbaik bagi anak pelaku tindak pidana, tanpa mengabaikan kepentingan korban tindak pidana dan kepentingan masyarakat yang dirugikan akibat terjadinya tindak pidana.

2. Faktor penghambat penggunaan konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak adalah:

a. Ketentuan peraturan perundang-undangan atau peraturan perundang-undangan yang memuat konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak yang ada dan berlaku di Indonesia seperti KHA yang disahkan dengan Keppres No. 36 Tahun 1990 dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di satu sisi tidak bersifat memaksa, sedangkan di sisi lain UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum menganut konsep keadilan restoratif.

(37)

melaksanakan sistem peradilan pidana anak hanya wajib mengikuti KUHAP dan UU No. 3 Tahun 1997 sebagai payung hukum.

c. Warga masyarakat terutama keluarga korban masih menghendaki pelaku tindak pidana termasuk pelaku anak dikenakan hukuman berat.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dalam rangka mewujudkan sistem peradilan pidana anak yang memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak tanpa mengabaikan kepentingan korban dan msyarakat, penulis menyarankan sebagai berikut:

1. Kepada Pemerintah dan Mahkamah Agung agar segera melakukan perombakan terhadap mekanisme dan prosedur penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak, seperti mengikutsertakan keluarga anak pelaku tindak pidana, korban, dan masyarakat di samping aparat penegak hukum dalam penanganan perkara anak.

2. Kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar segera:

a. Mengganti UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan UU yang baru, yang mengakomodir konsep keadilan restoratif dalam menyelesaian perkara anak.

b. Merubah cara berfikir aparat penegak hukum pidana terutama polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara anak agar tidak berfikir legalistik-fomalistik dalam menangani perkara anak.

(38)
(39)

PENYELESAIAN PERKARA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEADILAN RESTORATIF

(Skripsi)

Oleh

ISMAIL ADI NEGARA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(40)

Halaman

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan dan Ruang lingkup... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7

E. Sistematika Penulisan... 10

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA... 13

A. Pengertian Anak... 13

B. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana... 15

C. Tinjauan Umum Sistem Peradilan Pidana……... 17

D. ModelRestorative JusticeSuatu Alternatif Konsep Peradilan Anak Indonesia………... 23

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN... 32

A. Pendekatan Masalah... 32

B. Sumber dan Jenis Data... 32

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 33

E. Analisis Data ... 34

DAFTAR PUSTAKA IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 36

A. Karakteristik Responden ... 36

B. Penyelesaian Perkara Anak dalam Perspektif Keadilan Restoratif… 37 C. Faktor Penghambat Penggunaan Konsep Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Anak ………. 57

(41)

Referensi

Dokumen terkait

Uji aktivitas antioksidan penangkap radikal dilakukan terhadap isolat yang telah diperoleh dan dilakukan dengan metode Kwon and Kim (2003) yaitu

Berdasarkan Tabel 1 aspek kejelasan tulisan, bahasa, dan kalimat memperoleh skor sempurna yaitu 4 karena telah sesuai dengan rubrik penilaian yaitu tulisan dapat

Hal serupa dijelaskan oleh informan lainnya menjelaskan bahwa tradisi jati suara pada pesta khitanan di Desa Darmasari Kecamatan Sikur dimulai dari dulu yaitu dari

Bahwa penderita cacat kejiwaan yang melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 44 ayat (1) KUHP, tidaklah dipidana karena penderita cacat kejiwaan tidak mampu

Observasi pengaruh posisi wajah dan pencahayaan untuk identifikasi wajah telah dilakukan dengan menggunakan tahap utama normalisasi, deteksi tepi dan dilanjutkan

Negara, dalam hal ini, Pemerintah Daerah belum memiliki kekuatan tata kelola zakat yang baik karena belum terbentuknya Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) kabupaten

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 22/KPTS/1996 tentang Pengesahan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 12 Tahun 1995

Teknik yang mereka gunakan adalah DCM (Daftar Cek Masalah) dan wawancara. beberapa kebutuhan dan masalah siswa yang belum terakomodasi dalam program BK, seperti