Kualitas kimia daging sapi glonggongan dan daging sapi normal
Parameter Glonggongan Normal
BF (otot Biceps femoris)
Kadar Air 81,09 76,04
Protein 15,98 21,08
Lemak 0,92 0,85
Abu 1,38 1,30
LD(otot Longissimus dorsi)
Kadar Air 80,56 75,77
Protein 16,17 21,07
Lemak 1,12 0,88
Abu 1,48 1,44
Rerata
Kadar Air 80,83 75,90
Protein 16,08 21,07
Lemak 1,02 0,87
Abu 1,43 1,37
HASIL WAWANCARA PADA KEPALA BIDANG KESMAVET DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA UTARA
Narasumber : Bapak drh. Nurdin Effendi
Jabatan : Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara
Hari/ Tanggal : Selasa/ 15 Maret 2016
1. Menurut anda, apakah pengertian dari daging glonggongan ?
Jawab: Daging gelonggongan adalah daging yang sebelum disembelih terlebih dahulu
diminumi air secara berlebihan. Bahkan tak jarang hewan bersangkutan pingsan
karena kelebihan minum, dan setelah itu sapi itu dipotong. Hal demikian
dilakukan oleh para oknum untuk menambah berat badan sapi sehingga bobot
daging sapi pun otomatis bertambah secara drastis. Jika bobot daging sapi
meningkat, maka perolehan keuntungan produsen dapat menjadi tinggi.
Mengamati hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsumenlah yang
sangat dirugikan. Bobot daging yang perlahan tapi pasti akan menyusut selang
beberapa jam kemudian karena airnya keluar. Konsumen juga tertipu karena
mereka mendapatkan daging yang bobotnya tidak sesuai dengan harga
sebagaimana mestinya.
2. Bagaimanakah sistem peredaran daging glonggongan di pasar tradisional ?
Jawab: Daging glonggongan jauh dari kualitas daging sapi yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Hal ini dikarenakan, daging sapi glonggongan itu sendiri merujuk pada
paksa. Caranya, moncong sapi diberi corong bambu atau selang dan diikat kuat.
Agar air masuk penuh, kaki sapi di angkat lebih tinggi dari kaki belakang. Proses ini
menghasilkan sapi bertambah tambun. Setelah dicekokin air, sapi didiamkan selama 6 jam lalu dipotong. Kemudian daging dilempar ke pasar dengan harga dibawah
harga normal. Padahal kalau dihitung secara cermat, konsumen yang beli daging
glonggongan amat dirugikan. Karena daging yang telah dibeli setelah dimasak akan menyusut sebanyak 50 persen. Artinya separuhnya lagi, konsumen seperti beli air.
Soal gizinya juga dipastikan berkurang banyak.
3. Apakah yang menjadi faktor pendorong peredaran daging glonggongan di pasar
tradisional ?
Jawab: Maraknya peredaran daging glongongan di bulan Ramadhan, terlebih saat
lebaran, bukanlah hal baru. Hal ini karena setiap Ramadhan, pedagang
memanfaatkan kesempatan dikala harga daging melonjak naik. Pada saat ini,
harga daging sapi mencapai harga Rp. 110.000,-/kg. yang pada semula berharga
Rp.95.000,-/kg, kenaikan harga daging terjadi sebagai akibat dari meningkatnya
permintaan daging sedangkan pasokan tidak bertambah sehingga pemerintah
harus mengimpor daging dari berbagai negara. Di tengah tingginya harga daging,
beberapa kalangan menganggap daging sapi glonggongan yang dijual murah
sebagai solusinya. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang daging yang
aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) menjadi salah satu faktor pendorong
peredaran daging glonggongan. Umumnya, masyarakat tidak tahu dan
sebahagiannya lagi tidak mau tahu, apakah daging yang dibelinya berasal dari
penyedia daging yang terjamin keamanannya atau tidak. Selain itu, tindakan
curang yang bermotif ekonomi juga menjadi faktornya. Tindakan tersebut
sebanyak-banyaknya dengan modal yang relatif rendah sehingga produsen mampu
melakukan tindakan yang secara kemanusiaan dan ilmu kesehatan tidak etis,
seperti meng-glonggong sapi sebelum disembelih. Selain itu, faktor lain sebagai
pendorong timbulnya tindakan curang yang bermotif ekonomi, yaitu dikarenakan
banyaknya masyarakat Indonesia yang dilanda kemiskinan, yang membuat
konsumen lebih memilih daging yang lebih murah dengan kualitas yang lebih
rendah dibandingkan daging yang lebih mahal dengan kualitas yang lebih tinggi.
Keadaan seperti inilah yang sering dimanfaatkan oleh para pedagang untuk
mendapatkan untung banyak dengan cara yang tidak baik serta dapat merugikan
dan membahayakan masyarakat yang mengkonsumsi daging tersebut.
4. Anda mengatakan bahwa daging yang aman dan legal untuk dikonsumsi masyarakat
adalah daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH), dimana prinsip ASUH tersebut
adalah merupakan patokan dasarnya. Dapatkah anda menjelaskan maksud dari prinsip
ASUH tersebut ?
Jawab: Daging yang aman adalah daging yang tidak mengandung bahaya biologis,
kimia, dan fisik yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan
manusia. Daging yang sehat dimaksudkan bahwa daging mengandung zat yang
berguna dan seimbang bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh. Daging utuh
disini maksudnya adalah daging tidak dicampur dengan bagian lain dari hewan
tersebut atau dipalsukan dengan bagian hewan lainnya. Dan daging yang halal
yaitu selama proses dan pengolahan daging diperlakukan sesuai syariat agama
5. Bagaimanakah ciri-ciri daging glonggongan itu sendiri ?
Jawab:Untuk mengenali daging gelonggongan diperlukan kejelian dan kewaspadaan
kita. Periksa kondisi daging sebaik mungkin sebelum dibeli. Selain daging,
periksa juga timbangan penjual, karena ada saja penjual yang nakal yang
memodifikasi alat timbangannya sehingga menguntungkan dirinya sendiri.
Hati-hati dengan harga murah yang jauh dari harga normal, karena bisa saja
daging yang dijual palsu, gelonggongan, daging busuk dicampur bahan kimia,
dan lain sebagainya. Daging gelonggong biasanya jika digantung akan
menyebabkan ada air menetes ke bawah. Lihat pula warna daging apakah
masih merah segar atau merah pucat. Serat daging biasa yang tidak
digelonggongi akan nampak wajar tidak menggelembung.
6. Apakah dampak yang timbul akibat peredaran daging glonggongan di pasar tradisional ?
Jawab: Dampak yang timbul akibat beredarnya daging glonggongan terhadap konsumen
pada hakikatnya mengacu pada kesehatan masyarakat selaku pengonsumsi
daging glonggongan. Akan tetapi perwujudan dari tujuan dibentuknya
Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 ini masih saja sulit untuk ditegakkan.
Hal ini dikarenakan sifat dari masyarakat Indonesia sendiri masih belum
menyadari akan pentingnya arti kesehatan. Hal ini terbukti dari adanya
penjualan daging glonggongan di pasar tradisional yang dapat membahayakan
kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya dikarenakan prosedur standar
pemotongan sapi yang dilakukan sangat bertentangan dengan Standar Prosedur
Operasi (S.O.P) yang telah ditetapkan pemerintah. Selain itu, air yang
digunakan diragukan kehigienisannya dan tentunya dari air itulah dapat
yang kapan saja dapat merusak kesehatan bagi masyarakat yang
mengkonsumsinya. sedangkan dampak terhadap pelaku usaha adalah dengan
adanya keinginan dari pelaku usaha sendiri untuk mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya yang akibatnya
dapat membahayakan kesehatan konsumen dan hal yang lebih parahnya lagi,
alih-alih ingin mendapatkan keuntungan yang besar malah mendapatkan
kerugian yang besar dikarenakan ketidakpercayaan para konsumen terhadap
produk yang dinyatakan berbahaya tersebut. Untuk itu, pelaku usaha diminta
untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan kualitas produk yang
dihasilkannya. Mereka juga harus mempertanggungjawabkan atas apa yang
terjadi pada setiap produknya. Jika pelaku usaha mampu menjaga kualitas dan
mutu barang dan/atau jasa yang ditawarkan, maka konsumen akan terus
memandang positif tanpa ragu sedikitpun untuk selalu mengonsumsinya.
7. Bagaimanakah cara pembuatan daging glonggongan ?
Jawab: Ada dua jenis daging glonggongan yang ada di pasaran. Kedua jenis tersebut
adalah
3. Daging yang berasal dari sapi glonggongan dimana pengglonggongan
dilakukan sebelum sapi mati
4. Daging yang berasal dari daging glonggong dimana pengglonggongan
dilakukan setelah sapi mati.
Jenis pertama penggelonggongan diawali dengan meletakkan kaki
depan sapi lebih tinggi dibandingkan dengan kaki belakang sapi. Setelah
sapi dalam posisi demikian, mulut sapi dimasuki selang. Selang yang telah
masuk tersebut kemudian dialiri dengan air.Penggelonggongan dilakukan
Cara kedua yaitu penggelonggongan dilakukan dengan cara
memasukkan air setelah sapi mati. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk memasukkan air setelah sapi mati. Cara pertama adalah air
dimasukkan dengan selang ke dalam perut sapi sampai terisi penuh dan
didiamkan sekitar 6 jam. Cara kedua yang dilakukan adalah dengan cara
menyuntikkan air ke dalam daging sapi yang telah disembelih sehingga
daging menjadi lebih berat. Dengan cara-cara yang telah dipaparkan diatas
mengakibatkan 30-40% dari tubuh sapi adalah air.
8. Bagaimanakah cara menanggulangi peredaran daging glonggongan di pasar tradisional ?
Jawab: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai instansi yang lingkup tugas dan
dari tanggung jawabnya meliputi peternakan dan kesehatan hewan wajib
memberitahukan kepada masyarakat akan bahaya dan ciri-ciri dari daging
glonggongan, dimana penyuluhan informasi ini dapat dilakukan secara tertulis
maupun lisan. Misalnya, penyampaian informasi dilakukan secara tertulis yaitu
dengan menempelkan brosur-brosur akan bahaya dan ciri-ciri daging
glonggongan di pasar modern maupun pasar tradisional, dapat juga dengan cara
penyampaian informasi tersebut melalui media cetak. Sedangkan penyampaian
informasi secara lisan dapat dilakukan dengan mengadakan seminar tentang
daging glonggongan dan dapat juga melalui media elektronik. Selain itu, upaya
yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan razia secara rutin ke pasar
tradisional, agar pelaku usaha yang berbuat curang jera untuk menjual daging
glonggongan dikarenakan frekuensi razia rutin oleh instansi yang berwenang.
Maraknya penjualan daging glonggongan di pasar tradisional salah satu
usaha menganggap hal ini merupakan hal yang sepele karena mereka
beranggapan bahwa sekalipun tertangkap paling-paling hanya diberikan teguran
atau penyitaan. Hal seperti ini harus mendapat perhatian khusus dari
pemerintahan agar pelaku usaha tidak lagi menanggap remeh akan sanksi yang
diterima atas perbuatan mereka.
9. Anda mengatakan bahwa sejauh ini Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Sumatera Utara tidak pernah menjumpai penjualanan daging glonggongan di pasar
tradisional yang terletak di wilayah Medan, namun jika dikemudian hari hal tersebut
ditemui, hal apa yang dilakukan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Sumatera Utara ?
Jawab: Walaupun dalam prakteknya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak
pernah menjumpai daging sapi glonggongan di pasar tradisional, akan tetapi
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara dapat
melakukan upaya penyidikan apabila ditemuinya penjualan daging sapi
glonggongan dikemudian hari yaitu berupa penyitaan terhadap daging sapi yang
diduga mengandung air serta mengadakan penelitian terhadap daging sapi
tersebut dimana jika hasil penelitian tersebut positif mengandung air, maka hasil
penelitian tersebut oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan diserahkan
kepada pejabat Kepolisian untuk dilakukannya penyidikan lebih lanjut guna
terwujudnya koordinasi penyidikan antara Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan dengan aparat Kepolisian serta untuk mencegah dan menyelesaikan kasus
penjualan daging sapi glonggongan dikemudian hari.
Jawab: Adapun kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah terkaitini adalah:
a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Kesejahteraan.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi
Pangan
d. Peraturan Menteri Nomor 413 Tahun 1992 tentang Pemotongan Hewan Potong
dan Penanganan Daging
e. Dan lain-lain
11.Langkah apa yang harus dilakukan apabila menemukan daging yang menyimpang?
Jawab: Adapun langkah yang dapat dilakukan masyarakat apabila menemukan daging
yang menyimpang adalah, dengan melaporkannya kepada dinas yang
membidangi fungsi peternakan atau kesehatan masyarakat veteriner atau kepada
instansi terkait, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dinas
Kesehatan setempat, Kepolisian, dan lain-lain. Setelah itu, petugas yang
berwenang akan melakukan pengecekan ke lokasi ditemukannya daging yang
menyimpang, seperti Rumah Potong Hewan (RPH), pasar, mal, dan sebagainya,
untuk menjamin bahwa daging yang diedarkan di masyarakat layak untuk
dikonsumsi. Untuk itu, peran masyarakat sangat diperlukan dalam memberikan
laporan bila menemukan penyimpangan di pasar, kios daging, RPH,, dan tempat
12.Bisakah anda memberikan beberapa tips dalam membedakan mana daging sapi
glonggongan dan mana daging sapi normal ?
Jawab: Adapun tips untuk membedakan daging sapi glonggongan dengan daging sapi
yang daging sapi normal adalah sebagai berikut:
6. Pilih daging yang berwarna merah (merah maroon) jangan yang berwarna
pucat, jika berwarna pucat ada kemungkinan bahwa daging tersebut adalah
daging glonggongan atau daging yang sudah lama
7. Pilih daging yang lembap (tidak basah/ tidak kering)
8. Jangan pilih daging yang selalu mengeluarkan air, dengan pengujiannya
digantung, apabila terus mengeluarkan air berarti daging tersebut daging
glonggongan
9. Jangan memilih daging yang diletakkan dibawah atau tidak digantung sebab
ada kemungkinan pedagang melakukan hal tersebut karena agar kita tidak
mengetahui daging tersebut mengeluarkan air
10.Untuk jeroan, seperti paru dan hati, coba kita cubit atau robek. Seandainya
mudah koyak berarti jeroan tersebut ditambah air atau jeroan yang sudah
Proses Peng-glonggongan sapi
Perbedaan Antara Daging Glonggongan, Semi Glonggongan, dan Daging Normal ketika daging diletakkan diatas kertas
Hasilnya:
1. Daging Glonggongan:
a. Warna pucat
b. Zona air luas muncul pada kertas
2. Daging Semi Glonggongan:
a. Warna kemerahan
b. Zona air sedang muncul pada kertas
3. Daging Normal:
a. Warna merah
b. Zona air muncul setelah beberapa waktu
Perbedaan Daging Segar dengan Daging Glonggongan
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Badrulzaman, Mariam Darus, 2000, Perlindungan Terhadap Konsumen, Jakarta: Gramedia
Pustaka Umum.
Barakatullah, Abdul Halim, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Nusa Media.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen , Malang: Sinar Grafika.
D, C. Tantri, Sulastri, 1995, Gerakan Organisasi Konsumen: Seri Panduan Konsumen,
Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia – The Asia Foundation.
Ilyas, Rismawati, Mahfud, Laporan Penelitian: Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Dalam
Peredaran Makanan Cacat di Banda Aceh
Mansyur, M.Ali, 2007, Penegakan Tentang Tanggung Gugat Produsen dalam Perwujudan
Perlindungan Konsumen, Yogyakarta: Genta Press.
Nasution, A.Z, 1995, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Purba, A. Zen Umar, Perlindungan Konsumen: Sendi-Sendi Pokok Pengaturan, Majalah
Hukum dan Pembangunan, No. 4 Agustus 1992.
Rahmawati, Intan Nur, Rukiyah Lubis, 2014, Win-Win Solution Sengketa Konsumen, Jakarta:
PT. Buku Seru.
Saleh, Ismail, 1990, Hukum dan Ekonomi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Samantoro, 1986, Hukum Ekonomi, Jakarta: UI Press.
Shofie, Yusuf, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Siahaan, N.H.T, 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung Jawab
Sidabalok, Janus, 2000, Pengantar Hukum Ekonomi, Medan: Bina Media.
Soemitro, Ronny Haitijo,Metode Penelitian Hukum dan Juri Metri, Jakarta: Ghalia.
Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Diabaikan, Jakarta: Visimedia.
Tunggal, Hadi Setia, 2007, Undang-Undang Perlindungan Konsumen Beserta Peraturan
Pelaksanaannya, Jakarta: Harvarindo.
Widjaja, Gunawan, Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Zulham, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan
Kesejahteraan.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2012 tentang Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara.
Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 70 Tahun 2011 tentang Organisasi, Tugas,
Fungsi, dan Uraian Tugas unit Pelaksana Teknis pada Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Sumatera Utara.
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2001 tentang Dinas-Dinas Daerah
Internet:
BAB III
KAJIAN UMUM DAGING GLONGGONGAN
A. Pengertian Daging Glonggongan
Di Indonesia, bulan Ramadhan dikaitkan dengan kesempatan pemenuhan kebutuhan
pangan yang lebih istimewah. Setiap sahur dan berbuka biasanya tersedia makanan dan
minuman yang khusus, bukan yang biasa dinikmati sehari-hari. Demikian juga dengan
mengkonsumsi daging khususnya daging sapi, apalagi masakan daging sapi seperti rendang
dapat disimpan dan tahan lama, namun sayangnya daging sapi tidaklah murah. Dari tahun ke
tahun pada saat bulan Ramadhan maupun hari raya, permintaan akan daging sapi kian
meningkat, sehingga munculah niatan para pedagang daging untuk meraih keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan cara meng-glonggong daging sapi.
Daging gelonggongan adalah daging yang sebelum disembelih terlebih dahulu
diminumi air secara berlebihan. Bahkan tak jarang hewan bersangkutan pingsan karena
kelebihan minum, dan setelah itu sapi itu dipotong. Hal demikian dilakukan oleh para oknum
untuk menambah berat badan sapi sehingga bobot daging sapi pun otomatis bertambah secara
drastis. Jika bobot daging sapi meningkat, maka perolehan keuntungan produsen dapat
menjadi tinggi. Mengamati hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsumenlah yang
sangat dirugikan sebab bobot daging perlahan tapi pasti akan menyusut selang beberapa jam
kemudian karena air yang diberikan padanya keluar. Konsumen juga tertipu karena mereka
mendapatkan daging yang bobotnya tidak sesuai dengan harga sebagaimana mestinya.31
31
B. Ciri-Ciri Daging Gelonggongan
Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan
kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak
sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, agar jika ada tindakan yang tidak adil
terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Sehingga konsumen dapat
bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya
tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar pelaku usaha.32
Untuk mengenali daging gelonggongan, kita memerlukan kejelian dan kewaspadaan.
Dengan memeriksa kondisi daging sebaik mungkin sebelum dibeli. Selain daging, periksa
juga timbangan penjual, karena ada saja penjual nakal yang memodifikasi alat timbangannya Namun dalam prakteknya, sering kali konsumen sebagai pemakai barang dan/atau
jasa dirugikan oleh perilaku pelaku usaha yang nakal. Karena ketidaktahuan dan
ketidaksadaran konsumen akan hak-haknya yang mengakibatkan konsumen menjadi korban
pelaku yang tidak jujur terutama bagi ibu rumah tangga.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh pedagang daging yang nakal kepada para
konsumennya, mulai dari mencampur bahan-bahan kimia berbahaya ke dalam daging hingga
membuat dagingnya menjadi daging gelonggongan.
Sadis memang, karena sapi yang hendak disembelih dipaksa minum air sebanyak
mungkin hingga tubuhnya membengkak. Sapi-sapi naas tersebut diberi minum air melalui
selang atau pipa yang dimasukkan paksa ke dalam mulutnya. Setelah sapi tersebut kenyang
dengan air dan dirasa airnya sudah menyebar ke seluruh tubuh termasuk daging, barulah sapi
dipotong seperti layaknya sapi-sapi normal. Yang jelas daging sapi gelonggongan banyak
mengandung air sehingga merugikan orang yang membeli daging tersebut dengan harga
normal.
32
sehingga menguntungkan dirinya sendiri. Hati-hati dengan harga daging yang jauh lebih
murah dari harga normal, karena bisa saja daging yang dijual palsu, gelonggongan, daging
busuk, daging yang dicampur dengan bahan kimia, dan lain sebagainya. Daging gelonggong
biasanya jika digantung akan menyebabkan air yang terdapat didalam daging menetes ke
bawah. Lihat pula warna daging, apakah masih merah segar atau merah pucat. Serat daging
yang tidak digelonggongi (daging normal) akan nampak wajar dan tidak menggelembung.33
Kita dapat membedakan daging sapi glonggongan dengan daging sapi normal dengan
cara melihat permukaan dagingnya yang selalu basah sampai keserat-seratnya. Daging sapi
normal hanya tampak lembap tapi tidak basah. Dan biasanya para pedagang daging
glonggongan tidak berani menggantung daging glonggongnya, karena airnya akan terus
menetes sampai daging menyusut normal. Daging glonggongan berwarna merah kepucat–
pucatan, sedangkan daging normal berwarna merah tua. Selain itu, harga daging
gelonggongan juga lebih murah jika dibandingkan dengan harga daging yang normal.34
Adapun perbedaan kandungan yang terkandung didalam daging sapi glonggongan
dengan kandungan yang terkandung didalam daging sapi normal adalah sebagai berikut:35
1. Kadar air daging sapi glonggongan yaitu rata-rata 80.83%, sedangkan daging sapi normal
yaitu 75.91%. Kondisi ini mengindikasi bahwa penggelonggongan sapi berhasil. Dengan
meningkatnya kadar air, maka meningkat pula bobot daging sapi. Daging yang
mempunyai kadar air tinggi akan lebih cepat rusak dan menyusut bila dimasak.
2. Kadar protein daging sapi glonggongan yaitu 16.08%, sedangkan kadar protein daging
normal yaitu 21.08%.
3. Kadar lemak daging sapi glonggongan yaitu 1.02%, sedangkan kadar lemak daging
normal yaitu 0.87%. Kadar lemak daging sapi glonggongan lebih tinggi dikarenakan
33
Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Maret 2016 di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.
34 Ibid.
sampel otot sapi glonggong rata-rata umumnya lebih tua dibanding sampel otot daging
normal, dimana umur ternak menentukan marbling36
4. Kadar abu daging sapi glonggongan yaitu 1.43%, sedangkan kadar abu daging normal
adalah 1.37%.
daging. Tingginya kadar lemak
daging ditentukan oleh marbling daging pada tiap lokasi otot sapi.
5. Kandungan asam laktat dalam daging sapi glonggongan adalah 2.815,89 ppm, sedangkan
kandungan asam laktat dalam daging normal adalah 6.827,77 ppm. Kandungan asam
laktat daging pada sapi normal lebih tinggi karena sewaktu dipotong cadangan energi
masih banyak. Sedangkan pada sapi glonggongan, saat dipotong sudah lelah kehabisan
energi. Asam laktat ini diperlukan untuk produk daging yang mana mempengaruhi
kelezatan dan keempukan, menjaga dengan baik warna dan kualitas. Jika hewan stress
sebelum dipotong, level asam laktat setelah pemotongan akan menurun, sehingga daging
menjadi cepat rusak dan mudah terkontaminasi bakteri.
Adapun tips untuk membedakan daging sapi glonggongan dengan daging sapi yang
daging sapi normal adalah sebagai berikut:37
1. Pilih daging yang berwarna merah (merah maroon) jangan yang berwarna pucat, jika
berwarna pucat ada kemungkinan bahwa daging tersebut adalah daging glonggongan atau
daging yang sudah lama.
2. Pilih daging yang lembap (tidak basah/ tidak kering).
3. Jangan pilih daging yang selalu mengeluarkan air, dengan pengujiannya digantung,
apabila terus mengeluarkan air berarti daging tersebut daging glonggongan.
36
Marbling adalah lemak yang terdapat diantara otot-otot dan tampak dari luar seperti marmer. 37
4. Jangan memilih daging yang diletakkan dibawah atau tidak digantung sebab ada
kemungkinan pedagang melakukan hal tersebut karena agar kita tidak mengetahui daging
tersebut mengeluarkan air.
5. Untuk jeroan, seperti paru dan hati, coba kita cubit atau robek. Seandainya mudah koyak
berarti jeroan tersebut ditambah air atau jeroan yang sudah kadaluarsa.
C. Faktor Pendorong Peredaran Daging Glonggongan di Pasar Tradisional
1. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang daging yang aman, sehat, utuh, halal
(ASUH)
Pengetahuan masyarakat tentang daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH)
untuk dikonsumsi masih sangat rendah. Umumnya, masyarakat tidak tahu dan
sebahagiannya lagi tidak mau tahu apakah daging yang dibelinya berasal dari penyedia
daging yang terjamin keamanannya atau tidak. Banyak dari mereka hanya memilih untuk
mendapatkan daging yang lebih murah harganya tanpa berfikir apakah daging yang
dibelinya aman atau tidak.38
Hal ini dapat didukung dari adanya pengakuan konsumen yang kebanyakan dari
mereka mengungkapkan bahwasanya mereka lebih memilih daging yang lebih murah
tanpa mempedulikan kualitasnya, dimana menurut mereka sangat sulit untuk
membedakan mana daging yang sehat dan mana daging yang tidak sehat, ditambah lagi
dikarenakan faktor ekonomi yang membuat masyarakat sendiri tidak mau tau akan
ciri-ciri ataupun bahaya yang timbul apabila mengkonsumsi daging glonggongan, sebab
daging glonggongan jauh lebih murah daripada daging yang pada umumnya.39
2. Tindakan Curang Bermotif Ekonomi
38
Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Maret 2016 di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.
39
Banyak orang yang beranggapan bahwa hukum dan ekonomi merupakan dua
kutub yang bertolak belakang. Ekonomi dinilai memiliki karakteristik gerak yang cepat
dan fleksibel, sedangkan hukum dianggap lambat dan kaku. Pada umumnya ada anggapan
bahwa, hukum lebih banyak menjadi faktor penghambat perkembangan ekonomi daripada
sebagai faktor yang dapat melandasi ekonomi.40
Dibidang pendidikan/ pengajaran di perguruan tinggi pun anggapan tersebut
relatif sama. Mahasiswa fakultas hukum relatif kurang paham mengapa mereka diajarkan
ekonomi dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi atau Ekonomi Pembangunan. Sama
halnya dengan mahasiswa fakultas ekonomi, mereka kurang mengerti mengapa mereka
diajarkan mata kuliah hukum ekonomi atau hukum dagang.41
Memenuhi kebutuhan sebagai tindakan ekonomi tidak terlepas dari sejumlah
aturan yang disepakati bersama. Aturan itu adalah sebagai alat penjamin berlangsungnya
interaksi secara baik dan tertib. Dalam tindakan pemenuhan kebutuhan yang paling
sederhana seperti jual-beli, ada aturan-aturan hukum yang harus ditaati. Kepada para
pihak, yaitu penjual dan pembeli dibebankan sejumlah hak dan kewajiban, sehingga
pelaksanaan jual-beli berjalan dengan baik. Dengan kata lain, peristiwa jual beli bukan
semata-mata peristiwa ekonomi saja, tetapi juga merupakan peristiwa hukum. Karena itu,
ada norma hukum yang harus dipatuhi didalamnya.42
Gambaran diatas menunjukkan bahwa hukum dan ekonomi mempunyai kaitan
yang erat. Hukum atau peraturan menjamin terpenuhinya kebutuhan anggota masyarakat
dan berlangsungnya interaksi dengan baik. Karena itu, mempertentangkan hukum dengan
pembangunan ekonomi sangat penting, idealnya interaksi tersebut saling menunjang.43
40
Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hal ix. 41
Janus Sidabalok, Pengantar Hukum Ekonomi(Medan: Bina Media, 2000), hal 29. 42
Sumantoro, Hukum Ekonomi(Jakarta: UI Press, 1986), hal 14 43
Hukum tidak selalu memberi jaminan seperti yang diharapkan, sebab hukum
ternyata juga dapat dipakai sebagai alat untuk menciptakan ketidakadilan. Misalnya
tindakan curang yang bermotif ekonomi yang belakangan ini sering kita jumpai
dipasar-pasar tradisional yaitu banyaknya para pedagang yang menjual daging yang tidak layak
dikonsumsi, seperti daging glonggongan yang dapat merugikan dan membahayakan
kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya.
Adapuun faktor pendorong dari timbulnya tindakan curang yang bermotif
ekonomi ini semata-mata didorong karena keinginan untuk mendapatkan keuntungan
yang sebanyak-banyaknya dengan modal yang relatif rendah sehingga produsen mampu
melakukan tindakan yang secara kemanusiaan dan ilmu kesehatan tidak etis, seperti
meng-glonggong sapi sebelum disembelih.44
Selain faktor diatas, ada pula faktor lain sebagai pendorong timbulnya tindakan
curang yang bermotif ekonomi, yaitu dikarenakan banyaknya masyarakat Indonesia yang
dilanda kemiskinan, yang membuat konsumen lebih memilih daging yang lebih murah
dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan daging yang lebih mahal dengan kualitas
yang lebih tinggi. Keadaan seperti inilah yang sering dimanfaatkan oleh para pedagang
untuk mendapatkan untung banyak dengan cara yang tidak baik serta dapat merugikan
dan membahayakan masyarakat yang mengkonsumsi daging tersebut.
Cara demikian mereka lakukan untuk
meningkatkan berat daging dan biasanya dijual dengan harga yang relatif lebih murah
dari daging pada umumnya (daging sehat).
45
44
Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Maret 2016 di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.
D. Sistem Beredarnya Daging Glonggongan
Pemotongan hewan potong harus dilakukan di Rumah Potong Hewan46 (RPH) atau
tempat permotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang
berwenang.47Pemotongan hewan di RPH harus dilakukan dengan memperhatikan
kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Penetapan aturan maupun teknis pelaksanaan
pemotongan di RPH dimaksudkansebagai upaya penyediaan pangan asal hewan khususnya
daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH48
Prosedur operasional standar yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebagai
berikut:
).
Untuk mendapatkan daging ASUH yang bersumber dari RPH maka sudah seharusnya
RPH memiliki prosedur operasional standar yang dijadikan dasar atau patokan dalam
menyelenggarakan fungsi RPH sebagai tempat pemotongan, pengulitan, pelayuan, dan
akhirnya penyediaan daging untuk konsumen.
49
1. Tahap penerimaan dan penampungan hewan
a. Hewan ternak yang baru datang di RPH harus diturunkan dari alat angkut dengan
hati-hati dan tidak membuat stress.
b. Dilakukan pemeriksaan dokumen (surat kesehatan hewan, surat keterangan asal
hewan, surat karantina, dan sebagainya).
c. Hewan ternak harus diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penampungan minimal
12 jam sebelum dipotong.
46
Berdasarkan Penjelasan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan beserta peralatannya dengan desain yang memenuhi persyaratan sebagai tempat menyembelih hewan, antara lain sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan unggas bagi konsumsi masyarakat.
47
Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 2 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. 48
Aman berarti daging tidak mengandung bahaya biologi, kimiawi dan fisik yang dapat menyebabkan penyakit serta mengganggu kesehatan manusia. Sehat berarti daging memiliki zat-zat yang dibutuhkan dan berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh manusia. Utuh berarti daging tidak dicampur dengan bagian dari hewan lain. Halal berarti hewan maupun dagingnya disembelih dan ditangani sesuai dengan syariat agama Islam.
d. Hewan ternak harus dipuasakan tetapi tetap diberi minum kurang lebih 12 jam
sebelum dipotong.
e. Hewan ternak harus diperiksa kesehatannya sebelum dipotong (pemeriksaan ante
mortem).
2. Tahap pemeriksaan ante mortem
a. Pemeriksaan ante mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di
bawah pengawasan dokter hewan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
b. Hewan ternak dinyatakan sakit atau diduga sakit dan tidak boleh dipotong atau
ditunda pemotongannya, harus segera dipisahkan dan ditempatkan pada kandang
isolasi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
c. Apabila ditemukan penyakit menular atau zoonosis, maka dokter hewan atau petugas
yang ditunjuk harus segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan.
3. Persiapan penyembelihan atau pemotongan
a. Ruang proses produksi dan peralatan harus dalam kondisi bersih sebelum dilakukan
proses penyembelihan atau pemotongan.
b. Hewan ternak harus ditimbang sebelum dipotong.
c. Hewan ternak harus dibersihkan terlebih dahulu dengan air sebelum memasuku ruang
pemotongan.
d. Hewan ternak digiring dari kandang penampungan ke ruang pemotongan dengan cara
yang wajar dan tidak membuat stress.
4. Penyembelihan
a. Hewan ternak dapat dipingsankan atau tidak dipingsankan.
b. Apabila dilakukan pemingsanan, maka tata cara pemingsanan harus mengikuti Fatwa
c. Apabila tidak dilakukan pemingsanan, maka tata cara menjatuhkan hewan harus dapat
meminimalkan rasa sakit dan stress (misal menggunakan re-straining box).
d. Apabila hewan ternak telah rebah dan telah diikat dengan aman, segera dilakukan
penyembelihan sesuai dengan syariat Islam.
e. Proses selanjutnya dilakukan setelah hewan ternak benar-benar mati dan pengeluaran
darah sempurna.
f. Setelah hewan ternak mati, leher dipotong dan kepala dipisahkan dari badan,
kemudian kepala digantung untuk dilakukan pemeriksaan selanjutnya.
g. Pada RPH yang fasilitasnya lengkap, kedua kaki belakang pada sendi tarsus dikait dan
dikerek (hoisted), sehingga bagian leher ada dibawah, agar pengeluaran darah
sempurna dan siap untuk proses selanjutnya.
h. Untuk RPH yang tidak memiliki fasilitas hoist, setelah hewan mati, hewan
dipindahklan ke atas keranda/ penyangga karkas (cradle) dan siap untuk proses
selanjutnya.
5. Tahap pengulitan
a. Sebelum proses pengulitan, harus dilakukan pengikatan pada saluran makan di leher
dan anus, sehingga isi lambung dan feses tidak keluar dan mencemari karkas.
b. Pengulitan dilakukan bertahap, diawali membuat irisan panjang pada kulit sepanjang
garis dada dan bagian perut.
c. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaki.
d. Kulit dipisahkan mulai dari bagian tengah ke punggung.
e. Pengulitan harus hati0hati agar tidak terjadi kerusakan pada kulit dan terbuangnya
daging.
a. Rongga perut dan rongga dada dibuka dengan membuat irisan sepanjang garis perut
dan dada.
b. Organ-organ yang ada di rongga perut dan dada dikeluarkan dan dijaga agar rumen
dan alat pencernaan lainnya tidak robek.
c. Dilakukan pemisahan antara jeroan merah (hati, jantung, paru-paru, tenggorokan,
limpa, ginjal, dan lidah) dan jeroan hijau (lambung, usus, lemak, dan esophagus).
7. Tahap pemeriksaan post mortem
a. Pemeriksaan post mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di
bawah pengawasan dokter hewan.
b. Pemeriksaan post mortem dilakukan terhadap kepala, isi rongga dada, dan perut serta
karkas.
c. Karkas dan organ yang ditolak atau dicurigai harus segera dipisahkan untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.
d. Apabila ditemukan penyakit hewan menular dan zoonosis, maka dokter hewan atau
petugas yang ditunjuk dibawah pengawasan dokter hewan harus segera mengambil
tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
8. Pembelahan karkas
a. Karkas dibelah dua sepanjang tulang belakang dengan kampak yang tajam atau mesin
yang disebut automatic catle sliptter.
b. Karkas dapat dibelah dua atau empat sesuai dengan kebutuhan.
9. Pelayuan
a. Karkas yang telah dipotong atau dibelah disimpan diruang yang sejuk.
b. Karkas selanjutnya siap diangkut ke pasar.
a. Karkas atau daging harus diangkut dengan angkutan khusus yang daging yang di
desain dengan box tertutup, sehingga dapat mencegah kontaminasi dari luar.
b. Jeroan dan hasil sampingnya diangkut dengan wadah atau alat angkut yang terpisah
dengan alat angkut karkas.
c. Karkas dan jeroan harus disimpan dalam wadah atau kemasan sebelum disimpan
dalam box alat angkut.
d. Untuk menjaga kualitas daging dianjurkan alat angkut karkas dan jeroan dilengkapi
dengan alat pendingin (refrigator).
Dilihat dari prosedur standar operasional pemotongan sapi di atas, tentunya sapi
glonggongan jauh dari kualitas daging sapi yang ASUH. Hal ini dikarenakan, daging sapi
glonggongan itu sendiri merujuk pada daging dari sapi yang diberi air sampai over dosis. Jadi
sapi sebelum disembelih, diberi air secara paksa.
Ada dua jenis daging glonggongan yang ada di pasaran. Kedua jenis tersebut adalah50
1. Daging yang berasal dari sapi glonggongan dimana pengglonggongan dilakukan
sebelum sapi mati
:
2. Daging yang berasal dari daging glonggong dimana pengglonggongan dilakukan
setelah sapi mati.
Jenis pertama penggelonggongan diawali dengan meletakkan kaki depan sapi lebih
tinggi dibandingkan dengan kaki belakang sapi. Setelah sapi dalam posisi demikian, mulut
sapi dimasuki selang. Selang yang telah masuk tersebut kemudian dialiri dengan
air.Penggelonggongan dilakukan untuk menambah berat sapi menjadi 10-15 Kg dari berat
awal. 51
51
Jenis kedua yaitu penggelonggongan dilakukan dengan cara memasukkan air setelah
sapi mati. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memasukkan air setelah sapi mati.
Cara pertama adalah air dimasukkan dengan selang ke dalam perut sapi sampai terisi penuh
dan didiamkan sekitar 6 jam. Cara kedua yang dilakukan adalah dengan cara menyuntikkan
air ke dalam daging sapi yang telah disembelih sehingga daging menjadi lebih berat. Dengan
cara-cara yang telah dipaparkan diatas mengakibatkan 30-40% dari tubuh sapi adalah air.52
E. Akibat Hukum dan Dampak yang Timbul Akibat Beredarnya Daging Glonggongan di Pasar Tradisional
1. Akibat Hukum yang Timbul Akibat Beredarnya Daging Glonggongan di Pasar
Tradisional
Penjualan daging glonggongan merupakan perbuatan yang melanggar hukum.
Dimana penjual daging glonggongan telah melanggar isi dari ketentuan yang terdapat di
dalam:
a. Pasal 4 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu hak atas
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisidan jaminan barang
dan/atau jasa.
b. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
1) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut
52
3) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya
4) Tidak sesuai dengan kondsi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuaran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut
5) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya
mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut
c. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan
bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas
barang yang dimaksud.
Adapun akibat hukum yang timbul akibat beredarnya daging glonggongan di pasar
tradisional bagi para pelaku usaha adalah berupa sanksi-sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sanksi-sanksi
yang dapat dikenakan terdiri dari:
a. Sanksi Administratif 53
Terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 19 ayat (2) dan (3),
Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah).
Sanksi administratif ini dijatuhkan terhadap para pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran dalam rangka:
53
a) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada
konsumen dalam bentuk pengembalian uang atau pengganti barang dan/atau
jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas
kerugian yang diderita oleh konsumen.
b) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan
oleh pelaku usaha periklanan.
c) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik
dalam bentuk suku cadangan maupun pemeliharaannya, serta pemberian
jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya, baik berlaku terhadap
pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa.54
b. Sanksi Pidana Pokok55
Terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e, ayat (2), dan
Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikenakan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua
miliar rupiah).
Sedangkan pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan f
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikenakan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).56
54
Abdul Halim Barakatullah, Hukum Perlindungan Konsumen(Bandung: Nusa Media, 2008), hal 101. 55
Pasal 62 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
56
Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dan terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
Rumusan Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan
bahwa pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan perlanggaran
terhadap:
1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
a) Pasal 8, mengenai barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar yang
telah ditetapkan.
b) Pasal 9 dan Pasal 10, mengenai informasi yang tidak benar.
c) Pasal 13 ayat (2), mengenai penawaran obat-obatan dan hal-hal yang
berhubungan dengan kesehatan.
d) Pasal 15, mengenai penawaran barang secara paksaan
e) Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, mengenai iklan yang
memuat informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menyesatkan.
f) Pasal 17 ayat (2), mengenai peredaran iklan yang dilarang.
g) Pasal 18, mengenai pencantuman klausula baku
Dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar
rupiah).
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
a) Pasal 11, mengenai penjualan secara obral atau lelang.
b) Pasal 12, mengenai penawaran dengan tarif khusus.
c) Pasal 13 ayat (1), mengenai pemberian hadiah secara cuma-cuma
d) Pasal 14, mengenai penawaran dengan memberikan hadiah melalui undian.
e) Pasal 16, mengenai penawaran melalui pesanan.
Dapat dikenakan pidana dengan pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3) Pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat berat, atau
kematian, maka akan diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku secara
umum.57
c. Sanksi Pidana Tambahan58
1) Perampasan barang tertentu.
2) Pengumuman keputusan hakim
3) Pembayaran ganti rugi
4) Perintah penghentian kegiatan tertentyu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen
5) Kewajiban penarikan barang dari peredaran
6) Pencabutan izin usaha
Ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi pidana
pokok yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
2. Dampak yang Timbul Akibat Beredarnya Daging Glonggongan di Pasar Tradisional
a. Terhadap Konsumen
Dampak yang timbul akibat beredarnya daging glonggongan terhadap konsumen pada
hakikatnya mengacu pada kesehatan masyarakat selaku pengonsumsi daging glonggongan.59
57
Abdul Halim Barakatullah,Op.Cit,hal 104. 58
Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 59
Istilah sehat menurut Pasal 2 Undang-Undang Pokok Kesehatan No. 9 Tahun 1960
adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan (jasmani), rohani (mental), dan sosial,
serta bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan.
Batasan kesehatan sebagaimana tersebut diatas telah diperbaharui bila batasan
kesehatan yang terdahulu itu hanya mencakup 3 (tiga) dimensi atau aspek, yaitu: fisik,
mental, dan sosial, maka dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan mencakup 4 (empat) aspek, yaitu: fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan
spriritual60. Pengertian kesehatan saat ini memang lebih luas dan dinamis, dibandingkan
dengan batasan sebelumnya61
1. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau
tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ
tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan
. Hal ini berarti bahwa kesehatan seseorang tidak hanya
diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga dari spiritualnya juga dalam
arti mempunyai akhlak secara keagamaan.
Keempat dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan seseorang, kelompok, atau masyarakat. itulah sebabnya maka kesehatan
bersifat menyeluruh. Perwujudan dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan
seseorang antara lain sebagai berikut:
2. Kesehatan mental (jiwa) mencakup 2 (dua) komponen, yakni pikiran dan emosional.
Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran. Sedagkan emosional
sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya, misal takut, gembira, khawatir, marah, sedih, dan sebagainya
3. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain
atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau
60
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan
menghargai62
4. Kesehatan spiritual tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa
syukur, pujian, kepercayaan, dan sebagainya terhadap sesuatu diluar alam fana ini,
yakni Tuhan Yang Maha Esa. Misal, sehat spiritual dapat dilihat dari praktek
keagamaan seseorang. Dengan kata lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan agama yang dianutnya.
Akan tetapi perwujudan dari tujuan dibentuknya Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 ini masih saja sulit untuk ditegakkan. Hal ini dikarenakan sifat dari
masyarakat Indonesia sendiri masih belum menyadari akan pentingnya arti kesehatan. Hal
ini terbukti dari adanya penjualan daging glonggongan di pasar tradisional yang dapat
membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya dikarenakan prosedur standar pemotongan sapi yang dilakukan sangat bertentangan dengan prosedur
operasional standar yang telah ditetapkan pemerintah. Selain itu, air yang digunakan
diragukan kehigienisannya dan tentunya dari air itulah dapat menimbulkan bakteri-bakteri baru yang menyatu ke dalam daging sapi tersebut yang kapan saja dapat merusak
kesehatan bagi masyarakat yang mengkonsumsinya.63
Untuk memberikan kepastian hukum sebagai bagian dari tujuan hukum
perlindungan konsumen dan untuk memperjelas hak-hak dan kewajiban-kewajiban
masing-masing pihak yang saling berinteraksi, penjelasan dan penjabaran hak dan Selain itu, pengetahuan masyarakat tentang kualitas daging sapi yang sehat dan potensi bahaya yang dapat ditimbulkan dan tindakan pencegahannya perlu
disosialisasikan secara luas dan terus menerus.
b. Terhadap Pelaku Usaha
62
Ibid, hal 2 63
kewajiban pelaku usaha tak kalah pentingnya dibandingkan dengan hak dan
kewajiban konsumen itu sendiri.
Adanya hak dan kewajiban tersebut dimaksudkan untuk menciptakan
kenyamanan dalam berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan yang seimbang
antara pelaku usaha dengan konsumen. Akan tetapi didalam prakteknya, pelaku usaha
seringkali tidak mengutamakan kewajiban mereka sebagai pelaku usaha dimana
banyak pelaku usaha yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri tanpa
memperdulikan dampak negatif yang akan diterima konsumen. Padahal, dalam hal ini
mereka sadar betul jika barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen akan
berdampak negatif. Akan tetapi karena keinginan dari pelaku usaha sendiri untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya
yang akibatnya dapat membahayakan kesehatan konsumen dan hal yang lebih
parahnya lagi, alih-alih ingin mendapatkan keuntungan yang besar malah
mendapatkan kerugian yang besar dikarenakan ketidakpercayaan para konsumen
terhadap produk yang dinyatakan berbahaya tersebut.64
Untuk itu, pelaku usaha diminta untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan
kualitas produk yang dihasilkannya. Mereka juga harus mempertanggungjawabkan
atas apa yang terjadi pada setiap produknya. Jika pelaku usaha mampu menjaga
kualitas dan mutu barang dan/atau jasa yang ditawarkan, maka konsumen akan terus
memandang positif tanpa ragu sedikitpun untuk selalu mengonsumsinya.65
64
Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Maret 2016 di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.
BAB IV
TANGGUNG JAWAB DINAS PERTERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA UTARA UNTUK MELINDUNGI KONSUMEN TERHADAP
BEREDARNYA DAGING GLONGGONGAN DI PASAR TRADISONAL BERDASARKAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
A. Tugas dan Fungsi Dinas Perternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara
Perda Provinsi Sumatera Utara No. 3 Tahun 2001 tentang Dinas-Dinas Daerah
Provinsi Sumatera Utara menjelaskan bahwa Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu Dinas Daerah dalam kedudukannya pada
organisasi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Tugas dan fungsi dari dinas ini dijabarkan
dalam Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 3 Tahun 2012 tentang Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara dan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 70
Tahun 2011 tentang Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Uraian Tugas unit Pelaksana Teknis pada
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan Keputusan Gubernur diatas, maka tugas Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Sumatera Utara adalah melaksanakan urusan pemerintahan daerah/
kewenangan provinsi, dibidang sarana dan prasarana peternakan, budidaya ternak, kesehatan
hewan dan pembinaan usaha peternakan serta tugas pembantuan.
Dalam melaksanakan tugas diatas, maka Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Sumatera Utara memiliki fungsi sebagai berikut66
:
1. Menyelenggarakan perumusan kebijakan teknis dibidang sarana, prasarana peternakan,
budidaya ternak, kesehatan hewan dan bina usaha peternakan.
2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang sarana, prasarana
peternakan, budaya ternak, kesehatan hewan dan pembinaan usaha peternakan.
3. Penyelenggaraan pemberian perizinan dibidang peternakan dan kesehatan hewan.
4. Penyelenggaraan pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang peternakan dan kesehatan
hewan.
5. Penyelenggaraan tugas pembantuan dibidang peternakan dan kesehatan hewan.
6. Penyelenggaraan pelayanan administrasi internal dan eksternal.
7. Penyelenggaraan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur, sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud, Kepala Dinas
menyelenggarakan fungsi:67
1. Menyelenggarakan perumusan, penetapan, pengaturan, dan pengkoordinasi pelaksanaan
kebijakan teknis bidang sarana dan prasarana peternakan, budidaya ternak, kesehatan
hewan, dan bina usaha peternakan.
2. Menyelenggarakan pengkoordinasi dan fasilitasi pengendalian dan pengawasan sarana
dan prasarana peternakan, budidaya ternak, kesehatan hewan, dan bina usaha peternakan.
3. Menyelenggarakan pengkoordinasi pengawasan sarana dan prasarana peternakan,
budidaya ternak, kesehatan hewan, dan bina usaha peternakan.
4. Menyelenggarakan pelaksanaan penegakkan hukum sarana dan prasarana peternakan,
budidaya ternak, kesehatan hewan, dan bina usaha peternakan.
67
5. Menyelenggarakan penataan, pembinaan, dan pengkoordinasian Unit Pelaksana Teknis
Dinas.
6. Menyelenggarakan upaya peningkatan partisipasi masyarakat, lembaga non pemerintah
dan swasta dalam pengelolaan peternakan, dan kesehatan hewan, sesuai ketentuan yang
berlaku.
7. Menyelenggarakan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur melalui Sekretaris Daerah
sesuai bidang tugas dan fungsinya.
8. Menyelenggarakan pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan
fungsinya kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
9. Pemberian masukan yang perlu kepada Gubernur melalui sekretaris daerah sesuai bidang
tugas dan fungsinya.
Untuk melaksanakan tugas, fungsi, dan uraian tugas sebagaimana dimaksud, Kepala
Dinas dibantu oleh:
1. Sekretariat
2. Bidang Sarana dan Prasarana Peternakan
3. Bidang Budidaya Ternak
4. Bidang Kesehatan Hewan
5. Bidang Bina Usaha Peternakan
6. Unit Pelaksana Teknis Dinas
7. Kelompok Jabatan Fungsional
Dari penjabaran mengenai tugas dan fungsi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Sumatera Utara sebagaimana tersebut diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara sebagai pejabat Pegawai
kesehatan hewan. Dimana, kasus penjualan daging glonggongan merupakan tanggung jawab
dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan68
B. Tata Cara Penyelesaian Kasus Penjualan Daging Glonggongan Oleh Dinas Peternakan Dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara
.
Menurut Pasal 84 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan, selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan dari tanggung jawabnya meliputi
peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
sebagai pejabat pegawai negeri sipil mempunyai wewenang dalam melakukan penyidikan
atas penjualan daging glonggongan.
Berdasarkan Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, dalam
menyelesaikan kasus penjualan daging glonggongan, Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan yang kedudukannya sebagai pejabat pegawai negeri sipil berwenang untuk:
1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
2. Melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang peternakan dan kesehatan hewan.
3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang sehubungan dengan peristiwa
tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
4. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
5. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap hasil pelanggaran yang
68
dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan
hewan.
6. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang peternakan dan kesehatan hewan.
Akan tetapi, dalam prakteknya sejauh ini Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
sendiri tidak pernah berkoordinasi melakukan penyidikan dengan pejabat Kepolisian. Hal ini
dikarenakan minimnya dana yang tersedia, sebab dalam hal penelitian, pemeriksaan, sampai
dengan penyidikan, pihak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan yang bertanggung jawab
dalam pendanaan tersebut.69
Walaupun dalam prakteknya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Sumatera Utara tidak pernah menjumpai daging glonggongan di pasar tradisional serta tidak
pernah melakukan kerjasama dengan aparat Kepolisian dalam penyidikan, namun Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara dapat melakukan upaya
penyidikan apabila ditemuinya penjualan daging glonggongan dikemudian hari yaitu berupa
penyitaan terhadap daging yang diduga mengandung air serta mengadakan penelitian
terhadap daging tersebut, dimana jika hasil penelitian tersebut positif mengandung air yang
berlebih, maka hasil penelitian tersebut oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
diserahkan kepada Kepolisian untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut guna terwujudnya
koordinasi penyidikan antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan aparat
Kepolisian serta untuk mencegah dan menyelesaikan kasus penjualan daging glonggongan
dikemudian hari.70
69
Hasil Wawancara dengan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Maret 2016 di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara.
C. Upaya yang Dilakukan Dinas Perternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara dalam Menanggulangi Beredarnya Daging Glonggongan di Pasar Tradisional
1. Upaya Penal
Penjualan daging glonggongan merupakan perbuatan yang melanggar hukum.
Dimana penjual daging glonggongan telah melanggar isi dari ketentuan yang terdapat di
dalam:
a. Pasal 4 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan
bahwa konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisidan jaminan barang dan/atau jasa.
b. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan
bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
1) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label barang tersebut.
3) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya.
4) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut.
5) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya
mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
c. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan
bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas
barang yang dimaksud.
Jika dilihat isi dari ketiga pasal diatas maka kebijakan penanggulangan secara penal
yang dapat ditempuh oleh konsumen yang haknya telah dirugikan oleh pelaku usaha adalah
dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan.
Gugatan untuk mendapat ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha dapat dilakukan oleh:71
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnnya;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatannya
sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. Pemerintah atau instansi terkait apabila barang atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar atau korban yang tidak
sedikit.
Seorang konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi langsung ke
pengadilan atau di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.72
71
Pasal 46 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 72
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Masyarakat maupun pemerintahan atau instansi terkait hanya dapat melakukannya di
pengadilan.73
a. Sanksi Administratif
Adapun aturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
dapat dilihat dalam Bab XIII Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimulai dari
Pasal 60 sampai Pasal 63. Dimana sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terdiri atas:
Terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 19 ayat (2) dan (3), Pasal
20, Pasal 25, dan Pasal 2674 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah).75
b. Sanksi Pidana Pokok
Terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e, ayat (2), dan
Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikenakan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua
miliar rupiah).76 Sedangkan pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan f
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikenakan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau pidana paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).77
73
Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 74
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 75
Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 76
Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 77
c. Sanksi Pidana Tambahan berupa:78
1) Perampasan barang tertentu;
2) Pengumuman keputusan hakim;
3) Pembayaran ganti rugi;
4) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
5) Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
6) Pencabutan izin usaha
2. Upaya Non Penal
Upaya non penal merupakan kebijakan awal dan mendasar untuk menanggulangi
penjualan daging glonggongan dipasar tradisional tanpa menggunakan upaya penal.
Adapun cara untuk menanggulangi peredaran daging glonggongan di pasar tradisional
tanpa upaya penal yaitu dengan cara:79
a. Penyuluhan Akan Informasi Yang Akurat Oleh Instansi Yang Terkait
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai instansi yang lingkup tugas dan
dari tanggung jawabnya meliputi peternakan dan kesehatan hewan wajib
memberitahukan kepada masyarakat akan bahaya dan ciri-ciri dari daging
glonggongan, dimana penyuluhan informasi ini dapat dilakukan secara tertulis
maupun lisan. Misalnya, penyampaian informasi dilakukan secara tertulis yaitu
dengan menempelkan brosur-brosur akan bahaya dan ciri-ciri daging glonggongan
di pasar modern maupun pasar tradisional, dapat juga dengan cara penyampaian
informasi tersebut melalui media cetak. Sedangkan penyampaian informasi secara
78
Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
79
lisan dapat dilakukan dengan mengadakan seminar tentang daging glonggongan
dan dapat juga melalui media elektronik.
b. Mengadakan Razia Yang Rutin Oleh Instansi Terkait
Koordinasi yang baik antara Pegawai Negeri Sipil yang berwenang dan aparat
Kepolisian sangat diperlukan dalam penanggulangan penjualan daging
glonggongan. Adapun upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengadakan
razia secara rutin ke pasar tradisional, agar pelaku usaha yang berbuat curang
tersebut jera untuk menjual daging glonggongan dikarenakan frekuensi razia rutin
oleh instansi yang berwenang.
c. Ketegasan Bertindak Oleh Penegak Hukum
Maraknya penjualan daging glonggongan di pasar tradisional salah satu
penyebabnya adalah pemberian sanksi yang kurang tegas sehingga para pelaku
usaha menganggap hal ini merupakan hal yang sepele karena mereka beranggapan
bahwa sekalipun tertangkap mereka hanya diberikan teguran atau barang
dagangan mereka disita. Hal seperti ini harus mendapat perhatian khusus dari
pemerintahan agar pelaku usaha tidak lagi menanggap remeh akan sanksi yang
diterima atas perbuatan mereka.
d. Mengadakan Pengawasan yang Ketat Pada Rumah Pemotongan Hewan
Rumah potong merupakan bangunan gedung beserta sarana dan fasilitasnya yang
khusus di peruntukan melayani pemotongan hewan. Tentunya dalam hal ini
pengawasan yang ketat pada rumah potong hewan perlu ditingkatkan, hal ini
disebabkan mata rantai penjualan daging glonggongan bermula dari rumah
potong hewan, sebab daging hewan yang hendak di perjual belikan tersebut
terlebih dahulu di bawa kerumah potong hewan untuk melakukan proses