• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara Untuk Melindungi Konsumen Terhadap Beredarnya Daging Glonggongan di Pasar Tradisional Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara Untuk Melindungi Konsumen Terhadap Beredarnya Daging Glonggongan di Pasar Tradisional Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Kualitas kimia daging sapi glonggongan dan daging sapi normal

Parameter Glonggongan Normal

BF (otot Biceps femoris)

Kadar Air 81,09 76,04

Protein 15,98 21,08

Lemak 0,92 0,85

Abu 1,38 1,30

LD(otot Longissimus dorsi)

Kadar Air 80,56 75,77

Protein 16,17 21,07

Lemak 1,12 0,88

Abu 1,48 1,44

Rerata

Kadar Air 80,83 75,90

Protein 16,08 21,07

Lemak 1,02 0,87

Abu 1,43 1,37

(2)

HASIL WAWANCARA PADA KEPALA BIDANG KESMAVET DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA UTARA

Narasumber : Bapak drh. Nurdin Effendi

Jabatan : Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara

Hari/ Tanggal : Selasa/ 15 Maret 2016

1. Menurut anda, apakah pengertian dari daging glonggongan ?

Jawab: Daging gelonggongan adalah daging yang sebelum disembelih terlebih dahulu

diminumi air secara berlebihan. Bahkan tak jarang hewan bersangkutan pingsan

karena kelebihan minum, dan setelah itu sapi itu dipotong. Hal demikian

dilakukan oleh para oknum untuk menambah berat badan sapi sehingga bobot

daging sapi pun otomatis bertambah secara drastis. Jika bobot daging sapi

meningkat, maka perolehan keuntungan produsen dapat menjadi tinggi.

Mengamati hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsumenlah yang

sangat dirugikan. Bobot daging yang perlahan tapi pasti akan menyusut selang

beberapa jam kemudian karena airnya keluar. Konsumen juga tertipu karena

mereka mendapatkan daging yang bobotnya tidak sesuai dengan harga

sebagaimana mestinya.

2. Bagaimanakah sistem peredaran daging glonggongan di pasar tradisional ?

Jawab: Daging glonggongan jauh dari kualitas daging sapi yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Hal ini dikarenakan, daging sapi glonggongan itu sendiri merujuk pada

(3)

paksa. Caranya, moncong sapi diberi corong bambu atau selang dan diikat kuat.

Agar air masuk penuh, kaki sapi di angkat lebih tinggi dari kaki belakang. Proses ini

menghasilkan sapi bertambah tambun. Setelah dicekokin air, sapi didiamkan selama 6 jam lalu dipotong. Kemudian daging dilempar ke pasar dengan harga dibawah

harga normal. Padahal kalau dihitung secara cermat, konsumen yang beli daging

glonggongan amat dirugikan. Karena daging yang telah dibeli setelah dimasak akan menyusut sebanyak 50 persen. Artinya separuhnya lagi, konsumen seperti beli air.

Soal gizinya juga dipastikan berkurang banyak.

3. Apakah yang menjadi faktor pendorong peredaran daging glonggongan di pasar

tradisional ?

Jawab: Maraknya peredaran daging glongongan di bulan Ramadhan, terlebih saat

lebaran, bukanlah hal baru. Hal ini karena setiap Ramadhan, pedagang

memanfaatkan kesempatan dikala harga daging melonjak naik. Pada saat ini,

harga daging sapi mencapai harga Rp. 110.000,-/kg. yang pada semula berharga

Rp.95.000,-/kg, kenaikan harga daging terjadi sebagai akibat dari meningkatnya

permintaan daging sedangkan pasokan tidak bertambah sehingga pemerintah

harus mengimpor daging dari berbagai negara. Di tengah tingginya harga daging,

beberapa kalangan menganggap daging sapi glonggongan yang dijual murah

sebagai solusinya. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang daging yang

aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) menjadi salah satu faktor pendorong

peredaran daging glonggongan. Umumnya, masyarakat tidak tahu dan

sebahagiannya lagi tidak mau tahu, apakah daging yang dibelinya berasal dari

penyedia daging yang terjamin keamanannya atau tidak. Selain itu, tindakan

curang yang bermotif ekonomi juga menjadi faktornya. Tindakan tersebut

(4)

sebanyak-banyaknya dengan modal yang relatif rendah sehingga produsen mampu

melakukan tindakan yang secara kemanusiaan dan ilmu kesehatan tidak etis,

seperti meng-glonggong sapi sebelum disembelih. Selain itu, faktor lain sebagai

pendorong timbulnya tindakan curang yang bermotif ekonomi, yaitu dikarenakan

banyaknya masyarakat Indonesia yang dilanda kemiskinan, yang membuat

konsumen lebih memilih daging yang lebih murah dengan kualitas yang lebih

rendah dibandingkan daging yang lebih mahal dengan kualitas yang lebih tinggi.

Keadaan seperti inilah yang sering dimanfaatkan oleh para pedagang untuk

mendapatkan untung banyak dengan cara yang tidak baik serta dapat merugikan

dan membahayakan masyarakat yang mengkonsumsi daging tersebut.

4. Anda mengatakan bahwa daging yang aman dan legal untuk dikonsumsi masyarakat

adalah daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH), dimana prinsip ASUH tersebut

adalah merupakan patokan dasarnya. Dapatkah anda menjelaskan maksud dari prinsip

ASUH tersebut ?

Jawab: Daging yang aman adalah daging yang tidak mengandung bahaya biologis,

kimia, dan fisik yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan

manusia. Daging yang sehat dimaksudkan bahwa daging mengandung zat yang

berguna dan seimbang bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh. Daging utuh

disini maksudnya adalah daging tidak dicampur dengan bagian lain dari hewan

tersebut atau dipalsukan dengan bagian hewan lainnya. Dan daging yang halal

yaitu selama proses dan pengolahan daging diperlakukan sesuai syariat agama

(5)

5. Bagaimanakah ciri-ciri daging glonggongan itu sendiri ?

Jawab:Untuk mengenali daging gelonggongan diperlukan kejelian dan kewaspadaan

kita. Periksa kondisi daging sebaik mungkin sebelum dibeli. Selain daging,

periksa juga timbangan penjual, karena ada saja penjual yang nakal yang

memodifikasi alat timbangannya sehingga menguntungkan dirinya sendiri.

Hati-hati dengan harga murah yang jauh dari harga normal, karena bisa saja

daging yang dijual palsu, gelonggongan, daging busuk dicampur bahan kimia,

dan lain sebagainya. Daging gelonggong biasanya jika digantung akan

menyebabkan ada air menetes ke bawah. Lihat pula warna daging apakah

masih merah segar atau merah pucat. Serat daging biasa yang tidak

digelonggongi akan nampak wajar tidak menggelembung.

6. Apakah dampak yang timbul akibat peredaran daging glonggongan di pasar tradisional ?

Jawab: Dampak yang timbul akibat beredarnya daging glonggongan terhadap konsumen

pada hakikatnya mengacu pada kesehatan masyarakat selaku pengonsumsi

daging glonggongan. Akan tetapi perwujudan dari tujuan dibentuknya

Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 ini masih saja sulit untuk ditegakkan.

Hal ini dikarenakan sifat dari masyarakat Indonesia sendiri masih belum

menyadari akan pentingnya arti kesehatan. Hal ini terbukti dari adanya

penjualan daging glonggongan di pasar tradisional yang dapat membahayakan

kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya dikarenakan prosedur standar

pemotongan sapi yang dilakukan sangat bertentangan dengan Standar Prosedur

Operasi (S.O.P) yang telah ditetapkan pemerintah. Selain itu, air yang

digunakan diragukan kehigienisannya dan tentunya dari air itulah dapat

(6)

yang kapan saja dapat merusak kesehatan bagi masyarakat yang

mengkonsumsinya. sedangkan dampak terhadap pelaku usaha adalah dengan

adanya keinginan dari pelaku usaha sendiri untuk mendapatkan keuntungan

yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya yang akibatnya

dapat membahayakan kesehatan konsumen dan hal yang lebih parahnya lagi,

alih-alih ingin mendapatkan keuntungan yang besar malah mendapatkan

kerugian yang besar dikarenakan ketidakpercayaan para konsumen terhadap

produk yang dinyatakan berbahaya tersebut. Untuk itu, pelaku usaha diminta

untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan kualitas produk yang

dihasilkannya. Mereka juga harus mempertanggungjawabkan atas apa yang

terjadi pada setiap produknya. Jika pelaku usaha mampu menjaga kualitas dan

mutu barang dan/atau jasa yang ditawarkan, maka konsumen akan terus

memandang positif tanpa ragu sedikitpun untuk selalu mengonsumsinya.

7. Bagaimanakah cara pembuatan daging glonggongan ?

Jawab: Ada dua jenis daging glonggongan yang ada di pasaran. Kedua jenis tersebut

adalah

3. Daging yang berasal dari sapi glonggongan dimana pengglonggongan

dilakukan sebelum sapi mati

4. Daging yang berasal dari daging glonggong dimana pengglonggongan

dilakukan setelah sapi mati.

Jenis pertama penggelonggongan diawali dengan meletakkan kaki

depan sapi lebih tinggi dibandingkan dengan kaki belakang sapi. Setelah

sapi dalam posisi demikian, mulut sapi dimasuki selang. Selang yang telah

masuk tersebut kemudian dialiri dengan air.Penggelonggongan dilakukan

(7)

Cara kedua yaitu penggelonggongan dilakukan dengan cara

memasukkan air setelah sapi mati. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan

untuk memasukkan air setelah sapi mati. Cara pertama adalah air

dimasukkan dengan selang ke dalam perut sapi sampai terisi penuh dan

didiamkan sekitar 6 jam. Cara kedua yang dilakukan adalah dengan cara

menyuntikkan air ke dalam daging sapi yang telah disembelih sehingga

daging menjadi lebih berat. Dengan cara-cara yang telah dipaparkan diatas

mengakibatkan 30-40% dari tubuh sapi adalah air.

8. Bagaimanakah cara menanggulangi peredaran daging glonggongan di pasar tradisional ?

Jawab: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai instansi yang lingkup tugas dan

dari tanggung jawabnya meliputi peternakan dan kesehatan hewan wajib

memberitahukan kepada masyarakat akan bahaya dan ciri-ciri dari daging

glonggongan, dimana penyuluhan informasi ini dapat dilakukan secara tertulis

maupun lisan. Misalnya, penyampaian informasi dilakukan secara tertulis yaitu

dengan menempelkan brosur-brosur akan bahaya dan ciri-ciri daging

glonggongan di pasar modern maupun pasar tradisional, dapat juga dengan cara

penyampaian informasi tersebut melalui media cetak. Sedangkan penyampaian

informasi secara lisan dapat dilakukan dengan mengadakan seminar tentang

daging glonggongan dan dapat juga melalui media elektronik. Selain itu, upaya

yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan razia secara rutin ke pasar

tradisional, agar pelaku usaha yang berbuat curang jera untuk menjual daging

glonggongan dikarenakan frekuensi razia rutin oleh instansi yang berwenang.

Maraknya penjualan daging glonggongan di pasar tradisional salah satu

(8)

usaha menganggap hal ini merupakan hal yang sepele karena mereka

beranggapan bahwa sekalipun tertangkap paling-paling hanya diberikan teguran

atau penyitaan. Hal seperti ini harus mendapat perhatian khusus dari

pemerintahan agar pelaku usaha tidak lagi menanggap remeh akan sanksi yang

diterima atas perbuatan mereka.

9. Anda mengatakan bahwa sejauh ini Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi

Sumatera Utara tidak pernah menjumpai penjualanan daging glonggongan di pasar

tradisional yang terletak di wilayah Medan, namun jika dikemudian hari hal tersebut

ditemui, hal apa yang dilakukan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi

Sumatera Utara ?

Jawab: Walaupun dalam prakteknya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak

pernah menjumpai daging sapi glonggongan di pasar tradisional, akan tetapi

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara dapat

melakukan upaya penyidikan apabila ditemuinya penjualan daging sapi

glonggongan dikemudian hari yaitu berupa penyitaan terhadap daging sapi yang

diduga mengandung air serta mengadakan penelitian terhadap daging sapi

tersebut dimana jika hasil penelitian tersebut positif mengandung air, maka hasil

penelitian tersebut oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan diserahkan

kepada pejabat Kepolisian untuk dilakukannya penyidikan lebih lanjut guna

terwujudnya koordinasi penyidikan antara Dinas Peternakan dan Kesehatan

Hewan dengan aparat Kepolisian serta untuk mencegah dan menyelesaikan kasus

penjualan daging sapi glonggongan dikemudian hari.

(9)

Jawab: Adapun kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah terkaitini adalah:

a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan

Hewan.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat

Veteriner dan Kesejahteraan.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi

Pangan

d. Peraturan Menteri Nomor 413 Tahun 1992 tentang Pemotongan Hewan Potong

dan Penanganan Daging

e. Dan lain-lain

11.Langkah apa yang harus dilakukan apabila menemukan daging yang menyimpang?

Jawab: Adapun langkah yang dapat dilakukan masyarakat apabila menemukan daging

yang menyimpang adalah, dengan melaporkannya kepada dinas yang

membidangi fungsi peternakan atau kesehatan masyarakat veteriner atau kepada

instansi terkait, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dinas

Kesehatan setempat, Kepolisian, dan lain-lain. Setelah itu, petugas yang

berwenang akan melakukan pengecekan ke lokasi ditemukannya daging yang

menyimpang, seperti Rumah Potong Hewan (RPH), pasar, mal, dan sebagainya,

untuk menjamin bahwa daging yang diedarkan di masyarakat layak untuk

dikonsumsi. Untuk itu, peran masyarakat sangat diperlukan dalam memberikan

laporan bila menemukan penyimpangan di pasar, kios daging, RPH,, dan tempat

(10)

12.Bisakah anda memberikan beberapa tips dalam membedakan mana daging sapi

glonggongan dan mana daging sapi normal ?

Jawab: Adapun tips untuk membedakan daging sapi glonggongan dengan daging sapi

yang daging sapi normal adalah sebagai berikut:

6. Pilih daging yang berwarna merah (merah maroon) jangan yang berwarna

pucat, jika berwarna pucat ada kemungkinan bahwa daging tersebut adalah

daging glonggongan atau daging yang sudah lama

7. Pilih daging yang lembap (tidak basah/ tidak kering)

8. Jangan pilih daging yang selalu mengeluarkan air, dengan pengujiannya

digantung, apabila terus mengeluarkan air berarti daging tersebut daging

glonggongan

9. Jangan memilih daging yang diletakkan dibawah atau tidak digantung sebab

ada kemungkinan pedagang melakukan hal tersebut karena agar kita tidak

mengetahui daging tersebut mengeluarkan air

10.Untuk jeroan, seperti paru dan hati, coba kita cubit atau robek. Seandainya

mudah koyak berarti jeroan tersebut ditambah air atau jeroan yang sudah

(11)

Proses Peng-glonggongan sapi

(12)

Perbedaan Antara Daging Glonggongan, Semi Glonggongan, dan Daging Normal ketika daging diletakkan diatas kertas

Hasilnya:

1. Daging Glonggongan:

a. Warna pucat

b. Zona air luas muncul pada kertas

2. Daging Semi Glonggongan:

a. Warna kemerahan

b. Zona air sedang muncul pada kertas

3. Daging Normal:

a. Warna merah

b. Zona air muncul setelah beberapa waktu

(13)

Perbedaan Daging Segar dengan Daging Glonggongan

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Badrulzaman, Mariam Darus, 2000, Perlindungan Terhadap Konsumen, Jakarta: Gramedia

Pustaka Umum.

Barakatullah, Abdul Halim, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Nusa Media.

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen , Malang: Sinar Grafika.

D, C. Tantri, Sulastri, 1995, Gerakan Organisasi Konsumen: Seri Panduan Konsumen,

Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia – The Asia Foundation.

Ilyas, Rismawati, Mahfud, Laporan Penelitian: Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Dalam

Peredaran Makanan Cacat di Banda Aceh

Mansyur, M.Ali, 2007, Penegakan Tentang Tanggung Gugat Produsen dalam Perwujudan

Perlindungan Konsumen, Yogyakarta: Genta Press.

Nasution, A.Z, 1995, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada

Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Purba, A. Zen Umar, Perlindungan Konsumen: Sendi-Sendi Pokok Pengaturan, Majalah

Hukum dan Pembangunan, No. 4 Agustus 1992.

Rahmawati, Intan Nur, Rukiyah Lubis, 2014, Win-Win Solution Sengketa Konsumen, Jakarta:

PT. Buku Seru.

Saleh, Ismail, 1990, Hukum dan Ekonomi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Samantoro, 1986, Hukum Ekonomi, Jakarta: UI Press.

Shofie, Yusuf, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta:

Ghalia Indonesia.

Siahaan, N.H.T, 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung Jawab

(15)

Sidabalok, Janus, 2000, Pengantar Hukum Ekonomi, Medan: Bina Media.

Soemitro, Ronny Haitijo,Metode Penelitian Hukum dan Juri Metri, Jakarta: Ghalia.

Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Diabaikan, Jakarta: Visimedia.

Tunggal, Hadi Setia, 2007, Undang-Undang Perlindungan Konsumen Beserta Peraturan

Pelaksanaannya, Jakarta: Harvarindo.

Widjaja, Gunawan, Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Zulham, 2012, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan

Kesejahteraan.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang

Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2012 tentang Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara.

Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 70 Tahun 2011 tentang Organisasi, Tugas,

Fungsi, dan Uraian Tugas unit Pelaksana Teknis pada Dinas Peternakan dan Kesehatan

Hewan Provinsi Sumatera Utara.

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2001 tentang Dinas-Dinas Daerah

(16)

Internet:

(17)

BAB III

KAJIAN UMUM DAGING GLONGGONGAN

A. Pengertian Daging Glonggongan

Di Indonesia, bulan Ramadhan dikaitkan dengan kesempatan pemenuhan kebutuhan

pangan yang lebih istimewah. Setiap sahur dan berbuka biasanya tersedia makanan dan

minuman yang khusus, bukan yang biasa dinikmati sehari-hari. Demikian juga dengan

mengkonsumsi daging khususnya daging sapi, apalagi masakan daging sapi seperti rendang

dapat disimpan dan tahan lama, namun sayangnya daging sapi tidaklah murah. Dari tahun ke

tahun pada saat bulan Ramadhan maupun hari raya, permintaan akan daging sapi kian

meningkat, sehingga munculah niatan para pedagang daging untuk meraih keuntungan yang

sebesar-besarnya dengan cara meng-glonggong daging sapi.

Daging gelonggongan adalah daging yang sebelum disembelih terlebih dahulu

diminumi air secara berlebihan. Bahkan tak jarang hewan bersangkutan pingsan karena

kelebihan minum, dan setelah itu sapi itu dipotong. Hal demikian dilakukan oleh para oknum

untuk menambah berat badan sapi sehingga bobot daging sapi pun otomatis bertambah secara

drastis. Jika bobot daging sapi meningkat, maka perolehan keuntungan produsen dapat

menjadi tinggi. Mengamati hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsumenlah yang

sangat dirugikan sebab bobot daging perlahan tapi pasti akan menyusut selang beberapa jam

kemudian karena air yang diberikan padanya keluar. Konsumen juga tertipu karena mereka

mendapatkan daging yang bobotnya tidak sesuai dengan harga sebagaimana mestinya.31

31

(18)

B. Ciri-Ciri Daging Gelonggongan

Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan

kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak

sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, agar jika ada tindakan yang tidak adil

terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Sehingga konsumen dapat

bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya

tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar pelaku usaha.32

Untuk mengenali daging gelonggongan, kita memerlukan kejelian dan kewaspadaan.

Dengan memeriksa kondisi daging sebaik mungkin sebelum dibeli. Selain daging, periksa

juga timbangan penjual, karena ada saja penjual nakal yang memodifikasi alat timbangannya Namun dalam prakteknya, sering kali konsumen sebagai pemakai barang dan/atau

jasa dirugikan oleh perilaku pelaku usaha yang nakal. Karena ketidaktahuan dan

ketidaksadaran konsumen akan hak-haknya yang mengakibatkan konsumen menjadi korban

pelaku yang tidak jujur terutama bagi ibu rumah tangga.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh pedagang daging yang nakal kepada para

konsumennya, mulai dari mencampur bahan-bahan kimia berbahaya ke dalam daging hingga

membuat dagingnya menjadi daging gelonggongan.

Sadis memang, karena sapi yang hendak disembelih dipaksa minum air sebanyak

mungkin hingga tubuhnya membengkak. Sapi-sapi naas tersebut diberi minum air melalui

selang atau pipa yang dimasukkan paksa ke dalam mulutnya. Setelah sapi tersebut kenyang

dengan air dan dirasa airnya sudah menyebar ke seluruh tubuh termasuk daging, barulah sapi

dipotong seperti layaknya sapi-sapi normal. Yang jelas daging sapi gelonggongan banyak

mengandung air sehingga merugikan orang yang membeli daging tersebut dengan harga

normal.

32

(19)

sehingga menguntungkan dirinya sendiri. Hati-hati dengan harga daging yang jauh lebih

murah dari harga normal, karena bisa saja daging yang dijual palsu, gelonggongan, daging

busuk, daging yang dicampur dengan bahan kimia, dan lain sebagainya. Daging gelonggong

biasanya jika digantung akan menyebabkan air yang terdapat didalam daging menetes ke

bawah. Lihat pula warna daging, apakah masih merah segar atau merah pucat. Serat daging

yang tidak digelonggongi (daging normal) akan nampak wajar dan tidak menggelembung.33

Kita dapat membedakan daging sapi glonggongan dengan daging sapi normal dengan

cara melihat permukaan dagingnya yang selalu basah sampai keserat-seratnya. Daging sapi

normal hanya tampak lembap tapi tidak basah. Dan biasanya para pedagang daging

glonggongan tidak berani menggantung daging glonggongnya, karena airnya akan terus

menetes sampai daging menyusut normal. Daging glonggongan berwarna merah kepucat–

pucatan, sedangkan daging normal berwarna merah tua. Selain itu, harga daging

gelonggongan juga lebih murah jika dibandingkan dengan harga daging yang normal.34

Adapun perbedaan kandungan yang terkandung didalam daging sapi glonggongan

dengan kandungan yang terkandung didalam daging sapi normal adalah sebagai berikut:35

1. Kadar air daging sapi glonggongan yaitu rata-rata 80.83%, sedangkan daging sapi normal

yaitu 75.91%. Kondisi ini mengindikasi bahwa penggelonggongan sapi berhasil. Dengan

meningkatnya kadar air, maka meningkat pula bobot daging sapi. Daging yang

mempunyai kadar air tinggi akan lebih cepat rusak dan menyusut bila dimasak.

2. Kadar protein daging sapi glonggongan yaitu 16.08%, sedangkan kadar protein daging

normal yaitu 21.08%.

3. Kadar lemak daging sapi glonggongan yaitu 1.02%, sedangkan kadar lemak daging

normal yaitu 0.87%. Kadar lemak daging sapi glonggongan lebih tinggi dikarenakan

33

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Maret 2016 di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.

34 Ibid.

(20)

sampel otot sapi glonggong rata-rata umumnya lebih tua dibanding sampel otot daging

normal, dimana umur ternak menentukan marbling36

4. Kadar abu daging sapi glonggongan yaitu 1.43%, sedangkan kadar abu daging normal

adalah 1.37%.

daging. Tingginya kadar lemak

daging ditentukan oleh marbling daging pada tiap lokasi otot sapi.

5. Kandungan asam laktat dalam daging sapi glonggongan adalah 2.815,89 ppm, sedangkan

kandungan asam laktat dalam daging normal adalah 6.827,77 ppm. Kandungan asam

laktat daging pada sapi normal lebih tinggi karena sewaktu dipotong cadangan energi

masih banyak. Sedangkan pada sapi glonggongan, saat dipotong sudah lelah kehabisan

energi. Asam laktat ini diperlukan untuk produk daging yang mana mempengaruhi

kelezatan dan keempukan, menjaga dengan baik warna dan kualitas. Jika hewan stress

sebelum dipotong, level asam laktat setelah pemotongan akan menurun, sehingga daging

menjadi cepat rusak dan mudah terkontaminasi bakteri.

Adapun tips untuk membedakan daging sapi glonggongan dengan daging sapi yang

daging sapi normal adalah sebagai berikut:37

1. Pilih daging yang berwarna merah (merah maroon) jangan yang berwarna pucat, jika

berwarna pucat ada kemungkinan bahwa daging tersebut adalah daging glonggongan atau

daging yang sudah lama.

2. Pilih daging yang lembap (tidak basah/ tidak kering).

3. Jangan pilih daging yang selalu mengeluarkan air, dengan pengujiannya digantung,

apabila terus mengeluarkan air berarti daging tersebut daging glonggongan.

36

Marbling adalah lemak yang terdapat diantara otot-otot dan tampak dari luar seperti marmer. 37

(21)

4. Jangan memilih daging yang diletakkan dibawah atau tidak digantung sebab ada

kemungkinan pedagang melakukan hal tersebut karena agar kita tidak mengetahui daging

tersebut mengeluarkan air.

5. Untuk jeroan, seperti paru dan hati, coba kita cubit atau robek. Seandainya mudah koyak

berarti jeroan tersebut ditambah air atau jeroan yang sudah kadaluarsa.

C. Faktor Pendorong Peredaran Daging Glonggongan di Pasar Tradisional

1. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang daging yang aman, sehat, utuh, halal

(ASUH)

Pengetahuan masyarakat tentang daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH)

untuk dikonsumsi masih sangat rendah. Umumnya, masyarakat tidak tahu dan

sebahagiannya lagi tidak mau tahu apakah daging yang dibelinya berasal dari penyedia

daging yang terjamin keamanannya atau tidak. Banyak dari mereka hanya memilih untuk

mendapatkan daging yang lebih murah harganya tanpa berfikir apakah daging yang

dibelinya aman atau tidak.38

Hal ini dapat didukung dari adanya pengakuan konsumen yang kebanyakan dari

mereka mengungkapkan bahwasanya mereka lebih memilih daging yang lebih murah

tanpa mempedulikan kualitasnya, dimana menurut mereka sangat sulit untuk

membedakan mana daging yang sehat dan mana daging yang tidak sehat, ditambah lagi

dikarenakan faktor ekonomi yang membuat masyarakat sendiri tidak mau tau akan

ciri-ciri ataupun bahaya yang timbul apabila mengkonsumsi daging glonggongan, sebab

daging glonggongan jauh lebih murah daripada daging yang pada umumnya.39

2. Tindakan Curang Bermotif Ekonomi

38

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Maret 2016 di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.

39

(22)

Banyak orang yang beranggapan bahwa hukum dan ekonomi merupakan dua

kutub yang bertolak belakang. Ekonomi dinilai memiliki karakteristik gerak yang cepat

dan fleksibel, sedangkan hukum dianggap lambat dan kaku. Pada umumnya ada anggapan

bahwa, hukum lebih banyak menjadi faktor penghambat perkembangan ekonomi daripada

sebagai faktor yang dapat melandasi ekonomi.40

Dibidang pendidikan/ pengajaran di perguruan tinggi pun anggapan tersebut

relatif sama. Mahasiswa fakultas hukum relatif kurang paham mengapa mereka diajarkan

ekonomi dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi atau Ekonomi Pembangunan. Sama

halnya dengan mahasiswa fakultas ekonomi, mereka kurang mengerti mengapa mereka

diajarkan mata kuliah hukum ekonomi atau hukum dagang.41

Memenuhi kebutuhan sebagai tindakan ekonomi tidak terlepas dari sejumlah

aturan yang disepakati bersama. Aturan itu adalah sebagai alat penjamin berlangsungnya

interaksi secara baik dan tertib. Dalam tindakan pemenuhan kebutuhan yang paling

sederhana seperti jual-beli, ada aturan-aturan hukum yang harus ditaati. Kepada para

pihak, yaitu penjual dan pembeli dibebankan sejumlah hak dan kewajiban, sehingga

pelaksanaan jual-beli berjalan dengan baik. Dengan kata lain, peristiwa jual beli bukan

semata-mata peristiwa ekonomi saja, tetapi juga merupakan peristiwa hukum. Karena itu,

ada norma hukum yang harus dipatuhi didalamnya.42

Gambaran diatas menunjukkan bahwa hukum dan ekonomi mempunyai kaitan

yang erat. Hukum atau peraturan menjamin terpenuhinya kebutuhan anggota masyarakat

dan berlangsungnya interaksi dengan baik. Karena itu, mempertentangkan hukum dengan

pembangunan ekonomi sangat penting, idealnya interaksi tersebut saling menunjang.43

40

Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hal ix. 41

Janus Sidabalok, Pengantar Hukum Ekonomi(Medan: Bina Media, 2000), hal 29. 42

Sumantoro, Hukum Ekonomi(Jakarta: UI Press, 1986), hal 14 43

(23)

Hukum tidak selalu memberi jaminan seperti yang diharapkan, sebab hukum

ternyata juga dapat dipakai sebagai alat untuk menciptakan ketidakadilan. Misalnya

tindakan curang yang bermotif ekonomi yang belakangan ini sering kita jumpai

dipasar-pasar tradisional yaitu banyaknya para pedagang yang menjual daging yang tidak layak

dikonsumsi, seperti daging glonggongan yang dapat merugikan dan membahayakan

kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya.

Adapuun faktor pendorong dari timbulnya tindakan curang yang bermotif

ekonomi ini semata-mata didorong karena keinginan untuk mendapatkan keuntungan

yang sebanyak-banyaknya dengan modal yang relatif rendah sehingga produsen mampu

melakukan tindakan yang secara kemanusiaan dan ilmu kesehatan tidak etis, seperti

meng-glonggong sapi sebelum disembelih.44

Selain faktor diatas, ada pula faktor lain sebagai pendorong timbulnya tindakan

curang yang bermotif ekonomi, yaitu dikarenakan banyaknya masyarakat Indonesia yang

dilanda kemiskinan, yang membuat konsumen lebih memilih daging yang lebih murah

dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan daging yang lebih mahal dengan kualitas

yang lebih tinggi. Keadaan seperti inilah yang sering dimanfaatkan oleh para pedagang

untuk mendapatkan untung banyak dengan cara yang tidak baik serta dapat merugikan

dan membahayakan masyarakat yang mengkonsumsi daging tersebut.

Cara demikian mereka lakukan untuk

meningkatkan berat daging dan biasanya dijual dengan harga yang relatif lebih murah

dari daging pada umumnya (daging sehat).

45

44

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Maret 2016 di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.

(24)

D. Sistem Beredarnya Daging Glonggongan

Pemotongan hewan potong harus dilakukan di Rumah Potong Hewan46 (RPH) atau

tempat permotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang

berwenang.47Pemotongan hewan di RPH harus dilakukan dengan memperhatikan

kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Penetapan aturan maupun teknis pelaksanaan

pemotongan di RPH dimaksudkansebagai upaya penyediaan pangan asal hewan khususnya

daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH48

Prosedur operasional standar yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebagai

berikut:

).

Untuk mendapatkan daging ASUH yang bersumber dari RPH maka sudah seharusnya

RPH memiliki prosedur operasional standar yang dijadikan dasar atau patokan dalam

menyelenggarakan fungsi RPH sebagai tempat pemotongan, pengulitan, pelayuan, dan

akhirnya penyediaan daging untuk konsumen.

49

1. Tahap penerimaan dan penampungan hewan

a. Hewan ternak yang baru datang di RPH harus diturunkan dari alat angkut dengan

hati-hati dan tidak membuat stress.

b. Dilakukan pemeriksaan dokumen (surat kesehatan hewan, surat keterangan asal

hewan, surat karantina, dan sebagainya).

c. Hewan ternak harus diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penampungan minimal

12 jam sebelum dipotong.

46

Berdasarkan Penjelasan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan beserta peralatannya dengan desain yang memenuhi persyaratan sebagai tempat menyembelih hewan, antara lain sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan unggas bagi konsumsi masyarakat.

47

Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 2 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. 48

Aman berarti daging tidak mengandung bahaya biologi, kimiawi dan fisik yang dapat menyebabkan penyakit serta mengganggu kesehatan manusia. Sehat berarti daging memiliki zat-zat yang dibutuhkan dan berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh manusia. Utuh berarti daging tidak dicampur dengan bagian dari hewan lain. Halal berarti hewan maupun dagingnya disembelih dan ditangani sesuai dengan syariat agama Islam.

(25)

d. Hewan ternak harus dipuasakan tetapi tetap diberi minum kurang lebih 12 jam

sebelum dipotong.

e. Hewan ternak harus diperiksa kesehatannya sebelum dipotong (pemeriksaan ante

mortem).

2. Tahap pemeriksaan ante mortem

a. Pemeriksaan ante mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di

bawah pengawasan dokter hewan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

b. Hewan ternak dinyatakan sakit atau diduga sakit dan tidak boleh dipotong atau

ditunda pemotongannya, harus segera dipisahkan dan ditempatkan pada kandang

isolasi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

c. Apabila ditemukan penyakit menular atau zoonosis, maka dokter hewan atau petugas

yang ditunjuk harus segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang

ditetapkan.

3. Persiapan penyembelihan atau pemotongan

a. Ruang proses produksi dan peralatan harus dalam kondisi bersih sebelum dilakukan

proses penyembelihan atau pemotongan.

b. Hewan ternak harus ditimbang sebelum dipotong.

c. Hewan ternak harus dibersihkan terlebih dahulu dengan air sebelum memasuku ruang

pemotongan.

d. Hewan ternak digiring dari kandang penampungan ke ruang pemotongan dengan cara

yang wajar dan tidak membuat stress.

4. Penyembelihan

a. Hewan ternak dapat dipingsankan atau tidak dipingsankan.

b. Apabila dilakukan pemingsanan, maka tata cara pemingsanan harus mengikuti Fatwa

(26)

c. Apabila tidak dilakukan pemingsanan, maka tata cara menjatuhkan hewan harus dapat

meminimalkan rasa sakit dan stress (misal menggunakan re-straining box).

d. Apabila hewan ternak telah rebah dan telah diikat dengan aman, segera dilakukan

penyembelihan sesuai dengan syariat Islam.

e. Proses selanjutnya dilakukan setelah hewan ternak benar-benar mati dan pengeluaran

darah sempurna.

f. Setelah hewan ternak mati, leher dipotong dan kepala dipisahkan dari badan,

kemudian kepala digantung untuk dilakukan pemeriksaan selanjutnya.

g. Pada RPH yang fasilitasnya lengkap, kedua kaki belakang pada sendi tarsus dikait dan

dikerek (hoisted), sehingga bagian leher ada dibawah, agar pengeluaran darah

sempurna dan siap untuk proses selanjutnya.

h. Untuk RPH yang tidak memiliki fasilitas hoist, setelah hewan mati, hewan

dipindahklan ke atas keranda/ penyangga karkas (cradle) dan siap untuk proses

selanjutnya.

5. Tahap pengulitan

a. Sebelum proses pengulitan, harus dilakukan pengikatan pada saluran makan di leher

dan anus, sehingga isi lambung dan feses tidak keluar dan mencemari karkas.

b. Pengulitan dilakukan bertahap, diawali membuat irisan panjang pada kulit sepanjang

garis dada dan bagian perut.

c. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaki.

d. Kulit dipisahkan mulai dari bagian tengah ke punggung.

e. Pengulitan harus hati0hati agar tidak terjadi kerusakan pada kulit dan terbuangnya

daging.

(27)

a. Rongga perut dan rongga dada dibuka dengan membuat irisan sepanjang garis perut

dan dada.

b. Organ-organ yang ada di rongga perut dan dada dikeluarkan dan dijaga agar rumen

dan alat pencernaan lainnya tidak robek.

c. Dilakukan pemisahan antara jeroan merah (hati, jantung, paru-paru, tenggorokan,

limpa, ginjal, dan lidah) dan jeroan hijau (lambung, usus, lemak, dan esophagus).

7. Tahap pemeriksaan post mortem

a. Pemeriksaan post mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk di

bawah pengawasan dokter hewan.

b. Pemeriksaan post mortem dilakukan terhadap kepala, isi rongga dada, dan perut serta

karkas.

c. Karkas dan organ yang ditolak atau dicurigai harus segera dipisahkan untuk dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut.

d. Apabila ditemukan penyakit hewan menular dan zoonosis, maka dokter hewan atau

petugas yang ditunjuk dibawah pengawasan dokter hewan harus segera mengambil

tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

8. Pembelahan karkas

a. Karkas dibelah dua sepanjang tulang belakang dengan kampak yang tajam atau mesin

yang disebut automatic catle sliptter.

b. Karkas dapat dibelah dua atau empat sesuai dengan kebutuhan.

9. Pelayuan

a. Karkas yang telah dipotong atau dibelah disimpan diruang yang sejuk.

b. Karkas selanjutnya siap diangkut ke pasar.

(28)

a. Karkas atau daging harus diangkut dengan angkutan khusus yang daging yang di

desain dengan box tertutup, sehingga dapat mencegah kontaminasi dari luar.

b. Jeroan dan hasil sampingnya diangkut dengan wadah atau alat angkut yang terpisah

dengan alat angkut karkas.

c. Karkas dan jeroan harus disimpan dalam wadah atau kemasan sebelum disimpan

dalam box alat angkut.

d. Untuk menjaga kualitas daging dianjurkan alat angkut karkas dan jeroan dilengkapi

dengan alat pendingin (refrigator).

Dilihat dari prosedur standar operasional pemotongan sapi di atas, tentunya sapi

glonggongan jauh dari kualitas daging sapi yang ASUH. Hal ini dikarenakan, daging sapi

glonggongan itu sendiri merujuk pada daging dari sapi yang diberi air sampai over dosis. Jadi

sapi sebelum disembelih, diberi air secara paksa.

Ada dua jenis daging glonggongan yang ada di pasaran. Kedua jenis tersebut adalah50

1. Daging yang berasal dari sapi glonggongan dimana pengglonggongan dilakukan

sebelum sapi mati

:

2. Daging yang berasal dari daging glonggong dimana pengglonggongan dilakukan

setelah sapi mati.

Jenis pertama penggelonggongan diawali dengan meletakkan kaki depan sapi lebih

tinggi dibandingkan dengan kaki belakang sapi. Setelah sapi dalam posisi demikian, mulut

sapi dimasuki selang. Selang yang telah masuk tersebut kemudian dialiri dengan

air.Penggelonggongan dilakukan untuk menambah berat sapi menjadi 10-15 Kg dari berat

awal. 51

51

(29)

Jenis kedua yaitu penggelonggongan dilakukan dengan cara memasukkan air setelah

sapi mati. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memasukkan air setelah sapi mati.

Cara pertama adalah air dimasukkan dengan selang ke dalam perut sapi sampai terisi penuh

dan didiamkan sekitar 6 jam. Cara kedua yang dilakukan adalah dengan cara menyuntikkan

air ke dalam daging sapi yang telah disembelih sehingga daging menjadi lebih berat. Dengan

cara-cara yang telah dipaparkan diatas mengakibatkan 30-40% dari tubuh sapi adalah air.52

E. Akibat Hukum dan Dampak yang Timbul Akibat Beredarnya Daging Glonggongan di Pasar Tradisional

1. Akibat Hukum yang Timbul Akibat Beredarnya Daging Glonggongan di Pasar

Tradisional

Penjualan daging glonggongan merupakan perbuatan yang melanggar hukum.

Dimana penjual daging glonggongan telah melanggar isi dari ketentuan yang terdapat di

dalam:

a. Pasal 4 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu hak atas

informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisidan jaminan barang

dan/atau jasa.

b. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu pelaku usaha

dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

1) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam

hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut

52

(30)

3) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan

menurut ukuran yang sebenarnya

4) Tidak sesuai dengan kondsi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuaran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau

jasa tersebut

5) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya

mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut

c. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan

bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau

bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas

barang yang dimaksud.

Adapun akibat hukum yang timbul akibat beredarnya daging glonggongan di pasar

tradisional bagi para pelaku usaha adalah berupa sanksi-sanksi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sanksi-sanksi

yang dapat dikenakan terdiri dari:

a. Sanksi Administratif 53

Terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 19 ayat (2) dan (3),

Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang

berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta

rupiah).

Sanksi administratif ini dijatuhkan terhadap para pelaku usaha yang

melakukan pelanggaran dalam rangka:

53

(31)

a) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada

konsumen dalam bentuk pengembalian uang atau pengganti barang dan/atau

jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas

kerugian yang diderita oleh konsumen.

b) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan

oleh pelaku usaha periklanan.

c) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik

dalam bentuk suku cadangan maupun pemeliharaannya, serta pemberian

jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya, baik berlaku terhadap

pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa.54

b. Sanksi Pidana Pokok55

Terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,

Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e, ayat (2), dan

Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikenakan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua

miliar rupiah).

Sedangkan pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal

13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan f

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikenakan pidana penjara paling lama 2 (dua)

tahun atau pidana paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).56

54

Abdul Halim Barakatullah, Hukum Perlindungan Konsumen(Bandung: Nusa Media, 2008), hal 101. 55

Pasal 62 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

56

Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dan terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat

(32)

Rumusan Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan

bahwa pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan perlanggaran

terhadap:

1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:

a) Pasal 8, mengenai barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar yang

telah ditetapkan.

b) Pasal 9 dan Pasal 10, mengenai informasi yang tidak benar.

c) Pasal 13 ayat (2), mengenai penawaran obat-obatan dan hal-hal yang

berhubungan dengan kesehatan.

d) Pasal 15, mengenai penawaran barang secara paksaan

e) Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, mengenai iklan yang

memuat informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan atau menyesatkan.

f) Pasal 17 ayat (2), mengenai peredaran iklan yang dilarang.

g) Pasal 18, mengenai pencantuman klausula baku

Dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5

(lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar

rupiah).

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:

a) Pasal 11, mengenai penjualan secara obral atau lelang.

b) Pasal 12, mengenai penawaran dengan tarif khusus.

c) Pasal 13 ayat (1), mengenai pemberian hadiah secara cuma-cuma

d) Pasal 14, mengenai penawaran dengan memberikan hadiah melalui undian.

e) Pasal 16, mengenai penawaran melalui pesanan.

(33)

Dapat dikenakan pidana dengan pidana denda paling banyak Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3) Pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat berat, atau

kematian, maka akan diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku secara

umum.57

c. Sanksi Pidana Tambahan58

1) Perampasan barang tertentu.

2) Pengumuman keputusan hakim

3) Pembayaran ganti rugi

4) Perintah penghentian kegiatan tertentyu yang menyebabkan timbulnya

kerugian konsumen

5) Kewajiban penarikan barang dari peredaran

6) Pencabutan izin usaha

Ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi pidana

pokok yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen.

2. Dampak yang Timbul Akibat Beredarnya Daging Glonggongan di Pasar Tradisional

a. Terhadap Konsumen

Dampak yang timbul akibat beredarnya daging glonggongan terhadap konsumen pada

hakikatnya mengacu pada kesehatan masyarakat selaku pengonsumsi daging glonggongan.59

57

Abdul Halim Barakatullah,Op.Cit,hal 104. 58

Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 59

(34)

Istilah sehat menurut Pasal 2 Undang-Undang Pokok Kesehatan No. 9 Tahun 1960

adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan (jasmani), rohani (mental), dan sosial,

serta bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan.

Batasan kesehatan sebagaimana tersebut diatas telah diperbaharui bila batasan

kesehatan yang terdahulu itu hanya mencakup 3 (tiga) dimensi atau aspek, yaitu: fisik,

mental, dan sosial, maka dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan mencakup 4 (empat) aspek, yaitu: fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan

spriritual60. Pengertian kesehatan saat ini memang lebih luas dan dinamis, dibandingkan

dengan batasan sebelumnya61

1. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau

tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ

tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan

. Hal ini berarti bahwa kesehatan seseorang tidak hanya

diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga dari spiritualnya juga dalam

arti mempunyai akhlak secara keagamaan.

Keempat dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan seseorang, kelompok, atau masyarakat. itulah sebabnya maka kesehatan

bersifat menyeluruh. Perwujudan dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan

seseorang antara lain sebagai berikut:

2. Kesehatan mental (jiwa) mencakup 2 (dua) komponen, yakni pikiran dan emosional.

Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran. Sedagkan emosional

sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya, misal takut, gembira, khawatir, marah, sedih, dan sebagainya

3. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain

atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau

60

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

(35)

kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan

menghargai62

4. Kesehatan spiritual tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa

syukur, pujian, kepercayaan, dan sebagainya terhadap sesuatu diluar alam fana ini,

yakni Tuhan Yang Maha Esa. Misal, sehat spiritual dapat dilihat dari praktek

keagamaan seseorang. Dengan kata lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang menjalankan ibadah dan semua aturan-aturan agama yang dianutnya.

Akan tetapi perwujudan dari tujuan dibentuknya Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 ini masih saja sulit untuk ditegakkan. Hal ini dikarenakan sifat dari

masyarakat Indonesia sendiri masih belum menyadari akan pentingnya arti kesehatan. Hal

ini terbukti dari adanya penjualan daging glonggongan di pasar tradisional yang dapat

membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya dikarenakan prosedur standar pemotongan sapi yang dilakukan sangat bertentangan dengan prosedur

operasional standar yang telah ditetapkan pemerintah. Selain itu, air yang digunakan

diragukan kehigienisannya dan tentunya dari air itulah dapat menimbulkan bakteri-bakteri baru yang menyatu ke dalam daging sapi tersebut yang kapan saja dapat merusak

kesehatan bagi masyarakat yang mengkonsumsinya.63

Untuk memberikan kepastian hukum sebagai bagian dari tujuan hukum

perlindungan konsumen dan untuk memperjelas hak-hak dan kewajiban-kewajiban

masing-masing pihak yang saling berinteraksi, penjelasan dan penjabaran hak dan Selain itu, pengetahuan masyarakat tentang kualitas daging sapi yang sehat dan potensi bahaya yang dapat ditimbulkan dan tindakan pencegahannya perlu

disosialisasikan secara luas dan terus menerus.

b. Terhadap Pelaku Usaha

62

Ibid, hal 2 63

(36)

kewajiban pelaku usaha tak kalah pentingnya dibandingkan dengan hak dan

kewajiban konsumen itu sendiri.

Adanya hak dan kewajiban tersebut dimaksudkan untuk menciptakan

kenyamanan dalam berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan yang seimbang

antara pelaku usaha dengan konsumen. Akan tetapi didalam prakteknya, pelaku usaha

seringkali tidak mengutamakan kewajiban mereka sebagai pelaku usaha dimana

banyak pelaku usaha yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri tanpa

memperdulikan dampak negatif yang akan diterima konsumen. Padahal, dalam hal ini

mereka sadar betul jika barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen akan

berdampak negatif. Akan tetapi karena keinginan dari pelaku usaha sendiri untuk

mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya

yang akibatnya dapat membahayakan kesehatan konsumen dan hal yang lebih

parahnya lagi, alih-alih ingin mendapatkan keuntungan yang besar malah

mendapatkan kerugian yang besar dikarenakan ketidakpercayaan para konsumen

terhadap produk yang dinyatakan berbahaya tersebut.64

Untuk itu, pelaku usaha diminta untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan

kualitas produk yang dihasilkannya. Mereka juga harus mempertanggungjawabkan

atas apa yang terjadi pada setiap produknya. Jika pelaku usaha mampu menjaga

kualitas dan mutu barang dan/atau jasa yang ditawarkan, maka konsumen akan terus

memandang positif tanpa ragu sedikitpun untuk selalu mengonsumsinya.65

64

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Maret 2016 di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.

(37)

BAB IV

TANGGUNG JAWAB DINAS PERTERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA UTARA UNTUK MELINDUNGI KONSUMEN TERHADAP

BEREDARNYA DAGING GLONGGONGAN DI PASAR TRADISONAL BERDASARKAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN

A. Tugas dan Fungsi Dinas Perternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara

Perda Provinsi Sumatera Utara No. 3 Tahun 2001 tentang Dinas-Dinas Daerah

Provinsi Sumatera Utara menjelaskan bahwa Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan

Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu Dinas Daerah dalam kedudukannya pada

organisasi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Tugas dan fungsi dari dinas ini dijabarkan

dalam Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 3 Tahun 2012 tentang Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara dan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 70

Tahun 2011 tentang Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Uraian Tugas unit Pelaksana Teknis pada

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan Keputusan Gubernur diatas, maka tugas Dinas Peternakan dan Kesehatan

Hewan Provinsi Sumatera Utara adalah melaksanakan urusan pemerintahan daerah/

kewenangan provinsi, dibidang sarana dan prasarana peternakan, budidaya ternak, kesehatan

hewan dan pembinaan usaha peternakan serta tugas pembantuan.

Dalam melaksanakan tugas diatas, maka Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan

Provinsi Sumatera Utara memiliki fungsi sebagai berikut66

:

(38)

1. Menyelenggarakan perumusan kebijakan teknis dibidang sarana, prasarana peternakan,

budidaya ternak, kesehatan hewan dan bina usaha peternakan.

2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang sarana, prasarana

peternakan, budaya ternak, kesehatan hewan dan pembinaan usaha peternakan.

3. Penyelenggaraan pemberian perizinan dibidang peternakan dan kesehatan hewan.

4. Penyelenggaraan pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang peternakan dan kesehatan

hewan.

5. Penyelenggaraan tugas pembantuan dibidang peternakan dan kesehatan hewan.

6. Penyelenggaraan pelayanan administrasi internal dan eksternal.

7. Penyelenggaraan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur, sesuai dengan tugas dan

fungsinya.

Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud, Kepala Dinas

menyelenggarakan fungsi:67

1. Menyelenggarakan perumusan, penetapan, pengaturan, dan pengkoordinasi pelaksanaan

kebijakan teknis bidang sarana dan prasarana peternakan, budidaya ternak, kesehatan

hewan, dan bina usaha peternakan.

2. Menyelenggarakan pengkoordinasi dan fasilitasi pengendalian dan pengawasan sarana

dan prasarana peternakan, budidaya ternak, kesehatan hewan, dan bina usaha peternakan.

3. Menyelenggarakan pengkoordinasi pengawasan sarana dan prasarana peternakan,

budidaya ternak, kesehatan hewan, dan bina usaha peternakan.

4. Menyelenggarakan pelaksanaan penegakkan hukum sarana dan prasarana peternakan,

budidaya ternak, kesehatan hewan, dan bina usaha peternakan.

67

(39)

5. Menyelenggarakan penataan, pembinaan, dan pengkoordinasian Unit Pelaksana Teknis

Dinas.

6. Menyelenggarakan upaya peningkatan partisipasi masyarakat, lembaga non pemerintah

dan swasta dalam pengelolaan peternakan, dan kesehatan hewan, sesuai ketentuan yang

berlaku.

7. Menyelenggarakan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur melalui Sekretaris Daerah

sesuai bidang tugas dan fungsinya.

8. Menyelenggarakan pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan

fungsinya kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah sesuai dengan standar yang

ditetapkan.

9. Pemberian masukan yang perlu kepada Gubernur melalui sekretaris daerah sesuai bidang

tugas dan fungsinya.

Untuk melaksanakan tugas, fungsi, dan uraian tugas sebagaimana dimaksud, Kepala

Dinas dibantu oleh:

1. Sekretariat

2. Bidang Sarana dan Prasarana Peternakan

3. Bidang Budidaya Ternak

4. Bidang Kesehatan Hewan

5. Bidang Bina Usaha Peternakan

6. Unit Pelaksana Teknis Dinas

7. Kelompok Jabatan Fungsional

Dari penjabaran mengenai tugas dan fungsi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan

Provinsi Sumatera Utara sebagaimana tersebut diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara sebagai pejabat Pegawai

(40)

kesehatan hewan. Dimana, kasus penjualan daging glonggongan merupakan tanggung jawab

dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan68

B. Tata Cara Penyelesaian Kasus Penjualan Daging Glonggongan Oleh Dinas Peternakan Dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara

.

Menurut Pasal 84 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan

Kesehatan Hewan, selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat

Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan dari tanggung jawabnya meliputi

peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan

sebagai pejabat pegawai negeri sipil mempunyai wewenang dalam melakukan penyidikan

atas penjualan daging glonggongan.

Berdasarkan Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, dalam

menyelesaikan kasus penjualan daging glonggongan, Dinas Peternakan dan Kesehatan

Hewan yang kedudukannya sebagai pejabat pegawai negeri sipil berwenang untuk:

1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak

pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

2. Melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di

bidang peternakan dan kesehatan hewan.

3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang sehubungan dengan peristiwa

tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

4. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan

dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

5. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan,

pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap hasil pelanggaran yang

68

(41)

dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan

hewan.

6. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di

bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Akan tetapi, dalam prakteknya sejauh ini Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan

sendiri tidak pernah berkoordinasi melakukan penyidikan dengan pejabat Kepolisian. Hal ini

dikarenakan minimnya dana yang tersedia, sebab dalam hal penelitian, pemeriksaan, sampai

dengan penyidikan, pihak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan yang bertanggung jawab

dalam pendanaan tersebut.69

Walaupun dalam prakteknya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi

Sumatera Utara tidak pernah menjumpai daging glonggongan di pasar tradisional serta tidak

pernah melakukan kerjasama dengan aparat Kepolisian dalam penyidikan, namun Dinas

Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara dapat melakukan upaya

penyidikan apabila ditemuinya penjualan daging glonggongan dikemudian hari yaitu berupa

penyitaan terhadap daging yang diduga mengandung air serta mengadakan penelitian

terhadap daging tersebut, dimana jika hasil penelitian tersebut positif mengandung air yang

berlebih, maka hasil penelitian tersebut oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan

diserahkan kepada Kepolisian untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut guna terwujudnya

koordinasi penyidikan antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan aparat

Kepolisian serta untuk mencegah dan menyelesaikan kasus penjualan daging glonggongan

dikemudian hari.70

69

Hasil Wawancara dengan Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 Maret 2016 di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara.

(42)

C. Upaya yang Dilakukan Dinas Perternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara dalam Menanggulangi Beredarnya Daging Glonggongan di Pasar Tradisional

1. Upaya Penal

Penjualan daging glonggongan merupakan perbuatan yang melanggar hukum.

Dimana penjual daging glonggongan telah melanggar isi dari ketentuan yang terdapat di

dalam:

a. Pasal 4 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan

bahwa konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas

dan jujur mengenai kondisidan jaminan barang dan/atau jasa.

b. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan

bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa yang:

1) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam

hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label barang tersebut.

3) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan

menurut ukuran yang sebenarnya.

4) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau

jasa tersebut.

5) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya

mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau

(43)

c. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan

bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau

bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas

barang yang dimaksud.

Jika dilihat isi dari ketiga pasal diatas maka kebijakan penanggulangan secara penal

yang dapat ditempuh oleh konsumen yang haknya telah dirugikan oleh pelaku usaha adalah

dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan.

Gugatan untuk mendapat ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku

usaha dapat dilakukan oleh:71

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnnya;

b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat,

yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya

menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah

untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatannya

sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. Pemerintah atau instansi terkait apabila barang atau jasa yang dikonsumsi atau

dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar atau korban yang tidak

sedikit.

Seorang konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi langsung ke

pengadilan atau di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen.72

71

Pasal 46 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 72

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

(44)

Masyarakat maupun pemerintahan atau instansi terkait hanya dapat melakukannya di

pengadilan.73

a. Sanksi Administratif

Adapun aturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha

yang melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

dapat dilihat dalam Bab XIII Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang dimulai dari

Pasal 60 sampai Pasal 63. Dimana sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terdiri atas:

Terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 19 ayat (2) dan (3), Pasal

20, Pasal 25, dan Pasal 2674 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang

berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta

rupiah).75

b. Sanksi Pidana Pokok

Terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,

Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e, ayat (2), dan

Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikenakan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua

miliar rupiah).76 Sedangkan pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 11,

Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan f

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikenakan pidana penjara paling lama

2 (dua) tahun atau pidana paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta

rupiah).77

73

Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 74

Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 75

Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 76

Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 77

(45)

c. Sanksi Pidana Tambahan berupa:78

1) Perampasan barang tertentu;

2) Pengumuman keputusan hakim;

3) Pembayaran ganti rugi;

4) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian

konsumen;

5) Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau

6) Pencabutan izin usaha

2. Upaya Non Penal

Upaya non penal merupakan kebijakan awal dan mendasar untuk menanggulangi

penjualan daging glonggongan dipasar tradisional tanpa menggunakan upaya penal.

Adapun cara untuk menanggulangi peredaran daging glonggongan di pasar tradisional

tanpa upaya penal yaitu dengan cara:79

a. Penyuluhan Akan Informasi Yang Akurat Oleh Instansi Yang Terkait

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai instansi yang lingkup tugas dan

dari tanggung jawabnya meliputi peternakan dan kesehatan hewan wajib

memberitahukan kepada masyarakat akan bahaya dan ciri-ciri dari daging

glonggongan, dimana penyuluhan informasi ini dapat dilakukan secara tertulis

maupun lisan. Misalnya, penyampaian informasi dilakukan secara tertulis yaitu

dengan menempelkan brosur-brosur akan bahaya dan ciri-ciri daging glonggongan

di pasar modern maupun pasar tradisional, dapat juga dengan cara penyampaian

informasi tersebut melalui media cetak. Sedangkan penyampaian informasi secara

78

Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

79

(46)

lisan dapat dilakukan dengan mengadakan seminar tentang daging glonggongan

dan dapat juga melalui media elektronik.

b. Mengadakan Razia Yang Rutin Oleh Instansi Terkait

Koordinasi yang baik antara Pegawai Negeri Sipil yang berwenang dan aparat

Kepolisian sangat diperlukan dalam penanggulangan penjualan daging

glonggongan. Adapun upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengadakan

razia secara rutin ke pasar tradisional, agar pelaku usaha yang berbuat curang

tersebut jera untuk menjual daging glonggongan dikarenakan frekuensi razia rutin

oleh instansi yang berwenang.

c. Ketegasan Bertindak Oleh Penegak Hukum

Maraknya penjualan daging glonggongan di pasar tradisional salah satu

penyebabnya adalah pemberian sanksi yang kurang tegas sehingga para pelaku

usaha menganggap hal ini merupakan hal yang sepele karena mereka beranggapan

bahwa sekalipun tertangkap mereka hanya diberikan teguran atau barang

dagangan mereka disita. Hal seperti ini harus mendapat perhatian khusus dari

pemerintahan agar pelaku usaha tidak lagi menanggap remeh akan sanksi yang

diterima atas perbuatan mereka.

d. Mengadakan Pengawasan yang Ketat Pada Rumah Pemotongan Hewan

Rumah potong merupakan bangunan gedung beserta sarana dan fasilitasnya yang

khusus di peruntukan melayani pemotongan hewan. Tentunya dalam hal ini

pengawasan yang ketat pada rumah potong hewan perlu ditingkatkan, hal ini

disebabkan mata rantai penjualan daging glonggongan bermula dari rumah

potong hewan, sebab daging hewan yang hendak di perjual belikan tersebut

terlebih dahulu di bawa kerumah potong hewan untuk melakukan proses

Referensi

Dokumen terkait

Cintavhati Poerwoto, Bimbingan dan Konseling....FE-UI, 1994... Cintavhati Poerwoto, Bimbingan dan

Seminar Nasional Kimia

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2013 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

Apabila perusahaan berhasil dalam menjalankan bisnisnya maka beban tetap dari hutang tersebut dapat ditutup dengan laba yang diperoleh perusahaan, namun jika

Dengan ini kami mengundang saudara untuk mengikuti pelelangan dengan metode Pengadaan Langsung, dengan data-data seperti tersebut dibawah ini :. Daftar

Kepada peserta yang keberatan atas penetapan pemenang ini, diberikan kesempatan untuk. mengajukan sanggahan secara tertulis selambat-lambatnya 3 (tiga) hari, dimulai

Berdasarkan Penetapan Pemenang Lelang nomor 551/290/ HUBKOMINFO/2016 tanggal 28 April 2016, Pokja ULP Dinas Perhubungan Komuniksi Dan Informatika mengumumkan

Sehubungan dengan Berita Acara Evaluasi Dokumen Penawaran Nomor : BA.01/BOR.135.LPSE/ULP_POKJA III/LMD/VII/2014 tanggal 19 Juli 2014 untuk Pekerjaan