• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Curah Hujan Untuk Pendugaan Debit Puncak Dengan Metode Rasional Pada Das Percut Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Curah Hujan Untuk Pendugaan Debit Puncak Dengan Metode Rasional Pada Das Percut Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS CURAH HUJAN UNTUK PENDUGAAN DEBIT

PUNCAK DENGAN METODE RASIONAL PADA

DAS PERCUT KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI

Oleh:

MACHAIRIYAH

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2007

(2)

PUNCAK DENGAN METODE RASIONAL PADA

DAS PERCUT KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI

Oleh:

MACHAIRIYAH

030308008/TEKNIK PERTANIAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Diketahui Oleh: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sumono, MS Ir. Edi Susanto, M.Si

Ketua Anggota

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2007

(3)

Nama : Machairiyah

NIM : 030308008

Departemen : Teknologi Pertanian Program Studi : Teknik Pertanian

Disetujui Oleh:

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Sumono, MS) (Ir. Edi Susanto, M.Si)

Ketua Anggota

Mengetahui :

(Ir. Saipul Bahri Daulay, M.Si) Ketua Departemen

(4)

ABSTRACT

Rainfall is the most important input component in the hydrologic process. Rainfall characteristics, such as intensity (I), duration (t), depth (d) and frequency. Intensity that is related to duration and frequency can be expressed by Intensity-Duration-Frequency (IDF) curve. Data used in this research comprised of rainfall and land use data. The data of rainfall used were daily rainfall recorded in Saentis station. In the research, daily rainfall depth was calculated by frequency analysis, which was started by determining the daily maximum mean rainfall with partial series method, followed by calculating the statistical parameter to choose the best distribution. Intensity could be calculated by Mononobe method and to calculate flood discharge using the rational method.

The result of this study indicated that the Log Pearson Type III distribution fit to most of data in the Percut DAS and flood discharge with return period can be calculated .

Keywords : rainfall, intensity, the flood discharge, rational method

ABSTRAK

Hujan adalah komponen masukan penting dalam proses hidrologi. Karakteristik hujan diantaranya intensitas, durasi, kedalaman dan frekuensi. Intensitas yang berhubungan dengan durasi dan frekuensi dapat diekspresikan dengan kurva Intensity -Duration- Frequency (IDF). Data yang diperlukan berupa data curah hujan dan data tata guna lahan. Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan harian yang tercatat pada stasiun Saentis. Dalam penelitian ini, curah hujan harian dihitung dengan analisis frekuensi yang dimulai dengan menentukan curah hujan harian maksimum rata-rata dengan metode parsial, kemudian menghitung parameter statistik untuk memilih distribusi yang paling cocok. Intensitas dihitung dengan mempergunakan metode mononobe dan untuk menghitung debit puncak dengan metode rasional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi Log Pearson Type III sangat cocok dengan sebaran data di wilayah studi DAS Percut dan debit puncak dengan kala ulang tertentu dapat dihitung.

(5)

RINGKASAN PENELITIAN

MACHAIRIYAH, “Analisis Curah Hujan untuk Pendugaan Debit Puncak dengan Metode Rasional pada DAS Percut Kabupaten Deli Serdang’’ di bawah bimbingan Sumono, selaku ketua komisi pembimbing dan Edi Susanto selaku anggota komisi pembimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola distribusi yang tepat dan

menghitung debit puncak dengan metode rasional pada DAS Percut Kabupaten

Deli Serdang. Dari penelitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan sebagai

berikut :

Kondisi DAS Percut

Secara geografis DAS Percut terletak pada 03o18’- 03o40’ LU dan 98o30’

– 99o00 BT, sungai utama yang dilaluinya adalah sungai Percut. Luas total daerah

pengaliran sungai Percut (A) sebesar 276,8 km2, Lebar Maksimum sungai 45 m,

panjang sungai Percut 70 km dan kelerengan/kemiringan (S) sungai Percut

sebesar 0,02500 m. Ada tiga stasiun penakar curah hujan pada DAS Percut yaitu

Saentis, Batang Kuis dan Medan Amplas. Dari ketiga stasiun penakar hujan yang

ada hanya Saentís dan Batang Kuis yang berfungsi dengan baik. Curah hujan di

daerah pengaliran sungai Percut dapat diwakili oleh stasiun (pos) hujan Saentis.

Kondisi tata guna lahan pada DAS Percut didominasi daerah pertanian dan

permukiman.

(6)

Analisis Curah Hujan

Curah hujan maksimum tertinggi sebesar 210 mm dan curah hujan

maksimum terendah sebesar 95 mm. Berdasarkan parameter statistika yang

diperoleh dan setelah diuji dengan uji Chi-Square dan Smirnov Kolmogorov,

jenis distribusi yang cocok dengan sebaran data curah hujan harian maksimum di

wilayah studi adalah distribusi Log Pearson Type III. Besarnya curah hujan

rancangan berbagai periode ulang 1, 2, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 40, 50, 100, 200

(tahun) diperoleh sebesar 86,98 mm; 110,78 mm; 136,61 mm; 157,62 mm; 164,08

mm; 170,83 mm; 177,86 mm; 184,77 mm; 199,34 mm; 215,12 mm; 244,65 mm;

277,7 mm.

Intensitas Hujan

Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penggunaan rumus

menghitung debit puncak (banjir) dengan metode rasional adalah nilai intensitas

hujan dengan durasi tertentu harus sama dengan waktu konsentrasi. Hal ini

terpenuhi dimana waktu konsentrasi diperoleh sebesar 7,24 jam yang tidak

melebihi durasi hujan yang umum terjadi 1-6 jam dan 12 jam paling maksimum.

Intensitas hujan yang diperoleh berdasarkan waktu konsentrasi untuk kala ulang

sama sebesar 8,18 mm/jam; 10,42 mm/jam; 12,84 mm/jam; 14,82 mm/jam; 15,55

mm/jam; 16,06 mm/jam; 16,69 mm/jam; 17,37 mm/jam; 18,74 mm/jam; 20,23

(7)

Debit Puncak

Koefisien limpasan sangat mempengaruhi debit puncak yang terjadi.

Pada DAS Percut, koefisien limpasan diperoleh sebesar 0,305, hal ini berarti

bahwa DAS Percut dalam kondisi baik. Perubahan tata guna lahan yang terjadi

harus bersamaan dengan upaya pelestarian lingkungan. Debit Puncak yang

diperoleh untuk masing-masing kala ulang sebesar 192,05 m3/detik; 244,68

m3/detik; 301,57 m3/detik; 348,03 m3/detik; 365,16m3/detik; 377,18 m3/detik;

391,93 m3/detik; 407,91 m3/detik; 440,15 m3/detik; 475,00 m3/detik; 540,17

m3/detik; dan 613,24 m3/detik.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 13 Desember 1985 dari ayah

Abdul Khair dan ibu Mardiah. Penulis merupakan putri pertama dari empat

bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Binjai dan pada tahun 2003

lulus seleksi masuk USU melalui jalur SPMB. Penulis memilih program studi

Teknik Pertanian, Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Satuan

Operasi Dasar, Ilmu Ukur Wilayah dan Hidrologi Teknik. Penulis mengikuti

kegiatan organisasi ATM dan IMATETA pada tahun 2003-2007. Penulis

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan.

Skripsi ini berjudul “Analisis Curah Hujan untuk Pendugaan Debit

Puncak dengan Metode Rasional pada DAS Percut Kabupaten Deli Serdang”

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, MS

selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Edi Susanto, M.Si selaku

anggota komisi pembimbing yang telah banyak membimbing penulis selama

melaksanakan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,

ibu, seluruh keluarga serta sahabat terbaikku atas segala doa dan perhatiannya.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, September 2007

(10)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRACT ... ii

RINGKASAN PENELITIAN ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi ... 5

Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 6

Analisis Frekuensi ... 8

Distribusi Normal ... 11

Distribusi Gumbel ... 13

Distribusi Log Normal ... 14

Distribusi Log Pearson Type III ... 14

Uji Kecocokan ... 16

Intensitas Curah Hujan ... 18

Waktu Konsentrasi ... 20

Koefisien Limpasan ... 21

Metode Rasional ... 24

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

Bahan dan Alat Penelitian ... 26

Bahan ... 26

Alat ... 26

Metode Penelitian ... 26

Pelaksanaan Penelitian ... 27

Kerangka Pelaksanaan Penelitian ... 28

Pengolahan Data ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi DAS Percut ... 32

Analisis Curah Hujan ... 34

Curah Hujan Harian Maksimum ... 34

Penentuan Pola Distribusi Hujan ... 35

(11)

Curah Hujan Rencana ... 38

Intensitas Hujan ... 39

Analisis Debit Banjir ... 42

Waktu Konsentrasi ... 42

Koefisien Limpasan (Run Off Coeffisient) ... 43

Debit Puncak ... 44

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 46

Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(12)

DAFTAR TABEL

Hal

1 Parameter Statistik Analisis Frekuensi ... 10

2 Nilai Koefisien Aliran untuk Berbagai Penggunaan Lahan ... 23

3 Data Penggunaan Lahan yang Dilalui DAS Percut ... 33

4 Data Curah Hujan Harian Maksimum Tahunan

Periode 1985-2006 di Stasiun Saentis ... 35

5 Parameter Statistik Analisis Frekuensi ... 35

6 Hasil Uji Chi Square dan Smirnov-Kolmogorov ... 37

7 Parameter Statistik Analisis Frekuensi

Distribusi Log Pearson Type III ... 38

8 Hujan Rancangan Berbagai Periode Ulang ... 39

9 Intensitas Hujan Jam-jaman (mm/jam) untuk

Berbagai Periode Ulang ... 40

10 Perhitungan Koefisien Limpasan ... 43

11 Debit Puncak (banjir) di DAS Percut ... 45

(13)

DAFTAR GAMBAR

Hal

1 Siklus Hidrologi ... 6

2 Berbagai Macam Bentuk DAS ... 8

3 Kurva Distribusi Frekuensi Normal ... 11

4 Kerangka Pelaksanaan Penelitian ... 28

5 Distribusi Frekuensi Hujan DAS Percut ... 36

(14)

LAMPIRAN

Hal

1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 50

2 Data Curah Hujan Bulanan Maksimum (mm) Pos Hujan Saentis ... 51

3 Nilai Faktor Frekuensi K ... 52

4 Nilai Kritis untuk Distribusi Chi-Kuadrat (Uji Satu Sisi) ... 54

5 Nilai Kritis Do untuk uji Smirnov-Kolmogorov ... 55

6 Tabel Distribusi Normal ... 56

7 Peta DAS Percut ... 57

8 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Deli Serdang ... 58

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang begitu cepat telah

menyebabkan perubahan tata guna lahan. Banyak lahan yang semula berupa lahan

terbuka atau hutan berubah menjadi areal pemukiman maupun industri. Hal ini

tidak hanya terjadi di kawasan perkotaan, namun sudah merambah ke kawasan

budidaya dan kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan air.

Dampak dari perubahan tata guna lahan tersebut adalah meningkatnya aliran

permukaan langsung sekaligus menurunnya air yang meresap ke dalam tanah.

Akibat selanjutnya adalah distribusi air yang makin timpang antara musim

penghujan dan musim kemarau, debit banjir meningkat dan ancaman kekeringan

semakin menjadi-jadi.

Sejumlah sungai dan pantai di Sumatera Utara dewasa ini dalam kondisi

kritis dan mengancam kehidupan masyarakat. Di samping kualitas dan kuantitas

air sungainya yang semakin menurun untuk penyediaan air baku pada musim

kemarau, hal itu juga menimbulkan bahaya banjir pada musim hujan. Luas daerah

pengaliran sungai yang telah kritis di kota Medan lebih kurang 592.000 hektar,

tersebar di satuan wilayah sungai (SWS) Wampu-Besitang, SWS

Belawan-Belumai-Ular, SWS BahBolon, SWS Barumun Kualah, dan SWS Batang

Gadis-Batang Toru. Sedangkan yang rawan terhadap banjir mencapai seluas 115.903

hektar, terdiri dari perkotaan 7.996 hektar, daerah industri 4.549 hektar, dan

daerah pertanian/pedesaan 103.903 hektar, serta sarana transportasi yang rawan

(16)

antara lain sungai pada SWS Wampu-Besitang dan SWS Belawan-Belumai-Ular,

yaitu Sungai Deli, Sungai Percut, dan Sungai Belawan (Anonimous, 2006).

Menurut Sudjarwadi (1987), banjir adalah aliran/genangan air yang

menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan kehilangan jiwa. Aliran atau

genangan air ini dapat terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan

atau kiri sungai/saluran akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup

bagi debit aliran yang lewat.

Kejadian banjir dan kekeringan di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS)

sebenarnya memiliki fenomena yang tidak sesederhana. Suatu DAS terdiri dari

berbagai unsur penyusun utama yang di satu pihak bertindak sebagai objek atau

sasaran fisik alamiah, seperti sumber daya alam tanah, vegetasi dan air, dan di lain

pihak adalah subjek atau pelaku pendayagunaan unsur-unsur tersebut, yaitu

manusia. Diantara unsur-unsur itu terjadi proses hubungan timbal balik dan saling

mempengaruhi, yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu kondisi hidrologis

dari wilayah DAS tersebut (Asdak, 1995).

Bencana banjir selain akibat kerusakan ekosistem ataupun aspek

lingkungan yang tidak terjaga tetapi juga disebabkan karena bencana alam itu

sendiri seperti curah hujan yang tinggi. Curah hujan sangat berpengaruh pada

besarnya debit air yang mengalir pada suatu sungai. Curah hujan yang diperlukan

untuk analisis hidrologi adalah curah hujan rata-rata dari seluruh daerah yang

bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu (stasiun). Curah hujan

ini disebut curah hujan wilayah/daerah dan dinyatakan dalam mm. Analisis

hidrologi memerlukan data curah hujan yang akurat, namun data curah hujan ini

(17)

jumlah alat yang dipasang dan tidak semua data tercatat secara lengkap. Dalam

perencanaan bangunan pengendali banjir seperti saluran drainase, tanggul dan

lain-lain, data masukan curah hujan sangat diperlukan.

Analisis frekuensi adalah prosedur memperkirakan frekuensi suatu

kejadian pada masa lalu atau masa yang akan datang. Prosedur tersebut dapat

digunakan menentukan hujan rancangan dalam berbagai kala ulang berdasarkan

distribusi yang paling sesuai. Menurut Sri Harto (1993), analisis frekuensi dapat

dilakukan dengan seri data yang diperoleh dari rekaman data baik data hujan

maupun data debit. Analisis ini sering dianggap cara analisis yang paling baik,

karena dilakukan terhadap data yang terukur langsung yang tidak melewati

pengalihragaman terlebih dahulu. Perhitungan debit banjir rencana dengan metode

rasional untuk perancangan bangunan keairan memerlukan data intensitas hujan

dalam durasi dan periode ulang tertentu yang dapat diperoleh dari kurva IDF

(Intensity Duration Frequency).

Menurut Gunawan (1991), bahwa pendugaan debit puncak dengan

menggunakan metode rasional merupakan penyederhanaan besaran-besaran

terhadap suatu proses penentuan aliran permukaan yang rumit akan tetapi metode

tersebut dianggap akurat untuk menduga aliran permukaan dalam rancang bangun

yang relatif murah, sederhana dan memberikan hasil yang dapat diterima

(reasonable). Selain itu metode rasional merupakan metode empiris yang lazim

digunakan dibandingkan dengan rumus-rumus empiris lainnya dimana rumus ini

menggunakan berbagai variabel yang berhubungan dengan debit banjir yaitu

faktor daerah pengaliran, curah hujan, koefisien limpasan dan perubahan tata guna

(18)

Sungai Percut merupakan salah satu dari beberapa sungai yang ada di kota

Medan yang termasuk dalam kategori kritis. Daerah aliran sungai ini merupakan

daerah rawan banjir pada saat musim penghujan datang, banyak hal yang

menyebabkan daerah ini rawan banjir salah satunya adalah perubahan tata guna

lahan di sekitar aliran sungai Percut. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan

langkah-langkah penanggulangan yang tepat, antara lain dengan adanya suatu

bangunan pengendali banjir.

Pendugaan debit puncak Sungai Percut dengan metode rasional dalam kala

ulang tertentu dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar perencanaan bangunan

pengendali banjir. Hal inilah yang menjadi dasar penulis melakukan penelitian.

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pola distribusi frekuensi yang tepat pada DAS

Percut.

2. Untuk menghitung debit puncak aliran sungai pada DAS Percut

dengan menggunakan metode rasional.

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan

pendidikan S1 di Program Studi Teknik Pertanian Departemen

Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

(19)

TINJAUAN LITERATUR

Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi adalah suatu rangkaian proses yang terjadi dengan air

yang terdiri dari penguapan, presipitasi, infiltrasi dan pengaliran keluar (outflow).

Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut. Penguapan dari daratan

terdiri dari evaporasi dan transpirasi. Evaporasi merupakan proses menguapnya

air dari permukaan tanah, sedangkan transpirasi adalah proses menguapnya air

dari tanaman. Uap yang dihasilkan mengalami kondensasi dan dipadatkan

membentuk awan-awan yang nantinya dapat kembali menjadi air dan turun

sebagai presipitasi. Sebelum tiba di permukaan bumi presipitasi tersebut sebagian

langsung menguap ke udara, sebagian tertahan oleh tumbuh-tumbuhan (intersepsi)

dan sebagian lagi mencapai permukaan tanah. presipitasi yang tertahan oleh

tumbuh-tumbuhan sebagian akan diuapkan dan sebagian lagi mengalir melalui

dahan (stem flow) atau jatuh dari daun (trough fall) dan akhirnya sampai ke

permukaan tanah.

Air yang sampai ke permukaan tanah sebagian akan berinfiltrasi dan

sebagian lagi mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah kemudian mengalir ketempat

yang lebih rendah (runoff), masuk ke sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Dalam

perjalanannya menuju laut sebagian akan mengalami penguapan. Air yang masuk

ke dalam tanah sebagian akan keluar lagi menuju sungai yang disebut dengan

(20)

tanah yang keluar sedikit demi sedikit dan masuk ke dalam sungai sebagai aliran

bawah tanah (groundwater flow), dan begitu seterusnya. Proses mengenai siklus

hidrologi dapat dilihat pada gambar :

Gambar 1. Siklus Hidrologi

Karena siklus hidrologi merupakan suatu sistem tertutup, maka air yang

masuk selalu sama dengan yang keluar. Hal ini dikenal dengan istilah neraca air

(Soemarto,1987).

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Pengaliran Sungai adalah suatu kesatuan wilayah tata air yang

terbentuk secara alamiah, dimana air meresap atau mengalir melalui sungai dan

anak-anak sungai yang bersangkutan. Sering disebut dengan DAS (daerah aliran

sungai) atau DTA (daerah tangkapan air). Menurut Sri Harto (1993), daerah aliran

sungai merupakan daerah yang dimana semua airnya mengalir ke dalam sungai

yang dimaksudkan. Daerah ini umumnya dibatasi oleh topografi yang berarti

ditetapkan berdasarkan aliran air permukaan.

DAS disebut juga sebagai watershed atau catchment area. DAS ada yang

kecil dan ada juga yang sangat luas. DAS yang sangat luas bisa terdiri dari

(21)

tergantung banyaknya anak sungai dari cabang sungai yang ada, yang merupakan

bagian dari suatu sistem sungai utama (Asdak, 1995).

DAS merupakan ekosistem yang terdiri dari berbagai macam komponen

dan terjadi keseimbangan dinamik antara komponen yang merupakan masukan

(input) dan komponen yang merupakan keluaran (output), dimana keadaan atau

pengaruh yang berlaku pada salah satu bagian di dalamnya akan mempengaruhi

wilayah secara keseluruhan (Hartono, dkk, 2005).

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2003), berdasarkan perbedaan debit

banjir yang terjadi, bentuk DAS dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :

1. Bulu burung

Suatu daerah pengaliran yang mempunyai jalur daerah di kiri kanan sungai

utama dimana anak-anak sungai mengalir ke sungai utama. Daerah pengaliran

demikian mempunyai debit banjir yang kecil, oleh karena waktu tiba banjir dari

anak-anak sungai itu berbeda-beda. Sebaliknya banjirnya berlangsung agak lama.

2. Radial

Daerah pengaliran yang berbentuk kipas atau lingkaran dan dimana

anak-anak sungainya mengkonsentrasi ke suatu titik secara radial. Daerah pengaliran

semacam ini mempunyai banjir yang besar di dekat titik pertemuan anak-anak

sungai.

3. Pararel

Daerah pengaliran seperti ini mempunyai corak dimana dua jalur daerah

pengaliran yang bersatu di bagian hilir. Banjir itu terjadi di sebelah hilir titik

(22)

Gambar 2. Berbagai macam bentuk DAS.

Sungai mempunyai fungsi untuk mengumpulkan curah hujan dalam suatu

daerah tertentu dan mengalirkannya ke laut. Daerah pengaliran sebuah sungai

adalah daerah yang mengalirkan airnya ke sungai tersebut. Luas daerah pengaliran

diperkirakan dengan pengukuran daerah itu pada peta topografi. Luas daerah

pengaliran berpengaruh terhadap besarnya debit yang terjadi. Semakin besar

daerah pengaliran maka debit pengaliran akan semakin besar.

Analisis Frekuensi

Dalam proses pengalihragaman hujan menjadi aliran ada beberapa sifat

hujan yang penting untuk diperhatikan, antara lain adalah intensitas hujan (I),

lama waktu hujan (t), kedalaman hujan (d), frekuensi (f) dan luas daerah pengaruh

hujan (A). Komponen hujan dengan sifat-sifatnya ini dapat dianalisis berupa hujan

titik maupun hujan rata-rata yang meliputi luas daerah tangkapan (catchment

area) yang kecil sampai yang besar (Soemarto, 1987).

Sistem hidrologi kadang-kadang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa luar

biasa (ekstrim), seperti hujan lebat, banjir, dan kekeringan. Tujuan analisis

frekuensi data hidrologi adalah berkaitan dengan besaran peristiwa-peristiwa

ekstrim yang berkaitan dengan frekuensi kejadiannya melalui penerapan distribusi

(23)

kemungkinan. Data hidrologi yang dianalisis diasumsikan tidak terikat

(independent), terdistribusi secara acak dan bersifat stokastik (peluang).

Ada dua macam seri data yang dipergunakan dalam analisis frekuensi

yaitu:

1. Data maksimum tahunan: tiap tahun diambil hanya satu besaran

maksimum yang dianggap berpengaruh pada analisis selanjutnya. Series

data ini sering disebut seri data maksimum (maximum annual series).

2. Seri parsial: dengan menetapkan besaran tertentu sebagai batas bawah,

selanjutnya semua besaran data yang lebih besar dari batas bawah tersebut

diambil kemudian dianalisis dengan cara yang lazim. Metode ini lebih

realitis dibandingkan metode maximum annual series sehingga beberapa

ahli menyarankan menggunakan cara partial series.

(Suripin, 2004).

Analisis frekuensi adalah suatu analisa data hidrologi dengan

menggunakan statistika yang bertujuan untuk memprediksi suatu besaran hujan

atau debit dengan masa ulang tertentu. Frekuensi hujan adalah besarnya

kemungkinan suatu besaran hujan disamai atau dilampaui. Sebaliknya, kala ulang

(return period) diartikan sebagai waktu dimana hujan atau debit dengan suatu

besaran tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut.

Dalam hal ini tidak berarti bahwa selama jangka waktu ulang tersebut (misalnya T

tahun) hanya sekali kejadian yang menyamai atau melampaui, tetapi merupakan

perkiraan bahwa hujan ataupun debit tersebut akan disamai atau dilampaui K kali

dalam jangka panjang L tahun, dimana K/L kira-kira sama dengan 1/T

(24)

Dalam analisis frekuensi, hasil yang diperoleh tergantung pada kualitas

dan panjang data. Makin pendek data yang tersedia, makin besar penyimpangan

yang terjadi. Menurut Soemarto (1987), dalam ilmu statistik dikenal beberapa

macam distribusi dan empat jenis distribusi yang umum digunakan dalam bidang

hidrologi adalah :

1. Distribusi Normal

2. Distribusi Log Normal

3. Distribusi Log-Pearson Type III dan

4. Distribusi Gumbel

Dalam statistik dikenal beberapa parameter yang berkaitan dengan analisis

data yang meliputi :

Tabel 1. Parameter Statistik Analisis Frekuensi

Parameter Sampel

Rata-rata

X = i

n

i

X n

=1

1

Simpangan baku

s =

(

)

2 / 1 2 1 1 1      

X X n i n i Koefisien variasi Cv = x s Koefisien skewness Cs =

(

)

( )( )

3 3

1

2

1 n s

n X X n i n i − − −

= Koefisien kurtosis

Ck =

(

)

( )( )(

)

4 4 i n 1 i 2 s 3 n 2 n 1 n X X n − − − −

=
(25)

Distribusi Normal

Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss.

Distribusi ini mempunyai probability density function sebagai berikut:

      − = 2 2 2 ) ( exp 2 1 ) ( ' σµ π σ x X

P ………...….. (1)

dimana:

P(X) = fungsi densitas peluang normal (ordinat kurva normal).

X = Variabel acak kontinu

µ = Rata-rata nilai X

σ = Simpangan baku dari X

Analisis kurva normal cukup menggunakan parameter statistik µ dan σ . Bentuk kurvanya simetris terhadap X = µ, dan grafiknya selalu di atas sumbu

datar X serta mendekati sumbu datar X dan di mulai dari X = µ+ 3σ dan X = µ - 3σ, nilai mean = median = modus.

Gambar 3. Kurva distribusi frekuensi normal

Luas 99,73 % Luas 96, 45 %

(26)

Dari gambar diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1) Kira-kira 68,27 % terletak di daerah satu deviasi standart sekitar nilai

rata-ratanya yaitu antara (µ - σ) dan (µ +σ ).

2) Kira-kira 95,45 % terletak di daerah dua deviasi standart sekitar nilai

rata-ratanya yaitu antara (µ - 2σ) dan (µ + 2σ).

3) Kira-kira 99,73 % terletak di daerah tiga deviasi standart sekitar nilai

rata-ratanya yaitu antara (µ - 3σ) dan (µ + 3σ).

Rumus yang umum digunakan untuk distribusi normal adalah:

XT = X + KT.s ……….. (2)

di mana:

XT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan

X = Nilai rata-rata hitung sampel

s = Deviasi standard nilai sampel

KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau yang digunakan

periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang

digunakan untuk analisis peluang.

(Suripin, 2004).

Menurut Jayadi (2000), sifat khas lain yaitu nilai asimetris (koefisien

skewness) hampir sama dengan nol dan dengan kurtosis 3 selain itu kemungkinan:

P

( )

x−σ =15,87%

P

( )

x =50%
(27)

Distribusi Gumbel

Menurut Chow (1964), rumus umum yang digunakan dalam metode

Gumbel adalah sebagai berikut:

X = X +s.K ... (3)

Dengan : X = nilai rata-rata atau mean; s = standard deviasi

Faktor frekuensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan rumus

berikut ini:

n n Tr

S Y Y

K= − ... (4)

dimana :

Yn = reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data n

Sn = reduced standard deviation yang juga tergantung pada jumlah sampel/

data n

Tr = Fungsi waktu balik (tahun)

YTr = reduced variate yang dapat dihitung dengan persamaan berikut:

YTr = -In

   

r r

T T

In 1 ……….... (5)

Ciri khas statistik distribusi Gumbel adalah nilai asimetris (koefisien

skewness) sama dengan 1,396 dan dengan kurtosis (Ck) = 5,4002.

(28)

Distribusi Log Normal

Jika variabel acak Y = Log x terdistribusi secara normal, maka x

dikatakan mengikuti distribusi Log Normal. Ini dapat dinyatakan dengan model

matematik dengan persamaan :

YT = Y + KTS ………. (6)

dimana:

YT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T- tahunan

Y = Nilai rata-rata hitung sampel

S = Standard deviasi nilai sampel

KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau yang digunakan

periode ulang dan tipe model metematik distribusi peluang yang

digunakan untuk analisis peluang.

(Singh, 1992)

Menurut Jayadi (2000), ciri khas statistik distribusi Log Normal adalah

nilai asimetris (koefisien skewness) sama dengan tiga kali nilai koefisien variasi

(Cv) atau bertanda positif.

Distribusi Log Pearson Type III

Parameter penting dalam Log Pearson Type III yaitu harga rata-rata,

simpangan baku dan koefisien kemencengan. Jika koefisien kemencengan sama

(29)

Langkah-langkah penggunaan distribusi Log Pearson Type III adalah

sebagai berikut.

1. Ubah data ke dalam bentuk logaritmis, X = log X.

2. Hitung harga rata-rata:

Log X = i

n i X n log 1 1

= ... (7)

3. Hitung harga simpangan baku:

s =

(

)

2 / 1 2 1 log log 1 1      

= X X n i n i ... (8)

4. Hitung koefisien kemencengan:

Cs =

(

)

( )( )

3 3 1 2 1 log log s n n X X n i n i − − −

= ... (9)

5. Hitung logaritma hujan dengan periode ulang T:

Log XT = log X + K.s ... (10)

(Linsley, et al, 1975).

Menurut Jayadi (2000), ciri khas statistik distribusi Log Pearson Type III

adalah:

1. Jika tidak menunjukkan sifat-sifat seperti ketiga distribusi diatas

2. Garis teoritis probabilitasnya berupa garis lengkung.

Ada dua cara untuk mengetahui ketepatan distribusi probabilitas data

hidrologi yaitu data yang ada diplot pada kertas probabilitas yang sudah desain

(30)

garis lurus yang mempresentasikan sebaran data-data yang diplot kemudian

ditarik sedemikian rupa berupa garis linier. Metode pengeplotan data dapat

dilakukan secara empiris, persamaan yang umum digunakan adalah persamaan

Weibull :

Tr =

m n+1

………. (11)

dimana :

m = Nomor urut (peringkat) data setelah diurutkan dari besar ke kecil.

n = Banyaknya data atau jumlah kejadian.

(Soedibyo, 2003).

Menurut Sri Harto (2000), menyebutkan bahwa masing-masing distribusi

mempunyai sifat yang khas, sehingga data curah hujan harus diuji kecocokannya

dengan sifat statistik masing-masing distribusi tersebut. Pemilihan distribusi yang

tidak benar dapat menimbulkan kesalahan perkiraan yang cukup besar, baik over

estimate maupun under estimate.

Uji kecocokan

Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan (the goodness of

fittest test) distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang

yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi

tersebut. Pengujian parameter yang sering dipakai adalah Chi-Square dan

(31)

1. Uji Chi-Square

Menurut Danapriatna dan Setiawan (2005), pada dasarnya uji ini

merupakan pengecekan terhadap penyimpangan rerata data yang dianalisis

berdasarkan distribusi terpilih. Penyimpangan tersebut diukur dari perbedaan

antara nilai probabilitas setiap varian X menurut hitungan distribusi frekuensi

teoritik (diharapkan) dan menurut hitungan dengan pendekatan empiris. Teknik

pengujiannya yaitu menguji apakah ada perbedaan yang nyata antara data yang

diamati dengan data berdasarkan hipotesis nol (H0).

Uji Chi-Square dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan

distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang

dianalisis. Parameter Xh2 merupakan variabel acak. Parameter X2 yang digunakan

dapat dihitung dengan rumus:

Xh2 =

(

)

=

n

i Ei

Ei Oi

1

2

... (12)

Dimana : Xh2 = parameter Chi-Square terhitung

G = jumlah sub kelompok

Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i

Ei = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i

(Suripin, 2004).

Cara memberikan interpretasi terhadap Chi-Square adalah dengan

menentukan df atau db (derajat kebebasan). Uji ini digunakan untuk data yang

variabelnya tidak dipengaruhi oleh varibel lain dan diasumsikan bahwa sampel

(32)

2. Uji Smirnov-Kolmogorov

Dalam statistika, uji smirnov-kolmogorov dipakai untuk membedakan dua

buah sebaran data yaitu membedakan sebaran berdasarkan data hasil pengamatan

sebenarnya dan populasi atau sampel yang diandaikan atau diharapkan. Dengan

kata lain, uji smirnov-kolmogorov menguji apakah dua sampel independen berasal

dari populasi yang sama atau dari populasi-populasi yang memiliki distribusi yang

sama. Nilai-nilai parameter populasi yang dipakai untuk menghitung frekuensi

yang diharapkan atau frekuensi teoritik ditaksir berdasarkan nilai-nilai statistik

sampel. Uji statistik ini dapat dirumuskan:

Dn = max { F0(x)-SN(x)} ………. (13)

Dimana F0(x) menyatakan sebaran frekuensi kumulatif yaitu sebaran frekuensi

teoritik berdasarkan H0. Untuk setiap harga x, F0(x) merupakan proporsi harapan

yang nilainya sama atau lebih kecil dari x. SN(x) adalah sebaran frekuensi

kumulatif dari suatu sampel sebesar N pengamatan. Uji ini menitikberatkan pada

perbedaan antara nilai selisih yang terbesar (Wikipedia, 2006).

Chakravart, et al (1967), menyatakan bahwa uji smirnov-kolmogorov

dipergunakan untuk mengambil keputusan jika sampel tidak diperoleh dari

distribusi spesifik. Tujuannya untuk menguji perbedaan distribusi kumulatif dari

variabel kontinu, sehingga merupakan test of goodness of fit. Uji

smirnov-kolmogorov (KS-tes) mencoba untuk memutuskan jika dua data berbeda secara

signifikan.

Menurut Danapriatna dan Setiawan (2005), Uji smirnov-kolmogorov

(33)

hipotesis. Uji ini ditegaskan berdasarkan H0: data mengikuti distribusi yang

ditetapkan, Ha: data tidak mengikuti distribusi yang ditetapkan.

Intensitas Curah Hujan

Perhitungan debit banjir dengan metode rasional memerlukan data

intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang

terjadi pada kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi (Loebis, 1992).

Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam.

Durasi adalah lamanya suatu kejadiaan hujan. Intensitas hujan yang tinggi

pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak

sangat luas. Hujan yang meliputi daerah yang luas, jarang sekali dengan intensitas

yang tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi

dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi yang panjang jarang terjadi, tetapi

apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit

(Sudjarwadi, 1987).

Kurva frekuensi intensitas-lamanya adalah kurva yang menunjukan

persamaan dimana t sebagai absis dan I sebagai ordinat. Kurva ini digunakan

untuk perhitungan debit puncak dengan menggunakan intensitas curah hujan yang

sebanding dengan waktu pengaliran curah hujan dari titik paling atas ke titik yang

ditinjau di bagian hilir daerah pengaliran itu (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

Analisis hubungan dua parameter hujan yang penting berupa intensitas dan

durasi dapat dihubungkan secara statistik dengan suatu frekuensi kejadiannya.

Penyajian secara grafik hubungan ini adalah berupa kurva

(34)

Sri Harto (1993), menyebutkan bahwa analisis IDF memerlukan analisis

frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman hujan. Jika

tidak tersedia waktu untuk mengamati besarnya intensitas curah hujan atau

disebabkan oleh karena alatnya tidak ada, dapat ditempuh cara-cara empiris

dengan mempergunakan rumus-rumus eksperimental seperti rumus Talbot,

Mononobe, Sherman dan Ishgura.

Menurut Loebis (1992), intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari

data curah hujan harian (mm) empiris menggunakan metode mononobe, intensitas

curah hujan (I) dalam rumus rasional dapat dihitung berdasarkan rumus :

3 / 2 24 24

24 

    =

t R

I ……… (14)

dimana: R = Curah hujan rancangan setempat (mm)

t = Lamanya curah hujan (jam)

I = Intensitas curah hujan (mm/jam)

Besar intensitas curah hujan tidak sama di segala tempat, hal ini

dipengaruhi oleh topografi, durasi dan frekuensi di tempat atau lokasi yang

bersangkutan. Ketiga hal ini dijadikan pertimbangan dalam membuat lengkung

IDF (IDF curve = Intensity-Duration Frequency Curve). Lengkung IDF ini

digunakan dalam menghitung debit puncak dengan metode rasional untuk

menentukan intensitas curah hujan rata-rata dari waktu konsentrasi yang dipilih

(Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

(35)

Menurut Suripin (2004), waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan

oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat

keluaran DAS (titik kontrol) setelah tanah menjadi jenuh. Dalam hal ini

diasumsikan bahwa jika durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi, maka setiap

bagian DAS secara serentak telah menyumbangkan aliran terhadap titik kontrol.

Salah satu metode untuk memperkirakan waktu konsentrasi adalah rumus yang

dikembangkan oleh Kirpich (1940) yang dapat ditulis sebagai berikut :

tc=

385 , 0 2

1000 87 , 0

  

xS xL

………... (15)

dimana: tc = Waktu konsentrasi dalam jam,

L = Panjang sungai dalam Km,

S = Kemiringan sungai dalam m/m.

Durasi hujan yang biasa terjadi 1-6 jam bahkan maksimum 12 jam pun

jarang terjadi. Durasi hujan sering dikaitkan dengan waktu konsentrasi sehingga

sangat berpengaruh pada besarnya debit yang masuk ke saluran atau sungai. Jika

tidak diperoleh waktu konsentrasi sama dengan intensitas hujan maka perlu

digunakan metode rasional yang dimodifikasi (Suroso, 2006).

Koefisien Limpasan

Koefisien limpasan adalah persentase jumlah air yang dapat melimpas

melalui permukaan tanah dari keseluruhan air hujan yang jatuh pada suatu daerah.

Semakin kedap suatu permukaan tanah, maka semakin tinggi nilai koefisien

(36)

kondisi tanah, laju infiltrasi, kemiringan lahan, tanaman penutup tanah dan

intensitas hujan (Eripin, 2005).

Besarnya aliran permukaan dapat menjadi kecil, terlebih bila curah hujan

tidak melebihi kapasitas infiltrasi. Selama hujan yang terjadi adalah kecil atau

sedang, aliran permukaan hanya terjadi di daerah yang impermabel dan jenuh di

dalam suatu DAS atau langsung jatuh di atas permukaan air. Apabila curah hujan

yang jatuh jumlahnya lebih besar dari jumlah air yang dibutuhkan untuk

evaporasi, intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi dan cadangan depresi, maka

barulah bisa terjadi aliran permukaan. Apabila hujan yang terjadi kecil, maka

hampir semua curah hujan yang jatuh terintersepsi oleh vegetasi yang lebat

(Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).

Pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien

aliran permukaan (C), yaitu bilangan yang menampilkan perbandingan antara

besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan. Angka koefisien aliran

permukaan itu merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik

suatu DAS. Nilai C berkisar antara 0 – 1. Nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua

air hujan terintersepsi dan terinfiltrasi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai C =

1 menunjukkan bahwa air hujan mengalir sebagai aliran permukaan. Pada DAS

yang baik harga C mendekati nol dan semakin rusak suatu DAS maka harga C

semakin mendekati satu (Kodoatie dan Syarief, 2005).

Di Indonesia penelitian untuk menentukan nilai C masih memberikan

peluang yang cukup besar sesuai jenis penggunaan lahan dan curah hujan. Tabel

diatas merupakan contoh nilai koefisien limpasan yang sesuai dengan kondisi

(37)

memilih nilai C maka tidak benar pula debit puncak banjir yang dihitung dengan

metode rasional. Setiap daerah memiliki nilai koefisien limpasan yang berbeda

(Soewarno, 2000).

[image:37.595.115.442.308.585.2]

Nilai koefisien limpasan disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Nilai Koefisien Aliran untuk Berbagai Penggunaan Lahan

Penggunaan Lahan atau Bentuk Struktur Nilai C (%)

Hutan Tropis < 3

Hutan Produksi 5

Semak Belukar 7

Sawah-sawah 15

Daerah Pertanian, Perkebunan 40

Jalan aspal 95

Daerah Permukiman 50 - 70

Bangunan Padat 70 - 90

Bangunan Terpencar 30 - 70

Atap rumah 70 - 90

Jalan tanah 13 - 50

Lapis keras kerikil batu pecah 35 - 70

Lapis keras beton 70 - 90

Taman,halaman 5 - 25

Tanah lapang, tegalan 10 - 30

Kebun, ladang 0 - 20

Sumber : Majalah Geografi Indonesia No.14-15 ( Soewarno, 2000).

Jika DAS terdiri dari berbagai macam penggunaan lahan dengan koefisien

aliran permukaan yang berbeda, maka C yang dipakai adalah koefisien DAS yang

dapat dihitung dengan persamaan berikut :

CDAS =

= = n i i n i i i A A C 1 1
(38)

dimana : Ai = luas lahan dengan jenis penutup tanah i

Ci = koefisien aliran permukaan jenis penutup tanah i

n = jumlah jenis penutup lahan.

(Suripin, 2004).

Metode Rasional

Menurut Gunawan (1991), bahwa pendugaan debit puncak dengan

menggunakan metode rasional merupakan penyederhanaan besaran-besaran

terhadap suatu proses penentuan aliran permukaan yang rumit akan tetapi metode

tersebut dianggap akurat untuk menduga aliran permukaan dalam rancang bangun

yang relatif murah, sederhana dan memberikan hasil yang dapat diterima

(reasonable).

Metode rasional adalah metode lama yang masih digunakan hingga

sekarang untuk memperkirakan debit puncak (peak discharge). Ide yang

melatarbelakangi metode rasional adalah jika curah hujan dengan intensitas I

terjadi secara terus-menerus, maka laju limpasan langsung akan bertambah sampai

mencapai waktu konsentrasi tc. Waktu konsentrasi tc tercapai ketika seluruh

bagian DAS telah memberikan konstribusi aliran di outlet. Laju masukan pada

sistem adalah hasil curah hujan dengan intensitas I pada DAS dengan luas A. Nilai

perbandingan antara laju masukan dengan laju debit puncak (Qp) yang terjadi

pada saat tc dinyatakan sebagai run off coefficient (C) dengan nilai 0≤C≤1

(39)

Rumus ini adalah rumus yang tertua dan yang terkenal di antara

rumus-rumus empiris lainnya. Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa

dengan daerah pengaliran yang luas dan juga untuk perencanaan drainase daerah

pengaliran yang relatif sempit. Metode rasional dapat dipandang sebagai salah

satu cara praktis dan mudah. Selain itu, penerapannya di Indonesia masih

memberikan peluang untuk dikembangkan. Metode ini cocok dengan kondisi

Indonesia yang beriklim tropis (Soewarno, 2000).

Bentuk umum rumus rasional ini adalah sebagai berikut :

Q = 0,278.C.I.A ... (17)

dimana: Q = Debit banjir maksimum (m3/dtk)

C = Koefisien pengaliran/limpasan

I = Intensitas curah hujan rata-rata (mm/jam)

A = Luas daerah pengaliran (km2)

Arti rumus ini dapat segera diketahui yakni, jika terjadi curah hujan

selama 1 jam dengan intensitas 1 mm/jam dalam daerah seluas 1 km2, maka debit

banjir sebesar 0,2778 m3/dtk dan melimpas selama 1 jam

(Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

Menurut Wanielista (1990), beberapa asumsi dasar untuk menggunakan

metode rasional adalah :

1. Curah hujan terjadi dengan intensitas yang tetap dalam jangka waktu

tertentu, setidaknya sama dengan waktu konsentrasi.

2. Limpasan langsung mencapai maksimum ketika durasi hujan dengan

(40)

3. Koefisien run off dianggap tetap selama durasi hujan

4. Luas DAS tidak berubah selama durasi hujan.

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Agustus 2007 di DAS Percut,

Kabupaten Deli Serdang.

Bahan dan Alat

Bahan

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data curah hujan harian selama 22 tahun terakhir (1985 – 2006) yang

diperoleh dari Bagian Penelitian Tebu Tembakau Deli (BPTTD) Sampali,

Medan.

2. Data kondisi DAS Percut yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Deli

Serdang.

3. Peta tata guna lahan kabupaten Deli Serdang.

4. Peta DAS Percut.

(41)

Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Perlengkapan kerja seperti alat tulis, kalkulator, komputer.

2. Grafik Skala logaritma.

3. Planimeter.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan data

sekunder dan peta.

Pelaksanaan Penelitian

Tahapan pelaksanaan penelitian sebagai berikut :

1. Menentukan curah hujan harian maksimum untuk tiap-tiap tahun data

dengan metode “partial series”.

2. Menentukan parameter statistik dari data yang telah diurutkan dari kecil ke

besar yaitu Mean X , Standard Deviation S, Coefisient of Variation Cv,

Coefisient of Skweness Cs, Coefisient of Kurtosis Ck.

3. Menentukan jenis distribusi yang sesuai berdasarkan parameter statistik

yang ada.

4. Lakukan pengujian Chi-square dan Smirnov-Kolmogorov untuk

mengetahui apakah distribusi yang dipilih sudah tepat.

5. Dari jenis distribusi yang terpilih dapat dihitung besaran hujan rancangan

untuk kala ulang tertentu.

6. Menentukan intensitas curah hujan harian dengan metode Mononobe

dalam kala ulang tertentu.

7. Penggambaran lengkung identitas curah hujan harian dengan kala ulang

(42)

8. Menghitung debit puncak.

Kerangka Pelaksanaan Penelitian

Pengolahan Data

1. Dilakukan penentuan parameter statistik dari data curah hujan maksimum.

Mulai Hujan harian

maksimum

Parameter statistik

Ditentukan jenis distribusi

Kurva IDF

Intensitas hujan Hitung nilai C

Dan Luas DAS

Selesai

Hujan Rencana

Ya

Tepat

Tidak

Hitung debit puncak

Uji Chi-Square dan Smirnov Kolmogorov

(43)

Prosedur :

- Dihitung nilai mean X

X = i

n

i

X n

=1

1

- Dihitung standard deviasi S

s =

(

)

2 / 1 2 1 1 1      

= X X n i n i

- Dihitung koefisien varians

Cv =

x s

- Dihitung Coefisient of Skweness Cs,

Cs =

(

)

( )( )

3 3

1

2

1 n s

n X X n i n i − − −

=

- Dihitung Coefisient of Kurtosis Ck.

Ck =

(

)

( )( )(

)

4 4 i n 1 i 2 s 3 n 2 n 1 n X X n − − − −

=

2. Penentuan pola distribusi yang tepat diantara distribusi Gumbel, distribusi

Log Normal, distribusi Log Pearson Type III dan distribusi Normal.

Rumus umum yang digunakan: XT = X + KT.S

Nilai K dapat dilihat pada Tabel K (Lampiran 3).

3. Dilakukan pengujian distribusi dengan uji Chi-Square dan Smirnov-

(44)

Hipotesis: Ho : Distribusi frekuensi hasil observasi sesuai (fit) dengan

distribusi teoritis tertentu (diharapkan).

Hi : Distribusi frekuensi hasil observasi tidak sesuai dengan

distribusi teoritis tertentu (diharapkan).

Kriteria Pengujian :

Ho diterima apabila : χ2hitung ≤ χ2(a;db)

Ho ditolak apabila : χ2hitung > χ2(a;db)

db = G-1

a. Uji Chi-Square

Adapun prosedur uji Chi-Square adalah :

− Urutkan data pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya).

− Kelompokkan data menjadi beberapa G sub-group (interval kelas).

− Ditentukan frekuensi pengamatan sebesar Oi dan frekuensi yang

diharapkan sebesar Ei untuk tiap-tiap sub-grup.

− Dihitung besarnya frekuensi untuk masing–masing sub grup

minimal 5 dengan menggunakan Tabel kurva normal (Lampiran 6).

− Pada tiap sub-group hitung nilai (Oi – Ei)2 dan

i i

E

E 2

i )

(O − .

− Jumlah seluruh G sub-grup nilai

i i

E

E 2

i )

(O −

untuk menentukan nilai

Chi-Square hitung.

− Tentukan derajat kebebasan dk = G-1. Nilai kritis untuk distribusi

(45)

b. Uji Smirnov-Kolmogorov :

Prosedur pelaksanaannya adalah :

− Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan

besarnya peluang dari masing-masing data tersebut X1 = P(X1).

− Urutkan masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran

data (persamaan distribusi) X1 = P’(X1).

− Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya antar

peluang pengamatan dengan peluang teoritis.

D = maksimum (P(Xn) – P’(Xn).

Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov test) tentukan

harga D0 (lihat Lampiran 5). Bila nilai D dan jumlah data yang

tersedia pada tabel nilai kritis D0 sesuai, maka distribusi yang

dipilih telah tepat.

4. Penentuan intensitas curah hujan harian dalam kala ulang tertentu dengan

metode mononobe:

I =

3 / 2 24 24

24 

   

t R

.

5. Penentuan debit puncak (Qp):

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi DAS Percut

Daerah Aliran Sungai (DAS) Percut merupakan salah satu kawasan di

Sumatera Utara yang kondisinya kritis atau rawan banjir. Secara geografis DAS

Percut terletak pada 03o18’- 03o40’ LU dan 98o30’ – 99o00 BT, dengan sungai

utama yang melaluinya adalah Sungai Percut. Sungai Percut ini mengalir dari

daerah hulu yang terletak di sebagian kecil kecamatan STM Hulu dan kecamatan

Sibolangit, hingga bermuara pada daerah hilir di kecamatan Percut Sei Tuan dan

kemudian terus mengalir sampai ke Selat Malaka (Pantai Timur Sumatera Utara).

Daerah pengaliran (catchment area) Sungai Percut berbentuk bulu burung

yang meliputi beberapa bagian dari kecamatan Percut Sei Tuan, Batang Kuis,

Pantai Labu, Sibolangit, Tanjung Morawa, Patumbak, Biru-biru, STM Hulu dan

STM Hilir. Tidak seluruh luasan dari masing-masing kecamatan tersebut masuk

ke dalam daerah pengaliran Sungai Percut, akan tetapi hanya beberapa bagian

(47)

Ada tiga stasiun penakar curah hujan pada DAS Percut yaitu Saentis,

Batang Kuis dan Medan Amplas. Dari ketiga stasiun penakar hujan yang ada

hanya Saentís dan Batang Kuis yang berfungsi dengan baik. Kedua stasiun

penakar hujan ini letaknya berdekatan sehingga data curah hujan untuk daerah

pengaliran Sungai Percut diwakili oleh salah satu penakar saja. Dalam hal ini

penulis menggunakan data curah hujan harian dari stasiun penakar hujan Saentis.

Data kondisi DAS Percut yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik

Kabupaten Deli Serdang adalah sebagai berikut.

Luas total daerah pengaliran Sungai Percut (A) = 276,8 km2

Lebar Maksimum sungai = 45 m

Panjang sungai Percut (L) = 70 km.

Kelerengan/kemiringan (S) = 0,02500 m

Kondisi tata guna lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Percut terdiri dari

permukiman, perkebunan, sawah, tegalan, hutan dan tambak. Permukiman di

kawasan DAS Percut dapat digolongkan pada kawasan dengan kepadatan yang

sedang, sebagian besar kawasan DAS Percut berupa kawasan pertanian, hutan dan

perkebunan. Berdasarkan peta tata guna lahan yang ada, DAS Percut dapat

dikelompokkan ke dalam beberapa penggunaan lahan yang luas masing-masing

[image:47.595.114.286.678.748.2]

lahan adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Data Penggunaan Lahan pada DAS Percut

Tata Guna Lahan Luas (km2)

Permukiman 86,8

Hutan 23,5

Sawah 38,6

(48)

Tegalan 4,2 Perkebunan

- Tebu

- Kelapa Sawit - Coklat

26,3 34,5 5,4

Tambak 2,2

Lainnya 2,7

Luas Total 276,8

Sumber : Data Primer

Dari data diatas dapat diketahui bahwa kondisi tata guna lahan pada DAS

Percut didominasi daerah pertanian dan permukiman.

Analisis Curah Hujan

Curah Hujan Harian Maksimum

Untuk mengetahui besarnya curah hujan rencana yang terjadi di daerah

pengaliran Sungai Percut, diperlukan data curah hujan harian selama beberapa

tahun terakhir pada stasiun penakar hujan yang terdekat. Data curah hujan harian

yang digunakan diperoleh dari Bagian Penelitian Tebu Tembakau Deli (BPTTD)

Sampali, Medan yang merupakan data curah hujan harian selama 22 tahun

terakhir (1985-2006), dari stasiun penakar hujan Saentís.

Data curah hujan harian yang diperoleh terlebih dahulu dianalisis untuk

mendapatkan data curah hujan harian maksimum. Penentuan data curah hujan

maksimum ini mengunakan metode partial series yang merupakan metode terbaik

dibandingkan dengan metode annual maximum series. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Suripin (2004) mengatakan bahwa metode annual maximum series

merupakan metode yang kurang realitis sebab dalam metode ini, besaran data

maksimum kedua dalam satu tahun yang mungkin lebih besar dari besaran data

(49)

analisis. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan untuk menggunakan metode

Partial Series.

Setelah dilakukan analisis, diperoleh data curah hujan harian maksimum

[image:49.595.111.442.318.501.2]

selama 22 tahun terakhir.

Tabel 4. Data Curah Hujan Harian Maksimum Tahunan Periode 1985-2006 di Stasiun Saentis.

No Rmax (mm) No Rmax (mm)

1 95 12 105

2 96 13 108

3 97 14 108

4 98 15 112

5 100 16 120

6 100 17 131

7 102 18 133

8 103 19 162

9 104 20 165

10 105 21 176

11 105 22 210

Sumber : Data Primer

Berdasarkan pada Tabel 4 di atas diperoleh bahwa curah hujan harian

maksimum tertinggi sebesar 210 mm dan curah hujan harian maksimum

terendah sebesar 95 mm.

Penentuan Pola Distribusi Hujan

Penentuan pola distribusi atau sebaran hujan dilakukan dengan

menganalisis data curah hujan harian maksimum yang diperoleh dengan

menggunakan analisis frekuensi. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai untuk

(50)

Machairiyah : Analisis Curah Hujan Untuk Pendugaan Debit Puncak Dengan Metode Rasional Pada Das Percut Kabupaten Deli Serdang, 2007.

[image:50.595.114.313.114.228.2]

USU Repository © 2008

Tabel 5. Parameter Statistik Analisis Frekuensi

Parameter Nilai

Rata-rata X = 119,7727

Simpangan baku s = 31,0329 Koefisien variasi Cv = 0,259098 Koefisien skewness Cs = 1,735077

Koefisien kurtosis Ck = 2,370905

Berdasarkan hitungan parameter statistik yang diperoleh pada Tabel 5

tersebut ditetapkan bahwa jenis distribusi yang cocok dengan sebaran data curah

hujan harian maksimum di wilayah studi adalah distribusi Log Pearson Type III

untuk menghitung curah hujan rancangan dengan berbagai kala ulang. Hal ini

ditunjukkan oleh nilai parameter statistik yang diperoleh tidak mengikuti pola

distribusi untuk ketiga metode lainnya dan penggambaran garis teoritiknya berupa

garis lengkung (dapat dilihat pada Gambar 5). Hal ini sesuai dengan pernyataan

Jayadi (2000), ciri khas statistik distribusi Log Pearson Type III adalah:

1. Jika tidak menunjukkan sifat-sifat seperti ketiga distribusi yaitu distribusi

Gumbel, Normal maupun Log Normal

2. Garis teoritis probabilitasnya berupa garis lengkung.

Penggambaran garis teoritiknya dapat dilakukan dengan melakukan

pengeplotan data secara empiris dengan metode Weibull. Pengeplotan ini

bertujuan untuk mengetahui ketepatan distribusi probabilitas dan penggambaran

garis teoritik data hidrologi. Setelah dilakukan pengeplotan, data curah hujan

maksimum digambarkan di kertas probabilitas.

100 1000

aksi

m

u

m

(51)

Uji Kecocokan (Goodness Of Fit)

Dari distribusi yang telah diketahui, maka dilakukan uji statistik untuk

mengetahui kesesuaian distribusi yang dipilih dengan hasil empiris. Pada

penelitian ini uji statistik dilakukan dengan metode Chi-Square dan Smirnov

Kolmogorov. Menurut Sri Harto (1993), setiap distribusi mempunyai sifat yang

khas, sehingga data curah hujan harus diuji kecocokannya dengan metode

Chi-Square dan Smirnov Kolmogorov. Pemilihan distribusi yang tidak benar dapat

menimbulkan kesalahan perkiraan yang cukup besar, baik over estimate maupun

[image:51.595.113.385.539.606.2]

under estimate.

Tabel 6. Hasil Uji Chi Square dan Smirnov-Kolmogorov

Uji Kecocokan Nilai Tabel Nilai Hitung

Chi-Square 3,841 1,45

Smirnov-Kolmogorov 0,282 0,0981

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa dengan uji Chi-Square diperoleh nilai

χ2

hitung < χ2tabel sedangkan Smirnov Kolmogorov diperoleh nilai Dhitung < Dtabel

sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Ho terima. Hal ini berarti bahwa

(52)

berbeda secara nyata atau dapat dinyatakan pola distribusi yang digunakan sudah

tepat yaitu distribusi Log Pearson Type III.

Curah Hujan Rencana

Berdasarkan analisis frekuensi yang dilakukan pada data curah hujan

harian maksimum diperoleh bahwa jenis distribusi yang paling cocok dengan

sebaran data curah hujan harian maksimum di daerah pengaliran Sungai Percut

adalah distribusi Log Pearson Type III. Untuk itu, data curah hujan harian

maksimum yang diperoleh diubah dalam bentuk logaritmik sehingga parameter

[image:52.595.112.327.499.622.2]

statistik berubah sesuai dengan Tabel 7 di bawah ini :

Tabel 7. Parameter Statistik Analisis Frekuensi Distribusi Log Pearson Type III

Parameter Nilai

Rata-rata X = 2,06687

Simpangan baku s = 0,09787

Koefisien variasi Cv = 0,04735

Koefisien skewness Cs = 1,426049

Koefisien kurtosis Ck = 1,057912

Setelah itu, dilakukan penghitungan curah hujan rancangan pada periode

ulang tertentu dengan persamaan Log XT = LogX + K . Ssehingga :

(53)

Berdasarkan persamaan diatas dapat dihitung hujan rancangan untuk

[image:53.595.114.442.297.578.2]

berbagai periode ulang. Hujan rancangan ini dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Hujan Rancangan Berbagai Periode Ulang

No Kala Ulang

(Tahun)

Hujan Rancangan (mm)

1 1 86,98

2 2 110,78

3 5 136,61

4 10 157,62

5 15 164,08

6 20 170,83

7 25 177,86

8 30 184,77

9 40 199,34

10 50 215,12

11 100 244,65

12 200 277,7

Intensitas Hujan

Untuk mendapatkan intensitas hujan dalam periode 1 jam dari data curah

hujan harian maksimum digunakan rumus mononobe. Hal ini disebabkan karena

data curah hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data curah hujan

(54)

Machairiyah : Analisis Curah Hujan Untuk Pendugaan Debit Puncak Dengan Metode Rasional Pada Das Percut Kabupaten Deli Serdang, 2007.

USU Repository © 2008

persamaan (14) sesuai dengan pernyataan Loebis (1992) bahwa intensitas hujan

(mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) empiris

menggunakan metode mononobe. Hasil analisis ditunjukkan dengan Tabel 9 di

bawah ini.

Hasil analisis berupa intensitas hujan dengan durasi dan periode ulang

tertentu dihubungkan ke dalam sebuah kurva Intensity Duration Frequency (IDF).

Kurva IDF menggambarkan hubungan antara dua parameter penting hujan yaitu

durasi dan intensitas hujan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk

menghitung debit puncak dengan metode rasional. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Sosrodarsono dan Takeda (2003), yang mengatakan bahwa Lengkung

Intensity Duration Frequency (IDF) ini digunakan dalam menghitung debit

puncak dengan metode rasional untuk menentukan intensitas curah hujan rata-rata

dari waktu konsentrasi yang dipilih.

Dari Tabel 9 di atas dapat dibuat kurva Intensity Duration Frequency

(IDF) seperti Gambar 6 di bawah ini.

(55)

Dari kurva Intensity Duration Frequency (IDF) terlihat bahwa intensitas

hujan yang tinggi berlangsung dengan durasi pendek. Hal ini menunjukkan bahwa

hujan deras pada umumnya berlangsung dalam waktu singkat namun hujan tidak

deras (rintik-rintik) berlangsung dalam waktu lama. Interpretasi kurva Intensity

Duration Frequency (IDF) diperlukan untuk menentukan debit banjir rencana

mempergunakan metode rasional.

Analisis Debit Banjir

Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi digunakan untuk menentukan lamanya air hujan

mengalir dari hulu sungai hingga ke tempat keluaran DAS. Waktu konsentrasi (tc)

dihitung dengan menggunakan rumus Kirpich (1940) pada persamaan (15).

Berdasarkan data panjang dan kemiringan sungai sebelumnya, diperoleh nilai

waktu konsentrasi sebesar 7,24 jam. Hal ini berarti bahwa waktu yang diperlukan

oleh air hujan untuk mengalir dari titik terjauh (hulu) sampai ke tempat keluaran

DAS (hilir) sebesar 7,24 jam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suroso (2006),

[image:55.595.115.440.415.516.2]
(56)

maksimum 12 jam pun jarang terjadi. Durasi hujan sering dikaitkan dengan waktu

konsentrasi sehingga sangat berpengaruh pada besarnya debit yang masuk ke

saluran atau sungai. Hal ini menunjukkan bahwa durasi hujan dengan intensitas

tertentu sama dengan waktu konsentrasi dapat terpenuhi sehingga metode rasional

layak digunakan untuk wilayah studi.

Koefisien Limpasan

Dalam perhitungan debit banjir menggunakan metode rasional diperlukan

data koefisien limpasan (run off coeffisient). Koefisien limpasan ini diperoleh

dengan menghitung data luasan dari masing-masing tata guna lahan yang ada.

Luasan diperoleh dengan mengukur masing-masing kondisi tata guna lahan pada

peta dengan planimeter. Penulis menghitung nilai koefisien limpasan hanya

berdasarkan pada peta tata guna lahan yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Deli Serdang. Ada kawasan-kawasan

tertentu yang sifatnya minoritas tidak terdapat di dalam peta tersebut, sehingga

tidak turut diperhitungkan dalam menentukan koefisien limpasan.

Berdasarkan pada Tabel 3 dapat dihitung nilai koefisien limpasan untuk

[image:56.595.113.426.647.747.2]

masing-masing luasan yaitu:

Tabel 10. Perhitungan Koefisien Limpasan

Tata Guna lahan C A (km2) C x A

Pemukiman 0,5 86,8 43,4

Hutan 0,03 23,5 0,705

Sawah 0,15 38,6 5,79

Perkebunan 0,4 66,2 26,48

Tegalan 0,2 4,2 0,84

(57)

Jumlah 273,9 82,675

Nilai C 0,305186

Dari Tabel 10 di atas dan dengan menggunakan persamaan (16) dapat

dihitung nilai koefisien limpasan yaitu sebesar 0,305. Dari nilai koefisien

limpasan ini dapat diketahui bahwa 0,305 dari air hujan yang turun akan melimpas

ke permukaan yang kemudian akan mengalir menuju daerah hilir.

Nilai koefisien limpasan dapat juga digunakan untuk menentukan kondisi fisik

dari suatu DAS. Dari nilai koefisien limpasan sebesar 0,305 maka dapat

dinyatakan bahwa DAS Percut memiliki kondisi fisik yang baik. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Kodoatie dan Syarief (2005), yang mengatakan bahwa

angka koefisien aliran permukaan itu merupakan salah satu indikator untuk

menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisar antara 0 – 1. Nilai C = 0

menunjukkan bahwa semua air hujan terintersepsi dan terinfiltrasi ke dalam

tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1 menunjukkan bahwa air hujan mengalir

sebagai aliran permukaan. Pada DAS yang baik harga C mendekati nol dan

semakin rusak suatu DAS maka harga C semakin mendekati satu.

Perubahan tata guna lahan yang terjadi secara langsung mempengaruhi debit

puncak (banjir) yang terjadi pada suatu DAS. Kondisi fisik DAS Percut

sekarang harus terus dilestarikan, perkembangan dan kemajuan suatu daerah

yang terus meningkat harus disertai dengan upaya peningkatan pelestarian

lingkungan agar nilai koefisien limpasan tidak meningkat secara drastis.

(58)

Berdasarkan berbagai data yang telah diperoleh di atas maka dapat

dihitung debit puncak Sungai Percut dengan metode rasional sesuai persamaan

(17) untuk berbagai kala ulang tertentu. Lama hujan dengan intensitas tertentu

sama dengan waktu konsentrasi. Untuk itu, penulis melakukan interpolasi

terhadap data intensitas hujan jam-jaman sehingga diperoleh data yang terlihat

[image:58.595.111.442.295.508.2]

pada Tabel 11.

Tabel 11. Debit Puncak (banjir) di DAS Percut

Kala Ulang (tahun)

Intensitas Hujan (mm/jam)

Debit Puncak (m3/detik)

1 8,18 192,05

2 10,42 244,68

5 12,84 301,57

10 14,82 348,03

15 15,55 365,16

20 16,06 377,18

25 16,69 391,93

30 17,37 407,91

40 18,74 440,15

50 20,23 475,00

100 23,00 540,17

200 26,11 613,24

Berdasarkan perhitungan di atas dapat dinyatakan bahwapada kala ulang 1

tahun selama durasi hujan (waktu konsentrasi) 7,24 jam dengan intensitas hujan

8,18 mm/jam seluas 276,8 km2 maka debit puncak yang diperoleh pada DAS

Percut sebesar 192,05 m3/detik. Debit puncak yang diperoleh dapat dijadikan

sebagai bahan dasar untuk perencanaan bangunan pengendali banjir, dimana

dibangun suatu bangunan pengendali banjir yang dapat menampung debit puncak

suatu aliran air sehingga dapat menghemat biaya dan waktu dalam pelaksanaan

(59)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pola distribusi yang tepat untuk DAS Percut adalah distribusi Log Pearson

Type III.

2. Hujan rancangan berbagai periode ulang 1, 2, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 40, 50,

100, 200 tahun adalah sebesar 86,98 mm/jam; 110,78 mm/jam; 136,61

mm/jam; 157,62 mm/jam; 164,08 mm/jam; 170,83 mm/jam; 177,86

mm/jam; 184,77 mm/jam; 199,34 mm/jam; 215,12 mm/jam; 244,65

mm/jam dan 277,7 mm/jam.

3. Waktu yang diperlukan oleh hari

Gambar

Tabel Distribusi Normal  ............................................................
Gambar 2. Berbagai macam bentuk DAS.
Tabel 1. Parameter Statistik Analisis Frekuensi
Gambar 3. Kurva distribusi frekuensi normal
+7

Referensi

Dokumen terkait

1. Untuk Mengetahui Pola Distribusi Frekuensi yang Tepat pada DAS Besitang dan Lepan 2. Untuk Menghitung Debit Puncak Aliran Sungai pada DAS Besitang dan Lepan dengan

Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi peluang curah hujan maksimum harian, 2-harian dan 3-harian serta debit harian maksimum dan minimum pada periode ulang 5,

Hal ini sesuai dengan pernyataan Sosrodarsono dan Takeda (2003), yang mengatakan bahwa Lengkung Intensity Duration Frequency (IDF) ini digunakan dalam menghitung debit puncak

Selanjutnya dilakukan analisis curah hujan Maksimum Harian Rata-rata, perhitungan curah hujan maksimum harian rata-rata pada daerah aliran sungai Way Yori dapat dilakukan

Sehingga dari hasil perhitungan data di atas yang didasarkan pada data curah hujan maksimum dan minimum, dapat dihitung debit maksimum dan debit minimum pada

bulan Desember, curah hujan maksimum rata- rata bulanan sebesar 80 mm, sedangkan pada puncak hujan kedua bulan April 60 mm. Pada saat musim kemarau curah hujan

Analisis curah hujan maksimum harian rata-rata wilayah dilakukan dengan menggunakan metode Thiessen memperhitungkan luas wilayah yang diwakili oleh stasiun tersebut untuk

Bapak Syahril Moenir dan keluarga selaku Paman Penulis yang telah banyak memberikan nasehat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir