• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI IMPLEMENTASI PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG SEBAGAI MEDIA PENGUATAN DEMOKRASI DI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI IMPLEMENTASI PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG SEBAGAI MEDIA PENGUATAN DEMOKRASI DI DAERAH"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI IMPLEMENTASI PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG SEBAGAI MEDIA PENGUATAN DEMOKRASI DI DAERAH (STUDI

KASUS : KABUPATEN SUKOHARJO).

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum Kebijakan Publik

Oleh :

Didik Setyo Wahyudi S. 3203004

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

STUDI IMPLEMENTASI PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG SEBAGAI MEDIA PENGUATAN DEMOKRASI DI DAERAH (STUDI

KASUS : KABUPATEN SUKOHARJO).

Disusun Oleh : Didik Setyo Wahyudi

S. 3203004

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dosen Pembimbing:

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Pembimbing I Dr. Jamal Wiwoho, SH, MH ……… ………. NIP. 131 658 560

Pembimbing II R. Ginting, SH, MH ……… . ……… NIP. 131 411 015

Mengetahui,

Ketua Program Ilmu Hukum

(3)

PERNYATAAN

Nama : Didik Setyo Wahyudi NIM : S. 3203004

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul : STUDI

IMPLEMENTASI PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG

SEBAGAI MEDIA PENGUATAN DEMOKRASI DI DAERAH (STUDI KASUS : KABUPATEN SUKOHARJO) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesisi tersebut.

Surakarta, 23 Januari 2008 Yang membuat pernyataan

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “STUDI

IMPLEMENTASI PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG

SEBAGAI MEDIA PENGUATAN DEMOKRASI DI DAERAH (STUDI KASUS : KABUPATEN SUKOHARJO)”.

Tesis ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai derajat Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih sangat jauh dari sempurna, berhubung dengan keterbatasan-keterbatasan yang penulis miliki. Walaupun demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar tesis ini bisa bermanfaat.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka penyelesaian penyusunan tesis ini, terutama kepada :

1. Prof. Drs. Haris Mudjiman, MA, Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(5)

3. Bapak Widodo Tresno Novianto, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Bapak Dr. Jamal Wiwoho, SH, MH, selaku Pembimbing Pertama yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis.

5. Bapak Rehnalemken Ginting, SH, MH, selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis.

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis selama menempuh kuliah di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 7. Seluruh Staf Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

telah banyak membantu penulis selama kuliah di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

8. Bapak Guntur, Bapak Dwi Jatmiko, Bapak Bimawan, Bapak Priyono, Bapak Khomsun, Bapak Wahyono, dan Bapak dari Pejabat Pemerintah Kabupaten Sukoharjo yang tidak bersedia disebutkan namanya, atas kesediaannya semuanya menjadi informan penulis.

9. Orang tua penulis yang telah dengan sabar memberikan kesempatan penulis dalam menempuh pendidikan.

10.Adik kandung penulis yang telah mendorong penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini.

(6)

12.Saudara-saudara penulis yang selalu bertanya kapan S2 nya selesai, sehingga memotivasi penulis untuk segera menyelesaikannya.

13.Teman-teman kuliah Pascasarjana atas bantuannya sehingga memperlancar penulis dalam menempuh kuliah S2.

14.Teman-teman Bancaan, khususnya Joko yang telah membantu penulisan tesis ini.

Akhirnya penulis berharap semoga karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, 23 Januari 2008 Penulis

Didik Setyo Wahyudi

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN TIM PEMBIMBING ... ii

PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iii

PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... viii

ABSTRAK... x

ABSTRACT... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Penelitian Yang Relevan... 7

BAB II KERANGKA TEORI A. Kajian Teori ... 8

1. Bekerjanya Hukum ... 8

2. Pengertian Demokrasi ... 19

3. Hukum Kebijakan Publik... 31

(8)

5. Pemilihan Kepala Daerah Langsung... 49

B. Kerangka Pemikiran... 55

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 57

B. Lokasi Penelitian... 59

C. Metode Penentuan Sampel... 59

D. Teknik Pengumpulan Data... 60

E. Teknik Analisis Data... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 64

A. Kondisi Umum Kabupaten Sukoharjo ... 64

B. Mengamati Implementasi Pilkada Langsung... 66

2. Pembahasan... 78

A. Kesesuaian Pelaksanaan Pilkada Langsung dengan Nilai-nilai Demokrasi... 78

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pilkada Langsung... 92

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 106

B. Implikasi ... 107

C. Saran ... 108

(9)

ABSTRAK

Didik Setyo Wahyudi, S. 3203004. “STUDI IMPLEMENTASI PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG SEBAGAI MEDIA PENGUATAN

DEMOKRASI DI DAERAH (STUDI KASUS : KABUPATEN

SUKOHARJO)”.

Tesis : Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum non doktrinal. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum dengan analisis kualitatif. Konsep hukum yang digunakan adalah hukum sebagai institusi nasional yang riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan bermasyarakat, baik dalam proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses-proses pengarahan dan pembentukan pola perilaku yang baik. Konsep lainnya adalah hukum sebagai makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasi dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Sukoharjo. Pengambilan sampelnya menggunakan teknik

purposive sampling, yaitu penarikan sampel yang dipilih secara khusus dan sengaja berdasarkan kriteria tertentu oleh peneliti itu sendiri untuk mendapatkan karakteristik tertentu, sesuai dengan tujuan dilakukannya penelitian. Sumber data penelitian meliputi Data Primer dan Data Sekunder. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan model analisis data interaktif.

Setelah analisis hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung (pilkada langsung) di Kabupaten Sukoharjo belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai demokrasi.

Money politics masih saja menjadi variabel yang sangat berpengaruh dari setiap tradisi pemilihan. Contoh pelanggaran lain terhadap nilai demokrasi adalah adanya tindakan-tindakan intimidasi, keberpihakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap para calon.

Budaya politik menjadi faktor yang sangat mempengaruhi kualitas pilkada langsung. Tradisi masyarakat yang memilih calon pemimpinnya karena faktor uang menyuburkan praktek money politics. Calon pemimpin pun menghalalkan segala cara dengan menggunakan uang untuk mempengaruhi pilihan masyarakat. Faktor yang juga menentukan adalah keberadaan birokrasi. Birokrasi sangat potensial didekati kekuatan politik tertentu agar mendukung salah satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Faktor lainnya adalah perangkat hukum dan penegakannya yang lemah terhadap para pelanggarnya. Untuk meningkatkan kualitas pilkada langsung diperlukan perubahan paradigma bahwa

(10)

ABSTRACT

Didik Setyo Wahyudi. S. 3203004. "IMPLEMENTATION Of ELECTION REGIONAL DIRECT LEADER AS MEDIA REINFORCEMENT DEMOCRATIZE IN AREA (CASE STUDY : SUB-PROVINCE SUKOHARJO)".

Thesis : Justice Study Graduation Program Sebelas Maret University.

This study including type punish non doktrinal research. The method of research is punish method with qualitative analysis. Qualitative method is one way of research which meant to give data as accurately about human being, other symptoms and situation. The law concept is the functional and real national institution in life system go into society, goodness in course and orderliness solution of dispute and also in guidance processs and forming of good behavior pattern. The other concept is punish as symbolic meanings as manifestation in and from action and society citizen interaction. The location Research conducted in Sub-Province Sukoharjo. This intake use purposive sampling technique, that is withdrawal of selected sampel peculiarly and intend pursuant to certain criterion by researcher to get certain characteristic, in line conducting of research. Source of data research are Primary Data and Sekunder Data. Data Secunder consist of materials punish primary, materials punish sekunder, tertiary law materials. Technique analyse data use technique analyse data qualitative with model analyse data interaktif.

After analysis can be concluded that execution of regional leader election and direct regional leader proxy (direct election) in Sub-Province Sukoharjo not yet fully expressed democracy. Money Politics still become variable which is very have an effect of election tradition. Follow the example of other collision to value democratize is the existence of intimidation action, the siding of Public Servant Civil ( PNS) to all candidate.

Political culture become factor which is very influence to the quality of direct eclection. Society tradition chosening leader candidate because money is the factor that fertilized money politics practice. Leader candidate also permit all way by using money to influence society choice. The Factor which signifikan influence the quality of direct election is Commission General Election Area (KPUD) and Committee Supervisor Pilkada (Panwas). Both of this institution is direct related with pilkada execution. Factor which also determine is existence of bureaucracy. Bureaucracy is potential come near by certain political strength so that supporting one of the regional leader candidate couple and regional leader proxy. Factor which is important also is role of political party. Political party represent vehicle of politics which can be used by regional leader couple candidate and regional leader proxy to go forward in pilkada.

(11)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejatuhan Presiden Soeharto oleh Gerakan Mahasiswa 98 menandakan kegagalan pemerintahan Orde Baru. Pola pemerintahan yang sentralisme menyisakan berbagai persoalan yang berujung pada tuntutan reformasi. Pengelolaan pemerintahan yang terpusat menghasilkan ketergantungan daerah-daerah ke pusat, yang berjalan beriringan dengan hilangnya kemandirian daerah-daerah, dominannya instruksi pusat yang dibarengi dengan matinya inisiatif daerah; terjadinya uniformitas secara eksesif yang berjalan bersisian dengan memudarnya kemajemukan dan marginalisasi kultur dan nilai-nilai daerah; terjadinya eksploitasi sumber daya daerah secara eksesif demi kepentingan pusat yang berjalan bersamaan dengan terjadinya kemunduran kehidupan sosial-ekonomi daerah; dan lain sebagainya (Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, 2000 ; 17).

(12)

bersedia sharing power dengan masyarakat dalam pengambilan kebijakan ( Andrik Purwasito, 2001 ; 31). Sehingga tuntutan Otonomi Daerah menjadi bagian sangat penting dari gerakan reformasi untuk mengembalikan kedaulatan rakyat di daerah.

Otonomi Daerah memberikan peluang yang cukup luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus ‘rumah tangga’ sendiri, misalnya untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Keleluasaan yang bertanggung jawab (terhadap publik) merupakan salah satu esensi otonomi daerah yang sangat penting. Salah satu butir penting lain dari perkembangan awal otonomi daerah adalah daerah memiliki kewenangan menentukan sendiri kepala daerahnya melalui pemilihan di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Hal positif berikutnya adalah bahwa checks and balances antara Kepala Daerah dengan DPRD sangatlah nampak. Pengawasan politik oleh DPRD terhadap kepala daerah cukup ketat (Abdul Gaffar Karim, 2003 ; 74).

(13)

‘pungli’/pungutan liar di bidang perijinan di birokrasi di daerah-daerah. (Abdul Gaffar Karim, 2003 ; 98-99).

Termasuk dalam kasus politik uang adalah ketika proses pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Mekanismenya, calon memberi uang pada anggota DPRD untuk memilihnya. Karena jumlah anggota DPRD sedikit, maka kontrol terhadap penerima uang tadi sangat mudah. Faktor inilah yang kemudian menjadi salah satu pendorong tuntutan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat. Melalui pilkada secara langsung kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat. Rakyat menjadi penentu akhir siapakah pemimpin yang akan mendapatkan kepercayaan. Dengan pilkada langsung oleh rakyat berarti cara pemilihan kepemimpinan dari tingkat presiden sampai kepala desa sudah sejalan.

(14)

Gagasan utama dari Pilkadal memang ideal, dimana rakyat di tingkat lokal dapat berpartisipasi menentukan sendiri pimpinan daerahnya. Dengan cara ini maka cara pengangkatan oleh orang pusat seperti zaman sebelumnya akan berakhir. Pilkadal juga dilihat secara pesimisme. “Alat-alat politik partisipatoris rakyat” di tingkat lokal sama sekali tidak siap dalam pertarungan elektoral pilkadal. Akibatnya ruang pilkadal lebih sigap diambil alih dan dikuasai oleh “alat-alat dan struktur politik” partai mainstream yang mempunyai dukungan birokrasi dan logistik yang tak terbatas dan memang disiapkan untuk momentum politik elektoral (Wacana, 2005 ; 4 ).

Pilkada langsung telah berjalan di banyak tempat. Sebagai sebuah pengalaman baru mestinya banyak catatan-catatan evaluasinya. Harapan untuk meningkatkan kualitas demokrasi lokal mungkin tidak bisa langsung dipenuhi. Keinginan untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas mungkin juga belum bisa didapatkan. Perlu waktu dan perbaikan-perbaikan di dalamnya sehingga pilkada langsung bisa menjadi sarana perbaikan kehidupan masyarakat daerah. Dalam rangka itulah peneliti ingin meneliti tentang bagaimana pelaksanaan pilkada langsung di Kabupaten Sukoharjo.

(15)

KPU untuk menunda penetapan rekapitulasi perhitungan suara (SOLOPOS, 7 Juli 2005). Calon bupati-wakil bupati Bambang Margono-Pardjoko juga menggugat KPU Kabupaten Sukoharjo. Mereka menuntut pembatalan pilkada Sukoharjo dengan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Sukoharjo (RADAR SOLO, 10 Juli 2005). Pasangan lain Sugeng Purwoko-Tjipto Subadi juga menggugat KPU Kabupaten Sukoharjo. Sugeng-Tjipto menggugat Surat Keputusan KPU No.19/05 tentang penetapan hasil perolehan pilkada Sukoharjo (RADAR SOLO, 12 Juli 2005).

Pendukung pasangan Bambang Riyanto-Mohammad Toha yang memenangi pilkada menduga calon bupati-wakil bupati yang kalah berada di balik berbagai aksi demonstrasi. Mereka juga mengancam akan mengerahkan massa untuk melakukan aksi tandingan. Suasana memanas juga terjadi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Saat DPRD menggelar rapat panitia musyawarah (panmus) untuk menetapkan jadwal pelantikan terjadi perbedaan pendapat antar anggota panmus hingga berakhir deadlock. Permasalahan tersebut akhirnya diserahkan ke Gubernur (RADAR SOLO, 1 September 2005).

(16)

tiga orang lurah desa, yang diduga melakukan pelanggaran netralitas PNS. Ketiga pejabat struktural tersebut adalah Indra Surya, Bachtiar Yunan, dan Rusmanto (SOLOPOS, 30 Juni 2005).

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengemukakan permasalahan sebagai berikut :

1). Apakah pelaksanaan pilkada langsung di Kabupaten Sukoharjo sudah mencerminkan nilai-nilai demokrasi ?

2). Faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas pelaksanaan pilkada langsung di Kabupaten Sukoharjo ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung di Kabupaten Sukoharjo sudah mencerminkan nilai-nilai demokrasi. b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas

pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung di Kabupaten Sukoharjo. D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

(17)

2. Manfaat Praktis

(18)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Kajian Teori

1. Bekerjanya Hukum

Berbicara tentang hukum jauh lebih luas dari hanya sekedar membicarakan undang-undang, perundang-undangan atau peraturan tertulis lainnya. Hukum mempunyai begitu banyak aspek dan terdiri dari jauh lebih banyak komponen atau unsur yang lain, seperti misalnya filsafat hukum, sumber hukum, kaedah hukum, yurisprudensi, hukum kebiasaan, penegakan hukum, pelayanan hukum, profesi hukum, lembaga hukum, pranata hukum, prosedur dan mekanisme hukum, hukum acara, pendidikan hukum, perilaku hukum masyarakat maupun pejabat hukum, atau perilaku profesi hukum, kesadaran hukum, dan sebagainya. Semua itulah yang membangun sistem hukum, yaitu hubungan dan kaitan pengaruh mempengaruhi satu sama lain antara berbagai komponen atau unsur yang disebut di atas tadi (Sunaryati Hartono, 1991 ; 38).

(19)

serta benar-benar diberlakukan secara nyata oleh warga masyarakat (sebagai satu keseluruhan, meskipun mungkin dilanggar oleh warga tertentu secara individual) dalam kehidupannya, dan jika dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang bersifat eksternal bagi pelanggarnya (Achmad Ali, 2002 ; 52).

Dragan Milovanovich menjelaskan tentang model hukum yang disebutnya dengan model jurisprudensi dan model sosiologi. Model jurisprudensi menjelaskan tentang :

a. Sistem aturan-aturan tertulis yang ada, ditetapkan dalam bentuk terkodifikasi oleh negara (statutory and case law);

b. Sistematisasi mereka yang sedang berlangsung menjadi suatu badan hukum yang relevan oleh beberapa prinsip justifikasi yang koordinatif; c. Aplikasi wacana hukum doktrin yang disusun oleh suatu struktur

morphologi yang relevan (arti kata) dan struktur sintaksis (kontruksi linier naratif dan teks) untuk melakukan pertimbangan hukum yang “benar”;

(20)

e. Bagaimana semua konflik dapat dimasukkan (self-referencing) terhadap beberapa postulat absolut yang memberikan badan dari premis dan kriteria inti bagi penyelesaian yang benar perbedaan-perbedaan dalam sistem formal yang self-regulating (homeostatis). Adapun model sosiologi, sebaliknya adalah ilmu tentang :

a. Evolusi, stabilisasi, fungsi dan pembenaran bentuk-bentuk kontrol sosial;

b. Bentuk-bentuk pemikiran dan pemahaman hukum jika dihubungkan dengan aturan/tatanan ekonomi politik tertentu;

c. Prinsip-prinsip legitimasi dan pengaruh-pengaruh yang berevolusi dengan pengaruh dan prinsip;

d. “Penyebab” perkembangan bentuk kontrol sosial dari staf dan spesialis yang merupakan promotornya;

e. Transmisi metode pemahaman hukum yang “benar”;

f. Penciptaan subyek yuridis dengan hak-hak formal, abstrak dan universal (Otje Salman S dan Anton F. Susanto, 2005 ; 51-52).

Kajian terhadap hukum dapat dibedakan ke dalam beberapa pandangan. Di antara pandangan-pandangan itu, diuraikan berikut :

1). Kajian Normatif

(21)

hukum antara lain : Ilmu Hukum Pidana Positif, dan Ilmu Hukum Tata Negara Positif. Dengan perkataan lain, kajian normatif mengkaji law in books.

2). Kajian Filosofis

Kajian filosofis merupakan kajian yang memandang hukum sebagai seperangkat nilai ideal, yang seyogianya senantiasa menjadi rujukan dalam setiap pembentukan, pengaturan, dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian filosofis sifatnya ideal. Kajian ini diperankan oleh kajian Filsafat Hukum. Dengan perkataan lain, kajian filsafat hukum itu mengkaji law in ideas.

3). Kajian yang Empiris

Kajian empiris adalah kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur, dan lain-lain. Kajian ini bersifat deskriptif. Kajian-kajian empiris antara lain : Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, dan Psikologi Hukum. Dengan perkataan lain, kajian empiris mengkaji law in action ( Achmad Ali, 2002 ; 3-4).

(22)

tersebut. Memang, dalam suatu lalu-lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tersebut hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak (Satjipto Rahardjo, 1982 ; 53). Sehingga hukum berfungsi sebagai institusi sosial. Maka pengertian hukum tidak hanya sekedar suatu sistem peraturan belaka.

Menurut Soerjono Soekanto, norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai kedamaian didalam kehidupan bersama, dimana kedamaian berarti suatu keserasian antara ketertiban dengan ketentraman atau keserasian antara keterikatan dengan kebebasan. Manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup bersama dengan sesamanya, memerlukan perangkat patokan, agar supaya tidak terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai keteraturan tersebut. Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan pedoman untuk berperilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu pandangan menilai yang sekaligus merupakan suatu harapan. Patokan-patokan untuk berperilaku pantas tersebut, kemudian dikenal dengan sebutan norma atau kaidah (Soerjono Soekanto, 1993 : 1-2).

(23)

seperti dalam ilmu-ilmu alam. Prosesnya akan berlangsung cukup panjang dan efek yang ditimbulkannya bisa merupakan efek yang sifatnya berantai. Dalam keadaan yang demikian ini, maka hukum bisa digolongkan ke dalam faktor penggerak mula, yaitu yang memberikan dorongan pertama secara sistemik (Satjipto Rahardjo, 1982 ; 209).

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, hukum harus menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Dalam garis besarnya aktivitas tersebut berupa pembuatan hukum atau lebih dikenal dengan pembuatan undang-undang dan penegakan hukum.

Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses hukum. Ia merupakan momentum yang memisahkan keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Setelah berakhirnya pembuatan hukum, tahapan berikutnya adalah pelaksanaannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Inilah yang dimaksud dengan

penegakan hukum (Satjipto Rahardjo, 1982 ; 176,181).

Lawrence Meir Friedman mengemukakan Tiga Unsur Sistem Hukum (Three Elements of Legal System) yang mempengaruhi bekerjanya penegakan hukum, yaitu :

(24)

Menurut Friedman, komponen struktural yaitu bagian yang bergerak di dalam mekanisme. Misalnya di dalam lembaga peradilan strukturnya membedakan pengadilan umum, pengadilan administrasi, pengadilan agama, dan pengadilan militer, dengan pembagian kompetensi masing-masing. Komponen struktural ini diharapkan untuk melihat bagaimana hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur (Sidik Sunaryo, 2004 ; 15).

Komponen substansi menurut Friedman adalah ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukum, yang tertulis dan tidak tertulis. Setiap keputusan adalah produk substansi dari sistem hukum, misal setiap keputusan yang mengandung doktrin, keputusan pengadilan, keputusan pembuat undang-undang, dan keputusan yang dikeluarkan oleh badan-badan pemerintahan (Sidik Sunaryo, 2004 ; 15).

Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau yang menurut Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat (Esmi Warassih, 2005 ; 30).

(25)

system” (“ system space” ) yang diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama, atau lembaga-lembaga lainnya yang berlainan-lainan di sembarang waktu dalam sejarah masyarakat (Daniel S. Lev, 1990 ; 119).

Kultur hukum substantif terdiri dari anggapan dasar mengenai distribusi dan penggunaan sumberdaya dalam masyarakat, benar dan salah di segi sosial, dan sebagainya. Karena anggapan-anggapan ini ubah dari waktu ke waktu, karena masyarakat itu sendiri pun berubah- berubah-ubah, konsep kultur hukum substantif memerlukan unsur yang dinamis. Keperluan tersebut dipenuhi dengan konsepsi tema ideologi dalam gagasan-gagasan ekonomi, sosial, dan politik yang, karena kesemua gagasan tersebut berubah sedikit banyak cukup cepat, maka ia tercermin dalam perilaku hukum substantif (Daniel S. Lev, 1990 ; 120).

Lawrence M. Friedman menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai berikut :

a. Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin.

b. Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu.

c. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.

(26)

diletakkannya pada delapan asas yang dinamakannya principles of legality, yaitu :

1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-pertauran. Maksudnya disini adalah, bahwa ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan secara berlaku surut merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.

4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.

5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari (Satjipto Rahardjo, 1982 ; 51).

(27)

lingkungannya seperti faktor ekonomi, faktor politik, faktor sosial, faktor kultur, faktor agama, dan sebagainya. Selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Talcott Parsons yang memandang sistem hukum hanya satu di antara subsistem yang terdapat dalam setiap masyarakat. Selain sistem hukum, masih terdapat subsistem lain yaitu keluarga, sistem pendidikan, pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial serta ekonomi dan kondisi lingkungan (Achmad Ali, 2002 ; 54-55).

Paul dan Dias mengajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu :

1. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami.

2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan.

3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.

4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa (Sidik Sunaryo, 2004 ; 14).

Parsons mengemukakan empat hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu agar sistem hukum dapat berfungsi dengan baik, yaitu :

(28)

2. Masalah interpretasi (yang akan menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses penerapan aturan tertentu);

3. Masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya);

4. Masalah yurisdiksi (menetapkan garis kewenangan yang kuasa menegakkan norma hukum, dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu) (Otje Salman S dan Anton F. Susanto, 2005 ; 155).

Peranan kekuatan sosial sangat berpengaruh terhadap lembaga-lembaga hukum. Hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak bisa hanya dimonopoli oleh hukum. Tingkah laku rakyat tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan sosial lainnya. Chambliss dan Seidman melukiskannya sebagai berikut (Satjipto Rahardjo, 1982 ; 20-21) :

Semua kekuatan sosial dan pribadi

Norma Norma

Kegiatan

penerapan sanksi Semua kekuatan

sosial dan pribadi

Bagan Chambliss & Seidman yang diadaptasi. Lembaga – lembaga

pembuat hukum

Lembaga – lembaga

(29)

2. Pengertian Demokrasi

Kebanyakan orang mungkin sudah terbiasa dengan kata demokrasi. Tapi demokrasi adalah konsep yang masih disalahpahami dan disalahgunakan manakala rezim-rezim totaliter dan diktator militer berusaha memperoleh dukungan rakyat dengan menempelkan label demokrasi pada diri mereka sendiri. Menurut kamus, demokrasi adalah “pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas (United States Information Agency, 1991 ; 4).”

Konsep demokrasi, meskipun dapat ditelusuri jauh ke belakang sampai pada zaman Yunani, telah mengalami pertumbuhan secara signifikan pada masa kebangunan kembali Eropa menuju abad pencerahan. Pada masa itu muncul pemikiran-pemikiran besar tentang relasi antara penguasa dengan rakyat, atau negara dan masyarakat menurut konsep kontemporer. Pemikiran-pemikiran yang berkembang telah memberikan kontribusi berharga bagi upaya untuk mendefinisikan kembali dan juga aktualisasi istilah dan konsep demokrasi (Anas Urbaningrum, 2004 ; 17).

(30)

demokrasi, yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”. (Kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa) (Miriam Budiardjo, 1989 ; 50).

Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi keduanya tidak sama. Demokrasi tidak hanya seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tapi juga mencakup seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Dalam demokrasi, pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi, partai politik, organisasi, dan asosiasi (United States Information Agency, 1991 ; 5).

Demokrasi merupakan istilah yang sarat dengan makna dan tafsir. Satu hal yang tidak diragukan adalah maknanya yang berkaitan erat dengan sistem sosial pendukungnya dan sistem politik atau rezim yang menggunakannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa disamping mengandung unsur-unsur yang universal (common denominator), demokrasi juga mengandung muatan-muatan kontekstual yang melekat pada sistem sosial dan sistem politik tertentu (cultural relativism). Bahkan, sering dikatakan bahwa barangkali tidak ada suatu kata yang mempunyai banyak makna kecuali demokrasi (A. Makmur Makka, ed., 2002 ; viii).

(31)

machinary), tetapi juga mengandung pandangan hidup (way of living) suatu masyarakat. Tinggi rendahnya standar demokrasi bergantung pada berbagai faktor pendukung seperti tingkat kemajuan sosial ekonomi, kualitas dan kuantitas golongan menengah, kualitas kepemimpinan, dan sebagainya (A. Makmur Makka, ed., 2002 ; viii).

Demokrasi tumbuh sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Semakin tinggi tingkat kompleksitas masyarakat, maka akan semakin kompleks pula demokrasi didefinisikan. Salah satu hasil akomodasi pendefinisian demokrasi terhadap perkembangan masyarakat adalah semakin tergesernya kriteria partisipasi langsung rakyat dalam formulasi kebijakan oleh model tak langsung atau perwakilan. Selain itu juga terjadi pada penempatan posisi dan peran penguasa atau negara yang bergeser dari posisi dan peran “penjaga malam” atau “pemadam kebakaran” ke arah posisi dan peran yang lebih besar dan menentukan (Anas Urbaningrum, 2004 ; 18).

(32)

kompetitif. Bahkan, negara yang paling otoriter sekalipun akan menyatakan dirinya sebagai negara demokratis.

Itulah sebabnya perlu dikembangkan tolok ukur yang obyektif dan dapat dijadikan parameter untuk menilai atau mengaudit kualitas demokrasi di suatu negara. Auditing tool yang dinamakan indeks demokrasi (index of democrazy) itu terdiri dari 4 indeks utama (core index) yang masing-masing dapat dijabarkan lebih lanjut dalam sub-index. Empat indeks utama tersebut adalah :

(1) Adanya sistem pemilihan yang jujur dan adil (free and fair elections); (2) Adanya pemerintahan yang terbuka, akuntabel, dan responsif (open,

accountable, and responsive government);

(3) Adanya promosi dan perlindungan HAM yang berkelanjutan, terutama hak-hak sipil dan politik; dan

(4) Adanya masyarakat demokratis dalam bentuk civil society maupun lembaga-lembaga politik yang merefleksikan adanya masyarakat yang percaya diri (a society of self-confident citizens) (A. Makmur Makka, ed., 2002 ; ix).

(33)

kebebasan persuratkabaran (pers), kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama, (6) ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7) mengindahkan fatsoen atau tata krama politik, (8) kebebasan individu, (9) semangat kerjasama, dan (10) hak untuk protes.

Menurut Henry B. Mayo, memperinci bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai, dengan catatan bahwa perincian ini tidak berarti setiap masyarakat demokratis menganut semua nilai yang diperinci itu, bergantung kepada perkembangan sejarah serta budaya politik masing-masing. Nilai-nilai tersebut adalah:

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga

(institutionalized peaceful settlement of conflict).

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing society).

3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rulers).

4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of coercion).

5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku.

(34)

Afan Gaffar dan kawan-kawan mengutip pendapat Robert Dahl, Samuel Huntington (1993) mengatakan, parameter untuk mengamati terwujudnya demokrasi antara lain :

1). Pemilihan Umum

Rekrutmen jabatan politik atau publik harus dilakukan dengan pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan secara teratur dengan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur dan adil.

2). Rotasi Kekuasaan

Rotasi kekuasaan mengandaikan bahwa kekuasaan atau jabatan politik tidak boleh dan tidak bisa dipegang terus-menerus oleh seseorang, seperti dalam sistem monarkhi.

3). Rekrutmen Terbuka

Demokrasi membuka peluang untuk mengadakan kompetisi karena semua orang atau kelompok mempunyai hak dan peluang yang sama. 4). Akuntabilitas Publik

Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertanggungjawabkan kepada publik apa yang dilakukan baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat publik (Joko J. Prihatmoko, 2005 ; 35-36).

(35)

kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib dan damai, dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif. (2) Adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan. (3) Persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law

tanpa membedakan kedudukan politik. (4) Adanya pemilihan yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan yang efektif. (5) Diberinya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perseorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa. (6) Adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan pandangannya betapapun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu. (7) Dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan lebih mengutamakan pengunaan cara-cara persuasi dan diskusi daripada koersi dan represi (Miriam Budiardjo, ed., 1982 ; 86-87).

Definisi operasional demokrasi dapat diajukan sebagai sebuah praktik politik demokrasi (Eep Saefulloh Fatah, 1994 ; 12-13).

(36)

politik dan tidak ada pula eksklusivitas dalam formulasi kebijakan-kebijakan politik.

Kedua, sirkulasi kepemimpinan politik secara efektif dan kompetitif. Praktik demokrasi mensyaratkan adanya jaminan mekanisme sirkulasi kepemimpinan politik yang diadakan secara berkala, selektif, kompetitif dan melibatkan keseluruhan elemen msyarakat dalam prosesnya. Baik keberkalaan, selektivitas maupun sifat kompetitif dari sirkulasi kepemimpinan politik merupakan kriteria-kriteria operasional yang amat penting. Namun, kriteria-kriteria tersebut hanya akan memenuhi persyaratan demokrasi apabila melibatkan semua warga negara dalam keseluruhan prosesnya.

(37)

Keempat, kompetisi politik yang leluasa dan sehat dalam suasana kebebasan. Kriteria terakhir dari demokrasi adalah adanya kompetisi antarelemen masyarakat, elemen masyarakat dengan elemen negara, antarelemen-elemen di dalam negara, secara leluasa dan sehat. Dalam kerangka ini, perbenturan kepentingan dan nilai politik dimungkinkan terjadi sejauh tidak menjadikan kehancuran bagi sistem politik. Suasana yang melingkupi kompetisi ini adalah suasana yang penuh kebebasan dan saling penghargaan, sehingga kompetisi, meminjam istilah Lewis Cosser, diposisikan sebagai “konflik yang fungsional positif”.

Salah satu keunggulan demokrasi dibandingkan sistem lain adalah adanya mekanisme kontrol dan partisipasi rakyat secara reguler, terlembagakan, dan terbuka melalui perwakilan. Secara historis-empiris tampaknya sistem demokrasi dinilai paling unggul, terutama ketika tingkat pendidikan masyarakat semakin maju bersamaan dengan munculnya

pluralistic society, baik di tingkat nasional maupun global. Sistem demokrasi juga memiliki kelemahan karena demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan juga kultur (Komarudin Hidayat, 2006 ; 44).

(38)

sebagai way of life (pandangan hidup) dalam seluk beluk sendi kehidupan bernegara baik oleh rakyat (masyarakat) maupun oleh pemerintah ( Dede Rosyada, et.al. 112 ).

Demokrasi adalah sebuah paradoks. Di satu sisi ia mensyaratkan adanya jaminan kebebasan serta peluang berkompetisi dan berkonflik, namun di sisi lain ia mensyaratkan adanya keteraturan, kestabilan, dan konsensus. Kunci untuk mendamaikan paradoks dalam demokrasi semacam ini tampaknya terletak pada cara kita memperlakukan demokrasi. Demokrasi seyogianya diperlakukan semata sebagai sebuah cara atau proses, dan bukan sebuah tujuan, apalagi disakralkan. Manakala demokrasi kita perlakukan sebagai cara, maka keteraturan, stabilitas dan konsensus tidak kita tempatkan pula sebagai sebuah tujuan yang sakral. Dengan demikian, keteraturan, stabilitas dan konsensus yang dicita-citakan dan dibentuk pun diposisikan sebagai hasil bentukan dari proses yang penuh kebebasan, persuasi dan dialog yang bersifat konsensual (Eep Saefulloh Fatah, 1994 ; 9).

(39)

roh demokrasi telah dibajak, dirampas, dan dibunuh oleh para elit politisi dengan senjata uang (Komarudin Hidayat, 2006 ; 44).

Demokrasi sarat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai itu meliputi : 1). Kejujuran

Kejujuran menjadi syarat mendasar dari sebuah kehidupan demokrasi. Sebuah pemerintahan harus secara jujur dalam menjalani kebijakan-kebijakan serta pertanggungjawabannya. Nilai ini seharusnya mulai tercermin dalam sistem pemilihan yang merupakan fase awal dari pelaksanaan demokrasi. Aspirasi rakyat hendaknya disampaikan sesuai hati nurani tanpa dipengaruhi variabel-variabel lainnya.

2). Kebebasan

Demokrasi menjamin kebebasan warganya menyuarakan pendapatnya. Setiap warga bebas berkumpul dan berorganisasi sebagai wujud ekspresi kebebasannya. Masyarakat bebas berpartisipasi sesuai kehendaknya. Pembatasan terhadap kebebasan warga merupakan praktik anti demokrasi.

3). Kepatuhan

Demokrasi memiliki rambu-rambu yang harus dipatuhi. Rambu-rambu tersebut, atau yang lebih dikenal rule of law, menjadi penjaga agar kebebasan berlangsung tertib. Kepatuhan terhadap rule of law

(40)

3). Persamaan

Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di segala bidang kehidupan. Di depan hukum memiliki ketundukan yang sama terhadap rule of law. Di bidang politik memiliki hak yang sama, baik hak untuk memilih ataupun dipilih. Di bidang ekonomi memiliki hak yang sama untuk memproleh penghidupan yang layak. Di bidang pendidikan memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan.

4). Toleransi

Perbedaan pendapat adalah suatu kewajaran dalam praktik demokrasi. Penghargaan terhadap perbedaan pendapat merupakan salah satu nilai penting bagi tumbuh berkembangnya demokrasi. Pemaksaan pendapat terhadap orang lain merupakan wujud ketiadaan penghargaan terhadap hak azasi orang lain.

5). Perdamaian

Demokrasi membatasi pemakaian kekerasan sampai ke tingkat minimum dalam menyelesaikan perselisihan. Penyelesaian perselisihan dilakukan dengan damai dan secara melembaga. Perubahan dilakukan secara damai dan menghindari terjadinya anarkisme.

6). Fatsoen / Tata Krama

(41)

santun, serta tidak cenderung menyebar fitnah adalah cermin dari kedewasaan dalam berdemokrasi.

3. Hukum Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah sebuah fenomena dan kajian yang sangat dinamis. Dia tidak berada dalam tingkatan abstrak, namun justru dia hadir dalam aras riil dalam hubungan antara masyarakat dan pemerintah, antara individu dan negara. Kebijakan publik, selain merupakan respon atas apa yang sedang terjadi di masyarakat, juga mencerminkan tentang apa apa yang diinginkan untuk terjadi dan berubah dalam sebuah masyarakat. Dalam hal ini, kemungkinan sebuah kebijakan publik untuk gagal selalu terbuka jika dirumuskan tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh informasi-informasi tentang perkembangan mutakhir yang terjadi di masyarakat (Eddi Wibowo, T. Saiful Bahri, dan Hessel Nogi S. Tangkilisan, 2004 ; 1).

Terdapat berbagai definisi tentang kebijakan publik. Harold D. Laswell menyatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek yang terarah. David Easton mengatakan bahwa kebijakan publik adalah sebuah proses pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang seperti pemerintah (Muchsin, Fadillah Putra, 2002 ; 23).

(42)

lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintah. Seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain (Inu Kencana Syafiee, 1999 ; 107). Sementara Mahfud MD memberikan batasan kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan, dilakukan, atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang membuat sasaran atau tujuan program-program pemerintah (Moh. Mahfud MD, 1999 ; 218).

Anderson mengatakan kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, yang implikasinya adalah (B. Sunggono, 1994 ; 22) :

1). Kebijakan publik itu melulu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan;

2). Kebijakan publik itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah;

3). Kebijakan publik itu adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah maksud akan melakukan sesuatu;

4). Kebijakan publik itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tindakan melakukan sesuatu;

(43)

Berbicara tentang perspektif kebijakan publik, mengarahkan perhatian kita untuk mengkaji tentang proses pembuatan kebijakan (policymaking process) oleh pemerintah (government) atau pemegang kekuasaan dan dampaknya terhadap masyarakat luas (public). Secara sederhana, kebijakan publik dapat dirumuskan dalam kalimat berikut : Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What governments Do), mengapa melakukan tindakan itu (Why Do It), dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyataan (What Difference it Makes). Richard Rose, sebagaimana dikutip Dunn, mendefinisikan kebijakan publik (public policies) sebagai rangkaian pilihan yang kurang lebih satu unsur dengan unsur lainnya saling berhubungan, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, diformulasikan ke dalam isu-isu publik, dari masalah pertanahan, energi, kesehatan, sampai kepada masalah-masalah pendidikan, kesejahteraan dan kejahatan (Andrik Purwasito, 2001 ; 76).

(44)

menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan publik.

Kedua, agenda kebijakan. Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut saling berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan?

Ketiga, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan

masalah. Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Di sini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut.

(45)

dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan tersebut.

Untuk memenuhi kriteria skenario kebijakan publik yang baik, perlu memikirkan tiga hal pokok, yaitu 1). merumuskan lingkungan politik yang relevan dengan masalah kebijakan yang ditanganinya; 2). menghimpun dan mengorganisasikan informasi politik yang diperlukan; dan 3). membuat pertimbangan politik seraya mempersiapkan kelayakan politiknya. Tahap selanjutnya, yang diperlukan secara praktis adalah informasi-informasi yang lengkap. Maksudnya adalah informasi tentang para aktor kunci, motivasi aktor, kepercayan politik aktor, sumber daya, pentas para aktor, dan pertukaran. Dengan informasi lengkap tentang aspek-aspek tersebut, ditambah lagi dengan matangnya tiga prinsip tersebut di atas, dapat dipastikan skenario kebijakan publik yang dibuat akan lebih berkualitas (Fadillah Putra, 2005 ; 6).

Masalah-masalah kebijakan juga perlu dikenali dengan jelas untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya konsekuensi-konsekuensi yang tidak terduga. Dunn mengemukakan setidaknya ada empat ciri pokok masalah kebijakan, yakni :

(46)

disebut sebagai messes, yaitu suatu sistem kondisi eksternal yang menghasilkan ketidakpuasan di antara segmen-segmen masyarakat yang berbeda.

2. Subyektifitas. Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan dan dievaluasi secara selektif. Masalah kebijakan “adalah suatu hasil pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan tertentu; masalah tersebut merupakan elemen dari suatu situasi masalah yang diabstraksikan dari situasi tersebut oleh analis. Suatu masalah tidak dapat mendefinisikan dirinya sendiri, tetapi ia harus didefinisikan oleh individu maupun kelompok yang berkepentingan. Proses ini melibatkan pengalaman-pengalaman subyektif individu yang bersangkutan.

3. Sifat buatan. Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin ketika manusia membuat penilaian mengenai keinginanya untuk mengubah beberapa situasi masalah. Masalah kebijakan merupakan hasil penilaian subyektif manusia; masalah kebijakan itu juga bisa diterima sebagai definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial obyektif; dan karenanya masalah kebijakan dipahami, dipertahankan dan diubah secara sosial.

(47)

ditawarkan untuk memecahkan masalah tersebut (Budi Winarno, 2002 ; 53-54).

Memahami suatu kebijakan publik adalah dengan melihat kebijakan tersebut sebagai suatu ‘sistem hukum’ (system of law) yang terdiri dari :

Ø Isi hukum (content of law); yakni uraian atau penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan, peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemerintah. Isi hukum dibentuk melalui proses-proses legislasi dan jurisdiksi.

Ø Tata-laksana hukum (structure of law); yakni semua perangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi pemerintahan, partai politik, dll) dan para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen, dll). Tata-laksana hukum dibentuk melalui proses-proses politik dan manajemen birokrasi.

Ø Budaya hukum (culture of law); yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran terhadap dua aspek sistem hukum di atas: isi dan tata-laksana hukum. Dalam pengertian ini juga tercakup bentuk-bentuk tanggapan (reaksi,

(48)

Secara skematis, proses-proses pembentukan kebijakan publik dapat digambarkan sebagai berikut :

Hubungan kebijakan publik dengan hukum menurut Eddi Wibowo, dkk (2004 ; 12) dapat dipahami sebagai berikut :

(49)

a. Pada dasarnya, kebijakan publik umumnya harus dilegalisasikan dalam bentuk hukum, pada dasarnya sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Bahwa sesungguhnya antara hukum dan kebijakan publik itu pada tataran praktek tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya berjalan seiring sejalan dengan prinsip saling mengisi. Sebab logikanya sebuah produk hukum tanpa adanya proses kebijakan publik di dalamnya maka produk hukum itu akan kehilangan makna substansinya. Demikian pula sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum tentu akan sangat lemah dimensi operasionalisasi dari kebijakan publik tersebut.

b. Merujuk pada pendapat Laswell bahwa kebijakan publik adalah “apa saja yang dilakukan maupun tidak dilakukan pemerintah”, maka sesungguhnya tidak semua kebijakan publik itu harus dilegalkan dalam bentuk ketetapan hukum.

(50)

derivasi demokrasi yang sedang giat diedukasikan kepada bangsa Indonesia saat ini (Eddi Wibowo, T. Saiful Bahri, dan Hessel Nogi S. Tangkilisan, 2004 ; 3).

Studi kebijakan publik menyandarkan dirinya pada persinggungannya dengan konsep demokrasi, dengan indikator akomodasi kepentingan publik. Kepentingan publik yang dimaksud merupakan proses tarik-menarik dari pelbagai kepentingan di masyarakat, yang dapat menjelma menjadi opini publik. Pada kondisi ini, Page (1994) membebankan responsifitas demokratik (democratic responsiveness) pada setiap kebijakan publik yang ada. Studi kebijakan publik jika ingin mendemokrasikan dirinya maka ia harus mau menoleh pada opini publik yang beredar (Fadillah Putra, 2005 ; 25-26).

(51)

4. Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah sebuah kebijakan politik untuk merespon tuntutan demokratisasi. Kebijakan otonomi sering diterjemahkan sebagai pengalihan sebagian tugas dan wewenang dari pusat ke daerah. Dengan demikian adanya perpindahan otoritas atau wewenang dan fungsi-fungsi baru bagi daerah. Kata “otonomi” dalam bahasa Prancis, autonomie

diterjemahkan bermacam-macam arti, tetapi mengacu pada pengertian tentang kemerdekaan (independance), kebebasan (liberte), pemerintah sendiri (mengambil istilah Inggris : self-government) atau desentralisasi (decentralisastion) (Andrik Purwasito, 2001 ; 53).

(52)

proses perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan, (7) sebagai sarana yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan di daerah, (8) guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Syaukani HR, et.al., 2003 ; xvii-xviii).

Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah adalah, disatu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan otonomi daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat (Syamsuddin Haris, ed., 2005 ; 8-9).

(53)

sebagai otonomi bagi rakyat daerah, bukan otonomi pemerintahan daerah (pemda), juga bukan otonomi bagi “daerah” dalam pengertian suatu wilayah atau teritorial tertentu di tingkat lokal.

Ketiga, otonomi daerah merupakan hak rakyat daerah yang sudah seharusnya inheren di dalam agenda demokrasi atau demokratisasi. Dengan begitu, otonomi daerah tidak bisa didistorsikan sekadar sebagai persoalan “penyerahan urusan” atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan urusan atau pelimpahan kewenangan hanyalah instrumen administratif bagi implementasi hak daerah dalam mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing. Keempat, daerah tidak bisa lagi dilihat sebagai subordinasi dari pusat. Hubungan pusat-daerah harus dipandang bersifat komplementer bagi keduanya, dalam pengertian saling membutuhkan secara timbal balik (Dede Rosyada, et.al., 174-175).

Sebenarnya antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 22 Tahun 1999 tidak ada perbedaan yang prinsipil karena keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintahan Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang dianut oleh kedua undang-undang ini adalah otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.

(54)

Dengan kedua asas ini, diharapkan penyelenggara pemerintahan daerah mempunyai sikap yang sama, yaitu sebagai berikut :

1. Betapapun luasnya otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah, pelaksanaannya harus tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Betapapun luasnya otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah, dalam pelaksanaannya harus tetap ada hubungan hierarkis antara tingkatan pemerintahan sehingga pemerintahan yang di atas dapat melakukan koordinasi, supervisi dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya. Hal ini antara lain bertujuan untuk mencegah munculnya raja-raja kecil di daerah, sebagaimana pernah terjadi di era berlakunya UU No. 22 Tahun 1999.

Perubahan yang cukup signifikan yang terdapat pada UU No. 32 Tahun 2004, yaitu pemilihan kepala daerah secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung disepakati oleh pembuat undang-undang dengan pertimbangan :

1. untuk memenuhi tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat;

(55)

Semangat demokratisasi jelas nampak dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Hal ini bisa dilihat dalam bagian Menimbang yang menyatakan :

“bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia“.

Visi otonomi daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam 3 ruang lingkup interaksinya yang utama: politik, ekonomi, serta sosial dan budaya (Syamsuddin Haris, ed. 2005 ; 9-10).

(56)

Di bidang ekonomi, otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan dilain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.

Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.

Berdasarkan visi tersebut, maka konsep dasar otonomi daerah adalah :

1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah. Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis-nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan.

(57)

3. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah, serta lebih responsif terhadap kebutuhan daerah. Dalam kaitan ini juga, diperlukan terbangunnya suatu sistem administrasi dan pola karir kepegawaian daerah yang lebih sehat dan kompetitif.

4. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue (pendapatan) dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.

5. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah pusat yang bersifat block grant, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.

(58)

Adapun keberhasilan suatu pelaksanaan otonomi daerah untuk mencapai tujuan tersebut, dapat dilihat lewat indikator pemerintahan yang baik (Andrik Purwasito, 2001 ; 38) yakni meliputi :

a. Transparansi atau keterbukaan;

b. Akuntabilitas publik atau pertanggungjawaban umum; c. Partisipasi rakyat atau demokratis;

d. Supremasi hukum, hukum sebagai pedoman birokrasi; e. Responsif terhadap pedoman/peraturan;

f. Efektivitas dan efisien; g. Adanya visi yang strategis;

h. Berorientasi pada kepentingan rakyat.

(59)

Prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi daerah bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sementara itu, otonomi yang bertanggung jawab, adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Rozali Abdullah, 2005 ; 5). 5. Pemilihan Kepala Daerah Langsung

Permasalahan politik lokal sebelum era reformasi tak lepas dari kondisi perpolitikan nasional Orba yang ditandai dengan ciri sistem politik yang bersifat : i) monolitik (sistem dikuasai partai tunggal, organisasi profesi tunggal, asas tunggal Pancasila; ii) depolitisasi (Golkar bukan partai politik sehingga bisa menjamah massa sampai pedesaan); iii) sentralisme (semua diurus oleh pusat); iv) etatisme (semua yang bersifat publik maupun privat diurus negara); v) dan otoritarianisme (keputusan tunggal berada di tangan seseorang/pusat, tanpa kontrol dari kekuatan yang lain). Perkembangan perpolitikan lokal saat ini jauh lebih kompleks, karena ciri sistem politik era ini bersifat pluralistik, politisasi, desentralisasi, de-etatisasi dan demokrasi (Wacana, 2005 ; 82).

(60)

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon tersebut diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Lebih lanjut pengaturan tentang pemilihan kepala daerah langsung tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.6/2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Peraturan-peraturan tersebut menegaskan bunyi pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen) yang menyebutkan : Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

(61)

Sehubungan dengan pengembalian “hak-hak dasar” tersebut, pilkada secara langsung memiliki asumsi positif. Adapun asumsi-asumsi tersebut mencakup :

1. Penarikan kedaulatan yang dititipkan DPRD.

Dengan pilkada langsung berarti kedaulatan rakyat yang selama ini dititipkan kepada anggota DPRD berada di tangan rakyat sendiri. Rakyat benar-benar dapat menunjukkan kedaulatannya dengan memilih pemimpinnya.

2. Sumber kekuasaan adalah rakyat.

Filosofi sumber kekuasaan (the origin of power) kepala daerah adalah rakyat. Kehendak rakyat merupakan muara dari segala kiprah, cita-cita, perilaku, tindak tanduk dan kegiatan serta rencana-rencana kepala daerah.

3. Rakyat adalah subyek demokrasi.

Rakyat adalah subyek demokrasi dalam arti sesungguh-sungguhnya. Sebagai subyek demokrasi, rakyat memainkan peran dan posisi sebagai pelaku demokrasi melalui saluran-saluran yang disediakan baik dalam proses pembuatan kebijakan publik maupun rekrutmen pimpinan politik.

4. Demokrasi merupakan sistem politik terbaik dari yang ada.

(62)

Demokrasi menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, dan mendayagunakan dalam saluran-saluran yang tersedia (Joko J. Prihatmoko, 2005 ; 21-24).

Semangat yang terkandung dalam Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah bahwa pelaksanaan pilkada langsung pada hakikatnya tidak hanya untuk tujuan mengoptimalkan demokratisasi di daerah, melainkan merupakan perwujudan dari prinsip otonomi daerah seluas-seluasnya. Semua tingkatan daerah di Indonesia diberikan hak untuk menyelenggarakan Pilkada langsung, dengan tujuan agar rakyat di daerah yang bersangkutan dapat secara bebas dan bertanggungjawab memilih kepala daerahnya berkualitas. Tinggi rendahnya kualitas kepala daerah yang terpilih sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat di daerah, tanpa intervensi pemerintah pusat (Amirudin dan A. Zainal Bisri, 2006 ; 13-14).

Sebagai suatu sistem, sistem pilkada langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sub system (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation

adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing.

(63)

perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik politis, administratif atau pidana (Joko J. Prihatmoko, 2005 ; 201).

Jenis Pilkada Langsung di Indonesia diatur dalam Pasal 107 Undang-undang Nomor 32 / 2004 yang berbunyi :

(1) Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.

(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

(3) Dalam hal pasangan calon yang perolehan suara terbesar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama, penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.

(64)

(5) Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut berhak mengikuti pemilihan putaran kedua.

(6) Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh tiga pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.

(7) Apabila pemenang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. (8) Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang

memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Sistem demikian memiliki kelebihan pada kesederhanaan, kemudahan dan kemurahan yang ditawarkan. Tetapi disisi lain hal ini dapat menimbulkan problem legitimasi karena bisa jadi pasangan calon yang hanya memperoleh 30 % suara dapat keluar sebagai pasangan calon terpilih. Yang artinya ada 70 % suara pemilih yang tidak memilihnya. B. Penelitian yang Relevan

Penulis belum menemukan penelitian yang relevan tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung.

Referensi

Dokumen terkait

tanggungjawab utama untuk memberikan edukasi pada pasien tentang sifat masalah kesehatan, hal-hal yang harus dihindari, penggunaan obat-obat di rumah, jenis

Oari pembahasan diatas dapat diambil kesimpu:3n bahwa yang paling bagus digunakan sebagai detektor aktivasi neutron cepat un~uk kasus kecelakaan kekritisan adalah

Uji kelayakan atau goodness of fit models dalam penelitian ini menggunakan uji F simultan yang digunakan untuk mengetahui apakah model dalam penelitian

Karmarkar) kurang dari 0,05.Persoalan program linier yang berukuran kecil, metode Karmarkar membutuhkan perhitungan yang relatif lebih besar dan lebih cepat jika

Dengan mengacu pada ibadah yang telah disebutkan di atas, maka sangat perlu bagi umat muslim untuk sedapatnya mengetahui secara komperehensip tentang ibadah yang

Berbagai data yang dibutuhkan dalam proses penjadwalan dari mulai kuota kelas, ruang kuliah, rencana mengajar dan ketersediaan jadwal mengajar dosen akan diekspor ke dalam bentuk

Nangka adalah buah yang sering dijumpai di Indonesia. Rasanya yang manis dan enak membuat nangka menjadi salah satu buah yang disukai oleh masyarakat. Kebanyakan orang hanya

Berdasarkan penelitian diatas didapatkan hasil dari penelitian 1,2, dan 3 bahwa TPA berwarna hitam dan hijau memiliki jumlah larva Aedes aegypti yang lebih