• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Individualisme Kolektivisme dengan Toleransi Social Loafing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Individualisme Kolektivisme dengan Toleransi Social Loafing"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN INDIVIDUALISME KOLEKTIVISME DENGAN TOLERANSI SOCIAL LOAFING

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

SANTA VINENSIA SAMOSIR

091301055

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Hubungan Individualisme Kolektivisme dengan Toleransi Social Loafing

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penelitian ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Januari 2014

(3)

Hubungan Individualisme Kolektivisme dengan Toleransi Social loafing

Santa Vinensia Samosir dan Omar Khalifa Burhan

ABSTRAK

Di dalam penelitian ini, kami meneliti hubungan antara dimensi budaya individualism kolektivisme terhadap toleransi social loafing, yaitu sejauh mana individu bertahan dengan perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan kerjanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kolektivisme, baik itu kolektivisme horizontal, maupun kolektivisme vertikal, yang dimiliki individu tidak berhubungan dengan toleransi individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan rekan kerjanya. Toleransi individu terhadap social loafing justru diprediksikan oleh derajat individualisme horisontal dan vertikal yang dimiliki oleh individu, semakin tinggi derajat individualisme, baik yang bersifat vertikal, maupun yang horisontal; semakin individu mentolerir perilaku social loafing yang dilakukan rekan kerjanya.

(4)

The Relationship Between Individualism Collectivism With Tolerance of Social Loafing

Santa Vinensia Samosir dan Omar Khalifa Burhan

ABSTRACT

In this research, we examined the relationship between cultural dimensions of individualism collectivism against tolerance of social loafing. The results showed that the degree of collectivism, either horizontal collectivism, and vertical collectivism, which is owned by individuals not associated with individual tolerance against social loafing behavior of co-workers. Individual tolerance towards social loafing precisely predicted by the degree of horizontal and vertical individualism owned by individuals, if the degree of individualism, both vertical, or horizontal of individuals was high; individual tolerance to social loafing behavior would be high.

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala kasih karunianya sehingga akhirnya skripsi yang berjudul “Hubungan

Individualisme Kolektivisme Terhadap Toleransi Social loafing” ini dapat peneliti

selesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi ini diajukan guna memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara.

Bagi kedua orang tua yang sangat peneliti kasihi yang menjadi alasan peneliti untuk selalu bersemangat dalam mendapatkan gelar ini. Bapak M. Samosir, bapak terhebat yang peneliti miliki dan Mamak N. Gultom mama terhebat yang selalu memberikan cinta yang luar biasa. Abang dan adik peneliti John Fredy Samosir, Kristover Samosir, Anju Febryna Samosir dan Sridevita Samosir yang peneliti sangat sayangi. Terimakasih buat semangat dan dukungan yang selalu diberikan. Bagi kalian ini semua kupersembahkan. Aku sangat menyayangi kalian.

Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

(6)

3. Ibu Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog, selaku dosen pembimbing akademik peneliti. Terima kasih atas arahan dan masukan serta perhatiannya selama peneliti kuliah.

4. Buat dosen penguji peneliti Ibu Rika Eliana, M.Psi., psikolog dan Kak Ridhoi Meilona Purba, M.Si. Terima kasih karena Ibu dan telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji saya dan memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan Ibu dan Kakak.

5. Seluruh dosen dan staff di Fakultas Psikologi. Terima kasih untuk ilmu yang sudah bapak dan ibu berikan buat peneliti dan kesediaannya untuk membantu saya dalam mengurus masalah administrasi yang saya perlukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Responden penelitian peneliti atas kerjasamanya dalam penelitian ini. Terima kasih telah rela peneliti repotkan dan mau memberikan hati dan waktu untuk mengisi skala.

7. Buat pacar terbaik gendud Akhim Jan Fritz Sitio. Terimakasih sayang buat semua dukungan dan semangatnya. Yang gak capek-capeknya nanya perkembangan skripsiku. Menjadi sahabat peneliti dalam segala hal. Aku sangat menyayangimu.

(7)

penelitian ini. Terima kasih banyak sahabat-sahabatku buat semuanya. Tetaplah jadi sahabat terbaik.

9. Paduan Suara Gloria, keluarga baruku di perantauan ini. Terimakasih buat semuanya, buat kebersamaan dalam suka duka, dan terutama buat celaan-celaannya yang kadang sampai membuat peneliti kesal, tapi menjadi motivasi peneliti untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih.

10.Teman-teman sedoping Lili, Kak Nanda, Bang Pangeran dan Rani Ketaren. Teman-teman Psikologi stambuk 2009 abang kakak senior, terutama Holy Glora, bang Hitler dan kak Susi. Terima kasih atas semuanya.

11.Dan menutup semuanya, semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa peneliti sebutkan namanya satu per satu.

Akhirnya peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca agar dapat menambah wawasannya terutama di bidang Psikologi Sosial. Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu dengan segala kerendahan hati, peneliti mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Terima kasih.

Medan,

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 10

E. Sistematika Penelitian ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Toleransi Social loafing ... 12

1. Definisi ... 12

2. Faktor-Faktor Yang Menentukan Toleransi Social loafing ... 15

B.Individualisme Kolektivisme ... 17

1. Individualisme ... 17

2. Klasifikasi Individualisme ... 18

3. Kolektivisme ... 19

4.Klasifikasi Kolektivisme……….. ... 20

5. Individualisme Kolektivisme dan kerja sama dalam kelompok……….. ... 21

(9)

1. Individualisme dan Toleransi Social loafing... 22

2. Kolektivisme dan Toleransi Social loafing ... 24

D. Hipotesa Penelitian ... 26

BAB III METODE PENELITIAN... 26

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 26

B. Definisi Operasional ... 26

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 28

1. Populasi ... 28

2. Sampel ... 28

D. Metode Pengumpulan Data ... 29

E. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 30

1. Uji Validitas Alat Ukur ... 30

2. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 31

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 32

G. Uji Normalitas dan Uji Linieritas ... 32

H. Metode Analisis Data ... 33

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Analisis Data ... 34

1. Uji Asumsi ... 34

2. Kolektivisme Vertikal, Individualisme Vertikal dan Horisontal dan Toleransi Social loafing ... 35

C. Pembahasan ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

A. Kesimpulan... 41

B. Saran ... 42

1. Saran Metodologis ... 42

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Individualisme Kolektivisme Sebelum Uji Reliabilitas.... 33

Tabel 2. Blue Print Skala Toleransi Social loafing Sebelum Uji Reliabilitas ... 34

Tabel 3. Reliabilitas alat ukur ... 35

Tabel 4. Blue Print Skala Individualisme Kolektivisme Setelah Uji Reliabilitas ... 36

Tabel 5. Blue Print Skala Toleransi Social loafing Setelah Uji Reliabilitas ... 36

Tabel 6. Linieritas setiap variabel dengan toleransi social loafing ... 40

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Subjek Penelitian
(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menurut Cialdini, Kenrick, dan Neuberg (2010), manusia adalah makhluk sosial yang pada umumnya hidup dengan berkelompok. Sejak dahulu, leluhur kita telah lama menemukan bahwa peluang mereka untuk bertahan hidup meningkat secara dramatis ketika mereka mengelompokkan diri dengan orang lain. Dalam kelompok, mereka lebih mampu berburu, mengumpulkan, dan mengolah makanan, mereka lebih mampu membangun tempat penampungan, membela diri mereka sendiri, dan mereka memiliki orang lain untuk merawat mereka ketika mereka jatuh sakit. Dengan kata lain, manusia membentuk kelompok agar dapat bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini adalah untuk bertahan hidup. Pola ini masih bertahan sampai sekarang, manusia masih saja bekerja sama di dalam kelompok dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada banyak domain kehidupan, bekerja sama di dalam kelompok berpotensi lebih efektif daripada bekerja secara individual, karena dua alasan sederhana. Pertama, „banyak tangan‟ berarti bahwa

beban pekerjaan dapat didistribusikan ke „tangan-tangan‟ beberapa individu daripada „dipikul‟ seorang individu. Kedua, orang-orang dalam kelompok dapat

(14)

dengan lebih efektif dan efisien (Cialdini, Kenrick & Neuberg, 2010).

Hidup berkelompok seharusnya menguntungkan, namun para peneliti psikologi sosial telah menyadari bagaimana bekerja di dalam kelompok juga dapat memicu social loafing, yaitu suatu kondisi di mana individu mengurangi usaha dan upaya ketika bekerja dalam kelompok (Karau & Williams, 1993). Perilaku

social loafing menjadikan fungsi kelompok sebagai wadah kinerja yang efektif dan efisien justru menjadi hilang. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan bagaimana kelompok yang terdiri atas pelaku

social loafing cenderung menghasilkan luaran atau produk yang lebih buruk daripada kelompok yang seluruh anggotanya berperan aktif dalam penyelesaian tugas (Latane, Williams, & Harkins, 1979). Social loafing melahirkan konsekuensi negatif yang mempengaruhi tidak hanya kelompok secara keseluruhan, namun juga bagi individu yang melakukannya. Misalnya, selain menurunkan kinerja kelompok, pemalasan yang dilakukan oleh pelaku social loafing membuatnya kehilangan kesempatan untuk melatih keterampilan dan mengembangkan diri (Schnake, dalam Liden, Wayne, Jaworski & Bennett, 2003). Sebagai konsekuensi, pelaku social loafing justru menghambat perkembangan pribadinya.

Terkait dengan bahaya social loafing, para peneliti telah menemukan berbagai faktor yang berasosiasi atau menjadi penyebab individu melakukan

(15)

kelompok, kohesivitas kelompok, dan social loafing yang dilakukan oleh rekan sekelompok (lihat Liden, Wayne, Jaworski, & Bennet, 2003). Ketika ukuran kelompok meningkat, anonimitas individu juga meningkat. Peningkatan anonimitas membuat lebih sulit untuk menilai kontribusi masing-masing individu Sadar atau tidak sadar, individu dapat menahan usaha ketika mereka melihat bahwa usaha yang dikeluarkan tidak akan mempengaruhi luaran (output) (Karau & Williams, 1993). Sejalan dengan ini, berbagai penelitian telah menunjukkan bagaimana individu dalam kelompok mengurangi usaha seiring dengan peningkatan jumlah anggota kelompok (Liden, dkk, 2003).

Selain itu, kohesivitas kelompok atau kelekatan antar anggota kelompok (Mudrack dalam Liden 2003), telah lama dikenal sebagai variabel penting sehubungan dengan social loafing. Jika individu tidak menyukai anggota yang lain dan tidak merasa kelekatan yang kuat, mereka lebih mungkin untuk terlibat dalam social loafing. Social loafing ditemukan hanya terjadi pada kelompok-kelompok yang tidak kohesif atau berkohesivitas rendah. Dalam kelompok-kelompok yang sangat kohesif, ketika bekerja dalam kelompok anggota akan bekerja keras sama seperti yang mereka lakukan ketika bekerja secara individual (Karau & Hart dalam Liden 2003).

(16)

hal ini akan menjadi penguat (reinforcement) untuk melakukan perilaku social loafing di berbagai kesempatan. Sullivan (dalam Erwandi, 2004) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecenderungan kolektivisme merupakan orang-orang yang menomorsatukan hubungan dengan sesama daripada kepentingan-kepentingan pribadi. Individu kolektivis cenderung akan membiarkan terjadinya

social loafing. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara terhadap beberapa mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, sebagai berikut:

…kalau memilih teman satu kelompok dalam mengerjakan tugas

seringan sama teman dekat. Kalau tugasnya mudah, gapapalah kalo aku yang ngerjain sendiri. Yah, mungkin aku repeti dulu, tapi aku kerjai juga akhirnya. Namanya juga teman.

(Komunikasi personal, 2013) …Yaaaa, kan kalau sama teman dekat bisa lebih santai. Kalau

sama teman sendiri kan lebih ditolerir. Kalau aku gak bisa buat ya bisa dia yang ngerjain. Apalagi dia lebih pintar.

(Komunikasi personal, 2013)

Wawancara di atas menggambarkan bagaimana semakin tinggi keterikatan seseorang pada hubungan, semakin besar kemungkinan ia bersedia berkorban demi orang lain (Whitton, Stanley Markman dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009). Hal ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang memiliki derajat keterhubungan dengan orang lain yang tinggi (i.e., kolektivisme tinggi) merupakan orang-orang yang akan lebih mungkin menerima perilaku social loafing daripada orang-orang yang lebih merasa dirinya terpisah dari orang lain (i.e., individualisme tinggi).

(17)

demi kepentingan kelompok. Ini berarti bahwa individu dengan kolektivisme tinggi cenderung memiliki sikap melayani dan rela berkorban untuk kepentingan kelompok. Di mana kesuksesan kelompok ditempatkan di atas kesuksesan pribadi. Oleh karena itu, ketika ada anggota kelompok yang melakukan perilaku (e.g. social loafing) yang merugikan kelompok, individu tersebut akan rela memberikan usaha yang lebih untuk menutupi kekurangan usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya. Selain itu, ikatan emosional yang kuat antar anggota kelompok, akan membuat individu rela memberikan pertolongan bagi individu lain yang melakukan social loafing. Hal tersebut, dilakukannya untuk menjaga hubungannya dengan anggota kelompok lain.

Namun disisi lain, individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme tidak akan membiarkan anggota kelompoknya untuk melakukan social loafing

(18)

konsekuensi social loafing akan membuat individu ini untuk menolak aksi social loafing di dalam kelompok.

Penolakan terhadap aksi social loafing juga dilakukan oleh individu dengan derajat individualisme yang tinggi. Ia akan memisahkan diri secara emosi dari kelompok di mana dirinya bernaung, menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan kelompok, perilakunya ditentukan oleh sikap pribadi dan pertimbangan untung-rugi, dan mampu melakukan konfrontasi dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuannya (Triandis, 1994). Ketika bekerja dalam kelompok, indvidu ini menginginkan dirinya lebih baik dari orang lain, sehingga keberhasilan atau kegagalan kelompok akan dipandang sebagai kegagalan pribadi (Triandis & Gelfand dalam Chrisnawati, 2007). Sehingga ketika terdapat perilaku

(19)

Namun di sisi lain, individu-individu yang individualis adalah individu yang tidak peduli dengan anggota kelompok (Piezon & Donaldson, 2005). Individu tidak akan berusaha untuk mengomentari kontribusi yang dilakukan oleh anggota kelompok lainnya. Individu hanya akan fokus pada tanggung jawabnya sendiri dan kepentingan personalnya. Jadi, selama social loafing tidak berkonsekuensi terhadap pencapaian pribadinya, individu yang individualis akan membiarkan perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya. Bahkan, social loafing dapat dipandang oleh individu sebagai sarana untuk menunjukkan kehebatannya kepada anggota kelompok yang lain dengan cara menyelesaikan tugas sendirian (Sarwono, 2005). Sehingga individu kemungkinan akan menerima perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya.

Dari penalaran di atas, dapat disimpulkan bahwa baik individualisme maupun kolektivisme memiliki peran terhadap terjadinya perilaku social loafing. Di satu sisi dapat menolak terjadinya perilaku social loafing, namun disisi lain dapat menerima ataupun membiarkan perilaku social loafing yang dilakukan anggota kelompok. Berdasarkan penalaran diatas terlihat bahwa hal ini disebabkan oleh ke-tolerannya terhadap social loafing itu sendiri.

(20)
(21)

lebih besar bagi para pelaku social loafing untuk mempertahankan perilakunya diberbagai kesempatan.

Dalam penelitian ini dengan pendekatan korelasional, peneliti berupaya untuk melihat bagaimana peran orientasi individualisme kolektivisme terhadap toleransi social loafing. Adapun alasan utama penelahaan aspek budaya ini peneliti lakukan berdasarkan asumsi bahwa individualisme-kolektivisme merupakan dimensi budaya yang mempengaruhi bagaimana individu bekerja dan berkontribusi terhadap pencapaian tujuan kelompok (Hofstede & Hofstede, 2005). B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah “Apakah hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan membawa dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

(22)

2. Manfaat Praktis

1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi mahasiswa dan pihak-pihak yang terkait tentang hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi terhadap social loafing. Diharapkan individu dapat menyesuaikan diri ketika bekerja dalam kelompok sesuai dengan derajat individualisme kolektivisme yang dimilikinya.

2. Secara praktis, melalui hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman kepada para akademisi lainnya bahwa masalah toleransi

social loafing adalah masalah yang penting untuk diperhatikan sehingga dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai toleransi social loafing dan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi penting untuk penelitian selanjutnya.

E.Sistematika Penelitian

Penelitian ini dibagi atas lima bab, dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang permasalahan, urgensi penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sitematika penulisan.

Bab II: Landasan Teori

(23)

social loafing, individualisme kolektivisme dan hubungan antara individualismekolektivisme dengan toleransi social loafing.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan identifikasi variabel-variabel yang diteliti, definisi operasional, subjek penelitian, alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel, dan metode analisis data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bagian ini berisikan uraian singkat hasil utama penelitian, dan interpretasi data, serta hasil tambahan yang dapat memperkaya penelitian ini. Bab V : Kesimpulan dan Saran

(24)

BAB II LANDASAN TEORI

Penelitian ini akan membahas hubungan antara elemen faktor budaya individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing. Peneliti terlebih dahulu akan membahas tentang toleransi social loafing dan faktor penyebabnya. Kemudian peneliti lanjutkan dengan membahas tentang bagaimana individualisme kolektivisme dapat menjadi prediktor toleransi social loafing.

A.Toleransi social loafing

1. Definisi

Toleransi adalah kemampuan individu untuk bertahan, menderita, atau menerima sesuatu hal yang tidak disetujui atau tidak disukainya (Chong, 1994). Selanjutnya, toleransi dalam penelitian ini erat kaitannya dengan perilaku permissive. Permissive adalah sikap untuk membolehkan atau mengizinkan terjadinya sebuah perilaku (Kamus Oxford Learner's Pocket Dictionary). Sebagaimana telah peneliti jelaskan sebelumnya, social loafing

(25)

dalam kelompok, khususnya ketika usaha yang diberikan individu tersebut tidak dapat dibedakan dengan usaha yang diberikan oleh individu lain.

Mengacu pada penalaran peneliti tentang defenisi toleransi dan social loafing diatas, peneliti mendefinisikan toleransi social loafing sebagai kemampuan individu untuk bertahan, menderita, menerima atau mengizinkan perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya.

Social loafing merupakan tindakan yang dapat merugikan, baik itu bagi kelompok secara utuh maupun bagi anggota-anggota kelompok secara individual (Karau & Williams, 1993). Ketika seorang anggota kelompok menjadi pelaku

social loafing, pelaku tersebut mengurangi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya terkait dengan tugas yang seharusnya ia kerjakan (Welter, Canale, Fiola, Sweeney & L‟armand,2002). Kurangnya partisipasi seorang pelaku social loafing juga dapat membuat ia mengalami penurunan kemampuan seiring dengan pengurangan usaha yang dilakukannya (Carron, Burke & Prapavessis, 2004). Sedangkan bagi kelompok, social loafing

akan merugikan kelompok dan menghasilkan penurunan kinerja dan produktivitas kelompok secara keseluruhan (Schnake, 1991).

Berdasarkan berbagai sumber yang diperolehnya, Sarwono (2005) menjelaskan penyebab individu melakukan social loafing sebagai berikut:

(26)

menjadi tidak diperlukan atau tidak penting (Kidwell & Bannet, dalam Sarwono, 2005).

2. Social loafing dipengaruhi oleh ketidakjelasan tugas dan faktor intrinsik yang rendah (e.g. tugas tidak menarik, kurang bermakna, dan lain-lain:George, dalam Sarwono, 2005).

3. Individu tidak mau rajin jika anggota kelompok yang lain malas (sucker effect). Individu akan merasa rugi untuk memberikan kontribusi lebih terhadap kelompok. social loafing juga akan terjadi pada kondisi ini, walaupun tugas tersebut menarik. (Robbins, dalam Sarwono, 2005).

4. Pengambilalihan peran: kalau peran individu diambil alih oleh anggota kelompok lain, maka individu tersebut akan malas menjalankan perannya (Kerr & Stanfel, dalam Sarwono, 2005).

5. Social loafing lebih sering terjadi pada budaya individualis daripada kolektivis (Early, dalam Sarwono, 2005).

6. Tidak ada pembagian tanggung jawab (individu tidak diberi tanggung jawab tersendiri: Wagner, dalam Sarwono, 2005 ).

7. Tidak ada spesifikasi pekerjaan akan membuat perilaku social loafing semakin besar (Singh & Singh, dalam Sarwono 2005).

8. Tidak ada hadiah atau insentif, maka kemungkinan terjadinya social loafing

(27)

2. Faktor-faktor yang menentukan toleransi social loafing

Ada beberapa hal yang dapat membuat individu mentolerir social loafing, yaitu: (1) Persahabatan, (2) spesialisasi dan operasionalisasi kerja, (3) tingkat kesulitan tugas, (4) dan keinginan untuk berprestasi. Berikut adalah penjelasannya.

1. Persahabatan

(28)

berdalih persahabatan membuat anggota-anggota kelompok lain menjadi lebih toleran terhadap pelaku social loafing. Dengan demikian, hubungan persahabatan dapat menjadi suatu faktor yang meningkatkan toleransi terhadap social loafing.

2. Spesialisasi dan operasionalisasi kerja

Sebuah kelompok terdiri dari individu-individu yang memiliki keahlian dan kompetensi yang saling melengkapi (De Janasz, Dowd, & Schneider, 2002). Kemampuan-kemampuan anggota kelompok yang berbeda di berbagai bidang dapat memicu seseorang mentolerir social loafing dengan alasan yang bersifat instrumental. Dalam mengerjakan tugas, anggota kelompok yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam bidang tertentu akan berusaha mengerjakan tugas yang menjadi bidangnya sendirian dan membiarkan anggota kelompok lain menjadi pelaku social loafing. Sebagai imbalan, individu tersebut akan menjadi pelaku social loafing ketika ada tugas lain yang bukan merupakan bidangnya.

3. Tingkat kesulitan tugas

(29)

2008). Hal ini akan membuat individu membiarkan anggota kelompok yang lain untuk melakukanpemalasan social.

4. Keinginan untuk berprestasi

Anggota kelompok yang ingin menunjukkan kemampuannya kepada anggota-anggota lain akan terdorong memberikan kontribusi lebih ketika bekerja di dalam kelompok. Ketika terdapat anggota kelompok yang melakukan social loafing, individu tidak akan merasa terganggu dan akan berusaha mengambil alih tanggung jawab rekan kerjanya. Dengan kata lain, tindakan social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompok justru dipandang oleh individu sebagai kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya di mata anggota kelompok lain. Terlebih lagi jika anggota kelompoknya merupakan orang baru dan belum pernah menyaksikan kebolehannya di masa lalu (Seta & Seta, dalam Sarwono, 2005).

B.Individualisme kolektivisme

Pemahaman terhadap budaya yang melatari dinamika kelompok diperlukan dalam upaya memahami efek social loafing (Walsh, Gregory, Lake, & Gunawardena, 2003; Karau & Williams, 1993). Salah satu faktor budaya yang penting untuk dikaji adalah dimensi individualisme kolektivisme.

1. Individualisme

Hofstede (2005) mengartikan individualisme sebagai tatanan sosial yang dikarakteristikkan oleh ikatan emosional antar individu yang longgar. Masyarakat individualisme sangat menekankan kesadaran „aku‟ dan

(30)

kesenangan bereksplorasi, kebutuhan akan relasi khusus. Individualisme adalah budaya yang menekankan gagasan bahwa individu terpisah dan tidak tergantung dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai otonom dari ingroup, tujuan pribadi menjadi prioritas di atas tujuan kelompok, sikap individu secara personal lebih menentukan perilaku sosial individu daripada norma (Triandis, 1995).

2. Klasifikasi individualisme

Triandis (dalam Lee & Choi, 2005) menyarankan bahwa individualisme dapat dibagi menjadi horisontal maupun vertikal. Individu dengan individualisme horisontal ingin menjadi unik dan melakukan yang hal yang merupakan keinginannya sendiri, namun tidak melandaskan pada hierarki tertentu. Sedangkan orang-orang individualistis vertikal tidak hanya ingin melakukan hal yang mereka ingin ia lakukan sendiri tetapi juga berusaha untuk menjadi yang terbaik berdasarkan hierarki tertentu (e.g., rangking kelas, jabatan tinggi, gengsi, dll.). Daya saing sangat tinggi terdapat pada budaya individualistis vertikal.

a. Individualisme vertikal

(31)

Dalam pola budaya ini, kompetisi merupakan aspek penting bagi setiap individu.

b. Individualisme horizontal

Individu-individu dengan derajat individualisme horizontal yang tinggi memandang diri mereka sepenuhnya otonom, dan percaya bahwa kesetaraan antar individu merupakan hal yang ideal. Mereka ingin menjadi unik dan berbeda dari kelompok di mana dirinya bernaung. Meskipun menginginkan kemandirian dan keunikan pribadi, mereka tidak tertarik untuk memiliki status yang lebih tinggi dari anggota kelompok lainnya. 3. Kolektivisme

(32)

dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai bagian dari kelompok, tujuan ingroup menjadi prioritas diatas tujuan pribadi.

4. Klasifikasi kolektivisme

Triandis dan Gelfand (1998) juga membagi kolektivisme menjadi kolektivisme horisontal maupun vertikal.

a. Kolektivisme vertikal

Individu ini melihat diri sebagai bagian dari suatu kelompok dan bersedia menerima adanya hirarki dan ketimpangan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Dalam kolektivisme vertikal, individu menekankan integritas dalam kelompok, individu bersedia mengorbankan tujuan pribadi mereka demi sasaran dalam kelompok, dan dukungan untuk berkompetisi antar kelompok. Kolektivisme Vertikal adalah pola budaya di mana individu melihat diri sebagai bagian penting kelompok, tetapi anggota dalam kelompok berbeda satu sama lain, beberapa memiliki status lebih tinggi dari lain.

b. Kolektivisme horisontal

(33)

5. Individualisme kolektivisme dan kerja sama di dalam kelompok

Derajat individualisme kolektivisme yang dimiliki seorang individu mempengaruhi bagaimana ia memberikan kontribusi terhadap kelompoknya. Markus dan Kitayama (1991) mengemukakan individu di dalam masyarakat kolektif cenderung interdependent, sebagai konsekuensi, mereka memiliki ciri unik dalam bekerja di dalam kelompok, yaitu sebagai berikut: (1) Memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap kelompok; (2) merasa memiliki keterkaitan yang tinggi dengan anggota-anggota kelompok lain, (3) menjunjung tinggi harmoni dan kerjasama di dalam kelompok, (4) mengkontekstualisasikan diri di dalam kelompok (e.g., mengetahui tugasnya di dalam kelompok), dan (5) menjungjung tinggi sistem hierarki sosial yang berjalan di dalam kelompok (Singelis, dkk; Oyserman & Coon dalam Fernandez, Paez, Gonzalez, 2005). Markus dan Kitayama (1991) juga mengemukakan bahwa individu di dalam masyarakat individualis cenderung

(34)

C.Hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing.

1. Individualisme dan toleransi social loafing

a. Individualisme vertikal dan toleransi social loafing

(35)

menunjukkan kehebatannya di atas anggota-anggota kelompok lain dengan cara menyelesaikan tugas sendirian (Sarwono, 2005). Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi kemungkinan justru akan lebih mentolerir perilaku social loafing.

b. Individualisme horisontal dan toleransi social loafing

(36)

ini akan membuat anggota individu tidak berusaha untuk mengomentari tanggung jawab individu lain, terlepas dari tinggi atau rendahnya kontribusi usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi kemungkinan justru akan lebih mentolerir perilaku social loafing. 2. Kolektivisme dan toleransi social loafing

a. Kolektivisme vertikal dan toleransi social loafing

(37)

Di sisi lain, individu dengan kolektivisme vertikal yang tinggi juga menjunjung tinggi fungsi kelompok secara keseluruhan. Di mana kelompok merupakan hal yang utama yang patut untuk diperjuangkan melebihi kepentingan pribadinya. Sedangkan penelitian menyebutkan bahwa social loafing merusak identitas kelompok secara keseluruhan (Triandis, 1995). Sehingga individu yang memiliki kolektivisme yang tinggi akan peduli terhadap kelompok dan tidak akan membiarkan satupun anggota kelompoknya untuk melakukan social loafing, karena akan mengganggu performa dan produktivitas kelompok secara keseluruhan menurun (Schnake, 1991).

b. Kolektivisme horisontal dan toleransi social loafing

Budaya kolektivisme horisontal dicirikan dengan adanya status yang sama pada setiap individu dan penolakan terhadap otoritas atau dominasi yang bersifat hierarkis di dalam kelompok. Hubungan atau relasi dengan anggota-anggota kelompoknya sangat penting bagi individu yang memiliki derajat kolektivisme horisontal yang tinggi. Individu ini akan menjauhi hal-hal yang akan mengancam relasinya dengan anggota kelompoknya yang lain (Bond, dalam Triandis, 1995). Ketika anggota kelompok melakukan hal yang kurang disukainya (e.g. social loafing), individu akan mentolerir perilaku anggota kelompoknya tersebut dengan alasan untuk menjaga relasinya dengan anggota lain tersebut.

(38)

anggota kelompoknya. Salah satu ciri dari budaya dengan dimensi kolektivisme horisontal yang tinggi adalah adanya kelekatan emosional yang kuat antar anggota kelompok (Triandis, 1995). Ikatan emosional ini membuat individu untuk tidak membiarkan anggota kelompoknya melakukan social loafing, karena anggota kelompok yang melakukan

social loafing akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dan kelompok tidak akan menghasilkan performa yang maksimal (Welter dkk., 2002). Dengan demikian, individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme vertikal akan menolak social loafing dan berusaha membantu anggota kelompok lain untuk dapat mengembangkan dirinya (Carron, Burke & Prapavessis, 2004).

D.Hipotesa penelitian

Berdasarkan uraian teori dan dinamika antara dimensi individualism kolektivisme yang telah peneliti paparkan, hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan antara individualisme vertikal dengan toleransi social loafing. Di satu sisi, hubungan yang terjadi dapat bersifat positif, yaitu semakin tinggi derajat individualisme vertikal yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat individulisme vertikal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing

(39)

2. Ada hubungan antara individualisme horisontal dengan toleransi social loafing. di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu semakin tinggi derajat individualisme horisontal yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat individualism horisontal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing

menurun.

3. Ada hubungan antara kolektivisme vertikal dengan toleransi social loafing. Di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme vertical yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme vertikal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing menurun.

4. Ada hubungan antara kolektivisme horisontal dengan toleransi terhadap

social loafing. Di satu sisi, hubungan yang terjadi bersifat positif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme horisontal yang dimiliki individu, semakin toleran individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan (atau rekan-rekan) sekelompoknya. Di sisi lain, hubungan yang terjadi dapat bersifat negatif, yaitu semakin tinggi derajat kolektivisme horisontal yang dimiliki individu justru membuat toleransi social loafing

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif korelasional. Penelitian kuantitatif korelasional merupakan metode penelitian non-eksperimen untuk mengidentifikasi hubungan antara beberapa variabel (Howitt & Craer, 2011).

A.Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel adalah atribut, karakter, objek, kejadian, situasi yang nilainya berbeda pada tiap orang dan dapat berubah (Field, 2009). Variabel menurut Suryabrata (2010) merupakan segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian. Variabel bebas merupakan variabel yang dianggap menjadi penyebab suatu akibat, sedangkan variabel tergantung merupakan variabel yang dianggap akibat dari variabel bebas (Field, 2009).

Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah: 1. Variabel

bebas

: a. Kolektivisme horisontal b. Kolektivisme vertikal c. Individualisme horisontal d. Individualisme vertikal 2. Variabel

terikat

: Toleransi social loafing

B.Definisi Operasional

(41)

untuk mengukur variabel tersebut (Kerlinger, 1995). Definisi-definisi operasional variable-variabel penelitian adalah sebagai berikut:

1. Toleransi social loafing

Sesuai dengan definisi yang peneliti ajukan sebelumnya, toleransi

social loafing adalah kemampuan individu untuk menerima dan bertahan dalam kondisi dimana terdapat pengurangan usaha yang dilakukan oleh anggota ketika bekerja dalam kelompok. Hal ini dapat dioperasionalisasikan dengan melakukan pengukuran dengan menggunakan skala toleransi social loafing, yang aitem-aitemnya merupakan pertanyaan-pernyataan tentang sejauh mana individu dapat menerima dan bertahan dengan perilaku social loafing

yang dilakukan oleh anggota (atau anggota-anggota) kelompoknya. Alat ukur sebagai bentuk dari operasionalisasi variabel peneliti jelaskan selanjutnya.

2. Individualisme kolektivisme

a. Individu memiliki orientasi individualisme vertikal jika individu merasa terpisah dari orang lain, dan mengakui perbedaan antar individu.

b. Individu memiliki orientasi individualisme horisontal jika individu merasa terpisah dari orang lain dan menganggap tidak ada perbedaan antar individu.

(42)

d. Individu memiliki orientasi kolektivisme horisontal jika individu merasa memiliki hubungan emosional yang kuat antar individu dan menganggap tidak ada perbedaan antar individu.

Alat ukur individualism kolektivisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala individualisme kolektivisme yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia agar dapat lebih mudah dipahami dan sesuai dengan kondisi individu Jadi, semakin tinggi skor partisipan pada pengukuran individualisme kolektivisme ini, maka semakin tinggi derajat individualisme kolektivisme yang ia miliki.

Hal ini dapat dioperasionalisasikan dengan menggunakan alat ukur individualisme-kolektivisme berdasarkan teori yang diungkapkan oleh Triandis 1995, di mana pernyataan-pernyataan dalam alat ukur tersebut sudah mengungkapkan keempat dimensi yang disebutkan di atas.

C.Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi

(43)

social loafing yang melekat pada subjek penelitian. Sedangkan dari segi subjek, populasi di dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dan mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Medan Area.

2. Sampel

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau seluruh populasi, maka sering kali peneliti mengumpulkan data dari sebagian dari populasi yang dikenal dengan istilah sampel (Field, 2009). Sampel merupakan bagian populasi yang digunakan untuk memperkirakan karakteristik populasi.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik incidental sampling. Hadi (2000) mengatakan bahwa incidental sampling adalah teknik pengambilan sampel non-probability di mana tidak semua populasi diberi peluang yang sama untuk dijadikan sampel, hanya individu-individu atau kelompok-kelompok yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saja yang dijadikan sampel penelitian. Hal ini digunakan untuk memudahkan peneliti dalam mendapatkan sampel penelitian.

D.Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengungkap suatu fakta mengenai variabel yang akan diteliti (Azwar, 2010). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah self report

(44)

Bentuk kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berupa tipe pilihan dengan metode rating atau lebih dikenal dengan penskalaan model Likert. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua buah skala yakni, skala individualisme

-kolektivismedan skala toleransi social loafing yang masing-masing menggunakan penskalaan model likert.

1. Skala individualisme kolektivisme

Alat ukur individualisme-kolektivisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala individualisme kolektivisme yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia agar dapat lebih mudah dipahami dan sesuai dengan kondisi individu di Indonesia. Skala peneliti ciptakan dengan mererata aitem untuk membentuk skala individualisme kolektivisme yang merentang antara 1 sampai 4 (1 = rendah – 4 = tinggi). Jadi, semakin tinggi skor partisipan pada pengukuran individualisme kolektivisme ini, maka semakin tinggi derajat individualisme kolektivisme yang ia miliki.

Alat ukur ini terdiri dari 32 item. Di mana subjek diminta untuk memilih “STS” (sangat tidak setuju), “TS” (tidak setuju), “S” (setuju), atau

“SS” (sangat setuju). Setiap aitem akan diberikan skor 1 = “STS”, 2 = “TS”,

hingga 4= “SS”.

(45)

Tabel 1: Blue Print Skala Individualisme Kolektivisme Sebelum Uji Reliabilitas

Dimensi Aitem Jumlah

Individualisme Vertikal 17, 18, 19, 20, 35, 36 6 Individualisme

Horisontal

21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 37

13

Kolektivisme Vertikal 1, 7, 8, 9, 14, 42, 43 7 Kolektivisme Horisontal 2, 3, 4, 5, 6, 10, 11, 12,

13, 15, 16, 27, 29, 38, 39, 40, 41

17

TOTAL 43

2. Skala Toleransi social loafing

[image:45.595.134.527.150.351.2]
(46)

Tabel 2: Blue Print Skala Toleransi Social loafing Sebelum Uji Reliabilitas

E.Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas Alat Ukur

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti apakah sebuah instrumen benar-benar mengukur apa yang hendak diukur (Field, 2009). Menurut Azwar (2010) validitas tes atau validitas alat ukur adalah sejauh mana tes itu dapat mengukur apa yang ingin diukur. Suatu instrumen dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2009). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan validitas isi (content validity). Validitas isi adalah sejauh mana aitem-aitem dalam alat ukur mencermikan ciri atribut yang akan diukur (Azwar, 2009). Peneliti melakukan pengujian validitas isi dengan melakukan analisis rasional atau profesional judgement (Azwar, 2009). Dalam hal ini adalah dosen pembimbing peneliti.

2. Reliabilitas Alat Ukur

Konsep reliabilitas mengacu pada apakah suatu instrumen dapat diinterpretasi secara konsisten di situasi yang berbeda-beda (Field, 2009). Uji reliabilitas alat ukur pada penelitian ini menggunakan pendekatan konsistensi

Definisi Favorable Unfavorable Jumlah

Toleransi Social loafing

1, 2, 4, 7, 9, 10, 11, 13, 15

3, 5, 6, 8, 12, 14

[image:46.595.136.510.179.224.2]
(47)
[image:47.595.129.513.298.439.2]

internal (Cronbach’s alpha coeffecient) dengan menggunakan metode penyajian tunggal (single-trial administration) yaitu menggunakan satu bentuk tes yang hanya dikenakan sekali pada satu kelompok subjek, karena hal ini dinilai sangat praktis dan memiliki efisiensi yang tinggi dibanding metode yang lainnya (Azwar, 2004). Hasil uji reliabilitas pada alat ukur disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 3. Reliabilitas alat ukur

Alat ukur Koefisien alpha

- Toleransi social loafing .69 Individualisme Kolektivisme

- Individualisme Horisontal - Individualisme Vertikal - Kolektivisme Horisontal - Kolektivisme Vertikal

.77 .70 .78 .62

Tabel 4: Blue Print Skala Individualisme Kolektivisme Setelah Uji Reliabilitas

Dimensi Aitem Jumlah

Individualisme Vertikal 13, 14, 15, 16, 27 5 Individualisme

Horisontal

17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26

10

Kolektivisme Vertikal 4, 5,11, 31, 32 5 Kolektivisme Horisontal 1, 2, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 12,

28, 29, 30

12

[image:47.595.129.511.521.685.2]
(48)

Tabel 5: Blue Print Skala Toleransi Social loafing Setelah Uji Reliabilitas Favorable Unfavorable Jumlah

Toleransi

Social loafing

1, 2, 4, 7, 10, 11, 13, 15

- 8

F.Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahap analisis data.

1. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan peneliti melakukan studi literatur untuk mengkaji teori dan menemukan cara untuk mengukur variabel yang akan diteliti. Peneliti ada menemukan alat ukur yang sudah sering dipakai pada penelitian-penelitian sebelumnya tetapi ada juga yang harus dibuat sendiri oleh peneliti. Dalam penelitian ini peneliti menyediakan 8 aitem skala toleransi social loafing, dan 32 aitem skala individualisme-kolektivisme.

2. Tahap Pengumpulan Data

(49)

3. Tahap Analisis Data

Tahap analisis data meliputi pengecekan data, penomoran, input skoring, dan diolah menggunakan bantuan SPSS version 20.0 for windows. G.Uji Normalitas dan Uji Linieritas

Sebelum analisis data dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji linieritas.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi penyebaran data dalam penelitian pada tiap variabel terdistribusi secara normal (Field, 2009). Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian masing-masing variabel penelitian terlah terdistribusi secara normal. Hal ini perlu dilakukan karena jika populasi dari sampel yang diambil tidak normal, maka tes statistik yang bergantung pada asumsi normalitas itu menjadi cacat sehingga kesimpulannya tidak berlaku (Kerlinger, 1995). Dalam penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan melihat deskripsi data. Nilai skewness dan kurtosis yang tidak melebihi 1.0 menunjukkan bahwa sebaran data bersifat normal (Field, 2009). Uji normalitas dalam penelitian ini mengunakan one sample Kolmogorov Smirnov dengan bantuan SPSS 20.0 for windows.

2. Uji Linieritas

(50)

regresi sederhana yang melibatkan setiap variabel independen satu per satu sebagai prediktor tunggal toleransi social loafing.

H.Metode Analisis data

(51)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil penelitian, dan pembahasan yang berkaitan dengan analisa data penelitian sesuai dengan masalah yang akan dijawab maupun analisa tambahan atas data yang ada.

A.Analisis Data

1. Gambaran umum partisipan penelitian

Partisipan dalam penelitian ini merupakan mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dan Universitas Medan Area. Sampel penelitian berjumlah 100 mahasiswa (44 orang dari USU dan 56 orang dari UMA) yang terdiri dari 91 perempuan dan 9 laki-laki. Sebagian besar partisipan merupakan mahasiswa baru yaitu angkatan 2012 dan 2013 yang sudah pernah bekerja dalam kelompok.

2. Uji asumsi

(52)

regresi berganda, peneliti melakukan analisis regresi sederhana yang melibatkan setiap variabel independen satu per satu sebagai prediktor tunggal toleransi social loafing. Perlu dicatat di sini, untuk menghindari permasalahan multikolinieritas, setiap variabel peneliti centered (lihat Hayes & Preacher, 2008), dengan mengkonversi setiap variabel menjadi z-score. Sebagaimana tergambarkan di Tabel 2, hasil pengujian linearitas menunjukkan bahwa kolektivisme vertikal, individualisme horisontal, dan individualisme vertikal memiliki hubungan yang bersifat linear dengan toleransi social loafing.

[image:52.595.121.509.415.563.2]

Sedangkan kolektivisme horizontal tidak memiliki hubungan linear yang signifikan dengan toleransi social loafing.

Tabel 6. Linieritas Setiap Variabel Dengan Toleransi Social Loafing

Df F R2 P

Kolektivisme

Horizontal 1, 98 5.022 .05 .068

Kolektivisme

Vertikal 1,98 5.404 .05 .023

Individualisme

Horisontal 1,98 8.289 .08 .011

Individualisme

Vertikal 1,98 6.271 .06 .026

Dari hasil uji asumsi linearitas, didapatkan bahwa variabel bebas yang secara mandiri (dianalisis sebagai satu-satunya prediktor toleransi terhadap

(53)

peneliti ajukan (Hipotesis 4) sudah ditolak hanya dengan melakukan uji asumsi linearitas. Selanjutnya, yang peneliti uji hanyalah variabel bebas yang berhubungan linear dengan variabel tergantung, yakni variabel kolektivisme vertikal, variabel individualisme vertikal dan variabel individualisme horisontal.

3. Hasil Utama Penelitian

Peneliti berhipotesis ada hubungan antara individualisme vertikal (Hipotesis 1), individualisme horisontal (Hipotesis 2), kolektivisme vertikal (Hipotesis 3), dan kolektivisme horisontal (Hipotesis 4) dengan toleransi social loafing. Hipotesis-hipotesis penelitian peneliti ujikan melalui analisis regresi berganda (multiple regression). Perlu dicatat, ketiadaan hubungan linear yang signifikan antara kolektivisme horisontal dengan toleransi social loafing

[image:53.595.127.514.658.717.2]

membuat Hipotesis 4 secara otomatis ditolak. Dengan demikian, peneliti melanjutkan pengujian Hipotesis 1, 2, dan 3 saja. Hipotesis-hipotesis tersebut peneliti ujikan dengan menggunakan analisis regresi majemuk (multiple regression), di mana kolektivisme vertikal, individualisme vertikal, individualisme horisontal) peneliti masukkan sebagai prediktor toleransi social loafing, dengan seting sampel bootstrap sebanyak 20000.

Tabel 7: Uji Korelasi Dengan Menggunakan Analisa Regresi Berganda Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate

(54)

Hasil menunjukkan equasi yang signifikan, F(3, 96) = 5.72 , R2 = .15, p =.001. Hal ini menunjukkan bahwa peranan individualism (vertikal & horisontal) dan kolektivisme terhadap toleransi social loafing adalah sebesar 15,2 %, sedangkan sisanya yang sebesar 84,8 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan individualisme vertikal (B = .25, p = .047) dan individualisme horisontal (B = .28, p = .052) memiliki hubungan yang unik terhadap toleransi social loafing, sedangkan kolektivisme vertikal tidak (B = .23, p = .06).Dengan demikian, sesuai dengan Hipotesis 1 dan 2, hasil menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat individualisme vertikal dan horisontal, semakin tinggi pula toleransi individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan sekelompoknya. Bertolak belakang dengan Hipotesis 3, derajat kolektivisme vertikal bukanlah determinan toleransi social loafing yang unik.

B.Pembahasan

(55)

4, kolektivisme vertikal dan horisontal tidak berhubungan secara unik dengan toleransi social loafing. Pembahasan terkait dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu individualisme vertikal maupun horisontal berhubungan searah dengan toleransi social loafing, yang berarti bahwa semakin tinggi derajat individualisme vertikal dan horisontal yang dimiliki individu, semakin individu tersebut dapat mentolerir perilaku social loafing. Hal ini sesuai dengan penalaran yang peneliti lakukan sebelumnya, bahwa individu yang berorientasi pada dimensi individualisme vertikal menempatkan kepentingan personal di atas kepentingan kelompok (Triandis, 1995). Triandis juga menyebutkan bahwa masyarakat dari budaya individualis lebih menonjolkan prinsip „aku‟ dalam berperilaku. Ketika ada anggota kelompok yang melakukan

(56)

membuat individu tidak berusaha untuk mengomentari tanggung jawab anggota kelompoknya. Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi justru memiliki toleransi terhadap perilaku social loafing.

Untuk kolektivisme (baik itu vertikal dan horisontal), pada awalnya, peneliti menduga bahwa kedua variabel akan memiliki hubungan dengan toleransi

social loafing. Adapun dugaan ini berdasarkan penalaran bahwa kolektivisme vertikal dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antar individu, pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok, serta kepatuhan kepada otoritas dimana individu memiliki sikap melayani dalam kelompok dan rela berkorban untuk keuntungan kelompok (Markus & Kitayama dalam Soeboer, 2003). Sedangkan budaya kolektivisme horisontal dicirikan dengan adanya kesetaraan pada setiap individu dan menolak otoritas di dalam kelompok. Individu akan sangat memperhatikan hubungan atau relasinya dan menjauhi hal-hal yang akan mengancam relasinya dengan anggota kelompoknya yang lain (Bond, dalam Triandis, 1995; Ali, Lee, Hsich & Krishnan, dalam Dewantoro, 2012). Dari penalaran diatas peneliti menyimpulkan bahwa individu yang memiliki derajat kolektivisme baik vertikal maupun horisontal dalam dirinya akan memiliki sikap toleransi terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya.

(57)

sosial adalah pengetahuan individu tentang keanggotaannya terhadap kelompok (atau kelompok-kelompok) tertentu (Tajfel & Turner, 1979). Identitas sosial juga merupakan bagian dari konsep diri seseorang yang dibentuk berdasarkan afiliasinya dengan kelompok di mana dirinya bernaung (Hogg & Abrams, 2002). Individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok, akan berperilaku sesuai dengan harapan-harapan dalam kelompok. Individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme vertikal memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasikan dan menjunjung tinggi kelompok sebagai bagian penting dari dirinya (Stephan, Ybarra, & Morrison, 2009). Identifikasi terhadap kelompok yang tinggi ini berdampak pada kerelaan individu untuk menjaga dan melindungi identitas kelompok (Branscombe, Ellemers, Spears, & Doosje, 1999; Ellemers, Kortekaas, & Ouwerkerk, 1999; Stephan & Renfro, 2002). Social loafing

merupakan ancaman yang dapat merusak identitas kelompok secara keseluruhan (Triandis, 1995). Oleh karena itu, untuk melindungi kelompok dari ancaman identitas, individu yang memiliki derajat kolektivisme tinggi akan cenderung mengusahakan agar anggota-anggota kelompoknya tidak melakukan social loafing (Schnake, 1991).

(58)

untuk mengembangkan dirinya dan kelompok tidak akan menghasilkan performa yang maksimal (Welter dkk., 2002). Selain itu, individu dengan orientasi kolektivisme horisontal memandang kesetaraan dalam kelompok (Triandis, 1995), sehingga setiap anggota kelompok seharusnya mendapatkan dan memberikan hal yang sama untuk kelompok. Dapat disimpulkan bahwa individu dengan derajat kolektivisme baik secara vertikal maupun horisontal tidak memiliki toleransi terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan kelompoknya.

(59)

Selanjutnya, hasil penelitian ini juga mungkin dipengaruhi kurang baiknya adaptasi aitem skala penelitian. Kemungkinan aitem tidak dapat diterjemahkan secara baik dari bahasa aslinya dan tidak sesuai dengan budaya sampel penelitian yang akan dijadiikan subjek penelitian. Untuk penelitian lebih lanjut dapat dicermati penerjemahan secara lebih teliti dan menghindari ambiguitas makna pada tiap-tiap item, gunanya untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas skala. Hal ini yang menjadi kelemahan dari penelitian ini.

Untuk memperkaya penelitian ini, peneliti juga menghubungkan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Murniati (1996) yang menyebutkan bahwa Indonesia berada dalam dimensi individualisme kolektivisme, dan agaknya tepat berada di ambang individualisme. Hasil penelitian menyebutkan, meskipun sedang terjadi pergeseran menuju individualisme, namun nilai-nilai budaya tampaknya masih cukup mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Hal tersebut yang kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian ini, yang mengakibatkan nilai individualisme lebih berhubungan dengan tingkat toleransi

(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian hubungan individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Individualisme vertikal memiliki hubungan yang signifikan dengan toleransi

social loafing.

2. Individualisme horisontal memiliki hubungan yang signifikan dengan toleransi

social loafing.

3. Kolektivisme vertikal tidak memiliki hubungan dengan toleransi social loafing. 4. Kolektivisme horisontal tidak memiliki hubungan dengan toleransi social

loafing. B.Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti dapat memberikan saran agar penelitian ini dapat berguna bagi studi lanjutan mengenai individualisme dan toleransi social loafing. Beberapa saran antara lain :

1. Saran Metodologis

(61)

2. Kurang komprehensifnya teori yang peneliti gunakan, sehingga perlu dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai toleransi social loafing demi mendapatkan hasil penelitian yang lebih komprehensif.

3. Karena penelitian ini menggunakan alat ukur yang diadaptasi, sebaiknya untuk penelitian lebih lanjut dapat diperbaiki konstruksi alat ukur penelitian dan perlu dicermati penerjemahan secara lebih teliti, serta menghindari ambiguitas makna pada tiap-tiap item, gunanya untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas skala.

2. Saran Praktis

1. Dalam proses penyelesaian tugas sebaiknya dalam kelompok individu menjalin hubungan yang dekat dengan anggota kelompok (kolektivisme), agar tidak terjadi perilaku social loafing dalam proses penyelesaian tugas. 2. Dalam kelompok, diharapkan membagi atau memberi tanggung jawab

(62)

DAFTAR PUSTAKA:

Allport, Gordon W. 1954. The Nature of Prejudice. Oxford, England: Addison-Wesley.

Azwar, S. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_______. 2009. Reliabiltas dan Validitas (Cetakan IX). Jakarta:Pustaka Pelajar.

_______ . 2010. Sikap Manusia (Cetakan XIV). Jakarta:Pustaka Pelajar.

Baron, R. A.,dan Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial Jilid 1 (edisi 10). Jakarta : Erlangga.

Berndt, Thomas J. 2002. Friendship Quality and Social Development. Indiana: Purdue University

Branscombe, N. R., Ellemers, N., Spears, R., & Doosje, B. 1999. The context and content of Social identity threat. In N. Ellemers, R. Spears, & B. Doodje (Eds), Social Identity: Context, commitment Content. Oxford: Blackwell.

Brehm, S.S. 2002. Intimate relationship (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Carron, A., Burke, S. & Prapavessis, H. 2004. Journal of Applied Sport Psychology, Vol. 16, 41-58.

Chrisnawati, Nina. 2007. Pengaruh Self-Construal, Individualisme-Kolektivisme, dan Identitas Etnik Terhadap Kecenderungan Individu dalam Memilih Pasangan dalam Kelompok Etnis Batak. Jakarta: Universitas Indonesia.

Chong D. 1994. Tolerance and Social Adjustment To New Norms and Practices.

Political Behavior. Vol. 16, No. 1, 21-53.

(63)

De Cicco, Teresa L. & Storink Mirella L. 2007. An Investigation of the Relationships Among Self-Construal, Emotional Intelligence, and Well-Being. International Journal of Transpersonal Studies. 26, pp. 82-104.

De Janasz, Dowd, & Schneider. 2002. Interpersonal Skills in Organization. New York: McGraw-Hill.

Dewantoro, Ranggapati S. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Karyawan terhadap Keanggotaan Serikat Pekerja PT. Linfox Logistics Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ellemers, N., Kortekaas, P., & Ouwerkerk, J. W. 1999. Self-categorization, commitment to the group, and group self esteem as related but distinct aspects of social identity. European Journal of Social Psychology, 29, 371- 389.

Erlina. 2011. Metodologi Penelitian. Medan: USU Press

Erwandi, Dadan. 2004. Hubungan Antara Kohesi Kelompok dengan Stereotip Kelompok dengan Toleransi Politik Mahasiswa (Studi Perbandingan pada Mahasiswa FORKOT dan KAMMI). Jakarta: Universitas Indonesia.

Fernandez I., Paez D. & Gonzalez J. L. 2005. Independent And Interdependent Self Construal and Socio-Cultural Factors In 29 Nations. Revue Internationale De Psychologie. RIPS/ IRSP 18 (1), 35-63.

Field, A. 2009. Discovering Statistic Using SPSS.(3th Ed.).London: Sage Publication Ltd.

Hadi, S. 2000. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Hayes, A. F. & Preacher, K. J. 2008. Asymptotic And Resampling Strategies For Assessing And Comparing Indirect Effects In Multiple Mediator Models.

Behavior Research Methods, 40, 879-891.

Hofstede, G. 2005. Cultures and Organizations: Software of the mind. New York: McGraw Hill.

(64)

Howit, D., & Craer,D. 2011. Introduction to Research Methods in Psychology. England:Pearson.

Husain, Akbar. 2012. Social Psychology. India: Dorling Kindersley (India) Pvt. Ltd

Karau S. J. & Williams K. D. 1993. Social Loafing: A Meta Analytic Review and The Integration. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 65, No. 4 681-706.

Kerlinger, F. N. 1995. Asas-asas penelitian behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Kravitz, D. A., & Martin, B. 1986. Ringelmann rediscovered: The original article.

Journal of Personality and Social Psychology, 50(5), 936-941.

Latane, B., Williams, K., & Harkins, S. 1979. Many hands make light the work: The causes and consequences of social loafing. Journal ofPersonality and Social Psychology, 37(6), 822-832.

Lee, Wei-Na & Choi Sejung Marina. 2005. The Role of Horizontal and Vertical Individualism and Collectivism in Online Consumers‟ Responses Toward Persuasive Communication on the Web. Journal of Computer-Mediated Communication. 11(1)

Liden, Wayne, Jaworski dan Bennett. 2003. Social Loafing: A Field Investigation.

Journal of Management 30(2), 285-304.

Markus, H. R. & Kitayama, S. 1991. Culture And The Self: Implications For Cognition, Emotion, And Motivation. Psychological Review. 98. 224-53.

Oxford. 2003. Oxford Learner’s Pocket Dictionary (New Edition). Oxford University Press.

(65)

Prawira, Rangga. 2010. Hubungan antara Makna Hidup dengan Toleransi Beragama pada Jamaah Salafy di Bekasi. Jakarta:Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Santrock, J. W. 2002. Life-span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5. Jilid II. Jakarta: Erlangga.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan cet. 3. Jakarta: Balai Pustaka.

Schnake, M.E.(1991, March). Equity in Effort: The 'sucker effect' in co-acting groups. Journal of Management, 17(1), 41-56.

Septarini, Berlian G. 2003. Pengaruh Budaya Kolektivisme Terhadap Kompetensi Inti Pada Kelompok Lini Manajerial PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. Insan Media Psikologi.Vol. 5 / No. 1

Soeboer, Rubiana. 2003. Keadilan Distributif dalam Konteks Mayoritas-Minoritas (Studi Lapangan di Dua Perguruan Tinggi di Jakarta). Jakarta: Universitas Indonesia.

Stephan, W. G., & Renfro, C. L. 2002.The role of threats in intergroup relations. In D. Mackie& E. R. Smith (Eds.), From prejudice to intergroup emotions

(pp. 191-208). New York:Psychology Press.

Stephan, W. G., Ybarra, O., & Morrison, K. R. 2009. Intergroup threat theory. In T. D. Nelson (Ed.), Handbook of prejudice (pp. 43-60). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Suryabrata, Sumadi. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Tajfel, H., & Turner, J. C. 1979. An integrative theory of social confict. In W. Austin, &S. Worchel (Eds), The social psychology of intergroup relations. California:Brooks/Cole.

Tavris, C., Wade, C. 2008. Psikologi. Jakarta: Erlangga.

(66)

Triandis, H. C. 1994. Culture and social behavior. New York: McGraw-Hill.

___________ .1995. Individualism and Collectivism. Boulder, CO: Westview.

Triandis, H. C. & Gelfand, M. J. 1998. Converging Measurement Horizontal and Vertical Individualism and Collectivism. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 74, No. 1, 118-128.

Walsh, S. L., Gregory, E., lake, I. and Gunawardena, C. 2003. Self-construal, facework, and conflict styles among cultures in online learning environments. Educational Technology Research and Development, Vol. 51, No. 4, pp. 113-122.

(67)

Lampiran 1: Data Subjek Penelitian

SUBJEK USIA JENIS KELAMIN UNIVERSITAS

1 18 P UMA

2 19 P UMA

3 19 P UMA

4 19 P UMA

5 20 P UMA

6 18 P UMA

7 20 P UMA

8 19 P UMA

9 19 P UMA

10 18 P UMA

11 20 P UMA

12 20 P UMA

13 19 P UMA

14 20 P UMA

15 20 P UMA

16 21 P UMA

17 19 P UMA

18 18 P UMA

19 19 P UMA

20 18 P UMA

21 18 P UMA

22 18 P UMA

23 20 L UMA

24 20 L UMA

25 19 P UMA

26 18 P UMA

27 19 P UMA

28 19 P UMA

29 18 P UMA

30 19 P UMA

31 19 L UMA

32 19 L UMA

33 23 L UMA

34 20 P UMA

35 21 P UMA

36 19 P UMA

37 19 P UMA

38 19 P UMA

Gambar

Tabel 1: Blue Print Skala Individualisme Kolektivisme Sebelum Uji
Tabel 2: Blue Print  Skala Toleransi Social loafing Sebelum Uji
Tabel 4: Blue Print Skala Individualisme Kolektivisme Setelah Uji
Tabel 6. Linieritas Setiap Variabel Dengan Toleransi Social Loafing
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan tugas akhir ini adalah membangun sebuah sistem berbasis pengetahuan Psikiater dalam mendiagnosa autisme dan gangguan psikologis lainnnya pada usia anak-anak yang dapat

kiat yang efektif dalam memilih sebuah buku teks pelajaran bagi peserta didik.. dan guru

Sebaiknya PT Alas Seni Kreasi Industri memiliki pengendalian yang lebih baik lagi di dalam pengunaan jam tenaga kerja langsung yang dibutuhkan untuk mengasilkan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b di atas, perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Murung Raya tentang Retribusi

180 STIKes Wira Medika Bali. 181 STIKes Wiyata

Algoritma hibridisasi GA dan fuzzy sets yang dibuat untuk memproduksi paket soal terdiri dari lima proses utama, yaitu: pengkodean kromosom, pem- buatan populasi awal dengan

Table 1 presents the result of these series of experiments by showing the number of iteration needed for the initial contour to be converged to the true boundary for each approach:

Rapellent Acne Adalah Pembersih Jerawat Alami, Pembersih Jerawat Untuk Pria, Pembersih Jerawat Terbaik,.. Pembersih Jerawat yang Bagus, Pembersih Jerawat Acne, Pembersih Jerawat