• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studies on the behavior housewives in home pesticide usage In Special Capital Region Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studies on the behavior housewives in home pesticide usage In Special Capital Region Jakarta"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

IBU

PERILA

U RUMAH

IN

AKU PENG

H TANGG

TITI

SEKOLA

NSTITUT

GGUNAA

GA DI W

EK SITI

AH PASC

T PERTA

BOGO

2012

AN PEST

WILAYAH

YULIAN

CASARJA

ANIAN BO

OR

2

TISIDA O

H DKI JA

NI

ANA

OGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perilaku Penggunaan Pestisida oleh Ibu Rumah Tangga di Wilayah DKI Jakarta adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

(3)

ABSTRACT

TITIEK SITI YULIANI. Studies On The Behavior Housewives in Home Pesticide Usage in Special Capital Region Jakarta. Under supervision of HERMANU TRIWIDODO, KOOSWARDHONO MUDIKDJO, NURMALA K. PANJAITAN and SYAFRIDA MANUWOTO.

Urban pests such as cockroaches, mosquitoes, flies, ants, termites and rodents are commonly associated with health issues and some are actual disease vectors that can cause severe health problems in a community. Currently, mosquitoes are the main cause of the deadly human diseases, such as dengue fever, chikungunya, and malaria. To control these pests, people commonly use home pesticides because pesticides are considered practical, effective and efficient. However, pesticide uses can has negatively impact human health as well as the environment.The objectives of this study were to examine the behavior of Jakarta residence toward home pesticides use and to assess its impact on the incidence of poisoning the communities.The study was conducted in Jakarta from March to December 2005, with data updated in 2010 and 2011. The object of the research was the homemaker of the households, since women are primarily the decision makers for pesticide application. The study sites were divided into three categories, based on residential conditions : dirty, medium and clean. Information of 155 respondents in several residences in the areas of Jakarta was taken as samples. Observations on the presence of urban pests in the study were done by method landing baiting collection for mosquito, method of feeding to cockroaches and flies, direct counting for ants, and theswing system for termite. The study revealed that cockroaches, mosquitoes, flies, ants and termites are urban pests that are commonly found in households. Pesticide’s that were mostly used has the active ingredient of cypermethrin, imiprothrin and tansfluthrin. Results of the survey showed that 52.74% of respondents acknowledge that TV advertising is an important source of information in providing knowledge about the types of pesticides and 27.40% of respondents know the types of pesticides from experience of her parent behavior. The impact of pesticide exposure on human health can be seen from the symptoms of poisoning or symptoms similar to intoxication. A total of 46.3% housewives surveyed showed symptoms associated with respiratory problems, 5.9% experienced dizziness, 11.1% felt itchy skin, 7.4% of respondents felt nausea and vomiting and as much as 3.7% experienced fainting. Based on the survey, it is known that the characteristic level of education and income levels affect the attitude of homemakers (cognitive, affective and psychomotor) in pesticides used. The attitudes in home pesticide use did not correlate with behavior on the pesticides. Housewives behavior in pesticides use is more influenced by: (1) the level of pest population settlements, (2) advertising and (3) the ease in obtaining home pesticides.

(4)

TITIEK SITI YULIANI. Perilaku Penggunaan Pestisida oleh Ibu Rumah Tangga di Wilayah DKI Jakarta. Dibimbing oleh, HERMANU TRIWIDODO, KOOSWARDHONO MUDIKDJO, NURMALA K. PANJAITAN, dan SYAFRIDA MANUWOTO.

Hama permukiman yang ada di daerah permukiman seperti kecoa, nyamuk, lalat, rayap dan tikus dapat menularkan penyakit manusia dan menyebabkan masalah kesehatan bagi masyarakat. Saat ini, nyamuk adalah serangga utama yang menjadi vektor penyakit mematikan, seperti demam berdarah, cikungunya, dan malaria. Pencegahan penyakit tersebut umumnya diutamakan pada pengendalian vektor dengan berbagai cara, seperti aplikasi pestisida rumah tangga, raket listrik, cara-cara tradisional lainnya yang dikembangkan oleh komunitas (kelambu, pintu atau jendela berkassa, perangkap telur/ovitrap), sanitasi, atau fogging. Namun masyarakat cenderung menggunakan pestisida rumah tangga untuk mengendalikan hama permukiman yang mengganggu di lingkungan tinggal karena dianggap lebih praktis, efektif dan efisien, sehingga pestisida rumah tangga menjadi kebutuhan masyarakat bagi sebagian besar orang Indonesia, terutama mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Namun masyarakat tidak tahu, bahwa pilihan tersebut memiliki dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.

Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengetahui jenis-jenis hama permukiman dan mengkaji lingkungan yang menyebabkan munculnya hama permukiman di Jakarta, 2) mengkaji perilaku ibu rumah tangga dalam menggunakan pestisida di lingkungan tempat tinggal, 3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku penggunaan pestisida oleh ibu rumah tangga di lingkungan tempat tinggal dan 4) mengkaji dampak penggunaan pestisida di lingkungan rumah tangga terhadap keracunan di masyarakat.

Penelitian dilakukan di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta mulai bulan Maret sampai Desember 2005 dengan pemutakhiran data pada tahun 2010 dan tahun 2011. Lokasi penelitian dibagi dalam tiga kategori kondisi permukiman yaitu : kategori kotor, kategori sedang, dan kategori bersih. Sampel yang diambil adalah 155 ibu rumah tangga yang ada di beberapa kelurahan di wilayah DKI Jakarta (Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur).

Hama permukiman yang diamati dalam penelitian ini adalah hama yang termasuk jenis serangga. Data pestisida rumah tangga diperoleh dengan mengamati kemasan pestisida yang digunakan oleh responden serta pestisida yang ada di pasar. Parameter yang diamati terhadap pestisida rumah tangga adalah nama dagang, jenis formulasi, jenis bahan aktif, hama sasaran dan tanda bahaya yang tercantum dalam label kemasan pestisida. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara terstruktur, pengamatan perilaku dan kegiatan penghuni rumah tangga, serta pengamatan lingkungan sekitar permukiman.

(5)

permukiman yaitu nyamuk (Culex sp. dan Aedes spp.), kecoa (Periplaneta americana), semut (Formicidae), dan lalat (Musca domestica) dan rayap. Hama permukiman tersebut ditemukan di semua wilayah Jakarta pada tiga kategori permukiman bersih, sedang dan kotor. Meskipun populasi semut paling tinggi, tetapi masyarakat merasa bahwa hama yang paling mengganggu adalah nyamuk. Hal ini disebabkan atas kekhawatiran masyarakat terhadap serangan penyakit demam berdarah.

Dalam mengendalikan hama permukiman, masyarakat DKI Jakarta cenderung menggunakan pestisida untuk mengendalikannya. Hal ini dapat dilihat dari sebanyak 95.48% ibu rumah tangga menggunakan pestisida.

Hasil analisis sikap dalam ranah kognitif (pengetahuan) menunjukkan bahwa sebagian besar (89.68%) responden tahu bahwa ada beberapa serangga yang dapat menularkan penyakit pada manusia, seperti nyamuk menyebabkan penyakit demam berdarah, malaria, dan chikungunya; kecoa dan lalat dapat menyebabkan penyakit disentri dan kolera. Hanya sejumlah kecil 10.32 % responden menyatakan tidak tahu bahwa serangga dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Sikap responden pada ranah afeksi terhadap anggapan pestisida adalah racun dan pestisida tidak membahayakan diri dan keluarganya diperoleh pernyataan yang menarik yaitu sebanyak 25.49% responden setuju bahwa pestisida adalah racun, namun responden juga berpendapat bahwa pestisida tidak membahayakan dirinya dan keluarganya (17.97%).

Berdasarkan pengetahuan tentang dampak negatif penggunaan pestisida dan kemungkinan untuk mengurangi penggunaan pestisida, responden masih akan menggunakan pestisida dengan alasan masih banyak gangguan hama di rumah (61.31%), belum ada pestisida yang lebih bagus atau pestisida alami yang lebih bagus (6.57%), resiko adanya penyakit yang ditularkan oleh hama permukinan yang masih tinggi (6.57%), serta sebanyak 2.19% responden mengatakan tidak ada pemikiran untuk mengurangi penggunaan pestisida karena menganggap bahwa hama hanya bisa dibunuh dengan menggunakan pestisida.

(6)

penghujan (8.0%), sedangkan sebanyak 43.8% responden menggunakan pada musim kemarau dan hujan. Artinya, ibu rumah tangga menggunakan pestisida tidak mengenal musim.

Dampak dari paparan pestisida terhadap kesehatan manusia dilihat dari gejala keracunan atau gejala mirip keracunan pada responden. Survei menunjukkan bahwa responden yang pernah mengalami keracunan, 46.3% responden pernah keracunan dengan gejala sesak nafas, 25.9% responden keracunan dengan gejala pusing-pusing, 11.1% mengalami gata-gatal di kulit, 7.4% lagi mengalami mual-mual atau muntah, bahkan 3.7% responden pernah pingsan setelah melakukan penyemprotan pestisida cair di kamar. Sebanyak 5.6% dengan gejala keracunan pestisida lainnya seperti karena kelalaian dan upaya bunuh diri dengan menggunakan pestisida. Responden yang pernah keracunan tersebut berada di hampir semua wilayah Jakarta.

Berdasarkan hasil survei ibu rumah tangga tentang sumber informasi terlihat bahwa 52.74% responden menyatakan bahwa iklan TV merupakan sumber informasi yang penting dalam memberikan pengetahuan tentang jenis pestisida dan sebanyak 27.40% responden mengetahui jenis pestisida dari pengalaman masa lalunya yaitu mengikuti jejak orang tuanya.

Sikap dan media informasi mempengaruhi perilaku responden dalam memilih dan menggunakan pestisida rumah tangga. Sikap ibu rumah tangga yang positif ternyata tidak diikuti oleh perilaku baik dari ibu rumah tangga dalam menggunakan pestisida rumah tangga. Perilaku ibu rumah tangga yang tidak sesuai dengan penggunaan pestisida yang baik adalah: (1) penggunaan pestisida yang tidak sesuai petunjuk, (2) penggunaan pestisida yang terjadwal rutin tanpa memperhatikan ada atau tidaknya hama, dan (3) penggunaan pestisida yang dilakukan sepanjang tahun tanpa memperhatikan musim.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

PERILAKU PENGGUNAAN PESTISIDA OLEH

IBU RUMAH TANGGA DI WILAYAH DKI JAKARTA

TITIEK SITI YULIANI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :

1. Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Sc. Staf Pengajar

Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor Bogor

2. Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Staf Pengajar

Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Bogor

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka :

1. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Staf Pengajar

Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor Bogor

2. Prof. Dr. Ir. Y. Andi Trisyono, M.Sc. Staf Pengajar

Jurusan Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian

(10)
(11)

PRAKATA

Alhamdulillah hirobbil alamin penulis panjatkan ke-hadirat Allah SWT karena ridho dan barokahNya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc., Dr. Nurmala K.Panjaitan, MS.,DEA, dan Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc atas segala kesabaran dan bimbingan, kritik, saran, serta dukungan yang sangat besar dalam penulis menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Quality Undergraduate of Education (QUE) Project, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB yang telah memberi beasiswa dan dana sandwich untuk kegiatan Program Doktor ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyelesaikan Program Doktor ini.

Penulis mengucapkan terima kasih atas perhatian, bantuan, pemberian semangatnya dalam penyelesaian penulisan disertasi ini kepada semua teman-teman Departemen Proteksi Tanaman, juga teman-teman-teman-teman: Septiva Herlin sekeluarga, Sigit Pamungkas, Sri Mulyati, Alfian, Rr. Laras Anjarsari, Damayanti, Dede Sukaryana, Sutarya serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan kepada kedua almarhum orang tua kandung dan suami tercinta H. Hardono Pujosatoto. Terima kasih yang tulus kepada anak-anakku: Iriadona Sekarani, Anggi Pradityo, menantu Cahyo Ari Wibowo, cucu Rakha Arya Wibowo; adik-adik dan kakakku tersayang: Hj. Endang Wahyuni sekeluarga, Dwi Wahyudianto sekeluarga, Ebar Eko Supriyanto sekeluarga, Yayuk Setyowati sekeluarga, Cipit Sri Mujiasih sekeluarga, dan alm. Naniek Tri Suharyani sekeluarga atas segala perhatian, dukungan, pemberian semangat, dan doa-doanya selalu.

Akhirnya penulis berharap semoga apa yang telah dihasilkan ini dapat bermanfaat sebagai petunjuk untuk memperbaiki kesehatan masyarakat dan lingkungan dari paparan pestisida rumah tangga.

Bogor, Januari 2012

(12)

Halaman

DAFTAR TABE ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 5

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Interaksi Manusia dengan Lingkungan ... 7

Pengendalian Hama Permukiman ... 16

Pestisida ... 18

Dampak Pestisida Rumah Tangga ... 23

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 29

Kerangka Pemikiran ... 29

Hipotesis Penelitian ... 33

METODOLOGI PENELITIAN ... 35

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

Populasi dan Sampel Penelitian ... 36

Rancangan Penelitian ... 37

Data dan Instrumentasi ... 37

Metode Pengumpulan Data Hama Permukiman ... 40

Metode Pengumpulan Data Pestisida ... 42

Analisis Data ... 42

Definisi Operasional ... 43

GAMBARAN UMUM ... 49

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 49

Gambaran Umum Responden ... 68

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 73

Sumber Informasi ... 73

Ranah Pengetahuan Responden ... 76

Ranah Afektif Responden terhadap Penggunaan Pestisida ... 82

Ranah Psikomotorik Responden terhadap Penggunaan Pestisida ... 91

Perilaku Responden Menggunakan Pestisida ... 93

Menggunakan Jenis Pestisida ... 93

Cara Menggunakan Pestisida ... 100

Biaya Rata-Rata yang Dikeluarkan untuk Membeli Pestisida ... 105

(13)

Hubungan antara Sikap dan Perilaku Penggunaan Pestisida ... 107

Dampak Penggunaan Pestisida ... 115

KESIMPULAN DAN SARAN ... 119

Kesimpulan ... 119

Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 121

(14)

Halaman 1 Klasifikasi toksisitas dan simbol bahaya pestisida ………... ….. 21 2 Perkembangan jumlah dan bahan aktif pestisida rumah tangga 22 3 Contoh beberapa bahan aktif pestisida dan potensi bahayanya

pada kesehatan manusia ………... 26

4 Penentuan sampel penelitian ………... 35

5 Kondisi air sungai di DKI Jakarta berdasarkan

keperuntukkannya ………. 52

6 Kondisi situ dan dan nilai IKA situ di DKI Jakarta …..………... 35 7 Persentase responden berdasarkan persepsi tentang jenis hama

yang ada di lingkungannya ……….…..………... 63

8 Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk

provinsi DKI Jakarta pada tahun 2009………..………... 67 9 Distribusi responden berdasarkan umur ………….…..………... 69 10 Distribusi responden berdasarkan pendidikan ………..………... 70 11 Distribusi responden berdasarkan status pendapatan per bulan.. 71 12 Distribusi responden berdasarkan jumlah anggota keluarga …... 71 13 Kasus penyakit menular (demam berdarah, diare, malaria dan

filariasis) di provinsi DKI Jakarta tahun2007...…...………... 78 14 Kategori toksisitas bahan aktif yang digunakan responden …... 97 15 Kategori golongan bahan aktif yang digunakan responden ..…... 98 16 Hasil uji Chi square antara sikap (kognitif, afektif dan

psikomotorik) dan perilaku ibu rumah tangga dalam pemakaian

dosis pestisida ……….…..………... 108

17 Keeratan hubungan antara sikap (kognitif, afektif dan

psikomotorik) dan perilaku dalam pemakaian dosis pestisida … 109 18 Hasil uji Chi square antara sikap (kognitif, afektif dan

psikomotorik) dengan frekuensi menggunakan pestisida ….…... 110 19 Keeratan hubungan antara sikap (kognitif, afektif dan

psikomotorik) dengan frekuensi menggunakan pestisida …….... 110 20 Hasil uji Chi square antara sikap (kognitif, afektif dan

psikomotorik) dengan waktu penggunaan pestisida …..……... 111 21 Keeratan hubungan antara sikap (kognitif, afektif dan

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan kerangka pemikiran ………... 32

2 Peta DKI Jakarta ………. 49

3 Kondisi lingkungan tinggal ……….. 56

4 Kondisi permukiman yang rimbun dengan tanaman ………... 57 5 Tempat atau lokasi ditemukannya hama permukiman ... 58 6 Pengetahuan responden tentang musuh alami hama

permukiman………... 58 7 Hewan yang dianggap responden sebagai musuh alami hama

permukiman ………..……….. 59

8 Gambaran rumah responden berdasarkan ada tidaknya hama

permukiman ………..….. 60

9 Jenis hama permukiman yang diamati ………..… 61

10 Jumlah hama (ekor) per unit contoh di DKI Jakarta ………. 62 11 Persentase responden yang mengendalikan hama permukiman 64 12 Kebijakan pemerintah untuk pengasapan/fogging ……….. 65 13 Persentase responden terhadap sumber informasi yang dianggap

paling penting dalam memilih pestisida ……….………. 73

14 Persentase responden tentang sumber informasi untuk memilih

jenis pestisida yang biasa digunakan ……….. 74

15 Persentase responden tentang sumber informasi penggunaan

dosis pestisida ……….……….. 75

16 Pengetahuan responden tentang penyakit yang disebabkan oleh

serangga atau hama ….………. 76

17 Persentase responden tentang pengetahuan jenis penyakit yang

disebabkan oleh serangga atau hama ……….…. 77

18 Pengetahuan responden terhadap penyebab munculnya hama

permukiman ……….. 79

19 Persentase jumlah responden tentang biopestisida... 81 20 Pengetahuan responden tentang efek penggunaan pestisida

terhadap lingkungan atau resiko terhadap binatang peliharaan 81

21 Persentase sikap responden terhadap program

pengasapan/fogging oleh petugas ……..………... 83 22 Persentase responden dalam memilih pengendalian hama

(16)

23 Persentase responden yang rela mengeluarkan uang lebih banyak

untuk pengendali hama yang aman dan tidak berbahaya ……. 85 24 Persentase responden dalam memilih pestisida karena lebih

simpel, murah dan efektif ……… 86

25 Persentase responden tentang anggapan pestisida berdampak

buruk pada lingkungan ……….... 87

26 Persentase responden yang menganggap pestisida tidak

berwawasan lingkungan …... 88 27 Persentase responden yang menyatakan bahwa pestisida adalah

racun …….………... 88

28 Persentase responden yang menyatakan pestisida tidak

membahayakan diri dan keluarganya ………... 89 29 Persentase responden tidak peduli dengan dampak pestisida ..… 90 30 Persentase responden dalam ranah afektif dalam penggunaan

pestisida ……….. 90

31 Persentase responden tentang berfikir ada kemungkinan

mengurangi pemakaian pestisida di masa depan ……..……….. 91 32 Cara lain untuk mengendalikan serangga hama selain dengan

menggunakan pestisida ……… 92

33 Jumlah responden yang menggunakan pestisida …..…………. 93 34 Bentuk formulasi pestisida yang digunakan responden .………. 94 35 Persentase responden yang menggunakan bahan aktif Pestisida 96 36 Peningkatan jumlah pestisida rumah tangga dan bahan aktif …… 99 37 Pestisida rumah tangga yang didaftarkan sesuai hama sasaran …. 100

38 Responden yang membaca petunjuk penggunaan sebelum

menggunakan pestisida ……… 100

39 Responden yang menggunakan pestisida sesuai petunjuk

penggunaan ……….. 101

40 Persentase responden terhadap tempat penyimpanan pestisida rumah tangga ………

102 41 Persentase responden terhadap penggunaan pestisida rumah

tangga ……… 103

42 Persentase frekuensi penggunaan pestisida rumah tangga …… 104 43 Persentase waktu penggunaan pestisida rumah tangga ………… 104 44 Persentase responden menggunakan pestisida pada musim

(17)

45 Persentase responden dalam pembelian ………..……… 106

46 Cara pengendalian hama non- kimiawi …..……… 106

47 Persentase responden yang menggunakan pengendalian

non-kimiawi ……….…… 107

48 Persentase responden tentang pengetahuan kemungkinan

mengurangi pemakaian pestisida ……..…..……… 114

49 Persentase responden terhadap alasan tetap menggunakan

pestisida rumah tangga ……….…..……… 115

50 Persentase responden yang pernah mengalami gejala keracunan

(18)

Halaman 1 Definisi operasional, indikator dan pengukuran peubah

penelitian ………. 127

2 Uji Statistik Chi Square ………...…... 133

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penggunaan pestisida mengundang pro dan kontra, sebagian masyarakat menganggap bahwa penggunaan pestisida merupakan cara bagi masyarakat dan anggota keluarganya untuk terhindar dari berbagai penyakit manusia yang disebabkan oleh hama permukiman, sementara itu sebagian lainnya mempunyai anggapan bahwa penggunaan pestisida dalam jangka panjang akan mengancam kesehatan masyarakat serta mencemari lingkungan.

Telah banyak diketahui bahwa pergulatan antara manusia dan hama telah terjadi selama adanya peradaban manusia. Salah satu contoh dibidang pertanian adalah pergulatan antara petani dan serangga hama. Tidak berbeda jauh di permukiman, pergulatan penghuni rumah tangga dengan hama permukiman juga telah berlangsung sejak dulu hingga kini.

Interaksi antara penghuni rumah tangga dan hama permukiman merupakan suatu interkasi yang dinamis diantara komponen lingkungan untuk masing-masing mempertahankan hidup. Hama permukiman membutuhkan manusia untuk kelangsungan hidupnya, sementara penghuni rumah tangga menghindari keberadaan hama juga untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, karena hama permukiman menularkan sejumlah penyakit, seperti demam berdarah, malaria, chikungunya, diare dan disentri.

(20)

Dalam Hadi dan Koesharto (2006) disebutkan berbagai jenis bakteri patogen yang berhasil diisolasi dari lalat rumah (Musca domestica) yang diperoleh dari tempat pembuangan sampah dan kandang ayam antara lain adalah Enterobacter aerogenes, E. aggolerans, Escheria coli, Pseudomonas sp. dan Salmonella sp. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit lambung dan usus seperti disentri dan diare, salmonellosis (tifoid, paratifoid dan keracunan makanan) dan kolera. Pada beberapa kasus, lalat rumah dapat juga berfungsi sebagai vektor penyakit kulit seperti lepra dan yaws (frambusia atau patek). Hama permukiman lainnya, seperti rayap juga menimbulkan masalah yaitu memakan struktur kayu bangunan. Nandika (2003) melaporkan rata-rata persentase serangan rayap pada bangunan perumahan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Batam mencapai 70%. Di Jakarta dan sekitarnya jenis rayap tanah yang menyerang bangunan adalah Macrotermes dan Odontotermes.

Untuk mengendalikan populasi hama permukiman yang menjadi vektor penyakit demam berdarah dan penyakit lainnya, masyarakat terpaksa

menggunakan pestisida rumah tangga1. Dengan tingkat serangan yang tinggi dan terjadi setiap tahun, jumlah rumah tangga di DKI Jakarta yang menggunakan pestisida rumah tangga termasuk dalam tiga besar di Indonesia setelah propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur (BPS 2001). Begitu juga untuk pengendalian rayap, teknologi yang banyak dipakai sekarang ini oleh jasa pengendali hama/pest control adalah dengan menggunakan pestisida berupa injeksi termisida pada bangunan yang telah terserang (Nandika 2003).

Dengan semakin banyak pengguna pestisida rumah tangga, jenis pestisida rumah tangga dan bahan aktifnya pun mengalami peningkatan. Ini terlihat pada jenis pestisida permukiman yang semakin banyak didaftarkan dan mendapat perizinan beredar di pasar. Pada tahun 2004 jumlah pestisida yang mendapat ijin untuk beredar di pasar sebanyak 208 merk dagang dengan bahan aktif sebanyak 48 jenis. Sementara pada tahun 2011, jumlah merk dagang yang mendapat ijin

1

(21)

edar meningkat menjadi sebanyak 383 merk dagang dengan bahan aktif sebanyak 71 jenis (Departemen Pertanian Jakarta tahun 2004, 2007, 2008, 2010, dan 2011)

Kekhawatiran yang tinggi akan terjangkit berbagai penyakit yang ditularkan oleh hama permukiman mendasari alasan masyarakat untuk menggunakan pestisida rumah tangga. Hal ini dapat dimengerti ketika melihat tingkat kematian yang tinggi akibat penyakit demam berdarah dan semakin meluasnya daerah penyebaran epidemi penyakit-penyakit di atas. Untuk mencegah terjangkit penyakit tersebut masyarakat secara aktif dan intensif melakukan upaya pengendalian serangga vektor penyakit demam berdarah baik melalui cara 3M (menguras, menutup tempat air, dan mengubur barang bekas), memakai kelambu ketika tidur serta mengenakan pakaian tertutup (Kusriastuti 2003), juga pestisida rumah tangga.

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasi hama. Secara umum faktor tersebut terdiri atas faktor abiotik, faktor biotik dan faktor sosial budaya. Faktor fisik atau abiotik adalah faktor tak hidup yang

mempengaruhi perkembangan serangga. Beberapa faktor fisik utama, yaitu: suhu, kelembaban, iklim, ketersediaan makanan dan kondisi lingkungan tinggal. Faktor biotik adalah faktor hidup yang mempengaruhi perkembangan populasi serangga, yang terdiri dari golongan tumbuhan, hewan maupun manusia (Sigit et al. 2006). Faktor sosial budaya meliputi perilaku manusia seperti perilaku masyarakat perkotaan. Kota Jakarta banyak pendatang yang berasal dari daerah-daerah miskin untuk bekerja, mereka biasanya mencari tempat permukiman yang sesuai dengan pendapatannya. Oleh karena itu, terciptalah daerah-daerah kumuh yang tatanan maupun sanitasinya jauh dari memenuhi syarat, misalnya tidak adanya irigasi air limbah rumah tangga, tidak tersedianya tempat sampah, dan tatanan tempat tinggal yang saling berdekatan tanpa ventilasi (Hadi dan Koesharto 2006). Hal ini semua dapat memicu perkembangan serangga terutama nyamuk.

(22)

benar akan dampak negatif ini. Survei Lembaga Penelitian dan Pendidikan Konsumen (LP2K) Semarang tahun 1992, kaum perempuan di daerah Gunung Pati, Semarang kebanyakan (67 persen) tidak tahu bahwa pestisida berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan mereka. Sebanyak 97 persen tidak mengetahui gejala keracunan. Tiga orang yang mengetahui gejala keracunan hanya mampu menyebutkan dua jenis keracunan akibat pestisida, yaitu pusing-pusing dan mulut berbuih (Pesticide Action Network 1993).

Keterbatasan pengetahuan tentang pestisida ini juga terjadi pada kalangan petani. Petani di Kabupaten Tegal mempunyai tingkat pengetahuan yang rendah terhadap pengelolaan pestisida yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini tercermin dari kebiasaan petani dalam mencampur pestisida yang masuk dalam kategori sangat berbahaya (IB) dan yang dilarang (Hidayat et al. 2010). Penelitian ini juga menemukan bahwa ada kaitan yang nyata antara pengetahuan dan tindakan petani dalam aplikasi serta penanganan pestisida dengan tingkat gejala keracunan yang dialami oleh petani. Walaupun di negara berkembang

menggunakan pestisida 25% dari total penggunaan pestisida di seluruh dunia, tetapi dalam hal kematian akibat pestisida 99% terjadi di negara-negara berkembang. Penyebabnya adalah rendahnya tingkat pendidikan petani-petani di negara-negara berkembang sehingga cara penggunaan pestisida sangat tidak aman (Miller 2004), dia mengamati keterkaitan pendidikan petani dengan cara penggunaan pesisida.

(23)

berkembang. Di beberapa negara miskin, bahan-bahan kimia tidak ditangani atau disimpan sesuai standar minimal. Produk racun tinggi mudah didapatkan dan tersedia di kios-kios sampai toko besar, sementara pakaian pelindung seringkali terlalu mahal untuk petani kecil atau tidak mungkin menggunakan dalam kondisi kelembaban dan lingkungan yang panas (ESA Newsletter 2002).

Keprihatinan pada penggunaan pestisida yang semakin meningkat dan kekurang hati-hatian masyarakat dalam penggunaannya memunculkan pertanyaan, faktor apakah yang mendorong masyarakat untuk selalu menggunakan pestisida?

Perumusan Masalah

Pada saat ini pestisida rumah tangga semakin banyak beredar dengan berbagai merk dagang dan kandungan bahan aktif yang ternyata dapat berbahaya bagi manusia. Sementara itu kasus-kasus DBD yang menyebabkan kematian di Indonesia juga semakin meningkat. Alasan khawatir terjangkit DBD mendorong masyarakat rutin menggunakan pestisida meskipun mereka juga menggunakan pengendalian non-kimia. Didukung oleh media massa, pestisida rumah tangga

semakin dikenal masyarakat dan digunakan secara rutin oleh masyarakat. Sementara masyarakat nampaknya tidak sadar akan bahaya yang datang dari penggunaan pestisida secara berlebihan. Dikhawatirkan penggunaan pestisida akan semakin meningkat di kemudian hari, sehingga dapat membahayakan masyarakat dan lingkungan.

Berdasarkan ulasan tersebut, maka penekanan permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Hama permukiman apa saja yang ditemukan di permukiman wilayah DKI Jakarta?

2. Faktor-faktor lingkungan apa saja yang menyebabkan munculnya hama permukiman di Jakarta?

3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi sikap dan perilaku penggunaan pestisida oleh ibu rumah tangga di lingkungan tempat tinggal?

4. Bagaimana perilaku ibu rumah tangga dalam menggunakan pestisida di lingkungan tempat tinggal?

(24)

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui jenis-jenis hama permukiman yang ada di Jakarta.

2. Mengkaji lingkungan yang menyebabkan munculnya hama permukiman di Jakarta.

3. Mengkaji perilaku ibu rumah tangga dalam menggunakan pestisida di lingkungan tempat tinggal.

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku penggunaan pestisida oleh ibu rumah tangga di lingkungan tempat tinggal. 5. Mengkaji dampak penggunaan pestisida di lingkungan rumah tangga terhadap

keracunan di masyarakat.

Manfaat Penelitian

Kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi serangga hama permukiman di lingkungan tempat tinggal.

2. Memberikan informasi tentang perilaku penduduk Jakarta tentang penggunaan pestisida rumah tangga.

3. Memberikan masukan kepada masyarakat dalam memilih dan menggunakan produk pestisida rumah tangga secara lebih baik dan rasional.

4. Memberikan masukan kepada pemerintah untuk memperbaiki konsep penataan lingkungan permukiman terkait ketersediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana, serta teknik pengendalian hama permukiman

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Interaksi Manusia dengan Lingkungan

Dalam ekosistem, interaksi antara manusia dengan organisme lainnya bersifat dinamis. Interaksi tersebut seringkali terjadi dalam bentuk kompetisi, contohnya interaksi antara petani dan hama. Hama dipandang merugikan oleh petani karena dapat menyebabkan kegagalan panen. Kekhawatiran terhadap serangan hama mendorong petani menggunakan pestisida secara intensif. Sebagian besar petani berkeyakinan bahwa pestisida dapat menghindarkan tanaman dari serangan hama, sehingga memicu penggunaan pestisida dari waktu ke waktu.

Berbeda dengan petani, pada isu hama permukiman, ukuran tingkat kerugian tidak hanya diukur dampak ekonominya saja, tetapi juga diukur dampak kesehatan dan tingkat gangguan atas kenyamanan hidup manusia. Keberadaan

hama permukiman di lingkungan tinggal manusia tidak dapat terlepas dari aktivitas manusia itu sendiri. Namun sulit bagi manusia untuk berbagi ruang hidup dengan hama tersebut. Manusia menganggap bahwa hama permukiman merupakan kelompok hewan yang menjijikkan, merugikan kesehatan manusia serta mengganggu kenyamanan hidup. Hal ini disebabkan kekhawatiran manusia terhadap penyakit yang ditularkan oleh hama permukiman, diantaranya penyakit demam berdarah dengue yang ditularkan oleh nyamuk dari genus Aedes spp.

DKI Jakarta merupakan propinsi dengan jumlah penderita DBD terbanyak. Pada tahun 2003, jumlah kasus serangan DBD sebanyak 14.071 orang. Jumlah penderita ini meningkat pada tahun 2004 menjadi 20.640 orang (Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta 2004 dalam Sungkar 2007). Serangan tersebut cenderung menurun pada tahun 2005 yang mencapai 874 orang dan meningkat lagi pada tahun 2009 dengan jumlah penderita mencapai 18.343 kasus. Pada tahun 2010 terjadi serangan sebanyak 8.388 kasus.

(26)

pestisida untuk mengendalikan hama permukiman. Walaupun dikhawatirkan membawa dampak kesehatan dan dampak lingkungan, namun penggunaan pestisida yang intensif pada area permukiman menjadi kebutuhan masyarakat guna mendapatkan rasa aman dari kekhawatiran atas serangan penyakit yang

ditularkan oleh hama permukiman.

Manusia dengan Lingkungan Fisik

Menurut Istamar Syamsuri et al. 2004, lingkungan fisik atau abiotik adalah salah satu komponen dalam ekosistem. Komponen abiotik adalah segala sesuatu yang tidak bernyawa. Beberapa contoh lingkungan fisik yang berkaitan dengan hama permukiman yaitu suhu, kelembapan, iklim, ketersediaan makanan, konstruksi bangunan, sarana sanitasi dasar permukiman, dan topografi.

1. Suhu

Secara umum serangga memiliki kisaran suhu tertentu untuk hidupnya, misalnya nyamuk mempunyai kisaran suhu optimum antara 25–27 oC. Di luar kisaran suhu tersebut, perkembangan populasi nyamuk akan terganggu.

2. Kelembaban

Kelembaban tanah, udara, dan tempat hidup serangga merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi, kegiatan, dan perkembangan serangga. Menurut Mardihusodo dalam Yudhastuti (2005), kelembaban udara yang berkisar 81.5–89.5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses pembentukan embrio dan ketahanan hidup embrio nyamuk.

3. Iklim

Iklim sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasi serangga. Contoh yang menarik adalah peledakan populasi ulat bulu di beberapa wilayah di Indonesia pada tahun 2011. Boer (Boer dalam Kompas 2011) mengatakan bahwa ledakan populasi ulat bulu dipengaruhi oleh terjadinya fenomena perubahan iklim.

4. Ketersediaan makanan

(27)

memproduksi makanan setiap hari, padahal sisa makanan dan sampah organik merupakan media perkembangbiakan lalat. Sepanjang ketersediaan makanan dan ruang untuk hidup tersedia, maka hama permukiman akan tetap ada.

5. Konstruksi bangunan

Keberadaan hama permukiman merupakan hasil perilaku manusia. Manusia membangun rumah tinggal untuk dirinya, sekaligus membuatkan habitat bagi

hama permukiman. Bahkan beberapa jenis serangga tertentu seperti lalat dan kecoa telah beradaptasi dengan kehidupan manusia semenjak manusia membentuk rumah tinggal. Hama permukiman menyukai ruangan yang kurang ventilasi, kurang cahaya, lembab, kotor dan penuh barang, seperti dapur, saluran air, dan gudang. Sementara kondisi di luar bangunan rumah tinggal yang banyak terdapat sampah, selokan air macet dan berisi air comberan, penuh dengan gulma dan semak-semak, seringkali dimanfaatkan hama sebagai tempat berlindung dan beristirahat serta berkembang biak.

6. Sarana sanitasi dasar pada lingkungan tinggal

Pertambahan penduduk seringkali berkaitan dengan menurunnya kualitas sanitasi lingkungan. Pertumbuhan jumlah penduduk tidak diimbangi dengan pembangunan fasilitas sanitasi dasar yang tidak memadai, misalnya selokan yang mampet dan tidak tersedia tempat pembuangan sampah. Kaleng atau ember bekas yang dibuang sembarangan karena tidak adanya fasilitas pembuangan sampah akan terisi air hujan dan menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Akibatnya terjadinya epidemi penyakit yang ditularkan oleh hewan, misalnya penyakit DBD.

Manusia dengan Lingkungan Biotik

Lingkungan biotik adalah segala mahluk hidup yang ada di sekitar individu baik tumbuhan, hewan, manusia dan mikroorganisme. Dalam suatu ekosistem, tiap unsur biotik berinteraksi antar biotik dan juga dengan lingkungan fisik/abiotik

(28)

Hama permukiman merupakan bagian dari faktor biotik yang juga dapat mempengaruhi kualitas lingkungan. Interaksi manusia dengan hama permukiman meliputi ambang toleransi dan monitoring status hama.

1. Manusia dengan Hama Permukiman

a. Ambang Toleransi. Istilah hama dalam ekosistem permukiman tergantung pada nilai ambang toleransi manusia yang menempati ekosistem tersebut.

Ambang toleransi tersebut kerapkali dihitung bukan hanya dalam nilai ekonomi semata, melainkan juga nilai kesehatan, rasa aman, dan estetika. Nilai ambang setiap manusia tergantung pada status sosial, tingkat pendidikan, dan budaya (Flint dan Bosch 2002). Menurut Sigit et al. (2006) ambang batas atau toleransi masyarakat terhadap hama rumah tangga berbeda-beda, bahkan hotel atau ruang perkantoran memberlakukan toleransi nol atau zero tolerance terhadap keberadaan hama permukiman. Kondisi zero tolerance ini juga berlaku bagi serangga/ hewan yang berperan sebagai musuh alami bagi hama permukiman, misalnya laba-laba, cicak, dan tokek.

Walaupun aktivitas manusia memberikan ruang hidup bagi manusia, tetapi sulit bagi manusia untuk berbagi ruang hidup dengan hama-hama tersebut. Manusia menganggap bahwa hama permukiman merupakan kelompok hewan yang menjijikkan, merugikan kesehatan manusia serta mengganggu kenyamanan hidup. Masyarakat mendefinisikan hama berdasarkan faktor-faktor berikut: 1) tingkat bahaya, kerugian atau gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh hama tersebut; 2) tingkat populasi hama di lingkungan permukiman; 3) tingkat toleransi pemukim terhadap keberadaan hama di lingkungannya.

Meskipun ambang toleransi masyarakat tergantung pada individu, namun tetap diperlukan penetapan ambang batas, terutama untuk pengendalian pengendalian kimiawi. Sebagai contoh fogging terhadap nyamuk demam berdarah

(29)

b. Monitoring Status Hama. Untuk mengetahui batas ambang kendali tersebut, diperlukan monitoring populasi hama. Monitoring untuk hama permukiman, lebih diperuntukkan untuk menentukan jenis pengendalian fogging untuk hama nyamuk, misalnya berdasarkan hasil monitoring tersebut dapat diputuskan perlu atau tidaknya dilakukan pengasapan atau fogging.

Salah satu contoh kegiatan monitoring yang lain yaitu melakukan kegiatan

pemeriksaan jentik berkala atau PJB. Pemeriksaan jentik berkala ini dimaksudkan untuk memantau dan mendata keberadaan jumantik di rumah-rumah yang ada di sekitar lingkungannya. Pemantauan status hama ini telah dilakukan di beberapa wilayah di Jakarta dan sekitarnya seperti Bekasi, Bogor, Depok dan Tangerang.

2. Faktor biotik yang mempengaruhi perkembangan hama permukiman a. Tumbuhan. Dalam ekosistem, tumbuhan berperan sebagai produsen atau

penyedia makanan bagi organisme konsumen tingkat terendah hingga tertinggi. Contohnya nyamuk jantan memakan nektar dari tumbuhan. Selain itu, tumbuhan juga dapat bermanfaat bagi hama permukiman sebagai tempat istirahat atau tempat perlindungan.

b. Musuh alami. Musuh alami adalah organisme yang memakan serangga permukinan. Musuh alami terdiri dari predator, parasitoid, maupun patogen. Dalam sebuah ekosistem, keberadaan musuh alami dan organisme netral inilah yang menjaga keseimbangan populasi hama.

c. Organisme non-musuh alami (netral). Organisme netral yaitu organisme yang tidak berperan sebagai mangsa, predator ataupun parasitoid tetapi ia berada di dalam ekosistem tersebut. Dalam konteks sebuah ekosistem, keberadaan hewan netral ini berpengaruh terhadap persaingan atas ruang hidup, misalnya perebutan oksigen, tempat untuk hidup, serta menjadi mangsa bagi organisme lainnya.

(30)

di perkotaan. Kebiasaan masyarakat yang buruk, seperti membuang sampah secara sembarangan menambah kondisi kekumuhan suatu wilayah. Kondisi ini akan dan menciptakan lingkungan tinggal tidak teratur dan kotor sehingga menambah beban lingkungan di permukiman. Lingkungan tersebut

disenangi oleh serangga hama.

Manusia dengan Lingkungan Sosial 1. Sikap Manusia

Sikap adalah penilaian positf atau negatif terhadap suatu obyek. Sikap atau attitude ini dapat dikatakan sebagai indeks pemikiran dan perasaan seseorang terhadap orang lain atau isu yang berkembang di lingkungannya (Deaux 1993). Umumnya definisi itu menggambarkan sikap sebagai kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu obyek. McGuire dalam Sarwono (1995) mendefinisikan sikap sebagai respon manusia yang menempatkan obyek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan. Obyek yang dipikirkan adalah segala sesuatu (benda, orang, dan lain–lain) yang bisa dinilai oleh manusia. Adapun dimensi pertimbangan adalah semua skala positif–negatif. Jadi, sikap adalah menempatkan suatu obyek ke dalam salah satu skala tersebut. Orang bisa bersikap bahwa menjaga kebersihan lingkungan bebas pestisida merupakan suatu tindakan yang baik, tidak menggunakan pestisida berlebihan sebagai tindakan yang baik, dan sebagainya.

Dalam konteks penelitian ini pembentukan dan perubahan sikap merupakan hal yang penting. Sebagai contoh mengubah sikap dari kebiasaan mengotori dan mencemari lingkungan menjadi memelihara kebersihan lingkungan dengan mengurangi penggunaan pestisida berlebihan. Berdasarkan pendekatan psikologi, perubahan sikap biasanya diterangkan sebagai proses belajar atau proses kesadaran (kognisi). Dilihat dari proses kesadaran ada dua teori relevan dengan penelitian ini, yakni teori reaksi psikologik (psychological reactance) dari Bhrem

(31)

dipengaruhi oleh bertambahnya pengetahuan menyangkut obyek sikap. Pendekatan teori tentang sikap timbul karena adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai inkonsistensi yang terjadi antara ketiga komponen kognitif, afektif, psikomotorik dan perilaku dalam membentuk sikap (Azwar 1995).

Kognitif. Komponen kognitif berisi perasaan atau kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Komponen

kognitif juga menyangkut pengetahuan responden tentang sesuatu. Misalnya pengetahuan responden tentang serangga dan pestisida antara lain: jenis serangga yang dianggap sebagai pengganggu (hama); jenis formulasi pestisida rumah tangga; pengendalian hama yang diketahui selain menggunakan pestisida dan sebagainya.

Menurut teori disonansi kognitif (Festinger 1957), dapat terjadi pengetahuan yang diperoleh ternyata saling bertentangan, sehingga terjadi kondisi disonan (tidak seimbang). Disonansi juga bisa terjadi antar sikap dan tingkah laku seseorang, ketika sikap tidak searah dengan tingkah laku. Manusia selalu berusaha agar mencapai keadaan seimbang dengan berbagai cara, misalnya mencari informasi baru untuk mendukung pengetahuannya atau merubah sikap atau tingkah laku. Walaupun sikap dan tingkah laku tidak selalu searah, namun manusia cenderung mengubah sikap sehingga konsisten dengan perilaku.

Perubahan sikap pada diri seseorang akan terjadi karena adanya keadaan disonan dalam dirinya, yakni adanya elemen kesadaran yang saling bertentangan. Seseorang perlu mengubah sikap atau perilakunya agar terjadi keseimbangan kembali (keadaan konsonan) antar elemen kesadaran itu. Teori disonansi merupakan teori motivasi yang berasumsi bahwa disonansi antara perilaku dan sikap awal seseorang memotivasi dirinya agar mengubah sikapnya (Atkinson 1983). Selain disonansi kognitif terdapat pula konsep keajegan kognitif. Atkinson (1983) mengemukakan bahwa keajegan kognitif ialah bahwa semua orang

(32)

Menurut Baron dan Byrne (2003) bahwa skema dapat mempengaruhi kognisi sosial seseorang melalui tiga proses dasar yaitu perhatian atau atensi (attention), pengkodean (encoding), dan mengingat kembali (retrieval). Atensi berkaitan dengan informasi yang diperhatikan. Pengkodean adalah proses dimana informasi yang menjadi perhatian disimpan di dalam ingatan. Mengingat kembali adalah proses di mana informasi dikeluarkan dari ingatan dan digunakan untuk

keperluan tertentu. Dalam hubungannya dengan atensi, skema sering kali berperan sebagai sejenis penyaring; informasi yang konsisten dengan skema lebih diperhatikan dan lebih mungkin untuk masuk ke dalam kesadaran seseorang. Informasi yang tidak cocok dengan skema sering kali diabaikan (Fiske 1993), kecuali informasi tersebut sangat ekstrim sehingga mau tidak mau akan diperhatikan.

Meskipun skema didasarkan pada pengalaman dan sering kali membantu, namun skema dapat mempengaruhi hal-hal yang diperhatikan dan yang masuk ke dalam ingatan. Hal ini sering terjadi distorsi pemahaman terhadap dunia sosial. Skema memainkan peran penting dalam pembentukan prasangka serta komponen dasar pada stereotipe tentang kelompok sosial tertentu. Seringkali skema sulit diubah karena memiliki efek bertahan (perseverance effect) atau tidak berubah bahkan ketika menghadapi informasi yang kontradiktif (Kunda dan Oleson 1995).

Afektif. Komponen afektif, menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap, komponen ini melukiskan perasaan negatif terhadap obyek. Komponen afektif juga menyangkut aspek emosional responden pada pestisida yaitu: alasan penggunaan pestisida rumah tangga untuk kenyamanan; alasan penggunaan pestisida rumah tangga untuk menghindari penyakit menular; ada dampak buruk pestisida rumah tangga bagi kesehatan manusia (diri sendiri dan keluarga); pestisida rumah tangga adalah racun yang berbahaya; pestisida

(33)

Psikomotorik. Komponen psikomotorik yaitu kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan obyek yang dihadapainya. Sebagai contoh seorang bersikap negatif terhadap ulat karena menganggap ulat sesuatu yang menjijikkan sehingga orang tidak menyukainya, dan mereka berusaha (bertindak) untuk menghindari atau membuang setiap ulat yang ditemui. Selain itu, komponen psikomotorik juga didefinisikan sebagai kesediaan

responden dalam bertingkah laku yang mencangkup: memilih pestisida rumah tangga yang sesedikit mungkin menimbulkan pencemaran lingkungan atau berwawasan lingkungan walaupun harganya lebih mahal; rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli alat pengendali hama (selain pestisida rumah tangga) yang aman dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya; memilih pestisida rumah tangga untuk mengendalikan hama rumah tangga dibandingkan cara-cara lain karena lebih mudah, murah, dan efektif; dan setuju rumahnya disemprot oleh petugas pengendali hama.

2. Perilaku Manusia

Konsep perilaku ini awalnya diperkenalkan oleh Watson (1941, 1919 dalam Wiggins 1994). Konsep ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi diantara tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu, yang menurutnya bersifat "mistik", "mentalistik", dan "subyektif". Dalam psikologi obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang "dapat diamati" (observable), yaitu pada "apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)". Dalam hal ini pandangan Watson

berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelesaikan perilaku sosial.

(34)

pentahapan kognitifannya yang disebut perkembangan kognitif. Teori Perkembangan kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, bagi Piaget berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep

yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata yaitu skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Skema merupakan struktur mental yang membantu seseorang mengorganisasi informasi sosial, dan yang menuntun pemrosesannya. Secara umum, skema berkisar pada suatu subyek atau tema tertentu.

Pengendalian Hama Permukiman

Masalah hama permukiman di Indonesia dewasa ini semakin banyak dirasakan masyarakat. Dengan meningkatnya tingkat perekonomian masyarakat, tuntutan terhadap kenyamanan hidup dan bebas dari kekhawatiran karena hama permukiman juga meningkat. Oleh karena itu pengendalian terhadap hama permukiman menjadi salah satu kebutuhan hidup masyarakat.

Taktik Pengendalian yang Tersedia

Secara umum cara-cara pengendalian hama permukiman terdiri dari pengendalian secara fisik, mekanik, hayati dan pengendalian kimiawi.

1. Pengendalian Fisik

Pengendalian fisik adalah perlakuan atau tindakan yang dilakukan untuk mengendalikan serangan hama dengan menggunakan tangan secara langsung atau

(35)

mikroorganisme. Berbagai teknik tersebut biasanya cocok untuk hama permukiman jenis tertentu, misalnya teknik pemanasan cocok digunakan untuk pengendalian hama gudang atau teknik perangkap cahaya hanya cocok digunakan pada hama permukiman yang aktif pada malam hari serta tertarik pada cahaya.

2. Pengendalian Mekanik

Pengendalian mekanik adalah teknik pengendalian hama dengan

menggunakan alat, misalnya alat pemukul, raket listrik, dan kipas angin atau exhause fan. Beberapa contoh pengendalian mekanik antara lain penggunaan alat sederhana, penggunaan penghalang fisik dan pengusir. Contoh penggunaan alat sederhana yaitu menggunakan alat pemukul untuk mengendalikan lalat atau nyamuk. Sementara itu beberapa tindakan yang termasuk dalam teknik penggunaan penghalang fisik yaitu menggunakan perangkap, misalnya kassa atau insect trap untuk menghalangi hama permukiman.

3. Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati dikenal sebagai suatu metode untuk mengendalikan atau mengurangi populasi hama dengan menggunakan mekanisme predasi, parasitisasi, dan mekanisme alami lainnya. Pelaksanaan teknik ini membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang bioekologi dan dinamika populasi hama serta musuh alami. Walaupun hasilnya tidak serta merta terlihat, tetapi pengendalian model ini lebih aman dibandingkan pengendalian dengan menggunakan pestisida kimia sintesis.

Dalam pengendalian hayati, musuh alami memegang peranan yang penting, musuh alami yang biasanya berperan dalam pengendalian hayati ini yaitu predator, patogen dan parasit atau parasitoid. Predator merupakan musuh alami yang memangsa hama permukiman, contohnya cicak dan tokek yang memangsa nyamuk dewasa, beberapa jenis ikan (sejenis ikan guppy, ikan kepala timah, ikan mas, ikan mujair, dan ikan nila) yang memangsa larva nyamuk. Larva nyamuk

(36)

thuringiensis), protozoa (Nosema vavraia, Thelohania sp.), dan kelompok fungi (Coelomomyces, Lagenidium, Culicinomyces) yang menjadi agen antagonis terhadap larva nyamuk. Parasit merupakan organisme yang metabolismenya tergantung kepada inang atau serangga vektor, contohnya nematoda seperti Steinermatidae (Neoplectana), Mermithidae (Romanomermis), dan Neotylenchidae (Dalandenus) yang dapat digunakan untuk mengendalikan

populasi jentik nyamuk. Parasitoid dari ordo Hymenoptera yaitu Spalangia spp. dan Pachycrepoideus vindamie juga dapat dimanfaatkan sebagai parasitoid pupa lalat (Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman 2006).

4. Pengendalian Kimiawi

Pengendalian hama dengan cara ini biasa dilakukan dengan penyemprotan zat kimia pada sasaran hama. Pengendalian hama ini sering dilakukan oleh sebagian besar masyarakat, termasuk ibu rumah tangga. Bentuk formulasi pestisida yang sering digunakan yaitu padatan, cair maupun bakar. Penggunaan pestisida ditujukan untuk mengendalikan hama sehingga berada di bawah batas ambang ekonomi atau ambang kendali. Hama yang sering dikendalikan dengan cara ini yaitu pengendalian serangga vektor penyakit, binatang pengganggu, serta rayap yang merusak kayu pada rumah.

Pengendalian dengan menggunakan pestisida menyangkut tiga hal penting, yaitu: 1) keefektifan senyawa kimia itu, 2) teknologi aplikasinya, dan 3) bahaya atau keracunan yang mungkin dihadapi oleh masyarakat. Pengendalian dengan cara ini membutuhkan pengetahuan yang memadai tentang hama dan pestisida serta strategi pengendalian yang baik dan benar agar dapat meminimalkan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan (Sigit et al. 2006).

Pestisida

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1973 yang dimaksudkan dengan pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :

(37)

2. Memberantas rerumputan;

3. Mematikan daun dan mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak;

4. Memberantas atau mencegah hama-hama air;

5. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat-alat pengangkutan;

6. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, atau air.

Sementara itu dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 258 Tahun 1992 tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Pestisida memberi definisi khusus tentang pestisida hygiene lingkungan atau pestisida rumah tangga, yaitu pestisida yang digunakan untuk pemberantasan vektor penyakit menular, misalnya serangga dan tikus, atau untuk pengendalian hama di rumah-rumah, tempat kerja, tempat umum lain termasuk sarana angkutan dan tempat penyimpanan/ pergudangan.

Bahaya Pestisida

Pada umumnya di lapangan banyak dijumpai orang salah mengartikan “bahaya” dalam penggunaan insektisida sebagai “toksisitas”. Padahal bahaya dan toksisitas mempunyai pengertian yang berbeda. Bahaya mengacu pada potensi bahaya keracunan ketika suatu insektisida diaplikasikan. Adapun toksisitas mempunyai pengertian suatu kemampuan racun untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadap racun tersebut (Soemirat J 2003).

Berdasarkan hal ini bahaya dirumuskan: bahaya = toksisitas x paparan. Toksisitas biasanya dinyatakan dalam suatu nilai yang dikenal sebagai suatu

anjuran atau konsentrasi mematikan (lethal dose atau lethal concentration) atau disingkat LD atau LC. LD50 adalah anjuran mematikan/ lethal yang mematikan

(38)

dinyatakan dalam mg suatu insektisida per kg berat badan (mg/kg bb). Pengertian LC50 adalah konsentrasi suatu insektisida (biasanya dalam makanan, udara atau

air) untuk mematikan 50% binatang percobaan. LC50 biasanya dinyatakan dalam

mg/L atau mg/serangga. Semakin kecil nilai LD50 atau LC50, semakin beracun

insektisida tersebut (Wirawan IA 2006).

Label Informasi Pestisida

Cara yang paling mudah untuk menilai bahaya pestisida adalah dengan melihat kata-kata atau tanda peringatan yang tertulis/ tercantum pada label kemasan. Label pestisida harus memuat “kata-kata kunci atau simbol” yang tertulis dengan tebal, seperti: Berbahaya-sangat beracun, Peringatan-Awas, atau Hati-hati (Tabel 1). Urutan kategori untuk menilai tingkatan bahaya pestisida adalah sebagai berikut :

a. Kategori I: Tanda Danger Poison. Kata kuncinya adalah Berbahaya Racun dengan gambar tengkorak dan tulang bersilang. Tanda ini harus dimuat pada label untuk semua jenis pestisida yang sangat beracun. Semua jenis pestisida yang tergolong dalam kategori ini mempunyai LD50 akut melalui mulut dengan

kisaran antara 0-50 mg/kg berat badan. Artinya pestisida ini dapat membunuh manusia jika diteguk, walaupun jumlahnya hanya setetes.

b. Kategori II : Tanda Warning. Kata-kata kuncinya adalah Awas Beracun. Tanda ini digunakan untuk senyawa-senyawa pestisida yang mempunyai kelas toksisitas pertengahan. Kategori ini mempunyai LD50 akut melalui mulut

dengan kisaran 50-500 mg/kg berat badan. Artinya pestisida ini dapat membunuh manusia jika diteguk kira-kira sebanyak satu sendok teh.

c. Kategori III : Tanda Caution. Kata-kata kuncinya adalah Hati-hati. Tanda ini digunakan untuk senyawa-senyawa pestisida yang mempunyai daya racun

rendah dengan LD50 akut melalui mulut berkisar 500-5000 mg/kg berat badan.

(39)
[image:39.595.101.528.113.805.2]

Tabel 1 K Kelas Bahaya Ia Sangat Berbahaya sekali Ib Berbahaya Sekali II Berbahaya III Cukup Berbahaya IV Tidak Berbahaya pada Penggunaa Normal Seba aktif yang laboratoriu pasar men dicantumk menguji t mempuny terdeteksi keperluan aktif. Pest Klasifikasi to Ketera Pernya Bahaya a Sangat Beracu a Beracu

a Berbah

a Perhati a an agian besar g digunaka um diketah ngandung b kan nama b tiga jenis b yai daya ra (Yayasan rumah tan tisida deng

oksisitas da

ngan dan G ataan

a W

t

un C

un M haya K ian B H produsen p an dalam hui bahwa bahan aktif ahan aktif. bahan aktif acun tinggi Duta Awam ngga ada ya

gan kombin

an simbol ba

Gambar yang Warna oklat Tua Merah Tua Kuning Tua iru Muda Hijau pestisida be pestisida y 33.3% pes f DDVP (d Dalam pen f (DDVP, D

, akibatnya m 1998). B ang mengan nasi bahan ahaya pestis g Tercantum Simb a lum mencan yang diperd tisida ruma diklorvos) y ngujian ini,

DEET, dan a bahan ak Beberapa pe ndung komb aktif terseb sida m bol Bahaya ntumkan se dagangkan. ah tangga y yang dalam

laboratorium n propoxur)

ktif yang l estisida yan binasi dua a

but, umum Simbol Sangat B Beracun Berbaha Perhatia

emua jenis b Dari hasi yang bered m kemasan m hanya m

yang dike lain tidak ng beredar u

(40)

daya bunuh yang tinggi terhadap serangga, namun juga lebih beracun untuk manusia.

Jenis Bahan Aktif Pestisida

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2004), jumlah pestisida yang dipasarkan di Indonesia untuk pertanian/ industri sebanyak 44% insektisida, 21% fungisida, 19% herbisida, 4% rodentisida, dan 12% pestisida lainnya. Dari

sejumlah pestisida yang dipasarkan tersebut, terdapat 48 bahan aktif dan 208 merek dagang. Jumlah pestisida dan jenis bahan aktif yang didaftarkan pada Departemen Pertanian mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian, jumlah pestisida sudah meningkat menjadi 383 jenis dengan 71 kandungan bahan aktif dalam tahun 2011 (Tabel 2).

[image:40.595.95.478.554.823.2]

Bahan aktif yang sering digunakan sebagai racun nyamuk antara lain DEET (diethyltoluamide) dengan konsentrasi 12-15%. Bahan aktif ini sering diaplikasikan dalam bentuk formulasi losion. Insektisida padat kering atau obat nyamuk bakar mengandung pralethrin, d-allethrin, atau transfluthrin. Insektisida cair dan aerosol mengandung salah satu atau kombinasi dari transfluthrin, propoxur, esbiothrin, pralethrin, cyphenothrin, bioalethrin, dichlorvos, d-allethrin, d-tetrametrin, d-phenothrin atau imiprothrin. Bahan aktif yang digunakan dalam insektisida rumah tangga umumnya termasuk dalam golongan organofosfat, karbamat atau pyrethroid (BPS 2004).

Tabel 2 Perkembangan jumlah dan bahan aktif pestisida rumah tangga

Tahun Jumlah pestisida Jumlah bahan aktif

2004 208 48

2007 254 56

2008 290 62

2010 369 62

2011 383 71

(41)

Dampak Pestisida Rumah Tangga

Di satu sisi masyarakat ingin menyelamatkan diri dari penyakit yang ditularkan oleh serangga vektor, tapi di sisi lain penggunaan pestisida dapat menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungannya.

Tidak seperti pada penggunaan pestisida dalam pertanian, dampak

kesehatan dan lingkungan sebagai akibat dari penggunaan pestisida rumah tangga belum banyak dipublikasikan. Dampak pestisida terhadap lingkungan antara lain: resistensi hama, resurjensi, peledakan hama dan terbunuhnya serangga/hewan bukan sasaran. Sementara itu dampak kesehatan yang kemungkinan muncul, antara lain: keracunan dan timbulnya sejumlah penyakit yang berkaitan dengan pemaparan pestisida.

Dampak pemaparan pestisida pada manusia dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti: janin cacat lahir, cacat pada anak-anak, kanker anak-anak, asma, alergi (peka terhadap bahan-bahan kimia), percepatan pengapuran tulang dan hipertensi (tekanan darah tinggi), pengaruh pada reproduksi, dan karsinogenesis (Schwab et al. 1995; Short 1994). Bahkan menurut Hileman & Bette (2001) dan Lelo (2003) bahwa pestisida dapat menyebabkan penyakit Parkinsons. Suatu penelitian mengungkapkan bahwa dampak pemaparan pestisida pada orang-orang dalam rumah atau kebun adalah 70% kemungkinannya lebih tinggi terserang penyakit Parkinson dibandingkan yang tidak terkena pestisida. Keterdapatan pestisida dalam rumah dan keterdapatan herbisida di kebun menunjukkan hubungan yang kuat dengan peningkatan resiko penyakit Parkinson. Seperti baru-baru ini, penelitian tentang penyakit Parkinson, mengesankan bahwa penyebab-penyebab penyakit Parkinson seperti keturunan, umur dan lingkungan, bisa semuanya menjadi faktor-faktor penting yang menyebabkan kerusakan sel-sel

(42)

melakukan metabolisme asetilkolin yang dilepaskan oleh syaraf. Akibatnya terjadi kelebihan asetilkolin pada reseptor syaraf dan menekan kadar dopamin. Hanya sekitar 10% penyakit Parkinson disebabkan oleh terdapatnya keturunan atau genetik (Tvedten 2000).

Dampak Pestisida terhadap Lingkungan

Resistensi hama. Bettini et al. (1970) dalam Hadiyani et al. (2005) menyatakan bahwa resistensi serangga hama terhadap insektisida adalah terjadinya penurunan respon kepekaan serangga terhadap insektisida yang semula efektif. Resistensi mengakibatkan individu serangga yang memiliki gen resisten terhadap insektisida tetap hidup, bahkan mampu berkembang biak. Contoh kasus ini yaitu Helicoverpa armigera di daerah pengembangan kapas Lamongan. Hama ini telah berkembang menjadi populasi yang resisten terhadap pestisida dari golongan piretroid sintetik, karbamat dan organoklorin (Hadiyani et al. 2005). Kasus resistensi hama permukiman terhadap pestisida memang belum banyak dipublikasikan, tetapi pernyataan seorang penduduk mengenai kebalnya nyamuk di Jakarta terhadap pestisida merupakan indikasi adanya gejala resistensi (Riza dan Gayatri 1993).

Resurgensi. Resurgensi sangat mengurangi efektivitas dan efisiensi pengendalian dengan pestisida. Resurgensi adalah peristiwa yang terjadi apabila setelah aplikasi pestisida, populasi hama menurun dengan cepat dan kemudian justru meningkat lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Hal ini terjadi karena musuh alami juga ikut terbunuh oleh pestisida yang digunakan. Jika terdapat musuh alami yang bertahan hidup dari aplikasi pestisida biasanya akan mati karena tidak tersedia makanan dalam jumlah yang cukup atau bermigrasi ke tempat lain untuk mencari sumber makanan. Sementara itu bagi hama, makanan tersedia berlimpah dan tidak ada musuh alaminya yang berperan membatasi populasi serangga hama. Akibatnya populasi hama meningkat tajam. Menurut hasil penelitian IRRI, salah

satu serangga yang mengalami resurgensi yaitu wereng coklat (Nilaparvata lugens).

(43)

populasi hama sekunder meningkat, bahkan hingga pada tingkatan merusak. Peristiwa ini disebabkan karena terbunuhnya musuh alami sebagai akibat penggunaan pestisida yang berspektrum luas. Pestisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi sasaran, tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan normal secara alamiah efektif mengendalikan populasi hama sekunder, contoh terjadinya peledakan hama ulat bulu di beberapa

daerah termasuk di Jakarta (Rauf 2011).

Terbunuhnya serangga/hewan bukan sasaran. Aplikasi pestisida dapat membunuh serangga atau organisme yang statusnya bukan hama. Musuh alami merupakan organisme yang sering terbunuh dan menurun populasinya setelah aplikasi pestisida (Flint dan Bosch 2002).

Dampak Pestisida terhadap Kesehatan

Di beberapa negara berkembang penggunaan pestisida tetap merupakan sebuah resiko besar. Hal ini dikarenakan pengaturan sistem kesehatan dan pendidikan yang lemah. WHO memperkirakan bahwa di dunia setiap tahun ada 25 juta kasus keracunan pestisida dan sebanyak 20.000 orang mati karena kasus keracunan. Sebanyak 99% dari kasus tersebut terjadi di negara berkembang. Dampak negatif penggunaan pestisida yaitu mempengaruhi kesehatan manusia, walaupun orang tersebut tidak berhubungan langsung dengan pestisida. Hal ini terjadi karena efek residual dan akumulasi pestisida.

Beberapa dampak pemaparan pestisida antara lain:

Keracunan. Keracunan sangat mungkin terjadi apabila dalam penggunaannya tidak memperhatikan perlindungan dan perawatan kesehatan aplikator pestisida. Pemaparan pestisida pada tubuh manusia dapat terjadi pada saat mempersiapkan pestisida untuk diaplikasikan, pada saat aplikasi, setelah aplikasi dan ketika

(44)

Seringkali pestisida disimpan sembarangan sehingga mudah dijangkau oleh anak-anak.

Penyebab kanker dan penyakit lain. Kabut atau asap yang berasal dari pembakaran obat nyamuk bakar yang berbahan aktif campuran dikhlorvos dan propoksur sangat berbahaya bila terhirup. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro mengungkapkan bahwa 100% responden potensial

[image:44.595.80.482.29.816.2]

terjangkit kanker laring akibat pestisida nyamuk bakar (Republika 15 Februari 1993 dikutip dari PAN 1993). Beberapa bahan aktif menunjukkan hubungan yang kuat sebagai penyebab kanker dan penyakit lain (Tabel 3).

Tabel 3 Contoh beberapa bahan aktif pestisida dan potensi bahayanya pada kesehatan manusia

Bahan aktif Potensi bahaya

Asefat Kanker, mutasi genetik

BHC Kanker

DDT Reproduksi, kanker

Diazinon Neurobehavior

Dimetoat Reproduksi, kanker

Fenvalerat Kanker Karbaril Ginjal Klorotalonil Kanker, mutasi genetik

Malation Reproduksi Metidation Kanker

Metomil Mutasi genetik

Mevinfos Mutasi genetik

Paration Kanker

Permethrin Kanker, reproduksi

Akumulasi pestisida pada tubuh manusia akan menyebabkan beberapa penyakit, seperti: janin cacat lahir, cacat pada anak-anak, asma, allergi, mempercepat pengapuran tulang dan hipertensi, berpengaruh pada reproduksi, karsinogenesis (Schwab et al. 1995; Short 1994) dan Parkinson (Hileman & Bette 2001 dan Lelo 2003).

(45)

lindan, 69% oleh klordan, dan 48% oleh DDT. Penelitian di Vietnam dan India membuktikan bahwa rata-rata pemasukan harian aldrin dan dieldrin ke tubuh manusia sebesar 19 μg/orang. Hal ini juga ditemukan di Mesir dan New Guinea (Fisher 1999). Di wilayah Jakarta juga ditemukan bahwa dalam ASI terkandung DDT (Azizah 2002). Sementara itu, Jasmaini et al. (2001) menemukan dieldrin, lindan, dan DDT dalam susu sapi perah di daerah Malang. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan tahun 2001 dan 2002 tersebut cukup mengejutkan mengingat pemerintah Indonesia telah melarang penggunaan DDT sejak tahun 1983.

Dampak Lain Penggunaan Pestisida

Dampak lain penggunaan pestisida rumah tangga yaitu sebagai penyebab kebakaran rumah, penyalahgunaan kemasan pestisida dan bahan untuk bunuh diri. Pemberitaan di media massa menunjukkan bahwa pestisida rumah tangga dengan formulasi padat lingkaran sering menyebabkan kebakaran rumah (Kompas 13 Oktober 1993 dalam PAN Indonesia 1993).

(46)

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Permukiman adalah suatu suatu ekosistem, dimana masyarakat sebagai komponen sosial sekaligus merupakan komponen biologis, sementara kondisi lingkungan dan pestisida dilihat sebagai komponen fisik. Penelitian ini menempatkan masyarakat khususnya ibu rumah tangga sebagai sasaran penelitian. Penelitian ini berasumsi bahwa perilaku masyarakat dalam penggunaan pestisida dipengaruhi oleh sikap dan keadaan lingkungan (faktor fisik, faktor biotik dan faktor sosial budaya).

Perilaku adalah respon atau reaksi dari seseorang berupa reaksi dan gerakan lahiriah secara fisik, pernyataan verbal dan pengalaman subyektif. Perilaku terhadap pestisida rumah tangga yang diteliti meliputi perilaku sejumlah responden terhadap penggunaan jenis bahan aktif dan formulasi, pembacaan aturan pada label sebelum menggunakan, penggunaan pestisida sesuai petunjuk

dalam label, tempat aplikasi, waktu dan musim aplikasi, frekuensi aplikasi, biaya pembelian pestisida serta cara-cara pengendalian non-kimiawi. Perilaku sosial seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses kebiasaan dan bersumber dari proses mental. John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat - atau struktur sosial.

Sikap adalah penilaian positif atau negatif terhadap suatu obyek yang dalam penelitian ini adalah pengendalian hama permukiman dengan menggunakan pestisida rumah tangga. Sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu kognisi, afeksi dan psikomotorik. Sikap terhadap penggunaan pestisida dipengaruhi oleh faktor internal individu dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi karakteristik individu. Karakteristik yang mempengaruhi sikap yaitu pendidikan, pendapatan dan jumlah keluarga. Sementara faktor eksternal yang dibahas dalam penelitian ini adalah media informasi.

(47)

informasi dapat mempengaruhi atau menambah pengetahuan seseorang, selanjutnya akan menimbulkan kesadaran. Pada akhirnya seseorang akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Sumber informasi yang berkaitan dengan penggunaan pestisida rumah tangga diperoleh melalui membaca label, toko atau suplier, pengalaman, membaca majalah, menonton iklan TV, mendengarkan dari radio, melalui teman atau tetangga serta penyuluh.

Sementara itu hal yang mempengaruhi perilaku penggunaan pestisida adalah sikap dan keberadaan hama permukiman. Kondisi lingkungan yang menyebabkan munculnya hama permukiman dapat disebabkan oleh kondidi lingkungan fisik, lingkungan biotik dan lingkungan sosial budaya.

Lingkungan fisik yang mempengaruhi munculnya hama adalah tidak tersedianya permukiman yang baik dan terpelihara, sehingga tidak ada fasilitas penunj

Gambar

Tabel 1  KKlasifikasi to
Tabel 2   Perkembangan jumlah dan bahan aktif pestisida rumah tangga
Tabel 3 Contoh beberapa bahan aktif pestisida dan potensi bahayanya pada
Gambar 1 yang menunjukkan alur pemikiran perilaku ibu rumah tangga dalam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu alasan yang dapat digunakan adalah bahwa psikologi Islam menempatkan kembali kedudukan agama dalam kehidupan manusia yang dalam sejarah perkembangan ilmu

Penyusunan laporan akhir ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan dari mata kuliah yang telah ditentukan pada Jurusan Teknik Elektro Program Studi

Setelah menyelesaikan membayar ojek, pemuda itu memalingkan wajah kepada SC, SC buru-buru memalingkan wajahnya dan pura-pura sibuk dengan tali sepatunya, tetapi

Analisis senyawa sildenafil sitrat dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Kromatografi Cair Spektrometri Massa (KC-SM) yang disampling pada 2

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh senam bugar lansia terhadap kualitas hidup penderita hipertensi yang diukur dengan kuesioner SF-36, didapatkan bahwa nilai

Mereka berpendapat bahwa terdapat beberapa langkah dalam melakukan proses pemasaran yang terdiri dari analisis peluang pemasaran, meneliti dan memilih pasar sasaran, merancang

“ Jika suatu potensi bahaya telah diidentifikasi pada suatu tahapan dimana pengendalian diperlukan untuk menjamin keamanan produk, dan tidak ada upaya pengendalian

Maka dari itu pihak koperasi memiliki sebuah program terbaru untuk menjadi salah satu sarana untuk mengendalikan risiko pembiayaanyaitu dengan menggunakan “Kotak