• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dekolorisasi Limbah Cair Industri Tekstil dengan Menggunakan Omphalina sp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dekolorisasi Limbah Cair Industri Tekstil dengan Menggunakan Omphalina sp"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Seiring dengan pesatnya perkembangan industri, limbah-limbah industri menjadi semakin bertambah, baik volume maupun jenisnya. Akibatnya beban pencemaran lingkungan semakin berat, sedangkan kemampuan alam untuk menerima beban limbah terbatas. Jenis limbah industri banyak macamnya, tergantung bahan baku dan proses yang digunakan masing-masing industri. Masing-masing limbah memerlukan penanganan tersendiri agar dapat mencapai baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah.

Industri tekstil merupakan salah satu jenis industri di Indonesia. Industri tekstil menghasilkan limbah cair berwarna yang dapat berpengaruh terhadap estetika, kekeruhan, dan toksisitas pada biota air (ganggang dan ikan). Selain itu, sebagian zat warna tersebut kemungkinan bersifat karsinogenik. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Perlakuan mikrobiologis banyak dikembangkan untuk biodekolorisasi limbah cair industri tekstil, misalnya menggunakan mikrofungi (Dewi 2005) dan jamur pelapuk putih (white rot fungi) (Awaludin et al. 2001) atau seperti pada penelitian ini digunakan Omphalina sp. Jamur pelapuk putih (JPP) mampu menghasilkan enzim lakase, lignin peroksidase (Li-P) serta Mangan-peroksidase (Mn-P) dengan aktivitas yang tinggi. Lakase (EC 1.10.3.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) diketahui dapat dimanfaatkan secara luas untuk berbagai kegunaan seperti proses degradasi lignin, bioremediasi dan biodegradasi polutan organik (klorofenol dan polisiklik aromatik hidrokarbon), dekolorisasi dan detoksifikasi limbah tekstil, serta biobleaching dan

biopulping kertas. Hal tersebut disebabkan lakase memiliki aktivitas katalitik terhadap berbagai jenis substrat. Lakase berperan dalam pigmentasi, pembentukan badan buah, sporulasi, dan patogenisitas (Thurston 1994). Lakase yang dihasilkan oleh masing-masing JPP memiliki perbedaan yang sangat nyata pada substrat spesifik, berat molekul, dan pH optimumnya seperti yang dihasilkan oleh beberapa jamur yakni Panaeolus sphinctrinus, P. papilionaceus, Trametes versicolor, dan Coriolopsis gallica (Pickard

et al. 1999).

Indonesia memiliki keanekaragaman genetik jamur yang tinggi. Primack et al.

(1998) mencatat bahwa dari 47.000 spesies jamur dunia, sekitar 12.000 spesies diantaranya terdapat di Indonesia. Salah satu strategi untuk konservasi keanekaragaman hayati jamur adalah melalui pembudidayaan dan pemanfaatannya. Omphalina sp. (A-1) yang merupakan JPP lokal hasil isolasi dari limbah lignoselulosa pabrik kelapa sawit, Kebun Kerta Jaya PTPN VIII, Banten perlu diuji kemampuannya untuk proses dekolorisasi limbah pabrik tekstil.

Penelitian bertujuan mendapatkan metode biodekolorisasi limbah cair industri tekstil dengan menggunakan Omphalina sp. yang dipersiapkan dalam berbagai kondisi media. Pada penentuan kondisi optimal digunakan zat warna tekstil terlebih dahulu.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan metode biodekolorisasi yang lebih sederhana untuk meminimalisasi pencemaran lingkungan oleh limbah cair industri tekstil. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2007. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Jalan Taman Kencana No.1 Bogor.

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Cair Industri Tekstil

Proses industri tekstil menghasilkan limbah padat dan cair. Limbah padat berasal dari proses pembuatan kain, benang, serat-serat kain, dan sampah dari kegiatan lain yang menunjang produksi, sedangkan limbah cair berasal dari proses pengkanjian benang, proses penghilangan zat pelumas dari serat sintetis sebelum proses penenunan, dan dari proses pencelupan (Nemerow dan Dasgupta 1991). Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri tekstil karena memberikan dampak yang paling luas. Hal ini disebabkan karakteristik fisik maupun kimianya yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.

(2)

PENDAHULUAN

Seiring dengan pesatnya perkembangan industri, limbah-limbah industri menjadi semakin bertambah, baik volume maupun jenisnya. Akibatnya beban pencemaran lingkungan semakin berat, sedangkan kemampuan alam untuk menerima beban limbah terbatas. Jenis limbah industri banyak macamnya, tergantung bahan baku dan proses yang digunakan masing-masing industri. Masing-masing limbah memerlukan penanganan tersendiri agar dapat mencapai baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah.

Industri tekstil merupakan salah satu jenis industri di Indonesia. Industri tekstil menghasilkan limbah cair berwarna yang dapat berpengaruh terhadap estetika, kekeruhan, dan toksisitas pada biota air (ganggang dan ikan). Selain itu, sebagian zat warna tersebut kemungkinan bersifat karsinogenik. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Perlakuan mikrobiologis banyak dikembangkan untuk biodekolorisasi limbah cair industri tekstil, misalnya menggunakan mikrofungi (Dewi 2005) dan jamur pelapuk putih (white rot fungi) (Awaludin et al. 2001) atau seperti pada penelitian ini digunakan Omphalina sp. Jamur pelapuk putih (JPP) mampu menghasilkan enzim lakase, lignin peroksidase (Li-P) serta Mangan-peroksidase (Mn-P) dengan aktivitas yang tinggi. Lakase (EC 1.10.3.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) diketahui dapat dimanfaatkan secara luas untuk berbagai kegunaan seperti proses degradasi lignin, bioremediasi dan biodegradasi polutan organik (klorofenol dan polisiklik aromatik hidrokarbon), dekolorisasi dan detoksifikasi limbah tekstil, serta biobleaching dan

biopulping kertas. Hal tersebut disebabkan lakase memiliki aktivitas katalitik terhadap berbagai jenis substrat. Lakase berperan dalam pigmentasi, pembentukan badan buah, sporulasi, dan patogenisitas (Thurston 1994). Lakase yang dihasilkan oleh masing-masing JPP memiliki perbedaan yang sangat nyata pada substrat spesifik, berat molekul, dan pH optimumnya seperti yang dihasilkan oleh beberapa jamur yakni Panaeolus sphinctrinus, P. papilionaceus, Trametes versicolor, dan Coriolopsis gallica (Pickard

et al. 1999).

Indonesia memiliki keanekaragaman genetik jamur yang tinggi. Primack et al.

(1998) mencatat bahwa dari 47.000 spesies jamur dunia, sekitar 12.000 spesies diantaranya terdapat di Indonesia. Salah satu strategi untuk konservasi keanekaragaman hayati jamur adalah melalui pembudidayaan dan pemanfaatannya. Omphalina sp. (A-1) yang merupakan JPP lokal hasil isolasi dari limbah lignoselulosa pabrik kelapa sawit, Kebun Kerta Jaya PTPN VIII, Banten perlu diuji kemampuannya untuk proses dekolorisasi limbah pabrik tekstil.

Penelitian bertujuan mendapatkan metode biodekolorisasi limbah cair industri tekstil dengan menggunakan Omphalina sp. yang dipersiapkan dalam berbagai kondisi media. Pada penentuan kondisi optimal digunakan zat warna tekstil terlebih dahulu.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan metode biodekolorisasi yang lebih sederhana untuk meminimalisasi pencemaran lingkungan oleh limbah cair industri tekstil. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2007. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Jalan Taman Kencana No.1 Bogor.

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Cair Industri Tekstil

Proses industri tekstil menghasilkan limbah padat dan cair. Limbah padat berasal dari proses pembuatan kain, benang, serat-serat kain, dan sampah dari kegiatan lain yang menunjang produksi, sedangkan limbah cair berasal dari proses pengkanjian benang, proses penghilangan zat pelumas dari serat sintetis sebelum proses penenunan, dan dari proses pencelupan (Nemerow dan Dasgupta 1991). Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri tekstil karena memberikan dampak yang paling luas. Hal ini disebabkan karakteristik fisik maupun kimianya yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.

(3)

tekstil dan tetap akan berada dalam tekstil sampai proses selesai, sedangkan sisanya berada dalam larutan dan akan terbuang bersama air bekas proses basah. Zat-zat dalam air buangan tersebut berpotensi menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.

Air limbah industri tekstil dapat dengan mudah dikenal karena warnanya. Cemaran zat warna ini bervariasi baik jenis maupun jumlahnya. Warna selalu jadi kontaminan pertama pada limbah cair. Limbah industri yang berwarna tidak hanya menimbulkan polusi secara visual, tetapi dapat meningkatkan resiko kerusakan lingkungan dan kesehatan (Cascio 1994). Pada industri tekstil pewarna yang biasa digunakan adalah pewarna sintetik. Pewarna sintetik banyak digunakan dalam industri tekstil karena memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan dengan senyawa pewarna alami. Keunggulan dari senyawa sintetik adalah mudah diperoleh dengan komposisi yang tetap, mempunyai aneka warna, lebih tahan lama, mudah cara pemakaiannya, dan harganya relatif murah (Awaluddin et al.

2001).

Dekolorisasi

Dekolorisasi atau penghilangan warna merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengurangi kepekatan warna. Menurut Awaluddin et al. (2001), bahan pewarna dapat didekolorisasi dengan metoda fisika dan kimia, ultrasonifikasi merupakan contoh dekolorisasi secara fisika, sedangkan contoh dekolorisasi secara kimia ialah dengan koagulasi menggunakan ferosulfat. Metode ini lebih efektif, namun memerlukan biaya tinggi, dapat menghasilkan senyawa berbahaya, masalah operasional, dan membutuhkan perlengkapan khusus, maka perlu digunakan metoda alternatif.

Metode biologi merupakan metode alternatif yang lebih menguntungkan karena lebih sederhana, murah, ramah lingkungan, dan tidak menghasilkan limbah sekunder berupa sedimentasi lumpur dalam jumlah besar. Salah satu perlakuan secara biologi adalah dengan menggunakan teknik biodekolorisasi. Jamur dipilih sebagai salah satu organisme biodekolorisasi yang mampu mendegradasi komponen warna yang bersifat toksik karena jamur mempunyai kemampuan untuk transformasi, yaitu merubah dari bahan kimia berbahaya pada limbah menjadi bentuk yang kurang atau

tidak berbahaya (Awaluddin et al. 2001). Salah satu metode alternatif untuk dekolorisasi ialah dengan menggunakan jamur pelapuk putih. Dalam penelitian ini digunakan Omphalina sp. yang merupakan salah satu jamur pelapuk putih.

Jamur Pelapuk Putih (White Rot Fungi)

Jamur pelapuk putih (Gambar 1) termasuk dalam kelas Basidiomycetes yang dapat mendegradasi selulosa, hemiselulosa, dan lignin menjadi CO2, air, dan mineral penyubur tanah.

Seperti halnya tumbuhan, jamur juga membutuhkan sumber makanan, pasokan air yang cukup, suhu, pH, oksigen, dan kondisi lingkungan yang cocok seperti ada atau tidaknya cahaya (Nicholas 1973). Sumber karbon dan nitrogen sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur, terutama terhadap konversi biomassa.

Menurut Rayner dan Boody (1988) hanya ada beberapa jamur pelapuk putih kelas Basidiomycetes yang tumbuh pada suhu minimum, optimum, dan maksimum pada kisaran 10 °C, 40 °C, dan 50 °C. Kelembaban yang dibutuhkan oleh jamur berbeda-beda, tetapi hampir semua jenis jamur ini dapat hidup pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air yang umum untuk pertumbuhan jamur ialah 35-50%.

Jamur dapat mengambil oksigen secara bebas dari udara untuk keperluan respirasi agar pertumbuhannya optimum. Kekurangan oksigen dapat menyebabkan terjadinya penimbunan CO2

yang dapat menghambat pertumbuhannya. Kisaran pH optimum untuk sebagian jamur pelapuk kayu ialah 4,5-5,5 (Nicholas 1973). Menurut Rayner dan Boody (1988), beberapa jamur memiliki toleransi pada pH antara 4-9.

Jamur pelapuk putih merupakan jamur yang dapat menyerang komponen penyusun kayu, namun dengan pilihan utamanya ialah lignin. Jamur ini meninggalkan warna putih pada kayu. Penyerangan oleh JPP menyebabkan penurunan kekuatan fisik kayu dan terjadinya pembengkakkan jaringan kayu.

Gambar 1 Jamur Pelapuk Putih Omphalina sp.

(www.ne.jp)

(4)

Pholiota sp., yang efisien dalam mendegradasi lignin secara aerobik. JPP juga dapat digunakan dalam proses dekolorisasi, hal tersebut disebabkan JPP memiliki enzim lakase yang mempunyai aktivitas katalitik terhadap berbagai jenis substrat. Lakase berperan dalam pigmentasi, pembentukan badan buah, sporulasi dan patogenisitas (Thurston 1994). Ada banyak jenis JPP yang telah diteliti, diantaranya ialah Agraylie sp., Pholiota sp., Ganoderma lucidium, dan Omphalina sp.

Jamur Omphalina sp.

Jamur Omphalina sp. merupakan salah satu jenis dari Divisi Basidiomycetes. Dari divisi Basidiomycetes sudah diketahui sebanyak 15.000 spesies. Seluruh Basidiomycetes memproduksi basidia. Basidia merupakan organ homolog dan derivat dari ascus. Seperti halnya ascus, basidium asli biasanya memiliki dua struktur inti (Moore dan Landecker 1996).

Beberapa Basidiomycetes juga merupakan lichens, seperti Omphalina sp. (Moore dan Landecker 1996). Pada awalnya

lichens digolongkan pada tanaman. Pada tahun 1866 Debary menemukan bahwa

lichens terbentuk dari kerja sama antara jamur parasit dan alga. Sekitar 98% dari seluruh Ascomycetes merupakan lichens, kelas Deuteromycetes merupakan kelompok

lichens terbesar berikutnya.

Omphalina sp. (A1) yang digunakan pada penelitian ini merupakan jamur asli dari Indonesia. Jamur ini hasil isolasi pabrik kelapa sawit, Kebun Kerta Jaya PTPN VIII, Banten dari limbah lignoselulosa. Telah diketahui bahwa jamur ini memiliki beberapa kemampuan, seperti dalam proses degradasi lignin dan dekolorisasi limbah cair.

Fenol Oksidase (lakase)

Lakase (EC 1.10.3.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) sebagian besar merupakan glikoprotein ekstraseluler yang mengandung atom tembaga dengan bobot molekul 60-80 kDa dan juga merupakan salah satu grup terkecil yang dinamakan oksidase tembaga biru (Thurston 1994). Lakase merupakan enzim multi-copper

(mengandung banyak ion tembaga) yang membantu katalisis reaksi oksidasi beberapa substrat seperti polifenol, substituen fenol, dan diamin. Enzim ini pertama kali ditemukan dalam getah pohon pernis Jepang

(Rhus vernicifera) tahun 1988 (Thurston 1994). Mekanisme reaksi enzimatis oleh lakase adalah reaksi oksidasi satu elektron. Oksigen dibutuhkan sebagai penerima elektron dan kemudian membentuk air. Ketika reaksi oksidasi berlangsung, substrat kehilangan satu elektronnya dan terbentuk radikal fenoksi bebas yang berperan sebagai senyawa perantara. Radikal bebas tersebut dapat melangsungkan reaksi oksidatif enzimatik selanjutnya atau reaksi non enzimatik seperti hidrasi dan polimerisasi (Thurston 1994).

Lakase telah banyak diteliti karena sifat spesifitas terhadap substratnya rendah. Hidrokuinon, guaiakol, 2,6-dimetoksifenol, dan

para-fenildiamin merupakan substrat-substrat yang sering digunakan. Substrat seperti 2,2-azinobis-3-etilbenzethiazolin-6- sulfonat (ABTS) berperan sebagai mediator yang memungkinkan oksidasi komponen non fenolik pada lignin yang tidak dapat dioksidasi oleh lakase sendiri. Pada jamur, lakase berperan dalam proses degradasi lignin dan beberapa fungsi lain diantaranya adalah pigmentasi, pembentukan badan buah, pembentukan spora, dan pertahanan (Thurston 1994).

Pemanfaatan lakase sangat luas diterapkan dalam berbagai bidang, antara lain proses bioremediasi dan biodegradasi polutan organik pada tanah seperti klorofenol serta sebagai pemutih alami pada biodelignifikasi pulp industri kertas. Pemanfaatan lakase dalam proses dekolorisasi menggunakan jamur (Awaluddin et al. 2001), secara umum merupakan penghilangan warna karena peristiwa adsorpsi oleh miselium sebagai tingkat awal perubahan warna dalam proses dekolorisasi warna. Proses selanjutnya diteruskan oleh fungi dengan memproduksi metabolit, misalnya berupa enzim ekstraselular. Menurut Dewi (2005), terjadinya proses dekolorisasi diduga karena adanya proses adsorpsi sebagai sistem non-enzimatik dilanjutkan dengan adanya kemampuan degradasi oleh isolat karena terjadinya aktifitas metabolisme dengan sistem enzimatik.

Bagas Tebu

(5)

pabrik gula sebagai bahan bakar dan bahan baku untuk kertas, sehingga diperkirakan sebanyak 40% dari bagas tebu tersebut belum dimanfaatkan. Menurut Dewan Gula Indonesia pada tahun 1990 jumlah tebu yang dipanen sebesar 27.681.418 ton, maka jumlah bagas tebu yang dihasilkan seluruh Indonesia ialah 8,67 ton. Bagas tebu mengandung air 48-52%, gula 3,3%, dan serat 47,7%. Serat bagas tebu tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri atas selulosa, pentosan, dan lignin.

Secara fisik bagas dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian yang halus disebut dengan pith dan bagian yang kasar disebut dengan coarse bagasse (Puturau 1982). Bagas tebu terdiri atas berbagai komponen antara lain selulosa, hemiselulosa, lignin, silika, dan pektin. Komposisinya sangat bervariasi tergantung pada varietas tebu, tingkat kematangan, cara panen, dan efisiensi proses pengambilan nira.

Gambut

Gambut adalah suatu tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 65% dengan kedalaman lebih dari satu meter dan bila sudah digunakan sebagai tanah pertanian kedalamannya mencapai 0,5 meter (Soepardi 1983). Bahan organik tersebut dibagi menjadi humus dan jasad hewan yang belum melapuk sempurna.

Tanah gambut memiliki karakteristik fisik antara lain berwarna coklat sampai kehitaman, memiliki massa jenis yang rendah yaitu 0,10-0,25 g cm-3 dan mempunyai kapasitas yang tinggi dalam menahan air. Bahan organik yang telah melapuk sebagian besar bersifat koloidal dan mempunyai kemampuan jerap yang tinggi, sedangkan kohesi dan plastisitasnya agak rendah sehingga mudah dilalui air, terbuka, dan mudah diolah (Soepardi 1983). Ciri khas kimia tanah gambut antara lain tingkat kemasaman yang tinggi (pH rendah), ketersediaan hara yang rendah, dan kapasitas tukar kation yang tinggi (Tisdale et al. 1990).

Ketersediaan unsur mikro pada tanah gambut sangat rendah. Hal ini disebabkan karena adanya pengkelatan atau pembentukan senyawa kompleks dengan senyawa organik. Kandungan unsur mikro pada lapisan bawah jauh lebih rendah daripada kadungan unsur mikro pada 25 cm lapisan teratas (Zuraida 1999).

Metode Spektrofotometri

Metode yang digunakan untuk mengukur nilai absorban dekolorisasi warna pada percobaan ini ialah metode spektrofotometri. Adapun prinsip kerja dari metode ini ialah pengukuran absorban yang diakibatkan adanya penyerapan sinar oleh bahan yang dianalisis pada panjang gelombang maksimal tertentu. Jika suatu radiasi elektromagnetik menimpa suatu materi dan pada materi tersebut terjadi absorpsi selektif, materi akan menyerap komponen radiasi pada panjang gelombang yang berbeda dan dalam jumlah yang berbeda pula (Sastrohamidjojo 2001).

Berdasarkan panjang gelombang untuk pengukuran, spektrofotometri absorpsi dibedakan menjadi spektrofotometri ultraviolet (UV), tampak (Vis), dan inframerah (IR). Spektrofotometer UV-Vis memiliki spektrum di daerah UV sama dengan panjang gelombang cahaya 200-400 nm dan di daerah sinar tampak sama dengan panjang gelombang cahaya 400-800 nm (Sastrohamidjojo 2001). Penelitian ini menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang masing-masing zat warna ialah hitam (486 nm), biru (576 nm), hijau (550 nm), dan merah (482 nm) sedangkan untuk limbah cair industri yang berwarna ungu dan biru muda dicari terlebih dahulu panjang gelombangnya.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan ialah neraca analitik, autoklaf, laminar air flow cabinet, oven, spektrofotometer UV-Vis, neraca kasar, sentrifuse 5415C, cawan petri, labu Erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, alumunium foil, baki, sudip, botol selai, plastik, bunsen, jarum ose, paralon, stoples, korek api, karet, dan alat-alat gelas lainnya.

Bahan-bahan yang digunakan ialah

Omphalina sp. yang berasal dari koleksi Laboratorium Mikroba dan Bioproses, bagas tebu, kentang, gula pasir, bubuk agar, ijuk, nasi pera, gambut, akuades, Rhodamin B (merah), pewarna sintetik hijau, biru , hitam, dan limbah cair yang diperoleh dari industri tekstil di Bogor.

Metode Percobaan

Pembuatan Potatoes Dextrose Agar (PDA)

(6)

pabrik gula sebagai bahan bakar dan bahan baku untuk kertas, sehingga diperkirakan sebanyak 40% dari bagas tebu tersebut belum dimanfaatkan. Menurut Dewan Gula Indonesia pada tahun 1990 jumlah tebu yang dipanen sebesar 27.681.418 ton, maka jumlah bagas tebu yang dihasilkan seluruh Indonesia ialah 8,67 ton. Bagas tebu mengandung air 48-52%, gula 3,3%, dan serat 47,7%. Serat bagas tebu tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri atas selulosa, pentosan, dan lignin.

Secara fisik bagas dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian yang halus disebut dengan pith dan bagian yang kasar disebut dengan coarse bagasse (Puturau 1982). Bagas tebu terdiri atas berbagai komponen antara lain selulosa, hemiselulosa, lignin, silika, dan pektin. Komposisinya sangat bervariasi tergantung pada varietas tebu, tingkat kematangan, cara panen, dan efisiensi proses pengambilan nira.

Gambut

Gambut adalah suatu tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 65% dengan kedalaman lebih dari satu meter dan bila sudah digunakan sebagai tanah pertanian kedalamannya mencapai 0,5 meter (Soepardi 1983). Bahan organik tersebut dibagi menjadi humus dan jasad hewan yang belum melapuk sempurna.

Tanah gambut memiliki karakteristik fisik antara lain berwarna coklat sampai kehitaman, memiliki massa jenis yang rendah yaitu 0,10-0,25 g cm-3 dan mempunyai kapasitas yang tinggi dalam menahan air. Bahan organik yang telah melapuk sebagian besar bersifat koloidal dan mempunyai kemampuan jerap yang tinggi, sedangkan kohesi dan plastisitasnya agak rendah sehingga mudah dilalui air, terbuka, dan mudah diolah (Soepardi 1983). Ciri khas kimia tanah gambut antara lain tingkat kemasaman yang tinggi (pH rendah), ketersediaan hara yang rendah, dan kapasitas tukar kation yang tinggi (Tisdale et al. 1990).

Ketersediaan unsur mikro pada tanah gambut sangat rendah. Hal ini disebabkan karena adanya pengkelatan atau pembentukan senyawa kompleks dengan senyawa organik. Kandungan unsur mikro pada lapisan bawah jauh lebih rendah daripada kadungan unsur mikro pada 25 cm lapisan teratas (Zuraida 1999).

Metode Spektrofotometri

Metode yang digunakan untuk mengukur nilai absorban dekolorisasi warna pada percobaan ini ialah metode spektrofotometri. Adapun prinsip kerja dari metode ini ialah pengukuran absorban yang diakibatkan adanya penyerapan sinar oleh bahan yang dianalisis pada panjang gelombang maksimal tertentu. Jika suatu radiasi elektromagnetik menimpa suatu materi dan pada materi tersebut terjadi absorpsi selektif, materi akan menyerap komponen radiasi pada panjang gelombang yang berbeda dan dalam jumlah yang berbeda pula (Sastrohamidjojo 2001).

Berdasarkan panjang gelombang untuk pengukuran, spektrofotometri absorpsi dibedakan menjadi spektrofotometri ultraviolet (UV), tampak (Vis), dan inframerah (IR). Spektrofotometer UV-Vis memiliki spektrum di daerah UV sama dengan panjang gelombang cahaya 200-400 nm dan di daerah sinar tampak sama dengan panjang gelombang cahaya 400-800 nm (Sastrohamidjojo 2001). Penelitian ini menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang masing-masing zat warna ialah hitam (486 nm), biru (576 nm), hijau (550 nm), dan merah (482 nm) sedangkan untuk limbah cair industri yang berwarna ungu dan biru muda dicari terlebih dahulu panjang gelombangnya.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan ialah neraca analitik, autoklaf, laminar air flow cabinet, oven, spektrofotometer UV-Vis, neraca kasar, sentrifuse 5415C, cawan petri, labu Erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, alumunium foil, baki, sudip, botol selai, plastik, bunsen, jarum ose, paralon, stoples, korek api, karet, dan alat-alat gelas lainnya.

Bahan-bahan yang digunakan ialah

Omphalina sp. yang berasal dari koleksi Laboratorium Mikroba dan Bioproses, bagas tebu, kentang, gula pasir, bubuk agar, ijuk, nasi pera, gambut, akuades, Rhodamin B (merah), pewarna sintetik hijau, biru , hitam, dan limbah cair yang diperoleh dari industri tekstil di Bogor.

Metode Percobaan

Pembuatan Potatoes Dextrose Agar (PDA)

(7)

wadah, lalu ditambah dengan 1 liter air. Campuran air dan kentang direbus hingga mendidih. Setelah mendidih, air rebusan kentang disaring dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1 L, dicampur dengan 20 gram gula, kemudian dibagi ke dalam 2 Erlenmeyer 500 mL. Sebanyak 10 gram agar dimasukkan ke dalam masing-masing Erlenmeyer dan dipanaskan sambil diaduk hingga homogen. Setelah itu disterilisasi pada suhu 121oC, 1 atm selama 15 menit (Fassatiova 1986).

Pembuatan Potatoes Dextrose Broth

(PDB)

Sebanyak 200 gram kentang yang telah dikupas dan dibersihkan dimasukkan ke dalam wadah, lalu ditambah dengan 1 liter air. Campuran air dan kentang direbus hingga mendidih. Setelah mendidih, air rebusan kentang disaring dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1 L, dicampur dengan 20 gram gula, dipanaskan sambil diaduk hingga homogen, kemudian dibagi ke dalam 20 botol masing-masing ± 40-50 mL. Setelah itu disterilisasi pada suhu 121oC, 1 atm selama 15 menit(Fassatiova 1986).

Penyiapan Omphalina sp. dalam PDA dan PDB

Isolat jamur stok Omphalina sp. (A1) diremajakan pada media PDA, masing-masing isolat dikulturkan pada cawan petri. Setelah diberi penanda, biakan jamur dibiarkan sampai tumbuh sempurna/merata (5-7 hari).

Jamur Omphalina sp. dari media PDA disubkulturkan kembali ke dalam media PDB yang telah disiapkan dalam botol selai (50 mL). Pemindahan Omphalina sp. dari media PDA ke media PDB dilakukan dengan memotong Omphalina sp. dari media PDA kira-kira sebesar 1 cm2. Setelah diberi penanda, biakan PDB dibiarkan sampai tumbuh merata (5-7 hari).

Penyiapan Kultur Omphalina sp. dalam Media Gambut

Kultur Omphalina sp. dari media PDA ditumbuhkan di dalam media nasi pera selama satu minggu. Setelah tumbuh dengan baik, media nasi pera dikeringkan dan dihaluskan, kemudian ditambahkan kedalam media gambut dengan perbandingan 1 g

Omphalina sp. kering dengan 100 g gambut (F1). Selain itu dibuat juga formulasi dengan

perbandingan 10 g Omphalina sp. kering dengan 200 g gambut (F5).

Penyiapan Kultur Omphalina sp. dalam Media Bagas Tebu

Bagas tebu dimasukkan ke dalam plastik tahan panas (baglog) dengan berat masing-masing ± 150 g, lalu disterilisasi dua kali dengan menggunakan autoklaf. Media padat ini kemudian disiram dengan biakan Omphalina

sp. dalam medium PDB yang telah berumur satu minggu, kemudian diinkubasi selama dua minggu hingga miselium Omphalina sp. tumbuh dengan baik.

Penyiapan Kultur Omphalina sp. dalam Media Ijuk+Bagas Tebu

Ijuk ± 25 g yang telah disusun berbentuk lembaran, kemudian ditambah ± 25 g bagas, sehingga berat totalnya sekitar 50 g. Gulungan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam

baglog, lalu disterilisasi dua kali dengan menggunakan autoklaf. Media padat ini disiram dengan biakan Omphalina sp. dalam medium PDB yang telah berumur satu minggu, kemudian diinkubasi selama dua minggu hingga miselium Omphalina sp. tumbuh dengan baik.

Analisis Dekolorisasi dengan Metode Spektrofotometri

Absorbansi larutan zat warna pada masing-masing perlakuan yang dilakukan diamati dengan spektrofotometer UV-Vis (Tauber et al. 2005). Panjang gelombang maksimum (ë maks)

yang digunakan untuk masing-masing zat warna, yaitu hitam (486 nm), merah (482 nm), biru (576 nm), dan hijau (550 nm), serta limbah cair berwarna ungu (482 nm) dan biru muda (668 nm) sampai nilai absorbannya konstan (sekitar tiga hari).

Penentuan Kondisi Optimal Penyiapan Kultur Omphalina sp.

(8)

Penentuan Konsentrasi Terendah Kultur

Omphalina sp. dengan Media Gambut

Ke dalam setiap bejana yang berisi 100 mL zat warna (hitam) dimasukkan masing-masing formulasi Omphalina sp. dalam media gambut (F1) dengan variasi konsentrasi 1 g, 3 g, dan 5 g. Selain F1, dibuat juga formulasi Omphalina sp. dalam media gambut dengan perbandingan 10 g

Omphalina sp. kering yang telah ditumbuk halus dengan 200 g gambut (F5) dan divariasikan dengan konsentrasi yang sama. Nilai absorban larutan zat warna tersebut diamati dengan spektrofotometer UV-Vis sampai hari ke-4.

Penentuan Metode Inkubasi Dekolorisasi

Konsentrasi terendah kultur Omphalina

sp. dengan media gambut yang diperoleh diinkubasi dengan cara dibungkus dengan kain kasa 10 x 10 cm2 dan kertas saring berukuran 10 x 10 cm2 yang dimasukkan kedalam botol berpori. Setelah itu dimasukkan ke dalam bejana yang berisi 100 mL zat warna (hitam). Nilai absorban larutan zat warna diamati dengan spektrofotometer UV-Vis sampai hari ke-4.

Dekolorisasi Limbah Cair Industri Tekstil

Konsentrasi terendah dan media inkubasi dekolorisasi yang diperoleh, diaplikasikan dalam limbah cair industri tekstil dengan menggunakan cara yang sama. Limbah cair yang digunakan terlebih dahulu dicari panjang gelombang maksimumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Kondisi Optimal Penyiapan

Kultur Omphalina sp.

Hasil penentuan kondisi optimal penyiapan kultur Omphalina sp. (Gambar 2 dan 3) menunjukkan bahwa Omphalina sp. dalam berbagai variasi perlakuan tersebut mampu mendekolorisasi zat warna tekstil. Hasil yang paling baik ditunjukkan oleh perlakuan yang menggunakan media

Omphalina sp. dengan gambut dibanding perlakuan menggunakan bagas tebu atau ijuk + bagas tebu.

Penurunan nilai absorban untuk warna hitam sampai hari ke-3 pada perlakuan menggunakan media gambut ialah sebesar 45,1%, media ijuk+bagas 28,3%, dan media

bagas 24,8%. Hasil serupa juga didapatkan untuk warna-warna yang lain. Pada Gambar 2 terlihat bahwa perlakuan dengan menggunakan media gambut pada warna hitam menunjukkan penurunan kepekatan warna yang nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan terjadi perubahan warna menjadi sedikit kuning. Perubahan ini juga teramati pada warna-warna yang lain dengan penurunan nilai absorban yang lebih tinggi.

Penyebab pasti dari perubahan ini belum diketahui, namun diduga hal ini terjadi karena adanya aktivitas enzim ligninolitik yang dihasilkan oleh Omphalina sp. yang terdapat dalam perlakuan tersebut. Diduga proses dekolorisasi terjadi karena adanya proses adsorbsi sebagai sistem non-enzimatik dilanjutkan dengan adanya kemampuan degradasi oleh isolat karena terjadinya aktifitas metabolisme dengan sistem enzimatik (Dewi 2005). Selain itu dalam dekolorisasi dengan jamur secara umum adalah penghilangan warna karena peristiwa adsorpsi oleh miselium sebagai tingkat awal perubahan warna dalam proses dekolorisasi. Proses selanjutnya diteruskan oleh fungi dengan memproduksi metabolit, misalnya berupa enzim ekstraselular (Awaluddin et al. 2001).

Gambar 2 Hasil dekolorisasi zat warna hitam. K= kontrol, 1= perlakuan hari pertama, 2= perlakuan hari kedua, 3= perlakuan hari ketiga, dan 4= perlakuan hari keempat

Gambar 3 menunjukkan bahwa penurunan nilai absorban dengan perlakuan menggunakan media gambut (F1 1:100) pada hari pertama sudah cukup tinggi, yaitu dari 0,452 menjadi 0,132 namun pada hari kedua dan ketiga terjadi kenaikan nilai absorban yang diikuti perubahan warna yang menjadi semakin kuning. Berbeda dengan itu, penurunan nilai absorban yang terjadi dengan perlakuan menggunakan bagas atau ijuk + bagas tidak terlalu besar walaupun

a. Media gambut b. Media bagas

c. Media Ijuk+bagas

K 1 2 3 4 K 1 2 3 4

(9)

Penentuan Konsentrasi Terendah Kultur

Omphalina sp. dengan Media Gambut

Ke dalam setiap bejana yang berisi 100 mL zat warna (hitam) dimasukkan masing-masing formulasi Omphalina sp. dalam media gambut (F1) dengan variasi konsentrasi 1 g, 3 g, dan 5 g. Selain F1, dibuat juga formulasi Omphalina sp. dalam media gambut dengan perbandingan 10 g

Omphalina sp. kering yang telah ditumbuk halus dengan 200 g gambut (F5) dan divariasikan dengan konsentrasi yang sama. Nilai absorban larutan zat warna tersebut diamati dengan spektrofotometer UV-Vis sampai hari ke-4.

Penentuan Metode Inkubasi Dekolorisasi

Konsentrasi terendah kultur Omphalina

sp. dengan media gambut yang diperoleh diinkubasi dengan cara dibungkus dengan kain kasa 10 x 10 cm2 dan kertas saring berukuran 10 x 10 cm2 yang dimasukkan kedalam botol berpori. Setelah itu dimasukkan ke dalam bejana yang berisi 100 mL zat warna (hitam). Nilai absorban larutan zat warna diamati dengan spektrofotometer UV-Vis sampai hari ke-4.

Dekolorisasi Limbah Cair Industri Tekstil

Konsentrasi terendah dan media inkubasi dekolorisasi yang diperoleh, diaplikasikan dalam limbah cair industri tekstil dengan menggunakan cara yang sama. Limbah cair yang digunakan terlebih dahulu dicari panjang gelombang maksimumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Kondisi Optimal Penyiapan

Kultur Omphalina sp.

Hasil penentuan kondisi optimal penyiapan kultur Omphalina sp. (Gambar 2 dan 3) menunjukkan bahwa Omphalina sp. dalam berbagai variasi perlakuan tersebut mampu mendekolorisasi zat warna tekstil. Hasil yang paling baik ditunjukkan oleh perlakuan yang menggunakan media

Omphalina sp. dengan gambut dibanding perlakuan menggunakan bagas tebu atau ijuk + bagas tebu.

Penurunan nilai absorban untuk warna hitam sampai hari ke-3 pada perlakuan menggunakan media gambut ialah sebesar 45,1%, media ijuk+bagas 28,3%, dan media

bagas 24,8%. Hasil serupa juga didapatkan untuk warna-warna yang lain. Pada Gambar 2 terlihat bahwa perlakuan dengan menggunakan media gambut pada warna hitam menunjukkan penurunan kepekatan warna yang nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan terjadi perubahan warna menjadi sedikit kuning. Perubahan ini juga teramati pada warna-warna yang lain dengan penurunan nilai absorban yang lebih tinggi.

Penyebab pasti dari perubahan ini belum diketahui, namun diduga hal ini terjadi karena adanya aktivitas enzim ligninolitik yang dihasilkan oleh Omphalina sp. yang terdapat dalam perlakuan tersebut. Diduga proses dekolorisasi terjadi karena adanya proses adsorbsi sebagai sistem non-enzimatik dilanjutkan dengan adanya kemampuan degradasi oleh isolat karena terjadinya aktifitas metabolisme dengan sistem enzimatik (Dewi 2005). Selain itu dalam dekolorisasi dengan jamur secara umum adalah penghilangan warna karena peristiwa adsorpsi oleh miselium sebagai tingkat awal perubahan warna dalam proses dekolorisasi. Proses selanjutnya diteruskan oleh fungi dengan memproduksi metabolit, misalnya berupa enzim ekstraselular (Awaluddin et al. 2001).

Gambar 2 Hasil dekolorisasi zat warna hitam. K= kontrol, 1= perlakuan hari pertama, 2= perlakuan hari kedua, 3= perlakuan hari ketiga, dan 4= perlakuan hari keempat

Gambar 3 menunjukkan bahwa penurunan nilai absorban dengan perlakuan menggunakan media gambut (F1 1:100) pada hari pertama sudah cukup tinggi, yaitu dari 0,452 menjadi 0,132 namun pada hari kedua dan ketiga terjadi kenaikan nilai absorban yang diikuti perubahan warna yang menjadi semakin kuning. Berbeda dengan itu, penurunan nilai absorban yang terjadi dengan perlakuan menggunakan bagas atau ijuk + bagas tidak terlalu besar walaupun

a. Media gambut b. Media bagas

c. Media Ijuk+bagas

K 1 2 3 4 K 1 2 3 4

(10)

sudah dilakukan pengamatan selama tiga hari. Pada percoban ini teramati bahwa kemampuan Omphalina sp. menguraikan zat warna tekstil dengan konsentrasi pekat tanpa aerasi, tanpa penambahan nutrisi serta tanpa pengaturan kondisi pH awal ini, diduga akan memudahkan dalam aplikasinya di lapangan.

Gambar 3 Nilai absorban dekolorisasi zat warna hitam. Media gambut (F1 1:100)= formulasi antara 1 g

Omphalina sp. dengan 100 g gambut

Penentuan Konsentrasi Terendah Kultur

Omphalina sp. dengan Media Gambut

Hasil yang diperoleh pada perlakuan dengan menggunakan formulasi media gambut (F1) menunjukkan dekolorisasi yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya, sehingga perlakuan tersebut digunakan untuk mencari konsentrasi terendah dengan kemampuan yang baik. Zat warna tekstil sintetik (wanteks) yang digunakan ialah yang berwarna hitam. Hal ini disebabkan warna tersebut dinilai paling sukar didekolorisasi dibandingkan warna lainnya pada percobaan penentuan kondisi optimal, sehingga jika warna hitam dapat

didekolorisasi dengan konsentrasi terendah yang diperoleh, maka zat warna dengan warna lainnya pun dapat didekolorisasi dan memberikan hasil yang baik. Besar formulasi yang dicobakan ialah 1 g, 3 g, dan 5 g.

Percobaan menggunakan berbagai konsentrasi formulasi media gambut (F1), hasil yang didapat kurang memuaskan sehingga dibuat pula percobaan dengan menggunakan formulasi media gambut (F5). Perlakuan menggunakan F1 dalam berbagai konsentrasi memberikan penurunan nilai absorban yang lebih kecil dibandingkan menggunakan F5, hal ini disebabkan jumlah Omphalina sp. yang terkandung pada formulasi media F5 lebih besar dibanding pada F1, walaupun secara visual hasil dekolorisasi pada hari pertama untuk F1 5 gram lebih baik dibandingkan pada F5 5 gram yang masih sedikit berwarna hitam (Gambar 4).

Gambar 4 Penentuan konsentrasi terendah formulasi F1 5 g dan F5 5 g. Sebanyak 5 g yang diambil dari formulasi 1 g Omphalina sp. dengan 100 g gambut (a) dan 10 g

Omphalina sp. dengan 200 g gambut (b), zat warna= hitam; k, 1, 2, 3, dan 4 (seperti Gambar 2)

Hasil yang didapat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa konsentrasi terendah yang diperoleh yaitu F5 sebesar 5 g. Konsentrasi ini menghasilkan penurunan nilai absorban dan dekolorisasi yang lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi 1 atau 3 g. Penurunan nilai absorban yang terjadi untuk F5 5 gram dari hari ke-0 sampai hari ke-3 ialah 0,427-0,117 atau sekitar 72,6%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan nilai absorban F1 5 gram, dimana penurunan nilai absorban sampai hari ke-3 yang didapat ialah 52,7%. Penurunan nilai absorban dengan F5 5 gram ini lebih baik dibanding dengan konsentrasi lainnya. Hal ini karena jumlah Omphalina sp. yang terdapat pada F5 5 gram lebih banyak dibanding yang lain.

c.

K 1 2 3 4 K 1 2 3 4 a. F1 5 g b. F5 5 g

Media Ijuk + bagas

0.452 0.361 0.393 0.324 0.326 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

0 1 2 3 4 5

Hari ke-A

a. Media Gambut

0.452 0.132 0.188 0.248 0.157 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

0 1 2 3 4 5

Hari

ke-b. Media Bagas

0.452 0.418

0.345 0.34 0.334

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

0 1 2 3 4 5

(11)

ke-Gambar 5 Nilai absorban penentuan konsentrasi terendah. Zat warna= hitam; F1 5 g dan F5 5 g (seperti Gambar 4)

Penentuan Metode Inkubasi Dekolorisasi

Setelah didapatkan konsentrasi minimal, ternyata terdapat suatu masalah karena sulitnya proses pengambilan sampel untuk diukur nilai absorbannya. Untuk mengatasi hal itu maka dilakukan penentuan metode inkubasi dekolorisasi yang bertujuan mengurangi tercampurnya formulasi media gambut dengan cairan sehingga tidak mengganggu ketika pengukuran, selain itu berguna untuk dilakukan pemakaian berulang.

Hasil yang diperoleh (Gambar 6) menunjukkan bahwa dekolorisasi warna hitam pada F5 5 g yang diinkubasi dengan cara dibungkus kain lebih baik dibandingkan dengan menggunakan kertas + botol. Pada hari kedua dan ketiga pengamatan, formulasi F5 yang dibungkus dengan menggunakan kain menghasilkan penurunan warna yang sangat nyata terhadap warna hari ke-0 atau tanpa perlakuan. Hal ini berbeda dengan perlakuan menggunakan kertas + botol, dimana warna pada hari kedua dan ketiga masih sedikit pekat.

Hasil yang di dapat menunjukkan bahwa metode inkubasi dekolorisasi menggunakan kain lebih baik dibandingkan dengan menggunakan kertas + botol. Hal ini pun dapat dilihat pada penurunan nilai absorban perlakuan yang menggunakan kain sampai hari ketiga yaitu 0,448-0,187 atau sebesar

58,3%, sedangkan untuk kertas 0,448-0,286 atau sebesar 36,1% (Gambar 7). Tingginya penurunan nilai absorban pada perlakuan yang menggunakan kain ini disebabkan karena interaksi antara larutan zat warna yang digunakan dengan media yang digunakan lebih besar dibandingkan dengan perlakuan yang menggunakan kertas + botol berpori.

Gambar 6 Hasil metode inkubasi dekolorisasi zat warna hitam. K, 1, 2, 3, dan 4 (seperti Gambar 4)

Gambar 7 Nilai absorban metode inkubasi dekolorisasi zat warna hitam.

Dekolorisasi Limbah Cair Industri Tekstil

Aplikasi perlakuan dengan menggunakan konsentrasi terendah dan metoda inkubasi dekolorisasi yang terbaik dilakukan terhadap limbah cair industri tekstil. Limbah cair yang digunakan ialah yang berwarna ungu dan biru muda dengan panjang gelombang untuk masing-masingnya ialah 482 nm dan 668 nm. Panjang gelombang ini didapat menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

Perlakuan menggunakan konsentrasi terendah (F5 5 g) menunjukkan bahwa limbah cair tersebut dapat didekolorisasi. Hal ini

K 1 2 3 4 K 1 2 3 4

a. Kain b. Kertas+botol a. F1 5 gram

0.427 0.323 0.227 0.202 0.185 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

0 1 2 3 4 5

Hari ke-A

a.

b. Kertas + botol

0.448 0.401 0.321 0.286 0.237 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

0 1 2 3 4 5

Hari ke-Kain 0.448 0.398 0.249 0.187 0.129 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

0 1 2 3 4 5

Hari

ke-b. F5 5 gram

0.427 0.326 0.161 0.117 0.112 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

0 1 2 3 4 5

(12)

ke-terlihat baik secara visual maupun dari penurunan nilai absorbannya. Limbah cair ini diberikan perlakuan yang sama dengan percobaan sebelumnya. Pada Gambar 8 (a dan b) menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan warna dari warna asal menjadi semakin kuning kecoklatan. Hal ini diduga karena proses adsorpsi serta eksudat enzim yang dihasilkan oleh miselium Omphalina

sp. dalam media tersebut.

Perlakuan selanjutnya terhadap limbah cair ini ialah dengan menggunakan metoda inkubasi dekolorisasi dengan cara dibungkus kain. Gambar 8 (c dan d) menunjukkan bahwa proses dekolorisasi pada kedua warna memberikan hasil yang baik. Dekolorisasi dari kedua limbah cair ini sebenarnya sudah sangat tinggi pada hari pertama. Hal ini terlihat dari warnanya yang sudah tidak seperti warna asalnya, sehingga perlakuan bisa dilakukan hanya dalam waktu satu hari. Limbah cair berwarna ungu yang dibungkus kain (Gambar 9 c), penurunan nilai absorban pada hari pertama cukup tinggi dan terlihat pada gambar bahwa penurunan kepekatan warna yang dihasilkan sangat nyata. Pada hari selanjutnya nilai absorban mengalami kenaikan yang diikuti dengan perubahan warna yang menjadi sedikit keruh.

Hasil yang didapatkan untuk limbah cair berwarna biru muda yang dibungkus kain menunjukkan terjadinya penurunan nilai absorban sampai hari keempat. Penurunan yang paling tinggi terjadi pada hari pertama, sedangkan penurunan nilai absorban pada hari ketiga dan keempat tidak terlalu jauh atau relatif sama.

Hasil penelitian sebelumnya dengan menggunakan media yang berbeda menyebutkan bahwa miselium Omphalina

sp. A-1 amobil dalam kultur batch tanpa aerasi mampu mendekolorisasi dengan baik dua jenis limbah pabrik kain batik yang masing-masing mengandung bahan pewarna indigo carmen dan -naftol (Tri-Panji 2006). Menurut Kirby et al. (1995), jamur pelapuk putih mampu menggunakan zat warna sebagai sumber karbon yang menyebabkan konsentrasi zat warna berkurang atau habis. Fenomena ini belum jelas karena ternyata tidak semua zat warna mampu digunakan sebagai sumber karbon. Kemungkinan mekanisme dekolorasi lainnya adalah oksidasi gugus kromofor seperti yang dikemukakan oleh Yaropolov et al. bahwa lakase mampu mengoksidasi ikatan azo (-N=N-) yang merupakan gugus

kromofor menjadi gugus –OH dan N2

(Yaropolov et al. 1994).

Gambar 8 Hasil dekolorisasi limbah cair industri tekstil. Perlakuan dengan formulasi F5 5 g (a dan b) dan dengan dibungkus kain (c dan d); k, 1, 2, 3, dan 4 (seperti Gambar 2)

b. Biru muda

c. Ungu a. Ungu

d. Biru muda

K 1 2 3 4 K 1 2 3 4 K 1 2 3 4

K 1 2 3 4

Limbah cair warna ungu

0.309 0.202

0.173 0.159 0.188

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35

0 1 2 3 4 5

Hari ke-A b s o rb a n a.

Limbah cair warna biru muda

0.201 0.092 0.083 0.056 0.072 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

0 1 2 3 4 5

Hari ke-A b s o rb a n b.

c. Limbah ungu (kain)

0.309

0.093 0.088 0.099 0.103 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35

0 1 2 3 4 5

(13)

ke-Gambar 9 Nilai absorban limbah cair industri tekstil.

Pada penelitian ini terdapat kendala dalam pengambilan sampel, karena perlakuan yang menggunakan media gambut harus hati-hati agar gambutnya tidak terbawa ketika diukur. Oleh karena itu sampel disentrifuse dengan kecepatan 10 ribu rpm selama 10 menit yang bertujuan agar gambut yang terbawa dapat terendap sehingga tidak mengganggu proses pengukuran nilai absorban. Kendala lainnya ialah belum diketahuinya penyebab pasti dari perubahan warna yang menjadi sedikit kuning dari percobaan ini.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kondisi optimal proses dekolorisasi terjadi pada perlakuan menggunakan media gambut dibanding media lainnya. Konsentrasi terendah ialah sebesar 5 g (F5) dan metode inkubasi dekolorisasi terbaik ialah dengan dibungkus kain dibanding kertas dalam botol berpori. Panjang gelombang untuk limbah cair warna ungu ialah 482 nm dan biru muda 668 nm. Formulasi media gambut yang digunakan dapat mendekolorisasi limbah cair industri tekstil.

Saran

Penggunaan lebih banyak macam dan jenis zat warna tekstil sangat baik untuk dicoba agar kemampuan Omphalina sp. lebih dapat teruji. Perlu juga dilakukan penelitian lebih jauh tentang mekanisme dekolorisasi yang dilakukan oleh

Omphalina sp. agar lebih memudahkan dalam penggunaan media dan perlakuan yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Awaluddin R, Darah S, Ibrahim CD, Uyub AM. 2001. Decolorization of commercially available synthetic dyes by the white rot fungus Phanerochaete chrysosporium. J Fungi and Bactery. 62:55-63.

Cascio J. 1994. Best management practices for pollution prevention in the textile industry. J Enviromental Protection. 96:625-629.

Dewi RS. Potensi fungi indigenous limbah industri tekstil sebagai agen pendekolorisasi pewarna azo sumber pencemaran warna perairan. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Biologi XII. Jogjakarta. 19-22 April 2005. Hlm 454-457.

Fassatiova O. 1986. Moulds and Filamentaous Fungi in Technical Microbiology. New York: Elsevier.

Hoo K, Suryo W. 1982. Pengolahan Air Industri. Bogor: Pusbangtepa IPB.

Moore, Landecker E. 1996. Fundamentals of the Fungi, Ed ke-4. London: Prentice-Hall International (UK) Limited.

Nemerow NL, Dasgupta A. 1991 Industrial and Hazardous Waste Treatment. New York: Van Nostrand Reinhold.

Nicholas DD. 1973. Biological control of decay in standing by preservative treatments. J Inst. Wood Science. 7:6-9.

Pickard MA, H Vandetrol, R Ramon, R Vazquez-Duhalt. 1999. High production of ligninolitic enzymes from white rot fungi. Can J Microbiol 45:627-631.

Rayner ADM, Boddy L. 1988. Fungal Decomposition of Wood: its Biology and Ecology. New York: Wiley Chichester. Sastrohamidjojo H. 2001. Spektroskopi. Ed

ke-2. Yogyakarta: Liberty.

Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: IPB Pr.

Tauber MM, George MG, Astrid R. 2004. Degradation of azo dyes by lacasse and ultrasound treatment. JEnviron Microbiol

71:100-112.

Limbah biru muda (kain)

0.086 0.064 0.042 0.039 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

0 2 4 6

Hari

(14)

DEKOLORISASI LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL

DENGAN MENGGUNAKAN

Omphalina

sp

.

ARIED ARDHINA

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

Gambar 9 Nilai absorban limbah cair industri tekstil.

Pada penelitian ini terdapat kendala dalam pengambilan sampel, karena perlakuan yang menggunakan media gambut harus hati-hati agar gambutnya tidak terbawa ketika diukur. Oleh karena itu sampel disentrifuse dengan kecepatan 10 ribu rpm selama 10 menit yang bertujuan agar gambut yang terbawa dapat terendap sehingga tidak mengganggu proses pengukuran nilai absorban. Kendala lainnya ialah belum diketahuinya penyebab pasti dari perubahan warna yang menjadi sedikit kuning dari percobaan ini.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kondisi optimal proses dekolorisasi terjadi pada perlakuan menggunakan media gambut dibanding media lainnya. Konsentrasi terendah ialah sebesar 5 g (F5) dan metode inkubasi dekolorisasi terbaik ialah dengan dibungkus kain dibanding kertas dalam botol berpori. Panjang gelombang untuk limbah cair warna ungu ialah 482 nm dan biru muda 668 nm. Formulasi media gambut yang digunakan dapat mendekolorisasi limbah cair industri tekstil.

Saran

Penggunaan lebih banyak macam dan jenis zat warna tekstil sangat baik untuk dicoba agar kemampuan Omphalina sp. lebih dapat teruji. Perlu juga dilakukan penelitian lebih jauh tentang mekanisme dekolorisasi yang dilakukan oleh

Omphalina sp. agar lebih memudahkan dalam penggunaan media dan perlakuan yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Awaluddin R, Darah S, Ibrahim CD, Uyub AM. 2001. Decolorization of commercially available synthetic dyes by the white rot fungus Phanerochaete chrysosporium. J Fungi and Bactery. 62:55-63.

Cascio J. 1994. Best management practices for pollution prevention in the textile industry. J Enviromental Protection. 96:625-629.

Dewi RS. Potensi fungi indigenous limbah industri tekstil sebagai agen pendekolorisasi pewarna azo sumber pencemaran warna perairan. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Biologi XII. Jogjakarta. 19-22 April 2005. Hlm 454-457.

Fassatiova O. 1986. Moulds and Filamentaous Fungi in Technical Microbiology. New York: Elsevier.

Hoo K, Suryo W. 1982. Pengolahan Air Industri. Bogor: Pusbangtepa IPB.

Moore, Landecker E. 1996. Fundamentals of the Fungi, Ed ke-4. London: Prentice-Hall International (UK) Limited.

Nemerow NL, Dasgupta A. 1991 Industrial and Hazardous Waste Treatment. New York: Van Nostrand Reinhold.

Nicholas DD. 1973. Biological control of decay in standing by preservative treatments. J Inst. Wood Science. 7:6-9.

Pickard MA, H Vandetrol, R Ramon, R Vazquez-Duhalt. 1999. High production of ligninolitic enzymes from white rot fungi. Can J Microbiol 45:627-631.

Rayner ADM, Boddy L. 1988. Fungal Decomposition of Wood: its Biology and Ecology. New York: Wiley Chichester. Sastrohamidjojo H. 2001. Spektroskopi. Ed

ke-2. Yogyakarta: Liberty.

Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: IPB Pr.

Tauber MM, George MG, Astrid R. 2004. Degradation of azo dyes by lacasse and ultrasound treatment. JEnviron Microbiol

71:100-112.

Limbah biru muda (kain)

0.086 0.064 0.042 0.039 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

0 2 4 6

Hari

(16)

Thurston CF. 1994. The structure and function of fungal laccase.

Microbiology 140: 19-26.

Tisdale SL, Nelson WL, Beaton D. 1990.

Soil Fertility and Fertilizer. New York: Macmillan.

Tri-Panji. 2005. Optimasi produksi enzim ligninolitik menggunakan fungi pelapuk putih pada media TKKS. Laporan hasil penelitian. Bogor: BPBPI.

Tri-Panji. 2006. Pengembangan teknik aplikasi enzim LiP, MnP, dan Lakase untuk dekolorisasi limbah textil pada skala laboratorium. Laporan hasil penelitian. Bogor: BPBPI.

Asahi. 2002. Mushroom. http://www.ne.jp/ tokyo/tricholoma/Omphalina sp /Omphalina.htm [11 Maret 2007]

Yaropolov AI, Skorobogatko OV, Vartanov SS, Varvolomeyev SD. 1994. Catalytic mechanism of laccase. J Biochem and Biotechnol 49:257-280.

(17)

DEKOLORISASI LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL

DENGAN MENGGUNAKAN

Omphalina

sp

.

ARIED ARDHINA

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

ABSTRAK

ARIED ARDHINA. Dekolorisasi Limbah Cair Industri Tekstil dengan

Menggunakan

Omphalina

sp. Dibimbing oleh DJAROT SASONGKO

HAMISENO dan TRI PANJI.

Penelitian bertujuan mendapatkan metode biodekolorisasi limbah cair

industri tekstil dengan menggunakan jamur pelapuk putih

Omphalina

sp.

yang

dipersiapkan dalam media gambut, bagas tebu, atau ijuk ditambah bagas. Kultur

Omphalina

sp. yang dihasilkan dari ke-3 media tersebut selanjutnya digunakan

untuk optimalisasi dekolorisasi zat warna tekstil sintetik (hitam, hijau, dan biru)

dan rhodamin B (merah). Setelah itu, dilakukan penentuan konsentrasi minimum

media optimalisasi untuk dekolorisasi. Hasil tersebut kemudian digunakan untuk

membandingkan metode inkubasi dekolorisasi dengan kain dan kertas saring yang

dimasukkan kedalam botol berpori.

(19)

ABSTRACT

ARIED ARDHINA. Decolorization Waste Water Textile Industry Using

Omphalina

sp. Under direction of DJAROT SASONGKO HAMISENO and TRI

PANJI.

The aim of this research is to obtain biodecolorization method for waste

water of textile industry using white root fungi

Omphalina sp. preliminary using

prepared peat moss, bagasse, or palm fiber+bagasse medium. The obtained culture

were used to determine the optimum decolorization of dye, commonly used in

textile industry (black, green, and blue) and rhodamin B (red), as well as to

determine the minimum concentration for decolorization. Result were then used

incubation methods using gauze cloth and paper in pores bottle.

(20)

DEKOLORISASI LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL

DENGAN MENGGUNAKAN

Omphalina

sp

.

ARIED ARDHINA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(21)

Judul Skripsi : Dekolorisasi Limbah Cair Industri Tekstil dengan Menggunakan

Omphalina sp.

Nama

: Aried Ardhina

NIM

: G44103046

Disetujui

Komisi Pembimbing

Drs. Djarot Sasongko Hamiseno, M.Si. Dr. Tri Panji, MS, APU

Ketua

Anggota

Diketahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS.

NIP 131 473 999

(22)

PRAKATA

Alhamdulillahi robbil

'alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat

Allah SWT yang telah memberi rahmat dan kemudahan dalam melaksanakan

penelitian hingga selesainya penulisan skripsi yang berjudul Dekolorisasi Limbah

Cair Industri Tekstil dengan Menggunakan

Omphalina

sp. Laporan ini disusun

berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan mulai tanggal 12 Februari sampai

26 Juni 2007 yang bertempat di Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai

Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), Jalan Taman Kencana

No.1 Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Djarot Sasongko

Hamiseno, M.Si. selaku pembimbing utama dan Bapak Dr. Tri Panji, MS, APU.

selaku pembimbing kedua atas bimbingan, arahan serta semangat yang diberikan

selama penelitian dan penyusunan laporan ini. Bapak Suharyanto yang banyak

memberi masukan dan arahan, Gilang, Erlank, Dika, Dini, Rio serta teman-teman

Biokimia 40, ibu Ida, Mba Urip, Mba Trisning, Mba Wulan, Mba Irma, Mba

Riana, Rama, Niar, Siska, Encep, Eko, Yasmin, dan semua teknisi yang telah

membantu, serta teman-teman penelitian di Laboratorium Mikroba dan Bioproses.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada bapak, ibu, kakak-kakakku

serta kakak iparku yang telah memberikan bantuan materi, doa, kasih sayang, dan

dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2007

(23)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 19 Maret 1985 dari ayah

Muruwasto dan ibu Ernawati. Penulis merupakan anak terakhir dari empat

bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang

sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis

memilih Jurusan Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(24)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Cair Industri Tekstil... 1

Dekolorisasi . ... 2

Jamur Pelapuk Putih... 2

Bagas Tebu... 3

Gambut... 4

Metode Spektrofotometri ... 4

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat ... 4

Metode Kerja... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Kondisi Optimal Penyiapan Kultur Omphalina sp. ... 6

Penentuan Konsentrasi Terendah Kultur Omphalina sp. dengan Media

Gambut ... 7

Penentuan Metode Inkubasi Dekoorisasi ... 8

Dekolorisasi Limbah Cair Industri Tekstil ... 8

SIMPULAN DAN SARAN

(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Jamur pelapuk putih jenis Omphalina sp ... 2

2

Hasil dekolorisasi zat warna hitam... 6

3

Nilai absorban dekolorisasi zat warna hitam... 7

4

Penentuan konsentrasi terendah formulasi F1 5 g dan F5 5 g... 7

5

Nilai absorban penentuan konsentrasi terendah ... 8

6

Hasil metode inkubasi dekolorisasi zat warna hitam ... 8

7

Nilai absorban metode inkubasi dekolorisasi zat warna hitam ... 8

8

Hasil dekolorisasi limbah cair industri tekstil ... 9

9

Nilai absorban limbah cair industri tekstil ... 10

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(26)

PENDAHULUAN

Seiring dengan pesatnya perkembangan industri, limbah-limbah industri menjadi semakin bertambah, baik volume maupun jenisnya. Akibatnya beban pencemaran lingkungan semakin berat, sedangkan kemampuan alam untuk menerima beban limbah terbatas. Jenis limbah industri banyak macamnya, tergantung bahan baku dan proses yang digunakan masing-masing industri. Masing-masing limbah memerlukan penanganan tersendiri agar dapat mencapai baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah.

Industri tekstil merupakan salah satu jenis industri di Indonesia. Industri tekstil menghasilkan limbah cair berwarna yang dapat berpengaruh terhadap estetika, kekeruhan, dan toksisitas pada biota air (ganggang dan ikan). Selain itu, sebagian zat warna tersebut kemungkinan bersifat karsinogenik. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Perlakuan mikrobiologis banyak dikembangkan untuk biodekolorisasi limbah cair industri tekstil, misalnya menggunakan mikrofungi (Dewi 2005) dan jamur pelapuk putih (white rot fungi) (Awaludin et al. 2001) atau seperti pada penelitian ini digunakan Omphalina sp. Jamur pelapuk putih (JPP) mampu menghasilkan enzim lakase, lignin peroksidase (Li-P) serta Mangan-peroksidase (Mn-P) dengan aktivitas yang tinggi. Lakase (EC 1.10.3.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) diketahui dapat dimanfaatkan secara luas untuk berbagai kegunaan seperti proses degradasi lignin, bioremediasi dan biodegradasi polutan organik (klorofenol dan polisiklik aromatik hidrokarbon), dekolorisasi dan detoksifikasi limbah tekstil, serta biobleaching dan

biopulping kertas. Hal tersebut disebabkan lakase memiliki aktivitas katalitik terhadap berbagai jenis substrat. Lakase berperan dalam pigmentasi, pembentukan badan buah, sporulasi, dan patogenisitas (Thurston 1994). Lakase yang dihasilkan oleh masing-masing JPP memiliki perbedaan yang sangat nyata pada substrat spesifik, berat molekul, dan pH optimumnya seperti yang dihasilkan oleh beberapa jamur yakni Panaeolus sphinctrinus, P. papilionaceus, Trametes versicolor, dan Coriolopsis gallica (Pickard

et al. 1999).

Indonesia memiliki keanekaragaman genetik jamur yang tinggi. Primack et al.

(1998) mencatat bahwa dari 47.000 spesies jamur dunia, sekitar 12.000 spesies diantaranya terdapat di Indonesia. Salah satu strategi untuk konservasi keanekaragaman hayati jamur adalah melalui pembudidayaan dan pemanfaatannya. Omphalina sp. (A-1) yang merupakan JPP lokal hasil isolasi dari limbah lignoselulosa pabrik kelapa sawit, Kebun Kerta Jaya PTPN VIII, Banten perlu diuji kemampuannya untuk proses dekolorisasi limbah pabrik tekstil.

Penelitian bertujuan mendapatkan metode biodekolorisasi limbah cair industri tekstil dengan menggunakan Omphalina sp. yang dipersiapkan dalam berbagai kondisi media. Pada penentuan kondisi optimal digunakan zat warna tekstil terlebih dahulu.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan metode biodekolorisasi yang lebih sederhana untuk meminimalisasi pencemaran lingkungan oleh limbah cair industri tekstil. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2007. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Jalan Taman Kencana No.1 Bogor.

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Cair Industri Tekstil

Proses industri tekstil menghasilkan limbah padat dan cair. Limbah padat berasal dari proses pembuatan kain, benang, serat-serat kain, dan sampah dari kegiatan lain yang menunjang produksi, sedangkan limbah cair berasal dari proses pengkanjian benang, proses penghilangan zat pelumas dari serat sintetis sebelum proses penenunan, dan dari proses pencelupan (Nemerow dan Dasgupta 1991). Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri tekstil karena memberikan dampak yang paling luas. Hal ini disebabkan karakteristik fisik maupun kimianya yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.

(27)

tekstil dan tetap akan berada dalam tekstil sampai proses selesai, sedangkan sisanya berada dalam larutan dan akan terbuang bersama air bekas proses basah. Zat-zat dalam air buangan tersebut berpotensi menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.

Air limbah industri tekstil dapat dengan mudah dikenal karena warnanya. Cemaran zat warna ini bervariasi baik jenis maupun jumlahnya. Warna selalu jadi kontaminan pertama pada limbah cair. Limbah industri yang berwarna tidak hanya menimbulkan polusi secara visual, tetapi dapat meningkatkan resiko kerusakan lingkungan dan kesehatan (Cascio 1994). Pada industri tekstil pewarna yang biasa digunakan adalah pewarna sintetik. Pewarna sintetik banyak digunakan dalam industri tekstil karena memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan dengan senyawa pewarna alami. Keunggulan dari senyawa sintetik adalah mudah diperoleh dengan komposisi yang tetap, mempunyai aneka warna, lebih tahan lama, mudah cara pemakaiannya, dan harganya relatif murah (Awaluddin et al.

2001).

Dekolorisasi

Dekolorisasi atau penghilangan warna merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengurangi kepekatan warna. Menurut Awaluddin et al. (2001), bahan pewarna dapat didekolorisasi dengan metoda fisika dan kimia, ultrasonifikasi merupakan contoh dekolorisasi secara fisika, sedangkan contoh dekolorisasi secara kimia ialah dengan koagulasi menggunakan ferosulfat. Metode ini lebih efektif, namun memerlukan biaya tinggi, dapat menghasilkan senyawa berbahaya, masalah operasional, dan membutuhkan perlengkapan khusus, maka perlu digunakan metoda alternatif.

Metode biologi merupakan metode alternatif yang lebih menguntungkan karena lebih sederhana, murah, ramah lingkungan, dan tidak menghasilkan limbah sekunder berupa sedimentasi lumpur dalam jumlah besar. Salah satu perlakuan secara biologi adalah dengan menggunakan teknik biodekolorisasi. Jamur dipilih sebagai salah satu organisme biodekolorisasi yang mampu mendegradasi komponen warna yang bersifat toksik karena jamur mempunyai kemampuan untuk transformasi, yaitu merubah dari bahan kimia berbahaya pada limbah menjadi bentuk yang kurang atau

tidak berbahaya (Awaluddin et al. 2001). Salah satu metode alternatif untuk dekolorisasi ialah dengan menggunakan jamur pelapuk putih. Dalam penelitian ini digunakan Omphalina sp. yang merupakan salah satu jamur pelapuk putih.

Jamur Pelapuk Putih (White Rot Fungi)

Jamur pelapuk putih (Gambar 1) termasuk dalam kelas Basidiomycetes yang dapat mendegradasi selulosa, hemiselulosa, dan lignin menjadi CO2, air, dan mineral penyubur tanah.

Seperti halnya tumbuhan, jamur juga membutuhkan sumber makanan, pasokan air yang cukup, suhu, pH, oksigen, dan kondisi lingkungan yang cocok seperti ada atau tidaknya cahaya (Nicholas 1973). Sumber karbon dan nitrogen sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur, terutama terhadap konversi biomassa.

Menurut Rayner dan Boody (1988) hanya ada beberapa jamur pelapuk putih kelas Basidiomycetes yang tumbuh pada suhu minimum, optimum, dan maksimum pada kisaran 10 °C, 40 °C, dan 50 °C. Kelembaban yang dibutuhkan oleh jamur berbeda-beda, tetapi hampir semua jenis jamur ini dapat hidup pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air yang umum untuk pertumbuhan jamur ialah 35-50%.

Jamur dapat mengambil oksigen secara bebas dari udara untuk keperluan respirasi agar pertumbuhannya optimum. Kekurangan oksigen dapat menyebabkan terjadinya penimbunan CO2

yang dapat menghambat pertumbuhannya. Kisaran pH optimum untuk sebagian jamur pelapuk kayu ialah 4,5-5,5 (Nicholas 1973). Menurut Rayner dan Boody (1988), beberapa jamur memiliki toleransi pada pH antara 4-9.

Jamur pelapuk putih merupakan jamur yang dapat menyerang komponen penyusun kayu, namun dengan pilihan utamanya ialah lignin. Jamur ini meninggalkan warna putih pada kayu. Penyerangan oleh JPP menyebabkan penurunan kekuatan fisik kayu dan terjadinya pembengkakkan jaringan kayu.

Gambar 1 Jamur Pelapuk Putih Omphalina sp.

(www.ne.jp)

(28)

Pholiota sp., yang efisien dalam mendegradasi lignin secara aerobik. JPP juga dapat digunakan dalam proses dekolorisasi, hal tersebut disebabkan JPP memiliki enzim lakase yang mempunyai aktivitas katalitik terhadap berbagai jenis substrat. Lakase berperan dalam pigmentasi, pembentukan badan buah, sporulasi dan patogenisitas (Thurston 1994). Ada banyak jenis JPP yang telah diteliti, diantaranya ialah Agraylie sp., Pholiota sp., Ganoderma lucidium, dan Omphalina sp.

Jamur Omphalina sp.

Jamur Omphalina sp. merupakan salah satu jenis dari Divisi Basidiomycetes. Dari divisi Basidiomycetes sudah diketahui sebanyak 15.000 spesies. Seluruh Basidiomycetes memproduksi basidia. Basidia merupakan organ homolog dan derivat dari ascus. Seperti halnya ascus, basidium asli biasanya memiliki dua struk

Gambar

Gambar 2  Hasil dekolorisasi zat warna hitam. K= kontrol, 1= perlakuan hari pertama, 2= perlakuan hari kedua, 3= perlakuan hari ketiga, dan 4= perlakuan hari keempat
Gambar 2  Hasil dekolorisasi zat warna hitam. K= kontrol, 1= perlakuan hari pertama, 2= perlakuan hari kedua, 3= perlakuan hari ketiga, dan 4= perlakuan hari keempat
Gambar 4 Penentuan konsentrasi terendah formulasi F1 5 g dan F5 5 g. Sebanyak 5 g yang diambil dari formulasi 1 g Omphalina sp
Gambar 5  Nilai
+6

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4.3 menunjukkan bahwa ekstraksi fenol dengan menggunakan pelarut aseton konsentrasi 70%, didapatkan nilai rendemen ekstraksi fenol dari limbah cair

Gambar 4.3 menunjukkan bahwa ekstraksi fenol dengan menggunakan pelarut aseton konsentrasi 70%, didapatkan nilai rendemen ekstraksi fenol dari limbah cair

Dari hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa perlakuan terbaik pada pengolahan limbah cair tahu menggunakan biofilter

Hasil yang diperoleh menggunakan nutrien dari campuran limbah cair tahu dan rumah potong hewan pada media air gambut menujukkan terjadinya perubahan yang signifikan pada

Hasil yang diperoleh menunjukkan elektrolisis air limbah industri kain tenun menggunakan elektroda PbO 2 -Pb menghasilkan dekolorisasi sebesar 98,8%, penurunan nilai total

Karya tulis ilmiah berupa skripsi ini dengan judul “Dekolorisasi Limbah Cair Zat Warna Direct Red-81 Pada Industri Tekstil Kain Jumputan Di Palembang Menggunakan Aeromonas

Metode batch berulang dilakukan dengan memompakan larutan (zat warna untuk dekolorisasi dan limbah lateks pekat untuk deodorisasi) agar larutan tersebut dapat melewati formula

Data hasil penelitian diperoleh dari uji karakteristik sampel limbah industri minuman ringan yang telah mendapat perlakuan pada reaktor plasma dengan variasi