MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON
TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK
PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI
SKEMA PERDAGANGAN KARBON
TEDDY RUSOLONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:
MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN
AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON
adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 7 April 2006
Teddy Rusolono
Agroforestri untuk Pengelolaan Hutan Milik Melalui Skema Perdagangan Karbon. Dibimbing oleh ENDANG SUHENDANG, UPIK ROSALINA WASRIN, RIZALDI BOER, dan DUDUNG DARUSMAN.
Sejalan dengan makin meningkatnya peran jasa lingkungan hutan, maka sangat diperlukan adanya sistem dan metode penilaian yang sesuai agar pengelolaan hutan dapat memperoleh manfaat ekonomi langsung berkat adanya jasa lingkungan tersebut. Melalui Protokol Kyoto, jasa lingkungan dalam penyerapan karbon oleh hutan dihargai sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan.
Praktek agroforestri memiliki banyak keunggulan untuk masuk dalam pasar karbon, karena selain mendorong upaya menambah luasan hutan dan pengurangan emisi, juga memberikan insentif untuk menambah sumber pendapatan untuk peningkatan taraf hidup masyarakat di pedesaan. Adanya metode pendugaan persediaan karbon yang terandalkan dan absah untuk tegakan agroforestri menjadi syarat keharusan bagi masuknya pengelolaan agroforestri dalam perdagangan karbon melalui skema Protokol Kyoto.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai faktor-faktor berikut model matematik yang dapat menjelaskan ragam potensi persediaan karbon melalui praktek agroforestri. Model yang dihasilkan dipergunakan untuk merumuskan metode pendugaan persediaan karbon pada tegakan agroforestri. Besarnya kandungan karbon ini selanjutnya dapat dipergunakan untuk menilai kemungkinan pengelolaan hutan milik melalui skema perdagangan karbon.
Penelitian lapangan dilakukan pada tegakan agroforestri di lahan milik pada dua desa contoh, masing-masing di Desa Pecekelan (Kabupaten Wonosobo) dan di Desa Kertayasa (Kabupaten Ciamis). Pengukuran, pengamatan dan wawancara di lapangan dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Agustus dan September 2004.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk struktur tegakan horizontal untuk tegakan agroforestri menyerupai huruf J-terbalik, walaupun berbeda dalam jenis pohon penyusunnya. Bentuk struktur tegakan seperti ini lazim ditemukan pada tegakan hutan tidak seumur atau hutan alam. Pendugaan persediaan karbon dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu memperhatikan bentuk struktur tegakan horizontalnya, menggunakan peubah kerapatan dan luas bidang dasar tegakan, atau menggunakan fungsi pertumbuhan dengan peubah umur tegakan. Komponen pohon merupakan bagian terpenting sumber persediaan karbon yang mencapai hampir 80% dari seluruh persediaan karbon agroforestri. Terdapat kecenderungan variasi yang tinggi untuk mengukur dan memonitor potensi persediaan karbon agroforestri, yang dapat menimbulkan masalah ketika menetapkan besarnya manfaat karbon yang dihasilkan untuk pihak pembeli. Namun petani dapat mengukur dan memonitor lahannya sendiri untuk melengkapi pendekatan sampling yang cenderung memiliki ketelitian yang rendah.. Manfaat penjualan karbon bersifat tambahan dalam praktek agroforestri, besarnya manfaat total yang diperoleh tergantung pada tambahan biaya transaksi yang diperlukan untuk proses mendapat pengakuan besarnya serapan karbon yang akan dihasilkan.
ABSTRACT
TEDDY RUSOLONO. Prediction model of carbon stocks in agroforestry to support small-scale forest management through carbon trade scheme. Under supervision of: ENDANG SUHENDANG, UPIK ROSALINA WASRIN, RIZALDI BOER, and DUDUNG DARUSMAN.
In line with the increasing role of environmental service of forests, it is needed an appropriate assessment system and method in order to obtain direct benefits of such environmental services. Through the Kyoto Protocol, an environmental service of forests in term of carbon sequestration would become a promising commodity to be traded.
Agroforestry practices have a great potentiality to participate in the carbon market, because they will not only provide an incentive to expand forest area and reduce emissions, but also at the same time improve income of rural communities. The excistance of reliable and valid method for estimating carbon stocks in agroforestry stand is a necessary condition to include agroforestry management in to carbon trade according to Kyoto Protocol scheme.
However, since the carbon trade is a new issue, there are still some emerging problems particularly on how the carbon stocks can be determined and how the carbon benefits can be recognized by potential buyers.
The objectives of this research are to characterize factors affecting the carbon stocks variation of agroforestry practices through mathematical models and to formulate estimation method of carbon stocks which can be used to assess small-scale forest managements through carbon trade scheme.
This research was conducted in agroforestry stands located at the two sample villages in Wonosobo and Ciamis districts, in the period of August to September 2004. A full enumeration was carried out to estimate biomass and carbon stock of agroforestry stands. In addition, some interviews with the local farmers were conducted to know their approaches in managing the agroforestry stands.
The results of this research showed that the horizontal structure of the agroforestry stands follows the reverse J shape, which is typically found in uneven-aged natural forests. Carbon stocks can be estimated by using parameters of the stand structure model, stand density and basal area as well as using yield function of carbon stock and stand age. Trees were the major carbon source that served about 80% of total carbon stocks in the agroforestry stands. There were high variations of carbon stocks in the agroforestry stands, which could lead to a difficulty in determining the carbon benefits. However, farmers can measure and monitor their own lands as a complement to the sampling approach which is still tend to produce less accuracy. In agroforestry practices, revenues obtained from the carbon trade are additional incomes which depend on the additional transaction costs required in the validation and verification processes.
PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI
SKEMA PERDAGANGAN KARBON
TEDDY RUSOLONO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Disertasi : Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri Untuk Pengelolaan Hutan Milik Melalui Skema Perdagangan Karbon
Nama : Teddy Rusolono
NIM : 985094
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang, MS Dr.Ir. Upik Rosalina Wasrin, DEA Ketua Anggota
Dr.Ir. Rizaldi Boer, M.Sc Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Pengetahuan Kehutanan
Dr.Ir. Dede Hermawan, MSc Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc
Tanggal Ujian: 7 April 2006 Tanggal Lulus:
Bismillahirrohmaanirrohim. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga disertasi ini dapat penulis
selesaikan.
Disertasi ini disusun untuk menggali manfaat jasa karbon yang dapat
dihasilkan dari praktek agroforestri yang secara tradisional dilakukan di banyak
tempat di Indonesia. Banyak yang percaya bahwa penjualan jasa lingkungan
melalui mekanisme berbasis pasar bisa memberikan insentif yang mendorong
upaya konservasi hutan dan pada waktu yang bersamaan menyediakan sumber
pendapatan baru yang penting untuk peningkatan taraf hidup masyarakat yang
sebelumnya terabaikan.
Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik dengan bantuan, arahan dan
dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan pertama penulis mengucapkan
terima kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada Prof.Dr.Ir. Endang
Suhendang, MS selaku ketua komisi pembimbing, serta Dr.Ir. Upik Rosalina
Wasrin, DEA, Dr.Ir. Rizaldi Boer, M.Sc, dan Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA,
masing-masing selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak
memberikan saran, bimbingan dan nasehat yang sangat berarti bagi penyelesaian
tugas akhir penulis.
Selanjutnya penulis juga merasa berhutang budi kepada banyak pihak,
karenanya pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Prof.Dr.Ir. Zahrial Coto, M.Sc yang saat itu menjabat Dekan
Fakultas Kehutanan IPB dan Rektor IPB yang telah mengijinkan saya
melanjutkan studi doktor di IPB. Pimpinan dan pengelola BPPS yang telah
memberikan bantuan beasiswa pendidikan program doktor kepada penulis.
Pimpinan dan staf pada Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan
pelayanan yang baik selama saya menjadi mahasiswa. Rekan-rekan staf pengajar
Kelompok Bidang Perencanaan Hutan dan staf pengajar lain di Departemen
Manajemen Hutan dan seluruh jajaran pimpinan di Fakultas Kehutanan IPB yang
selalu dalam situasi kebersamaan telah banyak memberikan masukan dan
dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas studi. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sumeri dan Bapak Suparman, atas
kebaikannya yang tulus menyediakan tempat tinggal dan bantuan di lapangan
selama masa penelitian, serta Sdr. Varian Triantomo, Sdr. Yudistira dan Sdr.
Endim Dimyana, BScF, yang telah turut membantu penulis dalam pengumpulan
data lapangan.
Kepada mereka yang tercinta orang tua penulis, ibu kandung dan
ayah-ibu (almarhumah) mertua yang senantiasa memberikan spirit kepada saya dengan
bahasanya sendiri untuk terus mencari ilmu, adalah pelajaran yang sangat amat
berharga. Untuk itu tentu tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan terima
kasih.
Rasa bangga dan terima kasih tidak dapat saya sembunyikan khususnya
kepada isteri Fitriani Tjipto Putranti dan putra-putri tercinta Amalina Dyani Putri
dan Irshadi Dyan Satrioutomo, yang dengan sabar dan penuh pengertian
mendampingi saya, serta doa yang selalu mereka panjatkan untuk saya dalam
keseharian. Karena mereka, semangat saya terus terpelihara untuk mencapai
derajat akademik tertinggi ini.
Akhirnya penulis berharap kepada semua pihak yang telah membantu
selama ini, agar apa yang telah dilakukannya menjadi amal shaleh baginya.
Harapan penulis mudah-mudahan pikiran-pikiran yang tertuang dalam disertasi ini
dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan para pihak yang
peduli dengan pengembangan agroforestri untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat petani dan perbaikan kualitas lingkungan hidup, walaupun penulis
sadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna.
Bogor, 7 April 2006
Teddy Rusolono
Penulis dilahirkan di Murung Pudak (sebuah kota kecamatan di Kabupaten
Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan) pada tanggal 24 Oktober 1962 dari
pasangan H. Ribut Giono dan Hj. Rubingah, sebagai putera kedua dari enam
bersaudara.
Pada tahun 1974 penulis menamatkan pendidikan dasar pada SD Negeri
Taman Bunga di Murung Pudak, pada tahun 1977 menamatkan pendidikan
menengah pertama di SMP Negeri Tanjung, dan pada tahun 1981 tamat dari SMA
Negeri Tanjung. Pendidikan dasar hingga sekolah menengah tersebut seluruhnya
berada di wilayah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Penulis diterima di
IPB pada tahun 1981 dan pada tahun 1986 menyelesaikan gelar sarjana kehutanan
(S1) pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun 1987
penulis diterima bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Kehutanan IPB dan
terdaftar sebagai staf pengajar pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan IPB hingga sekarang.
Penulis melanjutkan studi S2 pada Program Studi Statistika Terapan,
Program Pascasarjana IPB pada tahun 1989 dengan beasiswa TMPD Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, dan memperoleh gelar magister sains pada tahun
1994. Sejak tahun 1998 penulis mulai menempuh program doktor (S3) pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB yang
selain dibiayai sendiri juga memperoleh beasiswa BPPS Departemen Pendidikan
Nasional.
Penulis menikah dengan drg Fitriani Tjiptoputranti pada tahun 1989, dan
dikaruniai dua orang anak, yaitu Amalina Dyaniputri (putri) dan Irshadi Dyan
Satrioutomo (putra).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..……….. viii
DAFTAR GAMBAR ………... x
DAFTAR LAMPIRAN ……… xii
PENDAHULUAN Latar Belakang ………... 1
Perumusan Masalah Penelitian ………. 3
Tujuan Penelitian ……….. 4
Hipotesis Penelitian ……….. 5
Manfaat Hasil Penelitian ……….. 5
TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Sekuestrasi Karbon ………...………... 6
Pendugaan Persediaan Karbon dalam Tegakan Hutan…………..……... 8
Masalah Simpanan Tetap (Permanence) dalam Karbon Hutan ..………... 14
Metode untuk Perhitungan Neraca Karbon Hutan……... 15
Pendekatan Finansial untuk Perhitungan Manfaat Karbon Hutan... 21
Pengertian Agroforestri……….……… 23
Penyimpanan Karbon Melalui Praktek Agroforestri………. 26
Model Pendugaan Pertumbuhan dan Hasil Tegakan ……… 33
METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pendekatan Masalah ……….... Lokasi dan Waktu Penelitian ………..………... 34 37 Metode Penelitian ...……….. 38
Pengumpulan dan Pengolahan Data …..……….. 38
Analisis Data …..……….. 47
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Desa Pecekelen ………. 52
Desa Kertayasa……….. 57
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Agroforestri dan Keanekaragaman Jenis….……... 62
Ciri-ciri Tempat Tumbuh Tegakan Agroforestri…..………... 66
Struktur Horizontal Tegakan Agroforestri………..……….. 69
Keragaman Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri…………...………... 74
Fungsi Alometrik Biomassa Pohon ... 74
Perbandingan dengan Persamaan Alometrik Biomassa Lain... 81
Persediaan Karbon Menurut Sumber Biomassa dan Variasinya…..…… 82
Ketelitian Pendugaan Persediaan Karbon dan Pengembangan Metode Inventarisasi Karbon ………...……… 94
Sumber Karbon dan Ketelitian Pendugaannya...……….. 94
Pengaruh Intensitas Sampling dan Luas Satuan Contoh.………. 97
Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri………... 101
Pendekatan Struktur Tegakan .………. 101
Pendekatan Peubah Tegakan ………... 104
Pendekatan Fungsi Pertumbuhan Tegakan ……….. 108
Penggunaan Model Penduga Persediaan Karbon ...………... 113
Prospek Pengelolaan Agroforestri Melalui Skema Perdagangan Karbon Ditinjau dari Aspek Finansial ... 114
Satuan Proyek, Pola Agroforestri, Komponen Biaya dan Pendapatan, serta Metode Perhitungan Karbon ……… 115
Perbandingan Besarnya NPV dan BCR Dalam Pengelolaan Agroforestri Dengan dan Tanpa Skema Perdagangan Karbon... 117
Implikasi Skema Perdagangan Karbon terhadap Praktek Agroforestri 123 SIMPULAN DAN SARAN……….. 125
DAFTAR PUSTAKA……… 127
LAMPIRAN……….. 136
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Matriks keputusan gudang karbon utama yang perlu diukur dan dimonitor untuk berbagai contoh proyek karbon berbasis hutan (Brown 1999a)... 9
2 Tingkat ketepatan dan kemudahan implementasi pengukuran gudang karbon yang berbeda dalam ekosistem hutan (Hamburg 2000)……….. 9
3 Praktek-praktek agroforestri yang utama di wilayah tropis (Nair 2002) 25
4 Contoh praktek agroforestri yang secara potensial membantu menstabilkan emisi GRK dan menyerap atau menyimpan C pada biosfer daratan (Dixon 1995) ……...………..………… 28
5 Potensial simpanan karbon (MgC/ha) dan biaya proyek (US$/MgC) untuk sistem agroforestri menurut wilayah ekologi di beberapa negara
tertentu (Dixon 1995)………...………... 29
6 Persamaan alometrik penduga biomassa pohon di lokasi penelitian ... 41
7 Distribusi pengambilan contoh tegakan agroforestri di lokasi
penelitian ……… 43
8 Pola penggunaan lahan di Desa Pecekelan………... 53
9 Sebaran sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Pecekelan tahun 2002………... 54
10 Potensi sengon pada hutan rakyat di Desa Pecekelan………... 55
11 Harga jual rata-rata kayu sengon pada tingkat petani di Desa Pecekelan tahun 2004... 56
12 Pola penggunaan lahan di Desa Kertayasa………... 58
13 Sebaran sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Kertayasa tahun 2002………... 59
14 Harga jual rata-rata kayu pada tingkat petani di Desa Kertayasa tahun 2004... 61
15 Keanekaragaman jenis pohon tegakan agroforestri di Desa
Pecekelan………... 63
16 Keanekaragaman jenis pohon tegakan agroforestri di Desa
Kertayasa………... 64
17 Karakteristik umum pola agroforestri di Desa Pecekelan dan
Kertayasa………. 65
18 Beberapa sifat tanah dan ciri tempat tumbuh tegakan agroforestri Desa Pecekelan dan Desa Kertayasa………...………... 68
19 Nilai konstanta untuk koefisien model persamaan struktur tegakan pola agroforestri murni dan agroforestri kebun-campuran..………... 71
campuran...……….…… 74
21 Karakteristik 30 pohon contoh yang digunakan untuk menyusun persamaan alometrik biomassa sengon (P. falcataria)………... 76 22 Kerapatan kayu dan kadar air rata-rata pohon contoh sengon
(P. falcataria)………... 76 23 Sebaran biomassa pohon menurut bagian-bagian jaringan pohon pada
beberapa jenis pohon hutan tanaman...………. 77
24 Matriks korelasi sederhana hubungan antara beberapa peubah dimensi pohon dan biomassa bagian jaringan pohon sengon (P. falcataria)…... 78 25 Beberapa persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa pohon
biomassa bagian jaringan pohon Sengon (P. falcataria)……... 80 26 Rata-rata sebaran persediaan karbon di atas permukaan tanah menurut
sumber biomassanya pada agroforestri murni dan kebun-campuran... 93
27 Persamaan matematik pendugaan potensi karbon melalui peubah struktur tegakan pada agroforestri murni dan kebun-campuran... 103
28 Matriks korelasi sederhana hubungan antara peubah tegakan dengan persediaan karbon tegakan pada agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran...……... 104
29 Persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon melalui peubah tegakan pada agroforestri tegakan murni dan
kebun-campuran………. 106
30 Persamaan matematik pendugaan persediaan karbon tegakan melalui fungsi pertumbuhan pada agroforestri tegakan murni dan
kebun-campuran………. 109
31 Perkembangan persediaan karbon tegakan dengan pendekatan fungsi pertumbuhan untuk agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran... 112
32 Rata-rata biaya dan pendapatan pengelolaan agroforestri untuk skema perdagangan karbon, dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon dan t-CER (dalam USD/tonC) ……… 117 33 Analisis sensitivitas kelayakan pengelolaan agroforestri dengan dan
tanpa skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), dihitung dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon.………..………... 119
34 Analisis sensitivitas kelayakan pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), dihitung dengan pendekatan t-CER………….………... 120
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Perbandingan manfaat karbon yang dihitung dengan metode ASM, SCM dan ton-year pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003) ……….. 19
2 Perhitungan manfaat karbon yang dihitung dengan pendekatan CER sementara (t-CER) pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003)... 20
3 Diagram alir kerangka pemecahan masalah ………... 36
4 Peta situasi lokasi penelitian……… 37
5 Bagan pembuatan jalur dan petak ukur dalam satu unit pemilikan lahan... 45
6 Bagan pembuatan petak ukur untuk pengukuran serasah dan tumbuhan bawah... 45
7 Perbandingan model struktur tegakan agroforestri pola tegakan murni (a) dan kebun-campuran (b) pada berbagai umur tegakan.…… 72
8 Perbandingan proporsi rata-rata bagian batang, cabang, ranting dan daun terhadap total biomassa bagian atas pohon sengon pada berbagai ukuran diameter pohon………... 77
9 Perbandingan kurva persamaan alometrik biomassa pohon sengon yang disusun pada lokasi yang berbeda... 82
10 Perbandingan pendugaan biomassa tegakan bagian atas pada agroforestri murni (a) dan kebun-campuran (b) yang dihitung menggunakan persamaan alometrik jenis (sumbu mendatar) dan memakai kerapatan kayu dalam persamaan Ketterings (sumbu tegak) 83
11 Perkembangan persediaan karbon menurut umur tegakan pada pola agroforestri murni (a) dan kebun-campuran (b)………..……… 85
12 Perbandingan persediaan karbon tanaman kopi pada agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY) pada berbagai umur tegakan... 89
13 Perbandingan persentase karbon tanaman kopi terhadap total persediaan karbon pada agroforestri murni (PC) dan
kebun-campuran (KY) pada berbagai umur tegakan... 89
14 Perbandingan persediaan karbon dari serasah kasar pada berbagai umur tegakan agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY) … 90
15 Perbandingan persediaan karbon tumbuhan bawah pada berbagai umur tegakan agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY)…. 91
campuran (PN)... 92
17 Keragaan koefisien variasi persediaan karbon menurut umur tegakan pada agroforestri tegakan murni (a) dan kebun campuran (b)…....…. 95
18 Hubungan antara pengaruh intensitas sampling dengan besarnya kesalahan sampling pada berbagai umur tegakan agroforestri... 98
19 Hubungan antara pengaruh luas satuan sampling dengan besarnya kesalahan sampling pada berbagai umur tegakan agroforestri... 99
20 Kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan agroforestri murni… 110
21 Kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan agroforestri
kebun-campuran……….. 111
22 Perubahan NPV dan BCR untuk analisis kelayakan agroforestri dalam skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), yang dihitung dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon………. 121
23 Perubahan NPV dan BCR untuk analisis kelayakan agroforestri dalam skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), yang dihitung dengan pendekatan t-CER………. 122
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Identitas pemilik lahan dan keterangan kondisi lokasi agroforestri yang menjadi contoh penelitian ……….. 137
2 Hasil analisis ciri-ciri fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian Desa Pecekelan (Wonosobo) dan Desa Kertayasa (Ciamis) ……… 138
3 Daftar peubah untuk penyusunan model alometrik pendugaan biomassa pohon sengon ... 140
4 Daftar peubah untuk penyusunan model hubungan persediaan karbon tegakan dengan struktur tegakan agroforestri ... 141
5 Daftar peubah untuk penyusunan model hubungan persediaan karbon tegakan dengan dimensi tegakan agroforestri ... 142
6 Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan
dengan struktur tegakan agroforestri ... 143 7 Plot peluang normal sisaan dari persamaan matematik pendugaan
potensi persediaan karbon dengan peubah struktur tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran ... 148 8 Plot tebaran nilai sisaan baku dari persamaan matematik pendugaan
potensi persediaan karbon dengan peubah struktur tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran... 149 9 Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan
dengan dimensi tegakan agroforestri ... 150
10 Plot peluang normal untuk sisaan dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah tegakan, menggunakan peubah luas bidang dasar dan kerapatan tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran ... 170 11 Plot tebaran nilai sisaan baku dari persamaan matematik pendugaan
potensi persediaan karbon dengan peubah tegakan, menggunakan peubah luas bidang dasar dan kerapatan tegakan, (a) Tegakan murni,
(b) Tegakan campuran... 171
12 Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan
dengan pendekatan fungsi pertumbuhan tegakan agroforestri ... 172 13 Hasil pengolahan data pengujian perbandingan penentuan biomassa
karbon tegakan dengan menggunakan persamaan alometrik biomassa dan persamaan Ketterings... 176 14 Contoh hasil analisis biaya dan manfaat pengelolaan agroforestri
dengan dan tanpa skema perdagangan karbon, dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon ... 178
15 Contoh hasil analisis biaya dan manfaat pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon, dengan pendekatan
t-CER ... 186
Latar Belakang
Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam
menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial.
Meningkatnya perhatian terhadap peranan hutan tersebut muncul setelah
keberadaan hutan terancam di berbagai belahan dunia, terutama akibat laju
deforestasi yang tinggi (FAO 2001) dan disadari mulai hilangnya sejumlah fungsi
hutan yang penting bagi keberlangsungan peradaban manusia seperti pengaturan
tata air dan perlindungan daerah aliran sungai, jasa serapan karbon dan
keanekaragaman hayati yang terkandung dalam ekosistem hutan (Pagiola et al. 2002).
Sejumlah inisiatif telah muncul yang bertujuan untuk menciptakan sistem
berbasis pasar dimana para pemakai jasa lingkungan memberikan kompensasi
untuk pengelolaan ekosistem hutan yang dapat memperbaiki dan meningkatkan
jasa lingkungan dan pada waktu yang bersamaan menciptakan sumber pendapatan
baru yang yang mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama yang
langsung berinteraksi dengan lingkungan hutan (Robertson & Wunder 2005).
Hambatan dalam pengelolaan hutan untuk menjadikan fungsi jasa ekologis/
lingkungan hutan sebagai tujuan adalah mendapatkan manfaat ekonomi langsung
jasa ekologis tersebut. Untuk ini diperlukan adanya sistem dan metode penilaian
yang tepat, metode pendugaan, sistem monitoring dan skema pengelolaannya.
Salah satu bentuk manfaat ekonomi jasa lingkungan hutan yang telah beroperasi
adalah jasa serapan karbon melalui skema Protokol Kyoto (PK) khususnya
melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB).
Melalui UU No. 17/2004, Indonesia telah meratifikasi PK dan juga telah
membentuk Komnas Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). PK sendiri sudah
berjalan dan berlaku efektif, setelah diratifikasi sejumlah negara-negara maju
yang wajib menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) hingga mencapai
55% dari total emisi dunia GRK. Dengan berlakunya PK, maka Indonesia dapat
berpartisipasi melalui MPB, termasuk melalui sektor kehutanan dengan proyek
2
Indonesia pada saat ini menghadapi masalah makin luasnya hutan dan
lahan-lahan yang terdegradasi sementara kemampuan menyediakan dana untuk
merehabilitasinya sangat rendah. Oleh karenanya masuknya karbon hutan dalam
MPB adalah suatu kesempatan yang berharga. Namun dengan adanya sejumlah
masalah dan pembatasan dalam MPB (Murdiyarso 2003; Dutschke 2004;
Chatterjee 2004; Boer et al. 2004) mengakibatkan permintaan karbon melalui sekuestrasi karbon memiliki pangsa yang kecil dan tidak seluruh lahan
terdegradasi potensial untuk dikelola lewat perdagangan karbon.
Dari sejumlah kegiatan karbon kehutanan, praktek agroforestri memiliki
peluang besar dilibatkan dalam proyek karbon. Hal ini didukung hasil studi NSS
(National Strategy Study) yang menyatakan lebih separuh pasok karbon hutan dapat berasal dari kegiatan yang berbasis masyarakat, melalui agroforestri dan
hutan kemasyarakatan (MoE 2003).
Bagi petani, masuknya agroforestri dalam proyek karbon kehutanan
merupakan peluang untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
lokal, karena memberikan sumber pendapatan baru, meningkatkan akses ke hasil
hutan dan jasa, memperbaiki produktivitas lahan, serta mengembangkan
pengetahuan dan kapasitas masyarakat lokal (CIFOR 2003). Namun sejumlah
potensi resiko juga dikhawatirkan bisa terjadi apabila proyek karbon hutan tidak
dirancang dengan baik, misalnya jika proyek akan membatasi akses masyarakat
pada lahan dan hasil hutan tanpa pembayaran/ kompensasi yang memadai,
hilangnya lapangan kerja dan berkurangnya hak atas lahan bagi masyarakat yang
tanpa hak pemilikan lahan yang jelas (Scherr 2000).
Nair & Nair (2002) menegaskan bahwa studi tentang karakteristik sistem
agroforestri masih sedikit, akan tetapi diyakini kegiatan ini potensial untuk
penyerapan karbon. Berbeda dengan pengelolaan hutan tanaman yang umumnya
dikelola oleh perusahaan dalam skala besar, dengan preskripsi silvikultur yang
baku dan terjadwal, pengelolaan agroforestri berskala kecil, dengan keragaman
yang tinggi dalam hal kondisi tempat tumbuh, lingkungan, komposisi spesies, pola
tanam, tujuan produk, tindakan pemeliharaan dan penjadwalan panen. Keputusan
pengelolaan agroforestri lebih bersifat individu dengan motif ekonomi yang
pengelolaan agroforestri tersebut, maka diperlukan banyak variabel untuk
menduga besarnya persediaan karbon serta keragaman kemampuannya dalam
penyimpanan dan penyerapan karbon.
Penyelenggaraan proyek karbon hutan memerlukan sejumlah perangkat
mulai dari pendaftaran proyek dan validasi, implementasi, verifikasi dan
sertifikasi yang memungkinkan diperolehnya pengakuan oleh pihak pembeli jasa
karbon bahwa telah terjadi serapan karbon yang nyata melalui kegiatan
agroforestri tersebut. Oleh karenanya maka identifikasi metode pengukuran dan
teknik monitoring kemampuan serapan karbon dan dinamikanya sangat penting
untuk diketahui sebelum pengelolaan agroforestri melalui skema perdagangan
karbon diterapkan di Indonesia.
Perumusan Masalah Penelitian
Praktek agroforestri melalui penanaman pohon dalam sistem pertanaman di
lahan pertanian (tanah milik) dilakukan karena dorongan ekonomi untuk
memperoleh ragam pendapatan terutama dari hasil kayu dengan memanfaatkan
pemilikan lahan yang sempit seoptimal mungkin dan pada waktu yang sama
adanya alasan ekologi untuk konservasi tanah dan memelihara kesuburan lahan.
Banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa motif ekonomi lebih diutamakan
daripada motif lainnya, yang dicirikan dengan cenderung semakin singkatnya
umur penebangan pohon di bawah pertumbuhan optimalnya.
Penyerapan karbon yang memanfaatkan potensi biologi pertumbuhan
vegetasi menghendaki penyimpanan biomassa karbon yang sebanyak mungkin
yang diperoleh dengan meningkatkan laju pertumbuhan atau menahan biomassa
karbon untuk waktu yang lebih lama terutama di vegetasi dan tanah. Tindakan
pemanenan pohon dan atau terjadinya kerusakan oleh kejadian yang tidak
diharapkan yang menyebabkan berkurangnya biomassa dan timbulnya emisi akan
mengurangi manfaat penyerapan karbon. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip
jangka panjang yang diinginkan dalam proyek karbon hutan.
Potensi agroforestri untuk menyimpan karbon diperkirakan akan sangat
beragam, tidak saja disebabkan oleh kondisi alami tempat tumbuh (terutama zona
4
agroforestri itu sendiri. Cara pengelolaan mencakup teknologi budidaya yang
dipakai, tingkat pemanfaatan hasil (panen) dan ketergantungan ekonomi petani
terhadap hasil tanaman agroforestrinya. Keragaman diperkirakan akan terjadi
bahkan dalam bentang lahan pengelolaan yang sama. Dari sisi mekanisme
penyelenggaraan proyek perdagangan karbon, beragamnya kondisi tersebut akan
menjadi masalah tersendiri dalam mengembangkan metodologi pengukuran dan
monitoring manfaat karbon yang dapat dipergunakan untuk melakukan verifikasi
besarnya CER (certified emission reduction) yang dihasilkan untuk pihak investor atau pembeli jasa karbon.
Walaupun praktek agroforestri dipandang potensial oleh banyak pihak, baik
karena kemampuannya menghasilkan tambahan biomassa dari pohon yang
ditanam dan partisipasi petani yang akan mendorong perbaikan taraf hidup,
namun sampai sejauhmana proyek perdagangan karbon akan menarik minat petani
sangat tergantung pada manfaat tambahan yang kelak akan dinikmati petani dan
insentif apa yang akan diperoleh apabila pengelolaan dirancang sejalan dengan
skema perdagangan karbon.
Atas dasar situasi masalah yang dikemukakan tersebut di atas, maka masalah
yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah metode yang tepat untuk menduga besar persediaan karbon
dalam tegakan agroforestri dan dinamikanya?
2. Berapakah besarnya penyerapan karbon pada komponen-komponen tegakan
agroforestri? Faktor-faktor apa sajakah yang dapat menjelaskan terjadinya
keragaman tersebut?
3. Berdasarkan informasi dari jawaban bagi permasalahan 1 dan 2,
bagaimanakah kemungkinan petani untuk ikut serta dalam pengelolaan
agroforestri melalui skema perdagangan karbon.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mendapatkan gambaran mengenai
faktor-faktor berikut model matematik yang dapat menjelaskan keragaman potensi
penyimpanan karbon berbagai bentuk praktek agroforestri, (2) merumuskan
dihasilkan, dan (3) menilai kemungkinan pengelolaan hutan milik melalui skema
perdagangan karbon.
Hipotesis Penelitian
Atas dasar permasalahan penelitian dapat dirumuskan beberapa hipotesis
penelitian berikut:
1. Keragaman potensi serapan dan penyimpanan karbon dalam tegakan
agroforestri dapat diidentifikasi dari ciri tipologi pengelolaan agroforestri dan
faktor-faktor pengelolaannya.
2. Metode pengukuran dan monitoring karbon dapat ditentukan berdasarkan
karakteristik agroforestri dan pengelolaannya dengan melibatkan partisipasi
aktif petani atau pengelola lahan.
Manfaat Hasil Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik sisi akademis maupun
implikasi praktis sebagai berikut:
1. Dari sisi akademis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan
pengetahuan yang lebih spesifik dalam hal metodologi pengukuran dan
monitoring persediaan karbon pada tegakan agroforestri,
2. Dari sisi implikasi praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk : (a)
memberikan wawasan dan pengetahuan kepada petani atau kelompok
masyarakat pelaku praktek agroforestri dan pihak-pihak yang mungkin
berperan mendukung perdagangan karbon berbasis praktek agroforestri dan
(b) alat yang dapat digunakan untuk menilai manfaat ekonomi pengelolaan
TINJAUAN PUSTAKA
Biomassa dan Sekuestrasi Karbon
Aktivitas kehutanan berpengaruh luas, baik sebagai sumber terjadinya GRK
(gas rumah kaca), khususnya CO2 atau sebaliknya, dalam kegiatan pengurangan
emisi dan penambatan karbon. Secara mendasar ada tiga macam praktek
pengelolaan hutan yang dapat dilakukan untuk memperkecil laju peningkatan
karbon dioksida di atmosfer (Brown et al. 1996; Watson et al. 1996), yaitu (1)
pengelolaan untuk mengkonservasi karbon, (2) pengelolaan untuk pengambilan
dan penyimpanan karbon dan (3) pengelolaan untuk mencari substitusi karbon.
Pengelolaan dengan mengkonservasi karbon terutama mengamankan
gudang karbon yang sudah ada di hutan yang dilakukan melalui pencegahan
deforestasi, pengawetan hutan (cagar alam), perbaikan cara-cara pengelolaan
hutan (dengan reduce impact logging, praktek silvikultur yang ramah,
pengendalian kebakaran, efisiensi pemakaian kayu, dan pemupukan), dan
mengendalikan gangguan lain oleh manusia dan serangan hama.
Pengelolaan melalui pengambilan dan penyimpanan karbon adalah
memperluas simpanan karbon pada ekosistem hutan dengan meningkatkan luas
atau kepadatan karbon di hutan alam atau hutan tanaman dan meningkatkan masa
simpan produk-produk kayu yang tahan lama. Hal tersebut mencakup kegiatan
aforestasi (penanaman pohon pada areal yang dalam waktu yang lama tidak
berhutan), reforestasi (penanaman pohon-pohon kembali pada areal yang
sebelumnya pernah berhutan), hutan kota agroforestri. Kegiatan lainnya termasuk
permudaan alam, pengayaan tanaman dan pengelolaan produk kayu dari hutan.
Pengelolaan untuk mensubstitusi karbon bertujuan meningkatkan transfer
karbon dari biomassa hutan ke dalam produk (misalnya kayu bahan bangunan
atau bahan bakar biomassa) untuk menggantikan penggunaan bahan bakar fosil
dan produk berbasis semen. Pengelolaan substitusi karbon adalah potensi mitigasi
yang terbesar untuk jangka panjang.
Sekuestrasi karbon melalui hutan dilandasi oleh dua pendapat. Pertama, CO2
adalah gas yang beredar secara global; konsekuensinya segala usaha untuk
manapun di bagian belahan bumi ini, dekat ataupun jauh dari sumber emisinya.
Kedua, tumbuhan mengambil CO2 yang ada di atmosfir melalui proses
fotosintesis dan menghasilkan gula dan senyawa organik lain yang dipakai untuk
metabolisme dan pertumbuhan. Tumbuhan berkayu dengan umur lebih panjang
menyimpan karbon di kayu dan jaringan lain sampai tumbuhan tersebut mati dan
terdekomposisi, yang pada waktunya akan dilepas kembali ke atmosfir sebagai
CO2, karbon monoksida atau metana, atau mungkin saja tetap bersatu dengan
tanah sebagai bahan organik (Anderson & Spencer 1991).
Jaringan tumbuhan bervariasi kandungan karbonnya. Batang dan buah
mempunyai lebih banyak karbon per satuan beratnya dibanding dengan daun,
tetapi tumbuhan umumnya mempunyai beberapa jaringan yang banyak karbon
dan beberapa jaringan lagi sedikit karbon, dengan konsentrasi karbon rata-rata
sekitar 45-50% yang telah diterima secara umum (Chan 1982). Jumlah karbon
yang disimpan di dalam pohon atau hutan dapat dihitung jika diketahui jumlah
biomassa atau jaringan hidup tumbuhan di hutan tersebut dan memberlakukan
suatu faktor konversi.
Sekuestrasi karbon umumnya diartikan sebagai pengambilan CO2 secara
(semi) permanen oleh tumbuhan melalui fotosintesis dari atmosfer ke dalam
komponen organik, atau disebut juga fiksasi karbon (Hairiah et al. 2001b). Dalam
konteks pertumbuhan hutan, sekuestrasi karbon adalah riap atau pertambahan
terhadap persediaan karbon yang dikandung hutan (Murdiyarso & Herawati
2005). Sekuestrasi karbon dapat ditentukan sebagai hasil produktivitas bersih
tahunan karbon (net primary production, NPP) (dalam MgC/ha/tahun) dikalikan
dengan paruh-hidup harapan (dalam tahun) karbon yang terikat (Hairiah et al.
2001b). Konsep paruh-hidup karbon dikaitkan dengan besarnya persediaan
karbon tetap yang diikat di dalam vegetasi dan berapa lama karbon tersebut tetap
ada sebelum kembali dalam bentuk CO2 ke atmosfer karena dekomposisi atau
pembakaran. Paruh-hidup karbon (waktu dalam tahun, diambil setengah massa
karbon untuk lapuk), diduga untuk setiap bagian yang berbeda dari komponen
vegetasi (misalnya 0,3 tahn untuk serasah daun, 1 tahun untuk serasah cabang, 4
8
Potensi sekuestrasi karbon pada ekosistem daratan tergantung pada macam
dan kondisi ekosistem, yaitu komposisi spesies, struktur dan distribusi umur
(khusus untuk hutan). Kondisi tempat tumbuh juga penting akibat pengaruh iklim
dan tanah, gangguan alami dan tindakan pengelolaan (Hairiah et al. 2001b;
Hoover et al. 2000).
Pendugaan Persediaan Karbon dalam Tegakan Hutan
Menurut Brown (1999), bagian terbesar gudang karbon (carbon pool) dalam
proyek berbasis hutan adalah dalam biomassa hidup, biomassa mati, tanah dan
produk kayu. Setiap bagian tadi masih dapat dipisahkan lagi. Sebagai contoh
biomassa hidup mencakup komponen bagian atas dan bagian bawah (akar),
pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan bawah), semak dan
paku-pakuan. Biomassa mati mencakup serasah halus dan sisa kayu kasar, dan tanah
mencakup mineral,lapisan organik dan gambut. Hamburg (2000) menyatakan
bahwa perhitungan karbon untuk tujuan proyek sekuestrasi harus mencakup
seluruh gudang karbon, yaitu biomassa hidup bagian atas, biomassa hidup bagian
bawah, nekromassa, dan biomassa tanah. Pada saat ini, untuk proyek LULUCF,
gudang karbon yang utama yang dapat diperhitungkan terdiri dari: biomassa
bagian atas permukaan tanah, biomassa bagian bawah permukaan tanah, serasah,
kayu-kayu mati dan karbon tanah (IPCC 2003).
Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan gudang karbon
mana saja yang perlu diukur dan dimonitor tergantung pada macam proyek,
kapasitas penyimpanan karbon, laju dan arah perubahan persediaan karbon, biaya
pengukuran, serta ketepatan dan ketelitian yang diinginkan (MacDicken 1997).
Sistem perhitungan yang dipilih dipakai untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya perubahan yang negatif atau positif sebagai akibat adanya kegiatan
proyek. Hanya terhadap bagian gudang karbon yang diukur dan dimonitor saja
yang dapat dimasukkan kedalam perhitungan manfaat karbon. Brown (1999a)
memberikan panduan umum untuk memilih gudang karbon yang perlu diukur
dan dimonitor untuk berbagai macam pilihan proyek karbon berbasis hutan (Tabel
Tabel 1 Matriks keputusan gudang karbon utama yang perlu diukur dan dimonitor untuk berbagai contoh proyek karbon berbasis hutan (Brown 1999a)
Gudang Karbon (carbon pool)
Biomassa hidup Biomassa mati
Macam Proyek
Pohon Herba Akar Halus Kasar Tanah
Produk kayu
Pencegahan emisi
- Penghentian deforestasi Y M R M Y R M
- Reduced impact logging Y M N M Y N M
- Perbaikan pengelolaan hutan Y M R M Y M Y
Penyerapan karbon
- Hutan tanaman Y N R M M R Y
- Agroforestri Y Y M N N R M
– Pengelolaan karbon tanah N N M M N Y N
Substistusi karbon
-Tanaman kayu bakar daur
pendek N N N N N Y *
Y = harus dihitung, karena perubahan yang besar dalam gudang karbon sehingga harus diukur, R = direkomendasikan, karena perubahan dalam gudang karbon mungkin nyata tetapi biaya pengukuran untuk mencapai ketelitian yang diinginkan akan besar, N = tidak perlu, karena perubahan yang kecil atau kurang berarti terhadap gudang karbon, M = mungkin diperlukan, karena perubahan mungkin perlu diukur tergantung tipe hutan dan atau intensitas pengelolaan proyek. * Karbon dalam bahan bakar yang tidak dibakar
Tidak seluruh gudang karbon di atas dapat diterima sebagai sumber karbon,
dan tidak seluruh gudang karbon akan diukur dengan tingkat ketelitian yang sama
atau dengan frekuensi yang sama selama masa proyek. Untuk inventarisasi tahap
awal, gudang karbon yang relevan untuk diukur tergantung kepada macam
proyek (Brown 2001). Tingkat ketelitian untuk setiap gudang karbon yang diukur
dengan biaya yang memungkinkan diperkirakan oleh Hamburg (2000), seperti
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Tingkat ketelitian dan kemudahan implementasi pengukuran gudang karbon yang berbeda dalam ekosistem hutan (Hamburg 2000)
Gudang karbon Koef. Variasi Kemudahan implementasi
Biomassa bagian atas 5 – 10 % Mudah
Biomassa bagian bawah 10 – 20 % Mudah, tetapi perlu investasi awal
yang besar
Tanah, lapisan organik 10 – 20 % Sedang
Tanah, lapisan mineral Sangat beragam Sulit
10
Untuk inventarisasi dan monitoring karbon pada Noel Kempff Climate
Action Project (NKCAP) di Taman Nasional Noel Kempff Merkado, Bolivia
digunakan metodologi dan acuan yang dirujuk dari MacDicken (1997). Tujuan
proyek adalah mencegah meluasnya deforestasi akibat pembalakan dan konversi
hutan. Inventarisasi karbon atas dasar data yang dikumpulkan dari 625 buah plot
permanen, dengan tingkat ketelitian yang diinginkan sebesar 10 persen. Plot-plot
permanen dengan luas tertentu ditempatkan menurut strata hutan yang berbeda
dan dilakukan pengukuran seluruh pohon berdiameter 5 cm, tumbuhan bawah,
serasah, pohon mati dan tanah sampai kedalaman 30 cm. Biomassa akar diduga
dari rasio akar-batang sebesar 0.1-0.3, sebagaimana dinyaatakan Cairn et al.
(1997). Besarnya kesalahan sampling yang dihasilkan pada selang kepercayaan
95% terhadap dugaan total persediaan karbon adalah ± 4 persen, dan belum
termasuk kesalahan karena regresi dan pengukuran (IPCC 2000).
Berbagai teknik dan metode untuk mengukur berbagai gudang karbon dalam
proyek berbasis hutan telah ada dan secara umum didasarkan pada prinsip-prinsip
inventarisasi hutan yang telah diterima, sampling tanah, dan survei ekologi
(MacDicken 1997; Pinard & Putz 1996).
Untuk menduga biomassa pohon yang hidup, diameter seluruh pohon diukur
dan dikonversi ke dalam biomassa dan perkiraan karbon (yaitu 50% dari bobot
biomassa). Biomassa pohon yang hidup diduga dengan menggunakan persamaan
regresi alometrik biomassa. Persamaan yang berlaku umum untuk pendugaan
seluruh hutan dunia telah tersedia dan beberapa khusus dibuat untuk spesies
tertentu. Untuk membuat persamaan regresi alometrik dengan ketelitian tinggi
khususnya hutan tropis yang kompleks, diperlukan sampling terhadap sejumlah
pohon yang mewakili berbagai ukuran dan sebaran jenis dalam hutan, walaupun
secara ekstrim menghabiskan waktu dan biaya yang tidak mungkin dilakukan
untuk setiap proyek karbon. Keuntungan menggunakan persamaan generik yang
dikelompokan menurut zone iklim/ekologis adalah persamaan ini dihasilkan
melalui jumlah pohon contoh yang besar dan mencakup sebaran diameter yang
lebar sehingga akan meningkatkan ketelitian dan ketepatan (Brown 1997). Hal
yang penting adalah database untuk persamaan regresi mencakup pohon-pohon
hutan tropis dewasa (Brown & Lugo 1992; Pinard & Putz 1996. Untuk proyek
karbon di hutan tanaman atau agroforestri, pengembangan persamaan regresi
biomassa yang akan berlaku secara lokal kurang menjadi masalah.
Nekromassa mencakup karbon yang berasal dari batang pohon, daun,
cabang dan vegetasi lain yang telah mati. Jumlah nekromassa bervariasi menurut
tipe hutan dan sejarah gangguan, dan pendugaannya secara teliti akan
menghabiskan banyak waktu dan ketidakpastian yang tinggi. Brown (2000)
menyatakan kayu yang mati, rebah atau masih berdiri adalah gudang karbon yang
penting di hutan dan salah satu yang harus diukur dalam banyak proyek berbasis
hutan. Metode-metode yang dikembangkan telah diuji untuk berbagai tipe hutan
dan umumnya tidak memerlukan usaha yang terlalu berbeda dengan pengukuran
pohon yang masih hidup (Harmon & Sexton 1996 dalam Brown 1999a).
Total biomassa akar adalah gudang karbon penting lainnya yang mewakili
lebih 40% dari total biomassa (Cairns et al. 1997), namun perhitungannya mahal
dan belum ada acuan baku yang praktis. Biomassa akar dapat diukur dengan
beberapa tingkat ketelitian, tetapi ketepatannya lebih rendah daripada biomassa
bagian atas. Sebagai pengganti sekarang terdapat rujukan pustaka dari hasil studi
di beberapa wilayah hutan di dunia yang dapat dipakai untuk menduga karbon
biomassa akar melalui karbon biomassa bagian atas (Cairns et al. 1997).
Pendekatan paling sederhana untuk menduga biomassa bagian bawah adalah
memakai konstanta rasio akar/pucuk (rasio R/S). Walaupun rasio R/S bervariasi
menurut tapak dan umur tegakan, kisaran nilai rasio R/S dapat ditentukan dari
berbagai literatur ilmiah (Hamburg 2000). Pendekatan konservatif dianjurkan
oleh MacDicken (1997), dimana dugaan biomassa akar tidak kurang dari 10-15
persen dari biomassa bagian atas. Hamburg (2000) menganjurkan suatu nilai
rasio R/S untuk hutan yang sedang tumbuh sebesar 0,15 untuk ekosistem beriklim
sedang dan sebesar 0,1 untuk ekosistem tropis.
Untuk mengukur karbon tanah secara langsung diperlukan biaya yang
mahal, disebabkan oleh besarnya pengaruh sifat-sifat tanah terhadap dinamika
karbon. Hamburg (2000) merekomendasikan untuk mengukur karbon tanah
sekurang-kurangnya pada kedalaman satu meter, dan karbon tanah dan bulk
12
yang tidak akan berpengaruh negatif terhadap persediaan karbon tanah, tidak
diperlukan lagi mengukur karbon tanah setelah garis dasar (baseline) ditetapkan.
Secara umum proyek penghutanan kembali di tanah pertanian atau lahan-lahan
terdegradasi akan meningkatkan karbon tanah.
Keefektifan karbon yang tersimpan dalam produk kayu sangat tergantung
pada cara penggunaannya sepanjang umur proyek. Untuk proyek yang bertujuan
mencegah pembalakan hutan, perubahan gudang karbon dari produk kayu
mungkin negatif karena masukan karbon dari produk kayu akan berkurang.
Dalam proyek hutan tanaman, kayu untuk produk jangka menengah dan panjang
(misalnya kayu gergajian untuk perumahan, papan partikel, kertas) menjadi
sumber tambahan persediaan karbon. Terdapat beberapa metode perhitungan
karbon pada produk kayu yang berumur panjang dan dipakai untuk menghitung
neraca karbon nasional di beberapa negara (Nabuurs & Sikkema 1998; Winjum et
al. 1998). Prinsip metode tersebut adalah memperhitungkan akibat kerusakan
kayu, oksidasi, dan kemunduran produk akibat penggunaan di masa lalu.
Kelompok pakar IPCC untuk Pengunaan Lahan dan Sektor Kehutanan telah
mempersiapkan panduan inventarisasi GRK (IPCC 1997), yang menggambarkan
dan mengevaluasi pendekatan yang ada untuk menduga emisi atau pengambilan
karbon pada hutan yang dipanen dan produk olahan kayu.
Terdapat perbedaan keperluan inventarisasi karbon pada tahap awal
(penetapan garis dasar atau baseline) dan tahap monitoring. Dalam tahap awal,
sebagian besar gudang karbon yang relevan perlu dihitung dalam kondisi ada atau
tanpa proyek, tetapi dalam tahap monitoring hanya gudang karbon tertentu saja
yang diukur dan dijadikan sebagai petunjuk atau model yang dapat dipakai
(Brown 1999a).
Sathaye et al. (1997) mengusulkan urutan prioritas gudang karbon yang
perlu dimonitor dengan mempertimbangkan tingkat atau besarnya pengaruh, laju
perubahan persediaan karbon, dan arah perubahan persediaan karbon (positif atau
negatif). Gudang karbon yang relatif besar dan bisa berubah secara cepat sangat
penting untuk dimonitor, sebaliknya gudang karbon yang relatif kecil dan tidak
gampang berubah kurang penting untuk dimonitor. Program monitoring harus
akan dimonitor. Hanya gudang karbon yang dimonitor saja yang dapat
dimasukkan ke dalam perhitungan manfaat proyek karbon.
Gudang karbon yang dihitung melalui pengukuran langsung di lapangan
umumnya akan lebih tepat, tetapi tingkat ketelitiannya bervariasi untuk setiap
sumber karbon. Total kesalahan perhitungan karbon bersumber dari kesalahan
sampling, kesalahan pengukuran dan kesalahan penggunaan persamaan regresi
alometrik. Kesalahan sampling bersumber dari metode sampling yang dipakai
yang meliputi cara pemilihan contoh, bentuk/ukuran unit contoh dan intensitas
pengambilan contoh. Kesalahan pengukuran bersumber dari kesalahan mengukur
dimensi pohon, penentuan karbon tanah, atau pendugaan kerapatan kayu,
sedangkan kesalahan regresi bersumber dari digunakannya persamaan alometrik
untuk pendugaan biomassa pohon). Sumber kesalahan terbesar berasal dari
kesalahan sampling dan untuk meningkatkan ketelitiannya akan menambah biaya
inventarisasi. Stratifikasi wilayah proyek kedalam unit-unit yang lebih seragam
(misalnya atas dasar kesamaan jenis vegetasi, jenis tanah atau topografi) dapat
meningkatkan ketelitian pengukuran karbon tanpa menambah terlalu banyak biaya
(Sathaye et al. 1997).
Inventarisasi karbon hutan umumnya lebih rumit dari inventarisasi hutan
tradisional, karena setiap gudang karbon umumnya mempunyai keragaman yang
berbeda-beda. Ukuran contoh yang diperlukan untuk setiap sumber karbon
ditentukan secara terpisah dan melalui informasi yang tersedia, dapat diputuskan
gudang karbon mana yang perlu diukur dan dihitung sesuai tujuan proyek. Jadi
informasi tentang keragaman sumber karbon memberikan umpan balik dalam
merancang proyek untuk memilih sumber karbon yang dicakup oleh proyek,
dengan tetap mempertimbangkan ketersediaan biaya proyek dan biaya
menghasilkan satu satuan karbon.
Secara keseluruhan, saat ini belumlah ada acuan tingkat ketelitian yang
dapat diterima untuk menduga manfaat karbon. Aturan yang berlaku umum,
biaya program monitoring akan berhubungan dengan tingkat ketelitian manfaat
karbon yang diinginkan, semakin tinggi ketelitian semakin besar biaya
pengukurannya. Pada akhirnya nilai pasar untuk serapan karbon yang dihasilkan
14
pembiayaan. Beberapa ahli menyarankan target yang cukup beralasan untuk
ketelitian manfaat proyek karbon adalah dengan kesalahan baku antara 20-30%
dari nilai rata-rata (EcoSecurities 1998 dalam Vine et al. 1999). Pilihan lainnya
disesuaikan dengan besarnya klaim karbon sekaligus menyatakan besarnya
kesalahan baku pengukurannya. Pada akhirnya, tidaklah mungkin untuk
menetapkan suatu tingkat ketelitian yang berlaku umum yang akan digunakan
untuk setiap sumber karbon yang nyata dan perubahannya (Vine et al. 1999).
Masalah Simpanan Tetap (Permanence) dalam Karbon Hutan
Salah satu keberatan yang utama masuknya sekuestasi karbon hutan dalam
CDM adalah masalah simpanan tetap (permanence) atau lama penyimpanan
(duration) karbon yang dihasilkan proyek karbon hutan. Pengurangan atau
pengambilan karbon yang dihasilkan melalui proyek karbon hutan secara alami
bersifat sementara (non permanence), karena CO2 yang telah ditangkap selama
pertumbuhan hutan sangat mungkin dilepaskan kembali ke atmosfir melalui
pemanenan, kebakaran atau kejadian lain. Hal ini berbeda dengan proyek sektor
energi yang akan mengurangi emisi secara tetap, dimana emisi yang dapat dicegah
tidak akan kembali ke atmosfer. Simpanan sementara (tidak tetap) melalui proyek
kehutanan harus dipandang sebagai pilihan kebijakan peralihan sebagaimana
dinyatakan Grainger (1997) yang menekankan bahwa mitigasi secara biologi
dapat mengikat karbon dalam jumlah yang besar dengan waktu yang lebih singkat
daripada waktu yang diperlukan untuk melakukan perubahan pola konsumsi
energi.
Beberapa manfaat yang diperoleh melalui proyek karbon hutan yang bersifat
sementara, adalah : (1) walaupun serapan karbon bersifat sementara, sejumlah
proporsi tertentu mungkin bisa menjadi permanen, (2) bermanfaat karena
menunda terjadinya perubahan iklim, (3) simpanan sementara bersifat “buys
time” sementara menunggu teknologi pemakaian energi yang lebih sesuai
dikembangkan, (4) proyek sekuestrasi akan menghemat waktu dalam
memperoleh informasi yang menguntungkan tentang proses pemanasan global
Banyak pakar yang percaya bahwa masalah “simpanan tetap” bukanlah
persoalan yang tidak bisa dipecahkan dalam proyek karbon hutan. Berbagai
metode perhitungan/neraca karbon yang diusulkan banyak pakar dan sebagian
telah digunakan dalam proyek-proyek karbon dibawah UNFCCC sebetulnya
ditujukan untuk mengatasi isu permanen dalam proyek karbon hutan tersebut.
Metode untuk Perhitungan Neraca Karbon Hutan
Berbagai metode perhitungan/neraca karbon dikemukakan oleh banyak
penulis, dan beberapa telah digunakan untuk menghitung proyek-proyek
sekuestrasi karbon di bawah program UNFCCC dan acuan perhitungan nasional
karbon yang berasal dari hutan untuk negara-negara yang masuk dalam daftar
Annex I Protokol Kyoto.
Tujuan neraca karbon menurut Moura-Costa (2000) adalah untuk
menentukan nilai manfaat lingkungan yang diperoleh melalui proyek mitigasi
yang akan mempengaruhi GRK di atmosfer. Proyek-proyek serapan karbon
didasarkan pada banyaknya jumlah karbon yang dapat ditangkap dari atmosfer
dan lamanya karbon tersebut dipertahankan. Sistem-sistem perhitungan/neraca
harus dapat mencerminkan penyimpan sementara dari proyek-proyek rosot
(sebagai pengecualian proyek pengurangan emisi, dimana hanya didasarkan pada
banyaknya jumlah emisi yang dapat dicegah).
Penghitungan neraca karbon mencakup tahapan-tahapan : penetapan garis
dasar (baseline) aliran karbon, kuantifikasi aliran karbon yang dihasilkan melalui
proyek, dan perhitungan perbedaan di antara karbon yang diperoleh melalui
proyek dan garis dasar untuk mengetahui besarnya pengaruh tambahan
(additionality) karena adanya kegiatan proyek (Moura-Costa & Stuart 1999).
Berbagai pendekatan dipakai untuk mengukur keefektifan mitigasi GRK
melalui proyek penggunaan lahan dan kehutanan. Sistem perhitungan potensi
mitigasi GRK didasarkan atas dua kelompok pendekatan, yaitu atas dasar
anggapan sifat yang permanen dari penyimpanan karbon dan sistem lain yang
menganggap penyimpanan karbon bersifat sementara. Kelompok metode yang
pertama terdiri atas : (1) metode perubahan persediaan, (2) metode penyimpanan
rata-rata, dan (3) metode akutansi berbasis ton-year (Moura-Costa 2000; Tipper &
16
penyimpanan karbon menggunakan pendekatan yang disebut CER sementara
(temporary CER, tCER) dan CER jangka panjang (longterm CER, lCER). Kedua
pendekatan ini sekarang dapat dipakai untuk proyek rosot melalui LULUCF.
Metode Perubahan Persediaan (SCM, Stock Change Method)
Metode ini paling umum dipakai, menyatakan simpanan karbon yang
didasarkan atas perbedaan penghitungan persediaan karbon proyek dengan garis
dasarnya pada titik waktu tertentu. Metode ini merujuk pada metode yang
sebelumnya disebut flow summation method (Richards & Stokes 1994); dimana
pengukuran dinyatakan dalam ton C per hektar. Metode SCM hanya memberikan
gambaran karbon pada satu titik waktu (snap shot). Nilai karbon yang diperoleh
akan bervariasi bergantung pada ketentuan periode waktu yang ditetapkan untuk
menghitung manfaat proyek.
Metode SCM saat ini dipakai untuk perhitungan neraca karbon di
negara-negara Annex I (IPCC 2000), konsisten dengan metode yang dipakai untuk
perhitungan emisi GRK nasional mereka (IPCC 1996). Untuk negara-negara
Annex I, apabila kegiatan kehutanan berlangsung terus menerus (sepanjang
pemanenan diikuti dengan penanaman), maka pengembang proyek tidak perlu
mengembalikan kredit yang diperoleh selama tahap pembangunan hutan. Namun
dalam CDM, kegiatan kehutanan diperlakukan sebagai proyek dengan batas
waktu yang terbatas sehingga ada kewajiban yang tidak dapat diabaikan pada
akhir masa proyek. Tergantung cakupan kewajiban, hal tersebut bisa
menyebabkan proyek tidak absah lagi. Adanya ketidakkonsistenan tersebut,
disarankan adanya sistem perhitungan neraca karbon yang berbeda untuk proyek
CDM (Moura-Costa 2000).
Metode Penyimpanan Rata-rata (ASM, Average Storage Method)
Untuk sistem yang dinamis, misalnya dalam proyek reforestasi, dimana
penanaman, pemanenan dan kegiatan penanaman berulang dilakukan, maka
pendekatan alternatif dipakai (oleh Dixon et al. 1991; Masera 1995) yang disebut
metode penyimpanan rata-rata (Schroeder 1992). Metode ini melakukan perataan
jumlah karbon yang disimpan pada suatu tapak dalam waktu yang panjang
Rataan bersih penyimpanan karbon
(tC) 0
n
t=
∑
(simpanan karbon proyek – simpanan karbon menurut baseline) n (tahun)=
dimana : t = waktu (dalam tahun), n = jangka waktu proyek (tahun), dan
persediaan karbon dinyatakan dalam ton karbon per hektar (tC/ha). Keuntungan
metode ini adalah kesederhanaan dalam proses alokasi kredit, sementara
perhitungan karbon masih berlangsung untuk seluruh jangka waktu proyek, tidak
tergantung pada waktu tertentu yang dipilih untuk perhitungan. Metode ini juga
dapat dipakai untuk membandingkan proyek yang berbeda dengan pola
pertumbuhan hutan yang juga berbeda. Kekurangan metode ini berkaitan dengan
masih subyektifnya lama waktu yang dipilih untuk menjalankan analisis. Metode
ASM telah banyak dipakai untuk proyek-proyek percontohan karbon berbasis
hutan melalui UNFCCC di bawah program AIJ (Activities Implemented Jointly).
Metode Ton-Year
Pendekatan-pendekatan alternatif yang diusulkan memperhatikan dua
dimensi unit pengukuran yang mencerminkan penyimpanan dan waktu, yaitu
ton-C year. Beberapa penulis telah mengusulkan konsep unit ton-year (Moura-Costa
1996; Fearnside 1997; Tipper & de Jong 1998). Konsep umum pendekatan
ton-year adalah dipakainya satu faktor untuk mengkonversi pengaruh terhadap iklim
karena adanya penyimpanan karbon sementara terhadap suatu jumlah yang setara
dengan apabila dilakukan pencegahan emisi (faktor ini disebut faktor ekivalensi,
atau Ef), yang nilainya bervariasi dari 0,007 hingga 0,02 (Tipper & de Jong, 1998;
Moura-Costa & Wilson 2000). Faktor tersebut diperoleh lewat konsep “waktu
ekivalensi” (dikenal sebagai Te), yaitu panjang waktu dimana CO2 harus
disimpan dalam bentuk karbon di dalam vegetasi atau tanah untuk mencegah
pengaruh daya radiatif kumulatif (cumulative radiative forcing) yang terjadi kalau
suatu jumlah yang sama CO2 tetap ada di atmosfer (Moura-Costa & Wilson
2000). Pendekatan ton-year didasarkan atas konsep pemanasan global potensial
mutlak (absolute global warming potential, AGWP), yang dinyatakan sebagai
18
[ ]
0
( ) . ( )
T
x t
AGWP x =
∫
a F x t ddimana T adalah horizon waktu (tahun), ax adalah daya radiatif yang berkaitan
dengan iklim disebabkan oleh peningkatan satu unit konsentrasi gas x di atmosfer
dan F(y) adalah fungsi waktu kerusakan gas x yang dipancarkan.
Untuk memakai metode ton-year, faktor ekivalensi harus ditetapkan,.
diusulkan untuk menggunakan waktu 55 tahun (Moura-Costa & Wilson 2000)
atau 100 tahun (Fearnside et al. 2000).
Penerapan yang berbeda-beda dari pendekatan ton-years telah diusulkan dan
dalam prakteknya berbagai kombinasi pendekatan dapat digunakan, yaitu
(Moura-Costa & Wilson 2000):
Equivalence-adjusted average storage, menggunakan Te sebagai penyebut dari
rumus metode penyimpanan rata-rata (ASM). Metode ini dapat dipakai untuk
membakukan cara yang ditempuh metode ASM yang sekarang ini dipakai.
Stock change crediting with ton-year liability adjustment, yaitu pemberian kredit
proyek menurut metode perubahan persediaan (SCM), tetapi menggunakan
ton-years untuk menghitung jumlah kredit yang harus dikembalikan apabila
kewajiban tidak dipenuhi (dalam kasus terjadinya peristiwa yang mengambil
resiko).
Equivalence-factor yearly crediting (ton-years), dimana suatu proyek diberikan
kredit tahunan dengan fraksi tertentu terhadap keseluruhan manfaat GRK, yang
ditentukan oleh jumlah karbon yang disimpan setiap tahun, dan dikonversi dengan
faktor ekivalensi Ef. Pendekatan ini akan sangat menyulitkan untuk
diimplementasi pada proyek mitigasi GRK yang berbasis kehutanan.
Equivalence-delayed full crediting, yaitu hanya mengenal seluruh manfaat
sekuestrasi karbon setelah adanya penyimpanan untuk periode waktu Te. Ada
kemungkinan penundaan kredit ini akan mempersulit implementasi proyek
mitigasi yang berbasis kehutanan.
Ex-Ante ton-year crediting, dengan memberikan sejumlah kredit pada awal
proyek, menurut jangka waktu proyek yang direncanakan menggunakan
pendekatan ton-year. Cara ini akan mengurangi kerugian karena penundaan
Gambar 1 memperlihatkan perbandingan perhitungan manfaat penyimpanan
karbon yang dihitung dengan metode perhitungan yang berbeda (SCM, ASM dan
Ton-Year) yang dilakukan untuk kasus hutan tanaman yang dibangun di lahan
kosong.
Gambar 1. Perbandingan manfaat karbon yang dihitung dengan metode ASM, SCM dan ton-year pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003)
Pendekatan CER Sementara dan CER Jangka Panjang
Metode perhitungan karbon yang dikemukakan sebelumnya masih
beranggapan bahwa karbon dapat dipertahankan secara permanen, dengan
mempertimbangkan lama waktu penyimpanan karbon atau menggunakan faktor
ekuivalensi seperti pada metode ton-year.
Melalui CoP9 tahun 2003 di Milan, Italia; telah diperkenankan
digunakannya perhitungan manfaat karbon melalui pendekatan CER sementara (
t-CER) dan CER jangka panjang (l-CER) (Dutschke, 2004; Chatterjee 2004; Boer et
al. 2004). Skema t-CER atas dasar usulan Uni Eropa (sebelumnya telah diusulkan
Colombia beberapa tahun yang lalu). Proyek dapat menghasilkan sejumlah t-CER
lewat banyaknya karbon yang bisa dibuktikan sebagai serapan karbon yang
ditambahkan melalui proyek sejak proyek dimulai. Setelah 5 tahun, t-CER tidak
akan berlaku lagi dan harus digantikan oleh t-CER yang baru atau yang berasal
20
dikeluarkan lagi setiap 5 tahun. Pendekatan t-CER memungkinkan negara tuan
rumah dapat menggunakan lahan proyek untuk tujuan lain setelah proyek
berhenti. Hal ini juga memungkinkan dilaksanakannya proyek karbon dengan
daur yang lebih pendek yang tidak mengikat lahan untuk periode yang panjang.
Gambar 2 memperlihatkan cara perhitungan manfaat karbon dengan
pendekatan CER sementara, yang dilakukan pada proyek hutan tanaman dengan
jangka waktu proyek selama 30 tahun dan masa berlaku t-CER setiap 5 tahun.
Gambar 2. Perhitungan manfaat karbon yang dihitung dengan pendekatan CER sementara (t-CER) pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003).
Skema l-CER didasarkan pada usulan Kanada, yang berkeinginan
memperluas sistem t-CER. Gagasan dasarnya adalah proyek dapat mengeluarkan
kredit l-CER untuk setiap ton karbon yang dapat dibuktikan. Masa hidup (lifetime)
CER identik dengan periode pemberian kredit, sebagai contoh bisa hingga
maksimal 60 tahun. Kredit l-CER harus digantikan secepatnya apabila hasil
verifikasi menunjukkan bahwa persediaan karbon telah berkurang atau tidak ada
laporan verifikasi yang disajikan untuk setiap 5 tahun. Jadi pemilik l-CER, negara
Annex I, selalu menghadapi resiko harus mengganti/memindahkan kredit dengan
CER yang lain (Dutschke 2004; Meinshausen & Hare 2003).
Metode t-CER dan l-CER adalah metode yang kini absah untuk penentuan
Melalui CoP9 juga telah dihasilkan sejumlah keputusan penting yang
memungkinkan lebih operasionalnya MPB kehutanan, mencakup isu definisi
(hutan, aforestasi dan reforestasi), jangka waktu pemberian kredit, masalah non
permanen, dan proyek CDM berskala kecil. Jangka waktu kredit yang lebih
pendek untuk proyek karbon kehutanan, maksimal sampai 30 tahun atau 20 tahun
dengan kemungkinan dua kali pembaharuan. Untuk proyek MPB berskala kecil
dibatasi dengan maksimal serapan karbon hingga 8 kiloton CO2e per tahun yang
dapat dikerjakan oleh kelompok masyarakat atau perorangan yang dengan tingkat
kesejahteraan yang masih rendah (Dutschke, 2004; Chatterjee 2004; Boer et al.
2004).
Untuk operasional proyek karbon kehutanan, pada CoP10 tahun 2005 juga
telah ditetapkan penyederhanaan metode untuk penentuan baseline dan
monitoring yang diperuntukan khusus untuk proyek aforestasi dan reforestasi
berskala kecil (IPCC 2005).
Pendekatan Finansial untuk Perhitungan Manfaat Karbon Hutan
Berbagai ragam cara perhitungan manfaat karbon yang lebih operasional
juga dilakukan dengan menambahkan pertimbangan finansial/ekonomi (Appels
2001; Cacho et al. 2002; Cacho et al. 2003).
Pendekatan Teoritis Ideal
Dari sudut pandang ekonomi, secara teoritis cara yang benar untuk
menghitung pembayaran sekuestrasi karbon adalah dengan menduga aliran jasa
sekuestrasi karbon untuk selama-lamanya. Pembayaran sekuestrasi karbon
terjadi pada saat jasa karbon telah dihasilkan dan apabila hutannya di panen, maka
nilai karbon yang dilepas kembali ke atmosfer harus dibayar oleh pemilik hutan.
Melalui kondisi ideal tersebut, maka nilai tegakan hutan apabila dilakukan
pembayaran sekuestrasi karbon dan dengan penggantian apabila dilakukan
pemanenan dapat dinyatakan dengan fungsi tujuan (Cacho et al. 2002):
0
( ) ( ). . ( ). . . ( ). . .
T
r