• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perancangan Model Optimasi Keseimbangan Energi Neto Biodiesel Kelapa Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perancangan Model Optimasi Keseimbangan Energi Neto Biodiesel Kelapa Sawit"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA INSTITUSI DALAM JEJARING KEKUASAAN

PENGELOLAAN HUTAN: KASUS PERUBAHAN LAHAN BERHUTAN DI

KABUPATEN PASER KALIMANTAN TIMUR

RETNO MARYANI

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi berjudul Dinamika Institusi Dalam Jejaring Kekuasaan Pengelolaan Hutan: Kasus Perubahan Lahan Berhutan Di Kabupaten Paser Kalimantan Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Retno Maryani NIM E161100091

*

(4)

RINGKASAN

RETNO MARYANI. Dinamika Institusi Dalam Jejaring Kekuasaan Pengelolaan Hutan: Kasus Perubahan Lahan Berhutan Di Kabupaten Paser Kalimantan Timur. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO, BRAMASTO NUGROHO, DIDIK SUHARJITO dan BOEN M PURNAMA.

(5)

empiris tentang elemen institusi yang menentukan kelestarian hutan. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa lahan berhutan yang menutupi kabupaten Paser berada di dalam dan juga di luar kawasan hutan. Pembukaan hutan sebelum tahun 2000 berlangsung di dalam dan juga di luar kawasan hutan. Hutan di kawasan konservasi dibuka menjadi tambak, sedangkan hutan di kawasan hutan produksi dibuka menjadi belukar dan hutan yang diluar kawasan dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit. Pembukaan hutan berlanjut setelah tahun 2000, yang mengakibatkan meluasnya tambang di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Penyebab pembukaan hutan di kabupaten Paser ada tiga, yaitu: (1) kawasan hutan digunakan untuk mengembangkan investasi berbasis sumberdaya lahan; (2) hutan ditransaksikan untuk berbagai kepentingan; (3) Situasi kaotik pengelolaan hutan dengan terbukanya

jejaring organisasi di masyarakat. Hutan digunakan untuk memenuhi kepentingan yang beragam dan divergent, bersifat short sighted atau borientasi ekonomi jangka pendek, serta beresiko tinggi. Re-formulasi aturan pengelolaan hutan (reformed

rules) belum ter-internalisasi ke dalam praktek sehari-hari sedangkan aturan yang lama tidak dipatuhi dan kehilangan legitimasinya. Hasil analisis kebijakan menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan hutan menghadapi persoalan kepentingan untuk menggunakan hutan yang beragam serta berkembang. Penggunaan hutan yang awalnya untuk produksi kayu dan non-kayu menjadi sarana untuk membuka isolasi pemukiman, membangun infrastruktur, membuka lapangan kerja serta mengembangkan usaha dan juga membangun kekuasaan politik serta memekarkan wilayah administrasi. Pengguna hutan yang awalnya pengusaha besar dengan ijin dari pusat, bertambah dengan pengusaha lokal dan masyarakat adat dengan ijin dari kabupaten. Hak untuk memanfaatkan hasil hutan yang diberikan oleh pemerintah menghadapi persoalan akses yang dikembangkan dengan menggunakan pengetahuan, teknologi dan kemampuan finansial, ataupun posisi di masyarakat dalam mengelola hutan. Akibatnya, lahan berhutan yang awalnya mendominasi lanskap di Kabupaten Paser menjadi semakin berkurang luasnya, digantikan dengan tutupan lahan non-hutan yang semakin meningkat luasnya. Kebijakan pengelolaan hutan menghadapi persoalan jejaring kekuasaan yang berkembang untuk menguasai manfaat dari hutan. Ill-defined property rights mempengaruhi berlanjutnya pembukaan hutan di masa desentralisasi, yang ditunjukkan melalui de jure aturan formal tentang pengertian hutan dan penunjukkan serta penetapan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan de facto penggunaan lahan di lapangan (Nugroho 2013). Pembaharuan aturan penyelenggaraan negara melalui UU no 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah membuka peluang (window of opportunity) bagi sektor kehutanan untuk mewujudkan kelestarian hutan sekaligus kemakmuran rakyat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa stabilitas politik dan ekonomi di tingkat nasional mempengaruhi laju kerusakan hutan di tingkat lokal. Hasil penelitian ini merekomendasikan agar kebijakan pengelolaan hutan diarahakan untuk mengakomodasi berkembangnya informasi dan organisasi pengelolaan hutan, serta menggalang aksi kolektif guna melestarikan hutan.

(6)

SUMMARY

RETNO MARYANI. Institutional Dynamic Within Web of Power of Forest Management: The Cast of Conversion Forested Land at Paser Regency of East Kalimantan Province. Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO, BRAMASTO NUGROHO, DIDIK SUHARJITO and BOEN M PURNAMA.

(7)

from government at regency level, and also the users that hold the adat rights being granted from the local government. Rights to use the forests and natural resources being granted from the government have been challenged with the rights being accepted by society that have developed into access on regulating and using forest resources. Ill-defined property rights influence on the continuous conversion of forested lands at the Regency Paser of East Kalimantan Province. Formal rules that regulate the management of forests in contradiction with de factor of forest uses. The enactment of new law on Regional Governance of Law No. 23/2014 serves as the window of opportunity for improving forest condition. However, formulation and implementation of the law shall address roots of the problem that originate from ill-defined property rights that enable web of power to flourish in the arena of forest management. Efforts to sustain forest resources shall not only be directed at law enforcement and formulation of new regulations, but it shall be able to identify web of power that exist at certain location and control the power politically. Typology politics of certain locality should be mapped as the bases to control the web of power.

(8)
(9)

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Iin Ichwandi M.Sc.F

(Staf Pengajar pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB)

Dr Ir Hariyatno Dwiprabowo M.Sc

(Peneliti senior pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Iin Ichwandi M.Sc.F

(Staf Pengajar pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB)

Dr Ir Hariyatno Dwiprabowo M.Sc

(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Hutan

RETNO MARYANI

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

DINAMIKA INSTITUSI DALAM JEJARING KEKUASAAN

(12)

Judul Disertasi: Dinamika Institusi Dalam Jejaring Kekuasaan Pengelolaan Hutan: Kasus Perubahan Lahan Berhutan Di Kabupaten Paser Kalimantan Timur

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga Disertasi dengan judul “Dinamika Institusi Dalam Jejaring Kekuasaan Pengelolaan Hutan: Kasus Perubahan Lahan Berhutan Di Kabupaten Paser Kalimantan Timur” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar Doktor pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dengan kerendahan hati dan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo MS, Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS, Prof Dr Ir Didik Suharjito MS dan Dr Ir Boen M Purnama M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan pengetahuan selama proses pembimbingan hingga tersusunnya disertasi ini; 2. Prof Dr Ir Hardjanto MS selaku Ketua Program Studi S3 yang telah

memberikan perhatian, dukungan dan pelayanan administratif yang diperlukan untuk menyelesaikan studi ini;

3. Dr Ir Iin Ichwandi M.Sc.F dan Dr Ir Haryatno Dwiprabowo M.Sc selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Sidang Terbuka Promosi Doktor; 4. Pimpinan Badan Litbang Kehutanan dan jajarannya atas kesempatan yang

diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB; 5. Tropenbos Internasional yang telah memfasilitasi pengumpulan data;

6. Rekan-rekan di Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan atas semangat dan dorongan yang diberikan untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini; 7. Seluruh pihak yang telah membantu menyediakan data, informasi dan literature

selama pengumpulan data dan penyusunan disertasi;

8. Teman-teman IPH angkatan 2010 atas waktu untuk berdiskusi dan bertukar pendapat, kebersamaan serta kekeluargaannya selama ini;

9. Seluruh pengelola Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Institut Pertanian Bogor selama proses pendidikan penulis di IPB;

10. Dr. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc, Rahardhyani Primarista Putri S.Hum dan Rahardhyani Dwiannisa, suami dan anak-anak tercinta yang selalu mendampingi dan memberikan semangat sehingga penulis memiliki motivasi untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini;

11. Keluarga besar Martadji dan Sumadhijo yang selalu memberikan semangat dan dorongan baik moril maupun materil;

12. Kepada semua pihak yang berkenan mendukung pelaksanaan penelitian ini. Semua dukungan yang telah diberikan kepada kami adalah bagian penting dari penyelesaian disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(14)

DAFTAR ISI

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Kebaruan (Novelty) Penelitian 5

Disain Penelitian 6

Metode Penelitian 9

2 SITUASI PENGELOLAAN HUTAN DI KABUPATEN PASER 16

Gambaran Umum Kabupaten Paser 16

Penggunaan Lahan dan Hutan 17

Perkembangan Luas Hutan 21

Simpulan 23

3 FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN LUAS LAHAN BERHUTAN DI

KABUPATEN PASER 24

Perluasan Tambak di Kawasan Konservasi 24

Perluasan Kebun Kelapa Sawit Menggantikan Tutupan Hutan 25 Penebangan Hutan Meningkat Volumenya dan Meluas Wilayahnya 27 Perluasan Tambang Batubara di dalam Kawasan Hutan 29

Pelestarian Hutan Lindung Gunung Lumut 30

Simpulan 31

4 ANALISIS PERKEMBANGAN INSTITUSI DALAM HUBUNGANNYA

DENGAN PERUBAHAN LUAS TUTUPAN HUTAN 32

Perkembangan Kondisi Hutan di Kabupaten Paser 32 Perkembangan Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Hutan 36 Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan dalam Hubungannya dengan

Kelestarian Hutan 39

(15)

5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI 44

Simpulan 44

Rekomendasi 45

DAFTAR PUSTAKA 46

LAMPIRAN 49

RIWAYAT HIDUP 65

DAFTAR TABEL

1. Teori yang Digunakan, Pengumpulan dan Analisis Data pada

Masing-Masing Tujuan Penelitian 15

2. Pembagian luas kawasan berdasarkan TGHK 1983 17

3. Daftar nama pemegang ijin HPH hutan alam dan luas usaha yang

diberikan di Kabupaten Paser pada tahun 1970 20

4. Wilayah kerja Cabang Dinas Kehutanan dalam hubungannya dengan wilayah administratip pemerintahan Kabupaten di propinsi Kalimantan

Timur. 21

5. Analisis Dokumen Regulasi 40

6. Faktor eksogen dan endogen dari institusi yang mempengaruhi

kelestarian hutan 42

DAFTAR GAMBAR

1. Lokasi Kabupaten Paser sebagai bagian dari Propinsi Kalimantan Timur 16 2. Anak Suku Muluy memulai aktifitas pagi hari di Sungai Muluy (sumber:

www.mongabay.co.id) 18

3. Houling logging masih terlihat di kampong Muluy

(Sumber: www.mongabay.co.id) 20

4. Luas lahan berhutan yang dibuka menjadi non-hutan di Kabupaten Paser 22 5. Luas lahan berhutan yang dibuka di dalam kawasan hutan 22 6. Luas lahan belukar, tanah terbuka, perkebunan, tambak, pertambangan

dan lain-lain yang diakibatkan dari pembukaan hutan pada

masing-masing fungsi hutan di Kabupaten Paser 23

7. Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan di

Kabupaten Paser Kalimantan Timur 31

8. Luas hutan dan non-hutan di Kabupaten Paser, dihitung periodik dari

tahun 2000 sampai dengan 2011 33

9. Luas penggunaan lahan di Kabupaten Paser (sumber: BLHD Kabupaten

Paser 2013) 34

10. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi di Kabupaten Paser (sumber:

BLHD Kabupaten Paser 2013) 34

11. Peran pemerintah dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Paser 38 12. Jejaring kekuasaan dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Paser

(16)
(17)
(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelestarian sumberdaya alam ditentukan oleh institusi yang mengatur sekelompok masyarakat dengan kepemilikan hak atas sumberdaya alam (owner of rights) (Ostrom 1990; Bromley 1991). Hak tersebut memberikan kewenangan untuk menentukan tujuan dari penggunaan sumberdaya alam, serta menentukan pihak yang dipandang mampu untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati (user of the rights). Hak dari sekelompok masyarakat tersebut dapat dialihkan melalui mekanisme pasar (jual beli), atau melalui mekanisme politik ataupun pengadilan.

Di Indonesia, institusi negara mengendalikan property rights atas sumberdaya alam dengan mendeklarasikannya di dalam konstitusi negara. Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “bumi, air dan segala kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan manfaatnya digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Penguasaan sumberdaya alam oleh negara memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan sumberdaya tersebut dengan menggunakan peraturan perundang-undangan dan menegakkan aturan yang ada dengan menggunakan organisasinya. Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa organisasi pemerintah terstruktur secara hirarki dengan susunan pemerintahan di pusat, di propinsi dan di kabupaten sebagai satu kesatuan negara republik Indonesia (NKRI). Aturan formal yang bersumber dari UUD 1945 mengatur penggunaan sumberdaya alam, yang di dalamnya termasuk sumberdaya hutan.

Penggunaan sumberdaya alam yang diatur oleh institusi negara menimbulkan kontestasi kekuasaan ketika pemerintah melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah di kabupaten guna mempercepat pembangunan. Desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam, dilakukan dengan menerbitkan undang-undang (UU) yang memperbaharui aturan Pemerintah Daerah melalui UU No. 22/1999 dan diikuti dengan UU tentang Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat No 25/1999. Pembaharuan aturan juga berlaku di bidang kehutanan dengan menerbitkan UU Kehutanan No. 41/1999 yang menggantikan UU Pokok Kehutanan No. 5/1967. Kebijakan tersebut dilaksanakan ketika pemerintah bersama dengan Bank Dunia/IMF berupaya untuk mengembalikan stabilitas perekonomian yang terguncang sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berawal dari tahun 1996 (Manning dan Diemen 2000).

(20)

2

Proponen desentralisasi menekankan bahwa masyarakat lokal dan pemerintah daerah merupakan aktor yang paling tepat untuk menyusun rencana dan melaksanakan pengelolaan sumberdaya. Asumsi tersebut berdasarkan, argumen bahwa masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat adalah konstituen pembangunan yang memahami kebutuhan setempat, termasuk seluk beluk lingkungan dan penggunaan sumberdaya alam di wilayahnya. Dengan pertimbangan tersebut, keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah akan meningkatkan rasa kepemilikan (sense of ownership) dan memperkuat partisipasi masyarakat. Pemberian kewenangan dalam hal penyusunan kebijakan dan pelaksanaannya diharapkan akan mendorong terwujudnya kelestarian hutan, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, serta terwujudnya lingkungan yang demokratis bagi masyarakat setempat, di sekitar wilayah sumberdaya alam.

Di Indonesia, kebijakan desentralisasi diberlakukan di tengah situasi krisis ekonomi yang mempengaruhi formulasi peraturan pengelolaan hutan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, diawali dengan jatuhnya mata uang rupiah terhadap nilai tukar mata uang asing yang meningkat hingga menjadi tiga kali lipat. Harga-harga barang impor meroket tinggi, yang sebagian adalah barang keperluan sehari-hari seperti misalnya gula, bahan percetakan, serta bahan dasar bagi industri yang mengakibatkan tutupnya sebagian industri (Sunderlin 1999; Manning dan Diemen 2000). Sementara angka pengangguran di kota melonjak sebagai akibat dari pemutusan kerja, hal yang sebaliknya terjadi di pedesaan yang menikmati

windfall profit’, keuntungan mendadak dari naiknya harga komoditas ekspor seperti misalnya cokelat, udang dan ikan serta lada (Sunderlin dkk 2001).

Di sektor kehutanan, krisis ekonomi mengakibatkan bangkrutnya industri pengolahan kayu dikarenakan melonjaknya harga bahan baku impor yang dibutuhkan oleh industri pengolahan kayu, tingginya hutang perusahaan serta menipisnya pasokan kayu ke dalam wilayah industri (Barr 2003). Dalam rangka mengendalikan perekonomian yang mengalami kontraksi nasional, di tahun 1997 Presiden Soeharto mengambil langkah politik untuk menandatangani kesepakatan dengan pihak International Monetary Funds (IMF/WB) World Bank. Kesepakatan yang dituangkan di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies atau yang dikenal sebagai the Letter of Intent yang pertama (LOI I) dijadwalkan berlangsung selama tiga tahun.

(21)

bidang kehutanan dan penggunaan air, dimaksudkan untuk memperkokoh pendapatan negara disamping untuk mempromosikan pengembangan jasa lingkungan.

Kebijakan desentralisasi juga dilakukan pada saat kondisi hutan terdegradasi setelah dua puluh tahun dieksploitasi. Seluas 5,1 juta hektar kawasan hutan dikategorikan open akses akibat dari berakhirnya masa konsesi HPH, atau ditinggalkan oleh pemegang hak karena habis potensi kayunya, dan atau diokupasi oleh masyarakat (Departemen Kehutanan 1997). Pada saat itu, era penebangan hutan alam digantikan dengan pembangunan hutan tanaman dan rehabilitasi hutan untuk mengembalikan produktivitas lahan dan hutan yang dikategorikan sebagai lahan kritis seluas 13 juta hektar. Skema hak pengusahaan hutan tanaman Indonesia atau HPHTI diterbitkan untuk menghemat kayu di hutan alam dan memperbaiki kondisi hutan yang terdegradasi (PP No. 7/1990). Skema ini mendukung program PELITA ke VI tahun 1993/1994 yang mentargetkan Indonesia untuk tinggal landas dari pembangunan berbasis agraris menuju basis industri. Pemerintah memperbaiki kondisi hutan dengan menata ulang kawasan hutan, mengambil alih hak BUMS serta mengalihkannya kepada BUMN, disamping menggalakkan jiwa professionalism rimbawan (Departemen Kehutanan 1997).

Aturan formal dan organisasi pemerintah yang digunakan untuk mewujudkan kelestarian hutan dipertanyakan efektivitasnya dalam kaitannya dengan laju deforestasi yang meningkat ketika pemerintah melimpahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah dalam mengatur pengelolaan sumberdaya alam. Laju deforestasi yang dilaporkan stabil sebesar 1,86 juta hektar selama 12 tahun, dari 1986 hingga 1996, meningkat hingga mendekati tiga juta hektar rata-rata kerusakan selama tiga tahun dari 1997 hingga menjelang tahun 2000 (Soemargo et al. 2011). Peristiwa tersebut diikuti dengan berkembangnya konflik di kehutanan yang yang mengancam kelestarian hutan (Barber dan Schweithelm 2000; Colfer dan Capistrano 2005; Tacconi 2007; Sumargo et al. 2011).

Meskipun laju kerusakan hutan dilaporkan menurun hingga mencapai 460.000 hektar/tahun di tahun 2010 (Departemen Kehutanan 2011), namun dampak dari kerusakan tersebut dirasakan hingga kini adanya banjir dan kekeringan, berkurangnya jenis flora dan fauna endemik serta terbatasnya suplai kayu serta hasil hutan lainnya yang diperlukan bagi industri maupun kebutuhan rumahtangga (Barber dan Schweithelm 2000). Kerusakan hutan dan lingkungan juga mempengaruhi iklim mikro yang dampaknya dirasakan oleh masyarakat yang kehidupannya bergantung kepada sumberdaya hutan.

Penelitian ini memanfaatkan peristiwa meningkatnya laju kerusakan hutan sebagai konteks untuk menjelaskan pengaruh lingkungan ekonomi dan politik terhadap kondisi hutan.

Perumusan Masalah

(22)

4

perilaku aktor politik dan ekonomi (North 1990; Bromley et al 1992; Gibson et al 2000; Ribot dan Peluso 2003). Kebijakan desentralisasi memperbaharui aturan penyelenggaraan negara dan pembaharuan tersebut diduga mempengaruhi nilai-nilai (value)2 yang memandu pengelolaan hutan. Nilai-nilai tersebut meliputi tujuan dari penggunaan hutan, pihak yang berhak untuk menggunakan hutan, serta tata cara untuk menggunakan hutan (Roumasset and La Croix, 1988., Vayda, 1996.,

Howlett, 1999). Nilai-nilai tersebut melekat di dalam organisasi pengelolaan hutan, yang mengatur hubungan antar kelompok masyarakat dalam mengelola hutan, dan juga mengatur hubungan sekelompok masyarakat dengan hutan (Long dan van der

Ploeg, 1994; Dunn 2003; Sashi Kant dan Berry 2005).

Kebijakan desentralisasi diikuti dengan pembaharuan UU Kehutanan No. 41/1999. UU ini dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi hutan serta menggalang masyarakat berpartisipasi dalam mengelola hutan. Akses3 masyarakat untuk dapat memanfaatkan hutan dibuka dengan memberikan hak pemanfaatan kepada individu, koperasi serta kelompok kepentingan tertentu. Hak pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi diperbaharui dengan menerbitkan peraturan pemerintah PP No. 6/1999 yang mengatur tiga hal sebagai berikut. Skema hak pengusahaan hutan (HPH) diperbaharui dengan skema ijin usaha pemanfaatan (IUP). Luas maksimal HPH dibatasi untuk setiap kepulauan, serta usaha kecil kehutanan didorong untuk memperoleh hak pengusahaan hasil hutan HPHH/HPH dengan skala 100 ha.

Pembaharuan aturan pengelolaan hutan menghadapi persoalan yang bersumber dari kewenangan pemerintah daerah yang dibatasi oleh struktur organisasi yang terpusat (Shah et al. 1994; Litvack et al. 1998; Colfer dan Capistrano 2005). Kewenangan tersebut juga menghadapi persoalan legitimasi yang memungkinkan pemerintah daerah untuk menggunakan Peraturan Daerah (PERDA) guna melegalkan kepentingannya dalam menggunakan hutan (Ekawati 2009; Ekawati 2011).

Kewenangan pemerintah daerah yang dibatasi oleh wilayah administrasi, menghadapi persoalan pemekaran daerah yang menggunakan hutan serta sumberdaya alam sebagai modal untuk membangun wilayah administrasi baru. Sumberdaya hutan terfragmentasi dan fungsi hutan terganggu dengan semakin sempitnya luas hutan serta semakin menipisnya kekayaan alam yang tersimpan di dalam hutan (Kartodihardjo 2006).

Persoalan pengelolaan hutan semakin kompleks di era desentralisasi, dikarenakan oleh kurangnya pemahaman terhadap karakteristik hutan sebagai common pool resources (CPRs), dan juga kurangnya memahami karakter pengguna hutan yang beragam dalam hal kepentingan serta sumberdaya untuk dapat memanfaatkan hutan (Polski dan Ostrom 1999; Ribot dan Peluso 2003). Hak untuk memanfaatkan hutan yang diatur oleh negara menghadapi persoalan akses yang Jejaring kekuasaan yang terbentuk melalui mekanisme akses yang seringkali

2 Nilai-nilai atau value

3 Akses menurut Ribot dan Peluso (2003) merupakan kemampuan atau ability untuk mendapat

(23)

terbebas dari adanya sangsi-sangsi yang ditetapkan melalui mekanisme kepemilikan hak atau property rights.

Manfaat sumberdaya hutan digunakan oleh sekelompok masyarakat melalui hubungan kekeluargaan, client patron, maupun pertukaran barang dan jasa secara illegal yang membentuk kumpulan atau jaringan kekuasaan atau bundle atau web of power (Repetto dan Gillis 1988; Barber, Nels C Johnson dan Emmy Hafild 1994; Dauvergne 1996; Ross 2001). Hubungan tersebut semakin berkembang di era desentralisasi melalui jaringan politik dan ekonomi yang mempengaruhi proses, mekanisme penyusunan kebijakan dan implementasinya yang menghambat upaya untuk mewujudkan kelestarian hutan (Casson dan Obidszinsky 2002; MacCarthy 2005). Menurut Ribot dan Peluso (2003) kekuasaan terhadap teknologi, material atau finansial, kedudukan sosial, pengetahuan, identitas, dan tenaga kerja memungkinkan bagi sekelompok masyarakat untuk menguasai manfaat sumberdaya hutan dan menghambat upaya untuk melestarikan hutan.

Hubungan antara desentralisasi dengan deforestasi perlu digali secara menyeluruh (wholistic) dan berkesinambungan (inter-temporal). Aktor proses dan mekanisme penyusunan kebijakan dan pelaksanaannya di lapangan perlu diidentifikasi, serta lingkungan politik dan ekonomi yang mendasari suatu kebijakan perlu ditemu-kenali dalam hubungannya dengan lingkungan biofisik, yang menjadi arena berlangsungnya pengelolaan hutan.

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bermaksud melakukan eksploratori faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas institusi dalam mengendalikan laju kerusakan hutan. Tujuan umum tersebut akan dicapai melalui tiga tujuan khusus dengan tahapan sebagai berikut:

1. Mengetahui terjadinya perubahan luas lahan berhutan di lokasi penelitian 2. Menganalisis penyebab terjadinya perubahan luas lahan berhutan

3. Mendiskusikan implikasi dari pembaharuan undang-undang pemerintahan daerah, UU No 23/2014 terhadap kebijakan pengelolaan hutan

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan guna kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, pengambilan keputusan serta pembelajaran dari lapangan yang dimaksudkan untuk melestarikan sumberdaya alam, khususnya hutan.

Kebaruan (Novelty) Penelitian

(24)

6

dari perspektif institusi dan jejaring kekuasaan untuk dapat mengungkap persoalan kerusakan hutan dan lingkungan yang berlangsung hingga saat ini.

Dari sisi keilmuan, pendekatan semacam ini tergolong baru di kehutanan yang selama ini lebih menekankan pada aspek teknis prosedural. Melalui pendekatan institusi dan jejaring kekuasaan, hubungan sosial dalam pengelolaan hutan yang menghambat upaya untuk melestarikan hutan dapat diungkap dan diidentifikasi solusinya berdasar kenyataan yang ada di lapangan.

Dari sisi kebijakan, pendekatan institusi dengan jejaring kekuasaan dapat digunakan untuk memberdayakan kelompok masyarakat tertentu yang berpotensi menentukan tercapainya tujuan kelestarian hutan.

Dari sisi praktis, pendekatan institusi dengan jejaring kekuasaan dapat digunakan untuk mengungkap pendekatan, teknologi, metode baru atau alternatif yang diperlukan untuk menggalang upaya yang diperlukan untuk mewujudkan kelestarian hutan.

Disain Penelitian

Rancangan penelitian penting dikemukakan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh pendekatan yang digunakan agar dapat menjawab tujuan penelitian. Disain penelitian ini diperlukan sebagai roadmap, arahan bagi peneliti untuk menentukan metode atau alat penelitian yang tepat, serta sebagai alat untuk mengumpulkan informasi dari lapangan yang relevan, yang akan ditransfer sebagai data dalam penelitian ini.

Dalam menyusun rancangan penelitian, pemahaman peneliti terhadap subyek yang diteliti serta pengetahuan tentang lokasi yang menjadi wilayah penelitian merupakan faktor utama. Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi kredibilitas hasil penelitian serta mempercepat proses pelaporan hasil penelitian. Pada bagian ini dikemukakan bahwa laju deforestasi yang meningkat di masa krisis ekonomi dan reformasi politik sebagai persoalan institutional yang memerlukan pendekatan kualitatif untuk dapat menjelaskan terjadinya peristiwa tersebut. Peristiwa meningkatnya laju deforestasi perlu dibuktikan dengan pertama-tama memahami pengertian deforestasi, serta pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan terjadinya deforestasi di lokasi penelitian.

Pendekatan penelitian

(25)

dibalak karena pada prinsipnya pohon-pohon mungkin akan tumbuh kembali atau ditanami kembali.

Undang-undang kehutanan membatasi pengertian tentang hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU 41 Tahun 1999 Pasal 1). Pengertian tentang hutan tersebut seringkali dikaitkan dengan sumberdaya alam yang dikuasai oleh negara. Berdasarkan pengertian tentang perundangan, deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut No. 30 Tahun 2009).

Dalam hubungannya dengan keberadaan hutan, deforestasi dapat dimaknai dari berbagai perspektif. Dari perspektif pengelolaan hutan, hilangnya tutupan hutan dapat berlangsung secara temporer sebagai konsekuensi dari tindakan pengelolaan atau bersifat permanen. Misalnya penebangan hutan merupakan kegiatan pemanenan yang diikuti dengan penanaman untuk menjadikan lahan kembali terttutup oleh hutan. Dalam kaitannya dengan penggunaan hutan, deforestasi menyangkut kapasitas hutan untuk menghasilkan berbagai macam produk hasil hutan atau kapasitas hutan terutama untuk menghasilkan produk kayu. Deforestasi juga dapat dimaknai dari atribut hutan yang menjadi karakteristik sumberdaya ini sebagai common pool resources (CPR) yang tersusun atas berbagai strata tajuk, dengan kerapatan yang beragam serta komposisi jenis yang beragam pula. Kajian terhadap pengaruh deforestasi memerlukan akurasi dan konsistensi pendekatan dan metodologi yang sesuai dari waktu ke waktu. Seringkali, data yang tersedia untuk melakukan perhitungan deforestasi sangat terbatas. Deforestasi dalam penelitian dikonsepsikan sebagai perubahan lahan yang berhutan menjadi non-hutan, yang dapat berlangsung di dalam maupun di luar kawasan karena keberadaan hutan di kedua wilayah tersebut.

Peristiwa meningkatnya deforestasi di saat berlangsungnya perubahan kebijakan telah banyak dilakukan. Lembaga penelitian CIFOR melakukan penelitian yang intensif pada saat terjadinya perubahan kebijakan di Indonesia, dan secara umum menyimpulkan bahwa perubahan kebijakan menghasilkan gambaran yang skeptic tentang kondisi hutan di masa mendatang. Kebakaran hutan berlanjut sebagai episode yang berulang setiap tahun, masyarakat sekitar hutan atau komunitas lokal terus melakukan klaim atas kepemilikan lahan dan hutan, pemerintah daerah berebut dengan kebijakan pusat untuk menerbitkan ijin penebangan hutan dan melupakan aspek konservasi. Hutan menjadi sumber pendapatan daerah tetapi kemiskinan di hutan tidak teratasi. Elit setempat terlibat di dalam praktek illegal logging yang berkembang menjadi jejaring dan berkontribusi terhadap konversi lahan komunal menjadi penggunaan privat, yang dikhawatirkan mengakibatkan hilangnya sumberdaya hutan.

Kebijakan desentralisasi yang melimpahkan kewenangan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi dan akuntabilitas pemerintah dalam mengatur pengelolaan hutan. Situasi yang terbentuk di masa transfer kebijakan memerlukan pendalaman dan kajian untuk mengungkap peran pemerintah dalam mengkoordinasikan berbagai kepentingan terhadap hutan, utamanya kepentingan untuk melestarikan hutan.

(26)

8

yang meningkat di saat transfer kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dari pemerintah pusat kepada daerah. Dengan menggunakan kombinasi kedua pendekatan tersebut maka penelitian ini dapat menjelaskan kerusakan hutan yang terjadi sebagai persoalan sosial yang memerlukan kebijakan khusus untuk dapat menangani persoalan tersebut.

Hakekat penelitian kualitatif dan penggunaannya

Penelitian ini berawal dengan premis bahwa kebijakan pengelolaan hutan memiliki karakteristik tertentu yang melekat di dalam aturan pengelolaan dan juga praktek pengelolaan di lapangan. Aturan tentang pengelolaan hutan dinyatakan secara tertulis dan dimuat di dalam peraturan perundang-undangan sebagai arahan formal dalam memandu penyusunan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan hutan. Kebijakan pengelolaan hutan merupakan proses institusional yang menggunakan aturan main dan melibatkan berbagai kepentingan untuk dapat mengatur penggunaan manfaat dari hutan (Schneider dan Ingram 1996; Dunn 2014). Produk kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan memuat norma dan nilai-nilai, serta kepentingan (interest) tertentu yang ditransmisikan secara tertulis dalam bentuk teks atau bersifat tertulis. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif untuk dapat dapat menjelaskan ‘makna’ dibalik aturan

pengelolaan hutan yang mengatur hubungan sosial dalam menggunakan sumberdaya alam. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif maka penelitian ini dapat digunakan untuk memahami organisasi sosial khususnya dalam hal pengelolaan hutan dengan pertimbangan berikut.

Pertama, aturan formal memberikan justifikasi dan legitimasi bagi berlangsungnya hubungan antara public dengan privat maupun hubungan individu dengan kelompok. Aturan tersebut memberikan posisi sosial dengan peran untuk menyusun agenda kebijakan, melaksanakan agenda serta menentukan outcome dari suatu kebijakan. Dengan demikian, aturan formal memberikan entitas tertentu dengan kekuasaan dalam pengelolaan hutan.

Silverman (2013) menyatakan bahwa aturan formal merefleksikan konteks atau setting tertentu yang menggambarkan kepentingan atau pesan utama untuk disampaikan melalui peraturan tersebut. Sebagai sarana komunikasi, aturan formal juga merefleksikan hubungan sosial yang terjalin antara berbagai pihak, cara pandang terhadap kelompok tertentu yang meliputi hubungan kesetaraan atau sub-ordinasi.

Kedua, aturan formal memiliki kapasitas untuk mempertahankan dan juga melestarikan hubungan yang ada di masyarakat, disamping kapasitas untuk menegakkan hubungan yang ada. Melalui aturan formal, kekuasaan yang ada ditransmisikan, diinterpretasikan, dan bahkan ditegakkan. Aturan ini merefleksikan kepentingan serta kebutuhan masyarakat untuk mewujudkan tujuan tertentu dalam suatu kurun waktu. Dokumen ini merupakan artefact atau bukti sejarah yang mengandung pesan tertentu dan perlu diinvestigasi agar dapat memberikan pemahaman tentang konstruksi sejarah dari suatu masyarakat atau komunitas.

(27)

jauh perubahan yang terjadi pada kondisi hutan mampu mempengaruhi tujuan dari penyusunan kebijakan dan pilihan instrumen yang akan digunakan (Grimble dan Wellard 1997). Pemahaman aktor tentang sosial setting atau konteks pengambilan kebijakan diperlukan untuk menjelaskan seberapa jauh kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah mempengaruhi penggunaan hutan (Silverman 2013). Hanya dengan menguraikan keterkaitan antara aturan formal dan informal maka organisasi sosial dalam pengelolaan hutan dapat dijelaskan dan dipahami, sehingga fakta sosial dari kerusakan hutan dapat dipresentasikan.

Hakekat pendekatan kuantitatif dan penggunaannya

Deforestasi sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya merupakan fenomena yang berlangsung secara sistematis dan kejadiannya dapat diukur serta dihitung dengan menggunakan model matematis. Pengukuran laju deforestasi telah banyak dilakukan dan digunakan oleh Departemen Kehutanan untuk melaporkan kondisi hutan secara periodik tiga tahunan. Pengukuran tersebut bersifat strategis mengingat nilai ekologis dan sosial dari hutan dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat. Perkembangan teknologi mempengaruhi akurasi hasil pengukuran, dan saat ini teknologi inderaja (citra satelit) dipandang sebagai solusi untuk mengungkap kondisi faktual dari hutan, tanpa larut terlibat di dalam perdebatan definisi tentang hutan dan juga status kepemilikan hutan.

Dalam penelitian ini pengukuran deforestasi diperlukan untuk menggali pemahaman aktor tentang terjadinya perubahan kondisi hutan, dan digunakan untuk mendiskusikan seberapa jauh perubahan yang terjadi disebabkan oleh adanya perubahan aturan main dalam pengelolaan hutan.

Metode Penelitian

Kerangka Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan institusi dan jejaring kekuasaan untuk mengungkap persoalan kerusakan hutan yang dilaporkan meningkat pada saat pemerintah melimpahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah. Pendekatan institusi digunakan untuk memahami aturan main yang memandu masyarakat dalam menggunakan sumberdaya hutan dan mengatur manfaatnya sehingga sumberdaya alam tersebut dapat digunakan secara lestari. Aturan tentang pengelolaan sumberdaya alam yang awalnya dilakukan secara terpusat perlu dikaji seberapa jauh aturan tersebut terdesentralisasi ke daerah. Rules in used yang memandu proses formulasi aturan pengelolaan hutan dan implementasinya di lapangan perlu dianalisis perkembangannya dalam hubungannya dengan kebijakan desentralisasi yang secara formal melimpahkan kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah (Ostrom 1990).

(28)

10

2005). Efektivitas aturan formal pengelolaan hutan menghadapi persoalan akses yang memungkinkan bagi individu dan sekelompok masyarakat untuk dapat memanfaatkan sumberdaya hutan dengan cara menggunakan akses untuk memperoleh kekuasaan (to gain), mempertahankannya (to control) serta mengendalikan kekuasaan tersebut (to enforce) agar dapat memperoleh mabfaat dari sumberdaya hutan (Ribot dan Peluso 2003).

UUD 1945 menyatakan bahwa manfaat sumberdaya alam digunakan untuk kemakmuran rakyat, dan penggunaannya diatur oleh negara yang menguasai sumberdaya alam. UU Kehutanan No 41/1999 menyatakan bahwa hutan merupakan sumberdaya alam yang dibedakan menjadi hutan negara dan hutan hak berdasarkan kepemilikan lahan yang diatur melalui UU Pokok Agraria No 5/1960. Property rights yang mengatur penggunaan sumberdaya alam di masyarakat dikendalikan oleh institusi negara yang mengatur hubungan antar kelompok di masyarakat, termasuk hubungan dalam menggunakan sumberdaya hutan.

Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang menunjuk lahan sebagai kawasan hutan dan membedakannya dari non-kawasan, mempengaruhi hubungan di masyarakat dalam menggunakan hutan. Kawasan hutan dikelola berdasarkan fungsi hutan yang dibedakan sebagai fungsi lindung, produksi dan konservasi, dan hak untuk mengelola fungsi kawasan hutan tersebut diatur melalui peraturan perundang-undangan. Aturan formal pengelolaan hutan didefinisikan melalui rejim property rights, dan manfaat dari penggunaan hutan ditentukan oleh sekelompok masyarakat melalui mekanisme hak dan kewajiban untuk melestarikan hutan (Bromley 1991). Aktor politik dan ekonomi menentukan kinerja tata kelola kehutanan melalui pengaruhnya di dalam proses dan mekanisme penyusunan peraturan dan pelaksanaannya di lapangan (North 1990; Dunn 2014).

Aktor politik dan ekonomi menggunakan akses melalui teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas dan hubungan sosial untuk dapat mempengaruhi proses dan mekanisme penyusunan peraturan dan pelaksanaan peraturan tersebut. Sumberdaya aktor mempengaruhi proses dan mekanisme yang digunakan untuk memperoleh atau mempertahankan akses terhadap manfaat sumberdaya hutan (Ribot dan Peluso 2003). Mekanisme akses yang digunakan dapat merupakan kombinasi dari berbagai sumberdaya yang membentuk bundle of power yang digunakan selama proses penyusunan peraturan (proses produksi), transformasi peraturan ataupun pelaksanannya di lapangan. Aktor tertentu mengendalikan cabang produksi atau bundle of power tertentu. Aktor yang lain mengakumulasi kekuasaan, membentuk bundle of owner, worker atau beneficiary secara bersama-sama untuk memperbesar kontrol atau mempertahankan sumberdaya aksesnya.

(29)

akses yang digunakan perlu diidentifikasi, serta situasi yang mempengaruhi hubungan antar aktor dalam proses penyusunan peraturan dan pelaksanaannya perlu ditelusuri dilapangan.

Waktu Penelitian dan Lokasi

Penelitian ini memanfaatkan data yang dikumpulkan pada tahun 2002 sampai dengan 2004, dan memperbaharuinya dengan data yang dikumpulkan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012. Lokasi penelitian dipilih secara purposif yang merepresentasikan karakteristik hutan di Kalimantan yang mencerminkan sumberdaya yang bersifat common pool resources, serta penggunaan hutan yang beragam dan dipengaruhi oleh karakteristik pengguna hutan. Unit administrasi di tingkat kabupaten dipilih sebagai satuan analisis dengan mempertimbangkan kebijakan desentralisasi di bidang pengelolaan sumberdaya alam melimpahkan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten.

Data dan Informasi

Data yang digunakan bersifat kuantitatif dan kualitatif yang bersumber dari data primer maupun data sekunder. Data kuantitatif dalam bentuk Citra Landsat TM7 bersumber dari Kementerian Kehutanan digunakan untuk menghitung luas lahan berhutan yang dibuka menjadi non-hutan dan dianalisis secara spasial dengan menggunakan prosedur baku SNI 8803:2014 (Anonimus 2014). Tahapan yang dilakukan pada prosedur SNI 8803:2014 adalah sebagai berikut:

1. Kelas hutan berdasarkan citra satelit

Kenampakan berwarna hijau dan tingkat kecerahan sedang sampai gelap, tekstur halus sampai sedang pada citra satelit optik resolusi sedang yang dihasilkan dari kombinasi Red Green Blue (RGB), R diisi dengan kanal infra merah gelombang pendek/Short-wavelength infrared (SWIR), G diisi dengan kanal inframerah dekat/Near Infrared (NIR), B diisi dengan kanal merah/Red (R)

1.1. Hutan

Kenampakan pada citra satelit berwarna hijau dan tingkat kecerahan muda sampai agak gelap, tekstur halus sampai agak kasar

1.2. Hutan alam

Kenampakan pada citra satelit berwarna hijau dan tingkat kecerahan muda sampai agak gelap, tekstur sedang

1.3. Hutan lahan kering

Kenampakan pada citra satelit hutan berwarna hijau dengan tingkat kecerahan sedang, serta tekstur sedang sampai dengan agak kasar

1.4. Hutan mangrove

Kenampakan pada citra satelit hutan berwarna hijau dengan tingkat kecerahan gelap, dan tekstur agak kasar yang letaknya di tepi laut

1.5. Hutan rawa

Kenampakan pada citra satelit berwarna hijau dengan tingkat kecerahan gelap sampai sangat gelap, dan tekstur halus sampai agak halus

1.6. Hutan tanaman

(30)

12

halus untuk tanaman muda, biasanya mempunyai pola yang teratur (petak-petak) dengan jaringan jalan yang jelas

2. Perubahan Tutupan Hutan

Perubahan luas tutupan hutan dari waktu awal pengamatan (T0) ke waktu akhir pengamatan (T1)

2.1. Tutupan hutan

Tutupan biofisik pada permukaan bumi berupa hutan 2.2. Tutupan tidak berhutan

Bentuk tutupan selain hutan, antara lain berupa belukar, belukar rawa, savana/padang rumput, perkebunan, budidaya pertanian, tanah terbuka, rawa, tubuh air, dan areal terbangun

2.3. Verifikasi tutupan hutan

Kegiatan untuk mengetahui kebenaran hasil deliniasi tutupan hutan dengan kenyataannya di lapangan

3. Metode pengukuran dan penghitungan perubahan tutupan hutan 3.1. Prinsip

Menghitung tingkat perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual pada periode tertentu.

3.2. Sumber data: Citra penginderaan jauh 4. Pengolahan Data

4.1. Kegiatan persiapan 4.2. Kegiatan penafsiran

5. Analisis perubahan tutupan hutan 5.1. Pengelompokan kelas

Kegiatan untuk mengelompokkan beberapa kelas penutup lahan menjadi suatu kelompok tertentu. Kelas penutupan lahan dikelompokkan menjadi kelas tutupan hutan dan kelas

tutupan tidak berhutan.

5.2. Penghitungan perubahan tutupan hutan 5.2.1 Analisis spasial

a. melakukan tumpang susun (overlay) kelas penutupan lahan pada waktu pengamatan awal (T0) dengan kelas penutupan lahan pada waktu berikutnya (T1),

b. melakukan analisis objek yang tidak berubah (pada T0 dan T1) dan yang berubah (objek pada T0 dan T1 tidak sama),

c. melakukan penghitungan luasan pada setiap objek yang mengalami perubahan (baik yang mengalami perubahan dari hutan menjadi bukan hutan maupun sebaliknya) dan yang tidak mengalami perubahan.

5.2.2 Analisis tabular

(31)

b. melakukan penghitungan perubahan luasan pada kelas tutupan hutan dan kelas tutupan tidak berhutan pada dua waktu pengamatan, c. melakukan penghitungan luas perubahan tutupan hutan dengan

menggunakan rumussebagai berikut:

Keterangan:

PTH adalah perubahan tutupan hutan per tahun pada periode tertentu, dinyatakan dalam luas per tahun (ha/tahun);

A0 adalah luas hutan pada waktu pengamatan awal, dinyatakan dalam hektar (ha);

A1 adalah luas hutan pada waktu pengamatan akhir, dinyatakan dalam hektar (ha);

T0 adalah tahun pengamatan awal; T1 adalah tahun pengamatan akhir.

catatan: Apabila PTH bernilai positif berarti terjadi penambahan tutupan hutan sedangkan apabila PTH bernilai negatif berarti terjadi pengurangan tutupan hutan

6. Penyajian hasil analisis 6.1. Penyajian spasial

Penyajian spasial dilakukan dengan menampilkan areal-areal yang mengalami perubahan tutupan hutan di atas peta dasar yang telah dilengkapi dengan informasi tematik tutupan lahan. Peta hasil analisis perubahan tutupan hutan disajikan pada skala 1:250.000 sesuai dengan SNI 6502.4.

6.2. Penyajian tabular

Penyajian tabular dilakukan dengan menyusun luasan tiap kelas tutupan lahan atau kelompok kelas tutupan lahan pada T0 dan T1 serta

perhitungan perubahannya disajikan pada Lampiran C.

Hasil analisis spasial tentang terjadinya perubahan luas tutupan hutan ditelusuri penyebabnya dengan menggunakan metode snowballing, untuk mengetahui aktor, yang mempengaruhi terjadinya perubahan kondisi hutan. Aktor tersebut merupakan sekelompok masyarakat yang memiliki kepentingan tertentu terhadap manfaat hutan dan terorganisasi melalui aturan tertentu untuk mencapai tujuan dari pemanfaatan hutan. Berdasarkan kepemilikan hak atas hutan dan sumberdaya lahan, aktor tersebut dapat dibedakan sebagai kelompok, yaitu pemerintah, non-pemerintah atau organisasi sipil masyarakat, pengusaha serta kelompok masyarakat setempat (Grimble dan Wellard 1997).

(32)

14

Kelompok pengusaha memiliki hak untuk menggunakan manfaat ekonomi dari hutan (user of rights) sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh pemerintah agar dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan oleh UUD 1945. Kelompok ini terbagi menjadi pengusaha dari pusat atau nasional dan pengusaha lokal, sesuai dengan asal usul hak yang diterimanya.

Kelompok organisasi masyarakat sipil atau CSO (civil society organization) berkepentingan menggunakan manfaat hutan guna memperjuangkan ideologi atau keyakinan tertentu akan manfaat dari hutan. Berdasarkan konstituen yang dimilikinya, kelompok ini dapat dibedakan sebagai CSO lokal, regional ataupun nasional/global.

Sedangkan masyarakat setempat merupakan kelompok yang hak-haknya terhadap sumberdaya alam diakui oleh masyarakat luas tetapi digolongkan sebagai informal berdasarkan ketentuan negara. Kelompok masyarakat ini umumnya dikenal sebagai masyarakat adat.

Perubahan kondisi hutan sebagai akibat dari perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam digali melalui wawancara mendalam dengan aktor yang dilengkapi dengan pengamatan terlibat. Wawancara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui realitas sosial tentang kondisi hutan dan kondisi pengelolaan hutan dari pandangan aktor pengguna hutan (Suhardjito 2014). Sumberdaya aktor dalam memanfaatkan hutan ditelusuri dalam hubungannya dengan a.l kedudukan sosial, finansial, tenaga kerja, identitas, pengetahuan, dan teknologi yang digunakan (Ribot dan Peluso 2003).

Realitas sosial yang dipahami oleh aktor divalidasi dengan data sekunder yang berasal dari dokumen peraturan tentang pengelolaan hutan. Dokumen tersebut memuat informasi tentang sumber aturan pengelolaan hutan yang berasal dari kepemilikan hak atas lahan dan hutan, tujuan dari penggunaan hutan serta instrumen yang digunakan, serta struktur organisasi yang digunakan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan. Dokumen tersebut mencerminkan aturan formal tentang pengelolaan hutan.

Perubahan aturan yang mempengaruhi kewenangan dalam mengelola hutan diidentifikasi sebagai berkembangnya institusi formal. Perkembangan rules in used yang mempengaruhi kondisi hutan didiskusikan dengan mengemukakan de jure pengelolaan hutan dalam hubungannya dengan de facto, kenyataan empiris di lapangan.

Validasi Data

(33)

Tabel 1 Teori yang Digunakan, Pengumpulan dan Analisis Data pada Masing-Masing Tujuan Penelitian

No. Tujuan

Penelitian Teori Data

(34)

16

2

SITUASI PENGELOLAAN HUTAN DI KABUPATEN

PASER

Gambaran Umum Kabupaten Paser

Pada abad ke XV, sebelum pembentukan negara Republik Indonesia, wilayah Paser berada di bawah kekuasaan kerajaan Sadurangas. Wilayah tersebut diambil alih oleh kekuasaan kerajaan Sultan Adam yang berkedudukan di Kalimantan Selatan, pada abad ke XVIII. Pengaruh Islam yang dibawa dari Kalimantan Selatan tersebut bercampur dengan tradisi Dayak, yang membedakan Kabupaten Paser dari wilayah lain di Kalimantan Timur.

Propinsi Kalimantan Timur ditetapkan pada tahun 1956. Wilayah administratif Kabupaten Paser ditetapkan pada tahun 1959, setelah turbulensi politik di awal masa kemerdekaan NKRI. Pada saat yang bersamaan, dibentuk tiga kabupaten (Bulungan, Kutai, Berau) dan dua kotamadya (Samarinda, Tarakan) sebagai bagian dari wilayah dari Propinsi Kalimantan Timur. Pada tahun 2001, Kabupaten Paser mengalami pemekaran dan berbagi wilayah administrasi dengan Kabupaten Penajam Paser Utara. Pemekaran sebelumnya dilakukan di tahun 1999 melalui pembentukan empat kabupaten baru (Malinau, Kutai Barat, Kutai Timur dan Kutai Kertanegara) dan dua kotamadya (Tarakan dan Bontang). Pada saat ini, kabupaten Paser merupakan salah satu dari 13 kabupaten yang menjadi bagian dari wilayah propinsi Kalimantan Timur.

Letak Kabupaten Paser berada di ujung selatan dari propinsi Kalimantan Timur, dengan luas wilayah administrasi yang mencapai hampir 1,5 juta hektar. Batas administrasi kabupaten berbagi dengan propinsi Kalimantan Selatan serta propinsi Kalimantan Tengah di bagian Barat, di bagian Utara berbatasan dengan Balikpapan dan kabupaten Penajam Paser Utara, serta berbatasan dengan kabupaten Kutai Barat dan selat Malaka di bagian Timur.

(35)

Jumlah penduduk pada tahun 1996 mencapai 267.000 jiwa, dan menurut Statistik Kabupaten Paser pada tahun 2008 jumlah tersebut mencapai 196,214 jiwa. Seiring dengan terjadinya pemekaran wilayah administrasi menjadi Kabupaten Penajam Paser Utara, wilayah Kabupaten Paser dan jumlah penduduknya mengalami penurunan. Penduduk tersebar di 10 wilayah kecamatan, masing-masing kecamatan Batu Sopang, Muara Samu, Tanjung Harapan, Batu Engau, Pasir Belengkong, Tanah Grogot, Kuaro, Long Ikis, Muara Komam dan Long Kali.

Masyarakat Kabupaten Pasir beragam dalam hal latar belakang etnis, dengan suku Dayak dan Pasir sebagai orang asli dan pendatang sebagian besar dari daerah Jawa, Bugis Sulawesi serta Banjar dari Kalimantan Selatan. Layaknya di wilayah Kalimantan lainnya, sebelum diproklamirkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia sebagian besar wilayah Kabupaten Pasir merupakan bagian dari wilayah kerajaan yang disebut Kerajaan Sadurangas. Di kemudian hari Kerajaan Sultan Adam di Kalimantan Selatan mengambil alih wilayah ini. Setelah kemerdekaan dan turbulensi yang mempengaruhi situasi ekonomi dan politik nasional di tahun 1950an, Kabupaten Pasir dibentuk pada tahun 1959 bersamaan dengan dibentuknya Kabupaten Bulungan, Kutai dan Berau, serta kotamadya Samarinda dan Tarakan sebagai bagian dari propinsi Kalimantan Timur yang dibentuk pada tahun 1956. Di awal masa desentralisasi tahun 2001, Kabupaten Pasir dimekarkan dan menjadikannya berbagi wilayah administrasi dengan Kabupaten Penajam Pasir Utara.

Penggunaan Lahan dan Hutan

Luas lahan di Kabupaten Paser pada awal pembentukannya di tahun 1959 meliputi 1,5 juta hektar. Luas lahan tersebut berkurang menjadi 1,1 juta hektar dikarenakan pembentukan wilayah administratip baru melalui pemekaran kabupaten baru Penajam Paser Utara pada tahun 2001. Sebagian besar wilayah kabupaten Paser merupakan kawasan hutan yang lahannya dimiliki oleh negara dan ditunjuk melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1983. Kawasan hutan dikelola sesuai dengan fungsi hutan yang dikelompokkan masing-masing dengan luas hutan sebagaimana dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Pembagian luas kawasan berdasarkan TGHK 1983

Fungsi hutan Luas kawasan (ha)

Hutan lindung 109.000

Hutan Konservasi 169.000

Hutan Produksi 683.200

- (Hutan Produksi Terbatas) (172.000)

- (Hutan Produksi Konversi) (370.000)

(36)

18

Keberadaan hutan diperlukan untuk menjaga pasokan air bagi sungai besar dan sungai kecil yang mengalir di sepanjang DAS Telake, Adang, Kuaro, Kandilo dan Kerang serta sub DAS lain yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Peran hutan juga penting untuk mempertahankan hak-hak negara atas hutan dan hasil hutan sebagaimana dinyatakan di dalam PP Perlindungan Hutan No. 28/1985. Hutan di kabupaten Paser dikelola sesuai dengan fungsi hutan yang ditetapkan pada masing-masing kawasan hutan.

Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung

Kawasan hutan lindung seluas 109.000 hektar digunakan untuk perlindungan tata air dan kesuburan tanah. Kawasan ini, secara de jure dikelola oleh pemerintah daerah. Dalam kenyataannya kawasan ini dikelola oleh komunitas lokal dengan menggunakan aturan adat. HL Gunung Lumut, HL Gunung Samu serta HL lainnya merupakan contoh dimana adat berlaku untuk mengatur kehidupan warga dalam menggunakan sumberdaya alam. HL Gunung Lumut yang memiliki ketinggian 1.888 meter dari permukaan laut merupakan contoh nyata dimana masyarakat setempat mengelola fungsi lindung dari hutan dengan menggunakan aturan adat.

Hutan di daerah ini merupakan sumber penghidupan bagi empat desa yang berada di tiga kecamatan yaitu Muara Komam, Batu Sopang dan Long Kali. Pemukiman di empat desa yang berbatasan langsung dengan Gunung Lumut adalah kampong Muluy, Swan Slotung, Long Sayo, Rantau Layung, Pinang Jatus dan Lambakan. Dari keenam perkampungan tersebut kampung Muluy berada pada bagian paling hulu dari sungai Muluy yang merupakan salah satu anak sungai yang mengalir ke dalam wilayah Daerah Aliran Sungai atau DAS Telake.

Gambar 2 Anak Suku Muluy memulai aktifitas pagi hari di Sungai Muluy (sumber: www.mongabay.co.id)

(37)

Sanksi adat diberlakukan untuk memperkuat nilai-nilai sosial dari penggunaan hutan, sehingga masyarakat merasakan manfaat dari adanya hutan dan merasakan adanya saling percaya untuk tetap saling menjaga keberadaan hutan4.

Pengelolaan Kawasan Hutan Konservasi

Kawasan hutan konservasi seluas 169.000 ha dikelola oleh unit pelaksana teknis (UPT) dari Pusat yaitu Balai Konservasi Sumber daya Alam (BKSDA) yang berkedudukan di Samarinda. Kawasan ini ditetapkan sebagai cagar alam untuk mempertahankan keberadaan hutan mangrove dalam melindungi abrasi air laut serta menyediakan habitat bagi berkembang biaknya berbagai jenis ikan, kepiting, dan udang, juga satwa liar (SK Menteri Pertanian No. 24/Kpts/Um/1983). Satwa unik penghuni ekosistem mangrove antara lain adalah burung elang bondol (Halistur indus), burung raja udang (Halcyon chloris), belibis (Dendrocygna sp), teruwok (Amaurornis phoenicurus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), dan juga satwa dilindungi seperti buaya muara dan bekantan. Kawasan ini juga merupakan mata pencaharian bagi 13 desa yang menggantungkan kehidupannya sebagai nelayan dan memenuhi kebutuhannya dari usaha tambak ikan dan udang. Penetapan Teluk Adang sebagai kawasan konservasi membatasi akses penduduk untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir, serta memutus kesempatan penduduk untuk memperoleh infrastruktur pembangunan antara lain fasilitas kesehatan, jalan dan juga pendidikan. Keberadaan kawasan konservasi merupakan dilemma bagi pemerintah daerah. Tuntutan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam kawasan terkendala oleh aturan kehutanan yang mengutamakan intervensi manusia seminimal mungkin guna melindungi kelestarian alam.

Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi

Kawasam hutan produksi meliputi luas 683.000 ha, yang dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan kelerengan lahan serta produktivitas hutan dalam menghasilkan kayu. Hutan Produksi Terbatas meliputi luas 172.000 ha, sedangkan Hutan Produksi yang dapat dikonversi meliputi luas 370.000 ha yang dapat dialih-gunakan untuk penggunaan non-kehutanan dikarenakan produktivitas lahannya yang rendah dalam menghasilkan kayu, yaitu kurang dari 20 m3/ha.

Kawasan hutan produksi sudah digunakan semenjak tahun 1970 sebagai modal untuk pembangunan nasional. Pemerintah memberikan hak pengusahaan hutan (HPH) kepada empat perusahaan HPH dengan luas masing-masing sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Hak pengusahaan hutan tersebut diatur melalui UUPK No. 5/1967 yang dilaksanakan melalui UU Penanaman Modal Asing No. 1/1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri No. 8/1968.

(38)

20

Tabel 3 Daftar nama pemegang ijin HPH hutan alam dan luas usaha yang diberikan di Kabupaten Paser pada tahun 1970

Jenis Usaha dan Nama Perusahaan Tahun mulai usaha Luas areal usaha (ha) HPH Hutan

Alam

PT. Balikpapan Forest Industri (BFI)

1970 174.600

PT. Telaga Mas 1970 124.600

PT. ITCI 1970 283.000

PT. Inne DongHwa 1970 108.000

Total luas HPH tahun 1970 690.200

Penebangan hutan oleh HPH dilakukan melalui pemberian Jatah Penebangan Tahunan (JPT), yang kuotanya ditentukan oleh Departemen Kehutanan berdasarkan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia.

Gambar 3 Houling logging masih terlihat di kampong Muluy (Sumber: www.mongabay.co.id)

Kontrol terhadap pengelolaan hutan dilakukan melalui Dinas Kehutanan Propinsi yang pada tahun 1975 membentuk kantor Cabang Dinas Kehutanan (CDK) setelah diterbitkannya UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Berbeda dengan wilayah kerja pemerintahan yang dibatasi secara administratip, wilayah kerja CDK dibatasi oleh batas alam punggung gunung dari daerah aliran sungai (DAS).

(39)

Tabel 4 Wilayah kerja Cabang Dinas Kehutanan dalam hubungannya dengan wilayah administratip pemerintahan Kabupaten di propinsi Kalimantan Timur.

Perkembangan Luas Hutan

Berdasarkan hasil analisis spasial, hutan di kabupaten Paser berada di dalam dan juga di luar kawasan hutan. Hutan tersebut mulai dibuka secara besar-besaran menjelang tahun 2000. Pembukaan hutan yang ada di dalam kawasan berlangsung pada semua fungsi hutan dengan kawasan hutan konservasi yang dibuka paling luas yaitu seluas 10.219,18 ha. Pembukaan hutan yang berlangsung pada kawasan HPT meliputi luas 5.496,83 ha, sedangkan di kawasan HP hutan dibuka seluas 1.822,21 ha. Di lokasi non-kawasan hutan atau APL, luas hutan yang dibuka mencapai 24.713,74 ha.

Pembukaan hutan berlanjut setelah tahun 2000, dimana pembukaan hutan di lahan APL terus meningkat hingga tahun 2006 dan diikuti dengan pembukaan hutan di kawasan HP sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4 dan 5 berikut ini.

Kabupaten Cabang Dinas Kehutanan Propinsi (CDK)

Bulungan Bulungan Tengah Bulungan Utara Bulungan Selatan Berau

Kutai Samarinda

Berau

Sangkulirang Mahakam Ulu Mahakam Tengah Mahakam Ilir Balikpapan Balikpapan

(40)

22

Gambar 4. Luas lahan berhutan yang dibuka menjadi non-hutan di Kabupaten Paser

Gambar 5 Luas lahan berhutan yang dibuka di dalam kawasan hutan

Akibat dari adanya pembukaan hutan yang terus menerus, lanskap hutan yang awalnya mendominasi kabupaten Paser digantikan dengan meluasnya vegetasi belukar, perkebunan dan tanah terbuka serta tambang yang sebarannya dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000

1990-2000 2000-2003 2003-2006 2006-2009 2009-2011

Tahun

KH

NKH-APL

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000

1990-2000 2000-2003 2003-2006 2006-2009 2009-2011

Tahun

KSPA

HPT

HP

(41)

Gambar 6 Luas lahan belukar, tanah terbuka, perkebunan, tambak, pertambangan dan lain-lain yang diakibatkan dari pembukaan hutan pada masing-masing fungsi hutan di Kabupaten Paser

Dampak dari perubahan lanskap dan penggunaan lahan di kabupaten Paser di kabupaten mempengaruhi sumber-sumber pendapatan daerah yang menurut Laporan Statistik tahun 2010 pendapatan dari tambang mencapai 21% dari PDRB, sedangkan dari sektor kehutanan mencepai -3%. Artinya, di tahun 2010, kontribusi sektor kehutanan terutama cukup untuk membiayai pegawai. Dalam hal ini, terjadi perubahan yang mendasar dalam hal sumber-sumber pembangunan daerah. Sumber pembangunan dari kehutanan digantikan oleh perkebunan dan saat ini diambil alih oleh pertambangan.

Simpulan

Lahan di kabupaten Paser yang awalnya digunakan untuk produksi kayu dari hutan mengalami perubahan setelah berlangsungnya krisis ekonomi dan reformasi politik. Pembukaan hutan digunakan untuk mengembangkan komoditas non-kehutanan yang terutama digunakan untuk keperluan ekspor. Berkembangnya budidaya perkebunan kelapa sawit, usaha tambak dan pertambangan batu bara yang dilakukan dengan membuka hutan perlu diketahui penyebabnya mengingat pentingnya hutan tersebut dari aspek ekologi, sosial-ekonomi maupun aspek politik.

0.00 5,000.00 10,000.00 15,000.00 20,000.00 25,000.00 30,000.00 35,000.00 40,000.00

APL

HL

HP

HPT

(42)

24

3

FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN LUAS LAHAN

BERHUTAN DI KABUPATEN PASER

Pembukaan hutan di Kabupaten Paser yang meningkat di saat diterbitkannya kebijakan desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam perlu diketaui penyebabnya mengingat kebijakan ini bermaksud menggalang masyarakat berpartisipasi dalam mengelola sumber daya alam agar sumberdaya tersebut dapat digunakan secara lestari.

Hasil analisis aktor menunjukkan bahwa pembukaan hutan difasilitasi oleh adanya kondisi hutan yang de facto open akses dan digunakan oleh berbagai kepentingan untuk memperoleh keuntungan dari situasi perekonomian nasional yang dilanda krisis serta situasi politik yang kaotik di tingkat nasional dan juga daerah. Akibatnya, kerusakan hutan di Kabupaten Paser meluas dikarenakan berkembangnya usaha tambak, perkebunan kelapa sawit dan tambang, serta meluasnya usaha kehutanan yang terutama melakukan penebangan hutan.

Perluasan Tambak di Kawasan Konservasi

Tambak di dalam kawasan konservasi Teluk Adang dan Teluk Apar sudah ada sebelum penunjukkan kawasan konservasi melalui TGHK 1983 dan penetapannya sebagai cagar alam. Daerah pesisir ini digunakan oleh pendatang yang menetap di lokasi ini melalui program transmigrasi secara terkoordinasi maupun secara individual. Pengembangan usaha tambak dilakukan oleh penduduk bekerjasama dengan pendatang yang berlaku sebagai investor atau pembawa modal. Berkembangnya tambak mendorong pemerintah (propinsi dan kabupaten) untuk membangun wilayah pesisir dengan memperbaiki sarana dan prasarana kesehatan serta pendidikan.

Krisis ekonomi menjadi momentum untuk membuka kawasan konservasi bagi investasi tambak serta melaksanakan pembangunan wilayah pesisir. Usaha tambak dikembangkan tidak hanya oleh penduduk lokal, tetapi juga oleh pendatang dari luar daerah. Hutan mangrove dibuka dengan menggunakan surat SPPT (Surat Pernyataan Pengelolaan Tanah), yang diketahui dan ditandatangani kepala desa dan camat. Ironisnya, SPPT ini justru oleh para petambak tidak saja dijadikan bukti kepemilikan lahan, juga untuk menjarah hutan mangrove seluas-luasnya. Mudahnya mendapatkan SPPT itu terkait dengan melonjaknya kenaikan harga udang dan adanya persaingan antara beberapa perusahaan ekspor udang beku di Samarinda dan Balikpapan dan berani memberikan modal kepada para petambak. Akibatnya, usaha tambak meluas di wilayah Teluk Adang dan Teluk Apar hingga Teluk Balikpapan yang berlanjut hingga Delta Mahakam. Tambak masyarakat yang awalnya dibatasi luasnya 4000 ha, menjadi tidak terkontrol dengan dibukanya hutan mangrove seluas 10.000 ha menjelang tahun 2000. Kerusakan hutan tersebut diperparah dengan sampah dari tambak, jual beli satwa liar, serta digunakannya kawasan konservasi untuk pembangunan pemukiman, pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya, serta pembangunan pelabuhan.

(43)

dengan Pemerintah Propinsi untuk membangun jalan, memberdayakan ekonomi masyarakat pesisir, membuat saluran kanal pendukung tambak dan memberikan kredit serta bantuan sarana prasarana untuk menangkap ikan dengan menggunakan dana APBN/APBD. Pemukiman di dalam kawasan konservasi diperbaiki dengan memberikan sarana listrik serta air bersih.

Berkembangnya pembangunan di wilayah pesisir membuat khawatir sektor Perhubungan, yang merasa terancam asetnya dan kepentingannya untuk membangun Pelabuhan Tanah Grogot. Batas daerah lingkungan kerja dan lingkungan kepentingan bagi pembangunan pelabuhan, yang sebagian berada di dalam kawasan konservasi, dideklarasikan ulang melalui SK Menteri Perhubungan No. KM 11 tahun 2000. Kawasan hutan di Paser semakin terfragmentasi dengan digunakannya kandungan minyak bumi dan potensi tambang untuk mendorong pemekaran wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) terpisah dari Kabupaten Paser melalui UU No. 7/2002. Fungsi hutan sebagai pelindung tata air, konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, serta fungsi produksi kayu semakin terbagi-bagi oleh batas wilayah administrasi yang terus berkembang dari pemekaran kabupaten hingga pemekaran desa.

Perluasan Kebun Kelapa Sawit Menggantikan Tutupan Hutan

Perkebunan di Kalimantan Timur sudah diperkenalkan semenjak masa kolonial, melalui introduksi komoditas karet, kakao, lada dan kopi yang ditanam dengan membuka hutan. Sampai dengan tahun 1990 usaha perkebunan lambat berkembang karena terbatasnya lahan, infrastruktur, tenaga kerja serta harga jual komoditas yang tidak mampu menyaingi produk kayu yang pada saat itu masih melimpah. Pada masa itu, komoditas perkebunan pantang untuk ditanam dan dikembangkan di dalam kawasan hutan.

Dengan berakhirnya masa konsesi HPH di awal tahun 1990 membuka pintu masuk bagi perkebunan untuk berkembang melalui kondisi kawasan hutan yang open akses, serta penggunaan tanaman kelapa sawit sebagai insentif pembangunan HTI. Di Kabupaten Paser, hal ini dilakukan melalui skema HTI Trans Patungan PT. Belantara Subur seluas 16.400 ha (Permenhut 375/Kpts-2/1996). Modal pemerintah ditanamkan ke dalam perusahaan patungan BUMN dengan BUMS ini dengan mengikutsertakan PT. Inhutani I ke dalam pengelolaannya. Selain dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi hutan, skema HTI-Patungan digunakan untuk menyediakan lapangan kerja dan membuka lapangan usaha melalui penanaman kelapa sawit di lahan usaha peserta HTI-Trans5. Pola HTI Trans Patungan melibatkan Departemen Transmigrasi untuk mengatasi kesulitan tenaga kerja dengan mendatangkan transmigran dari daerah Indonesia bagian Timur.

Pada saat pengambilan data di tahun 2002, kebakaran hutan melanda areal lahan usaha yang ditanami dengan kelapa sawit dan perusahaan menghadapi tuntutan ganti rugi dari peserta HTI-Trans yang berakhir dengan pemutusan hubungan kerja pegawai perusahaan.

Sementara pengembangan tanaman kelapa sawit yang digunakan sebagai insentif bagi pembangunan hutan tanaman terkendala oleh kebakaran, perkebunan sawit berkembang di luar kawasan hutan menggantikan lahan berhutan yang

Gambar

Gambar 1 Lokasi Kabupaten Paser sebagai bagian dari Propinsi Kalimantan
Tabel 2 Pembagian luas kawasan berdasarkan TGHK 1983
Gambar 4. Luas lahan berhutan yang dibuka menjadi non-hutan di Kabupaten Paser
Gambar 7 Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan di
+6

Referensi

Dokumen terkait

dan berkeinginan untuk membangun kehidupan keluarga yanag lebih stabil, mereka membutuhkan konseling. Konseling keluarga menjadi efektif untuk mengatasi masalah-masalah

Bila sebuah perangkat dengan protokol IPv6 ingin terhubung dengan internet, maka router yang dilewatinya haruslah mempunyai konfigurasi yang mendukung protokol

Kebiasaan dalam pengelolaan pembuatan kue rumahan di Desa Lampanah memiliki kebiasaan kurang baik, hal ini di sebabkan karena pengelolaan kue rumahan oleh

Melalui prosedur yang benar peneliti mencari waktu luang subjek yang peneliti kehendaki untuk melakukan observasi secara langsung, wawancara kepada kepala KUA dan

Hasil dari penelitian ini yaitu; (1) menghasilkan komik yang memiliki karakteristik berbasis desain grafis, dan berisi materi Besaran dan Satuan SMP kelas VII SMP, dan

[r]

Sedangkan pada opsi put Eropa, writer juga dapat mengalami kerugian jika yang terjadi pada saat maturity time adalah strike price lebih besar dibanding harga

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama