• Tidak ada hasil yang ditemukan

ayat-ayat tentang objek pendidikan TUGAS MAKALAH HADIS TARBAWI AYAT-AYAT TENTANG OBJEK PENDIDIKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ayat-ayat tentang objek pendidikan TUGAS MAKALAH HADIS TARBAWI AYAT-AYAT TENTANG OBJEK PENDIDIKAN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

TUGAS

MAKALAH

HADIS TARBAWI

AYAT-AYAT TENTANG OBJEK PENDIDIKAN

KELOMPOK IV :

Ervira

Irfan

Riani

INSTITUT AGAMA ISLAM HAMJANWADI PANCOR

LOMBOK TIMUR

TAHUN AJARAN 2011-2012

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirroham....

(5)

dari sempurna, oleh karena itu, kami mengaharapkan bimbingan serta kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah kami ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaan bagi kami khususnya, dan bagi mahasiswa-mahasiswi iaih PANCOR.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... I

KATA PENGANTAR ... . II

DAFTAR ISI ... . III

BAB 1 PENDAHULUAN ... . 1

A. Latar belakang... 1

(6)

Tafsir Ayat-ayat tentang Obyek Pendidikan... 2

Kandungan surat At-Tahrim Ayat 6... 3

Tafsiran surat at-taubah ayat 122... 5

Tafsir surat an-nisa ayat 170... 6

BAB 3 PENUTUP ... 6

KESIMPULAN ... 6

DAFTAR PISTAKA ... 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai penduduk utama dalam pembangunan. Untuk memahami sumber daya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting, hal ini sesuai dengan uu no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk katakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

Tafsir Ayat-Ayat Tentang Objek Pendidikan

Ayat-ayat tentang objek pendidikan dapat ditemukan di beberapa ayat berikut ini: At-Tahrim: 6, Asy-Syu’ara: 214, At-Taubah: 122, An-Nisa’: 170. ayat-ayat ini secara seimbang berada di surat Makkiyah dan Madaniyah. - Ayat-ayat Makkiyah dalam ruang lingkup keluarga dan kerabat, sedangkan yang spesifik dan umum berada di ayat Madaniyah. - Definisi Objek ( peserta didik): peserta didik bersifat umum lintas usia, agama, jenis kelamin,status sosial, budaya dsb karena ajaran Islam berlaku untuk semua manusia tanpa terkecuali (An-Nahl: 125, Shad: 87) - Klasifikasi peserta didik sangat terkait dengan lembaga pendidikan yang ada, baik yang informal, formal dan nonformal. - At-Tahrim: 6: Keluarga sebagai objek pendidikan pertama dan utama. Kata ’Ahl’ berarti keluarga kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak-anak. - Asy-Syu’ara: 214: Keluarga besar termasuk di dalamnya kerabat yang diistilahkan dengan ’Asyirah’. - At-Taubah: 122: komunitas formal yang melakukan pengkajian ilmu secara intens yang diistilahkan dengan terminologi ’tha’ifah’( sekelompok kecil dari masyarakat). Dapat dikatakan inilah peserta didik formal yang secara spesifik memiliki tanggung jawab ilmiyah dan moral untuk memberi pengajaran kepada masyarakatnya. - An-Nisa’: 170: seluruh masyarakat secara umum. - Etika dan sifat peserta didik (potensi positif dan negatif),

(8)

kandungan Surah At Tahrim Ayat 6

artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Tafsir Ibnu Katsir

Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala, اررانن ممككيللهمأنون ممككسنفكنمأن اوقك “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan : “Bertaqwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan Qatadah mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.”

Demikian itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana mereka mengatakan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya.

Tafsir dari Departemen Agama Pemerintah Indonesia

Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah untuk

menyelamatkan mereka dari api neraka.

(9)

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya (Q.S Taha: 132).

Dijelaskan pula dengan firman-Ny artinya ; Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu’ara’: 214).

Dari uraian diatas, dapat kita ambil poin-poin penting yang dapat kita jadikan pegangan dalam membina diri sendiri dan orang lain :

1. Niat yang lurus, semata-mata demi meraih ridha Allah subhanahu wa ta’ala, melaksanakan syari’ah islam dan melaksanakan da’wah.

2. Proses pembinaan dimulai dari diri sendiri. 3. Bekal ‘ilmu adalah yang utama

4. Taqwa adalah kunci dalam memelihara diri kita sendiri dan keluarga kita dari api neraka.

5. Proses pembinaan selanjutnya dimulai dari orang-orang dekat, dimulai dari keluarga sampai teman-teman dekat.

6. Kesabaran memegang peranan penting

Tafsir Surat At-Taubah Ayat 122

امموم

ن

م اك

م

ن

م وننممؤؤمنلؤا

اورنفمنؤيملم

ةةففاك

م

لموؤلمفم

رمفمنم

ن

ؤ مم

ل

ل ك

ن

ةةقمرؤفم

م

ؤ هننؤمم

ةةفمئماط

م

اوهنقففمتميملم

يفم

ن

م يدللا

اورنذمنؤينلموم

م

ؤ هنمموؤقم

اذمإم

اوعنجمرم

م

ؤ هميؤلمإم

م

ؤ هنلفعملم

ن

م ورنذمحؤيم

(10)

Dalam ayat ini, Allah swt. menerangkan bahwa tidak perlu semua orang mukmin berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.

Orang-orang yang berjuang di bidang pengetahuan, oleh agama Islam disamakan nilainya dengan orang-orang yang berjuang di medan perang. Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.

Menurut pengertian tersebut kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan mencerdaskan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan mereka dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban adalah wajib pula hukumnya.

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 170

Q.S.Al-Nisa:170

(11)

Mengetahui lagi Maha bijaksana.” (An-Nisa’ 170). Tafsiran Ayat Berdasarkan terjemahan surat di atas dapat penulis pahami bahwa Allah SWT memerintahkan seluruh manusia agar beriman kepada hamba-Nya dan rasul-Nya, Muhammad SAW dan Allah SWT menyebutkan sebab diharuskannya beriman kepadanya dan manfaat dari beriman kepadanya, serta kemuharatan yang akan didapatkan dengan tidak beriman kepadanya Adapun sebab yang mengharuskan untuk beriman adalah, kabar Allah bahwa ia

datang kepada mereka dengan membawa kebenaran.

Artinya, kedatangan berupa syariat itu sendiri adalah suatu kebenaran dan apa yang di bawanya berupa syariat adalah kebenaran. Seorang yang berakal akan mengetahui bahwa tetapnya orang dalam kejahilan mereka bingung dalam kekufuran mereka dan terus didera kebimbangan. Dan risalah telah terputus dari mereka dan tidak sesuai dengan hikmah Allah dan rahmatnya Di antara hikmah dan rahmat-Nya yang agung mengutus Rasul kepada mereka sendiri agar mengajarkan kepada mereka petunjuk dari kesesatan, dan menyimpang dari jalan lurus. Maka dengan hanya memandang pada kerasulannya itu adalah sebuha dalil yang kuat akan kebenaran-kenabiannya.

Demikain juga memperhatikan apa yang di bawa olehnya syariat yang agung dan jalan yang lurus. Di sana terdapat berita-bertia tentang hal-hal ghaib yang telah lampau dan yang akan datang dan kabar tentang Allah dari Hari Akhir yang tidak mungkin diketahui kecuali dengan

wahyu maupun kerasulan.

Juga terdapat perintah kepada segala kebaikan, keshalihan, kematangan, keadilan, berbuat baik, kejujuran, berbakti, silaturrahim dan akhlak yang terpuji, dan juga berupa larangan dari kejahatan, kerusakan, kezhaliman, melampau batas, akhlak yang jelek, berdusta dan durhaka, yang secara pasti dan sangat menyakinkan bahwa datangnya dari Allah dan setiap kali ilmu seseorang hamba bertambah karenanya, akan bertambah pula keimanan dan keyakinannya. Maka

inilah sebab yang mendorong kepada keimanan.

(12)

berupa kenikmatan, semua itu adalah sebab dari Iman, sebagaimana kesengsaraan duniawi dan ukhrawi adalah karena tidak adanya keimanan atau kekurangan Iman. Sedang mudharat karena tidak beriman kepada beliau akan diketahui dari perkara jyang berlawanan dengan akibat dari beriman kepadanya, dan bahwa seorang hamba itu tidaklah memudharatkan kecuali dirinya sendiri. Allah tidak membutuhkan dirinya, karena kemaksiatan seorang pelaku maksiat tidaklah akan

memudharakanNya. Karena itulah Allah berfirman :

“karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah”. Maksudnya, seluruhnya adalah ciptaanNya, kerajaanNya dan di bawah pengaturan dan pengelolaanNya. “Dan Allah Maha Mengetahui” akan segala sesuatu, “lagi maha bijaksana”dan dalam ciptaan dan perintahNya. Dia-lah Yang Maha Mengetahui orang yang berhak mendapatkan petunjuk dan kesesatan, Mahabijaksana dalam memberikan petunjuk dan kesesatan pada tempatnya masing-masing.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

(13)

TAFSIR OBJEK PENDIDIKAN

25 05 2012

ILMU TAFSIR_TAFSIR OBJEK PENDIDIKAN PENDAHULUAN

Al Qur’an, kitab umat Islam di seluruh dunia. Bukan hanya sekedar kumpulan lembaran-lembaran yang dibaca dan mendapatkan pahala dengan membacanya. Namun lebih dari itu, Al Qur’an merupakan mukjizat yang abadi sampai hari akhir nanti, bahkan Al qur’an memberikan hujjah dan sebagai penolong di hari perhitungan amal kelak. Di dalam Al Qur’an terdapat kandungan pengetahuan yang tiada tara. Baik yang tersurat ataupun yang masih tersirat. Umtuk mengetahui makna-makna dan hikmah-hikmah yang terdapat dalam Al Qur’an, perlu adanya penafsiran-penafsiran tentang ayat-ayatnya, dan semua itu terdapat dalam ilmu tafsir. Di antara ilmu-ilmu qur’an, tafsir merupakan ilmu yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Di dalamnya terhimpun tafsir dari sudut balaghoh, nahwu, shorof, asbab nuzul, munasabah, hadits, tarikh, dan lain sebagainya.

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an diperlukan adanya ilmu yang luas. Maka dalam makalah ini akan dicoba menguraikan tafsir tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan objek pedidikan, yakni QS. At Tahrim: 6, QS. Asy Syu’araa: 214, QS. At Taubah: 122, dan QS. An Nisaa’: 170. TAFSIR OBJEK PENDIDIKAN

A. QS. At Tahrim Ayat 6

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Dalam ayat ini terdapat lafadz perintah beruppa fi’il amr yang secara langsung dan tegas, yakni lafadz (peliharalah/ jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap orang Mu’min salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka.

Dalam tafsir jalalain proses penjagaan tersebut adalah dengan pelaksanaan perintah taat kepada Allah SWT.

Merupakan tanggung jawab setiap manusia untuk menjaga dirinya sendiri, serta keluarganya, sebab manusia merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan dimintai pertanggungjawabannya. Sebagaimana sabda Rosuloulloh SAW.

“Dari Ibnu Umar ra. Berkata: saya mendengar Rosululloh SAW. Bersabda: setiap dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas

kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanyai atas kepemimpinannya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanyai atas

kepemimpinannya….. (HR. Bukhary-Muslim)

(14)

“Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepadanya.

Maka jelas bahwa tugas manusia tidak hanya menjaga dirinya sendiri, namun juga keluarganya dari siksa neraka. Untuk dapat melaksanakan taat kepada Allah SWT, tentunya harus dengan menjalankan segala perintahNya, serta menjauhi segala laranganNya. Dan itu semua tak akan bisa terjadi tanpa adanya pendidikan syari’at. Maka disimpulkan bahwa keluarga juga

merupakan objek pendidikan.

Dilihat dari ayat itu sendiri terdapat hubungan antar kalimat (munasabah), bahwa manusia diharapkan seperti prilaku malaikat, yakni mengerjakan apa yang diperintah Allah SWT. Tafsiran: ayat ini menerangkan tentang ultimatum kepada kaum mu’minin (diri dan keluarganya) untuk tidak melakukan kemurtadan dengan lidahnya, meskipun hatinya tidak. Kesimpulan: ayat ini menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka, yang bisa disimpulkan juga merupakan untuk tarbiyah diri dan keluarga.

B. QS. Asy Syu’araa Ayat 214

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Q.S Asy Syu’ara': 214). Sesuai dengan ayat sebelumnya (QS. At Tahrim: 6) bahwa terdapat perintah langsung dengan fi’il amar (berilah peringatan). Namun perbedaannya adalah tentang objeknya, dimana dalam ayat ini adalah kerabat-kerabat.

”Al Aqrobyn” mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Mutalib, lalu Nabi saw. memberikan peringatan kepada mereka secara terang-terangan; demikianlah menurut keterangan hadis yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Namun hal ini bukan berarti khusus untuk Nabi SAW saja kepada Bani Hasyim dan Muthollib, tetapi juga untuk seluruh umat Islam. Sebab sesuai kaidah ushul fiqh:

”…dengan umumnya lafadz, bukan dengan khususnya sebab” Dilihat dari munasabah ayat, selanjutnya terdapat ayat ke-215

”Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (QS. Asy-Syu’araa: 215)

Jadi perintah ini juga berlaku untuk seluruh umat Islam.

(15)

dengarkanlah dan taatilah ia.” Mereka tertawa terbahak-bahak sambil berkata kepada Abu Thalib: “Kamu disuruh mendengar dan mentaati anakmu”

Umat Islam adalah saudara bagi yang lain, maka harus saling mendidik dan menasehati. Sebagaimana sabda Nabi SAW :

“ Dari Jarir Ibn Abdillah ra. Berkata: saya bersumpah setia kepada Rosululloh SAW untuk mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menasehati kepada setiap muslim”. (HR. Bukhory-Muslim)

Maka kerabat-kerabat kita terdekat merupakan juga objek dakwah dan tarbiyah. C. QS. At Taubah: 122

”Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah: 122)

Dalam ayat ini juga terdapat dua lafadz fi’il amar yang disertai dengan lam amar, yakni (supaya mereka memperdalam ilmu agama) dan lafadz (supaya mereka membari peringatan),yang berarti kewajiban untuk belajar dan mengajar.

Adapun proses belajar dan mengajar sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Sabda beliau:

”Dan darinya (Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rosululloh SAW bersabda: barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala orang yang mengikutinya tidak dikurangi sedikitpun dari padanya. (HR. Muslim)

Asbab nuzulnya adalah Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang kemudian Nabi saw. mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini: (Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi) ke medan perang (semuanya. Mengapa tidak) (pergi dari tiap-tiap golongan) suatu kabilah (di antara mereka beberapa orang) beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat (untuk memperdalam pengetahuan mereka)

yakni tetap tinggal di tempat (mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya) dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya (supaya mereka itu dapat menjaga dirinya) dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyah lantaran Nabi saw. tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada bila Nabi saw. berangkat ke suatu ghazwah.

(16)

perang)” (HR. Syaikhani) D. QS. An Nisaa’: 170

”Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan sedikitpun kepada Allah) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Qs. An Nisa’: 170)

Dalam ayat ini Allah menyeru kepada manusia untuk beriman, sebab sudah ada Rosul (Nabi Muhammad SAW) yang diutus untuk membawa syari’at yang benar.

Dalam tafsir disebutkan bahwa lafadz An Naas pada saat turunnya ayat adalah kepada ahli kafir Mekah.

Adapun manusia, karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyariyyah,maka dakwah dan tarbiyah kepada non muslim pun harus tetap dilakukan, tentunya dengan jalan yang baik. Nabi SAW bersabda:

”Dari Abdullah Ibn ’Amr Ibn Al Ash ra. Berkata, sesungguhnya Nabi SAW besabda: sampaikanlah dariku walau sat ayat…..” (HR. Bukhory)

Kesimpulan: Maka manusia baik yang muslim maupun non muslim merupakan objek dakwah dan tarbiyah. Namun disini perlu diluruskan, bahwa proses dakwah dan tarbiyah tidak harus dengan kekerasan dan perang, tetapi dengan jalan yang hikmah, mauidzoh hasanah, dan argumen yang bertanggung jawab.

PENUTUP KESIMPULAN

Pendidikan atau tarbiyah merupakan proses penting untuk melaksanakan taat kepada Allah SWT dan menggapai ridhonya, sebab belajar dan mengajar diwajibkan dalam Islam.

Manusia seluruhnya merupakan objek pendidikan (tarbiyah dan dakwah), namun perlu adanya prioritas untuk kedua hal tersebut, yaitu dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, kerabat, orang Islam, dan akhirnya kepada sesama manusia (non muslim)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sayyid Ahmad Hasyimi. 1971. Mukhtarul Ahaditsun Nabawiyyah. Surabaya: Haromain. 2. Drs. Moh. Harisuddin Cholil, M. Ag. 2009. Ushul Fiqh I. Kertosono: STAI Mifathul ‘Ula. 3. K. Ahmad Subhi Musyhadi. 1981. Misbahul Anam Syarh Bulughul Marom . Pekalongan: Maktabah Raja Murah

(17)

6. http://tafsirtematis.wordpress.com/kajian-lain/

7. http://c.1asphost.com/sibin/Alquran_Tafsir.asp?pageno=6&SuratKe=9#Top

makalah tafsir tentang potensi manusia

MAKALAH TAFSIR TARBAWI II

Di susun guna memenuhi tugas: Mata Kuliah: Tafsir Tarbawi II Dosen Pengampu: H. Sholahudin, M.Pd.

Di susun oleh:

1. Nailatus Sa’adah 2021 111 027 2. Reira Kurniasari 2021 111 049 3. Indah fitriyana 2021 111 054

4. Sobakha Nurul Khusna 2021 111 222 5. Mareta Sofiana 2021 111 273 6. Khumaidah 2021 111 277 7. Minhatul Afidah 2021 111 291 8. Kholis Arifah 2021 111 293

Kelas: F

(18)

(STAIN) PEKALONGAN 2013

AKTUALISASI NILAI AL QUR’AN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Point utama pembahasan ini adalah mencari upaya yang sungguh-sungguh agar pendidikan Islam menjadi pilihan utama bagi masyarakat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan akal pikiran dan sekaligus pencerdasan Qalbu merupakan langkah yang sangat efektif dalam membangun bangsa yang saat ini memerlukan generasi-generasi memiliki kecerdasan intelektual dan cerdas Qalbunya. Kedua kecerdasan ini hanya akan diperoleh bilamana lembaga pendidikan menggali dan menyalami nilai-nilai yang diajarkan Al-Qur’an dalam membangun kualitas Sumber Daya Umat (SDU) yang berkualitas dengan cara mengaktualisasikan nilai-nilai Qurani dalam system pendidikan Islam.

A. Al-Qur’an Sebagai Sumber Nilai

Al-Qur’an tidak hanya sebagai petunjuk bagi suatu umat tertentu dan untuk periode waktu tertentu, melainkan menjadi petunjuk yang universal dan sepanjang waktu. Al-Qur’an adalah eksis bagi setiap zaman dan tempat. Petunjuknya sangat luas seperti luasnya umat manusia dan meliputi segala aspek kehidupan.

Bukan saja ilmu-ilmu keislaman yang digali secara langsung dari Al-Qur’an, seperti ilmu tafsir, fikih dan Tauhid, akan tetapi Al-Qur’an juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, karena banyaks ekali isyarat-isyarat Al-Qur’an yang membicarakan peroalan-perosalan sains dan teknologi dan bidang keilmuan lainnya.

(19)

Tuntunan dan anjuran untuk mempelajari Al-Qur’an dan menggali kandungannya serta menyebarkan ajaran-ajarannya dalam praktek kehidupan masyarakat merupakan tuntunan yang tidak akan pernah habis. Menghadapi tantangan dunia modern yang bersifat sekuler dan materialistis, umat Islam dituntut untuk menunjukan bimbingan dan ajaran Al-Qur’an yang mampu memenuhi kekosongan nilai moral kemanusiaan dan spiritualitas, di samping membuktikan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang bersifat rasional dan mendorong umat manusia untuk mewujudkan kemajuan dan kemakmuran serta kesejahteraan. Banyak ungkapan Al-Qur’an yang secara langsung maupun tidak tersirat mengajarkan pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu alam, social dan humaniora. Meski bukan ilmu an-sich sebagai tujuan, tetapi dari semua isyarat tentang ilmu pengetahuan, yang diungkap oleh Al-Qur’an yang tidak dikenal pada masa turunnya, seperti dikatakan Dr. Aurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur’an, Bible dan Sains Modern, telah terbukti tak satupun yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern.

Isyarat Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dan kebenarannya sesuai dengan ilmu pengetahuan hanyalah salah satu bukti kemu’jizatannya. Ajaran Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas ilmu pengetahuan (science) yang bersifat fisik dan empiric sebagai fenomena, tetapi lebih dari itu ada hal-hal nomena yang tak terjangkau oleh rasio manusia (Q.S. 17:18, 30:7, 69:38-39). Dalam hal ini fungsi dan penerapan ilmu pengetahuan juga tidak hanya untuk kepentingan ilmu dan kehidupan manusia semata, tetapi lebih tinggi lagi untuk mengenal tanda-tanda, hakikat wujud dan kebesaran Allah SWT. serta mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu pengabdian kepada-Nya (Q.S. 2:164, 5:20-21, 41:53).

Nilai-nilai Qurani secara garis besar adalah nilai kebenaran (metafisis dan saintis) dan nilai moral. Kedua nilai Qur’ani ini akan memandu manusia dalam membina kehidupan dan penghidupannya.

B. Aktualisasi dalam Sistem Pendidikan Islam

(20)

Secara normative, tujuan yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek kehidupan yang harus dibina dan dikembangkan oleh pendidikan. Pertama, dimensi spiritual, yaitu iman, taqwa dan akhlak mulia (yang tercermin dalam ibadah dan mu’amalah). Dimensi spiritual ini tersimpul dalam satu kata yaitu akhlak. Akhlak merupakan alat control psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak, manusia akan berada dengan kumpulan hewan dan binatang yang tidak memiliki tata nilai dalam kehidupannya. Rasulullah Saw merupakan sumber akhlak yang hendaknya diteladani oleh orang mukmin, seperti sabdanya. “Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.

Pendidikan Akhlak dalam Islam tersimpul dalam prinsip “berpegang teguh pada kebaikan dan kebijakan serta menjauhi keburukan dan kemungkaran” berhubungan erat dengan upaya mewujudkan tujuan dasar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan, ketundukan dan beribadah kepada Allah SWT.

Kedua, dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dimensi ini secara universal menitikberatkan pada pembentukan kepribadian muslim sebagai individu yang diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan factor dasar (bawaan) dan factor ajar (lingkungan atau miliu), dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman. Faktor dasar dikembangkan dan ditingkatkan kemampuan melalui bimbingan dan pembiasaan berfikir, bersikap dan bertingkah laku menurut norma-norma Islam. Sedangkan faktor ajar dilakukan dengan cara mempengaruhi individu melalui proses dan usaha membentuk kondisi yang mencerminkan pola kehidupan yang sejalan dengan norma-norma Islam seperti teladan, nasehat, anjuran, ganjaran, pembiasaan hukuman dan pembentukan lingkungan serasi.

(21)

tes IQ membandingkan penampilan individu dengan rata-rata bagi kelompok dengan usia yang sama. Tegasnya dimensi kecerdasan ini berimplikasi bagi pemahaman nilai-nilai Al-Qur’an dalam pendidikan.

POTENSI MANUSIA A. Pengertian Potensi Manusia

Potensi diri merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang telah terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara maksimal.

Manusia menurut agama islam adalah makhluk Allah yang berpotensi. Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang menunjuk pada manusia, yang di gunakan adalah basyar insan atau nas dan bani Adam.

(22)

B. Macam-Macam Potensi Manusia

Manusia memiliki potensi diri yang dapat dibedakan menjadi 5 macam, yaitu: 1. Potensi Fisik (Psychomotoric)

Potensi diri ini dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk saling membagi kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya hidung untuk mencium bau, tangan untuk menulis, kaki untuk berjalan, telinga untuk mendengar, dan mata untuk melihat. 2. Potensi Mental Intelektual (Intellectual Quotient)

Potensi diri ini adalah potensi kecerdasan yang terdapat di otak manusia (terutama otak bagian kiri). Fungsi dari potensi ini yaitu untuk merencanakan sesuatu, menghitung dan menganalisis.

3. Potensi Sosial Emosional (Emotional Quotient)

Potensi diri ini sama dengan potensi mental intelektual, tetapi potensi ini terdapat di otak manusia bagian kanan. Fungsinya yaitu untuk bertanggung jawab, mengendalikan amarah, motivasi, dan kesadaran diri.

4. Potensi Mental Spiritual (Spiritual Quotient)

Potensi ini merupakan potensi kecerdasan yang berasal dari dalam diri manusia yang berhubungan dengan kesadaran jiwa, bukan hanya untuk mengetahui norma, tapi untuk menemukan norma.

5. Potensi Daya Juang (Adversity Quetient)

Sama seperti potensi mental spiritual, potensi daya juang juga berasal dari dalam diri manusia dan berhubungan dengan keuletan, ketangguhan, dan daya juang yang tinggi.1[1]

Sedangkan apabila kita merenungkan, sejarah kehidupan manusia di awali sejarah Nabi Adam dan anak cucunya yang mendiami muka bumi ini. Mereka yang dibesarkan oleh perkembangan zaman, lalu disusul dengan terwujudnya kesejahteraan di bumi ini.

Beberapa potensi manusia menurut agama islam yang diberikan oleh Allah SWT.: 1. Potensi Akal

Manusia memiliki potensi akal yang dapat menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan. Dengan potensi ini, manusia dapat melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi. Namun, factor subyektifitas manusia dapat mengarahkan manusia pada kesalahan dan kebenaran.

(23)

2. Potensi Ruh

Manusia memiliki ruh. Banyak mendapat para ahli tentang ruh. Ada yang mengatakan bahwa ruh pada manusia adalah nyawa. Sementara sebagian yang lain mengalami ruh pada manusia sebagai dukungan dan peneguhan kekuatan batin. Soal ruh ini memang bukan urusan manusia karena manusia memiliki sedikit ilmu pengetahuan. Bukankah urusan ruh menjadi urusan Tuhan. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: ‘ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit” (QS. Al-Isra’: 85)

3. Potensi Qalbu

Qalbu disini tidak dimaknai sebagai hati yang ada pada manusia. Qalbu lebih mengarah pada aktifitas rasa yang bolak-balik. Sesekali senang, sesekali susah, kadang setuju kadang menolak.

Qalbu berhubungan dengan keimanan. Qalbu merupakan wadah dari rasa takut, cinta, kasih sayang, dan keimanan. Karena qalbu ibarat sebuah wadah, ia berpotensi menjadi kotor atau tetap bersih.

4. Potensi Fitrah

Manusia pada saat lahir memiliki potensi fitrah. Fitrah disini tidak dimaknai melulu sebagai sesuatu yang suci. Fitrah disini adalah bahwa sejak lahir fitrah manusia adalah membawa agama yang benar. Namun, kondisi fitrah ini berpotensi tercampur dengan yang lain dalam proses pembentukannya.

5. Potensi Nafs

Dalam bahasa Indonesia, nafs diserap menjadi nafsu berarti ‘dorongan kuat berbuat kurang baik’. Sementara nafs yang ada pada manusia tidak hanya dorongan berbuat buruk, tetapi berpotensi berbuat baik. Dengan kata lain, nafs ini berpotensi positif dan negative.

Melekatnya nafs pada diri manusia cenderung berpotensi positif. Namun, potensi negative daya tariknya lebih kuat dari pada potensi positif. Oleh karena itu manusia diminta menjaga kesucian nafsnya agar tidak kotor.

(24)

C. Ayat-Ayat tentang Potensi Manusia

Surat Al an’am ayat 79

يننلإل تكهمجننون ينهلجمون يذللننلل رنطنفن تلاونامنسننلا ضنرمأنلماون افرينلحن امنون اننأن ننمل ننيكلرلشممكلما

“(Sesungguhnya aku menghadapkan diriku) aku menghadapkan diri dengan beribadah (kepada Tuhan yang telah menciptakan) yang telah mewujudkan (langit dan bumi) yaitu Allah swt. (dengan cenderung) meninggalkan semua agama untuk memeluk agama yang benar (dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan) Allah.”

 MUFRODAT

تكهمجننون

:

aku menghadapkan diri

رنطنفن

:

mewujudkan

افرينلحن

:

yang benar

ننيكلرلشممكلما

:

orang-orang yang mempersekutukan  TAFSIR

Setelah Allah swt. mengisahkan kelepasan diri Nabi Ibrahim a.s. dari kemusyrikan kaumnya, Allah swt. mengisahkan pula kelanjutan dari pada kelepasan diri itu dengan menggambarkan sikap Ibrahim a.s dan akidah tauhidnya yang murni, yaitu Ibrahim a.s. menghadapkan dirinya dalam ibadah ibadahnya kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi.

Dia pula yang menciptakan benda-benda langit yang terang benderang di angkasa raya dan yang menciptakan manusia seluruhnya, termasuk pemahat patung-patung yang beraneka ragam bentuknya.

Ibrahim a.s. cenderung kepada agama tauhid dan menyatakan bahwa agama agama lainnya adalah batal dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik. Dia seorang yang berserah diri kepada Allah swt. semata.

(25)

: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dan pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. “ (Q.S An Nisa': 125)

Dan firman-Nya::

“Barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (Q.S. Luqman: 22)

 ASPEK TARBAWI

- Hendaknya senantiasa mengingat Allah SWT. yang menciptakan seluruh alam. - Selalu berserah diri dan beribadah kepada Allah SWT.

Surat Al a’raaf ayat 160

كناصنعنبل بمرلضما نلأن هكمكومقن هكاقنسمتنسما ذلإل ىسنومك ىلنإل اننيمحنومأنون امرمنأك اطرابنسمأن ةنرنشمعن يمتنننثما مكهكاننعمطننقنون

منامنغنلما مكهليملنعن اننلملننظنون ممهكبنرنشممن سساننأك لنككك منللعن دمقن انريمعن ةنرنشمعن اتنننثما هكنممل تمسنجنبننمافن رنجنحنلما

ممهكسنفكنمأن اونكاكن نمكللنون اننومكلنظن امنون ممككاننقمزنرننن

امن تلابنينلطن نممل اولككك ىونلمسننلاون نننمنلما مكهليملنعن اننلمزننمأنون

ومكللظمين

“Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya:` Pukullah batu itu dengan tongkatmu! `. Maka memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman):` Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezkikan kepadamu `. Mereka tidak menganiaya Kami, tetapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri.

 MUFRODAT

(26)

اننيمحنومأنون

:

dan kami wahyukan

نلأن بمرلضما

:

pukullah

تمسنجنبننمافن

:

maka memancarlah

اننلملننظنون

:

dan kami naungkan

منامنغنلما

:

awan

 TAFSIR

Allah membagi kaum Musa, baik yang beriman kepada Allah maupun yang ingkar kepada-Nya menjadi dua belas suku yang dinamakan "Sibt". Pada suatu perjalanan di tengah-tengah padang pasir, kaumnya menderita kehausan, maka Allah mewahyukan kepada Musa agar ia memukulkan tongkatnya ke sebuah batu. Setelah Musa memukulkannya, maka terpancarlah dari batu itu dua belas mata air, sesuai dengan banyaknya suku-suku Bani Israil. Untuk masing-masing suku disediakan satu mata air dan mereka telah mengetahui tempat minum mereka; untuk menjaga ketertiban dan menghindarkan berdesak-desakan.

Kejadian ini merupakan mukjizat bagi Nabi Musa a.s. untuk membuktikan kerasulannya dan untuk memperlihatkan kekuasaan Allah swt. Kalau dahulu ia memukulkan tongkatnya ke laut sehingga terbentanglah jalan akan dilalui Bani Israil dari pengejaran Fir’aun dan tentaranya, maka pada kejadian ini Musa memukulkan tongkatnya ke batu, sehingga keluarlah air dari batu itu untuk melepaskan haus kaumnya. Kejadian ini di samping merupakan mukjizat bagi Nabi Musa juga menunjukkan besarnya karunia Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada Bani Israil.

Di samping karunia itu Allah swt. menyebutkan lagi karunia yang telah diberikan-Nya kepada Bani Israil, yaitu:

(27)

kepada Tuhan agar memberikan pertolongan-Nya. Allah menolong mereka dengan mendatangkan awan yang dapat melindungi mereka dari panas terik matahari.

2. Di samping itu Allah mengaruniakan pula kepala mereka makanan yang disebut "al-manna" semacam makanan yang manis seperti madu yang turun terus-menerus dari langit sejak fajar menyingsing sampai matahari terbit. Di samping itu dianugerahkan Allah pula kepada mereka bahan makanan semacam burung puyuh yang disebut "salwa."

3. Allah memerintahkan kepada mereka agar memakan makanan yang halal yang baik, berfaedah bagi jasmani dan rohani, akal dan pikiran. Allah swt telah melimpahkan karunia-Nya yang amat besar bagi Bani Israil tetapi mereka tidak mau bersyukur, bahkan mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, ingkar kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya yang berakibat mereka mendapat azab dan siksaan-Nya. Mereka disiksa itu semata-mata karena perbuatan mereka sendiri, bukanlah karena Allah hendak menganiaya mereka. Tersebut dalam sebuah hadis Qudsi:

: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan (mengerjakan) kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan perbuatan zalim itu (sebagai suatu perbuatan) yang diharamkan di antaramu, maka janganlah kamu saling berbuat zalim (di antara sesamamu). Wahai hamba-hamba-Ku, kamu sekali-kali tidak akan dapat menimbulkan kemudaratan kepada-Ku, sehingga Aku memperoleh kemudaratan karenanya, dan kamu sekalian tidak dapat memberi manfaat kepada-Ku sehingga Aku memperoleh manfaat karenanya.”

 ASPEK TARBAWI

- Hendaknya selalu bersyukur atas rejeki yang diberikan oleh Allah SWT. - Memakan makanan yang baik dan halal.

Surat Al.mudatsir ayat 27

(

٢٧

)

امنون كنٮٮرنددأن امن ركقنسن

“Dan apa jalannya engkau dapat mengetahui kedahsyatan neraka Saqar itu?”  MUFRODAT

Neraka saqar

:

ركقنسن

(28)

Dalam ayat ini digambarkan pula betapa sifat neraka Saqar itu. Perkataan "wa ma adra ka" (dan tahukah engkau) dalam bahasa Arab menunjukkan besar dan sangat dahsyatnya masalah yang dipertanyakan. Apakah yang engkau ketahui tentang Saqar? Dan pasti tidak seorang pun mengetahuinya dan mencapai hakikat sebenarnya kecuali dengan keterangan yang diberikan oleh wahyu.

Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak mengembalikan. Artinya setiap tubuh manusia yang dibakarnya tidak satupun yang tersisa dari daging maupun tulang. Dan dikembalikan lagi tubuh yang telah hangus itu menjadi baru dan segar tetapi kemudian dibakarnya lagi sampai hangus untuk kedua kali dan seterusnya.

Keterangan seperti ini kita peroleh dari ayat lain yang artinya:

“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab……” (Q.S. An Nisa': 56).2[2]

 ASPEK TARBAWI

- Segala perbuatan baik ataupun buruk yang kita lakukan akan ada balasannya. - Kita harus selalu mengingat bahwa siksa Allah sangatlah pedih.

Surat Al-anbiya’ ayat 34-35

ۗ

امنون انندلعنجن سسرشنبنلل نمنل كنللدبقن دندلخكدلٱ نيمإلفنأن تننمنل مكهكفن ننودكللـٮخندلٱ

(

٣٤

)

لنككك س س

سدفنن ةكقنٮلٮاذن تلدومندلٱ

(

٣٥

)

لكدبننون رنلشننلٱبل رلديخندلٱون سرةنندتفل اننديلنإلون ننوعكجندرتك

34. “Dan Kami tidak menjadikan seseorang manusia sebelummu dapat hidup kekal (di dunia ini). Maka kalau engkau meninggal dunia (wahai Muhammad), adakah mereka akan hidup selama-lamanya?”

35. “Tiap-tiap diri akan merasai mati, dan Kami menguji kamu dengan kesusahan dan kesenangan sebagai cubaan; dan kepada Kamilah kamu semua akan dikembalikan.”

 MUFRODAT

Hidup kekal

:

دندلخكدلٱ

Engkau meninggal dunia

:

تننمنل

Setiap jiwa

:

لنككك س س

سدفنن

2[2]http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp?

(29)

Dan Kami menguji

:

لكدبننون

Cobaan

:

سرةنندتفل

Akan dikembalikan

:

ننوعكجندرتك

 TAFSIR

Penjelasan ayat ini adalah bahwa tidak ada yang kekal dikehidupan ini. Orang-orang musyrik bergembira jika musibah kematian menimpa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan : “Kita menunggu ajal menimpanya”.3[3]

Ayat ini menjelaskan bahwa semua yang makhluk bernafas di muka bumi ini akan mati, baik Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para Nabi dan Rasul sebelumnya. Kegembiraan orang-orang musyrik atas kematian beliau tidak berguna sama sekali, karena mereka pun juga akan mati.

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang maknanya): “wahai Muhammad, Kami tidak menjadikan anak cucu Adam hidup abadi di dunia ini sebelum kamu; sehingga Aku mengabadikan kamu; dan kamu akan mati sebagaimana mereka”.4[4]

Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

ننوعكجنرمتك اننيملنإل مننثك تلوممنلما ةكقنئلاذن سسفمنن لنككك

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan.” (al-‘Ankabût: 57)

Setiap orang akan menemui ajalnya. Ini tidak bisa dipungkiri, baik bagi yang pergi berperang maupun yang tidak, dan tidak ada sesuatupun yang bisa menyelamatkan manusia dari kematian, karena sesungguhnya ajal sudah ditentukan”.5[5] Jadi, setiap yang bernyawa di muka

3[3] Abû bakar Jâbir al-Jazâiri, Aisarut Tafasir, Maktabah Ulûm wal Hikam. (Madinah: 2003), hlm. 412

4[4] Muhammad bin Jarîr Abû Ja’far at-Thabary, Tafsir at-Thabari. (Lebanon: Muassasah Risâlah, 2000 ), hlm. 439

5[5] Salim Bahreisy & Said Bahreisy. Terjemahan singkat Tafsir Ibnu Katsir.

(30)

bumi ini baik manusia, jin maupun hewan, akan mati dan tidak ada yang dijadikan hidup abadi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Alloh “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan”, yaitu Kami akan menguji kamu kadang-kadang dengan musibah-musibah dan kadang-kadang dengan kenikmatan-kenikmatan, sehingga Alloh akan melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas: “Kami akan menguji kamu dengan kesusahan dan kemakmuran, kesehatan dan sakit, kekayaan dan kemiskinan, halal dan harom, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anbiya’ : 35)

Banyak manusia berputus asa dengan kesusahan yang mereka alami, seolah-olah kesusahan itu tidak akan hilang dari mereka. Namun sebaliknya, jika manusia itu mendapatkan berbagai macam kesenangan dan kenikmatan, maka kebanyakan mereka melupakan kepada Penciptanya. Mereka menganggap bahwa mereka berhak mendapatkan kenikmatan itu, mereka menganggap itu semua karena usahanya dan kepandaiannya. Kemudian kebanyakan mereka berbuat melewati batas.

Imam Ibnu Katsir berkata: “Alloh Ta’ala memberitakan tentang manusia dan sifat-sifat tercela yang ada padanya, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Alloh, yaitu hamba-hambaNya yang beriman. Bahwa manusia itu jika ditimpa oleh kesusahan setelah kenikmatan, dia berputus asa dari kebaikan terhadap masa depan, dan dia mengingkari (kebaikan) yang telah lewat, seolah-olah dia tidak pernah melihat kebaikan, dan setelah itu dia tidak berharap kelonggaran. Demikian juga jika manusia itu mengalami kenikmatan setelah kesusahan, “dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku”, yaitu: setelah ini kesusahan dan keburukan tidak akan menimpaku lagi.

FirmanNya: “Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga“, yaitu dia bergembira dan bersombong dengan apa yang ada di tangannya, berbangga terhadap orang lain”. FirmanNya: “Kecuali orang-orang yang sabar“, yaitu menghadapi kesusahan-kesusahan dan perkara-perkara yang tidak disukai; firmanNya “dan mengerjakan amal-amal saleh“, yaitu pada waktu longgar dan sehat; firmanNya: “mereka itu beroleh ampunan“, yaitu dengan sebab kesusahan yang mereka alami; firmanNya: “dan pahala yang besar“, dengan sebab amalan mereka pada waktu longgar”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Huud: 9-11)6[6]

6[6]http://ustadzmuslim.com/kesusahan-dan-kenikmatan-sebagai-ujian/.

(31)

 ASBABUN NUZUL

Ada dua sebab turunnya ayat ini, keduanya dengan shîghah sharîhah (bentuk kalimat yang jelas), akan tetapi sanad keduanya munqati’ (terputus). Pertama diriwayatkan dari Muqathil rahimahullah yang mengatakan:“Sebab turunnya ayat ini adalah ketika sebagian orang berkata bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mati.”7[7]

Kedua Ibnul Mundzir rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Juraij rahimahullah yang mengatakan:“Diberitakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau akan wafat, kemudian beliau berkata:“ Wahai Rabbku, siapakah yang akan mendidik umatku?” Kemudian turunlah ayat ini.8[8]

 ASPEK TARBAWI

- Harus selalu bersyukur terhadap nikmat dan bersabar terhadap musibah. - Beramal sholih pada setiap saat sesuai dengan kemampuan kita.

- Selalu mengingat bahwa setiap yang bernyawa akan merasakan kematian.

Surat An-Nisa’ ayat 6

امولكتندبٱون ىٮمنـٮتنيندلٱ ى ٮىتننحن اذنإل اموغكلنبن حناكنننللٱ دنإلفن متكدسنناءن دمہكدنمنل اسرددشرك امىوعكفنددٱفن دمہلديلنإل دمهكلنٲوندمأن النون

اهنولكككدأتن اسرفارندسإل اررادنبلون نأن اموركبندكين نمنون نناكنسرنينلغنا دففلدعتندسيندلفن نمنون نناكنفناسرريقل دلككدأيندلفن

(

٦

)

فلوركدعمندلٱبل اذنإلفن دمتكدعفندن دمہلديلنإل دمهكلنٲوندمأن امودكہلدشأنفن دمہلديلنعن ىٮفنكنون هللننلٱبل اسربيسلحن

“Dan ujilah anak-anak yatim itu (sebelum baligh) sehingga mereka cukup umur (dewasa). Kemudian jika kamu nampak dari keadaan mereka (tanda-tanda yang menunjukkan bahawa mereka) telah cerdik dan berkebolehan menjaga hartanya, maka serahkanlah kepada mereka hartanya; dan janganlah kamu makan harta anak-anak yatim itu secara yang melampaui batas dan secara terburu-buru (merebut peluang) sebelum mereka dewasa. Dan sesiapa (di antara penjaga harta anak-anak yatim itu) yang kaya maka hendaklah ia menahan diri (dari memakannya); dan sesiapa yang miskin maka bolehlah ia memakannya dengan cara yang sepatutnya. Kemudian apabila kamu menyerahkan kepada mereka hartanya, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (yang menyaksikan penerimaan) mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (akan segala yang kamu lakukan).”

7[7] Abdur-Rahmân bin Alî bin Muhammad Al-Jauzî, Zadul Masir, (Beirut: al-Maktab Al-Islami, 1404 H), hlm. 350

(32)

 MUFRODAT

Dan ujilah

:

امولكتندبٱون

Cukup umur

:

اموغكلنبن

Maka serahkanlah

:

امىوعكفنددٱفن

Harta mereka

:

دمهكلنٲوندمأن

Dan janganlah kamu makan

:

النون اهنولكككدأتن

 TAFSIR

متكدسنناءن دمہكدنمنل اسرددشرك

:

kalian melihat ke dalam diri mereka sudah mulai bisa mentasarrufkan harta.

Al-israf : melebihi batas dalam membelanjakan harta

Al-bidar : bersegera dan cepat-cepat kepada sesuatu. Dikatakan Badartu ila syai’in badartu ilaihi, artinya aku bersegera kepadanya.

Fal yasta’fif : hendaknya ia menjaga kehormatannya.

Al-‘iqqah : adalah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu yang tidak layak dilakukan. Al-hasib : yang mengawasi

Dijelaskan bahwa harta benda mereka (anak-anak yatim) tidak boleh diserahkan kepada mereka kecuali jika para walinya telah melihat tanda-tanda kedewasaan dalam diri mereka. Sesungguhnya tidak layak bagi seorang wali memakan harta anak yatim (apabila ia miskin) dengan cara berlebih-lebihan, dan barang siapa di antara wali itu kaya, maka hendaklah ia menjaga diri jangan sampai memakan harta mereka. Barang siapa menjadi wali tetapi miskin, hendaknya ia memakannya dengan ketentuan hokum syara’ dan dipandang pantas oleh orag-orang bijaksana.9[9]

Seluruh umat islam telah berpendapat bahwa harta anak yatim bukan harta milik pengasuhnya. Wali sedikitpun tidak berhak memakannya. Tetapi ia dibolehkan mengambil darinya sebagai hutang ketika dalam keadaan terdesak, sebagaimana anak yatim itu berhutang kepadanya. Kemudian ia pun dipebolehkan mengupah dirinya dari harta anak yatim dengan upah yang telah ditentukan, apabila anak yatim itu memerlukan pekerjaan tersebut, seperti halnya anak

(33)

yatim itu mengupah orang lain untuk melakukannya. Upah tersebut boleh ditentukan oleh sang wali, jika memang harta anak yatim itu berjumlah banyak, tetapi tidak boleh ditentukan apabila tidak banyak (miskin). Demikian pula, ketentuan-ketentuan itu berlaku bagi harta orang-orang gila dan setengah gila.

Telah diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Umar ra. Bahwa ada laki” bertanya kepada Nabi saw. “aku tidak mempunyai harta, tetapi aku adalah seorang wali dari anak yatim.” Kemudian Nabi saw. bersabda: “makanlah oleh kamu sebagian harta anak yatimmu tanpa berlebih-lebihan dan (juga) tanpa menghambur-hamburkannya dan (juga) tanpa mengindahkan hartamu dengan hartanya.”10[10]

 ASPEK TARBAWI

- Hendaknya menguji anak-anak yatim, hingga mereka mencapai dewasa dan mampu memelihara harta.

- Bahwasannya kita dilarang memakan harta orang lain (dalam ayat ini yang dimaksud adalah harta anak yatim).

- Menahan diri dari sifat israf berlebih-lebihan.  KESIMPULAN

Pada prinsipnya Allah SWT. Sebagaimana yang telah anda ketahui meliputi harta anak yatim, dengan berbagai cara pengamanan dan pemeliharaan. Untuk itu Dia memerintahkan sang wali agar terlebih dahulu menguji kemampuan penggunaan harta anak yatim, sebelum hartanya diserahkan kepadanya. Kemudian Allah melarang sang wali memakan sesuatu dari harta anak yatim dengan cara berlebih-lebihan dan mumpung anak yatim masih kecil. Allah juga memerintahkan sang wali agar mengadakan saksi ketika serah terima, dan memerintahkan di akhir ayat sang wali agar mengingat akan pengawasan Allah terhadap segala gerak-gerik yang bersifat pribadi.11[11]

Surat QS An-nur ayat 27

اين اهنينكأن ننيذللننا اونكمنا الن اولكخكدمتنيكبكاترو رنيمغن ممككتلويكبك ىٮتننحن اوسكنلأمتنسمتن اومكلنلسنتكون ىٮلنعن اهنللهمأن ممككللذنٮ رريمخن

ممككلن ممككلننعنلن ننورككننذنتن

10[10]Ibid, hlm. 340

(34)

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuk ke dalam rumah-rumah yang bukan rumahmu, sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Itulah yang lebih baik bagi kamu, supaya kamu ingat”.

 MUFRODAT

ممككتلويكبك

: rumah kamu

اونكمناءن

۟ : beriman

اولكخكدمتن

۟ : kamu masuk

ىلنعن

ىٮ : Atas/ kepada

رريمخن

: Lebih baik

اترويكبك

: Rumah-rumah

ننورككننذنتن

: Kamu Ingat  TAFSIR

Dalam ayat 27 diterangkan bahwa orang-orang Mu'min dilarang memasuki pekarangan rumah orang kalau yang empunya tidak izin. Rumah adalah tempat menyimpan rahasia kerumah tanggaan. Sebab setiap mempunyai dua wajah hidup, hidup kemasyarakatan dan hidup urusan peribadi. Orang keluar dari dalam rumahnya dengan pakaian yang pantas, orang pergi ke Jum'at dengan perhiasan yang patut, meskipun keadaannya dalam rumah tangganya adalah serba kurang.

Dalam rumah tangganya orang dapat memakai kaos singlet yang robek dan sarung yang telah bertambal-tambal. Orang luar tidak boleh tahu itu. Keluar kelihatan orang gagah, dan kalau menjamu orang lain makan ke dalam rumahnya akan disediakannya makanan yang agak istimewa daripada makanannya sehari-hari. Tetapi dalam waktu yang tidak dicampuri orang lain, mungkin mereka hanya makan sekali sehari dengan laukpauk yang serba kurang.

(35)

yang merasa dirinya beriman kepada Tuhan dan taat kepada Rasul, masuk saja ke dalam rumah orang, siapa pun orangnya, kalau tidak dengan izinnya.

Tidak perduli apakah rumah itu istana presiden yang lengkap penjaga dan pengawalnya, ataupun gubuk buruk beratapkan rumbia di lorong yang sempit penuh lumpur. Namun kedaulatan penghuni rumah itu atas rumahnya tetaplah sama.

Bagaimana seseorang yang pulang dari kerja keras mengurus penghidupan, menanggalkan pakaian yang lekat di tubuh, tinggal baju kaos dan celana katok (celana dalam) tiba-tiba dalam keadaannya demikian itu datang' saja orang lain tanpa salam dan tanpa memberitahu? Dan masuk saja tanpa izin? Bagaimana perasaan seorang perempuan terhormat, sedang dia hanya berkutang sehelai dan berkain sesampul gantung, merasa aman karena hanya dengan suaminya dan anak-anaknya, tiba-tiba muncul saja orang lain dari pintu, padahal hubungan dengan orang lain itu selama ini adalah dalam batas kesopanan?

Di dalam hal ini diterangkan benar, jangan masuk ke dalam sebuah rumah sebelum tasta'nisun, artinya diketahui benar terlebih dahulu bahwa yang empunya rumah sedang senang, sedang gembira menerima tamu. Wa tusallimu, artinya dengan disertai ucapan salam kepada sahibul bait yang empunya rumah. Maka kedua syarat ini tidak boleh terpisah, kesukaan yang empunya rumah dan ucapan salam. Sekali-sekali jangan menerobos saja masuk sambil mengucapkan salam, padahal yang empunya rumah belum menyatakan suka menerima kita, jangan pula masuk saja sebelum mengucapkan salam.12[12]

 ASPEK TARBAWI

Hendaknya mengundang orang-orang yang bertaqwa, bukan orang yang fasiq. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu bersahabat kecuali dengan seorang mu`min, dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa”. (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

 Jangan hanya mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan orang-orang fakir. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersbda: “Seburuk-buruk makanan adalah makanan pengantinan (walimah), karena yang diundang hanya orang kaya tanpa orang-orang faqir.” (Muttafaq’ alaih).

(36)

 Undangan jamuan hendaknya tidak diniatkan berbangga-bangga dan berfoya-foya, akan tetapi niat untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan membahagiakan teman-teman sahabat.

 Tidak memaksa-maksakan diri untuk mengundang tamu. Di dalam hadits Anas Radhiallaahu anhu ia menuturkan: “Pada suatu ketika kami ada di sisi Umar, maka ia berkata: “Kami dilarang memaksa diri” (membuat diri sendiri repot).” (HR. Al-Bukhari)

 Jangan anda membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan kewibawaan.

 Jangan kamu menampakkan kejemuan terhadap tamumu, tetapi tampakkanlah kegembiraan dengan kahadirannya, bermuka manis dan berbicara ramah.

 Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti menghormatinya.

 Jangan tergesa-gesa untuk mengangkat makanan (hida-ngan) sebelum tamu selesai menikmati jamuan.

 Disunnatkan mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang baik dan penuh perhatian.

QS Ar-ruum ayat 30

افةينمحم

ت

م رمط

ؤ فم

هملفلا

يتملفا

رمط

م فم

س

م

انفلااهميؤلمعم

لم

ل

م يدمبؤتم ق

م لؤخ

م لم

هملفلا ذمذ

ك

م لم

ن

ن يدللا

ن

م يدلللم

ك

م همجؤوم

ممقلأنفن

لم ن

م ومنلمعؤيم

س

م

انفلا

رمثمكؤأم

م

ن يلقملؤا ن

ف ك

م لمذوم

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

 MUFRODAT

(37)

كنهنجمون

: Wajahmu

لنيدلبمتن

: Perubahan

نليدنلللل

: Wajahmu

رنثنكمأن

: Kebanyakan

افرينلحن

: Dengan lurus

ننومكلنعمين

: Mengetahui.

تنرنطمفل

: Fitrah  TAFSIR

Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang dimaksud adalah “dinu al-Qayyim” agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar baik berupa pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits diatas digambarkan dengan faktor orang tua.

Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi psikologis yang perlu untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi psokologis tersebut adalah: 1. Beriman kepada Allah SWT.

2. Kecenderungan untuk menerima kebenaran, kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan dan pengajaran.

3. Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir. 4. Dorongan biologis yang berupa syahwat dan tabiat

5. Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan.13[13]

Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh manusia adakalanya: 1. Fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan daya akal

(Quwwah al-aql), yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.

2. Fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk Qur’an dan as-sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gazirah.

Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusi merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.

(38)

Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat mencetak manusia sesuai dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi kebalikann dari fitrah ini, yaitu nafs yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan. Untuk itu fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar dengan fitrah al-Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah), sehingga dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur yang benar secara kaamilah. Oleh karena betapa pentingnya pendidikan untuk mengarahkan perkembangan manusia ke arah yang benar (ad-din al-Qayyim), hendaklah suatu pendidikan mulai ditanamkan sejak dini.

Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan metode yang amat tepat dilakukan pada masa usia anak-anak. Karena dari metode pembiasaan inilah akan terbentuknya jiwa dan kepribadian yang baik.

Dalam hadis lain disebutkan:

,

دمأ ومنكسنحم أون ممكك دنلن وم أن وممك رنكم أن لنقن ملننسنون هليملنعن هكللا ىنلصن هللا ومسكرن نع كمللمن نمبل سمنن ان نمعن

ممهكبن

“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (HR. Ibn Majah)

Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan akan pengaruh-pengaruh dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan dibimbing ke arah yang benar dengan pendidikan kepribadian (akhlak) dan pendidikan agama. Dalam hal ini orang tua adalah faktor yang sangat berpengaruh, karena orang tua adalah orang pertama kali yang bersentuhan dengan seorang anak.

Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara objektif disertai pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan bantuan bahasa dan kata-kata. Nabi SAW mengingatkan agar orang tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa hal diantaranya adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta mengembangkan minat dan bakat.

(39)

mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran. Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan-kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.14[14]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazâiri, Abû bakar Jâbir. 2003. Aisarut Tafasir, Maktabah Ulûm wal Hikam. Madinah. At-Thabary, Muhammad bin Jarîr Abû Ja’far. 2000. Tafsir at-Thabari. Lebanon: Muassasah Risâlah.

Salim Bahreisy & Said Bahreisy.1990. Terjemahan singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Http://ustadzmuslim.com/kesusahan-dan-kenikmatan-sebagai-ujian/. Diakses, 7 april 2013.

Al-Jauzî, Abdur-Rahmân bin Alî bin Muhammad. 1404 H. Zadul Masir. Beirut: al-Maktab Al-Islami

As-Suyuthi, Abdur-Rahmân bin Abi Bakr bin Muhammad. Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl. Beirut: Dâr Ihyâ’ul-ulûm.

Al-Maragi, Ahmad Mustofa. 1993. Tafsir Al-Maragi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar dkk. Semarang: PT. Karya Toha Putra.

Http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp? pageno=2&SuratKe=74#Top. Diakses , 7 april 2013.

Departemen RI, Al-Qur’an Bayan. 2009. Penerbit: Al-Qur’an Terkemuka.

14[14]http://iyhaelmawat.blogdetik.com, berilmu dalam tafsir ibnu katsir.

(40)

HAMKA, Tafsir Al-Azhar. 1983. Jakarta: PT. Panji Mas.

Referensi

Dokumen terkait