(Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok)
S K R I P S I
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam
Disusun Oleh:
Endah Humaidah
102032124625
Program Studi Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
KESEHARIAN UMAT HINDU
(Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok)
S K R I P S I
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam
Oleh:
Endah Himaidah
102032124625
Diperiksa dan Disetujui,
Di Bawah Bimbingan
Dra. Hj. Hermawati, M.A
NIP. 150 227 408
Program Studi Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Skripsi yang
berjudul:
MAKNA YADNYA SESA BAGI KEHIDUPAN KESEHARIAN UMAT HINDU
(Studi Kasus Masyarakat Hindu Cinere, Depok)
telah diujikan dalam Sidang
Munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 20
Februari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar
Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Perbandingan Agama.
Jakarta, 20 Februari
2008
Sidang
Munaqasah,
(Dr. Hamid Nasuhi, M.A.)
(Maulana, M.A.)
NIP. 150 241 817
NIP. 150 293 221
A
n
g
g
ot
a,
(Drs. H. Roswen Dja’far)
(Dra. Siti Nadroh,
M.A)
NIP. 150 022 782
NIP. 150 282 310
NIP. 150
227 408
i
KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa hormat, penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih tak terhingga kepada segenap pihak yang telah membantu penulis baik
secara moril maupun materil selama menempuh perkuliahan pada jenjang Strata
Satu ( S1 ) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis yakin tanpa adanya
dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik yang bersifat pribadi maupun
kolektif, tidaklah mungkin skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis bermaksud mengucapkan terima kasih
yang tiada terhingga kepada:
1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dra. Ida Rosyidah, M. A dan Bapak Drs. Maulana, M. A. selaku Ketua
dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat yang telah memberikan banyak pengarahan dan motivasi hingga
akhir studi penulis.
Marhamah, orang tua penulis yang sangat banyak memberikan bantuan,
doa dan fasilitas, baik moril maupun materil.
6. Segenap bapak dan ibu dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya
pengajar Jurusan Perbandingan Agama yang dengan ikhlas mentransfer
ilmu pengetahuannya yang tiada ternilai harganya.
7. Kepada Bapak Drs. Anak Agung Gede Raka Mas sebagai dosen Sekolah
Tinggi Agama Hindu (STAH) yang telah banyak meluangkan waktunya
untuk wawancara.
8. Pimpinan dan pegawai Perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
9. Pimpinan dan pegawai Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dalam melengkapi
referensi penulis.
10. Pimpinan dan pegawai Akademik Pusat dan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Keluarga besar, Kakak-kakak dan adik-adikku tersayang, yang telah
memberikan motivasi dan kehaangatan dalam keluarga.
12. Semua teman-temanku di Jurusan Perbandingan Agama “Angkatan 2002”
terutama sahabat-sahabat terdekatku, Inna Muthi’ah R, Ida Farida, M.
Sahal, Helmi, Abew, Dini, dan Phei, Eha, teman berbagi suka dan duka,
tempat mencurahkan isi hati dan motivator terbaik.
13. Serta segenap pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dalam proses penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas segala
Mudah-mudahan semua amal baik mereka diterima oleh Allah swt. dan
mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari-Nya. Selain itu, melalui kajian yang
sederhana ini penulis tentunya juga berharap dapat memberikan sumbangan
pengetahuan yang bermanfaat bagi umat Hindu dan para mahasiswa Jurusan
Perbandingan Agama yang memerlukannya. Demikian pula melalui ajaran
Yadnya Sesa itu penulis juga berharap agar kekuatan moral yang ada didalamnya
bisa membentuk generasi bangsa yang baik serta bertanggung jawab. Akhirul
kalam, ibarat tiada gading yang tak retak, mudah-mudahan skripsi yang masih
jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amin.
Jakarta, 3 Desember 2007
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Metode Penelitian ... 7
E. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II KORBAN SUCI A. Sekilas tentang Yadnya ... 12
1. Pengertian Yadnya ... 12
2. Bentuk Yadnya ... 15
a. Panca Yadnya ... 15
b. Sarana Yadnya ... 16
3. Pelaksanaan Yadnya ... 16
a. Nitya Karma ... 16
b. Naimitika Karma ... 16
B. Yadnya Sesa ... 17
a. Pengertian Yadnya Sesa ... 17
b. Fungsi dan Tujuan Yadnya Sesa ... 19
c. Tata Letak Pelaksanaan Yadnya Sesa ... 23
e. Doa Yadnya Sesa ... 25
C. Makanan Persembahan (Banten) ... 31
D. Filsafat Bhuta Kala ... 34
BAB III KEHIDUPAN UMAT HINDU A. Grhasta Asrama ... 37
B. Sraddha (Keimanan) ... 41
C. Bhakti Marga (Cinta Kasih) ... 43
D. Masyarakat Hindu Cinere dan Yadnya Sesa ... 45
BAB IV MAKNA YADNYA SESA A. Nilai Filosofis Yadnya Sesa ... 49
B. Makna Agamis Yadnya Sesa ... 54
C. Peranan Yadnya Sesa dalam Pertumbuhan Moral Spiritual ... 58
D. Macam-macam Yadnya Sesa Berdasarkan Makanan Persembahannya ... 61
1. Segehan Kepel ... 61
2. Segehan Sasah ... 63
3. Segehan Agung ... 64
4. Segehan Siban ... 65
E. Analisa Kritis ... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 75
B. Saran-saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam ajaran Hindu, manusia selalu menginginkan kehidupan yang penuh
dengan kedamaian. Untuk mencapai kehidupan yang penuh dengan kedamaian,
antara kehidupan rohani dan jasmani harus selalu seimbang. Tetapi kenyataannya,
sering dialami sekarang ini manusia selalu merasa tidak bahagia, sebagian besar
hidupnya selalu digunakan untuk mengejar materi semata. Padahal ajaran Hindu
sudah berulang kali menekankan bahwa untuk mencapai kebahagiaan hidup setiap
perbuatan harus dilandaskan moral agama, salah satunya adalah melalui upacara
Yadnya.
Alam semesta dengan segala bentuk ciptaan sebenarnya telah diciptakan
melalui proses Yadnya. Karena itu semua yang ada di alam semesta ini juga
ditopang oleh Yadnya. Artinya tanpa Yadnya tidak akan pernah ada kehidupan,
demikian pula tanpa Yadnya alam semesta ini pasti mengalami kehancuran.
Pengertian Yadnya itu sendiri adalah pengorbanan yang tulus dan suci.
Umat Hindu diajarkan percaya dengan Panca Yadnya, yaitu: Dewa
Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya serta Pitra Yadnya. Melalui
Panca Yadnya tersebut, umat Hindu diharuskan selalu mengingat kelima unsur
yang telah menyebabkan keberadaan manusia di dunia. Hal-hal yang berkaitan
dengan Panca Yadnya tersebut antara lain: melalui ajaran Dewa Yadnya, sebagai
memuja Tuhan, melalui upacara serta perenungan Japa mantra sesuai dengan yang
diajarkan oleh agama.
Kemudian melalui upacara Butha Yadnya mereka juga selalu diingatkan
untuk senantiasa sadar terhadap alam dan lingkungan tempat manusia berpijak.
Mereka juga diajarkan untuk saling menghormati umat lainnya, sebab manusia
tidak hidup sendirian di tengah-tengah alam semesta ini.
Melalui ajaran Rsi Yadnya, mereka juga disadarkan serta diajarkan untuk
1
selalu ingat serta menghormati para Rsi dan para guru, karena dengan keberadaan
beliau-beliau itulah mereka akhirnya bisa mendapatkan ilmu pengetahuan
sehingga pikiran manusia yang biasanya selalu diliputi oleh kegelapan berubah
menjadi terang.
Kemudian melalui upacara Manusa Yadnya, umat Hindu senantiasa
diingatkan agar mulai sedini mungkin diajarkan patuh terhadap agamanya dengan
pelaksanaan berbagai macam kegiatan upacara keagamaan. Bahkan semenjak bayi
semasa dalam kandungan, kemudian lahir, dewasa, sampai meninggal dunia
semuanya diwujudkan dengan upacara. Demikian pula makna yang terkandung di
dalamnya, yang mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan terhadap
sesamanya, hidup tolong-menolong dalam bermasyarakat.
Terakhir, melalui upacara Pitra Yadnya, manusia juga diingatkan bahwa
kehidupan di dunia ini tidak ada yang kekal. Segala sesuatu yang pernah lahir
semuanya akan meninggal dan kembali ke asalnya. Sebagai manusia yang
sempurna, mereka diwajibkan untuk menjaga kehormatan serta melindungi orang
iii.
tuanya. Salah satu wujud bakti si anak terhadap orang tuanya adalah
melaksanakan upacara Ngaben, untuk membantu mengembalikan jasad orang
tuanya ke asalnya, agar jiwanya menjadi tenang.
Oleh sebab itu, salah satu kegiatan umat Hindu di dalam menghayati
agamanya adalah melalui pelaksanaan Yadnya Sesa. Jika di Bali kita mengenal
istilah Yadnya Sesa, maka di India dikenal istilah Prasadam, yaitu menikmati
makanan hasil atau setelah dipersembahkan ke hadapan-Nya.2 Di beberapa tempat
di Bali, Yadnya Sesa diterjemahkan juga dengan Meseiban atau Mejotan.3
Yadnya Sesa adalah satu Yadnya dari sekian banyak Yadnya yang ada
dalam agama Hindu, Yadnya Sesa merupakan Yadnya sehari-hari yang sangat
sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Sehabis memasak para ibu
keluarga Hindustani mempersembahkan makanan yang tersaji dalam sebuah
bokor atau nampan di altarnya kemudian barulah mereka menikmati hidangan
bersama keluarganya. Ada semacam keyakinan dari para keluarga Hindu di India
bahwa menikmati prasadam akan mendapat berkah dari-Nya.4 Yadnya Sesa
menjadi ritual sederhana namun sangat penting. Hal ini diterangkan di dalam
Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III. sloka 69 dan 75 yang mengatakan:
“Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa
2
Niken Tambang Raras, Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), Cet. 1, hlm. 1.
3
Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm.40.
4
dihapus dengan melakukan Yadnya Sesa.”5 Dan diterangkan pula di dalam kitab
suci Bhagavat-gita III.12-13 yang memuat sloka berikut:
Istan bhoan hi vo deva dasyante yajna-bhavitah tair dattan apradayaibhyo yo bhunkte stena eva sah Yadnya sishtasinsah santo mucnyante sarva kilbishail bhunjate te tv agham papa ye pacanty atma karamat
Artinya:
“Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa karena Yadnya-mu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi Yadnya sesungguhnya adalah pencuri. Ia yang memakan sisa Yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya
makan dosa.” 6
Karena itu, penting sekali melakukan Yadnya Sesa meski nampaknya
sederhana. Sepintas umat Hindu tampak sangat patuh untuk melaksanakan segala
bentuk upacara sesuai dengan yang diajarkan agamanya. Tetapi apabila kita
bercermin lebih dalam, upacara yang mereka laksanakan itu terkesan sangat semu.
Contohnya: mereka pada umumnya merasa bangga karena telah dapat
melaksanakan upacara yang telah dibentuk oleh tradisi melalui peninggalan para
leluhurnya. Tetapi sangat disayangkan karena mereka pada umumnya tidak
mengerti makna yang tersirat di dalam upacara tersebut. Sehingga timbul kesan
arogan yang hanya mementingkan kulit luarnya saja. Mereka kebanyakan hanya
mementingkan nilai kemegahan dari upacara tersebut, bukan dari nilai
spiritualnya. Mereka lebih menekankan besarnya biaya yang harus dikeluarkan
5
G. Pudja dan Sudharta, Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharma Sastra, (Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III. 69, hlm. 151.
6
sehingga upacara yang di laksanakan kelihatan lebih besar dan megah, dan tidak
ada orang lain yang dapat menandinginya. Padahal ajaran agama Hindu selalu
menekankan untuk mencari makna yang terkandung di dalam pelaksanaan
upacara itu sendiri, rasa ketulusan serta wujud bakti persembahannya, bukan
kemegahannya.
Perlu juga dimaklumi bahwa Yadnya itu bukan sistem barter (pertukaran
barang atau bisnis), maksudnya adalah jika seseorang beryadnya besar-besaran
dengan nilai mata uang sekian, maka Tuhan memberikan imbalan materi dengan
nilai mata uang dua kali lipat dari itu. Bukan itu tujuan dari Yadnya. Yadnya Sesa
yang dilakukan setiap hari secara perlahan-lahan mendidik seseorang
menumbuhkan rasa kasih terhadap alam lingkungannya, kasih terhadap
penciptanya dan juga kasih terhadap sesamanya. Secara tidak disadari seseorang
,melangkah perlahan-lahan menuju landasan hidup spiritualitas. Seandainya saja
langkah pertama ini diimbangi dengan ilmu pengetahuan rohani pada diri setiap
individu, tentu Yadnya sederhana yang berupa Banten Jotan tersebut tidak
membuat seseorang merasa terpaksa menghaturkannya karena tradisi turun
menurun.
Di samping itu pula upacara Yadnya Sesa kelihatannya sangat rumit dan
mengandung makna yang sangat mendalam serta masih banyaknya orang-orang
yang belum mengetahui dan memahami tentang upacara Yadnya Sesa tersebut,
maka penulis menjadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh dan membahasnya. Di
samping itu, karena upacaranya mengandung makna yang sangat sakral, maka
sehingga dengan demikian penulis yakin ada sesuatu yang akan ditemukan
sehingga sesuatu itu bisa dituangkan ke dalam nilai-nilai pendidikan Agama
Hindu. Penulis juga menyadari sulitnya mempelajari moral apa yang terkandung
di dalam Yadnya Sesa itu.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pokok masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah tentang Makna
Yadnya Sesa Bagi Kehidupan Keseharian Umat Hindu (Studi Kasus Masyarakat
Hindu Cinere, Depok). Penulis memilih mengadakan penelitian di wilayah Cinere,
Depok, berkaitan dengan makanan persembahan (Banten) Yadnya Sesa yang
dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Cinere yang digolongkan dalam jenis
Segehan Saiban. Namun penulis perlu untuk merumuskan penulisan skripsi ini
sebagai berikut:
1. Bagaimana umat Hindu khususnya umat Hindu Cinere, memaknai Yadnya
Sesa dalam kehidupan kesehariannya?
2. Bagaimana pelaksanaan Yadnya Sesa dapat dijadikan sarana pendidikan
untuk menumbuhkan moral yang baik?
3. Masih relevankah upacara Yadnya Sesa itu dilaksanakan, bila dikaitkan
dengan kehidupan sehari-hari pada zaman millennium yang serba modern
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini terdiri
dari tujuan umum dan tujuan khusus, sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memenuhi persyaratan ujian
Munaqosah dalam rangka mencapai gelar sarjana Strata 1 (S1) pada
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menambah wawasan
pengetahuan penulis mengenai tema yang berkaitan yakni makna Yadnya
Sesa, untuk mengenal serta memahami kehidupan beragama umat Hindu,
serta untuk memberikan sumbangan pengetahuan bagi yang
membutuhkan.
D. Metode Penelitian
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan
oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu: Buku “Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta”, yang diterbitkan oleh UIN Press tahun ajaran
2006/2007.
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penulis
1. Metode dan Alat dalam Pengumpulan Data
a. Studi kepustakaan (Library Research), yakni penulis berusaha membaca,
menelaah, dan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan
penelitian ini dari literatur-literatur yang menunjang.
b. Penelitian lapangan (Field Research), yakni penelitian yang penulis
lakukan lebih mendalam dalam penulisan skripsi ini, tujuannya adalah
mencari data-data yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi. Dengan
metode ini, penulis mendapatkan informasi dan pemahaman secara
langsung yang signifikan.
c. Teknik Observasi (Pengamatan)
Kelurahan Cinere terletak di Kecamatan Limo kota Depok dengan luas
wilayah seluruhnya 6 ha/m2. Batas-batas kelurahan ini sebagai berikut:
Sebelah utara : Kelurahan Pangkalan Jati, Limo
Sebelah selatan : Kelurahan Limo, Limo
Sebelah timur : Kelurahan Gandul, Limo
Sebelah barat : Kelurahan Pondok Cabe Ilir, Pamulang
Populasi masyarakat Cinere berjumlah 22. 748 jiwa dengan jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 12. 231 jiwa dan perempuan sebanyak 10.
517 jiwa. Jumlah ini meliputi masyarakat yang menganut agama Islam
sebanyak 16. 985 jiwa, beragama Kristen sebanyak 2. 587 jiwa, beragama
Katholik sebanyak 1. 740 jiwa, beragama Hindu sebanyak 768 jiwa dan
Keluarga di Cinere yang berjumlah 9. 627 Kepala Keluarga, masyarakat
yang beragama Hindu terdiri dari 55 Kepala Keluarga.7
Bentuk topografi tanah yang berupa dataran rendah menjadikan kelurahan
Cinere sesuai untuk kawasan perkantoran dan pertokoan/bisnis. Kegiatan
sosial keagamaan masyarakat Hindu tidak berpaling dari kegiatan-kegiatan
di Pura setempat yakni di Pura Amrta Jati yang berlokasi di Jalan Punak
no. 33 Pangkalan Jati. Namun mengingat Yadnya Sesa merupakan ritual
harian yang dilaksanakan di rumah masing-masing, maka observasi
dilakukan penulis dengan mengunjungi rumah-rumah masyarakat Hindu di
Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Depok untuk mendapatkan informasi
secara langsung yang signifikan.8
d. Teknik Wawancara
Melalui teknik ini, penulis mengunakan komunikasi langsung atau
wawancara (interview), wawancara ini dilakukan secara mendalam (in
depth interview) dengan para informan tentang data-data yang diperlukan
yang sesuai dengan judul skripsi. Dalam wawancara ini, penulis telah
mempersiapkan beberapa pertanyaan yang ada kaitannya dengan judul
skripsi, dan di samping itu ada pula pertanyaan-pertanyaan yang tidak
tertulis.
2. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data
Data yang sudah terkumpul kemudian diklasifikasikan untuk disesuaikan
dengan masalah yang sedang dibahas. Adapun metode yang digunakan dalam
7
Data diambil dari salinan dokumen kantor Kelurahan Cinere, Depok, Lampiran II, hlm. 2 dan 25.
pengolahan data dan menganalisa data yaitu menggunakan pendekatan
fenomenologis. Sifat pokok pendekatan fenomenologis ini adalah membiarkan
realita (fakta), atau kejadian, atau keadaan, atau benda berbicara sendiri dalam
suasana intention.9 Tujuannya ialah untuk mencari pengertian-pengertian atau
untuk memahami konsepsi-konsepsi Yadnya Sesa dari sudut pandang penganut
Hindu.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang apa yang akan
diuraikan dalam skripsi ini, maka perlu penulis kemukakan susunan atau
sistematika penyusunan sebagai berikut:
BAB I Mencakup lima pasal pembahasan yang terdiri dari Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah,
Tujuan Penelitian Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II Memuat pembahasan menyeluruh tentang Korban Suci atau
Yadnya, Yadnya Sesa meliputi: pengertian, fungsi dan
tujuan, tata cara pelaksanaan dan makanan persembahannya
(banten), serta membahas tentang Filsafat Bhuta Kala
dalam kaitannya dengan Yadnya Sesa.
BAB III Memuat pembahasan tentang Kehidupan Umat Hindu yang
menitikberatkan pada pembahasan Grhyasta Asrama,
9
Sraddha, Bhakti Marga dan Masyarakat Hindu Cinere
berkaitan dengan pelaksanaan Yadnya Sesa.
BAB IV Memuat Telaah Pengorbanan dalam Konsep Hindu dan
Perspektif Islam berikut Analisanya.
BAB V Merupakan bab terakhir dari penyusunan skripsi ini yang
memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan dan ditutup
12
BAB II
KORBAN SUCI
A. Sekilas tentang Yadnya
Yadnya atau upacara merupakan bagian ketiga dari kerangka agama
Hindu. Dari sudut filsafatnya, yadnya ialah cara-cara melakukan hubungan antara
Atman dengan Paramatman, antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta
semua manifestasinya, Yadnya adalah jalan untuk mencapai kesucian jiwa. Untuk
upacara ini dipergunakan upacara ayat suci tentang Yadnya sebagai alat penolong
yang nyata untuk memudahkan manusia menghubungkan dirinya dengan Sang
Hyang Widhi Wesa dalam bentuk nyata.
1. Pengertian Yadnya
Yadnya dalam pengertian secara luasnya adalah suatu pengorbanan yang
sangat tulus tanpa pernah mengharapkan imbalan. Kata yadnya (yajna) berasal
dari bahasa Sanskerta dengan akar kata “Yaj” yang artinya memuja, menyembah,
berdoa atau pengorbanan.1 Kemudian kata yadnya ini berkembang dan
berkembang sehingga salah satu maknanya kita kenal dengan “korban suci”, yakni
korban yang dilandasi oleh kesucian hati, ketulusan dan tanpa pamrih.2
Adapun pengertian yadnya yang dipergunakan dalam bahasa sehari-hari
adalah upacara keagamaan yang sama artinya dengan Samskara atau Sanaskara.
Kata Samskara atau Sanaskara diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang
1
AA Gede Raka Mas, Tuntunan Susila untuk Meraih Hidup Bahagia, (Surabaya; Paramita, 2002), Cet. 1, hlm. 40.
2
berarti “Upacara”.3 Namun demikian, yadnya mengandung pengertian yang jauh
lebih luas dibandingkan pengertian upacara atau upakara.
Beryadnya berarti memuja Tuhan, juga bermakna menyucikan diri sendiri.
Melaksanakan yadnya merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas
spiritual manusia. Tujuan beryadnya adalah agar mendapatkan tuntunan sinar
sucinya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga dalam mengarungi hidup yang
penuh gejolak ini mendapat ketenangan, kebahagiaan dan kesejahteraan.4
Demikian pula di dalam setiap keluarga harus saling mengorbankan diri
demi berhasilnya sebuah keluarga. Kemudian dari tingkat keluarga rasa
pengorbanan tersebut hendaknya ditingkatkan pula ke dalam kehidupan
bermasyarakat, lalu bernegara dan seterusnya. Sebab Tuhan pun di dalam
menciptakan alam semesta ini juga melalui pengorbanan. Tidak ada perjuangan di
dunia ini tanpa melalui pengorbanan. Terutama sekali berkorban demi
kepentingan Tuhan dan kepentingan manusia demi untuk keseimbangan hidup di
dunia. Karena itu, pengorbanan yang tulus tanpa menuntut imbalan, itulah yang
dinamakan yadnya, pengorbanan yang paling utama sesuai dengan yang
dianjurkan oleh ajaran Agama. Di dalam kitab suci Bhagavad-gita III.10,
disebutkan:
Sahayajnah prajah sristwa puro waca prajapatih anena prasawisya dhiwam esa wo’sstwista kamadhu
3
Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 4.
4
Artinya:
“Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan Tuhan telah menciptakan manusia melalui Yadnya dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana lembu perahan yang memerah susunya karena
keinginanmu (sendiri).”5
Demikian pula dalam kitab suci Manawa Dharma Sastra Bab. III.75,
tertulis sebagai berikut:
Swadhyaye nityayuktah syaddaiwe caiweha karmani, daiwakarmani yukto hi
bibhar timdam caracaram
Artinya:
“Hendaknya setiap orang yang menjadi kepala rumah tangga setiap harinya menghaturkan mantra-mantra suci Weda dan juga melakukan upacara pada para Dewa karena ia yang rajin menjalankan yadnya pada hakekatnya membantu ciptaan Tuhan baik
yang bergerak maupun yang tak bergerak.”6
Karena itu alam semesta ini sebenarnya timbul atau diciptakan melalui
proses yadnya, serta dipelihara oleh yadnya. Tanpa melalui yadnya, alam semesta
ini pasti tidak akan pernah ada. Demikian pula tanpa ditunjang oleh yadnya, alam
semesta ini pasti akan mengalami kehancuran. Pelaksanaan yadnya sebenarnya
sangat penting untuk menyeimbangkan perputaran siklus di dalam kehidupan ini.
Hanya dengan cara seperti itu suatu kehidupan baru bisa dipelihara, serta
berkembang sesuai dengan yang semestinya. Selain itu Yadnya juga dipengaruhi
adanya filsafat hutang atau Rna yakni: Dewa Rna : adalah hutang
5
G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III. 10.
6
hidupkehadapan Ida Hyang Widhi. Pitra Rna : adalah hutang suci kepada Rsi.
Rsi Rna : adala hutang jasa kepada para Leluhur.7
Karena itu setiap umat Hindu selalu melaksanakan upacara Yadnya di
dalam kehidupannya, terutama umat Hindu yang ada di Bali. Bagi mereka tidak
ada hari tanpa upacara. Hal tersebut merupakan cermin kehidupan masyarakat
Hindu Bali yang religius. Sebab umat Hindu lebih mengutamakan perbuatan yang
baik daripada hanya sekedar teori. Penghayatan agama umat Hindu tercermin
dalam setiap aktivitas kesehariannya di mana pelaksanaan Yadnya Sesa termasuk
salah satu aktivitas tersebut.
2. Bentuk Yadnya
a. Panca Yadnya
Ada lima perwujudan yadnya yang dikenal oleh umat Hindu dengan Panca
Yadnya, sebagai berikut:
1) Dewa Yadnya; yadnya yang ditujukan ke hadapan Tuhan/Ida Hyang
Widhi beserta manifestasi-Nya;
2) Pitra Yadnya; yadnya yang ditujukan kepada para leluhur dan kepada
yang mendahuluinya;
3) Rsi Yadnya; pengorbanan yang ditujukan kepada orang-orang suci dari
pimpinan agama yang sudah mendwijati;
4) Bhuta Yadnya; pengorbanan yang ditujukan kepada para Bhuta dan
segala makhluk ciptaan Tuhan yang lebih rendah dari manusia;
7
5) Manusia Yadnya; segala pengorbanan yang ditujukan untuk
pemeliharaan umat manusia mulai dari dalam kandungan sampai akhir
hidup manusia itu.8
b. Sarana Yadnya
Menurut Bhagavadgita IV.28, sarana yadnya dapat berupa:
1) Drawya Yadnya, yaitu yadnya dengan sarana benda-benda material dan
kekayaannya;
2) Tapa Yadnya, yaitu yadnya dengan melaksanakan tapa atau latihan batin;
3) Yoga Yadnya, yaitu yadnya dengan melaksanakan yoga;
4) Swadhyaya Yadnya, yaitu yadnya dengan mempelajari ajaran suci;
5) Jnana Yadnya, yaitu yadnya dengan ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan.9
3. Pelaksanaan Yadnya
Pelaksanaan yadnya terbagi dua, yakni:
a. Nitya Karma, disebut juga Nimita Karma yakni pelaksanaan yadnya setiap
hari (rutin), termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan upacara Yadnya
Sesa dan pembacaan Gayatri Mantra.
b. Naimitika Karma, pelaksanaan yadnya pada waktu-waktu tertentu
(berkala), seperti upacara Ngaben, dilaksanakan berdasarkan Desa (tempat
8
Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 3. Lihat juga G. Pudja dan Tjokorda Rai,
Manawa Dharma Sastra, ((Jakarta: Nitra Kencana Buana, 2003), Bab III. 69-71, hlm. 151.
9
di mana yadnya akan dilaksanakan) dan Kala (perhitungan hari baik) dan
Patra (keadaan ekonomi).10
B. Yadnya Sesa
1. Pengertian Yadnya Sesa
Semua perbuatan kebajikan dapat diartikan ‘Yadnya’ atau kurban suci atau
upakara (banten). Sedangkan ‘Sesa’ berasal dari kata ‘Wisesa’ yang dapat berarti
religius dan mengandung sifat-sifat ‘pengeruat’ (penyupatan), maksudnya sebagai
simbol dari kekuatan-kekuatan di luar diri manusia yang dilaksanakan untuk
memelihara keseimbangan Sarwa Prani (alam semesta beserta isinya).11
Upacara Yadnya Sesa, atau yang disebut juga Ngejot atau Banten Saiban,
adalah pelaksanaan Yadnya yang dilakukan setiap hari (Nimita Karma).12 Upacara
Yadnya seperti ini biasanya dilaksanakan pada saat selesai memasak di dapur.
Pelaksanaan upacara seperti ini adalah salah satu bukti di dalam ajaran agama
Hindu, bahwa sebelum menyantap makanan, terlebih dahulu seseorang harus
mempersembahkannya untuk Tuhan yang telah menciptakan segala yang ada
sebagai wujud rasa terima kasih kita kepada Tuhan. Seseorang juga harus
menyisihkan sebagian makanan sebagai permohonan ijin kepada-Nya. Sebab
tanpa memohon ijin terlebih dahulu, berarti sama saja dengan mencuri namanya.
Sebagaimana tertulis sloka suci Bhagavad-gita, Bab III sloka 13, sebagai berikut:
10
I. B. Putu sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2001), hlm. 6.
11
I. B. Putu sudarsana, Ajaran Agama Hindu: Makna Upacara Bhuta Yadnya, (Denpasar: Yayasan Dharma Acarya, 2001), hlm. 67.
12 I. B. Putu sudarsana,
Yajna sistasinah santo mucyante sarva kinbisaih bunjate te twagham papa ye pacanty atma karanat
Artinya:
“Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, (tetapi) ia yang hanya memasak makanan hanya bagi diri sendiri,
sesungguhnya makan dosa.”13
Itulah sebabnya umat Hindu mempersembahkan sebagian makanannya
terlebih dahulu sebelum mereka memakannya. Persembahan itu sebenarnya
sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka ke hadapan Tuhan. Di samping itu
persembahan itu menandakan sebagai pengakuan bahwa semua yang ada di dunia
ini adalah milik Tuhan, makanan apapun bentuknya yang mereka makan harus
memohon ijin terlebih dahulu. Apalagi mengingat makanan yang dimakan
sebelumnya berupa makhluk hidup, seperti hewan dan tumbuhan, sehingga jika
ingin memakannya tentu harus menghilangkan nyawa dari hewan dan tumbuhan
tersebut. Dan dengan menghilangkan nyawa dari sumber makanan tersebut,
manusia hendaknya memohon izin terlebih dahulu kepada Sang Kuasa.
Dan itu pula sebabnya umat Hindu tidak boleh sembarangan untuk
memakan ataupun membunuh makhluk lainnya. Sebagaimana tertulis dalam kitab
suci Manawa Dharma Sastra, Bab III sloka 68, sebagai berikut:
Panca suna grhasthasya culli pesanyu paskarah,
kandani codakumbhacca badha yate yastu wahayan
Artinya:
13
“Seorang kepala keluarga mempunyai lima macam tempat penyembelihan yaitu tempat masak, batu pengasah, sapu lesung dan alunya, tempayan tempat air dengan pemakaian mana ia diikat oleh
belenggu dosa.”14
Dengan memberikan sesuatu kapada Tuhan, mereka akan terdidik untuk
mambiasakan diri berbuat bagi kepentingan umum tanpa meminta suatu imbalan
dan mengakhirkan segala kepentingan pribadi. Sebab apabila seseorang berbuat
baik, karma yang baik pun akan senantiasa menyertainya.
Dengan demikian, dengan melalui persembahan (banten) Yadnya Sesa
umat Hindu berusaha untuk mengikis kenikmatan duniawi agar mencapai
kebebasan rohani. Karena itu secara tidak langsung umat Hindu telah menciptakan
keharmonisan, hidup berdampingan antara makhluk yang satu dengan yang lain.
Sebab, persembahan Yadnya Sesa itu akhirnya akan dinikmati oleh makhluk
lainnya.
2. Fungsi dan Tujuan
Untuk mengetahui fungsi dan tujuan Yadnya Sesa, sebelumnya kita harus
tinjau dahulu fungsi dan tujuan Yadnya secara garis besarnya yakni:
a. Sebagai sarana untuk menyeberangkan Atma (jiwa) mencapai Brahman,
yang diumpamakan sebagai sebuah kapal untuk membawa
penumpangnya menuju tempat tujuan. Dalam hal ini untuk membawa
manusia mencapai tingkat moksa;
14
b. Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan, agar
semua harapannya bisa terwujud serta senantiasa dilindungi oleh-Nya;
c. Sebagai sarana untuk mencapai suasana yang terang dan penuh dengan
kesucian.
d. Sebagai sarana pendidikan untuk menumbuhkan perilaku yang sopan.15
Menurut R. B. Pandey, di dalam bukunya, “Hindu Samskara:
Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya”, fungsi dan tujuan Yadnya
Sesa adalah:
a. Membuat atau menjadikan sifat welas asih serta penyayang terhadap
sesamanya;
b. Pelaksanaan yadnya juga bisa menyebabkan semakin berkurangnya
perasaan yang negatif yang telah menguasai diri manusia;
c. Juga mampu untuk menumbuhkan sifat-sifat kerohanian, sehingga
menyebabkan orang-orang menjadi sabar, wajar, serta tenang
menghadapi segala macam cobaan;
d. Menumbuhkan sifat-sifat sosial, suka berdana punia16 serta tidak
mempunyai sifat egois (hanya senang mementingkan diri sendiri);
e. Mengembangkan serta membina kepribadian, sehingga dengan
melaksanakan yadnya akhirnya bisa untuk membudayakan tingkah laku
yang sopan, berpikiran suci mulia;
15
G. Pudja, Acara Agama Hindu, (Surabaya: Paramita, 1985), hlm. 28
16
f. Yadnya juga sebagai sarana pendidikan, yaitu dengan menciptakan
tempat pelaksanaan yadnya dari yang tidak suci menjadi suci.17 Itu pula
sebabnya alat-alat yang dipakai untuk upacara harus disucikan terlebih
dahulu melalui upacara Prayascita.18 Dengan demikian, seseorang
termotivasi untuk berpikir suci serta berperilaku yang baik sesuai dengan
ajaran agama.
Di dalam kitab suci Bhagavad-gita, Bab III sloka 15, disebutkan bahwa
alam semesta ini sebenarnya timbul atau diciptakan melalui proses yadnya dan
dipelihara oleh yadnya. Karena itu, tanpa melalui yadnya, alam semesta ini pasti
tidak akan pernah ada. Demikian pula tanpa ditunjang oleh yadnya, alam semesta
ini pasti akan mengalami kehancuran. Demikianlah semua berjalan
berkesinambungan guna memelihara keseimbangan siklus kehidupan di alam
semesta ini. Sebagaimana tertulis dalam kitab suci Bhagavad-gita Bab III sloka
15, sebagai berikut:
Anand bhawanti bhutani prajnyad annasambhawah yadjnad bhawati parjanyo yadjnad karma samadbawah
Artinya:
“Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yadnya, sedangkan adanya yadnya
adalah karena perbuatan (karma).”19
17
R. B. Pandey, Hindu Samskara: Melaksanakan Yadnya Ditinjau dari Segi Moralnya,
(Surabaya: Mayasari, 1985), hlm. 11.
18
Upacara Prayascita adalah upacara yang bertujuan untuk membersihkan, alat-alat upacara dibersihkan melalui sesajen Prayascita, lihat Ida Ayu Putu Surayin, Melangkah ke Arah Persiapan Upacara-upacara Yajna: Seri I Upakara Yajna, (Surabaya: Paramita, 2002), hlm. 96.
19
Oleh karena itu, setiap hidangan harus dipersembahkan kepada Tuhan dan
didoakan agar menjadi suci untuk dimakan. Tanpa melakukan Yadnya Sesa,
makanan itu hanya berupa sampah yang selalu dikotori oleh berbagai unsur klesa
(dosa) yang ada di dalam bahan makanan dan termasuk noda dari si pembuat
makanan tersebut. Dengan mengucapkan doa (mantra) dan dipersembahkan
kepada Tuhan, makanan yang tadinya kotor akan berubah menjadi suci
(prasadham)20. Dengan demikian, makanan tersebut akan menjadi suatu kekuatan
yang dahsyat sehingga layak untuk dimakan.
Tuhan menciptakan segala yang dibutuhkan agar semua makhluk dapat
berkembang sebagaimana mestinya. Sebagai wujud rasa terima kasih umat Hindu
kepada Tuhan, mereka diharuskan menyisihkan sebagian makanan.
Mempersembahkan makanan ini juga dipandang sebagai permohonan izin
kepada-Nya karena mereka bermaksud mengambil apa yang menjadi milik-Nya
semata. Tanpa memohon ijin terlebih dahulu, seseorang sama seperti seorang
pencuri yang mengambil milik Tuhan. Seperti yang tertulis dalam kitab suci
Bhagavad-gita III.13, sebagai berikut:
Yajna sistasinah santo mucyante sarva kinbisaih bunjate te twagham papa ye pacanty atma karanat
Artinya:
“Orang-orang yang baik yang senantiasa memakan apa yang tersisa dari pelaksanaan yadnya, mereka itu sebenarnya telah terlepas dari
papa (dosa). Akan tetapi, bagi mereka yang memakan makanan tanpa
20
melalui yadnya atau yang selalu mengutamakan makanan untuk kepuasan dirinya sendiri, mereka itu tidak ubahnya seperti seorang
pencuri yang penuh dengan papa klesa.”21
3. Tata letak Pelaksanaan
Tempat pelaksanaan upacara Yadnya Sesa adalah di tempat-tempat yang
dianggap penting oleh umat Hindu, dasarnya adalah kitab Manawa Dharma Sastra
Bab III.68.22 Di tempat-tempat itu pula persembahan Yadnya Sesa diletakkan,
yakni di lima tempat berikut:
a. Di altar perapian atau di dapur. Persembahan diletakkan di dekat api atau
kompor. Persembahan ditujukan kepada Dewa Brahma (Dewa yang
menguasai api). Melalui persaksian api inilah persembahan Yadnya Sesa
diterima, sebab api dipandang sebagai saksi dan manifestasi dari Tuhan
dan api juga merupakan mulutnya para dewa di dalam fungsinya sebagai
pelebur segala yang ada (pralina);
b. Di tempat penyimpanan air. Persembahan diletakkan di dekat sumur
ataupun di kamar mandi atau tempat penyimpanan (guci/jambangan) air.
Persembahan ditujukan kepada Dewa Baruna (Dewa yang menguasai
air), yaitu lambang sebagai penyucian segala kotoran. Di samping itu air
adalah lambang dari sumber kehidupan, merupakan salah satu unsur dari
Panca Maha Bhuta, salah satu sarana yang sangat penting dalam ajaran
agama Hindu;
21 G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab III.13, hlm. 34. 22
c. Di atas genteng/atap rumah, persembahan ditujukan kepada Dewa Bayu
(Dewa Udara). Dengan melakukan persembahan ini, manusia diingatkan
untuk selalu menghormati udara dan tidak boleh mencemarinya, sebab
tanpa udara mustahil bagi manusia untuk hidup dan bernafas;
d. Di pekarangan rumah, persembahan diletakkan di atas tanah dan
ditujukan kepada Dewi Pratiwi atau Bumi sebagai simbol kebijaksanaan
dan kasih sayang yang selalu memberikan makanan (hasil bumi) kepada
seluruh makhluk;
e. Di tugu penunggu karang, ditujukan kepada Dewa Akasa atau
Kehampaan, yang merupakan simbol Tuhan yang tiada akhirnya, asal
mula dari segala yang ada. Karena itulah persembahan Yadnya Sesa
diletakkan di tugu yang diyakini sebagai simbol Tuhan yang senantiasa
mengawasi perjalanan kehidupan seluruh umat manusia. 23
Upacara Yadnya Sesa seperti ini sebenarnya adalah salah satu wujud
persembahan yang ditujukan kepada Tuhan yang tidak pernah bisa kita lihat
melalui mata yang serba terbatas (niskhala).
4. Tata Cara Pelaksanaan
Berdasarkan penuturan dari Bapak A. A. Gede Raka Mas, tata cara
pelaksanaan Yadnya Sesa adalah sebagai berikut:
Setiap pagi sehabis memasak di dapur, dianjurkan untuk mengambil selembar daun pisang. Jika tidak tersedia diperbolehkan juga menggunakan selembar kertas yang bersih, atau piring kecil dari plastik ataupun dari bahan
23
lainnya asalkan bersih. Kemudian daun pisang atau kertas tersebut dipotong- potong. Pembagiannya berdasarkan besar kecilnya luas bangunan tempat tinggal keluarga yang melakukan persembahan Yadnya Sesa. Semakin luas bangunan, maka semakin banyak potongan persembahan Yadnya Sesa tersebut. Jumlah persembahannya tergantung banyaknya tempat-tempat yang dianggap penting oleh umat Hindu. Jika rumah tangganya sangat besar dan bangunannya sangat luas, seperti yang terdapat di Bali, maka potongan persembahan Yadnya Sesa-nya dapat mencapai 150 potong persembahan. Contoh ukuran potongan daun atau kertas tersebut adalah 4x4 cm. Setelah siap, daun pisang atau kertas tersebut diisi dengan nasi, yang ukuran minimalnya 2 cm, lalu ditambahkan dengan garam dan lauk-pauk. Semua makanan hanya diisikan sedikit-sedikit karena sifatnya sebagai simbol belaka. Hal yang patut diperhatikan pada waktu membuat persembahan
adalah keikhlasan sebagai kesadaran bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Setelah diisi, persembahan Yadnya Sesa ini lalu diletakkan di tempat-tempat
seperti di dekat kompor, di dekat penyimpanan makanan, di tempat
penyimpanan air, di halaman, di tempat bersembahyang (Pura) dan lain-lain yang tujuannya dipersembahkan ke hadapan Dewa Akasa, Dewa Bayu, Dewa Agni, Dewa Air, dan Dewa Pertiwi. Oleh karena itu Yadnya yang akan dipersembahkan setiap harinya sebanyak lima tangkih (lima macam sesuai dengan urutan Panca Maha Bhuta), dan jika dipersembahkan satu- persatu maka tempat pelaksanaannya disesuaikan dengan urutan dewa-dewa
yang dituju.24
Setelah sampai di tempat yang dituju, doa (mantra) dihaturkan untuk
memusatkan pikiran sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan yang telah
memberikan berbagai macam kenikmatan hidup. Setelah melaksanakan Yadnya
Sesa seperti itu, berarti makanan yang dihidangkan telah suci dan menjadi
prasadham.25 Dengan demikian, makanan tersebut dianggap sah dan layak untuk
dimakan.
5. Doa Sebelum dan Sesudah Menghaturkan Yadnya Sesa
Berdasarkan kutipan dari Gede Pudja dalam buku Pengantar Agama
Hindu II, sebagai berikut:
24
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
25
“Pemujaan atau doa dapat dilakukan oleh setiap orang, di mana saja, kapan saja, sendiri atau berjemaah. Di samping itu dikemukakan pula bahwa doa dapat dilakukan tidak hanya dengan kata-kata atau dapat dilakukan dengan bahasa lain misalnya dengan menggunakan symbol atau alat-alat sebagai pengganti bahasa. Dengan demikian dapat dibedakan:
a. Doa yang dilakukan dengan cara pengucapan kata-kata, misalnya dengan pengucapan mantra-mantra menurut bahasa yang terdapat dalam Weda, maupun menurut bahasa dan kalimat yang disusun terlebih dahulu menurut tujuannya;
b. Dengan mempergunakan alat-alat yang merupakan bahasa simbol;
c. Dengan mempergunakan doa mantra dan simbol misalnya sesajen, yang
juga disebut yadnya.”26
Mantra adalah ayat-ayat suci yang dipergunakan untuk melakukan
pemujaan, karena itu mantra dinamakan doa. Kata lain yang sering dipergunakan
yang sama artinya ialah stuti/stava. Jadi stuti atau stava adalah ayat-ayat Veda
yang dipergunakan untuk melakukan puji-pujian kepada Tuhan.27
Dalam kehidupan beragama, unsur kepercayaan akan doa merupakan
bagian yang sangat penting sekali. Dalam setiap kejadian, doa selalu disampaikan
untuk segala tujuan, ini merupakan ciri khas dari tata kehidupan beragama. Tanpa
percaya akan kedudukan dan penggunaan doa itu, maka tidaklah ada artinya doa
itu. Oleh karena itu telah disadari bahwa doa itu penting, karena doa merupakan
bagian dari unsur keimanan dalam beragama menurut ajaran agama Hindu.28
Ada berbagai jenis doa yang dipergunakan oleh seluruh umat Hindu di
dunia dengan berbagai versi dan bahasa. Keberagaman itu tidak membatasi umat-
Nya, entah cara dan sarana apapun yang mereka pakai. Istilah apapun dalam
mengucapkan mantra itu tidak ada patokan yang baku. Entah mereka itu
26
Gede Pudja, Pengantar Agama Hindu II, (Surabaya: Paramita, 1976), hlm. 28.
27
I Made T., Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), hlm. 11-13.
28
mempergunakan bahasa Sansekerta, bahasa Indonesia atau bahasa daerah
setempat dan sebagainya.
Telah dikemukakan bahwa doa adalah salah satu daripada unsur keimanan
dalam agama Hindu, dengan fungsi kedudukan doa sebagai salah satu unsur
Sraddha dalam agama Hindu, menyebabkan kedudukan doa dalam agama sangat
penting sekali artinya. Dan telah menjadi kebiasaan bahwa dalam setiap doa selalu
dikemukakan berbagai pengharapan agar Tuhan selalu memberikan rahmat
kepada yang berdoa. Dengan demikian maka kedudukan doa dapat dikatakan
sangat luas. Fungsi dan tujuannya tidak selalu sama, tergantung darimana orang
melihatnya. Yang penting bahwa adapun fungsinya dan tujuannya, doa itu
mempunyai arti dalam kehidupan mereka yang beriman. Karena itu dasarnya
adalah keimanan (sraddha) atau percaya atas kebenaran isi dari pada doa itu.
Umumnya umat Hindu di Bali dan di luar Bali mempergunakan kedua-
duanya, yaitu bahasa setempat dan bahasa Indonesia serta bahasa Sanskerta.
Ketika menghaturkan Yadnya Sesa ke hadapan Sarwa Prani, yakni kepada
simbol-simbol Sang Hyang Widhi yang bersifat bhuta, yang bantennya diletakkan
di tanah, mantranya adalah sebagai berikut:
Om atma tat swatma suhamam swaha, Swasti-swasti sarwa bhuta, kala, durgha, sukha pradhana
ya namah swaha
Artinya:
yang berwujud Bhuta, kala, dan durgha.”29
Kemudian ketika menghanturkan persembahan untuk para Dewa dan
leluhur, mantranya sebagai berikut:
b. Untuk para Dewata
Om atma tat swatma suhamam swaha, Swasti-swasti sarwa dewa,
sukha pradhana ya namah swaha
Artinya:
“Om Sang Hyang Widhi Wasa, Engkaulah Paramatma daripada Atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu
yang berwujud Dewa.”30
c.Untuk Leluhur
Om buktyantu pitara dewam Bukti mukti waras wadah, Ang Ah31
Setelah selesai menghaturkan Banten Jotan, tibalah saatnya menghadapi
hidangan baik di atas meja maupun di lantai beralas tikar. Di beberapa daerah
pemanggilan empat orang saudara untuk diajak makan bersama sudah lumrah
dilakukan.
Versi Bali jika tidak mempergunakan bahasa Sanskerta, maka doanya
sebagai berikut:
a. Pada Pagi Hari
29
Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 43.
30
Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 42.
31
Artinya:
Inggih Ratu Sang Hyang Sunya Amerta, sane mangkin semeng,
I Ratu meraga Sang Hyang Surya Ditya tumurun iriki ring sarwa ajengan,
raris munggah ring sariran kusan titiang, ngamertanin sane sarwa maurip,
dumadi jatma muah sesanak itiang kabeh, mepageh urip titiang,
Om sawa Amerta ya Namah.
“Oh Ratu Sang Hyang Sunya Amertha, saat ini pagi hari,
Engkau bergelar Sang Hyang Surya Ditya, Engkaulah yang memberkati semua, hidangan ini, kemudian semua makanan ini, akan pindah ke dalam tubuh saya, menghidupkan semua makhluk,
apakah itu manusia atau
makhluk jelmaan lainnya, sehingga teguh dan panjang umurlah hamba
dan makhluk ciptaan-Mu
Om Sarwa Amerta Ya Namah!”32
b. Pada Siang Hari
Inggih Ratu Sang Hyang Sunya Amerta, sane mangkin tajeg surya,
I Ratu meraga Sang Hyang Baskar Amerta,
temurun iriki ring sarwa ajengan sane nenten diriki, raris munggah ring sariran kusan titiang,
nemertanin sane sarwa maurip,
dumadi jatma muah sesanak titiang kabeh, mapageh urip titiang.
Om Sarwa Amerta ya Namah.
Doa yang dilakukan pada sore hari dan malam hari, sama dengan yang kita
lakukan saat pagi hari, hanya saja gelar beliau berganti menjadi: Sang Hyang
Panca Amerta.33
32
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 9.
33
Berikut ini, marilah kita simak bersama beberapa bait doa dalam bahasa
Sansekerta dalam hal menghadapi makanan:
Artinya:
Om hirangagarbah samawartatagre bhutasya jatah patireka asit
sadadhara pritiwim dyam uteman kasmai dewaya hawisa widhema Om Purnam adah purnamidam purnat purnama daya
purnamewawasyate.
“Ya Tuhan Yang Maha Pengasih, Engkau asal alam semesta dan satu-satunya kekuatan awal,
Engkau yang memelihara semua makhluk, seluruh bumi dan langit,
hamba memuja Engkau.
Ya Tuhan Yang Maha Sempurna dan yang membuat alam sempurna,
alam ini akan lenyap dalam kesempurnaan-Mu, Engkau Maha Kekal.
hamba mendapat makanan yang cukup berkat anugerah-Mu.
hamba menghaturkan terima kasih.”34
Om annapate annasya
no dehyanmiwasya susminah pra-pra dataram taris urjam nho dhehi dwipade catuspade.
Artinya:
“Ya Tuhan,
Engkau penguasa makanan, anugrahkanlah makanan ini, semoga memberi kekuatan
dan menjauhkan dari penyakit.”35
c. Doa mulai mencicipi makanan
34
Niken Tambang R., Yajna Sesa: Persembahan kepada Sarwa Prani, (Surabaya: Paramita, 2005), hlm. 11.
35
Artinya:
Om anugraha amtadi sanjiwani ya namah swaha.
“Ya Tuhan, semoga makanan ini menjadi
penghidupan hamba lahir dan batin yang suci.”36
d. Doa Selesai Makan
Om Dhirgayur astu,
awighnamastu, subham astu
Om Sriyam bhawantu, sukham bhawantu, purnam bhawantu,
ksama sampurnaya namah swaha. Om Shanti, Shanti, Shanti Om.
Artinya:
“Ya Tuhan semoga makanan
yang telah masuk ke dalam tubuh hamba memberikan kekuatan dan kesehatan, panjang umur dan tidak mendapat sesuatu halangan apapun.
Ya Tuhan, semoga damai, damai di hati, damai di dunia,
damai selama-lamanya.”37
C. Makanan Persembahan (Banten)
Tujuan makan adalah untuk memelihara badan, kesehatan dan kehidupan.
Di samping untuk memelihara badan (jasmani), makanan juga berfungsi untuk
kesehatan rohani. Semua orang mendambakan dan mencari kebahagiaan dalam
hidupnya. Sedangkan kebahagiaan tersebut hanya dapat dicapai jika seseorang
36
Redaksi Pustaka Manikgeni,, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, tt.) Edisi Revisi, hlm. 44.
37
dalam keadaan yang sehat jasmani dan rohaninya. Kitab suci Bhagavadgita Bab
XVII sloka 8-10 membedakan makanan menjadi tiga, sebagai berikut:
1. Sattvika (vegetarian), yaitu makanan dan minuman yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, termasuk air murni dan susu segar;
2. Rajasa, yaitu makanan dan minuman yang berasal dari hewani, yang
memabukkan (seperti minuman keras), termasuk pula makanan yang
terlalu pahit, terlalu asam, terlalu asin, terlalu pedas, terlalu berbumbu
serta makanan yang membuat badan menjadi panas;
3. Tamasa, yaitu makanan basi, busuk, atau sisa orang lain serta jenis
makanan yang diawetkan atau yang sudah dimasak berulang-ulang.38
Dengan demikian, umat Hindu meyakini bahwa makanan yang dapat
memberi energi hidup, energi kesehatan dan kebahagiaan digolongkan ke dalam
makanan sattvika, sedangkan rajasa adalah makan yang menyebabkan penyakit
dan kesedihan. Sementara makanan tamasa adalah makanan yang menyebabkan
kebodohan dan kegelapan.39
Makanan yang tergolong utama dan memenuhi syarat kesehatan adalah
makanan vegetarian. para pakar ilmu gizi, para tokoh agama, orang-orang suci,
senantiasa menganjurkan kepada umat manusia agar menjadi seorang vegetaris,
karena begitu besar manfaatnya menjadi seorang vegetarian (tidak makan daging),
maka makanan jenis inilah yang tergolong sattvika. Ada suatu ungkapan yang
mengatakan “Kamu adalah seperti apa yang kamu makan”. Mengkonsumsi daging
berarti memindahkan sifat-sifat hewan ke dalam tubuh manusia, maka dari itu
38
G. Pudja, Bhagavad-gita, (Jakarta: Dept. Agama RI, 1984), Bab XVII.8-10, hlm 99.
39
sangat dianjurkan untuk menjadi seorang vegetarian, atau mengkonsumsi
makanan nabati (yang berasal dari tumbuh-tumbuhan).
Makanan sattvika inilah makan yang terbaik untuk dipersembahkan
kepada Tuhan dalam berbagai upacara termasuk dalam upacara Yadnya Sesa.
Karena persembahan dalam Yadnya Sesa bersifat Bhakti, tentulah makanan
tersebut harus berdasarkan kasih sayang. Bahkan kitab suci menganjurkan agar
seseorang hendaknya mengusahakan untuk memperoleh makanan itu
berlandaskan dharma. Hal ini tersirat dalam kitab suci Reg Veda Bab XII.1.17,
yang berbunyi “Bumi ditegakkan oleh Dharma”40, maksudnya adalah jika
adharma (kejahatan) merajalela maka peradaban di muka bumi ini akan hancur
karena perbuatan demikian akan merusak keseimbangan kehidupan. Jika makanan
yang akan dipersembahkan kepada Tuhan merupakan hasil dari adharma, maka
yadnya orang yang mempersembahkannya akan menjadi sia-sia. Sebagaimana
bunyi sloka Sarasamuccaya 184, yang isinya sebagai berikut:
Pranasantapanirwistahkakinyo ‘pi
Mahapalah, anyayopajita data na pararthe sahasracah, Yadyapin akedika ikang dana, ndan mangene welkang ya,
agong phalanika, yadyapin akwqha tuwi, mangke welkang tuwi, yan antukning aniaya,
nisphala ika, kalinganya, ta si kweh, ta si kedik,
amuhara kweh kedik ning danaphala keneng paramarthanya,
nyayangyay ning dana juga.
Artinya:
40
“Biarpun sedikit pemberian (sedekah) itu, tetapi mengenai kehausan atau keinginan hati, besarlah manfaatnya. Meski banyak apabila menyebabkan semakin haus dan diperoleh dengan cara yang tidak layak atau tidak patut, tiada faedahnya itu. Tegasnya bukan yang banyak atau bukan yang sedikit faedah pemberian itu, melainkan pada
hakekatnya tergantung dari layak atau tidaknya pemberian itu.”41
D. Filsafat Bhuta Kala
Yadnya Sesa muncul sebagai akibat dari filsafat Samkya di mana pada
masa itu terjadi perubahan pemikiran di kalangan umat Hindu. Dari sanalah
bermula filsafat Bhuta Kala.
Kata Bhuta berasal dari suku kata bahasa Sanskerta “Bhu” yang artinya
menjadi, ada, gelap, berbentuk, makhluk, kemudian menjadi kata “Bhuta” yang
artinya telah diwujudkan. Sedangkan kata “Kala” berarti energi. Bhuta kala
artinya, energi yang timbul dan mengakibatkan kegelapan.42 Menurut filsafat
agama, Bhuta Kala adalah suatu kekuatan yang timbul sebagai akibat terjadinya
suatu kekuatan kerja di alam semesta beserta isinya, baik yang bersifat positif
maupun negatif, tergantung dari penyerasian Panca Maha Bhuta yang
bersemayam pada alam semesta (bhuwana agung) dengan Panca Maha Bhuta
yang bersemayam pada badan manusia (bhuwana alit). 43
hlm. 19.
41
I Nyoman Kadjeng, Sarasamuccaya, (Denpasar: Dharma Nusantara, 1998), hlm. 33.
42
Lihat juga Ida Pedanda, Lontar Tutur Andhabhuwana, (Denpasar: Puja Pepada, 1967),
43
Mengenai filsafat Bhuta Kala umat Hindu mempergunakan landasan sastra
agama “Prakerti Tattwa” antara lain:
Sang Hyang Widhi memiliki dua kekuasaan yaitu kekuatan “Purusa”
(Cetana) dan kekuatan “Prakerti” (Acetana). Dari kekuatan prakerti-Nya
memiliki mutu Daiwi Sampad (sifat kebaikan) dan Asuri Sampad (sifat
keburukan), tetapi yang paling dominan adalah mutu Asuri Sampad-Nya. Dari
sinilah terjadi proses manifestasi (melalui 25 tattwa) untuk diciptakan badan
materiilnya agar dapat dilihat secara nyata seperti terciptanya alam semesta
beserta isinya. Sang Hyang Prakerti bermanifestasi menjadi unsur-unsur alam
pikiran yang masih bersifat murni dan suci yang disebut “Mahat”. Dari adanya
unsur alam pikiran ini, mahat bermanifestasi lagi menjadi unsur-unsur
kepribadian yang disebut “Bhudi”. Dari bhudi bermanifestasi lagi dan lahirlah
“Ahamkara”, yaitu berupa unsur-unsur Triguna. Unsur-unsur Triguna tersebut
yakni: Waikerta Ahamkara (Sattvam), Taijasa Ahamkara (Rajah), dan Bhutadi
Ahamkara (Tamas).44
Dari Waikerta Ahamkara lahirlah Manah dan Dasendriya yaitu Panca
Bhudindrya dan Panca Karmendriya, sedangkan dari Bhutadi Ahamkara lahirlah
Panca Tan Matra yaitu: sabda tan matra, sparsa tan matra, rupa tan matra, rasa
tan matra dan ganda tan matra. Sedangkan Waikerta dan Taijasa Ahamkara
bergabung mendukung Bhutadi Ahamkara. 45
Kemudian Panca tan matra bermanifestasi menjadi Panca Maha Bhuta
yaitu: Teja, Bayu, Akasa, Apah dan Pertiwi. Panca Maha Bhuta inilah yang
44
I. G. Agung Putra, Wraspati Tattwa, (Surabaya: Paramita, 1988), hlm. 34.
45
memiliki kekuatan kegaiban berinfiltrasi (wiapiwyapaka nirwikara) sebagai
kekuatan alam semesta beserta isinya baik bersifat nyata maupun tidak nyata.
Kelima unsur tadi memberikan kekuatan pada masing-masing titik hypocentrum
seperti arah mata angin Timur, Selatan, Barat, dan Utara, sedangkan yang di
tengah-tengah merupakan sumber pengendali memberi kekuatan pada titik
epicentrum agar perputaran bumi pada sumbunya tetap harmonis, dalam keadaan
keseimbangan, demikian juga terhadap isi alam semesta. 46
Dari Panca Maha Bhuta lahirlah banyak tattwa lagi seperti bhuta tattwa,
kala tattwa, durga tattwa dan lain-lain. Semuanya itu disebut Prakerti Tattwa atau
Pertiwi Tattwa. Dari pengaruh prakerti tersebut akan ada pengaruh-pengaruh
yang bersifat kebajikan atau keburukan terhadap alam semesta. Dua pengaruh ini
akan selalu ada pada setiap insan sebagai alat bagi Sang Hyang Widhi untuk
menguji keteguhan imannya. Manusia dipacu kemampuannya dalam menciptakan
keseimbangan antara dirinya dan Sang Hyang dengan usaha menyadarkan diri
pribadi (Atman) agar senantiasa terhindar dari papa/dosa dan menetralisir
kekuatan Bhuta Kala melalui subha karma (kebajikan) seperti mengadakan
upacara Yadnya. 47
46
I Wayan Maswinara, Konsep Panca Sraddha, (Surabaya: Paramita, 1996), hlm. 14-16. Lihat juga I. B. Putu Sudarsana, Tutur Kandapat, (Denpasar: Kencana, 1987), hlm. 54.
47
BAB III
KEHIDUPAN UMAT HINDU
A. Grhasta Asrama
Umat Hindu mengenal tahapan-tahapan kehidupan yang harus dilalui
manusia untuk mencapai tujuan tertinggi dalam kehidupan beragamanya.
Tahapan atau tingkatan kehidupan ini adalah Catur Asrama. Catur berarti
“empat” dan Asrama berarti “usaha orang”. Secara seumantik, Catur Asrama
diartikan sebagai empat tingkatan hidup manusia.1 Susunan tingkatan Catur
Asrama adalah sebagai berikut:
1. Brahmacarin Asrama
Pada tingkatan hidup Brahmacarin, seorang dwija2 akan meninggalkan
rumah orang tuanya dan menetap sebagai siswa di kediaman seorang guru untuk
mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainnya. Pada tingkatan
ini, yang mendapat prioritas utama adalah dharma. Walaupun demikian, masalah
artha (mencari kebendaan), kama (kesenangan/hawa nafsu), dan moksa tetap
menjadi tujuan hidup.
2. Grhasta Asrama
Grhasta Asrama adalah masa hidup berumah tangga. Menurut persepsi
Hindu, yang disebut sebagai keluarga ialah seorang pria dan seorang wanita yang
1 I Made Titib,
Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 393-394.
2
telah melaksanakan upacara perkawinan yang selanjutnya hidup bersama dan
umumnya mereka kemudian tinggal di dalam sebuah rumah. Di dalam rumah
itulah mereka bersama-sama membina rumah tangga dalam rangka mencapai
tujuan hidupnya meliputi: dharmasampatti (bersama-sama mewujudkan
pelaksanaan Dharma), praja (melahirkan keturunan), dan rati (menikmati
kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya).3 Pada tingkatan ini dimulailah
pelaksanaan kewajiban seseorang terhadap keluarga, masyarakat dan kewajiban
terhadap para dewa. Dalam tahapan ini, yang menjadi prioritas utama adalah
Dharma namun pelaksanaan dharma tersebut disalurkan melalui artha dan kama.
Menurut ajaran Hindu, kebahagiaan hidup tidak mungkin tercapai bila artha dan
kama tidak mendapat perhatian yang sebaik-baiknya.4
3. Vanaprastha
Vanaprastha adalah tingkatan hidup melepaskan diri dari kehidupan
keduniawian dengan menjalani hidup di hutan. Tingkatan ini adalah tingkatan
yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala
kewajibannya diserahkan kepada anak laki-laki. Pada tingkatan ini yang menjadi
prioritas utama adalah mengabdikan diri secara keagamaan guna mencapai moksa.
4. Sanyasa
Sanyasa adalah tingkatan tertinggi di mana seseorang telah mencapai
moksa, yakni bersatunya Atma dan Brahman.5 Moksa ini dapat dicapai pula di
3
I Made Titib, Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, (Surabaya: Paramita, 2006), Cet. 5, hlm. 394.
4
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
5
waktu seseorang masih hidup, di mana ia telah melapaskan diri dari segala
keterikatan duniawi.6
Menurut A. A. Gede Raka Mas, Yadnya Sesa tidak bisa dilepaskan dari
hubungannya dengan Gryhasta Asrama karena di tingkatan hidup Gryhasta
Asrama-lah Yadnya Sesa mulai dilaksanakan.7 Sebagaimana tertulis dalam kitab
Manawa Dharma Sastra Bab III.67, yang berbunyi:
Waiwahike gnau kurwita grhyam karma yathawidhi panca yajna widhanam ca paktim canwahikim grhi
Artinya:
“Dengan menyalakan api suci dalam upacara perkawinan seorang kepala rumah tangga akan melakukan sesuai dengan hukum-hukum yang ada upacara keluarga dan upacara Panca Yadnya dan dengan
demikian ia memasak nasinya sendiri.”8
A. A. Gede Raka Mas menafsirkan sloka di atas bahwa seseorang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan Yadnya Sesa dikarenakan ia memasak
nasinya sendiri. Jika tidak memasak, misalnya memakan makanan hasil masakan
orang lain, maka ia tidak bertanggung terhadap pelaksanaan Yadnya Sesa
tersebut. Adapun wewenang pelaksanaannya dilimpahkan kepada siapa saja
anggota yang tinggal dalam satu atap. Baik ibu, ayah, anak, keponakan ataupun
pembantu, kewajibannya adalah sama. Intinya, makanan yang di masak di suatu
6
Wawancara pribadi dengan Bapak A. A. Gede Raka Mas, tanggal 28 Maret 2007.
7