• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Berbiak Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer, Schlegel, 1837) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku Berbiak Katak Pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer, Schlegel, 1837) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Rhacophorus merupakan salah satu marga dari famili Rhacophoridae yang tersebar di Afrika, Madagaskar, Asia Tenggara, dan Jepang (Hödl 2000). Di

Indonesia khususnya Pulau Jawa hanya terdapat dua jenis katak pohon sejati yaitu

Rhacophorus margaritifer dan Rhacophorus reinwardtii (Iskandar 1998). Katak pohon Jawa (R. margaritifer) termasuk jenis yang jarang ditemui dan pada tahun 2004 masuk daftar IUCN sebagai jenis Vulnerable (rentan). Meningkatnya penemuan R. margaritifer oleh para peneliti di daerah Pulau Jawa membuat statusnya diturunkan menjadi Least concern (beresiko rendah) (IUCN 2010).

Penyebaran populasi katak pohon Jawa hanya berada di Pulau Jawa (Jawa

Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur) pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl (Frost 2009). Di Jawa Barat, lokasi penyebaran yang diketahui saat ini adalah di

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun

Salak (Iskandar 1998, Kurniati 2003).

Aktivitas katak sangat menarik untuk diamati terutama interaksi antar

individu. Aktivitas ini membentuk perilaku sosial yaitu perilaku berbiaknya.

Menurut Sullivan et al. (2005) perilaku sosial katak yang menjadi pusat aktivitas yaitu perilaku berbiak. Pola berbiak katak terdiri dari dua macam yaitu prolonged breeding (lebih dari satu bulan) and explosive breeding (beberapa hari atau beberapa minggu) yang tergantung pada kondisi iklim tempat hidup katak (Wells

1977).

Penelitian perilaku berbiak katak pohon Jawa ini dilakukan karena

merupakan penelitian pertama yang membahas perilaku berbiak katak pohon

Jawa. Dalam penelitian ini, perilaku berbiak katak yang diamati meliputi perilaku

bercumbu yang dikarakteristikkan dengan vokalisasi katak jantan, sentuhan

antara katak jantan dan katak betina, amplexus (perkawinan) sampai pengeluaran telur. Dengan mengetahui perilaku berbiak katak pohon Jawa diharapkan dapat

(2)

1.2 Tujuan

Penelitian perilaku berbiak katak pohon Jawa memiliki tujuan :

1. Mengetahui karakteristik morfologi dan intensitas berbiak katak pohon

Jawa,

2. Mengetahui pemilihan waktu dan tempat berbiak katak pohon Jawa,

3. Mendeskripsikan sistematika perilaku berbiak katak pohon Jawa dimulai

dari pra-kawin sampai dengan paska kawin termasuk hal-hal yang

mengganggu proses berbiak,

4. Mendeskripsikan akustik suara katak jantan.

1.3 Manfaat

Penelitian perilaku berbiak katak pohon Jawa diharapkan dapat pembuka

wawasan, pengetahuan, dan kepedulian untuk mengenal amfibi lebih mendalam

terutama untuk menjaga lingkungan agar keberadaan katak pohon Jawa dapat

terjaga dan terlindungi. Penelitian ini juga diharapkan menjadi acuan bagi

pengelola kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango agar lebih

memperhatikan lingkungan dari segi fisik dan tidak melakukan perubahan

bentang alam sebagai habitat satwa khususnya tempat berbiak katak pohon Jawa

(3)

2.1 Taksonomi

Katak pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel, 1837) yang memiliki sinonim Rhacophorus barbouri Ahl, 1927 dan Rhacophorus javanus Boettger 1893) merupakan famili dari Rhacophoridae dan merupakan ordo dari

Anura. Di Indonesia, suku Rhacophoridae terbagi ke dalam 5 genus yaitu :

Nytixalus (2 jenis), Philautus (17 Jenis), Polypedates (5 Jenis), Rhacophorus (20 jenis) dan Theloderma (2 jenis) (Frost 2009). Dari seluruh jenis famili Rhacophoridae yang ada di Indonesia, hanya ada 8 jenis yang dapat ditemukan di

Pulau Jawa, dengan 2 jenis diantaranya berasal dari genus Rhacophorus yaitu Rhacophorus margaritifer dan Rhacophorus reindwartii (Iskandar 1998).

2.2 Morfologi

Katak pohon Jawa berukuran kecil sampai sedang dengan tubuh relatif

gembung. Jari tangan kira-kira setengah atau dua pertiganya berselaput. Semua

jari kaki kecuali jari keempat, berselaput sampai kepiringannya. Pada tumit

terdapat tonjolan kulit (Gambar 1a) dan terdapat lipatan kulit (flap) sepanjang pinggir lengan (Gambar 1b) ( Iskandar 1998 & Kurniati 2003).

Gambar 1 Penciri utama katak pohon Jawa. Ket : a) Tonjolan kulit b) Tonjolan pada tumit.

a

(4)

Ukuran katak pohon Jawa sangat tergantung pada jenis kelaminnya.

Individu katak jantan biasanya lebih kecil daripada individu katak betina.

Berdasarkan beberapa literatur, maka ukuran SVL (Snout Venth Length) yakni panjang dari moncong sampai tulang ekor tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan ukuran SVL katak pohon Jawa di Gunung Halimun Salak, Jawa Barat

primer. Jenis ini biasanya hidup di daerah yang berhutan di pegunungan bahkan di

hutan yang sudah terganggu. Penyebaran hanya berada di Pulau Jawa (Jawa

Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur) dengan ketinggian lebih dari 1000 mdpl

(Frost 2009). Sampai saat ini, diketahui penyebarannya diketahui hanya terdapat

di Pulau Jawa antara lain 2 daerah di Jawa Barat, 1 lokasi di Jawa Tengah, dan 1

daerah di Jawa Timur (IUCN 2009). Lokasi di Jawa Barat yaitu di Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(Iskandar 1998 & Kurniati 2003).

2.4 Perilaku Berbiak Amfibi

Menurut Duellman dan Trueb (1994), amfibi memiliki perilaku umum yaitu

perilaku makan, perilaku berbiak, perilaku bersuara, dan perilaku bersosial.

Amfibi memiliki perilaku yang unik dan beranekaragam dalam hal

perkembangbiakan. Keberhasilan berbiak tergantung dari pemilihan pasangan,

pemilihan lokasi berbiak, fertilisasi telur, dan perkembangan telur dan individu

muda.

Perkembangan strategi berbiak tergantung dari pemilihan jodoh dan lokasi

berbiak, percumbuan, keberhasilan perjodohan, dan perkembangan telur. Menurut

Goin et al. (1978) dan Hödl (2000), waktu perkembangbiakan amfibi sangat dipengaruhi oleh musim hujan dan suhu udara. Sebagai contoh, pada penelitian

(5)

mengeluarkan suaranya setelah hujan ketiga atau keempat pada awal musim hujan

(Kadadevaru & Kanamadi 2000).

2.4.1 Perilaku percumbuan

Menurut Duellman dan Trueb (1994), perilaku percumbuan ordo Anura

dimulai dengan katak jantan mencari perhatian katak betina dengan

menggunakan panggilan suara. Perilaku percumbuan merupakan suatu hal penting

dalam aktivitas berbiak, karena dapat menstimulasi individu lain utuk melakukan

aktivitas seksual (Goin dan Goin1971).

Menurut Duellman dan Treub (1994), suara yang dikeluarkan oleh Anura

terbagi atas :

a. Advertisement call: umumnya diketahui sebagai panggilan untuk berbiak. Suara yang dikeluarkan oleh individu katak jantan yang memiliki dua fungsi yaitu

untuk menarik perhatian katak betina dan menyatakan keberadaan individu

katak jantan lain baik yang sejenis ataupun berbeda jenis. Ada tiga macam

advertisement call, yaitu :

1) Courtship call: dihasilkan oleh katak jantan untuk menarik perhatian katak betina

2) Teritorial call: dihasilkan oleh katak jantan penetap sebagai suatu respon terhadap advertisement call katak jantan lainnya pada intensitas yang di ambang batas

3) Encounter call: suara yang ditimbulkan akibat interaksi yang dekat antar individu katak jantan untuk menarik perhatian katak betina

b. Reciprocation call: dihasilkan oleh katak betina sebagai tanggapan terhadap suara (Advertisement call) yang dikeluarkan katak jantan.

c. Release call: suara yang merupakan sinyal untuk melakukan atau menolak amplexus yang dikeluarkan oleh individu katak jantan atau katak betina.

d. Distress call: suara yang sangat pelan yang dikeluarkan oleh individu katak jantan dan katak betina sebagai respon terhadap gangguan.

2.4.2 Perilaku berbiak

Pada umumnya katak melakukan perkawinan eksternal dimana fertilisasi

(6)

dimana katak jantan berada di atas tubuh katak betina (Duellman dan Treub

1994). Posisi amplexus dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2 Beberapa tipe amplexus. Ket :a) Inguinal b) Axilary c) Cephalic d) Straddle e) Glued f) Independent (Sumber Gambar : Duellman

dan Trueb 1994).

Menurut Duellman dan Treub (1994) beberapa tipe amplexus yang umum terjadi pada anura yaitu:

a. Inguinal: kaki depan katak jantan memeluk bagian pinggang dari katak betina. Pada posisi ini kloaka dari pasangan tidak berdekatan.

b. Axillary: kaki depan katak jantan memeluk bagian samping kaki depan katak betina. Posisi kloaka pasangan berdekatan

c. Cephalic: kaki depan katak jantan memeluk bagian kerongkongan katak betina

d. Straddle: kaki katak jantan menunggangi katak betina tanpa memeluk katak betina

e. Glued: kaki katak jantan berdiri belakang katak betina dan mendekatkan kedua kloaka masing-masing

f. Independent: kedua katak saling membelakangi dan menempelkan kloaka secara bersamaan.

2.4.3 Perilaku bersarang

Pembuatan sarang dan peletakan telur berkaitan dengan proses pengeringan,

pemangsa, dan cahaya matahari (Hofrichter 2000). Menurut Goin et al. (1987), penggunaan tempat untuk bertelur bagi amfibi sangat beragam. Telur dapat

e f

d

c b

(7)

diletakkan di tempat terbuka, berada di atas air, di air yang mengalir, di bawah

batu atau kayu lapuk, dan di lubang atau di daun yang di bawahnya terdapat air

menggenang.

Menurut Duellman dan Treub (1994) beberapa tipe peletakan telur, yaitu :

a. Aquatic oviposition : telur terlindungi oleh gell yang dapat ditembus oleh sperma, diletakkan di permukaan air, dasar air, serasah di dalam air, tumbuhan

air, dan di sela-sela bebatuan.

b. Arboreal oviposition : telur diletakkan pada dedaunan, batang, maupun pada tumbuhan mati dan selanjutnya terbawa oleh air hujan dan terlarutkan pada

suatu genangan air.

c. Foam-nest construction : telur diletakkan pada busa yang dibuat dari hasil aktivitas setelah amplexus dengan gerakan kaki katak betina. Peletakan sarang berada di dekat perairan, di atas perairan, maupun lokasi yang sering di aliri air.

Beberapa jenis amphibi seperti Gastrotheca walkeri, peletakan telur adalah di tubuh katak betina. Setelah telur dikeluarkan dan dibuahi telur dimasukkan ke

dalam kantung yang berada pada tubuh katak betina. Pada jenis Flectonotus goeldii dan Epipedobates tricolor telur diletakkan di atas punggung katak betina dan pada jenis Rheobatrachus silus telur katak yang telah dibuahi dimasukan ke dalam mulutnya selama enam sampai tujuh bulan sampai telur berubah menjadi

katak muda (Hödl 2000). Laporan mengenai peletakan telur katak di Indonesia

antara lain dilaporkan oleh Yazid (2006) dan Irawan (2008).

Menurut Yazid (2006), telur Rhacophorus reindwardtii di Kampus IPB Dramaga diletakkan pada dua tempat yaitu 1) di daun di atas pohon (merupakan

hal yang umum); 2) di antara serasah dan rumput kemudian ditutupi dedaunan

kering yang ada di sekitarnya. Jika hujan deras, telur yang sudah bekembang

menjadi berudu jatuh ke air atau terbawa oleh aliran air hujan menuju ke dalam

parit. Sementara itu, menurut Irawan (2008), telur katak pohon bergaris

(8)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember

2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini

untuk mengetahui konsentrasi katak, lokasi berbiak, dan waktu berbiak.

Pengambilan data perilaku berbiak dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai

November 2009. Pengamatan dilakukan secara terkonsentrasi di jalur Cibodas,

mulai dari kantor Cibodas (jalur Ciwalen) sampai air terjun Cibeureum. Lokasi

penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Peta jalur wisata kawasan air terjun Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber peta: Gambar TNGGP 2009).

Pengamatan pendahuluan menunjukkan keberadaan katak pohon Jawa pada

sepanjang jalur wisata dari HM 0 (jalur Ciwalen) sampai HM 28 (air terjun

Cibeureum) (Gambar 3). Pada HM 0, penemuan katak pohon Jawa berada pada

lokasi pinggiran sungai kecil yang berbatasan dengan Kebun Raya Cibodas. Dari

HM 0 sampai pada HM 28, katak pohon Jawa masih dapat ditemukan di pinggiran

sungai maupun kolam-kolam. Dari pengamatan pendahuluan, ditemukan 12 lokasi

(9)

pohon Jawa. Lokasi pengamatan tersebar pada beberapa lokasi di HM 1, HM 25,

HM 26, dan HM 28.

Lokasi penelitian terdiri atas tiga tipe habitat yaitu kolam, aliran sungai dan

air terjun. Kolam yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kolam periodik

yang keberadaan airnya tergantung dari limpahan air hujan. Keberadaan kolam ini

cukup melimpah pada jalur wisata Cibeureum, namun yang cocok untuk habitat katak pohon Jawahanya terdapat dua lokasi yaitu kolam di HM 26 dan kolam di

belakang resort. Kondisi air yang tidak mengalir menjadikan kolam ini tenang dan

sedikit terjadi gerakan air. Kondisi ini juga mengakibatkan pendangkalan karena

terdapat serasah yang menumpuk dan endapan lumpur.

Tipe habitat aliran sungai sangat banyak dijumpai pada jalur ini, karena

sumber air yang berasal dari tiga air terjun utama menyebar hampir ke seluruh

lokasi jalur. Kondisi ini membuat debit air mengecil dengan aliran air yang

berbeda. Aliran air relatif memiliki perbedaan jumlah air yang masuk dari cabang

aliran air. Kondisi dasar perairan terdiri dari serasah, lumpur, batu, dan pasir. Tipe

habitat air terjun terpusat pada ketiga air terjun yaitu air terjun Cibeureum,

Cidendeng, dan Cikundul.

3.2Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk mengambil data SVL yaitu : kantung plastik,

jangka sorong, dan timbangan. Sedangkan untuk keadaan lapang digunakan

termometer suhu dan dry wet , termometer tembak Raytek, walking stick, meteran gulung, tali plastik, kamera digital, pH meter, pengatur waktu / stop watch, dan

bola ping pong. Alat yang digunakan untuk mengambil data suara yaitu perekam

suara digital EDIROL R-09 by Roland, Microphone Sennheiser ME 67 dan Earphone Philips SHP 2500. Alat yang digunakan untuk membuat simulasi katak berbiak yaitu kantung plastik besar, plastik trash bag bening, dan tali plastik. Bahan yang digunakan yaitu katak pohon Jawa katak jantan dan katak betina.

3.3 Pengumpulan Data

3.3.1 Data primer

Data diambil langsung pada beberapa lokasi yang telah ditentukan selama

(10)

sepanjang jalur HM 0 sampai HM 28. Pengambilan data dipusatkan di air terjun

Cibeureum dan Cikundul, sedangkan pengambilan akustik suara katak dilakukan

di rawa Gayonggong.

Data primer yang diambil meliputi beberapa hal sebagai berikut :

a. Karakteristik morfologi dan intensitas berbiak katak pohon Jawa

Pada saat pengamatan, dilakukan penghitungan perjumpaan jumlah katak

berbiak yang meliputi jumlah katak jantan dan katak betina yang sedang

melakukan aktivitas berbiak dalam satu kelompok, dan jumlah pasangan yang

berhasil melakukan proses berbiak. Pencatatan meliputi jumlah katak jantan

bersuara dan katak betina yang berada di sekitar katak jantan serta jumlah

pasangan yang berhasil melakukan perkawinan. Untuk mengetahui musim

berbiak, dilakukan pengamatan setiap bulan selama 7 sampai 14 malam

pengamatan per bulan kecuali pada bulan Januari dan Februari, dengan total

pengamatan 93 hari. Pengukuran morfologi katak berbiak dilakukan saat proses

berbiak selesai. Katak jantan dan katak betina yang amplexus ditangkap dan diukur SVL, berat, dan kecacatan. Pengukuran SVL menggunakan caliper, berat diukur dengan timbangan.

b. Pemilihan waktu dan tempat berbiak katak

Pengamatan aktivitas katak dimulai dari katak mengeluarkan suara pertama

kali sampai katak tidak beraktivitas lagi. Pengamatan dimulai pada jam 18.00

WIB yaitu pada saat hari mulai gelap dan suhu turun. Jam 18.00 WIBsampai

19.00 WIB dilakukan pengamatan terhadap seluruh lokasi dan pemilihan

kosentrasi katak berkumpul dilakukan saat itu juga. Pengamatan perilaku

dilakukan selang 2 jam pada jam 19:00 WIB yaitu dengan pengambilan data

perilaku dan kondisi lingkungan. Pengukuran terhadap faktor-faktor fisik dan

biotik lingkungan yaitu pengambilan data tipe vegetasi, posisi horizontal katak

terhadap badan air, posisi vertikal terhadap permukaan air, suhu udara,

kelembaban, dan penutupan oleh vegetasi.

c. Sistimatika perilaku berbiak katak

Pengambilan data sistematika perilaku berbiak dilakukan dengan pencatatan

seluruh aktivitas yang dilakukan katak dari pra-kawin sampai dengan paska

(11)

Hanya ada satu pasang katak yang diamati lengkap tanpa perlakuan. Tiga ekor

katak diamati dengan membuat terrarium sederhana untuk memetakan urutan

kejadian berbiak katak.

Pada pengamatan perilaku berbiak katak pohon Jawa dilakukan dengan dua

percobaan di dalam terrarium, yaitu dengan kotak yang terbuat dari plastik trashbag bening dan kantung plastik besar. Percobaan pertama dengan kotak

plastik bening dengan ukuran 50 cm x 100 cm dilakukan di atas kolam buatan

dengan tumbuhan Kecubung di dalamnya. Dinding kotak dibuat dengan plastik

bening tersebut dan dipotong dengan ukuran 1 x 1 m2 (Gambar 4). Potongan

plastik dihubungkan dengan tali dan membentuk kotak bujur sangkar. Dinding

plastik di tanam ke dasar substrat sampai tidak ada celah sehingga katak tidak

dapat keluar dari dalam kotak. Untuk memperkuat kotak, setiap ujung kotak

dihubungkan dengan tali plastik dan diikatkan pada pasak dan tanaman di

sekitarnya. Tanaman kecubung yang berada di dalam kotak merupakan tanaman

asli yang hidup di pinggiran kolam. Fungsi tanaman Kecubung adalah untuk

tempat meletakkan telur katak yang dihasilkan setelah proses berbiak.

Percobaan kedua dengan menggunakan kantung plastik dan dimasukkan

tumbuhan Kecubung (Gambar 5). Kantung plastik berukuran 50 x 100 cm2,

diikatkan pada ranting tumbuhan kecubung dan diisi dengan sedikit air.

Pemberian air ini diberikan sebagai miniatur tempat katak melakukan proses

perkawinan. Daun kecubung diatur dengan posisi telungkup sebagai tempat katak

hinggap dan meletakkan sarang.

Percobaan dengan kedua kantung ini berlangsung selama 2 hari yaitu

dengan pertimbangan kondisi fisik katak. Katak yang dimasukkan ke dalam

terrarium percobaan adalah katak yang siap berbiak, dan dimasukan pada pukul 16.00 WIB dan di keluarkan pada pukul 07.00 WIB. Pada terrarium kantung plastik, udara diganti pada saat pagi hari, yaitu pada saat katak berhenti

(12)

Gambar 4. Sketsa terrarium dengan bentuk kotak.

(13)

d. Akustik suara katak jantan

Pengambilan suara direkam dengan alat perekam digital EDIROL R-09

selama 30 menit sebanyak 5 kali. Perekam diletakkan pada lokasi terdekat dengan

katak untuk mendapatkan tipe-tipe frekuensi suara yang dikeluarkan katak. Pada

saat perekaman dilakukan pencatatan lokasi perekaman, tanggal perekaman, cuaca

pada saat perekaman, jam perekaman, dan suhu perekaman.

3.3.2 Data sekunder

Data sekunder didapatkan melalui studi literatur, meliputi a) Kondisi umum

lokasi penelitian yang didapat dari laporan Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango; b) Data iklim dan curah hujan di lokasi penelitian diperoleh dari

Badan Meteorologi dan Geofisika Pacet yang meliputi data curah hujan dan

kelembaban dari tahun 2005 sampai 2009.

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dalam bentuk grafik untuk menjelaskan

hubungan antara parameter yang telah ditentukan. Data suara yang didapatkan

dianalisa dengan menggunakan software Adobe Audition 1.5 untuk menghilangkan noise suara, Spectrogram_v15.3 untuk mengetahui panjang gelombang yang dikeluarkan dan Sound Ruler Accoustic Analysis untuk

(14)

4.1 Letak dan Luas Kawasan

Secara geografi, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terletak antara 106°51’ – 107°02’ BT dan 6°51’ LS (Gambar 5). TNGGP pada awalnya memiliki luas 15.196 ha dan terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu

Cianjur (3.599,29 ha), Sukabumi (6.781,98 ha) dan Bogor (4.514,73 ha), saat ini

sesuai SK Menhut No. 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 diperluas menjadi 21.975

ha. Sesuai ketentuan pasal 32 dan 33 dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990,

maka zonasi di TNGGP terdiri dari zona inti (7.400 ha), zona rimba (6.848,30 ha)

dan zona pemanfaatan (948,7 ha).

Gambar 6 Peta kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber peta : TNGGP 2009).

Secara administratif pemerintahan, wilayah TNGGP mencakup ke dalam 3

(tiga) kabupaten, yaitu; Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Batas-batas

kawasan ini adalah (TNGGP 1995) :

Sebelah Utara : Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor

Sebelah Barat : Wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor

(15)

4.2 Iklim

Kawasan TNGGP memiliki jumlah bulan basah 7-9 bulan berurutan, dan

jumlah bulan kering <2 bulan setiap tahunnya. Berdasarkan klasifikasi Schmidt

dan Ferguson, TNGGP masuk ke dalam tipe iklim B1 dimana curah hujan

bulanan 200 mm dengan nilai Q berkisar antara 11,3-33,3%. Kelembaban berkisar

antara 80-90% sepanjang tahun (TNGGP 2009).

4.2.1 Suhu

Keadaan suhu di lokasi penelitian yang diambil dari data Badan Meteorologi

dan Geofisika (BMG) Pacet menunjukkan kondisi suhu terendah terjadi pada

bulan Juni 2006 dengan suhu 19,4 oC. Suhu terendah sepanjang tahun 2009

terjadi pada bulan Januari dengan rata – rata 20 oC. Rata-rata suhu bulanan

tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2009 dengan suhu mencapai 21,9 oC. Suhu

bulanan terendah tiap tahunnya dari tahun 2005 sampai 2009 terjadi antara bulan

Juni sampai Agustus, sedangkan suhu bulanan tertinggi terjadi pada bulan

September sampai bulan November. Grafik suhu bulanan dapat dilihat pada

Gambar 7.

Gambar 7 Grafik rata-rata suhu bulanan selama 5 tahun 2005 sampai 2009 (Sumber BMG Pacet 2005-2009).

4.2.2 Curah hujan

Pada kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terjadi hujan

sepanjang tahun yang terlihat pada grafik curah hujan dari tahun 2005 sampai

2009 (Gambar 8). Bulan kering terjadi pada bulan Mei sampai September dan

bulan basah terjadi pada bulan Oktober sampai bulan April. Puncak musim hujan

(16)

musim kering terjadi pada bulan Agustus dimana curah hujan rata-rata kurang dari

100 mm bahkan pada tahun 2008 tidak ada hujan sama sekali.

Gambar 8 Grafik rata-rata curah hujan bulanan dari tahun 2005 sampai 2009 (Sumber BMG Pacet 2005-2009).

4.3 Bentang Alam Lokasi Penelitian di Kawasan TNGGP

Lokasi penelitian berada tepat pada jalur wisata menuju air terjun

Cibeureum dan satu daerah pada jalur air terjun Ciwalen. Kondisi lokasi

penelitian juga ditentukan oleh adanya jalur tapak wisata yang memotong hampir

sebagian besar lokasi pengamatan. Jalur wisata terbagi atas 28 batas dengan

satuan HM (hektometer) dihubungkan dengan tapak jalur wisata. Penggunaan

satuan HM ini berdasarkan jarak datar pada peta yang artinya jarak datar yang

ditempuh untuk mencapai air terjun Cibeureum adalah 2800 meter. Kondisi

kemiringan yang mencapai 45o menjadikan panjang jalur ± 6 km.

Gambar 9a menunjukkan air terjun Cibereum yang menjadi tujuan wisata,

namun terdapat juga air terjun Cikundul yang jarang di datangi pengunjung untuk

berwisata (Gambar 9 b). Pada HM 22 terdapat bekas kawah lama gunung Gede

dan ditumbuhi oleh rumput Gayonggong, sehingga lokasi ini diberi nama rawa

Gayonggong. Lokasi ini di belah oleh jembatan kayu sepanjang ±400 m, berbahan

kayu dan beton (Gambar 9 e). Pada HM 25 juga terdapat jembatan kayu sepanjang

±300 m yang di aliri oleh sungai kecil di bawah jembatan (Gambar 9 d). Gambar

8c merupakan lokasi penelitian yang berada di belakang resort Mandala Wangi. Ketinggian lokasi penelitian pada HM 0 yaitu 1000 mdpl dan 1600 mdpl

pada air terjun Cibeureum. Kondisi ketinggian ini menunjukkan bahwa lokasi ini

termasuk dalam zona sub-montana, dengan kondisi hutan yang rapat dengan

(17)

Gambar 9 Kondisi umum lokasi penelitian di jalur wisata air terjun Cibeureum. Ket : a) Air terjun Cibereum; b) Air terjun Cikundul; c) Kubangan di belakang resort Mandala Wangi; d) Jembatan HM 25; e) Jembatan

rawa Gayonggong.

Beberapa jenis tumbuhan yang ada di sekitar lokasi pengamatan yaitu

Congkok (Curculiga caviculata) (Gambar 10 a), Kecubung / Bunga Terompet (Brugmansia suaveolens (Humb & Bonpl. Ex Willd) B) ( Gambar 10 b), dan Babakoan (Eupatorium sordidum Less.) (Gambar 10 c).

(18)

5.1 Hasil

5.1.1 Karakteristik morfologi dan intensitas katak berbiak

Aktivitas berbiak katak pohon Jawa ditandai dengan ciri berkumpulnya

pejantan siap berbiak dan katak betina mendatangi lokasi berkumpulnya pejantan

siap kawin tersebut. Katak pohon Jawa katak jantan memiliki ciri khusus saat

melakukan aktivitas berbiak. Ciri ini dimulai dengan aktivitas calling. Pada bagian bawah mulut terdapat selaput yang digunakan katak jantan untuk membuat

suara. Katak jantan mengeluarkan suara dimulai pada saat katak melakukan

aktivitas menunggu (Gambar 11 a). Katak jantan kemudian mendatangi katak

jantan lain untuk melakukan panggilan bersama (Gambar 11 b). Katak jantan

saling mengeluarkan suara dengan menggembungkan bagian selaput di bawah

mulut yang dapat terlihat pada Gambar 11 c.

Gambar 11 Katak pohon Jawakatak jantan yang sedang melakukan aktivitas berbiak. Ket : a) Katak jantan yang sedang menunggu b) Katak jantan

akan loncat mendekati pejantan lain c) Katak jantan dengan posisi bersuara.

Katak betina mendatangi lokasi berbiak dengan kondisi siap berbiak. Katak

betina siap berbiak ditandai dengan perut yang menggembung dan berisi dengan

telur-telur yang matang. Kematangan telur ini dapat dilihat dengan

menggembungnya bagian pangkal perut. Gambar 12 a menunjukkan katak betina

mendatangi lokasi berbiak dengan menyusuri pinggiran sungai. Katak betina siap

(19)

yang menggembung (Gambar 12 b). Aktivitas katak betina siap berbiak pada saat

siang hari dapat diamati pada Gambar 12 c yaitu perut menggembung dan berisi

penuh telur.

Gambar 12 Katak betina siap berbiak. Ket : a) Katak betina siap berbiak dari pepohonan b) Katak betina siap berbiak yang menyusuri sungai c)

Katak betina siap berbiak pada saat siang hari.

Pengamatan terhadap pasangan yang melakukan amplexus terlihat dari ukuran katak betina siap berbiak (Gambar 13) yang memiliki ukuran SVL

rata-rata 60,55 – 65,65 gram, dengan SD 1,56 dan berat rata-rata 14,50 gram sampai

23,75 gram dengan SD 2,99; sementara katak jantan memiliki SVL rata rata

32,50 mm sampai 45 mm dengan SD 3,46 dan berat rata-rata antara 3,25 gram

sampai 5,50 gram dengan SD 0,07 (Tabel 2). Katak betina lebih besar daripada

katak jantan ditemukan pada seluruh pasangan yang ditemukan. Katak betina

berada di bawah pejantan dengan posisi kaki depan memeluk bagian dada dan

kaki belakang berada di pangkal perut.

(20)

Tabel 2 SVL (Snouth Vent Lenght) dan berat katak yang melakukan amplexus

Pasangan

Katak betina Katak jantan

svl (mm) berat (gram) svl (mm) berat (gram)

p4 64,25 14,50 44,15 5,00

p5 62,35 16,25 40,60 4,25

p6 60,55 18,75 50,85 4,50

p7 61,95 15,00 41,10 4,25

p11 65,65 18,50 46,45 5,50

p12 61,65 18,00 43,00 4,00

p13 62,98 21,00 38,10 3,25

p14 63,42 23,25 41,00 4,25

p15 63,40 23,75 41,18 3,50

p16 64,40 18,50 41,40 3,25

p17 60,85 18,00 41,06 4,00

Aktivitas berbiak ditandai dengan banyaknya katak jantan yang berkumpul

dan bersuara, adanya pasangan yang berhasil amplexus, dan keberadaan sarang. Hasil pengamatan selama 9 bulan terdapat frekuensi perjumpaan 271 katak jantan

dan 40 katak betina yang melakukan aktivitas berbiak (Gambar 14). Katak jantan

berkumpul pada satu lokasi dengan area ±20 m2 dengan kondisi vegetasi dan

lokasi yang berbeda. Keberadaan lokasi air menjadi pedoman dalam menentukan

titik pertemuan katak jantan dan katak betina. Jumlah katak jantan dan katak

betina berkumpul terbanyak terjadi pada bulan Desember seiring dengan awal

musim penghujan.

Gambar 14 Grafik frekuensi pertemuan katak jantan dan katak betina selama penelitian (Desember 2008-November 2009 kecuali pada bulan

(21)

5.1.2 Pemilihan waktu dan tempat berbiak

Waktu berbiak diawali dengan peristiwa amplexus sampai pada peristiwa

peletakan sarang. Waktu berbiak terjadi pada sepanjang malam dengan intensitas

tinggi pada saat mulai terjadi hujan. Pada Gambar 15 diperlihatkan katak jantan

yang berkumpul dan melakukan aktivitas calling. Pertemuan katak terbanyak terjadi pada bulan Desember dengan jumlah katak mencapai 64 ekor dimana 51

ekor sedang bersuara.

Gambar 15 Grafik pertemuan katak jantan berkumpul dan katak jantan bersuara tahun 2009.

Aktivitas amplexus terjadi sebanyak 19 kali selama pengamatan berlangsung. Aktivitas ini dapat dilihat pada Tabel 3 dengan dominansi cuaca

gerimis. Penemuan frekuensi amplexus paling banyak ditemukan pada Gayonggong A dengan jumlah katak jantan 3 sampai 5 ekor dengan 1 ekor katak

betina (individu katak betina yang berbeda).

Tabel 3 Waktu amplexus di seluruh lokasi penelitian

(22)

No Tanggal

Berdasarkan pengamatan lebih banyak katak melakukan amplexus pada rentang waktu 18.00 WIB sampai dengan jam 22.00 WIB. Pada rentang jam ini

terdapat 12 pasangan amplexus yang menyebar dari jam 18.00 WIB sampai 20.00 WIB dan jam 20.00 WIB sampai 22.00 WIB. Waktu terawal katak melakukan

amplexus terjadi pada jam 18.30 WIB dan diakhiri jam 02.35 WIB. . Pertemuan amplexus terendah terjadi pada rentang jam 00.00 WIB sampai jam 02.00 WIB.

Gambar 16 Jumlah dan penyebaran waktu amplexus katak pohon Jawa, berdasarkan pengamatan pada bulan Desember 2008 sampai

(23)

Habitat berbiak katak pohon Jawa terdapat hampir di seluruh jalur

pengamatan. Pengamatan pendahuluan pada bulan November sampai bulan

Desember 2008 menunjukkan beberapa lokasi berbiak katak pohon Jawa.

Aktivitas berbiak berada di sekitar sumber air. Sumber air utama di sepanjang

jalur Ciwalen sampai Cibeureum yaitu berasal dari air terjun, dan di dua titik

sumber air berasal dari air hujan yang membentuk kolam periodik. Lokasi

penelitian terbagi atas 11 lokasi pengamatan berbiak dan 1 lokasi pengamatan

suara. Seluruh lokasi merupakan habitat dari katak pohon Jawa. Pengelompokan

ini didasarkan pada pertemuan katak yang sedang berkumpul. Pada gambar 17

menunjukkan lokasi utama katak melakukan proses berbiak.

Gambar 17 Lokasi utama katak pohon Jawa berbiak (Mulia 2009).

Lokasi pengamatan perilaku berbiak katak pohon Jawa terbagi menjadi 4

lokasi besar yaitu sebagai berikut : a. Air terjun Cikundul

Lokasi ini berada di HM 28 dengan sumber air terjun berasal dari gunung

Pangrango. Lokasi merupakan daerah dengan kondisi vegetasi yang cukup rapat

dan didominasi oleh Kecubung. Substrat dasar perairan berupa pasir, kerikil, batu,

dan tanah dan aliran air yang relatif tenang dengan debit 0,10 m3/detik. Kondisi

(24)

daun Markisah dan daun Kecubung serta ditemukan berudu katak pohon Jawa.

Pada area air terjun Cikundul ini ditemukan tiga lokasi berbiak (Gambar 18).

Gambar 18 Aliran sungai Cikudul. Ket: a) Lokasi Cikundul A; b) Cikundul B; c) Cikundul C.

b. Air terjun Cibereum

Lokasi ini berada di HM 28 dengan sumber air terjun berasal dari gunung

Gede. Lokasi pengamatan dengan dominasi bebatuan dan vegetasi dominan oleh

tumbuhan Kecubung. Lokasi tersebut merupakan habitat riparian yang merupakan

salah satu aliran sungai dari air terjun Cibeureum. Substrat dasar sungai berupa

batu, akar, dan kayu dengan debit 0,02 m3/detik. Lokasi ini disinyalir menjadi

tempat katak melakukan akivitas perkawinan dengan ditemukannya katak yang

sedang berkumpul dan melakukan aktivitas bersuara pada saat pengamatan. Pada

lokasi ini juga ditemukan bekas sarang pada tumbuhan Kecubung dan sarang di

sela bebatuan serta di temukan berudu di sepanjang aliran sungai. Lokasi ini

terbagi menjadi tiga lokasi kecil tempat katak jantan berkumpul dan melakukan

aktivitas berbiak yaitu Cibeureum A, Cibeureum B, Cibeureum C, dan Cibeureum

D (Gambar 19).

(25)

c. Rawa Gayonggong

Lokasi ini berada pada HM 25 dan dipotong oleh keberadaan jembatan kayu

(Gambar 20 a & Gambar 20 d). Aliran sungai ditemukan di bawah jembatan ini

dengan debit 0,03 m3/detik. Kondisi vegetasi didominasi oleh Kecubung yang

hidup di sekitar jembatan. Kondisi substrat dasar sungai berupa pasir , tanah,

kerikil, dan sampah plastik. Keberadaan bekas sarang, berudu, dan katak yang

berkumpul merupakan indikasi bahwa di tempat ini digunakan katak sebagai

tempat bagi katak pohon Jawa melakukan aktivitas berbiak. Pada lokasi ini juga

ditemukan dua kolam periodik yang tergenang air pada saat hujan turun (Gambar

20 b & Gambar 20 c).

Gambar 20 Jembatan kayu di HM 25. Ket: a) Gayonggong A; b) Gayonggong B; c) Gayonggong C; d) Gayonggong D.

d. Jalur Ciwalen

(26)

Lokasi ini terdapat di HM 0 dan terdapat kolam periodik sebagai tempat

katak berbiak. Lokasi kolam berada di belakang resort Mandala Wangi dengan

jumlah air yang berbeda tergantung dari keberadaan air hujan (periodik) (Gambar

21). Pada kolam ini didominasi oleh Kecubung dengan substrat dasar berupa

serasah, pasir, tanah, dan kerikil. Pada malam hari ditemukan katak jantan yang

sedang berkumpul dan melakukan aktivitas calling, serta ditemukan berudu katak pohon Jawa.

Seluruh lokasi merupakan habitat dari katak pohon Jawa. Pengelompokkan

ini didasarkan pada pertemuan katak yang sedang berkumpul. Kondisi ini

didukung oleh parameter yang sesuai bagi katak pohon Jawa untuk melakukan

aktivitas perkawinan, yaitu dari jenis vegetasi, kemiringan, pH, kedalaman air,

debit, dan substrat (Tabel 4). Pengelompokan ini menunjukkan kesamaan kondisi

fisik yang sama yaitu berada pada habitat riparian.

Tabel 4 Kondisi habitat mikrodi lokasi penelitian

No

12 Ciwalen Kecubung Serasah, akar, pasir

(27)

5.1.3 Sistematika perilaku berbiak katak pohon Jawa

Pada perilaku berbiak katak pohon Jawa, proses perkawinan dimulai saat

pertemuan antara katak jantan dan katak betina yang merupakan proses

percumbuan. Katak jantan mengeluarkan suara yang berfungsi untuk menarik

perhatian katak betina. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 224 dari 271

frekuensi katak jantan yang ditemukan melakukan aktivitas bersuara. Urutan

berbiak katak pohon Jawa bisa disarikan sebagai berikut: 1) katak jantan

memanggil, 2) katak betina merespon panggilan katak jantan, 3) Katak betina

memilih katak jantan yang sesuai, 4) Posisi amplexus, 5) pencarian lokasi bersarang, 6) pengeluaran telur, 7) katak berpisah setelah katak jantan membuahi

telur yang dikeluarkan katak betina.

Pejantan katak pohon Jawa umumnya mengambil posisi kurang dari 3 m

dari permukaan tanah dan melakukan panggilan pada tempat terbuka seperti pada

ranting atau cabang tumbuhan (Gambar 22 a). Katak jantan yang berkumpul

kemudian saling berpasangan untuk menarik perhatian katak betina (Gambar 22

b). Katak betina datang pada lokasi perkawinan (Gambar 22 c) dan mendekati

pejantan.

Suara katak jantan semakin nyaring dan katak betina tertarik untuk

mendekati pasangan katak jantan yang paling nyaring dan sesuai dengan

keinginan katak betina. Katak betina mendekati katak jantan kemudian katak

jantan menaiki tubuh katak betina (amplexus) (Gambar 22 d). Pada posisi amplexus ini katak betina membawa katak jantan untuk masuk ke dalam air

sampai waktu tertentu (Gambar 22 e). Pasangan tersebut naik lagi dan mencari

daun Kecubung yang sesuai untuk peletakan sarang (Gambar 22 f). Setelah

penentuan daun yang akan dipakai untuk sarang, pasangan saling menggerakkan

kaki belakang dan menghasilkan busa (foam). Telur keluar beserta sperma katak jantan (Gambar 22 g). Setelah seluruh isi telur pada perut katak betina habis

kemudian katak betina menutup sarang. Katak berpisah setelah prosesi selesai.

Sarang biasanya diletakkan di atas permukaan daun maupun di bawah permukaan

(28)

Gambar 22 Urutan berbiak katak pohon Jawa. Ket : a) Katak jantan melakukan aktivitas calling b) Katak jantan saling beradu suara c) Katak betina siap berbiak d) Amplexus e) Pasangan memasuki perairan f) Menuju tempat peletakan sarang g) Pembuatan sarang h) Sarang di bawah

daun.

Posisi amplexus katak pohon Jawa adalah axilary. Katak jantan berada di punggung katak betina, kaki belakang katak jantan memegang di bagian bawah

perut sedangkan kaki depan katak jantan memegang ketiak kaki depan katak

betina. Kaki depan katak jantan seperti menekan perut katak betina sehingga

bagian perut katak betina menggembung ke bawah (Gambar 23).

(29)

Ilustrasi urutan perkawinan disajikan pada contoh pengamatan tanggal 24

Desember 2008 di Cikundul A karena memiliki jumlah katak yang banyak dan

sedang bersuara. Terdapat lima katak jantan yang sedang berkumpul dan sedang

melakukan aktivitas pemanggilan dengan suara panggilan pendek. Aktivitas ini

dimulai pada jam 19.00 WIB dengan suhu udara 16 oC dengan kelembapan relatif

90%. Kondisi kemungkinan terjadi perkawinan didukung dengan kondisi kawasan

yang sedang gerimis. Kondisi ini berlangsung hingga jam 00.30 WIB dengan

kondisi hujan semakin deras. Pada jam 00.45 WIB hujan berhenti, dan katak

kembali melakukan aktivitas suaranya. Pada jam 01.00 WIB datang katak betina.

Terjadi perubahan intensitas suara yang semakin sering dan terjadi

pengelompokkan penkatak jantan menjadi tiga, dua pasangan dan satu katak

jantan. Pejantan yang sendiri tidak melakukan aktivitas suara.

Pejantan yang berpasangan saling bersaing untuk mendapatkan perhatian

katak betina. Pada jam 01.17 WIB katak betina menghampiri seekor pejantan dan

terjadilah amplexus. Suhu pejantan 18,8OC dan katak betina 18,8OC. Pasangan amplexus segera meninggalkan kelompok tersebut dan kemudian turun ke aliran sungai. Pasangan tersebut segera masuk ke dalam air sampai jam 02.00 WIB

akhirnya naik ke permukaan. Suhu air pada saat itu 17,5OC dan kondisi suhu

udara 18OC. Tepatnya pada jam 02.21 WIB pasangan tersebut berpisah. Kondisi

ini diawali dengan gerakan katak betina yang agresif membenamkan diri sampai

katak jantan melepaskan kaki depan sehingga katak jantan berpisah dari tubuh

katak betina.

Kejadian ini berulang beberapa kali pada berbagai lokasi. Untuk mengetahui

perilaku lanjutan yang dilakukan katak setelah amplexus dilakukan pengamatan pada terrarium buatan. Data tanggal 14 Mei 2009 (Tabel 5) menunjukan waktu berbusa selama 10 menit, keluar telur 3 jam 17 menit, dan total waktu berbiak 3

jam 40 menit. Demikian pula dengan tiga kejadian berikutnya pada tanggal 4 Juni

2009 terjadi 3 amplexus pada 3 terrarium yang berbeda dengan menghasilkan data total waktu 11 jam 30 menit, 6 jam 13 menit, dan 6 jam 55 menit. Usaha

pencarian perilaku berbiak secara alami tetap dilakukan dan tepatnya tanggal 21

(30)

bebatuan di atas kolam. Terdapat 3 sarang dalam jarak ± 1 meter. Hal ini

membuat pengamatan terfokus pada lokasi tersebut.

Pada jam 18.00 WIB dilakukan survey pada lokasi tersebut dan hanya

ditemukan 4 katak jantan dan hanya 1 katak jantan yang bersuara. Pengamatan

dilakukan terus menerus untuk memantau kedatangan katak betina. Pada jam

18.43 WIB katak betina datang dari arah air terjun. Katak betina langsung

melompat ke dalam kolam dan kemudian menghampiri kumpulan pejantan. Pada

jam 19.13 WIB, terjadi amplexus. Kondisi lokasi yang relatif basah (walau tidak ada hujan karena berdekatan dengan air terjun) membuat bebatuan menjadi basah

dan lembab. Pejantan lain terus melakukan panggilan namun pada jam 19.26 WIB

pasangan amplexus masuk ke kolam dan naik lagi pada jam 19.32 WIB. Katak naik ke celah bebatuan dan segera membuat busa. Busa keluar tepat pada jam

19.37 WIB dan telur pertama keluar pada jam 19.43 WIB hingga menutup sarang

pada jam 20.10 WIB. Katak berpisah pada jam 20.20 WIB dengan katak jantan

meloncat dari punggung katak betina dan segera katak betina meninggalkan lokasi

bersarang. Total waktu yang digunakan katak untuk berbiak hanya 1 jam 13

menit.

Pengamatan waktu berbiak katak pohon Jawa dapat dilihat pada tabel 5 yang

menunjukkan pembagian waktu berbiak katak pohon Jawa. Katak pohon Jawa

melakukan aktivitasnya pada jam 18.00 WIB atau pada saat matahari tenggelam.

Aktivitas berbiak katak dimulai pada saat katak melakukan aktivitas calling dengan lama 30 menit sampai 8 jam 30 menit. Aktivitas amplexus dimulai saat katak jantan menaiki tubuh katak betina. Katak betina membawa katak jantan di

punggungnya dan menuju lokasi bersarang. Lama waktu mencari lokasi sarang

ini terjadi 53 menit sampai 8 jam 30 menit. Lamanya waktu pencarian tergantung

kecocokan terhadap peletakan sarang.

Aktivitas pembuatan sarang dimulai pada saat katak betina telah menetukan

lokasi bersarang dan mulai melakukan serangkaian gerakan sampai terbentuk

busa. Busa terbentuk setelah kaki belakang dan katak betina digosokkan pada

bagian punggung katak betina selama 6 sampai 28 menit. Proses keluarnya telur

terjadi setelah setengah bagian busa dibentuk. Telur dikeluarkan melalui anus

(31)

pengeluaran telur dan sperma selesai. Sarang ditutup dengan busa dan dibentuk

membulat. Proses berbiak katak pohon Jawa terjadi 1 jam 13 menit sampai 11 jam

30 menit.

Tabel 5 Pembagian waktu berbiak katak pohon Jawa dimulai dari jam 18.00 WIB

Tanggal Durasi (jam : menit) Total

Calling Amplexus Bertelur Menutup

sarang

Keterangan : warna merah = aktivitas pengamatan direkam penuh

Sarang yang dibuat terdiri dari dua jenis yaitu sarang di daun dan sarang di batu.

Adapun perbedaan kedua jenis sarang ini dapat dilihat di bawah ini:

a. Sarang di daun

Kecubung (Brugmansia suaveolens) mendominasi hampir dikeseluruhan lokasi penelitian. Peletakan sarang lebih banyak di tumbuhan Kecubung walaupun

juga ditemukan pada jenis tumbuhan lain seperti Babakoan (Eupatorium sordidum) dan Congkok (Curculiga caviculata). Ketiga tumbuhan ini terdapat di seluruh lokasi penelitian. Habitat tumbuhan ini berada pada pinggir kolam atau

pinggiran aliran sungai.

Peletakan sarang di daun dapat dilakukan pada permukaan daun atau di

bawah daun. Sarang lebih banyak ditempatkan di permukaan daun Kecubung,

namun ada juga sarang yang diletakkan pada bawah permukaan daun seperti yang

(32)

kondisi daun tidak menutup. Sarang jatuh ke air dengan kondisi daun tetap utuh

tanpa ada perubahan fisik daun. Ilustrasi kondisi peletakan sarang digambarkan

pada Gambar 24.

Gambar 24 Sketsa peletakan sarang di daun Kecubung.

Peletakan sarang di daun Babakoan cenderung berada di bawah permukaan

daun, namun ada juga yang berada di permukaan daun (Gambar 25 c). Setelah

sarang jadi, daun menutup dan membentuk corong. Kondisi daun yang dipilih

ialah daun tua karena setelah beberapa hari daun akan rontok dan membawa

berudu jatuh ke air. Sarang pada tumbuhan Congkok jarang ditemui. Peletakan

sarang pada tumbuhan ini hanya di temukan pada Gayonggong A. Kondisi

vegetasi di sekitar kolam memang banyak ditumbuhi Congkok. Sarang diletakkan

pada bawah permukaan daun karena bentuk daun yang membulat ke dalam

(gambar 25 b).

(33)

b. Sarang di Sela Bebatuan

Peletakan sarang di bawah bebatuan sangat jarang terjadi. Peristiwa ini

hanya terjadi pada satu lokasi yaitu lokasi Cibeureum C. Keadaan sarang di celah

bebatuan ditemukan pada lokasi ini dengan kondisi habitat yang dipenuhi oleh

bebatuan. Sebelum bulan Agustus 2008 kondisi sekitar kolam masih terdapat

beberapa tumbuhan Kecubung dan Congkok.

Pada pengamatan bulan Desember 2008 ditemukan bekas sarang. Pada awal

bulan Agustus diadakan pembersihan lingkungan pada jalur wisata air terjun

Cibeureum. Kondisi sekitar kolam menjadi kering (bulan Agustus merupakan

bulan kering) sehingga tumbuhan Kecubung dan Congkok tidak tumbuh lagi.

Sampai pada bulan November yang merupakan awal musim penghujan ditemukan

lokasi sarang di bawah bebatuan. Sarang berada tepat pada aliran air yang

menyelinap di antara bebatuan (Gambar 26). Kondisi sekitar sarang juga terdapat

sedikit rumput kering dan ranting pohon.

Gambar 26 Sketsa peletakan sarang di sela bebatuan.

Sarang yang ditemukan pada tanggal 20 November 2009 jam 15.00 WIB

sebanyak 5 sarang. Namun pada saat jam 18.00 WIB dilakukan pengamatan lagi,

sarang tersisa 3 buah, diduga sarang telah dirusak oleh hewan lain. Kondisi ini

diperbaiki lagi oleh katak dengan melakukan perkawinan lagi dan meletakkan

sarang di tempat sarang lama. Peletakan sarang kembali ini dapat menjadi indikasi

(34)

Gambar 27 Sarang di sela bebatuan.

Dalam peristiwa perkembangbiakan terjadi gangguan yaitu berupa gangguan

pada katak betina yang sedang diteliti dengan metode pergerakan spool track (Gambar 28 a), gangguan katak jantan lain (Gambar 28 b dan Gambar 28 c), dan

serangan dari hewan lain seperti sigung (Gambar 28 d) dan kelelawar. Gangguan

juga disebabkan oleh aktivitas pengamat yang terlalu dekat dengan pasangan

berbiak.

Gambar 28 Gangguan selama proses perkawinan. Ket : a) Gangguan dengan pemakaian spool track b) Gangguan dari individu lain saat amplexus

(35)

5.1.4 Akustik suara katak jantan

Dari seluruh pengamatan ditemukan 234 dari 271 frekuensi pejantan yang

sedang berkumpul. Pengambilan data dilakukan pada 5 individu yang telah di

identifikasi akan melakukan proses berbiak. Pengamatan dilakukan pada saat

katak mulai melakukan aktivitas suara dan ditemukan tiga pola suara umum yang

dapat dijumpai pada katak pohon Jawa yaitu suara pendek, suara panjang, dan

suara pendek lirih. Ketiga suara tersebut digambarkan dalam bentuk oscilogram, spectrogram, dan power spectrum. Pola ini terbentuk setelah dilakukan penataan ulang suara melalui pembersihan suara dari noise dan suara pengganggu seperti suara air, katak lain, dan serangga malam. Pengambilan contoh suara diambil pada

tanggal 29 Desember 2008 jam 19.57 WIB selama 30 menit dengan lokasi Rawa

Gayonggong. Pada saat pengambilan data suara, cuaca relatif cerah dengan

kondisi suhu 16oC dan kelembaban mencapai 89 %. Dari rentang waktu ini dapat

di lihat pola suara katak umum secara keseluruhan.

Gambar 29 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan pendek katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz: 1891

(36)

Gambar 30 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan panjang katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz: 1463

+/- 24 dan spectrum level dB/Hz: 36.

Gambar 31 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan pendek lirih katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz:

(37)

Pola umum dari 5 katak jantan yang sedang bersuara dapat di gambarkan

pada Tabel 6 yang menunjukkan parameter rata-rata (mean) dan jarak (range)

pada tiap level pulse duration, pulse frequency, dan amplitude.

Tabel 6 Mean dan range dari suara katak jantan yang berhasil direkam

Pulse duration

Range 8,75-21,31 1968,75-3093,75 0,03-0,05 2061,11-2258,21

5.2 Pembahasan

5.2.1 Karakteristik morfologi dan intensitas katak pohon Jawa yang berbiak

Katak betina memilih pejantan dengan penentuan khusus dari individu katak

betina. Penentuan ini diduga karena kesesuaian ukuran tubuh, kecocokan suara,

dan kondisi pesaing yang beragam. Persaingan yang terjadi membuat ketertarikan individu katak betina untuk memilih individu katak jantan. Pertemuan dengan

beberapa individu katak betina siap berbiak ditandai dengan menggembungnya

bagian perut dan adanya perilaku mendekati kumpulan katak jantan yang

melakukan aktivitas calling. Hal lain yang diduga menjadi ciri morfologi katak betina siap berbiak yaitu terjadinya perubahan (pembesaran) kelenjar di bagian

punggung seperti pada Polypedates leucomystax di Universitas Gajah Mada. Kelenjar yang memiliki lumen yang penuh berisi sekret hanya ditemui pada kulit

bagian kloaka dan femur dorsal individu katak betina yang sedang nesting

(Nurisnawati 2009).

Katak jantan melakukan panggilan suara berbiak setelah katak betina

mendekati kumpulan katak jantan. Suara dihasilkan oleh pernafasan yang masuk

ke dalam paru-paru kemudian dihembuskan ke bagian larynx untuk membentuk getaran dan chord suara (Wells 2007). Selain membuat panggilan berbiak, katak jatan memiliki perilaku saling beradu untuk menarik perhatian katak betina. Wells

(2007) menjelaskan bahwa katak jantan melakukan persaingan berupa bentuk

tubuh, ukuran tubuh, warna dan suara bahkan pergulatan seperti pada African

(38)

Pertemuan perubahan warna ditemukan pada beberapa lokasi. Pada habitat

dengan substrat gelap, cenderung katak memiliki warna yang lebih gelap dan pada

pasangan yang ditemukan di atas daun warna lebih cerah. Kondisi ini diduga

katak melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan untuk menghindarkan diri

dari gangguan predator. Proses persaingan memperebutkan betina dilakukan

dengan persaingan suara antara 2 indvidu ketika betina mendekati kumpulan katak

jantan. Pada katak pohon hijau di kampus IPB Dramaga biasanya terjadi

perkelahian antar katak jantan yang berakhir dengan jatuhnya katak jantan

pengganggu ke tanah (Yazid 2006).

Intensitas tertinggi katak pohon Jawa melakukan aktivitas berbiak terjadi

pada bulan Desember, hal ini dikarenakan adanya puncak musim hujan yang

terjadi di seluruh lokasi berbiak. Pada kawasan tropis, temperatur berpengaruh

besar pada proses perkawinan (Inger & Greenberg 1956). Kondisi iklim mikro

yang relatif stabil khususnya pada lokasi penelitian menjadikan aktivitas berbiak

terjadi hampir sepanjang tahun kecuali pada bulan September. Pada bulan ini

hujan tidak terjadi di kawasan penelitian dengan suhu mencapai 6oC pada malam

hari dan 26oC pada siang hari. Kondisi pada bulan ini juga terdapat angin kencang

yang mengakibatkan kerusakan pada lokasi berbiak seperti tumbangnya

pepohonan dan jatuh dahan pohon. Angin kencang mengakibatkan katak betina

tidak leluasa bergerak mendekati lokasi berbiak karena katak betina cenderung

memakai tajuk tengah untuk bergerak di hutan.

Frekuensi pertemuan dengan 271 katak jantan dan 40 katak betina siap

berbiak tersebar di seluruh lokasi pengamatan. Terjadinya persaingan pejantan

siap berbiak ditandai dengan aktivitas suara untuk memancing kehadiran katak

betina. Kehadiran katak betina ditandai dengan suara katak jantan dengan

intensitas lebih sering dan terjadi persaingan antar individu katak jantan. Katak

jantan saling berdekatan untuk beradu suara.

Hasil rataan yang tersebar di seluruh lokasi terdapat 4 sampai 14 pejantan

yang melakukan aktivitas berkumpul untuk menunggu katak betina, dan 1 sampai

2 katak betina mendatangi lokasi perkawinan. Jumlah ini mendekati pada katak

pohon hijau di kampus IPB yaitu Individu katak jantan yang aktif setiap

(39)

ekor, sedangkan di Lab. Konservasi Tumbuhan ditemukan individu katak jantan

antara 2-13 ekor dan katak betina 1-3 ekor (Yazid 2006).

5.2.2 Pemilihan waktu dan tempat berbiak

Berdasarkan penelitian terlihat bahwa katak pohon Jawa berbiak sepanjang

tahun, namun terdapat puncak katak melakukan aktivitas berbiak. Puncak berbiak

terjadi pada bulan Desember. Aktivitas berbiak terjadi secara bersamaan dengan

intensitas tinggi digunakan untuk meningkatkan keberhasilan berbiak dan

meningkatkan kesuksesan pembuahan (Wells 2007). Akivitas puncak ini dapat

dilihat dari frekuensi perjumpaan katak jantan sebanyak 64 ekor dengan 51

diantaranya melakukan aktivitas suara. Keadaan ini juga memancing katak betina

untuk melakukan aktivitas berbiak dengan frekuensi datangnya katak betina ke

lokasi berbiak dengan jumlah delapan ekor. Puncak aktivitas berbiak ini juga

dipicu oleh curah hujan tertinggi dari bulan Desember sampai April (Gambar 8).

Aktivitas harian tertinggi di jumpai pada saat setelah hujan. Pada saat hujan turun

katak cenderung diam dan tidak bersuara. Keadaan lingkungan setelah hujan

mengakibatkan kelembapan yang meningkat (lebih dari 90 %). Menurut Hödl

(2000), waktu perkembangbiakan amfibi sangat dipengaruhi oleh musim hujan.

Aktivitas berbiak dimulai saat anura melakukan calling (Hödl 2000). Aktivitas calling katak pohon Jawa dimulai saat menjelang petang dan suhu turun. Hal ini juga ditemukan pada amfibi tropis dengan memanfaatkan suhu yang

rendah untuk mengeluarkan suara (Wells 2007). Aktivitas amplexus terjadi puncaknya pada jam 18.00 WIB sampai jam 22.00 WIB, demikian halnya dengan

pertemuan katak bertelur. Kondisi ini di dukung dengan kondisi cuaca gerimis

atau hujan sehingga katak bertelur pada awal malam. Keadaan ini serupa dengan

penelitian pada katak pohon bergaris di Universitas Gajah Mada dan katak pohon

hijau di Kampus IPB Dramaga yaitu puncak aktivitas berbiak katak terjadi pada

awal malam jam 20.00 WIB sampai jam 22.00 WIB (Yazid 2006; Nurisnawati

2009).

Katak pohon Jawa menggunakan bentang alam berupa aliran sungai,

kubangan air, air terjun, dan rawa untuk melakukan aktivitas hidupnya, dimulai

dari berudu sampai dewasa berada di lokasi tersebut. Amfibi membutuhkan

(40)

Lokasi berbiak katak pohon Jawa tergantung dari keberadaan air. Sumber air

berasal dari curahan air hujan dan keberadaan air sungai serta genangan air. Katak

pohon Jawa adalah spesies yang dapat ditemukan di hutan primer atau hutan

terbuka dengan arus air yang tenang (Kurniati 2003). Air dimanfaatkan katak

betina untuk membasahi diri sebelum proses amplexus dan perlindungan diri dari ancaman. Katak amplexus membenamkan seluruh tubuhnya termasuk tubuh katak jantan diduga untuk persiapan sebelum bersarang atau untuk memisahkan

pejantan yang tidak diminati katak betina. Strategi ini juga digunakan untuk

melindungi diri saat terjadi ancaman dari pengamat atau menghindar dari katak

jantan lain. Vegetasi yang digunakan sebagai pendukung aktivitas berbiak yaitu

tumbuhan Babakoan (Eupatorium sordidum), Kecubung (Brugmansia suaveolens), dan Congkok (Curculiga caviculata). Katak menjadikan ketiga tumbuhan ini untuk melakukan aktivitas calling, amplexus, dan sebagai tempat meletakkan telurnya (foam). Daun dari ketiga tumbuhan utama ini digunakan sebagai tempat untuk istirahat, bersarang, dan untuk melakukan aktivitas

amplexus. Selain itu bebatuan dan serasah digunakan katak pohon Jawa untuk melakukan aktivitas calling dan amplexus.

Keseluruhan lokasi penelitian dapat dibagi ke 3 lokasi besar berdasarkan

keberadaan air untuk melakukan aktivitas berbiak. Lokasi ini yaitu :

a. Aliran sungai

Katak memakai aliran sungai yang bersumber dari air tejun. Kondisi ini

terdapat pada beberapa aliran sungai dari sumber utama air terjun Cibeureum dan

Cikundul. Dari aliran sungai ini dijumpai 7 lokasi katak melakukan perilaku

berbiak.

b. Kolam periodik

Kolam periodik terdapat di tiga lokasi yaitu dua pada HM 26 dan satu lokasi

di HM 1. Lokasi ini sangat tergantung dari limpahan air hujan. Pada bulan

Agustus dan September terjadi kekeringan dan tidak ditemukan individu dewasa.

Substrat di lokasi berupa tanah, serasah, dan tumbuhan Kecubung.

c. Kolam aliran sungai

Lokasi berbiak di kolam aliran sungai ini hanya ditemukan pada satu lokasi

(41)

kolam berupa bebatuan lumpur yang terbawa dari aliran air. Pada tepi kolam juga

ditumbuhi rerumputan dan satu tumbuhan Kecubung. Katak menggunakan celah

bebatuan untuk meletakkan telur. Kolam digunakan untuk kecebong yang

berkembang dari telur yang telah diletakkan di celah bebatuan.

Katak pohon Jawa menggunakan seluruh bagian dari habitatnya untuk

melakukan aktivitas berbiak serta menggunakan vegetasi untuk melakukan

aktivitas amplexus, calling , dan peletakan telur. Kondisi habitat yang sesuai untuk katak pohon Jawa melakukan aktivitas calling dapat dibagi menjadi beberapa kriteria yaitu: lokasi dengan suhu antara 14oC sampai 18oC dengan

kondisi cuaca terang dan gerimis dengan kondisi kelembaban 90%; lokasi berada

di dekat perairan dengan arus yang relatif tenang antara 0 m3/detik sampai 0,1

m3/detik, dengan pH 6 – 7.

Individu katak betina katak pohon Jawa mendekati kumpulan pejantan

yang sedang melakukan aktivitas calling setelah terjadi persaingan suara katak. Katak betina memilih pejantan yang siap untuk berbiak dan segera melakukan

amplexus. Perilaku mencari tempat peletakan bersarang dapat dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan jenis substrat peletakan sarang, yaitu:

a. Daun dengan buluh halus di bagian atas dan bawah daun

Peletakan sarang seperti ini dapat ditemukan pada tumbuhan Kecubung,

Babakoan, dan Congkok. Peletakan sarang dapat terjadi di permukaan daun

maupun di balik daun. Hal ini serupa dengan peletakan sarang pada Philautus vittiger di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, katak meletakkan sarang di

balik daun Kecubung (Kusrini 2008). Sarang diletakkan pada bagian tengah daun.

Daun melipat dan membentuk corong. Karakter daun yang tipis dan lebar

mengakibatkan daun lentur dan mudah untuk di gulung. Penggulungan daun ini

di duga sarang terbuat dari enzim yang mudah mengering dan mengakibatkan

daun menggulung. Hal ini diduga sebagai perlindungan sarang terhadap ancaman

dari luar sarang.

b. Sela-sela bebatuan di aliran air

Habitat katak pohon Jawa pada lokasi penelitian cenderung mengalami

perubahan akibat aktivitas manusia. Aktivitas wisata di kawasan air terjun

(42)

berbiak dan adanya timbunan sampah. Perubahan ini ditanggapi katak dengan

berubahnya lokasi peletakan sarang yang bermula dari peletakan sarang di daun

menjadi di bawah bebebatuan dan ditutupi serasah. Kondisi ini ditemukan pada

satu lokasi tepat di bawah air terjun Cibeureum (Cibeureum C). Kondisi serupa

juga di dapatkan pada katak pohon hijau di kampus IPB Dramaga. Katak

meletakkan sarang pada lahan miring dengan memanfaatkan serasah dan rumput

kering (Yazid 2006).

5.2.3 Perilaku berbiak

Aktivitas katak dimulai saat menjelang petang. Rata-rata katak mulai

beraktivitas pada jam 18.00 WIB. Aktivitas katak dimulai saat katak pertama kali

membuka mata dan bergerak. Pada perilaku berbiak katak dimulai pada saat katak

jantan melakukan aktivitas suara (calling) dan katak betina melakukan pergerakan mendekati katak betina. Pengamatan pada pejantan melakukan aktivitas calling di seluruh lokasi penelitian dimulai pada jam 19.00 WIB. Katak jantan memanggil

katak betina secara bersautan setelah katak jantan berkumpul. Berdasarkan

pengamatan, katak berkumpul 2 sampai 14 ekor dan mengeluarkan suara secara

bergantian. Hal ini bertujuan untuk mengurangi energi dan meminimalisir

predator (Hödl 2000).

Katak betina mendatangi lokasi berbiak setelah menentukan lokasi tempat

berkumpulnya pejantan. Pemilihan ini berdasarkan kecocokan suara dengan

individu katak betina. Pada pengamatan ditemukan katak betina mendatangi tiga

lokasi berdekatan dan meninggalkan keseluruhan lokasi. Diduga hal ini

disebabkan ketidakcocokan suara yang dihasilkan katak jantan dan ukuran

pejantan siap berbiak.

Katak jantan terpilih kemudian didekati katak betina untuk amplexus. Katak jantan menaiki tubuh katak betina dengan posisi axilary (kaki belakang katak jantan memegang di bagian bawah perut sedangkan kaki depan katak jantan

memegang ketiak kaki depan katak betina). Katak betina membawa katak jantan

menuju ke lokasi bersarang. Pada beberapa pengamatan, katak jantan lain juga

mengikuti katak betina yang akan bersarang. Hal ini menimbulkan gangguan pada

saat katak bersarang. Katak lain menaiki punggung katak betina dan memaksa

(43)

kegagalan bersarang. Perilaku ini diduga karena persamaan kesiapan berbiak

pejantan. Pada beberapa pengamatan juga ditemukan katak betina membenamkan

diri ke dalam air sehingga katak jantan terlepas. Hal ini diduga terdapat gangguan

pada saat perjalanan menuju lokasi bersarang. Gangguan ini dapat berupa

gangguani pejantan lain, perubahan suhu lapangan, gangguan pengamat, dan

gangguan binatang lain.

Katak betina membawa pejantan menuju lokasi yang ditentukan. Pemilihan

lokasi ini berdasarkan pada kondisi lingkungan tempat peletakkan sarang.

Berdasarkan pengamatan di lapangan ditemukan sarang berada di daun Babakoan,

daun Congkok, daun Kecubung dan sela bebatuan. Penentuan lokasi ini diduga

karena daun Babakoan, Kecubung, dan Congkok memiliki daun yang lebar dan

berbuluh sehingga cocok untuk meletakkan sarang. Tumbuhan Babakoan,

Kecubung, dan Congkok hidup dekat dengan perairan. Menurut Iskandar (1998)

jenis Polypedates dan Rhacophorus membuat massa buih telur oleh pasangan katak betina dan katak jantan selama amplexus (berdekapan) pada tumbuhan yang menggantung di atas permukaan air. Sarang diletakkan pada permukaan dan

bagian bawah daun. Pada beberapa sarang, sarang diletakkan dengan

menggabungkan beberapa helai daun.

Peletakan sarang di sela bebatuan hanya terjadi pada satu lokasi. Lokasi ini

tidak terdapat tumbuhan Kecubung, Congkok, dan Babakoan. Penentuan

peletakkan sarang ini dikarenakan adanya sumber air di bawah tegakan tumbuhan

tersebut. Strategi peletakan sarang di sela bebatuan ini merupakan keberhasilan

dalam mempertahankan keberadaannya di kawasan air terjun Cibeureum. Kondisi

vegetasi yang terbuka dan banyak gangguan mengakibatkan terjadinya perubahan

perilaku. Hal ini juga dilaporkan oleh Kadadevaru dan Kanamadi (2000) bahwa

jenis Rhacophorus malabaricus dapat melakukan adaptasi pada daerah yang penutupan tajuknya telah hilang. Adaptasi yang digunakan katak pohon Jawa

dengan meletakkan sarang pada sela bebatuan dan saat air sungai melewati sarang

maka berudu dapat ikut bersama alirannya. Pada kasus lain yaitu pada

Rhacophorus reinwardtii di Arboretum Fahutan kampus IPB Dramaga Bogor. Katak pohon hijau tidak meletakkan telurnya pada tanah yang tergenang, akan

(44)

Arboretum Fahutan (Yazid 2006). Peletakan sarang pada lokasi kolam periodik

hanya ditemukan pada saat kolam dipenuhi oleh air.

Katak amplexus menempatkan diri pada lokasi sarang ditandai dengan dimulainya katak betina mengeluarkan busa. Pada jenis Rhacophoridae busa

dihasilkan dari enzim (cucco saliva) di bagian punggung katak betina dan membentuk sarang dengan kaki belakang (Hödl 2000). Katak betina mulai

menggosokkan kaki belakangnya sampai timbul busa. Telur dikeluarkan

bersamaan dengan sperma pejantan. Diduga pembuahan terjadi pada saat telur

dikeluarkan dari kloaka katak betina. Menurut Aritonang (2010), katak betina

katak pohon Jawa mampu menghasilkan telur antara 50 sampai 140 butir. Sarang

dibentuk membulat pada bagian bawah atau permukaan daun dan daun segera

membentuk kerucut menghadap ke bawah. Hal ini diduga karena sarang menarik

permukaan atau bawah daun sehingga terbentuk corong. Sarang busa digunakan

untuk perlindungan telur dari kekeringan, pemangsa, dan cahaya matahari (Hödl

2000). Proses pembuatan sarang katak pohon Jawa tercatat antara 20 menit

sampai 510 menit.

Gangguan berbiak terjadi dikarenakan 2 faktor, yaitu faktor manusia dan

faktor alam. Faktor manusia berupa gangguan pada saat penelitian menggunakan

metode spool track yang dipasang pada individu katak betina di lokasi 3. Katak betina telah mendekati lokasi berbiak namun tidak dapat amplexus karena

terganggu oleh gulungan benang. Gangguan juga terjadi oleh pengamat karena

menggunakan cahaya yang terlampau terang kemudian cahaya diganti dengan

cahaya lampu dilapis frame berwarna merah dari bahan plastik.

Gangguan alami terutama pada saat amplexus sampai bersarang disebabkan oleh individu katak jantan lain yang menumpuki pasangan amplexus. Gangguan hewan lain seperti sigung dan kelelawar terjadi pada saat pra-kawin dan pasca

kawin. Pada saat pengamatan terlihat sigung memakan sarang katak yang terdapat

pada sela bebatuan sedangkan gangguan kelelawar terjadi pada saat katak jantan

melakukan aktivitas calling. Katak disambar oleh kelelawar, diduga katak menjadi mangsa bagi kelelawar, namun hal ini tidak dapat didokumentasikan

Gambar

Tabel 5  Pembagian waktu berbiak katak pohon Jawa dimulai dari jam 18.00 WIB
Gambar 24 Sketsa peletakan sarang di daun Kecubung.
Gambar 27  Sarang di sela bebatuan.
Gambar 29 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Guru melaksanakan proses pembelajaran seperti biasa. 2) Pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung, observer/ teman sejawat mengamati proses pembelajaran Ilmu

Penelitian ini bersifat korelasional (hubungan) untuk itu data yang dikorelasikan harus memiliki dua syarat yaitu data berdistribusi normal dan antara variabel X dengan

Adapun saran yang dapat peneliti berikan di dalam penelitian ini yaitu: (1) Sebelum proses pembelajaran dimulai harus diberikan motivasi kepada peserta didik agar

Berdasarkan hasil diskusi dengan guru mata pelajaran banyak siswa yang masih mengalami kesulitan dalam memahami materi kalor diantaranya siswa masih sulit menentukan

Dalam penulisan ini, metode yang digunakan dalam perhitungan harga pokok pesanan adalah yang diterapkan oleh perusahaan yang selanjutnya akan dibandingkan dengan metode full

- Penerapan pointer sebagai parameter yaitu jika diinginkan agar nilai suatu variabel internal dapat diubah oleh fungsi yang dipanggil. - Penerapan pointer

dengan kandungan gizi di dalam jamur tiram yang sangat bagus untuk tubuh , masyarakat tentu akan lebih memilih jenis makanan ini di bandingkan jenis makanan

Tingkat Kejadian Karies pada siswa kelas VII SMP Negeri 3 Fatuleu yaitu total 78 gigi berkaries yaitu, 55 responden yang menyikat gigi 1X dalam sehari sedangkan 8 gigi