1.1 Latar Belakang
Rhacophorus merupakan salah satu marga dari famili Rhacophoridae yang tersebar di Afrika, Madagaskar, Asia Tenggara, dan Jepang (Hödl 2000). Di
Indonesia khususnya Pulau Jawa hanya terdapat dua jenis katak pohon sejati yaitu
Rhacophorus margaritifer dan Rhacophorus reinwardtii (Iskandar 1998). Katak pohon Jawa (R. margaritifer) termasuk jenis yang jarang ditemui dan pada tahun 2004 masuk daftar IUCN sebagai jenis Vulnerable (rentan). Meningkatnya penemuan R. margaritifer oleh para peneliti di daerah Pulau Jawa membuat statusnya diturunkan menjadi Least concern (beresiko rendah) (IUCN 2010).
Penyebaran populasi katak pohon Jawa hanya berada di Pulau Jawa (Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur) pada ketinggian lebih dari 1.000 m dpl (Frost 2009). Di Jawa Barat, lokasi penyebaran yang diketahui saat ini adalah di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (Iskandar 1998, Kurniati 2003).
Aktivitas katak sangat menarik untuk diamati terutama interaksi antar
individu. Aktivitas ini membentuk perilaku sosial yaitu perilaku berbiaknya.
Menurut Sullivan et al. (2005) perilaku sosial katak yang menjadi pusat aktivitas yaitu perilaku berbiak. Pola berbiak katak terdiri dari dua macam yaitu prolonged breeding (lebih dari satu bulan) and explosive breeding (beberapa hari atau beberapa minggu) yang tergantung pada kondisi iklim tempat hidup katak (Wells
1977).
Penelitian perilaku berbiak katak pohon Jawa ini dilakukan karena
merupakan penelitian pertama yang membahas perilaku berbiak katak pohon
Jawa. Dalam penelitian ini, perilaku berbiak katak yang diamati meliputi perilaku
bercumbu yang dikarakteristikkan dengan vokalisasi katak jantan, sentuhan
antara katak jantan dan katak betina, amplexus (perkawinan) sampai pengeluaran telur. Dengan mengetahui perilaku berbiak katak pohon Jawa diharapkan dapat
1.2 Tujuan
Penelitian perilaku berbiak katak pohon Jawa memiliki tujuan :
1. Mengetahui karakteristik morfologi dan intensitas berbiak katak pohon
Jawa,
2. Mengetahui pemilihan waktu dan tempat berbiak katak pohon Jawa,
3. Mendeskripsikan sistematika perilaku berbiak katak pohon Jawa dimulai
dari pra-kawin sampai dengan paska kawin termasuk hal-hal yang
mengganggu proses berbiak,
4. Mendeskripsikan akustik suara katak jantan.
1.3 Manfaat
Penelitian perilaku berbiak katak pohon Jawa diharapkan dapat pembuka
wawasan, pengetahuan, dan kepedulian untuk mengenal amfibi lebih mendalam
terutama untuk menjaga lingkungan agar keberadaan katak pohon Jawa dapat
terjaga dan terlindungi. Penelitian ini juga diharapkan menjadi acuan bagi
pengelola kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango agar lebih
memperhatikan lingkungan dari segi fisik dan tidak melakukan perubahan
bentang alam sebagai habitat satwa khususnya tempat berbiak katak pohon Jawa
2.1 Taksonomi
Katak pohon Jawa (Rhacophorus margaritifer Schlegel, 1837) yang memiliki sinonim Rhacophorus barbouri Ahl, 1927 dan Rhacophorus javanus Boettger 1893) merupakan famili dari Rhacophoridae dan merupakan ordo dari
Anura. Di Indonesia, suku Rhacophoridae terbagi ke dalam 5 genus yaitu :
Nytixalus (2 jenis), Philautus (17 Jenis), Polypedates (5 Jenis), Rhacophorus (20 jenis) dan Theloderma (2 jenis) (Frost 2009). Dari seluruh jenis famili Rhacophoridae yang ada di Indonesia, hanya ada 8 jenis yang dapat ditemukan di
Pulau Jawa, dengan 2 jenis diantaranya berasal dari genus Rhacophorus yaitu Rhacophorus margaritifer dan Rhacophorus reindwartii (Iskandar 1998).
2.2 Morfologi
Katak pohon Jawa berukuran kecil sampai sedang dengan tubuh relatif
gembung. Jari tangan kira-kira setengah atau dua pertiganya berselaput. Semua
jari kaki kecuali jari keempat, berselaput sampai kepiringannya. Pada tumit
terdapat tonjolan kulit (Gambar 1a) dan terdapat lipatan kulit (flap) sepanjang pinggir lengan (Gambar 1b) ( Iskandar 1998 & Kurniati 2003).
Gambar 1 Penciri utama katak pohon Jawa. Ket : a) Tonjolan kulit b) Tonjolan pada tumit.
a
Ukuran katak pohon Jawa sangat tergantung pada jenis kelaminnya.
Individu katak jantan biasanya lebih kecil daripada individu katak betina.
Berdasarkan beberapa literatur, maka ukuran SVL (Snout Venth Length) yakni panjang dari moncong sampai tulang ekor tersebut dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan ukuran SVL katak pohon Jawa di Gunung Halimun Salak, Jawa Barat
primer. Jenis ini biasanya hidup di daerah yang berhutan di pegunungan bahkan di
hutan yang sudah terganggu. Penyebaran hanya berada di Pulau Jawa (Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur) dengan ketinggian lebih dari 1000 mdpl
(Frost 2009). Sampai saat ini, diketahui penyebarannya diketahui hanya terdapat
di Pulau Jawa antara lain 2 daerah di Jawa Barat, 1 lokasi di Jawa Tengah, dan 1
daerah di Jawa Timur (IUCN 2009). Lokasi di Jawa Barat yaitu di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(Iskandar 1998 & Kurniati 2003).
2.4 Perilaku Berbiak Amfibi
Menurut Duellman dan Trueb (1994), amfibi memiliki perilaku umum yaitu
perilaku makan, perilaku berbiak, perilaku bersuara, dan perilaku bersosial.
Amfibi memiliki perilaku yang unik dan beranekaragam dalam hal
perkembangbiakan. Keberhasilan berbiak tergantung dari pemilihan pasangan,
pemilihan lokasi berbiak, fertilisasi telur, dan perkembangan telur dan individu
muda.
Perkembangan strategi berbiak tergantung dari pemilihan jodoh dan lokasi
berbiak, percumbuan, keberhasilan perjodohan, dan perkembangan telur. Menurut
Goin et al. (1978) dan Hödl (2000), waktu perkembangbiakan amfibi sangat dipengaruhi oleh musim hujan dan suhu udara. Sebagai contoh, pada penelitian
mengeluarkan suaranya setelah hujan ketiga atau keempat pada awal musim hujan
(Kadadevaru & Kanamadi 2000).
2.4.1 Perilaku percumbuan
Menurut Duellman dan Trueb (1994), perilaku percumbuan ordo Anura
dimulai dengan katak jantan mencari perhatian katak betina dengan
menggunakan panggilan suara. Perilaku percumbuan merupakan suatu hal penting
dalam aktivitas berbiak, karena dapat menstimulasi individu lain utuk melakukan
aktivitas seksual (Goin dan Goin1971).
Menurut Duellman dan Treub (1994), suara yang dikeluarkan oleh Anura
terbagi atas :
a. Advertisement call: umumnya diketahui sebagai panggilan untuk berbiak. Suara yang dikeluarkan oleh individu katak jantan yang memiliki dua fungsi yaitu
untuk menarik perhatian katak betina dan menyatakan keberadaan individu
katak jantan lain baik yang sejenis ataupun berbeda jenis. Ada tiga macam
advertisement call, yaitu :
1) Courtship call: dihasilkan oleh katak jantan untuk menarik perhatian katak betina
2) Teritorial call: dihasilkan oleh katak jantan penetap sebagai suatu respon terhadap advertisement call katak jantan lainnya pada intensitas yang di ambang batas
3) Encounter call: suara yang ditimbulkan akibat interaksi yang dekat antar individu katak jantan untuk menarik perhatian katak betina
b. Reciprocation call: dihasilkan oleh katak betina sebagai tanggapan terhadap suara (Advertisement call) yang dikeluarkan katak jantan.
c. Release call: suara yang merupakan sinyal untuk melakukan atau menolak amplexus yang dikeluarkan oleh individu katak jantan atau katak betina.
d. Distress call: suara yang sangat pelan yang dikeluarkan oleh individu katak jantan dan katak betina sebagai respon terhadap gangguan.
2.4.2 Perilaku berbiak
Pada umumnya katak melakukan perkawinan eksternal dimana fertilisasi
dimana katak jantan berada di atas tubuh katak betina (Duellman dan Treub
1994). Posisi amplexus dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2 Beberapa tipe amplexus. Ket :a) Inguinal b) Axilary c) Cephalic d) Straddle e) Glued f) Independent (Sumber Gambar : Duellman
dan Trueb 1994).
Menurut Duellman dan Treub (1994) beberapa tipe amplexus yang umum terjadi pada anura yaitu:
a. Inguinal: kaki depan katak jantan memeluk bagian pinggang dari katak betina. Pada posisi ini kloaka dari pasangan tidak berdekatan.
b. Axillary: kaki depan katak jantan memeluk bagian samping kaki depan katak betina. Posisi kloaka pasangan berdekatan
c. Cephalic: kaki depan katak jantan memeluk bagian kerongkongan katak betina
d. Straddle: kaki katak jantan menunggangi katak betina tanpa memeluk katak betina
e. Glued: kaki katak jantan berdiri belakang katak betina dan mendekatkan kedua kloaka masing-masing
f. Independent: kedua katak saling membelakangi dan menempelkan kloaka secara bersamaan.
2.4.3 Perilaku bersarang
Pembuatan sarang dan peletakan telur berkaitan dengan proses pengeringan,
pemangsa, dan cahaya matahari (Hofrichter 2000). Menurut Goin et al. (1987), penggunaan tempat untuk bertelur bagi amfibi sangat beragam. Telur dapat
e f
d
c b
diletakkan di tempat terbuka, berada di atas air, di air yang mengalir, di bawah
batu atau kayu lapuk, dan di lubang atau di daun yang di bawahnya terdapat air
menggenang.
Menurut Duellman dan Treub (1994) beberapa tipe peletakan telur, yaitu :
a. Aquatic oviposition : telur terlindungi oleh gell yang dapat ditembus oleh sperma, diletakkan di permukaan air, dasar air, serasah di dalam air, tumbuhan
air, dan di sela-sela bebatuan.
b. Arboreal oviposition : telur diletakkan pada dedaunan, batang, maupun pada tumbuhan mati dan selanjutnya terbawa oleh air hujan dan terlarutkan pada
suatu genangan air.
c. Foam-nest construction : telur diletakkan pada busa yang dibuat dari hasil aktivitas setelah amplexus dengan gerakan kaki katak betina. Peletakan sarang berada di dekat perairan, di atas perairan, maupun lokasi yang sering di aliri air.
Beberapa jenis amphibi seperti Gastrotheca walkeri, peletakan telur adalah di tubuh katak betina. Setelah telur dikeluarkan dan dibuahi telur dimasukkan ke
dalam kantung yang berada pada tubuh katak betina. Pada jenis Flectonotus goeldii dan Epipedobates tricolor telur diletakkan di atas punggung katak betina dan pada jenis Rheobatrachus silus telur katak yang telah dibuahi dimasukan ke dalam mulutnya selama enam sampai tujuh bulan sampai telur berubah menjadi
katak muda (Hödl 2000). Laporan mengenai peletakan telur katak di Indonesia
antara lain dilaporkan oleh Yazid (2006) dan Irawan (2008).
Menurut Yazid (2006), telur Rhacophorus reindwardtii di Kampus IPB Dramaga diletakkan pada dua tempat yaitu 1) di daun di atas pohon (merupakan
hal yang umum); 2) di antara serasah dan rumput kemudian ditutupi dedaunan
kering yang ada di sekitarnya. Jika hujan deras, telur yang sudah bekembang
menjadi berudu jatuh ke air atau terbawa oleh aliran air hujan menuju ke dalam
parit. Sementara itu, menurut Irawan (2008), telur katak pohon bergaris
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember
2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini
untuk mengetahui konsentrasi katak, lokasi berbiak, dan waktu berbiak.
Pengambilan data perilaku berbiak dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai
November 2009. Pengamatan dilakukan secara terkonsentrasi di jalur Cibodas,
mulai dari kantor Cibodas (jalur Ciwalen) sampai air terjun Cibeureum. Lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Peta jalur wisata kawasan air terjun Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber peta: Gambar TNGGP 2009).
Pengamatan pendahuluan menunjukkan keberadaan katak pohon Jawa pada
sepanjang jalur wisata dari HM 0 (jalur Ciwalen) sampai HM 28 (air terjun
Cibeureum) (Gambar 3). Pada HM 0, penemuan katak pohon Jawa berada pada
lokasi pinggiran sungai kecil yang berbatasan dengan Kebun Raya Cibodas. Dari
HM 0 sampai pada HM 28, katak pohon Jawa masih dapat ditemukan di pinggiran
sungai maupun kolam-kolam. Dari pengamatan pendahuluan, ditemukan 12 lokasi
pohon Jawa. Lokasi pengamatan tersebar pada beberapa lokasi di HM 1, HM 25,
HM 26, dan HM 28.
Lokasi penelitian terdiri atas tiga tipe habitat yaitu kolam, aliran sungai dan
air terjun. Kolam yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kolam periodik
yang keberadaan airnya tergantung dari limpahan air hujan. Keberadaan kolam ini
cukup melimpah pada jalur wisata Cibeureum, namun yang cocok untuk habitat katak pohon Jawahanya terdapat dua lokasi yaitu kolam di HM 26 dan kolam di
belakang resort. Kondisi air yang tidak mengalir menjadikan kolam ini tenang dan
sedikit terjadi gerakan air. Kondisi ini juga mengakibatkan pendangkalan karena
terdapat serasah yang menumpuk dan endapan lumpur.
Tipe habitat aliran sungai sangat banyak dijumpai pada jalur ini, karena
sumber air yang berasal dari tiga air terjun utama menyebar hampir ke seluruh
lokasi jalur. Kondisi ini membuat debit air mengecil dengan aliran air yang
berbeda. Aliran air relatif memiliki perbedaan jumlah air yang masuk dari cabang
aliran air. Kondisi dasar perairan terdiri dari serasah, lumpur, batu, dan pasir. Tipe
habitat air terjun terpusat pada ketiga air terjun yaitu air terjun Cibeureum,
Cidendeng, dan Cikundul.
3.2Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk mengambil data SVL yaitu : kantung plastik,
jangka sorong, dan timbangan. Sedangkan untuk keadaan lapang digunakan
termometer suhu dan dry wet , termometer tembak Raytek, walking stick, meteran gulung, tali plastik, kamera digital, pH meter, pengatur waktu / stop watch, dan
bola ping pong. Alat yang digunakan untuk mengambil data suara yaitu perekam
suara digital EDIROL R-09 by Roland, Microphone Sennheiser ME 67 dan Earphone Philips SHP 2500. Alat yang digunakan untuk membuat simulasi katak berbiak yaitu kantung plastik besar, plastik trash bag bening, dan tali plastik. Bahan yang digunakan yaitu katak pohon Jawa katak jantan dan katak betina.
3.3 Pengumpulan Data
3.3.1 Data primer
Data diambil langsung pada beberapa lokasi yang telah ditentukan selama
sepanjang jalur HM 0 sampai HM 28. Pengambilan data dipusatkan di air terjun
Cibeureum dan Cikundul, sedangkan pengambilan akustik suara katak dilakukan
di rawa Gayonggong.
Data primer yang diambil meliputi beberapa hal sebagai berikut :
a. Karakteristik morfologi dan intensitas berbiak katak pohon Jawa
Pada saat pengamatan, dilakukan penghitungan perjumpaan jumlah katak
berbiak yang meliputi jumlah katak jantan dan katak betina yang sedang
melakukan aktivitas berbiak dalam satu kelompok, dan jumlah pasangan yang
berhasil melakukan proses berbiak. Pencatatan meliputi jumlah katak jantan
bersuara dan katak betina yang berada di sekitar katak jantan serta jumlah
pasangan yang berhasil melakukan perkawinan. Untuk mengetahui musim
berbiak, dilakukan pengamatan setiap bulan selama 7 sampai 14 malam
pengamatan per bulan kecuali pada bulan Januari dan Februari, dengan total
pengamatan 93 hari. Pengukuran morfologi katak berbiak dilakukan saat proses
berbiak selesai. Katak jantan dan katak betina yang amplexus ditangkap dan diukur SVL, berat, dan kecacatan. Pengukuran SVL menggunakan caliper, berat diukur dengan timbangan.
b. Pemilihan waktu dan tempat berbiak katak
Pengamatan aktivitas katak dimulai dari katak mengeluarkan suara pertama
kali sampai katak tidak beraktivitas lagi. Pengamatan dimulai pada jam 18.00
WIB yaitu pada saat hari mulai gelap dan suhu turun. Jam 18.00 WIBsampai
19.00 WIB dilakukan pengamatan terhadap seluruh lokasi dan pemilihan
kosentrasi katak berkumpul dilakukan saat itu juga. Pengamatan perilaku
dilakukan selang 2 jam pada jam 19:00 WIB yaitu dengan pengambilan data
perilaku dan kondisi lingkungan. Pengukuran terhadap faktor-faktor fisik dan
biotik lingkungan yaitu pengambilan data tipe vegetasi, posisi horizontal katak
terhadap badan air, posisi vertikal terhadap permukaan air, suhu udara,
kelembaban, dan penutupan oleh vegetasi.
c. Sistimatika perilaku berbiak katak
Pengambilan data sistematika perilaku berbiak dilakukan dengan pencatatan
seluruh aktivitas yang dilakukan katak dari pra-kawin sampai dengan paska
Hanya ada satu pasang katak yang diamati lengkap tanpa perlakuan. Tiga ekor
katak diamati dengan membuat terrarium sederhana untuk memetakan urutan
kejadian berbiak katak.
Pada pengamatan perilaku berbiak katak pohon Jawa dilakukan dengan dua
percobaan di dalam terrarium, yaitu dengan kotak yang terbuat dari plastik trashbag bening dan kantung plastik besar. Percobaan pertama dengan kotak
plastik bening dengan ukuran 50 cm x 100 cm dilakukan di atas kolam buatan
dengan tumbuhan Kecubung di dalamnya. Dinding kotak dibuat dengan plastik
bening tersebut dan dipotong dengan ukuran 1 x 1 m2 (Gambar 4). Potongan
plastik dihubungkan dengan tali dan membentuk kotak bujur sangkar. Dinding
plastik di tanam ke dasar substrat sampai tidak ada celah sehingga katak tidak
dapat keluar dari dalam kotak. Untuk memperkuat kotak, setiap ujung kotak
dihubungkan dengan tali plastik dan diikatkan pada pasak dan tanaman di
sekitarnya. Tanaman kecubung yang berada di dalam kotak merupakan tanaman
asli yang hidup di pinggiran kolam. Fungsi tanaman Kecubung adalah untuk
tempat meletakkan telur katak yang dihasilkan setelah proses berbiak.
Percobaan kedua dengan menggunakan kantung plastik dan dimasukkan
tumbuhan Kecubung (Gambar 5). Kantung plastik berukuran 50 x 100 cm2,
diikatkan pada ranting tumbuhan kecubung dan diisi dengan sedikit air.
Pemberian air ini diberikan sebagai miniatur tempat katak melakukan proses
perkawinan. Daun kecubung diatur dengan posisi telungkup sebagai tempat katak
hinggap dan meletakkan sarang.
Percobaan dengan kedua kantung ini berlangsung selama 2 hari yaitu
dengan pertimbangan kondisi fisik katak. Katak yang dimasukkan ke dalam
terrarium percobaan adalah katak yang siap berbiak, dan dimasukan pada pukul 16.00 WIB dan di keluarkan pada pukul 07.00 WIB. Pada terrarium kantung plastik, udara diganti pada saat pagi hari, yaitu pada saat katak berhenti
Gambar 4. Sketsa terrarium dengan bentuk kotak.
d. Akustik suara katak jantan
Pengambilan suara direkam dengan alat perekam digital EDIROL R-09
selama 30 menit sebanyak 5 kali. Perekam diletakkan pada lokasi terdekat dengan
katak untuk mendapatkan tipe-tipe frekuensi suara yang dikeluarkan katak. Pada
saat perekaman dilakukan pencatatan lokasi perekaman, tanggal perekaman, cuaca
pada saat perekaman, jam perekaman, dan suhu perekaman.
3.3.2 Data sekunder
Data sekunder didapatkan melalui studi literatur, meliputi a) Kondisi umum
lokasi penelitian yang didapat dari laporan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango; b) Data iklim dan curah hujan di lokasi penelitian diperoleh dari
Badan Meteorologi dan Geofisika Pacet yang meliputi data curah hujan dan
kelembaban dari tahun 2005 sampai 2009.
3.4 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dalam bentuk grafik untuk menjelaskan
hubungan antara parameter yang telah ditentukan. Data suara yang didapatkan
dianalisa dengan menggunakan software Adobe Audition 1.5 untuk menghilangkan noise suara, Spectrogram_v15.3 untuk mengetahui panjang gelombang yang dikeluarkan dan Sound Ruler Accoustic Analysis untuk
4.1 Letak dan Luas Kawasan
Secara geografi, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terletak antara 106°51’ – 107°02’ BT dan 6°51’ LS (Gambar 5). TNGGP pada awalnya memiliki luas 15.196 ha dan terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu
Cianjur (3.599,29 ha), Sukabumi (6.781,98 ha) dan Bogor (4.514,73 ha), saat ini
sesuai SK Menhut No. 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 diperluas menjadi 21.975
ha. Sesuai ketentuan pasal 32 dan 33 dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990,
maka zonasi di TNGGP terdiri dari zona inti (7.400 ha), zona rimba (6.848,30 ha)
dan zona pemanfaatan (948,7 ha).
Gambar 6 Peta kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber peta : TNGGP 2009).
Secara administratif pemerintahan, wilayah TNGGP mencakup ke dalam 3
(tiga) kabupaten, yaitu; Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Batas-batas
kawasan ini adalah (TNGGP 1995) :
Sebelah Utara : Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor
Sebelah Barat : Wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor
4.2 Iklim
Kawasan TNGGP memiliki jumlah bulan basah 7-9 bulan berurutan, dan
jumlah bulan kering <2 bulan setiap tahunnya. Berdasarkan klasifikasi Schmidt
dan Ferguson, TNGGP masuk ke dalam tipe iklim B1 dimana curah hujan
bulanan 200 mm dengan nilai Q berkisar antara 11,3-33,3%. Kelembaban berkisar
antara 80-90% sepanjang tahun (TNGGP 2009).
4.2.1 Suhu
Keadaan suhu di lokasi penelitian yang diambil dari data Badan Meteorologi
dan Geofisika (BMG) Pacet menunjukkan kondisi suhu terendah terjadi pada
bulan Juni 2006 dengan suhu 19,4 oC. Suhu terendah sepanjang tahun 2009
terjadi pada bulan Januari dengan rata – rata 20 oC. Rata-rata suhu bulanan
tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2009 dengan suhu mencapai 21,9 oC. Suhu
bulanan terendah tiap tahunnya dari tahun 2005 sampai 2009 terjadi antara bulan
Juni sampai Agustus, sedangkan suhu bulanan tertinggi terjadi pada bulan
September sampai bulan November. Grafik suhu bulanan dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 7 Grafik rata-rata suhu bulanan selama 5 tahun 2005 sampai 2009 (Sumber BMG Pacet 2005-2009).
4.2.2 Curah hujan
Pada kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terjadi hujan
sepanjang tahun yang terlihat pada grafik curah hujan dari tahun 2005 sampai
2009 (Gambar 8). Bulan kering terjadi pada bulan Mei sampai September dan
bulan basah terjadi pada bulan Oktober sampai bulan April. Puncak musim hujan
musim kering terjadi pada bulan Agustus dimana curah hujan rata-rata kurang dari
100 mm bahkan pada tahun 2008 tidak ada hujan sama sekali.
Gambar 8 Grafik rata-rata curah hujan bulanan dari tahun 2005 sampai 2009 (Sumber BMG Pacet 2005-2009).
4.3 Bentang Alam Lokasi Penelitian di Kawasan TNGGP
Lokasi penelitian berada tepat pada jalur wisata menuju air terjun
Cibeureum dan satu daerah pada jalur air terjun Ciwalen. Kondisi lokasi
penelitian juga ditentukan oleh adanya jalur tapak wisata yang memotong hampir
sebagian besar lokasi pengamatan. Jalur wisata terbagi atas 28 batas dengan
satuan HM (hektometer) dihubungkan dengan tapak jalur wisata. Penggunaan
satuan HM ini berdasarkan jarak datar pada peta yang artinya jarak datar yang
ditempuh untuk mencapai air terjun Cibeureum adalah 2800 meter. Kondisi
kemiringan yang mencapai 45o menjadikan panjang jalur ± 6 km.
Gambar 9a menunjukkan air terjun Cibereum yang menjadi tujuan wisata,
namun terdapat juga air terjun Cikundul yang jarang di datangi pengunjung untuk
berwisata (Gambar 9 b). Pada HM 22 terdapat bekas kawah lama gunung Gede
dan ditumbuhi oleh rumput Gayonggong, sehingga lokasi ini diberi nama rawa
Gayonggong. Lokasi ini di belah oleh jembatan kayu sepanjang ±400 m, berbahan
kayu dan beton (Gambar 9 e). Pada HM 25 juga terdapat jembatan kayu sepanjang
±300 m yang di aliri oleh sungai kecil di bawah jembatan (Gambar 9 d). Gambar
8c merupakan lokasi penelitian yang berada di belakang resort Mandala Wangi. Ketinggian lokasi penelitian pada HM 0 yaitu 1000 mdpl dan 1600 mdpl
pada air terjun Cibeureum. Kondisi ketinggian ini menunjukkan bahwa lokasi ini
termasuk dalam zona sub-montana, dengan kondisi hutan yang rapat dengan
Gambar 9 Kondisi umum lokasi penelitian di jalur wisata air terjun Cibeureum. Ket : a) Air terjun Cibereum; b) Air terjun Cikundul; c) Kubangan di belakang resort Mandala Wangi; d) Jembatan HM 25; e) Jembatan
rawa Gayonggong.
Beberapa jenis tumbuhan yang ada di sekitar lokasi pengamatan yaitu
Congkok (Curculiga caviculata) (Gambar 10 a), Kecubung / Bunga Terompet (Brugmansia suaveolens (Humb & Bonpl. Ex Willd) B) ( Gambar 10 b), dan Babakoan (Eupatorium sordidum Less.) (Gambar 10 c).
5.1 Hasil
5.1.1 Karakteristik morfologi dan intensitas katak berbiak
Aktivitas berbiak katak pohon Jawa ditandai dengan ciri berkumpulnya
pejantan siap berbiak dan katak betina mendatangi lokasi berkumpulnya pejantan
siap kawin tersebut. Katak pohon Jawa katak jantan memiliki ciri khusus saat
melakukan aktivitas berbiak. Ciri ini dimulai dengan aktivitas calling. Pada bagian bawah mulut terdapat selaput yang digunakan katak jantan untuk membuat
suara. Katak jantan mengeluarkan suara dimulai pada saat katak melakukan
aktivitas menunggu (Gambar 11 a). Katak jantan kemudian mendatangi katak
jantan lain untuk melakukan panggilan bersama (Gambar 11 b). Katak jantan
saling mengeluarkan suara dengan menggembungkan bagian selaput di bawah
mulut yang dapat terlihat pada Gambar 11 c.
Gambar 11 Katak pohon Jawakatak jantan yang sedang melakukan aktivitas berbiak. Ket : a) Katak jantan yang sedang menunggu b) Katak jantan
akan loncat mendekati pejantan lain c) Katak jantan dengan posisi bersuara.
Katak betina mendatangi lokasi berbiak dengan kondisi siap berbiak. Katak
betina siap berbiak ditandai dengan perut yang menggembung dan berisi dengan
telur-telur yang matang. Kematangan telur ini dapat dilihat dengan
menggembungnya bagian pangkal perut. Gambar 12 a menunjukkan katak betina
mendatangi lokasi berbiak dengan menyusuri pinggiran sungai. Katak betina siap
yang menggembung (Gambar 12 b). Aktivitas katak betina siap berbiak pada saat
siang hari dapat diamati pada Gambar 12 c yaitu perut menggembung dan berisi
penuh telur.
Gambar 12 Katak betina siap berbiak. Ket : a) Katak betina siap berbiak dari pepohonan b) Katak betina siap berbiak yang menyusuri sungai c)
Katak betina siap berbiak pada saat siang hari.
Pengamatan terhadap pasangan yang melakukan amplexus terlihat dari ukuran katak betina siap berbiak (Gambar 13) yang memiliki ukuran SVL
rata-rata 60,55 – 65,65 gram, dengan SD 1,56 dan berat rata-rata 14,50 gram sampai
23,75 gram dengan SD 2,99; sementara katak jantan memiliki SVL rata rata
32,50 mm sampai 45 mm dengan SD 3,46 dan berat rata-rata antara 3,25 gram
sampai 5,50 gram dengan SD 0,07 (Tabel 2). Katak betina lebih besar daripada
katak jantan ditemukan pada seluruh pasangan yang ditemukan. Katak betina
berada di bawah pejantan dengan posisi kaki depan memeluk bagian dada dan
kaki belakang berada di pangkal perut.
Tabel 2 SVL (Snouth Vent Lenght) dan berat katak yang melakukan amplexus
Pasangan
Katak betina Katak jantan
svl (mm) berat (gram) svl (mm) berat (gram)
p4 64,25 14,50 44,15 5,00
p5 62,35 16,25 40,60 4,25
p6 60,55 18,75 50,85 4,50
p7 61,95 15,00 41,10 4,25
p11 65,65 18,50 46,45 5,50
p12 61,65 18,00 43,00 4,00
p13 62,98 21,00 38,10 3,25
p14 63,42 23,25 41,00 4,25
p15 63,40 23,75 41,18 3,50
p16 64,40 18,50 41,40 3,25
p17 60,85 18,00 41,06 4,00
Aktivitas berbiak ditandai dengan banyaknya katak jantan yang berkumpul
dan bersuara, adanya pasangan yang berhasil amplexus, dan keberadaan sarang. Hasil pengamatan selama 9 bulan terdapat frekuensi perjumpaan 271 katak jantan
dan 40 katak betina yang melakukan aktivitas berbiak (Gambar 14). Katak jantan
berkumpul pada satu lokasi dengan area ±20 m2 dengan kondisi vegetasi dan
lokasi yang berbeda. Keberadaan lokasi air menjadi pedoman dalam menentukan
titik pertemuan katak jantan dan katak betina. Jumlah katak jantan dan katak
betina berkumpul terbanyak terjadi pada bulan Desember seiring dengan awal
musim penghujan.
Gambar 14 Grafik frekuensi pertemuan katak jantan dan katak betina selama penelitian (Desember 2008-November 2009 kecuali pada bulan
5.1.2 Pemilihan waktu dan tempat berbiak
Waktu berbiak diawali dengan peristiwa amplexus sampai pada peristiwa
peletakan sarang. Waktu berbiak terjadi pada sepanjang malam dengan intensitas
tinggi pada saat mulai terjadi hujan. Pada Gambar 15 diperlihatkan katak jantan
yang berkumpul dan melakukan aktivitas calling. Pertemuan katak terbanyak terjadi pada bulan Desember dengan jumlah katak mencapai 64 ekor dimana 51
ekor sedang bersuara.
Gambar 15 Grafik pertemuan katak jantan berkumpul dan katak jantan bersuara tahun 2009.
Aktivitas amplexus terjadi sebanyak 19 kali selama pengamatan berlangsung. Aktivitas ini dapat dilihat pada Tabel 3 dengan dominansi cuaca
gerimis. Penemuan frekuensi amplexus paling banyak ditemukan pada Gayonggong A dengan jumlah katak jantan 3 sampai 5 ekor dengan 1 ekor katak
betina (individu katak betina yang berbeda).
Tabel 3 Waktu amplexus di seluruh lokasi penelitian
No Tanggal
Berdasarkan pengamatan lebih banyak katak melakukan amplexus pada rentang waktu 18.00 WIB sampai dengan jam 22.00 WIB. Pada rentang jam ini
terdapat 12 pasangan amplexus yang menyebar dari jam 18.00 WIB sampai 20.00 WIB dan jam 20.00 WIB sampai 22.00 WIB. Waktu terawal katak melakukan
amplexus terjadi pada jam 18.30 WIB dan diakhiri jam 02.35 WIB. . Pertemuan amplexus terendah terjadi pada rentang jam 00.00 WIB sampai jam 02.00 WIB.
Gambar 16 Jumlah dan penyebaran waktu amplexus katak pohon Jawa, berdasarkan pengamatan pada bulan Desember 2008 sampai
Habitat berbiak katak pohon Jawa terdapat hampir di seluruh jalur
pengamatan. Pengamatan pendahuluan pada bulan November sampai bulan
Desember 2008 menunjukkan beberapa lokasi berbiak katak pohon Jawa.
Aktivitas berbiak berada di sekitar sumber air. Sumber air utama di sepanjang
jalur Ciwalen sampai Cibeureum yaitu berasal dari air terjun, dan di dua titik
sumber air berasal dari air hujan yang membentuk kolam periodik. Lokasi
penelitian terbagi atas 11 lokasi pengamatan berbiak dan 1 lokasi pengamatan
suara. Seluruh lokasi merupakan habitat dari katak pohon Jawa. Pengelompokan
ini didasarkan pada pertemuan katak yang sedang berkumpul. Pada gambar 17
menunjukkan lokasi utama katak melakukan proses berbiak.
Gambar 17 Lokasi utama katak pohon Jawa berbiak (Mulia 2009).
Lokasi pengamatan perilaku berbiak katak pohon Jawa terbagi menjadi 4
lokasi besar yaitu sebagai berikut : a. Air terjun Cikundul
Lokasi ini berada di HM 28 dengan sumber air terjun berasal dari gunung
Pangrango. Lokasi merupakan daerah dengan kondisi vegetasi yang cukup rapat
dan didominasi oleh Kecubung. Substrat dasar perairan berupa pasir, kerikil, batu,
dan tanah dan aliran air yang relatif tenang dengan debit 0,10 m3/detik. Kondisi
daun Markisah dan daun Kecubung serta ditemukan berudu katak pohon Jawa.
Pada area air terjun Cikundul ini ditemukan tiga lokasi berbiak (Gambar 18).
Gambar 18 Aliran sungai Cikudul. Ket: a) Lokasi Cikundul A; b) Cikundul B; c) Cikundul C.
b. Air terjun Cibereum
Lokasi ini berada di HM 28 dengan sumber air terjun berasal dari gunung
Gede. Lokasi pengamatan dengan dominasi bebatuan dan vegetasi dominan oleh
tumbuhan Kecubung. Lokasi tersebut merupakan habitat riparian yang merupakan
salah satu aliran sungai dari air terjun Cibeureum. Substrat dasar sungai berupa
batu, akar, dan kayu dengan debit 0,02 m3/detik. Lokasi ini disinyalir menjadi
tempat katak melakukan akivitas perkawinan dengan ditemukannya katak yang
sedang berkumpul dan melakukan aktivitas bersuara pada saat pengamatan. Pada
lokasi ini juga ditemukan bekas sarang pada tumbuhan Kecubung dan sarang di
sela bebatuan serta di temukan berudu di sepanjang aliran sungai. Lokasi ini
terbagi menjadi tiga lokasi kecil tempat katak jantan berkumpul dan melakukan
aktivitas berbiak yaitu Cibeureum A, Cibeureum B, Cibeureum C, dan Cibeureum
D (Gambar 19).
c. Rawa Gayonggong
Lokasi ini berada pada HM 25 dan dipotong oleh keberadaan jembatan kayu
(Gambar 20 a & Gambar 20 d). Aliran sungai ditemukan di bawah jembatan ini
dengan debit 0,03 m3/detik. Kondisi vegetasi didominasi oleh Kecubung yang
hidup di sekitar jembatan. Kondisi substrat dasar sungai berupa pasir , tanah,
kerikil, dan sampah plastik. Keberadaan bekas sarang, berudu, dan katak yang
berkumpul merupakan indikasi bahwa di tempat ini digunakan katak sebagai
tempat bagi katak pohon Jawa melakukan aktivitas berbiak. Pada lokasi ini juga
ditemukan dua kolam periodik yang tergenang air pada saat hujan turun (Gambar
20 b & Gambar 20 c).
Gambar 20 Jembatan kayu di HM 25. Ket: a) Gayonggong A; b) Gayonggong B; c) Gayonggong C; d) Gayonggong D.
d. Jalur Ciwalen
Lokasi ini terdapat di HM 0 dan terdapat kolam periodik sebagai tempat
katak berbiak. Lokasi kolam berada di belakang resort Mandala Wangi dengan
jumlah air yang berbeda tergantung dari keberadaan air hujan (periodik) (Gambar
21). Pada kolam ini didominasi oleh Kecubung dengan substrat dasar berupa
serasah, pasir, tanah, dan kerikil. Pada malam hari ditemukan katak jantan yang
sedang berkumpul dan melakukan aktivitas calling, serta ditemukan berudu katak pohon Jawa.
Seluruh lokasi merupakan habitat dari katak pohon Jawa. Pengelompokkan
ini didasarkan pada pertemuan katak yang sedang berkumpul. Kondisi ini
didukung oleh parameter yang sesuai bagi katak pohon Jawa untuk melakukan
aktivitas perkawinan, yaitu dari jenis vegetasi, kemiringan, pH, kedalaman air,
debit, dan substrat (Tabel 4). Pengelompokan ini menunjukkan kesamaan kondisi
fisik yang sama yaitu berada pada habitat riparian.
Tabel 4 Kondisi habitat mikrodi lokasi penelitian
No
12 Ciwalen Kecubung Serasah, akar, pasir
5.1.3 Sistematika perilaku berbiak katak pohon Jawa
Pada perilaku berbiak katak pohon Jawa, proses perkawinan dimulai saat
pertemuan antara katak jantan dan katak betina yang merupakan proses
percumbuan. Katak jantan mengeluarkan suara yang berfungsi untuk menarik
perhatian katak betina. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 224 dari 271
frekuensi katak jantan yang ditemukan melakukan aktivitas bersuara. Urutan
berbiak katak pohon Jawa bisa disarikan sebagai berikut: 1) katak jantan
memanggil, 2) katak betina merespon panggilan katak jantan, 3) Katak betina
memilih katak jantan yang sesuai, 4) Posisi amplexus, 5) pencarian lokasi bersarang, 6) pengeluaran telur, 7) katak berpisah setelah katak jantan membuahi
telur yang dikeluarkan katak betina.
Pejantan katak pohon Jawa umumnya mengambil posisi kurang dari 3 m
dari permukaan tanah dan melakukan panggilan pada tempat terbuka seperti pada
ranting atau cabang tumbuhan (Gambar 22 a). Katak jantan yang berkumpul
kemudian saling berpasangan untuk menarik perhatian katak betina (Gambar 22
b). Katak betina datang pada lokasi perkawinan (Gambar 22 c) dan mendekati
pejantan.
Suara katak jantan semakin nyaring dan katak betina tertarik untuk
mendekati pasangan katak jantan yang paling nyaring dan sesuai dengan
keinginan katak betina. Katak betina mendekati katak jantan kemudian katak
jantan menaiki tubuh katak betina (amplexus) (Gambar 22 d). Pada posisi amplexus ini katak betina membawa katak jantan untuk masuk ke dalam air
sampai waktu tertentu (Gambar 22 e). Pasangan tersebut naik lagi dan mencari
daun Kecubung yang sesuai untuk peletakan sarang (Gambar 22 f). Setelah
penentuan daun yang akan dipakai untuk sarang, pasangan saling menggerakkan
kaki belakang dan menghasilkan busa (foam). Telur keluar beserta sperma katak jantan (Gambar 22 g). Setelah seluruh isi telur pada perut katak betina habis
kemudian katak betina menutup sarang. Katak berpisah setelah prosesi selesai.
Sarang biasanya diletakkan di atas permukaan daun maupun di bawah permukaan
Gambar 22 Urutan berbiak katak pohon Jawa. Ket : a) Katak jantan melakukan aktivitas calling b) Katak jantan saling beradu suara c) Katak betina siap berbiak d) Amplexus e) Pasangan memasuki perairan f) Menuju tempat peletakan sarang g) Pembuatan sarang h) Sarang di bawah
daun.
Posisi amplexus katak pohon Jawa adalah axilary. Katak jantan berada di punggung katak betina, kaki belakang katak jantan memegang di bagian bawah
perut sedangkan kaki depan katak jantan memegang ketiak kaki depan katak
betina. Kaki depan katak jantan seperti menekan perut katak betina sehingga
bagian perut katak betina menggembung ke bawah (Gambar 23).
Ilustrasi urutan perkawinan disajikan pada contoh pengamatan tanggal 24
Desember 2008 di Cikundul A karena memiliki jumlah katak yang banyak dan
sedang bersuara. Terdapat lima katak jantan yang sedang berkumpul dan sedang
melakukan aktivitas pemanggilan dengan suara panggilan pendek. Aktivitas ini
dimulai pada jam 19.00 WIB dengan suhu udara 16 oC dengan kelembapan relatif
90%. Kondisi kemungkinan terjadi perkawinan didukung dengan kondisi kawasan
yang sedang gerimis. Kondisi ini berlangsung hingga jam 00.30 WIB dengan
kondisi hujan semakin deras. Pada jam 00.45 WIB hujan berhenti, dan katak
kembali melakukan aktivitas suaranya. Pada jam 01.00 WIB datang katak betina.
Terjadi perubahan intensitas suara yang semakin sering dan terjadi
pengelompokkan penkatak jantan menjadi tiga, dua pasangan dan satu katak
jantan. Pejantan yang sendiri tidak melakukan aktivitas suara.
Pejantan yang berpasangan saling bersaing untuk mendapatkan perhatian
katak betina. Pada jam 01.17 WIB katak betina menghampiri seekor pejantan dan
terjadilah amplexus. Suhu pejantan 18,8OC dan katak betina 18,8OC. Pasangan amplexus segera meninggalkan kelompok tersebut dan kemudian turun ke aliran sungai. Pasangan tersebut segera masuk ke dalam air sampai jam 02.00 WIB
akhirnya naik ke permukaan. Suhu air pada saat itu 17,5OC dan kondisi suhu
udara 18OC. Tepatnya pada jam 02.21 WIB pasangan tersebut berpisah. Kondisi
ini diawali dengan gerakan katak betina yang agresif membenamkan diri sampai
katak jantan melepaskan kaki depan sehingga katak jantan berpisah dari tubuh
katak betina.
Kejadian ini berulang beberapa kali pada berbagai lokasi. Untuk mengetahui
perilaku lanjutan yang dilakukan katak setelah amplexus dilakukan pengamatan pada terrarium buatan. Data tanggal 14 Mei 2009 (Tabel 5) menunjukan waktu berbusa selama 10 menit, keluar telur 3 jam 17 menit, dan total waktu berbiak 3
jam 40 menit. Demikian pula dengan tiga kejadian berikutnya pada tanggal 4 Juni
2009 terjadi 3 amplexus pada 3 terrarium yang berbeda dengan menghasilkan data total waktu 11 jam 30 menit, 6 jam 13 menit, dan 6 jam 55 menit. Usaha
pencarian perilaku berbiak secara alami tetap dilakukan dan tepatnya tanggal 21
bebatuan di atas kolam. Terdapat 3 sarang dalam jarak ± 1 meter. Hal ini
membuat pengamatan terfokus pada lokasi tersebut.
Pada jam 18.00 WIB dilakukan survey pada lokasi tersebut dan hanya
ditemukan 4 katak jantan dan hanya 1 katak jantan yang bersuara. Pengamatan
dilakukan terus menerus untuk memantau kedatangan katak betina. Pada jam
18.43 WIB katak betina datang dari arah air terjun. Katak betina langsung
melompat ke dalam kolam dan kemudian menghampiri kumpulan pejantan. Pada
jam 19.13 WIB, terjadi amplexus. Kondisi lokasi yang relatif basah (walau tidak ada hujan karena berdekatan dengan air terjun) membuat bebatuan menjadi basah
dan lembab. Pejantan lain terus melakukan panggilan namun pada jam 19.26 WIB
pasangan amplexus masuk ke kolam dan naik lagi pada jam 19.32 WIB. Katak naik ke celah bebatuan dan segera membuat busa. Busa keluar tepat pada jam
19.37 WIB dan telur pertama keluar pada jam 19.43 WIB hingga menutup sarang
pada jam 20.10 WIB. Katak berpisah pada jam 20.20 WIB dengan katak jantan
meloncat dari punggung katak betina dan segera katak betina meninggalkan lokasi
bersarang. Total waktu yang digunakan katak untuk berbiak hanya 1 jam 13
menit.
Pengamatan waktu berbiak katak pohon Jawa dapat dilihat pada tabel 5 yang
menunjukkan pembagian waktu berbiak katak pohon Jawa. Katak pohon Jawa
melakukan aktivitasnya pada jam 18.00 WIB atau pada saat matahari tenggelam.
Aktivitas berbiak katak dimulai pada saat katak melakukan aktivitas calling dengan lama 30 menit sampai 8 jam 30 menit. Aktivitas amplexus dimulai saat katak jantan menaiki tubuh katak betina. Katak betina membawa katak jantan di
punggungnya dan menuju lokasi bersarang. Lama waktu mencari lokasi sarang
ini terjadi 53 menit sampai 8 jam 30 menit. Lamanya waktu pencarian tergantung
kecocokan terhadap peletakan sarang.
Aktivitas pembuatan sarang dimulai pada saat katak betina telah menetukan
lokasi bersarang dan mulai melakukan serangkaian gerakan sampai terbentuk
busa. Busa terbentuk setelah kaki belakang dan katak betina digosokkan pada
bagian punggung katak betina selama 6 sampai 28 menit. Proses keluarnya telur
terjadi setelah setengah bagian busa dibentuk. Telur dikeluarkan melalui anus
pengeluaran telur dan sperma selesai. Sarang ditutup dengan busa dan dibentuk
membulat. Proses berbiak katak pohon Jawa terjadi 1 jam 13 menit sampai 11 jam
30 menit.
Tabel 5 Pembagian waktu berbiak katak pohon Jawa dimulai dari jam 18.00 WIB
Tanggal Durasi (jam : menit) Total
Calling Amplexus Bertelur Menutup
sarang
Keterangan : warna merah = aktivitas pengamatan direkam penuh
Sarang yang dibuat terdiri dari dua jenis yaitu sarang di daun dan sarang di batu.
Adapun perbedaan kedua jenis sarang ini dapat dilihat di bawah ini:
a. Sarang di daun
Kecubung (Brugmansia suaveolens) mendominasi hampir dikeseluruhan lokasi penelitian. Peletakan sarang lebih banyak di tumbuhan Kecubung walaupun
juga ditemukan pada jenis tumbuhan lain seperti Babakoan (Eupatorium sordidum) dan Congkok (Curculiga caviculata). Ketiga tumbuhan ini terdapat di seluruh lokasi penelitian. Habitat tumbuhan ini berada pada pinggir kolam atau
pinggiran aliran sungai.
Peletakan sarang di daun dapat dilakukan pada permukaan daun atau di
bawah daun. Sarang lebih banyak ditempatkan di permukaan daun Kecubung,
namun ada juga sarang yang diletakkan pada bawah permukaan daun seperti yang
kondisi daun tidak menutup. Sarang jatuh ke air dengan kondisi daun tetap utuh
tanpa ada perubahan fisik daun. Ilustrasi kondisi peletakan sarang digambarkan
pada Gambar 24.
Gambar 24 Sketsa peletakan sarang di daun Kecubung.
Peletakan sarang di daun Babakoan cenderung berada di bawah permukaan
daun, namun ada juga yang berada di permukaan daun (Gambar 25 c). Setelah
sarang jadi, daun menutup dan membentuk corong. Kondisi daun yang dipilih
ialah daun tua karena setelah beberapa hari daun akan rontok dan membawa
berudu jatuh ke air. Sarang pada tumbuhan Congkok jarang ditemui. Peletakan
sarang pada tumbuhan ini hanya di temukan pada Gayonggong A. Kondisi
vegetasi di sekitar kolam memang banyak ditumbuhi Congkok. Sarang diletakkan
pada bawah permukaan daun karena bentuk daun yang membulat ke dalam
(gambar 25 b).
b. Sarang di Sela Bebatuan
Peletakan sarang di bawah bebatuan sangat jarang terjadi. Peristiwa ini
hanya terjadi pada satu lokasi yaitu lokasi Cibeureum C. Keadaan sarang di celah
bebatuan ditemukan pada lokasi ini dengan kondisi habitat yang dipenuhi oleh
bebatuan. Sebelum bulan Agustus 2008 kondisi sekitar kolam masih terdapat
beberapa tumbuhan Kecubung dan Congkok.
Pada pengamatan bulan Desember 2008 ditemukan bekas sarang. Pada awal
bulan Agustus diadakan pembersihan lingkungan pada jalur wisata air terjun
Cibeureum. Kondisi sekitar kolam menjadi kering (bulan Agustus merupakan
bulan kering) sehingga tumbuhan Kecubung dan Congkok tidak tumbuh lagi.
Sampai pada bulan November yang merupakan awal musim penghujan ditemukan
lokasi sarang di bawah bebatuan. Sarang berada tepat pada aliran air yang
menyelinap di antara bebatuan (Gambar 26). Kondisi sekitar sarang juga terdapat
sedikit rumput kering dan ranting pohon.
Gambar 26 Sketsa peletakan sarang di sela bebatuan.
Sarang yang ditemukan pada tanggal 20 November 2009 jam 15.00 WIB
sebanyak 5 sarang. Namun pada saat jam 18.00 WIB dilakukan pengamatan lagi,
sarang tersisa 3 buah, diduga sarang telah dirusak oleh hewan lain. Kondisi ini
diperbaiki lagi oleh katak dengan melakukan perkawinan lagi dan meletakkan
sarang di tempat sarang lama. Peletakan sarang kembali ini dapat menjadi indikasi
Gambar 27 Sarang di sela bebatuan.
Dalam peristiwa perkembangbiakan terjadi gangguan yaitu berupa gangguan
pada katak betina yang sedang diteliti dengan metode pergerakan spool track (Gambar 28 a), gangguan katak jantan lain (Gambar 28 b dan Gambar 28 c), dan
serangan dari hewan lain seperti sigung (Gambar 28 d) dan kelelawar. Gangguan
juga disebabkan oleh aktivitas pengamat yang terlalu dekat dengan pasangan
berbiak.
Gambar 28 Gangguan selama proses perkawinan. Ket : a) Gangguan dengan pemakaian spool track b) Gangguan dari individu lain saat amplexus
5.1.4 Akustik suara katak jantan
Dari seluruh pengamatan ditemukan 234 dari 271 frekuensi pejantan yang
sedang berkumpul. Pengambilan data dilakukan pada 5 individu yang telah di
identifikasi akan melakukan proses berbiak. Pengamatan dilakukan pada saat
katak mulai melakukan aktivitas suara dan ditemukan tiga pola suara umum yang
dapat dijumpai pada katak pohon Jawa yaitu suara pendek, suara panjang, dan
suara pendek lirih. Ketiga suara tersebut digambarkan dalam bentuk oscilogram, spectrogram, dan power spectrum. Pola ini terbentuk setelah dilakukan penataan ulang suara melalui pembersihan suara dari noise dan suara pengganggu seperti suara air, katak lain, dan serangga malam. Pengambilan contoh suara diambil pada
tanggal 29 Desember 2008 jam 19.57 WIB selama 30 menit dengan lokasi Rawa
Gayonggong. Pada saat pengambilan data suara, cuaca relatif cerah dengan
kondisi suhu 16oC dan kelembaban mencapai 89 %. Dari rentang waktu ini dapat
di lihat pola suara katak umum secara keseluruhan.
Gambar 29 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan pendek katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz: 1891
Gambar 30 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan panjang katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz: 1463
+/- 24 dan spectrum level dB/Hz: 36.
Gambar 31 Oscilogram, spectrogram, dan power spectrum suara panggilan pendek lirih katak jantan katak pohon Jawa dengan frekuensi Hz:
Pola umum dari 5 katak jantan yang sedang bersuara dapat di gambarkan
pada Tabel 6 yang menunjukkan parameter rata-rata (mean) dan jarak (range)
pada tiap level pulse duration, pulse frequency, dan amplitude.
Tabel 6 Mean dan range dari suara katak jantan yang berhasil direkam
Pulse duration
Range 8,75-21,31 1968,75-3093,75 0,03-0,05 2061,11-2258,21
5.2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik morfologi dan intensitas katak pohon Jawa yang berbiak
Katak betina memilih pejantan dengan penentuan khusus dari individu katak
betina. Penentuan ini diduga karena kesesuaian ukuran tubuh, kecocokan suara,
dan kondisi pesaing yang beragam. Persaingan yang terjadi membuat ketertarikan individu katak betina untuk memilih individu katak jantan. Pertemuan dengan
beberapa individu katak betina siap berbiak ditandai dengan menggembungnya
bagian perut dan adanya perilaku mendekati kumpulan katak jantan yang
melakukan aktivitas calling. Hal lain yang diduga menjadi ciri morfologi katak betina siap berbiak yaitu terjadinya perubahan (pembesaran) kelenjar di bagian
punggung seperti pada Polypedates leucomystax di Universitas Gajah Mada. Kelenjar yang memiliki lumen yang penuh berisi sekret hanya ditemui pada kulit
bagian kloaka dan femur dorsal individu katak betina yang sedang nesting
(Nurisnawati 2009).
Katak jantan melakukan panggilan suara berbiak setelah katak betina
mendekati kumpulan katak jantan. Suara dihasilkan oleh pernafasan yang masuk
ke dalam paru-paru kemudian dihembuskan ke bagian larynx untuk membentuk getaran dan chord suara (Wells 2007). Selain membuat panggilan berbiak, katak jatan memiliki perilaku saling beradu untuk menarik perhatian katak betina. Wells
(2007) menjelaskan bahwa katak jantan melakukan persaingan berupa bentuk
tubuh, ukuran tubuh, warna dan suara bahkan pergulatan seperti pada African
Pertemuan perubahan warna ditemukan pada beberapa lokasi. Pada habitat
dengan substrat gelap, cenderung katak memiliki warna yang lebih gelap dan pada
pasangan yang ditemukan di atas daun warna lebih cerah. Kondisi ini diduga
katak melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan untuk menghindarkan diri
dari gangguan predator. Proses persaingan memperebutkan betina dilakukan
dengan persaingan suara antara 2 indvidu ketika betina mendekati kumpulan katak
jantan. Pada katak pohon hijau di kampus IPB Dramaga biasanya terjadi
perkelahian antar katak jantan yang berakhir dengan jatuhnya katak jantan
pengganggu ke tanah (Yazid 2006).
Intensitas tertinggi katak pohon Jawa melakukan aktivitas berbiak terjadi
pada bulan Desember, hal ini dikarenakan adanya puncak musim hujan yang
terjadi di seluruh lokasi berbiak. Pada kawasan tropis, temperatur berpengaruh
besar pada proses perkawinan (Inger & Greenberg 1956). Kondisi iklim mikro
yang relatif stabil khususnya pada lokasi penelitian menjadikan aktivitas berbiak
terjadi hampir sepanjang tahun kecuali pada bulan September. Pada bulan ini
hujan tidak terjadi di kawasan penelitian dengan suhu mencapai 6oC pada malam
hari dan 26oC pada siang hari. Kondisi pada bulan ini juga terdapat angin kencang
yang mengakibatkan kerusakan pada lokasi berbiak seperti tumbangnya
pepohonan dan jatuh dahan pohon. Angin kencang mengakibatkan katak betina
tidak leluasa bergerak mendekati lokasi berbiak karena katak betina cenderung
memakai tajuk tengah untuk bergerak di hutan.
Frekuensi pertemuan dengan 271 katak jantan dan 40 katak betina siap
berbiak tersebar di seluruh lokasi pengamatan. Terjadinya persaingan pejantan
siap berbiak ditandai dengan aktivitas suara untuk memancing kehadiran katak
betina. Kehadiran katak betina ditandai dengan suara katak jantan dengan
intensitas lebih sering dan terjadi persaingan antar individu katak jantan. Katak
jantan saling berdekatan untuk beradu suara.
Hasil rataan yang tersebar di seluruh lokasi terdapat 4 sampai 14 pejantan
yang melakukan aktivitas berkumpul untuk menunggu katak betina, dan 1 sampai
2 katak betina mendatangi lokasi perkawinan. Jumlah ini mendekati pada katak
pohon hijau di kampus IPB yaitu Individu katak jantan yang aktif setiap
ekor, sedangkan di Lab. Konservasi Tumbuhan ditemukan individu katak jantan
antara 2-13 ekor dan katak betina 1-3 ekor (Yazid 2006).
5.2.2 Pemilihan waktu dan tempat berbiak
Berdasarkan penelitian terlihat bahwa katak pohon Jawa berbiak sepanjang
tahun, namun terdapat puncak katak melakukan aktivitas berbiak. Puncak berbiak
terjadi pada bulan Desember. Aktivitas berbiak terjadi secara bersamaan dengan
intensitas tinggi digunakan untuk meningkatkan keberhasilan berbiak dan
meningkatkan kesuksesan pembuahan (Wells 2007). Akivitas puncak ini dapat
dilihat dari frekuensi perjumpaan katak jantan sebanyak 64 ekor dengan 51
diantaranya melakukan aktivitas suara. Keadaan ini juga memancing katak betina
untuk melakukan aktivitas berbiak dengan frekuensi datangnya katak betina ke
lokasi berbiak dengan jumlah delapan ekor. Puncak aktivitas berbiak ini juga
dipicu oleh curah hujan tertinggi dari bulan Desember sampai April (Gambar 8).
Aktivitas harian tertinggi di jumpai pada saat setelah hujan. Pada saat hujan turun
katak cenderung diam dan tidak bersuara. Keadaan lingkungan setelah hujan
mengakibatkan kelembapan yang meningkat (lebih dari 90 %). Menurut Hödl
(2000), waktu perkembangbiakan amfibi sangat dipengaruhi oleh musim hujan.
Aktivitas berbiak dimulai saat anura melakukan calling (Hödl 2000). Aktivitas calling katak pohon Jawa dimulai saat menjelang petang dan suhu turun. Hal ini juga ditemukan pada amfibi tropis dengan memanfaatkan suhu yang
rendah untuk mengeluarkan suara (Wells 2007). Aktivitas amplexus terjadi puncaknya pada jam 18.00 WIB sampai jam 22.00 WIB, demikian halnya dengan
pertemuan katak bertelur. Kondisi ini di dukung dengan kondisi cuaca gerimis
atau hujan sehingga katak bertelur pada awal malam. Keadaan ini serupa dengan
penelitian pada katak pohon bergaris di Universitas Gajah Mada dan katak pohon
hijau di Kampus IPB Dramaga yaitu puncak aktivitas berbiak katak terjadi pada
awal malam jam 20.00 WIB sampai jam 22.00 WIB (Yazid 2006; Nurisnawati
2009).
Katak pohon Jawa menggunakan bentang alam berupa aliran sungai,
kubangan air, air terjun, dan rawa untuk melakukan aktivitas hidupnya, dimulai
dari berudu sampai dewasa berada di lokasi tersebut. Amfibi membutuhkan
Lokasi berbiak katak pohon Jawa tergantung dari keberadaan air. Sumber air
berasal dari curahan air hujan dan keberadaan air sungai serta genangan air. Katak
pohon Jawa adalah spesies yang dapat ditemukan di hutan primer atau hutan
terbuka dengan arus air yang tenang (Kurniati 2003). Air dimanfaatkan katak
betina untuk membasahi diri sebelum proses amplexus dan perlindungan diri dari ancaman. Katak amplexus membenamkan seluruh tubuhnya termasuk tubuh katak jantan diduga untuk persiapan sebelum bersarang atau untuk memisahkan
pejantan yang tidak diminati katak betina. Strategi ini juga digunakan untuk
melindungi diri saat terjadi ancaman dari pengamat atau menghindar dari katak
jantan lain. Vegetasi yang digunakan sebagai pendukung aktivitas berbiak yaitu
tumbuhan Babakoan (Eupatorium sordidum), Kecubung (Brugmansia suaveolens), dan Congkok (Curculiga caviculata). Katak menjadikan ketiga tumbuhan ini untuk melakukan aktivitas calling, amplexus, dan sebagai tempat meletakkan telurnya (foam). Daun dari ketiga tumbuhan utama ini digunakan sebagai tempat untuk istirahat, bersarang, dan untuk melakukan aktivitas
amplexus. Selain itu bebatuan dan serasah digunakan katak pohon Jawa untuk melakukan aktivitas calling dan amplexus.
Keseluruhan lokasi penelitian dapat dibagi ke 3 lokasi besar berdasarkan
keberadaan air untuk melakukan aktivitas berbiak. Lokasi ini yaitu :
a. Aliran sungai
Katak memakai aliran sungai yang bersumber dari air tejun. Kondisi ini
terdapat pada beberapa aliran sungai dari sumber utama air terjun Cibeureum dan
Cikundul. Dari aliran sungai ini dijumpai 7 lokasi katak melakukan perilaku
berbiak.
b. Kolam periodik
Kolam periodik terdapat di tiga lokasi yaitu dua pada HM 26 dan satu lokasi
di HM 1. Lokasi ini sangat tergantung dari limpahan air hujan. Pada bulan
Agustus dan September terjadi kekeringan dan tidak ditemukan individu dewasa.
Substrat di lokasi berupa tanah, serasah, dan tumbuhan Kecubung.
c. Kolam aliran sungai
Lokasi berbiak di kolam aliran sungai ini hanya ditemukan pada satu lokasi
kolam berupa bebatuan lumpur yang terbawa dari aliran air. Pada tepi kolam juga
ditumbuhi rerumputan dan satu tumbuhan Kecubung. Katak menggunakan celah
bebatuan untuk meletakkan telur. Kolam digunakan untuk kecebong yang
berkembang dari telur yang telah diletakkan di celah bebatuan.
Katak pohon Jawa menggunakan seluruh bagian dari habitatnya untuk
melakukan aktivitas berbiak serta menggunakan vegetasi untuk melakukan
aktivitas amplexus, calling , dan peletakan telur. Kondisi habitat yang sesuai untuk katak pohon Jawa melakukan aktivitas calling dapat dibagi menjadi beberapa kriteria yaitu: lokasi dengan suhu antara 14oC sampai 18oC dengan
kondisi cuaca terang dan gerimis dengan kondisi kelembaban 90%; lokasi berada
di dekat perairan dengan arus yang relatif tenang antara 0 m3/detik sampai 0,1
m3/detik, dengan pH 6 – 7.
Individu katak betina katak pohon Jawa mendekati kumpulan pejantan
yang sedang melakukan aktivitas calling setelah terjadi persaingan suara katak. Katak betina memilih pejantan yang siap untuk berbiak dan segera melakukan
amplexus. Perilaku mencari tempat peletakan bersarang dapat dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan jenis substrat peletakan sarang, yaitu:
a. Daun dengan buluh halus di bagian atas dan bawah daun
Peletakan sarang seperti ini dapat ditemukan pada tumbuhan Kecubung,
Babakoan, dan Congkok. Peletakan sarang dapat terjadi di permukaan daun
maupun di balik daun. Hal ini serupa dengan peletakan sarang pada Philautus vittiger di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, katak meletakkan sarang di
balik daun Kecubung (Kusrini 2008). Sarang diletakkan pada bagian tengah daun.
Daun melipat dan membentuk corong. Karakter daun yang tipis dan lebar
mengakibatkan daun lentur dan mudah untuk di gulung. Penggulungan daun ini
di duga sarang terbuat dari enzim yang mudah mengering dan mengakibatkan
daun menggulung. Hal ini diduga sebagai perlindungan sarang terhadap ancaman
dari luar sarang.
b. Sela-sela bebatuan di aliran air
Habitat katak pohon Jawa pada lokasi penelitian cenderung mengalami
perubahan akibat aktivitas manusia. Aktivitas wisata di kawasan air terjun
berbiak dan adanya timbunan sampah. Perubahan ini ditanggapi katak dengan
berubahnya lokasi peletakan sarang yang bermula dari peletakan sarang di daun
menjadi di bawah bebebatuan dan ditutupi serasah. Kondisi ini ditemukan pada
satu lokasi tepat di bawah air terjun Cibeureum (Cibeureum C). Kondisi serupa
juga di dapatkan pada katak pohon hijau di kampus IPB Dramaga. Katak
meletakkan sarang pada lahan miring dengan memanfaatkan serasah dan rumput
kering (Yazid 2006).
5.2.3 Perilaku berbiak
Aktivitas katak dimulai saat menjelang petang. Rata-rata katak mulai
beraktivitas pada jam 18.00 WIB. Aktivitas katak dimulai saat katak pertama kali
membuka mata dan bergerak. Pada perilaku berbiak katak dimulai pada saat katak
jantan melakukan aktivitas suara (calling) dan katak betina melakukan pergerakan mendekati katak betina. Pengamatan pada pejantan melakukan aktivitas calling di seluruh lokasi penelitian dimulai pada jam 19.00 WIB. Katak jantan memanggil
katak betina secara bersautan setelah katak jantan berkumpul. Berdasarkan
pengamatan, katak berkumpul 2 sampai 14 ekor dan mengeluarkan suara secara
bergantian. Hal ini bertujuan untuk mengurangi energi dan meminimalisir
predator (Hödl 2000).
Katak betina mendatangi lokasi berbiak setelah menentukan lokasi tempat
berkumpulnya pejantan. Pemilihan ini berdasarkan kecocokan suara dengan
individu katak betina. Pada pengamatan ditemukan katak betina mendatangi tiga
lokasi berdekatan dan meninggalkan keseluruhan lokasi. Diduga hal ini
disebabkan ketidakcocokan suara yang dihasilkan katak jantan dan ukuran
pejantan siap berbiak.
Katak jantan terpilih kemudian didekati katak betina untuk amplexus. Katak jantan menaiki tubuh katak betina dengan posisi axilary (kaki belakang katak jantan memegang di bagian bawah perut sedangkan kaki depan katak jantan
memegang ketiak kaki depan katak betina). Katak betina membawa katak jantan
menuju ke lokasi bersarang. Pada beberapa pengamatan, katak jantan lain juga
mengikuti katak betina yang akan bersarang. Hal ini menimbulkan gangguan pada
saat katak bersarang. Katak lain menaiki punggung katak betina dan memaksa
kegagalan bersarang. Perilaku ini diduga karena persamaan kesiapan berbiak
pejantan. Pada beberapa pengamatan juga ditemukan katak betina membenamkan
diri ke dalam air sehingga katak jantan terlepas. Hal ini diduga terdapat gangguan
pada saat perjalanan menuju lokasi bersarang. Gangguan ini dapat berupa
gangguani pejantan lain, perubahan suhu lapangan, gangguan pengamat, dan
gangguan binatang lain.
Katak betina membawa pejantan menuju lokasi yang ditentukan. Pemilihan
lokasi ini berdasarkan pada kondisi lingkungan tempat peletakkan sarang.
Berdasarkan pengamatan di lapangan ditemukan sarang berada di daun Babakoan,
daun Congkok, daun Kecubung dan sela bebatuan. Penentuan lokasi ini diduga
karena daun Babakoan, Kecubung, dan Congkok memiliki daun yang lebar dan
berbuluh sehingga cocok untuk meletakkan sarang. Tumbuhan Babakoan,
Kecubung, dan Congkok hidup dekat dengan perairan. Menurut Iskandar (1998)
jenis Polypedates dan Rhacophorus membuat massa buih telur oleh pasangan katak betina dan katak jantan selama amplexus (berdekapan) pada tumbuhan yang menggantung di atas permukaan air. Sarang diletakkan pada permukaan dan
bagian bawah daun. Pada beberapa sarang, sarang diletakkan dengan
menggabungkan beberapa helai daun.
Peletakan sarang di sela bebatuan hanya terjadi pada satu lokasi. Lokasi ini
tidak terdapat tumbuhan Kecubung, Congkok, dan Babakoan. Penentuan
peletakkan sarang ini dikarenakan adanya sumber air di bawah tegakan tumbuhan
tersebut. Strategi peletakan sarang di sela bebatuan ini merupakan keberhasilan
dalam mempertahankan keberadaannya di kawasan air terjun Cibeureum. Kondisi
vegetasi yang terbuka dan banyak gangguan mengakibatkan terjadinya perubahan
perilaku. Hal ini juga dilaporkan oleh Kadadevaru dan Kanamadi (2000) bahwa
jenis Rhacophorus malabaricus dapat melakukan adaptasi pada daerah yang penutupan tajuknya telah hilang. Adaptasi yang digunakan katak pohon Jawa
dengan meletakkan sarang pada sela bebatuan dan saat air sungai melewati sarang
maka berudu dapat ikut bersama alirannya. Pada kasus lain yaitu pada
Rhacophorus reinwardtii di Arboretum Fahutan kampus IPB Dramaga Bogor. Katak pohon hijau tidak meletakkan telurnya pada tanah yang tergenang, akan
Arboretum Fahutan (Yazid 2006). Peletakan sarang pada lokasi kolam periodik
hanya ditemukan pada saat kolam dipenuhi oleh air.
Katak amplexus menempatkan diri pada lokasi sarang ditandai dengan dimulainya katak betina mengeluarkan busa. Pada jenis Rhacophoridae busa
dihasilkan dari enzim (cucco saliva) di bagian punggung katak betina dan membentuk sarang dengan kaki belakang (Hödl 2000). Katak betina mulai
menggosokkan kaki belakangnya sampai timbul busa. Telur dikeluarkan
bersamaan dengan sperma pejantan. Diduga pembuahan terjadi pada saat telur
dikeluarkan dari kloaka katak betina. Menurut Aritonang (2010), katak betina
katak pohon Jawa mampu menghasilkan telur antara 50 sampai 140 butir. Sarang
dibentuk membulat pada bagian bawah atau permukaan daun dan daun segera
membentuk kerucut menghadap ke bawah. Hal ini diduga karena sarang menarik
permukaan atau bawah daun sehingga terbentuk corong. Sarang busa digunakan
untuk perlindungan telur dari kekeringan, pemangsa, dan cahaya matahari (Hödl
2000). Proses pembuatan sarang katak pohon Jawa tercatat antara 20 menit
sampai 510 menit.
Gangguan berbiak terjadi dikarenakan 2 faktor, yaitu faktor manusia dan
faktor alam. Faktor manusia berupa gangguan pada saat penelitian menggunakan
metode spool track yang dipasang pada individu katak betina di lokasi 3. Katak betina telah mendekati lokasi berbiak namun tidak dapat amplexus karena
terganggu oleh gulungan benang. Gangguan juga terjadi oleh pengamat karena
menggunakan cahaya yang terlampau terang kemudian cahaya diganti dengan
cahaya lampu dilapis frame berwarna merah dari bahan plastik.
Gangguan alami terutama pada saat amplexus sampai bersarang disebabkan oleh individu katak jantan lain yang menumpuki pasangan amplexus. Gangguan hewan lain seperti sigung dan kelelawar terjadi pada saat pra-kawin dan pasca
kawin. Pada saat pengamatan terlihat sigung memakan sarang katak yang terdapat
pada sela bebatuan sedangkan gangguan kelelawar terjadi pada saat katak jantan
melakukan aktivitas calling. Katak disambar oleh kelelawar, diduga katak menjadi mangsa bagi kelelawar, namun hal ini tidak dapat didokumentasikan