PADA BEBERAPA TIPE PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT
DI KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU
WOLFRAM YAHYA MOFU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis “Keanekaragaman Vegetasi dan Biomassa pada beberapa Tipe Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari Penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Septermber 2011
Wolfram Y. Mofu NRP: E451070051
WOLFRAM YAHYA MOFU. Vegetation Diversity and Biomass of Certain Types of Peatland Use In Kepulauan Meranti Regency, Riau. Under academic supervision of ISTOMO and LAILAN SYAUFINA.
The purpose of this study was to assess the diversity of vegetation and biomass on the three different peat land use types; natural forests, gardens, and industrial forest plantation of sago areas (HTI sago). The results showed that the composition of plant species for three growth rates, saplings, pole, and trees stages, ware different among three different peat land use types. The dominant species in natural forests were Shorea parvifolia, Shorea uliginosa, Baccaurea bracteata and Palaquium rostratum. In gardens, the dominant species are Metroxylon spp., Artocarpus sp., Palaquium ridleyi, and Alstonia spatulata Blume.; while in HTI sago areas, including Metroxylon spp, the presence of other species of forest vegetation were Ficus microcarpa, Combretocarpus rotundatus, Baccaurea bracteata and Palaquium rostratum. The higher diversity index of three different growth rates; saplings (2.75), pole (2.99) and trees (3.15) respectively, were only found in the natural forest. On the contrary, the lower diversity index of sapling stage (1.95) was in gardens and both the pole (0.77) and tree (0.44) were belonged to the HTI sago. Potential biomass of pole stages figured out the higher and the lower value were 359,01 ton ha-1 in HTI sago, 159,75 ton ha-1 in gardens and 67,79 ton ha-1 in natural forest, respectively. This trend also occurred nearly equal to the higher stages of trees and a lower value were 209.20 ton ha-1 in HTI sago, but the natural forest 161.13 ton ha-1 higher than the gardens, 107.22 ton ha-1, respectively.
Keywords : Vegetation diversity, Dominant species, Biomass, Peatland use types.
RINGKASAN
WOLFRAM YAHYA MOFU. Keanekaragaman Vegetasi Dan Biomassa Pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Di bawah bimbingan ISTOMO dan LAILAN SYAUFINA.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji keanekaragaman vegetasi dan biomassa atas permukaan pada penggunaan lahan gambut berupa hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI Sagu.
Penelitian ini dilaksanakan di areal HPH PT. National Timber and Forest Product Unit HTI Murni Sagu (Sekarang PT. Sampoerna) di Kabupaten Kepulauan Meranti (sebelumnya Kab. Bengkalis) Provinsi Riau. Penelitian lapangan dan Laboratorium dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan, dimulai pada bulan September sampai dengan bulan November 2008.
Obyek penelitian ini adalah hutan gambut pada tiga komunitas hutan, yaitu Hutan Alam, Kebun Rakyat dan areal HTI Sagu. Pengambilan data analisis vegetasi dilakukan dengan cara jalur atau transek dan pembuatan petak contoh dilakukan secara purposive systematic sampling berdasarkan kerapatan tegakan dan tipe penggunaan lahan. Selanjutnya dibuat 5 buah petak contoh berukuran 20 m x 20 m pada masing-masing komunitas hutan. Pada setiappetak contoh dibuat sub petak contoh - sub petak contoh secara nested sampling dengan ukuran 20m x 20 m, untuk tingkat pohon, 10 m x 10 m untuk tingkat tiang 5 m x 5 m untuk tingkat pancang.
Analisis sifat-sifat tanah gambut dilakukan pengambilan contoh tanah setiap komunitas hutan di beberapa sub petak contoh yang selanjutnya tanah gambut dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah FakuItas Pertanian IPB. Untuk estimasi potensi biomassa dihitung berdasarkan hasil analisis vegetasi pada tingkat pohon dan tiang yang memiliki diameter ≥ 10 cm.
Hasil penelitian menunjukan bahwa komposisi jenis tumbuhan yang paling dominan di hutan alam adalah Shorea parvifolia, S. uliginosa, Combretocarpus rotundatus, Cratoxylum arborescens, Diospyros maingayi,
Dipterocarpus sp, Baccaurea bracteata, Actinodaphne glabra. Pada areal kebun rakyat adalah Metroxylon sp., Macaranga semiglobosa, Alseodaphne umbelliflora, Antidesma punticulatum, Arthocarpus sp, Palaquium ridleyi dan
Alstonia spatulata Blume. Dan untuk areal HTI dengan tanaman utama
Metroxylon spp, kehadiran jenis tanaman hutan lainnya adalah B. bracteata, A. umbelliflora dan Macaranga semiglobosa Ficus microcarpa, P. rostratum, C. rotundatus. M. pruinosa dan M. semiglobosa. Jenis vegetasi hutan yang sama antara ketiga komunitas hutan adalah B. bracteata, A. umbelliflora, C. arborescens,P. rostratum.
tingkat pohon 0,44 dan tiang 0,77 sedangkan nilai terendah pada tingkat pancang terlihat pada komunitas kebun rakyat dengan nilai indeks 1,95.
Kesamaan Komunitas antar komunitas hutan yang dibandingkan termaksud dalam klasifikasi rendah yaitu < 55%. Nilai indeks tingkat pancang 48,28% - 53,85%, tingkat tiang 15,38% - 26,67% dan tingkat pohon 6,90% - 22,86%. Indeks kesamaan komunitas 53,85% adalah pada kebun rakyat dan areal HTI, sedangkan 6,90% adalah antara komunitas hutan alam dan areal HTI.
Biomassa Hutan sangat dipengaruhi oleh kerapatan pohon dan diameter jenis-jenis dominan penyusun tegakan hutan. Hasil penelitian pendugaan biomassa atas permukaan menggunakan rumus Allometrik (W = 0.0145D3- 0.4659D2 + 30.64D – 263.32) menunjukan bahwa areal HTI merupakan tipe hutan dengan total kandungan biomassa tertinggi yaitu sebesar 568,22 ton ha-1 kemudian kebun rakyat 266,97 ton ha-1 dan hutan alam 228,92 ton ha-1.
Kata kunci : Keragaman Vegetasi, Jenis Dominant, Biomassa, Penggunaan lahan gambut.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011
Hak cipta dilidungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DI KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU
WOLFRAM YAHYA MOFU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Cahyo Wibowo, M.Sc.F.Trop
Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau.
Nama : Wolfram Yahya Mofu
NRP : E451070051
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Istomo, MS Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc
Ketua Anggota
Diketahui
Plh. Ketua Program Studi Silvikultur Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Noor Farikhah H, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa di Sorga atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis Keanekaragaman Vegetasi Dan Biomassa Pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan Gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau dapat diselesaikan.
Ungkapan rasa bahagia dengan penuh rasa hormat yang setinggi-tingginya, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Bapak Dr. Ir. Istomo, M.S dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. selaku pembimbing yang terus menerus memberikan bimbingan, arahan dan motivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan penulisan ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan juga kepada: 1. Prof. Dr. Ir. H.M. Hasjim Bintoro, M.Agr yang telah melibatkan penulis dalam
kegiatan antara LPPM IPB dan Sekretariat Badan LITBANG Pertanian, DEPTAN pada tahun 2008 di Kabupaten Bengkalis, Riau.
2. Prof. Dr. Ir. Utomo K, MS, Dr. Ir. Cahyo Wibowo, M.Sc.F.Trop dan Dr. Ir. Noor Farikhah H, M.S, selaku moderator seminar dan penguji luar komisi yang telah meluangkan waktu, memberikan saran dan masukan.
3. Rektor Universitas Negeri Papua dan Dekan Fakultas Kehutanan UNIPA atas rekomendasi dan izin tugas belajar, serta seluruh civitas akademika UNIPA. 4. Kementerian Pendidikan Nasional RI yang telah memberikan Beasiswa
Program Pasca Sarjana (BPPS 2007).
5. Pemerintah Daerah Provinsi Papua atas bantuan biaya pendidikan.
6. Civitas Akademika SPs IPB, Rekan-rekan SVK 2007, Staf Pengajar dan administrasi Departemen dan Mayor Silvikultur Tropika.
7. Keluarga Bapak Ir. C.Y. Hans Arwam, MP. atas motivasi dan kebersamaan dalam keluarga.
8. Keluargan besar Mama M. Tunya, Keluarga mili Michael (Alan-Alen)
Baransano, S.P, M.Si., atas semangat dan bantuaanya.
9. Keluarga Besar Mahasiswa SPs IPB asal Papua, k’ Rima, Yan, Anjas, Teguh dan adik Victor Simbiak, Ana, Mechu, Descarlo, Rio, Alfredo, serta semua pihak yang tidak penulis sebutkan, atas segala budi baik dan kebesamaannya.
Ucapan terima kasih yang tulus disampaikan juga untuk Ayah tercinta Gasper Mofu sekeluarga serta seluruh keluarga besar dan secara khusus kepada Kakak Ir. Paulus Chadikun, M.Si yang selalu menopang secara moril maupun materil. Ungkapan rasa cinta kasih penulis sampaikan kepada Istri tersayang Fretti Listintari yang terus memberikan semangat dan kasih sayang, teristimewa dalam masa akhir studi bersamaan dengan kelahiran Putra pertama kami.
Penulis menyadari keterbatasan dalam penulisan ini, mohon kiranya sumbang saran guna melengkapi karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2011
Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 21 Maret 1978 sebagai anak
pertama dari Ayah Gasper Mofu dan Ibu Yustina Takay (Alm). Jenjang pendidikan formal SD hingga SMU penulis selesaikan di Jayapura, dan pada tahun 1996 penulis terdaftar sebagai mahasiswa strata satu pada Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih yang kemudian menjadi Universitas Negeri Papua dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2007, penulis terdaftar sebagi mahasiswa pada Mayor Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Bantuan Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 4
Manfaat ... 4
Kerangka Pemikiran ... 4
TINJAUAN PUSTAKA ... 6
Definisi Gambut ... 6
Jenis dan Sifat Tanah Gambut ... 7
Hutan Rawa Gambut ... 11
Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan ... 13
Biomassa Hutan ... 15
Pengukuran Biomassa ... 16
METODOLOGI ... 19
Lokasi dan Waktu ... 19
Bahan dan Peralatan ... 19
Jenis dan Sumber Data ... 19
Metode Penelitian ... 20
Analisis Data ... 22
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 25
Letak dan Luas Wilayah ... 25
Iklim dan Tanah ... 24
Luas Areal dan Keadaan Tanaman ... 27
Penggunaan Lahan dan Potensi Sumberdaya Alam ... 27
Pembahasan ... 44
SIMPULAN DAN SARAN ... 51
DAFTAR PUSTAKA ... 53
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Sifat fisik tanah gambut dari Sumatra dan Kalimantan ... 9
2 Kandungan hara pada tiga tipologi tanah gambut ... 10
3 Biomassa total pada beberapa tipe hutan ... 16
4 Rata-rata Curah Hujan, Suhu udara dan Kelembaban Udara
Bulanan dan Tahunan (periode pengamatan dari Tahun 1988-1997) ... 26
5 Jenis tumbuhan tingkat Pancang dengan Indeks nilai penting (INP)
> 10% pada setiap komunitas hutan. ... 30
6 Jenis tumbuhan tingkat Tiang dengan Indeks nilai penting (INP)
>10% pada setiap komunitas hutan. ... 32
7 Jenis tumbuhan tingkat Pohon dengan Indeks nilai penting (INP)
>10% pada setiap komunitas hutan. ... 34
8. Kerapatan tingkat pertumbuhan seluruh jenis dan lbds pada setiap
komunitas tipe penggunaan lahan gambut. ... 36
9. Nilai indeks keragaman (H'), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) pada masing-masing komunitas hutan untuk setiap tingkat
pertumbuhan. ... 37
10 Nilai indeks kesamaam komunitas (%) antar setiap komunitas
hutan. ... 32
11 Biomasa beberapa jenis dominat tingkat pertumbuhan Pohon pada
tiga komunitas penggunaan lahan gambut ... 40
12 Biomasa beberapa jenis dominat tingkat pertumbuhan Tiang pada
tiga komunitas penggunaan lahan gambut ... 41
13 Sifat-sifat kimia pada tiga tipe penggunaan lahan gambut ... 42
Halaman
1 Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian ... 5
2 Desain jalur dan petak ukur Analisis Vegetasi ... 20
3 Peta lokasi penelitian di sekitar dan didalam Areal HTI sagu. ... 29
4 (a,b,c). Indeks Nilai Penting (%) beberapa jenis dominat tingkat
pancang pada setiap komunitas hutan gambut. ... 31
5 (a,b,c). Indeks Nilai Penting (%) beberapa jenis dominat tingkat
tiang pada setiap komunitas hutan gambut. ... 33 6 Jumlah jenis untuk masing-masing tingkat pertumbuhan pada
setiap komunitas hutan. ... 35
7 Nilai kerapatan (K) dan Luas bidang dasar (lbds) tingkat
pertumbuhan di hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI. ... 36
8 (a,b,c). Nilai Indeks Shannon-Weiner tingkat pertumbuhan pada
ketiga tipe penggunaan lahan. ... 38
9 Total Biomassa (ton ha-1) pertumbuhan tingkat tiang dan pohon di
setiap komunitas hutan. ... 42
10 Total biomassa pada ketiga komunitas tipe penggunaan lahan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta lokasi penelitian hutan gambut di Kabupaten Bengkalis ... 58
2. Daftar jenis pohon yang ditemukan dalarn analisa vegetasi ... 59
3a. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pancang pada
Komunitas Hutan Alam. ... 60
3b. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pancang pada
Komunitas Kebun Rakyat. ... 60
3c. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pancang pada
Komunitas Areal HTI... 61
4a. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Tiang pada
Komunitas Hutan Alam. ... 62
4b. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Tiang pada
Komunitas Kebun Rakyat. ... 62
4c. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Tiang pada Areal
HTI. ... 62
5a. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pohon pada
Komunitas Hutan Alam. ... 63
5b. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pohon pada
Komunitas Kebun Rakyat. ... 63
5c. Indeks Nilai Penting (INP) Vegetasi tingkat Pohon pada Areal
HTI. ... 64
6a. Kandungan Biomassa setiap jenis permudaan tingkat Tiang di
ketiga komunitas penggunaan lahan. ... 65
6b Kandungan Biomassa setiap jenis permudaan tingkat Pohon di
ketiga komunitas penggunaan lahan. ... 66
7a. Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut menurut Pusat
Peneliian Tanah, Bogor (1993). ... 67
7b. Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut menurut
Wiradinata dan Hardjosoesastro (1979). ... 67
8a Sifat kimia tanah pada tiga komunitas hutan rawa gambut. ... 68
8b Kriteria sifat kimia tanah pada lokasi penelitian menurut Pusat
Penelitian Tanah, Bogor (1993). ... 68
8c Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut pada lokasi
Latar Belakang
Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia. Di Sumatra sekitar 7,2 juta ha atau sekitar 14,9% luas pulaunya, Kalimantan sekitar 5.769.200 ha dan Papua 7.795.455 ha (Wahyunto et al. 2005). Dalam survey yang dilakukan olehnya diketahui bahwa penyebaran utama dan terbesar di Sumatra adalah Provinsi Riau seluas 4.043.601 ha, dan Kabupaten Bengkalis 856.386 ha kedua terbesar setelah Kabupaten Indragiri Hilir. Secara umum jika dibandingkan dengan tipe ekosistem hutan lainnya di Indonesia, hutan rawa gambut menempati urutan kedua dalam hal luas areal setelah hutan hujan tropika tanah kering.
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan rawa, yang terletak di belakang tanggul sungai (backswamp), maka lahan ini senantiasa tergenang dan tanah yang terbentuk pada umumnya merupakan tanah yang belum mengalami perkembangan, seperti tanah-tanah aluvial (Entisols) dan tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organik, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organik (Histosols) (Mulyanto, 2002).
Istomo (2002) menyebutkan semakin tinggi deposit lumpur yang terjadi semakin berkurang salinitasnya, sehingga vegetasi bakau digantikan oleh vegetasi daratan. Karena kandungan sulfida yang tinggi dan tergenang air, maka proses dekomposisi terhambat, sehingga terjadi penumpukan serasah sampai membentuk kubah gambut (dome). Hamparan gambut yang terbentuk tidak lagi terpengaruh oleh pasang-surut air laut dan tidak lagi mendapat pasokan dari air sungai, air yang menggenangi gambut tersebut hanya dari air hujan.
2
pH berkisar antara 3,5-4,7 dan Kalimantan mempunyai pH 3,3. Sedangkan kandungan N dan C-total masing-masing berkisar antara 1,13-1,98% dan 49,8-54,11% (Riau), 1,44-1,80% dan 74,83-83,84% (Kalimantan) serta kandungan P, K, Ca dan Mg sangat rendah.
Ciri-ciri dan struktur tanah rawa gambut berkorelasi dengan ketebalan gambut. Kesuburan tanah semakin menurun dengan meningkatnya ketebalan gambut. Pengikatan air tanah berkurang sesuai dengan perubahan struktur dan ketebalan gambut. Komposisi dan struktur vegetasi relatif lebih sederhana dengan semakin mendekati kubah gambut/dome (Kongse, 1995).
Kementerian Kehutanan mencatat kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per tahun, data ini menurun dari data kerusakan hutan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 2 juta hektar pertahun. Kegiatan yang ditengarai menjadi penyebab kerusakan hutan rawa gambut adalah kesalahan dalam pengelolaan hutan, pembangunan skala besar, drainase, perambahan dan penebangan liar serta jutan hektar lainnya telah terbakar hebat. Syaufina et al.
(2004) menyebutkan di antara jenis kebakaran hutan, kebakaran gambut adalah jenis kebakaran yang paling berbahaya.
Menurut Elias (2009), sistem silvikultur adalah suatu proses memproduksi hutan yang merupakan suatu siklus yang terdiri dari mata rantai-mata rantai
komponen kegiatan yang berurutan satu sama lainnya (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, penjarangan, pemanenan) untuk mencapai tujuan tertentu dalam pengelolaan hutan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 11/Menhut-II/2009, menyebutkan sistem silvikultur adalah sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu proses klimatis dan edafis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari atau sistem teknik bercocok tanaman dan memanen.
tebangan pada hutan rawa dengan limit diameter ≥ 30 cm dan siklus tebang 40 tahun diatur melalui Sistem silvikultur THPB, THPA, TPTI, Tebang Rumpang (TR), TPTJ.
dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistim Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Penerapan silvikultur intensif di areal yang sensitif terhadap kerusakan lingkungan harus sedapat mungkin dihindarkan, karena pada umumnya penerapan silvikultur intensif di hutan alam tropika akan menyebabkan keterbukaan tanah cukup besar dan kerusakan tegakan tinggal yang cukup berat (Elias, 2009).
Optimalisasi pemanfaatan hutan diwujudkan pemerintah melalui UU No. 41 tahun 1999 pada pasal 18, yaitu menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan secara proporsional dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, yaitu minimal 30 % (tiga puluh persen). Kawasan hutan dimaksud kemudian dideliniasi sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai hutan konservasi, lindung atau produksi. Dalam rangka menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, maka telah diberlakukannya moratorium terhadap semua lahan gambut melalui Intruksi Presiden nomor 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan
Lahan Gambut.
4
Tujuan
Tujun penelitian ini untuk mengkaji :
1. Keanekaragaman vegetasi pada beberapa tipe penggunaan lahan gambut.
2. Kandungan biomassa pada penggunaan lahan gambut berupa hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI Sagu.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang preferensi ekologi sehingga menjadi masukan bagi Pemerintah, silvikulturis maupun pihak terkait dalam pengambilan kebijakan pengelolaan, pemanfaatan dan reforestasi hutan rawa gambut secara bijak dan lestari.
Kerangka Pemikiran
Hutan Rawa Gambut Air Gambut Vegetasi
Tegakan HRG
Hutan Alam
Pengelolaan yang tepat
Areal HTI Sagu Kebun Rakyat
Biomassa Perlindungan
Keanekaragaman Vegetasi
Reforestasi
Jenis Dominan dan Biomassa tertinggi Pemilihan Jenis Ekonomis
Fungsi Ekologi Global
Kebijakan
6
Definisi Gambut
Gambut adalah material organik (mati) yang terbentuk dari bahan-bahan
organik, seperti dedaunan, batang dan cabang serta akar tumbuhan, yang
terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, sangat sedikit oksigen
dan keasaman tinggi serta terbentuk disuatu lokasi dalam jangka waktu geologis
yang lama (Konsorsium Central Kalimantan Peatlands Project, 2008). Buckman
and Brady (1982) menyatakan gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah
lapuk, terdiri dari bahan organik yang sebagian besar belum terdekomposisi atau
sedikit terdekomposisi serta terakumulasi pada keadaan kelembaban yang
berlebihan. Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah
yaitu tanah mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15% - 20%
dan tanah organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20% - 25%
bahkan kadang mencapai 90%.
Penggunaan kata gambut sendiri diambil dari nama sebuah desa yang
sekarang telah menjadi Kecamatan Gambut Kalimantan Selatan, dimana untuk
pertama kalinya padi berhasil dibudidayakan di persawahan tanah gambut. Para
pakar dan peneliti tanah dari beberapa negara banyak menggunakan istilah
gambut yang berbeda-beda seperti Moorpeat (Australia), organic soil (Kanada), Soil hydromorphes organiques (Perancis), Moorboden (Jerman), Histosol (USA), Bog Soil (USSR), tanah gelam (Malaysia), Veen atau Venuge Grond (Belanda), Peat atau peaty soils (Inggris), tanah organik, tanah rawang, tanah daun, tanah gambut (Indonesia) (Budianta, 1988). sistem Klasifikasi Tanah /Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1999) tanah gambut yang biasanya disebut organic soils, bog soils, tanah merawang (half-bog soils), mucks, atau peats dikelompokkan menjadi satu ordo tanah tersendiri yang disebut Histosols.
Menurut Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2003), mengklasifikasi suatu
jenis tanah sebagai Histosol, diperlukan 3 kriteria, yakni : (1) tersusun dari bahan
tanah organik, (2) tingkat perombakan/pematangan atau dekomposisi bahan
7
organik, tergantung fraksi mineralnya. Bila fraksi mineral liatnya 0%, paling
sedikit C organik 12%, sedangkan bila fraksi liatnya >60%, maka C organiknya
harus lebih 18%. Ketebalannya sendiri, minimal harus 40 cm jika BD (Bobot Isi) ³
0,1 g/cm3, atau 60 cm bila BD-nya <0,1 g/cm3.
Jenis dan Sifat Tanah Gambut
Kemampuan gambut menyerap dan mengikat air sangat besar namun bila
mengalami pengeringan yang berlebihan, akan menyebabkan koloid gambut
menjadi rusak dan tejadi gejala kering tidak balik (irreversible drying), kemampuan tersebut sangat berhubungan dengan ukuran pori, jumlah ruang pori
dan permeabilitas yang berkaitan dengan bobot isi (bulk density) dan kandungan
serat yang juga sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi bahan organik.
Bobot isi (bulk density) gambut umumnya berkisar antara 0,05 sampai 0,40
gram/cm3 (Wahyunto et al, 2006).
Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1998; 1999), tanah gambut atau histosol
diklasifikasikan kedalam 4 (empat) sub ordo berdasarkan tingkat dekomposisinya
yaitu; 1) Folis: bahan organik belum terdekomposisi di atas batu-batuan, 2) Fibrik:
bahan organik fibrik dengan BD < 0,1 gram/cm3. Folis dan fibrik masih
mempunyai banyak serabut atau daun yang belum terlapuk, rata-rata volume
seratnya >75% dari volume keseluruhan. 3) Hemik adalah tanah gambut yang
agak matang, sebagian bahan organiknya sudah benar-benar lapuk, dan sebagian
lagi masih berupa serat, kandungan seratnya sekitar 17-75% dari volume dan BD
0,1-0,2 gram/cm3. 4) Saprik adalah tanah gambut yang sudah matang, seratnya
tinggal sedikit, yaitu <17% dari volume dengan BD >0,2 gram/cm3.
Buckman dan Brady (1982) mengklasifikasikan gambut menurut bahan
induknya menjadi tiga yaitu :
1. Gambut endapan,gambut endapan biasanya tertimbun didalam air yang relatif
dalam, karena itu umumya terdapat jelas di profil bagian bawah. Meskipun
demikian, kadang-kadang tercampur dengan type gambut lainnya jika lebih
dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri kompak dan kenyal serta
berwama hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya. Kalau kering gambut ini
bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat fisiknya yang tidak
cocok untuk pertumbuhan tanaman.
2. Gambut berserat, gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan
dapat menunjukan berbagai derajat dekomposisi. Gambut berserat mungkin
terdapat di permukaan timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi,
sebagian atau seluruhnya terdapat dalam profil bawah, biasanya terlihat diatas
endapan.
3. Gambut Kayuan, tipe ini biasanya terdapat di permukaan timbunan organik,
berwama coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya.
Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang
sesuai digunakan untuk persemaian.
Darmawijaya (1990), menggolongkan gambut berdasarkan faktor
pembentukannya menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Gambut ombrogen yang terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi,
dengan air yang tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada
daerah tropika yang lebat, curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat
sangat asam dengan pH 3,0 – 4,5 meliputi Sumatera, Kalimantan, sepanjang
pantai Malaysia dan Selatan lrian Jaya (Papua).
2. Gambut topogen terbentuk karena pengaruh topografi, berasal dari tanaman
rumput paku dan semak belukar yang mempunyai pH yang relatif tinggi.
3. Gambut pegunungan terbentuk karena ketinggian tempat gambut, pegunungan
didaerah khatulistiwa hanya terbentuk didaerah yang tinggi dan iklimnya
menyerupai iklim didaerah sedang dengan vegetasi sphagnum.
Sifat dan karakteristik fisik tanah gambut ditentukan oleh dekomposisi
bahan gambut itu sendiri dan tingkat perubahan dekomposisi akan mempengaruhi
struktur lapisan gambut dan bobot isi (bulk density), nilai kerapatan bobot isi sangat ditentukan oleh tingkat pelapukan/dekomposisi bahan organik dan
kandungan mineralnya. Bobot isi tanah gambut merupakan sifat fisik paling
mendasar dan sangat penting untuk dijadikan suatu parameter (Driessen &
Rochimah. 1976; Andriesse. 1988).
Bobot isi merupakan petunjuk kepadatan tanah, makin padat suatu tanah
9
dan untuk tanah gambut bahkan dapat kurang dari 0,10 g/cm3 (Hardjowigeno,
2003). Gambut dengan bobot isi yang rendah (0,05–0,40 g/cm3), mempunyai daya
dukung beban atau daya tumpu (bearing capacity) yang rendah. Akibat dari sifat ini jika tanah gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena drainase, gambut
akan ’kempes’’ atau mengalami subsidence (Wahyunto et al, 2006). Lebih lanjut dikatakan lagi bahwa bila terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) maka gambut dapat berubah seperti arang dan tak mampu lagi untuk menyerap hara dan
menahan air, dan kondisi demikian akan merugikan pertumbuhan tanaman dan
vegetasi. Daya menahan air dari gambut bervariasi, karena adanya interaksi yang
komplek dari berbagai sifat tanah gambut tersebut. Jumlah air tersedia bagi
tanaman pada jenis hemik lebih tinggi dari pada fibrik. Pada jenis saprik,
meskipun air pada kapasitas lapang tinggi, tetapi kadar air pada titik layu
permanen juga tinggi, karena itu banyak tanah gambut saprik yang mempunyai
kadar air tersedia lebih rendah dari pada gambut hemik (Driessen, 1978). Berikut
Sifat fisik tanah gambut dari Sumatera dan kalimantan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat fisik tanah gambut dari Sumatera dan Kalimantan.
Fisik Gambut BD
(g/cm3)
RPT (% Vol)
Retensi air (% Volume) Air
tersedia (% Vol)
pF 1 pF 2 pF 2,5 pF 4,2
Hemik/ Saprik 0,1 – 0,3 86 - 91 74 - 86 64 - 78 54 - 70 38 - 64 14 -30 Fibrik/ Hemik 0,06 – 0,15 88 – 92 83 – 90 54 - 75 40 – 56 30 – 37 10 - 17 Sumber : Suhardjo dan Driessen, 1975; Koesmawadi, 1996.
Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut
pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar
tergolong kedalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan
unsur lain dari luar yaitu yang dibawa oleh air pasang. Sedangkan gambut
pedalaman pada umumnya merupakan gambut ombrogenous atau mesogenous
yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975).
Pembentukan komposisi hutan rawa gambut merupakan hasil suksesi yang
memakan waktu yang sangat lama. Suksesi hutan rawa gambut diperkirakan
berasal dari tumbuhan payau yang berangsur-angsur berubah menjadi tumbuhan
hutan rawa gambut (Poerwowidodo, 1991). Gambut yang dipengaruhi air sungai,
payau atau air laut lebih kaya unsur hara dibandingkan dengan gambut yang
ombrogen oligotropik yaitu gambut miskin dengan sumber penggenangan air dari
air hujan (Istomo, 1994). Pada gambut ombrogen semakin kearah tengah lahan
gambut terjadi penurunan tingkat kandungan hara. Kecenderungan semakin
menurunnya kesuburan tanah dicirikan dengan menurunnya tinggi tajuk vegetasi
hutan, menurunnya bahan kering per satuan luas, menebalnya daun serta
menurunnya rata-rata diameter pohon. Ketidakmampuan pohon-pohon tumbuh
optimal dibagian tengah gambut karena keadaannya yang sangat ekstrim,
khususnya pH dan ketersediaan hara bagi tanaman (Anwar et al., 1984).
Susunan kimia dan kesuburan tanah gambut ditentukan oleh: ketebalan
lapisan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral
dibawah lapisan gambut serta kualitas air sungai atau air pasang yang
mempengaruhi lahan gambut dalam proses pembentukan dan pematangannya
(Widjaja dan Adhi, 1986). Sifat kimia tanah gambut dicirikan dengan nilai pH dan
ketersediaan unsur nitrogen, forfor dan kalium rendah, kejenuhan kalsium dan
magnesium yang rendah, diikuti dengan pertukaran Al, Fe, Mn yang cukup tinggi
sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Hakim, 1986). Salah satu
petunjuk yang tepat untuk mengetahui keadaan tingkat kesuburan alami gambut
adalah kadar abu, semakin tinggi kadar abu semakin tinggi kandungan
mineralnya, yang memberi indikasi semakin tinggi tingkat kesuburannya. Tabel 2.
menjelaskan kandungan abu bersama dengan kandungan P2O5, CaO dan K2O
(dalam persen berat kering gambut) digunakan untuk menentukan tipe gambut,
apakah eutrofik, mesotrofik atau oligotrofik (Wahyunto et al. 2006). Fleischer dalam Supraptohardjo (1974) selanjutnya menggolongkong kesuburan tanah
gambut menjadi tiga yaitu : (a) Gambut eutrofik yang subur, (b) Gambut
mesotrofik dengan kesuburan sedang dan (c) Gambut oligotrofik sebagai gambut
miskin.
Tabel 2. Kandungan hara pada tiga tipologi tanah gambut.
Tipe tanah gambut Kandungan (% berat kering gambut)
Abu P2O5 CaO K2O
Eutrofik >10 >0,25 >4,0 >0,10
Mesotrofik 5-10 0,20-0,25 1,0-4,0 0,10
Oligotrofik 2-5 0,05-0,20 0,25-1,0 0,03-0,1
11
Hutan Rawa Gambut
Istilah hutan rawa gambut (peat-swamp forest) muncul karena antara hutan rawa dan hutan gambut yang umumnya berdekatan, seringkali tidak memiliki
batas yang tegas. Ciri umum tanah gambut, tidak mengalami perkembangan profil
ke arah terbentuhya horizon-horizon yang berbeda, berwama coklat kelam sampai
hitam, berkadar air tinggi dan berwama seperti teh serta bereaksi masam dengan
pH 3,0 - 5,0 (Istomo, 1992).
Menurut Jacobs (1988), hutan rawa gambut adalah salah satu tahap suksesi
dari hutan rawa dimana memiliki pH rendah, miskin mineral dan tingkat
dekomposisi alami yang rendah. Pada beberapa wilayah terdapat hutan rawa
gambut yang dipengaruhi oleh air sungai sehingga terdapat dekomposisi bahan
organik yang tinggi.
Hutan rawa gambut merupakan suatu ekositem yang unik dengan
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; 1) selalu tergenang air, 2) komposisi jenis
pohon beraneka macam, mulai dari tegakan sejenis (Calophyllum sp.) sampai
tegakan campuran, 3) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, 4) mempunyai
perakaran yang khas dan 5) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam (Asian
Wetland Bureau dan Ditjen PHPA, 1993). Berdasarkan pengamatannya di
Serawak dan Brunai yang meliputi struktur, fisiogami dan flora, maka Anderson
(1964) membagi hutan rawa gambut kedalam 6 tipe hutan, yaitu :
1. Tipe I. Hutan rawa campuran (mixed peatswamp forest) yaitu hutan dengan tajuk terputus, hampir sama dengan hutan hujan dataran rendah tetapi jumlah
jenis dan bantang per hektar lebih sedikit. Tipe ini merupakan asosiasi dari
Gonystylus-Dactylocladus-Neoscortechinia.
2. Tipe II. Hutan alan (Alan forest), hutan ini memiliki penampilan yang hampir sama dengan pertama, tetapi dengan tinggi tajuk yang lebih rendah dan jumlah
batang per hektar yang lebih kecil. Hutan Alan memiliki asosiasi Shorea albida-Gonystylus-Stemonurus.
4. Tipe IV. Hutan Padang Alan (padang alan forest), memiliki kerapatan pohon yang tinggi dan tajuk yang merata, karakter xeromorfiks yang bervariasi serta sedikit pohon yang memiliki keliling batang lebih dari 1,8 m. asosiasi pada tipe
ini adalah Shorea albida-Litsea-Parastemon.
5. Tipe V. Hutan ini dicirikan dengan kerapatan pohon tinggi dan tajuk yang
rendah serta hanya sedikit pohon dengan keliling lingkaran kebih dari 0,9 m.
6. Tipe VI. Hutan padang keruntum, yaitu open savanna woodland, dicirikan dengan banyaknya pohon kerdil dan derajat xeromorfiks tinggi, dimana hanya terdapat dua jenis dengan keliling bantang lebih dari 0,3 m. tipe hutan ini
merupakan asosiasi Combretocarpus-Dactylocladus.
Pada hutan rawa gambut umumnya terdapat tiga lapisan tajuk (Wiraatmojo,
1975) Lapisan tajuk teratas dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu (Dactylocladus stenostachys), jelutung (Dyera lowii). Pisang-pisang (Mezzetia parviflora), nyatoh (Palaquium spp.), durian hutan (Durio sp.), kempas (Koompassia malaccensis) dan jenis-jenis yang umumya kurang dikenal. Lapisan tajuk tengah pada umumnya dibentuk oleh jenis-jenis jambu (Eugenia spp.), pelawan (Trisfania spp.), medang (Litsea spp.), kemuning (Xantophyllum spp.), mendarah (Myristica spp.) dan kayu malam (Diospyroy spp.). Sedangkan lapisan tajuk terbawah terdiri dari jenis suku Annonaceae, anak-anakan pohon dan
semak dari jenis Crunis spp., Pandanus spp., Zalaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan merambat diantaranya Uncaria spp. Wibowo (1995) dalam studi stuktur tegakan, mengemukakan bahwa di hutan primer rawa gambut Riau
juga terdapat 3 (tiga) lapisan tajuk yaitu stratum A yang tingginya 30 meter ke
13
Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan
Soerianegara dan Indrawan (2005), menyatakan bahwa masyarakat hutan
adalah kelompok tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon yang menempati
suatu tempat tumbuh atau habitat, dimana terdapat hubungan timbal balik antara
tumbuh-tumbuhan itu satu sama lain dan dengan lingkungannya, dan satuan
masyarakat hutan ini disebut tegakan. Selanjutnya dalam tegakan hutan akan
terjadi persaingan antara individu-individu dari suatu jenis atau dari berbagai
jenis, jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama, misalnya dalam hara
mineral, air, cahaya dan ruang. Persaingan ini menyebabkan terbentuknya susunan
masyarakat tumbuk-tumbuhan yang tertentu bentuknya (life form-nya), macam dan banyaknya jenis dan jumlah individu-individunya, sesuai dengan keadaan
tempat tumbuhnya.
Komposisi vegetasi digunakan untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis
pohon dalam hutan, sedangkan struktur vegetasi hutan sebagai sebaran individu
tumbuhan dalam lapisan tajuk (Richard, 1964). Soerianegara dan Indrawan
(1983), menyatakan bahwa komposisi dibedakan antara populasi (satu jenis) dan
komunitas (beberapa jenis). Sehingga dapat dijelaskan bahwa komposisi vegetasi
adalah keberadaan jenis-jenis pohon pembentuk tegakan pada hutan sejenis
maupun hutan campuran.
Struktur tegakan mengandung dua macam pengertian yaitu struktur tegakan
horisontal dam struktur tegakan vertikal. Struktur tegakan horisontal adalah
sebaran banyaknya pohon per satuan luas pada kelas diameternya, sedangkan
struktur tegakan vertikal adalah sebaran individu pohon pada berbagai lapisan
tajuk (Richard, 1964; Suhendang, 1995). Perubahan dan perkembangan struktur
menggambarkan keadaan atau kondisi tegakan hutan yang bersangkutan.
Stratifikasi merupakan salah satu metode deskripsi dan analisis yang digunakan
untuk ekosistem hutan di daerah tropis. Dalam profil arsitektur komunitas
tumbuhan akan terlihat adanya keragaman arsitektur yang tinggi. Keragaman
tersebut terjadi karena tipe-tipe habitus yang berbeda-beda seperti adanya pohon,
Model arsitektur pohon di gunakan Halle et al. (1978) untuk memperoleh gambaran komposisi, struktur vertikal dan horizontal suatu vegetasi. Menurutnya,
pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika
berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran dan dan keadaan biologi, pohon
dibedakan menjadi tiga golongan yaitu :
1. Pohon masa mendatang (trees of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai kemampuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa
mendatang. Pohon-pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan
dan diharapkan di masa mendatang akan menggantikan pohon-pohon yang saat
ini dominan.
2. Pohon masa kini (trees of the present), yaitu pohon-pohon yang sedang berkembang penuh dan merupakan pohon yang dominan (menentukan) dalam
stratifikasi saat ini.
3. Pohon masa lampau (trees of the past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua yang mulai mengalmi kerusakan dan selanjutnya akan mati.
Soerianegara dan Indrawan (2005), mengemukakan stratifikasi tajuk hutan
hujan tropika sebagai berikut:
1. Stratum A: Pohon dominan, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya 30 m
keatas. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus, batang
bebas cabang (clear bole) tinggi.
2. Stratum B: Pohon Kodominan, terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20-30
m, tajuknya kontinyu, batang pohon biasanya banyak bercabang, batang bebas
cabang tidak terlalu tinggi.
3. Stratum C: Pohon Intermediet, terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20
m, tajuknya kontinyu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil, banyak
bercabang.
Disamping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan
tumbuh-tumbuhan penutup tanah. Lebih lanjut dikatakan juga bahwa antara
stratum A dan stratum B terdapat perbedaan yang jelas karena terdapat
diskontinuitas tajuk yang vertikal, tetapi antara stratum B dan C biasanya kurang
15
Pengetahuan tentang struktur tegakan berguna dalam menentukan kerapatan
pohon pada berbagai kelas diameter, penentuan luas bidang dasar tegakan dan
Penentuan biomassa tegakan.
Biomassa Hutan
Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh tumbuhan
per satuan unit area pada suatu waktu. Biomassa biasanya dinyatakan dalam
ukuran berat kering, dalam gram atau kalori, dengan unit satuan biomassa adalah
gram per m2 (gr/m2) atau kg per hektar (kg/ha) atau ton per hektar (Chapman,
1976, Brown, 1997). Pengetahuan tentang biomassa sangat penting untuk studi
aspek-aspek fungsional hutan seperti produktivitas primer, siklus hara dan aliran
energi, Oleh karena itu, data biomassa penting untuk mengetahui karakteristik
ekosistem hutan dalam rangka menentukan sistem pengelolaan hutan berdasarkan
prinsip kelestarian hasil. (Harse et al. 1985; Kusmana et al. 1992 dalam Istomo 2002). Sedangkan laju produksi biomassa adalah laju akumulasi biomassa dalam
kurun waktu tertentu, sehingga unit satuannya dinyatakan per satuan waktu,
misalnya kg per ha per tahun (Barbour et al. 1987). Kajian-kajian biomassa dalam suatu komunitas hutan secara umum terdiri dari dari biomassa atas permukaan
(above ground biomass) dan biomassa bawah permukaan tanah (below ground biomass).
Informasi kandungan biomassa suatu tegakan hutan atau vegetasi
tergantung pada terganggu atau tidaknya hutan baik oleh manusia maupun alam.
Lugo dan Snedaker (1974) mengemukakan bahwa biomassa tegakan hutan
dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi
dan struktur tegakan. Pengaruh pengelolaan hutan yang tidak bijaksana seperti
pembukaan hutan dan perubahan penggunaan lahan akan mengakibatkan
pengurangan biomasa dalam jumlah yang sangat besar, yaitu 100 ton ha-1 di hutan
dataran rendah dan 2 ton ha-1 di padang alang-alang (Whitten et al. 1984). Kesuburan tanah dan zat-zat hara yang semakin menurun akibat eksploitasi
biomasa tumbuhan secara berlebihan merupakan ancaman bagi kelestarian
Hutan hujan tropika merupakan ekosistem dengan kerapatan vegetasi yang
tinggi pada semua lapisan. Kerapatan yang tinggi dengan suhu dan curah hujan
yang tinggi menyebabkan biomassa di hutan hujan tropika paling besar
dibandingkan dengan tipe hutan lainnya Rata-rata biomasa hutan hujan tropika
adalah 420 ton/ha (Ramade, 1980). Whitmore (1985) menjelaskan bahwa
biomassa yang diperoleh pada hutan dataran rendah di Pasoh sebesar 475 ton/ha
dan 664 ton/ha dalam plot contoh seluas 0.1 dan 0.2 ha dengan struktur hutan
[image:33.595.100.507.32.816.2]yang heterogen. Biomassa pada beberapa tipe hutan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Biomassa total pada beberapa tipe hutan.
Formasi hutan Luas contoh
(ha)
Total Biomassa diatas tanah (ton/ha) Hutan hujan datara rendah selalu hijau
Malaya : Pasoh 0,1 664
Kamasul 0,2 475
Hutan kering
Sarawak, Mulu 1,0 490
Hutan hujan semi selalu hujau
Khao Chong 0,32 331
Hutan hujan pegunungan rendah
New Guinea 6x0,04 310
Seluruh hutan (Whole Forest) 6x0,04 295
Mature/Late Building Phase 5x0,02 773
Sumber : Kato et al. dalam Whitmore, 1985.
Pengukuran Biomasa
Metode destruktif (pemanenan langsung) adalah pengukuran terhadap
biomassa pohon yang ada di atas permukaan tanah secara langsung dengan
mengukur berat segar dari komponen-komponen yang berbeda (batang pohon,
cabang, ranting, dan daun), kemudian menghitung berat kering oven contoh yang
dilakukan di laboratorium. Brown (1999) mengemukakan bagian terbesar
menyimpan karbon adalah dalam biomassa hidup, meliputi komponen bagian atas
dan bagian bawah (akar), pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan
bawah), semak dan paku-pakuan. Biomassa mati meliputi serasah halus, sisa kayu
kasar, tanah termasuk mineral, lapisan organik dan gambut.
Metode lain untuk mengukur biomasa di atas tanah adalah dengan
17
beberapa pohon yang mewakili. Metode sederhana lain dapat menggunakan
hubungan : V = tinggi x basal areal x 0.5, dimana V menyatakan volume kayu dan
kulit di atas tanah (Dawkins 1961, Whittaker and Woodwell, 1968 dalam Whitmore. 1985).
Metode pendugaan biomassa diatas permukaan tanah secara garis besar
dikelompokkan menjadi dua (Chapman, 1976), yaitu:
1. Metode pemanenan (destruktif)
a) Metode pemanenan individu tanaman, metode ini digunakan pada kerapatan
tanaman individu tumbuhan cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan
jumlah yang sedikit. Nilai total biomassa dengan metode ini diperoleh
dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area
contoh.
b) Metode pemanenan kuadrat, metode ini megharuskan menanam semua
individu dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total
biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik yang dipanen
dalam suatu unit area.
c) Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar
(Lbds), metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran
individu seragam. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan
nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah
individu pohon dalam suatu unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari
semua pohon.
2. Metode pendugaan tidak langsung (non-destruktif)
a) Metode hubungan alometrik, metode ini didasari pada persamaan alometrik
dengan mencari korelasi paling baik antara dimensi pohon (diameter dan
tinggi) dengan biomassanya. Sebelum pembuatan persamaan, pohon-pohon
yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditimbang. Nilai total
biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon
dalam suatu unit area.
b) Crop meter, metode pendugaan biomassa ini dilakukan dengan cara
Brown (1997) mengemukakan ada dua pendekatan yang digunakan untuk
menduga biomassa dari pohon, yakni pertama berdasarkan pendugaan volume
kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan
biomassa (ton/ha), sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan
menggunakan persamaan regresi biomassa. Pendugaan biomassa pada pendekatan
pertama menggunakan persamaan (Brown et al. 1989):
Biomassa di atas tanah (ton/ha) = VOB X WD X BEF
dimana :
VOB = Volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha)
WD = Kerapatan kayu (biomassa kering oven (ton) dibagi volume biomassa inventarisasi (m3)
BEF = Perbandingan total biomassa pohon kering oven di atas tanah dengan biomassa kering oven hasil inventarisasi hutan.
Pendugaan biomassa dengan pendekatan kedua menggunakan persamaan
regresi (Brown et al. 1989):
Biomassa di atas tanah atau Y = aDb
dimana :
Y = biomassa pohon (kg)
D = diameter setinggi dada (130 cm), a dan b merupakan konstanta.
Whitmore (1985) mengemukakan bahwa kandungan biomassa (berat
kering) dari hutan berbeda-beda tergantung dari tipe hutan, kesuburan tanah,
tempat tumbuh, dan bagian-bagian biomassa pohon. Pada bagian berat batang
lebih besar daripada berat akar, berat cabang dan berat daun, meskipun demikian
bagian-bagian tersebut sangat penting dalam inventarisasi hara, dan kandungan
hara pada bagian batang cenderung mendominasi semua komponen di dalam
METODOLOGI
Lokasi dan WaktuPenelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis terletak pada 0032’ - 1008’ LU dan 1010 43’ - 103008’ BT dengan ketinggian 0 – 5 m diatas permukaan laut. Data lapangan dan laboratorium diperoleh dari bulan September sampai November 2008.
Bahan dan Peralatan
Bahan penelitian adalah hutan gambut yg terdiri dari hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI Sagu.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Peta Kerja, Peta Vegetasi, GPS, kompas, meteran pica diameter, alat ukur tinggi (Haga Hypsometer), tambang plastik, tali plastik, bor tanah, ring sample tanah, pH tester, golok, pisau kecil, patok, tally sheet, kantong plastik, kamera, peralatan pembuatan herbarium (alkohol, gunting, label, kertas koran dan sasak) serta alat tulis.
Jenis dan Sumber Data
Pengumpulan data primer diperoleh berdasarkan hasil penelitian lapangan yang meliputi :
1. Komposisi dan struktur tegakan hutan rawa gambut berdasarkan perubahan tipe penggunaan lahan gambut.
2. Penyebaran dan kelimpahan jenis berdasarkan perubahan tipe hutan gambut. 3. Potensi biomassa tegakan atas permukaan pada setiap jenis maupun tipe
penggunaan lahan, diduga berdasarkan data diameter. 4. Sifat-sifat tanah yang meliputi sifat fisik dan sifat kimia.
Metode Penelitian
Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan struktur tegakan hutan. Pengambilan data analisis dilakukan dengan cara jalur atau transek dengan penentuan jalur dan pembuatan petak contoh dilakukan secara
purposive systematic sampling berdasarkan kerapatan tegakan hutan.
Jumlah petak contoh dibuat 5 petak pada setiap komunitas hutan yaitu : Hutan alam, Kebun rakyat dan HTI Sagu. Petak ukur dalam jalur pengamatan terdiri dari sub-petak-sub-petak berdasarkan tingkat pertumbuhan vegetasi. Pembuatan sub-petak tersebut dilakukan secara nested sampling, dimana sub petak yang berukuran lebih besar mengandung sub petak yang berukuran lebih kecil (Soerianegara dan Indarawan, 2005). Ukuran petak contoh pengamatan sebagai berikut :
1. Petak ukur 20 m x 20 m, dibuat sejajar arah jalur untuk pengamatan vegetasi tingkat pohon (diameter > 20 cm), dan dalam setiap petak contoh ini terdapat dua macam petak ukur kecil untuk tingkat tiang dan pancang.
2. Petak ukur 10 m x 10 m, dibuat secara berselang-seling (kanan-kiri sumbu jalur), dengan jarak antar petak 10 m, untuk pengamatan vegetasi tingkat tiang
(diameter 10 cm sampai dengan 20 cm)
3. Petak ukur 5 m x 5 m dibuat berselang-seling (kanan kiri sumbu jalur), jarak antar petak ukur 15 m, untuk pengamatan pancang (tinggi permudaan 1,5 m sampai pohon-pohon muda berdiameter < 10 cm).
Parameter yang diamati dalam analisis vegetasi untuk tingkat Pohon dan Tiang meliputi jumlah dan jenis pohon, tinggi pohon bebas cabang dan tinggi total serta diameter pohon, jumlah jenis dan jumlah individunya. Desain jalur dan petak ukur dapat dilihat pada Gambar 2.
20 m
10 m 10 m
Ket : A = 20 m x 20 m (tingkat pohon)
B = 10 m x 10 m (tingkat tiang)
C = 5 m x 5 m
(tingkat pancang) B
A
C
21
Biomassa Atas Permukaan
Estimasi nilai kandungan biomassa pada hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI dihitung hanya pada biomassa atas permukaan untuk pertumbuhan tingkat tiang dan pohon dengan diameter ≥10 cm setinggi dada. Pendugaan biomassa kemudian dikelaskan kedalam biomassa jenis dan komunitas hutan.
Sifat Tanah
Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah, kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pengukuran kedalaman gambut pada setiap sub plot atau petak ukur analisis vegetasi dengan menggunakan bor gambut / galah ukur.
2. Pengambilan contoh tanah didasarkan pada beberapa zonasi perbedaan komunitas hutan.
3. Contoh tanah dikelompokkan berdasarkan tipe penggunaan lahan kemudian dicampur untuk mendapatkan sampel tanah yang selanjutnya akan dianalisis di Laboratorium.
4. Pengukuran pH air (water pH meter) dan pH tanah (soil pH meter)
Penentuan tingkat kematangan gambut dilapangan, dapat dilakukan dengan kombinasi meremas segenggam tanah gambut dan memperhatikan warna gambut sebagai berikut:
1. Bila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga perempat bagian atau lebih (¾), maka digolongkan kedalam jenis fibrik, jika antara tiga perempat sampai seperempat bagian (¾ - ¼), maka digolongkan kedalam jenis hemik dan bila setelah pemerasan yang tertingga adalah sama dengan atau kurang dari seperempat bagian (≤ ¼) maka digolongkan kedalam jenis saprik.
2. Memperhatikan warnanya. Jenis tanah gambut fibrik akan memperlihatkan
warna hitam muda (agak terang), kemudian disusul hemik dengan warna hitam agak gelap dan seterusnya saprik berwarna hitam gelap.
kandungan C organik, N-total, P, Ca, Mg, K, Na, KTK, kejejuhan basa dan kadar abu, dilakukan di Laboratorium Tanah, Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB.
Analisis Data
Komposisi jenis
Analisis Indeks Nilai Penting (INP) dikaji berdasarkan hasil hitungan besaran: Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (D) dan Dominansi Relatif (DR) menurut rumus yang dikembangkan Mueller-Dombois dan Elenberg (1974) sebagai berikut :
Kerapatan (K) = Banyaknya Individu suatu jenis Luas plot contoh
Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan dari suatu jenis x 100 % Kerapatan seluruh jenis
Frekuensi (F) = Jumlah plot contoh ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot contoh
Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi dari suatu jenis x 100 % Frekuansi seluruh jenis
Dominansi (D) = Jumlah luas bidang dasar suatu jenis Frekuansi seluruh jenis
Dominansi Relatif (DR) = Dominasi dari suatu jenis x 100 % Dominansi seluruh jenis
INP untuk tingkat pancang dan semai = KR + FR
INP untuk tingkat tiang dan pohon = KR + FR + DR
Kesamaan Komunitas
23
C = 2 w x 100 % a + b
Dimana :
C (=IS) = Koefisien masyarakat atau Koefisien Kesamaan Komunitas w = Jumlah nilai yang sama dan terendah dari jenis-jenis yang
terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan
a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama.
b = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan kedua.
Sedangkan untuk menghitung nilai koefisien ketidaksamaan atau Indeks of
Dissimilarity (ID) adalah; ID = 100 - IS
Keanekaragaman, Keseragaman dan DominansiJenis
Untuk mengkaji keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis pada hutan rawa gambut dihitung menurut Shannon-Weiner Diversity Index
(Kusmana dan Istomo, 1995), yaitu :
H′ i
N log 2 i N
S
Dimana :
H’ = Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Weiner
ni = Nilai penting untuk tiap jenis atau jumlah individu jenis ke-i N = Nilai penting total atau jumlah individu semua jenis
S = Banyaknya jenis
Indeks keseragaman Shannon digunakan untuk mengukur tingkat keseragaman dari spesies yang diamati dalam plot pengamatan. Rumus perhitungan indeks keseragaman adalah :
Max H
H
J '
' '=
Dimana :
J' = Indeks Keseragaman Shannon-Wiener H' = Indeks Keragaman Shannon-Wiener
Indeks dominansi merupakan nilai kuantitatif pada tingkat dominansi relatif di dalam komunitas yang umumnya ditunjukkan oleh satu jenis pohon di dalam komunitas tersebut. Rumus perhitungannya sebagai berikut :
2 i N n
Di ⎟
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ∑ =
Dimana :
Di = Indeks Dominansi Simpson ni = Kerapatan spesies
N = Total Kerapatan Spesies
Biomasa Tegakan
Data analisis vegetasi yang diperoleh kemudian diolah untuk mengkaji potensi biomassa atas permukaan pada setiap komunitas hutan. Pendugaan yang dilakukan adalah dengan menggunakan data diameter setinggi dada setiap pohon
≥ 10 cm dan kerapatan pohon.
Perhitungan biomassa rata-rata pohon didekati dengan menggunakan rumus Allometrik yang dikembangkan Istomo (2002) sebagai berikut:
W = 0.0145D3- 0.4659D2 + 30.64D – 263.32
Dimana :
W = Biomasa (kg)
D = Diameter pohon setinggi dada (cm)
Biomassa rata-rata tiap pohon yang dominan pada setiap komunitas hutan digunakan untuk menghitung biomassa pohon total dalam tegakan per hektar menggunakan rumus (Brown et al. 1989) :
Y = yNa
Dimana :
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak dan Luas Wilayah
Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat
antara sekitar 0°42'30" - 1°28'0" LU dan 102°12'0" - 103°10'0" BT, dan terletak
pada bagian pesisir timur pulau Sumatera, dengan luas 3.707,84 km². Sedangkan
luas Pulau Panjang adalah 1.438,83 km². Secara administratif, Kabupaten
Kepulauan Meranti terdiri dari 7 kecamatan dan 78 desa/ kelurahan, dengan batas
wilayah sebagai berikut :
- Sebelah Utara, berbatasan dengan Selat Malaka dan Kabupaten Bengkalis
- Sebelah Timur, dengan Kabupaten Karimun.
- Sebelah Selatan, dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan.
- Sebelah Barat, dengan Kabupaten Bengkalis.
Lokasi Penelitian berada di dalam dan sekitar areal kerja PT. National
Timber and Forest Product di Kecamatan Tebing Tinggi, yang secara geografis
terletak pada 0032’- 1008’ LU dan 101043’ – 103008’ BT dan secara administratif
areal PT. National Timber And Forest Product menempati beberapa desa, yaitu
beberapa desa yaitu Desa Tanjung Sari, Desa Lukun, Desa Kayu Ara, Desa
Sungai Pulau, Desa Kepau Baru, Desa Teluk Buntal, Desa Sungai Tohor dan
Desa Tanjung Gadai. Areal HTI Sagu ini dilewati oleh beberpa aliran sungai,
yaitu; Sungai Mukum (7 Km), Sungai Pulau (7,5 KM), Sungai Suir Kiri (13,6
Km) dan Sungai Buntal (3 Km) (NTFP, 1997). Luas total kawasan hutan
HTI-Murni Sagu PT. National Timber And Forest Product sebesar 19.900 ha. Dari
areal seluas 19.900 ha tersebut menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan terdiri atas
Hutan Produksi Terbatas 18.100 ha dan Hutan Konversi seluas 1.800 ha.
Keadaan Iklim dan Tanah
Iklim Berdasarkan data dari Pemerintahan Provinsi Riau, suhu udara minimum 260 C-320 C dan curah hujan rata-rata antara tahun 1.971-2.000 sebesar
2.191 mm atau 280 hari/ tahun. Daerah ini beriklim tropis dengan suhu udara
Musim hujan terjadi sekitar bulan September-Januari, dan musim kemarau terjadi
sekitar bulan Februari hingga Agustus.
Curah hujan dilokasi penelitian berkisar antara 2.095 mm sampai 2.294 mm
dengan rata-rata 2.208 mm. dilihat dari distribusi curah hujan bulanannya, maka
bulan Mei merupakan bulan yang paling kering, sedangkan bulan September dan
Oktober merupakan bulan yang paling basah. Namum lokasi penelitian
merupakan kawasan yang lembab karena curah hujan bulanannya lebih dari 100
mm (Tabel 4.) Hari hujan tahunannya cukup tinggi, yaitu sekitar 118 hari hujan
sampai 149 hari hujan sedangkan suhu dan kelembaban udara berkisar antara
[image:43.595.78.483.229.754.2]260C sampai 27,400C dan 82% sampai 88% (Bintoro et al. 2008).
Tabel 4. Rata-rata Curah Hujan, Suhu udara dan Kelembaban Udara Bulanan dan Tahunan (periode pengamatan dari Tahun 1988-1997).
No. Bulan Curah Hujan
(mm)
Hari Hujan
(hari ) Suhu Udara
Kelembaban udara (%)
1. Januari 194 12 26,3 88
2. Februari 219 12 26,6 81
3. Maret 233 13 26 87
4. April 117 7 27,4 85
5. Mei 70 9 27,2 86
6. Juni 134 6 27,3 84
7. Juli 159 10 27,3 82
8. Agustus 151 10 27,3 85
9. September 254 9 26,5 84
10. Oktober 254 12 26,6 86
11. November 198 13 26,1 84
12. Desember 112 10 26,7 88
Rata-rata 174,58 10.25 26,77 85
No. Tahun Curah Hujan
(mm)
Hari Hujan
(hari) Suhu Udara
Kelembaban udara (%)
1. 1997 2.095 125 26,7 85
2. 1996 2.191 118 26,4 -
3. 1995 2.161 120 26,5 -
4. 1994 2.198 130 26,2 -
5. 1993 2.254 141 26,2 -
6. 1992 2.267 143 26,2 -
7. 1991 2.215 133 26,2 -
8. 1990 2.189 129 26,2 -
9. 1989 2.225 137 26,2 -
10. 1988 2.294 149 26,4 -
Raia-rata 2.208 132,5 26,32 -
27
Tanah pada areal HTI sagu PT. National Timber and Forest Product secara keseluruhan adalah jenis tanah organosol dan gley humus. Derajat keasaman (pH)
yang sangat masam yaitu 3,1–4,0.. Menurut Laporan Utama Analisis Dampak
Lingkungan dalam PT. NTFP (1997) lapisan gambut di areal PT. NTFP memiliki
ketebalan kurang lebih 3 m. Susunan batuan terdiri atas jenis batuan endapan
aluvium muda berumur holosen dan litologi lempung, lanau, kerikil kecil dan sisa
tumbuhan rawa gambut. gambut riau tergolong dalam oligotropik, yaitu gambut
dengan dengan sedikit kandungan mineral.
Jenis tanah yang terdapat di areal PT. National Timber And Forest Product
terdiri atas jenis tanah organosol seluas 19.820 hektar (99,6 %) dan jenis tanah
alluvial seluas 80 hektar (0,4 %) dengan dengan topografi datar kemiringan lahan
termasuk kelas lereng LI (kelerangan antara 0 – 8 %). Karakteristik tanahnya
memiliki konsistensi tanah lekat, porositas tanah sedang, dan reaksi tanah yang
sangat masam dengan pH berkisar 3,1 – 4,0 (NTFP, 1997).
Luas Areal dan Keadaan Tanaman
Penanaman sagu di PT. National Timber And Forest Product Unit HTI Murni
Sagu dilakukan dalam tiga periode. Penanaman sagu di Divisi 1, 2, 3, 4 dilakukan
pada tahun 1996-1997, Divisi 5, 6, 7, 8 dilakukan pada 1999/2000, dan Divisi 9,
10, 11, dan 12 dilakukan pada tahun 2003/2004. Kondisi pertumbuhan sagu di
Divisi 1, 2, 3, dan 4 lebih baik dibandingkan yang lainnya. Jumlah tanaman yang
tumbuh pada keempat divisi tersebut juga lebih banyak dibandingkan Divisi 5-12.
Penggunaan Lahan dan Potensi Sumberdaya Alam
Gambaran umum Kabupaten Kepulauan Meranti adalah sebagi berikut :
memiliki potensi sumber daya alam, baik sektor Migas maupun Non Migas, di
sektor Migas berupa minyak bumi dan gas alam, yang terdapat di daerah kawasan
pulau Padang. Di kawasan ini telah beroperasi PT Kondur Petroleum S.A di
daerah Kurau desa Lukit (Kecamatan Merbau). Sektor Non Migas kabupaten
Kepulauan Meranti memiliki potensi beberapa jenis perkebunan seperti sagu
ton/tahun, karet 17.470 ton/tahun, pinang 1.720,4 ton/tahun, kopi 1.685,25
ton/tahun.
Potensi perkebunan hanya diperdagangkan dalam bentuk bahan baku keluar
daerah Riau dan belum dimaksimalkan menjadi industri hilir, sehingga belum
membawa nilai tambah yang mendampak luas bagi kesejahteraan masyarakat
lokal. Sementara di sektor kelautan dan perikanan dengan hasil tangkapan:
2.206,8 ton/tahun. Selain itu masih ada potensi dibidang kehutanan, industri
pariwisata, potensi tambang dan energi.
Lokasi Penelitian
Gambar 3. Peta lokasi penelitian di sekitar dan didalam Areal HTI Sagu.
Hasil
Komposisi Jenis
Hasil analisis vegetasi yang dilaksanakan pada berbagai komunitas hutan
yang diteliti yaitu hutan alam, kebun rakyat dan areal HTI, ditemukan 43 jenis vegetasi pada berbagai tingkat pertumbuhan. Daftar nama jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 2.
Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) untuk mengetahui komposisi jenis setiap tingkat pertumbuhan di hutan rawa gambut dapat dilihat pada Lampiran 3, 4 dan 5. Tingkat pertumbuhan pancang dengan INP >10% pada setiap komunitas hutan ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis tumbuhan tingkat Pancang dengan Indeks nilai penting (INP) >10% pada setiap komunitas hutan.
Komunitas
Hutan No. Nama Jenis KR (%) FR (%) INP
Hutan Alam
1. Shorea parvifolia 10,26 10,34 20,60
2. Shorea uliginosa 10,26 10,34 20,60
3. Combretocarpus rotundatus 7,69 10,34 18,03
4. Cratoxylum arborescens 7,69 6,89 14,58
5. Diospyros maingayi 7,69 6,89 14,58
6. Dipterocarpus sp. 7,69 6,89 14,58
7. Baccaurea bracteata 5,13 6,89 12,02
8. Criptocarya crassinervia 5,13 6,89 12,02
9. Macaranga semiglobosa 5,13 6,89 12,02
Kebun Rakyat
1. Metroxylon spp. 33,33 23,81 57,14
2. Macaranga semiglobosa 12,50 14,29 26,79
3. Alseodaphne umbelliflora 8,33 9,52 17,86
4. Antidesma punticulatum 8,33 9,52 17,86
5. Arthocarpus sp. 8,33 9,52 17,86
Areal HTI
1. Metroxylon spp. 39,49 22,72 62,22
2. Baccaurea bracteata 13,44 13,63 27,08
3. Alseodaphne umbelliflora 6,72 9,09 15,81
4. Macaranga semiglobosa 6,72 9,09 15,81
Membandingkan komposisi jenis tingkat pancang pada berbagai komunitas hutan yang dipelajari seperti pada Tabel 5. dapat dilihat bahwa terdapat
0 10 20 30 40 50 60 70 80 alam Crato kebu umbe HTI lainn semig adala semig 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 G 62 27 Beberapa m adalah Sh
oxylum arb
un rakyat a
elliflora, A
dengan bu nya adalah
globosa. Je ah Baccau globosa (Ga
21 21
Gambar 4 ( 7
16 a jenis tum
horea parvif borescens,
adalah Met ntidesma p
udidaya tana Baccaurea enis vegeta urea bract ambar 4.) 18 15
a,b,c). Inde pan 16 79 mbuhan ting ifolia, Shor Diospyros roxylon sp
punticulatum
aman Metro bracteata,
asi hutan y
teata, Alse
15 97
eks Nilai Pe ncang pada s
0 10 20 30 40 50 60 70 kat pancang rea uliginos maingayi,
p., Macara m, Arthocar oxylon spp
Alseodaph
yang sama
eodaphne
enting (%) b setiap komu
(a) Hutan
(
(b) Are
57
27 g yang pali
sa, Combre Dipteroca anga semig rpus sp. se . kehadiran hne umbellif antara ket umbelliflor beberapa jen unitas hutan Alam
(c) Kebun R
eal HTI
18 18 ing domina
etocarpus r arpus sp. P
globosa, Al
edangkan p n jenis tanam
flora dan M
tiga komun
ra, dan M
nis dominat n gambut. Rakyat 31 18 63 an di hutan
[image:48.595.67.505.40.840.2]Tabel 6. memperlihatkan beberapa kesamaan jenis permuadaan tingkat Tiang pada ketiga komunitas hutan gambut dengan INP >10%.
Tabel 6. Jenis tumbuhan tingkat Tiang dengan Indeks nilai penting (INP) >10% pada setiap komunitas hutan.
Komunitas
Hutan No. Nama Jenis KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
Hutan Alam
1 Shorea uliginosa 10,34 10,71 12,19 33,25
2 Shorea parvifolia 10,34 7,14 11,84 29,33
3 Baccaurea bracteata 6,89 7,14 6,88 20,92
4 Actinodaphne glabra 3,44 3,57 13,24 20,26
5 Combretocarpus rotundatus 6,89 7,14 4,60 18,64
6 Cratoxylum arborescens 6,89 7,14 2,94 16,98
7 Garcinia sp. 3,44 3,57 5,31 12,33
8 Gonystylus becanus 3,44 3,57 4,76 11,78
9 Macaranga semiglobosa 3,44 3,57 4,25 11,27
Kebun Rakyat
1 Metroxylon spp. 59,09 35,71 84,07 178,88
2 Arthocarpus sp. 9,09 14,28 4,66 28,04
3 Palaquium ridleyi 9,09 14,28 2,44 25,82
4 Baccaurea bracteata 4,54 7,14 2,75 14,44
5 Shorea parvifolia 4,54 7,14 2,75 14,44
6 Criptocarya crassinervia 4,54 7,14 1,22 12,91
7 Elaeocarpus stipularis 4,54 7,14 1,22 12,91
8 Melicope sp. 4,54 7,14 0,85 12,53
Arel HTI
1 Metroxylon spp. 87,50 55,55 97,68 240,73
2 Ficus microcarpa 3,12 11,11 0,98 15,22
3 Combretocarpus rotundatus 3,12 11,11 0,55 14,79
4 Macaranga pruinosa 3,12 11,11 0,38 14,62
5 Macaranga semiglobosa 3,12 11,11 0,38 14,62
Hasil Tabel 6. memperlihatkan vegetasi paling dominan pertumbuhan tingkat tiang pada hutan alam adalah S. parvifolia, S. uliginosa, B. bracteata, A. glabra,. Kebun rakyat adalah Metroxylon spp., Arthocarpus sp. dan Palaquium ridleyi. Sedangkan pada Areal HTI adalah Metroxylon spp., Ficus microcarpa, Combretocarpus ro